PERBEDAAN TINGKAT HARGA DIRI ANTARA PRIA DAN WANITA DEWASA AWAL PENYANDANG CACAT TUBUH SKRIPSI

PERBEDAAN TINGKAT HARGA DIRI ANTARA PRIA DAN WANITA
DEWASA AWAL PENYANDANG CACAT TUBUH

SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi

Oleh:
DITA ANGGRAINI
NIM

: 019114093

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2009

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING


SKRIPSI

PERBEDAAN TINGKAT HARGA DIRI ANTARA PRIA DAN WANITA
DEWASA AWAL PENYANDANG CACAT TUBUH

Oleh:

DITA ANGGRAINI
NIM : 019114093

Telah disetujui oleh:

Pembimbing,

Tanggal 24 Mei 2009

Y. Heri Widodo, S.Psi, M.Psi

ii


ALAMAN PENGESAHAN

Skripsi yang berjudul
PERBEDAAN TINGKAT HARGA DIRI ANTARA PRIA DAN WANITA
PENYANDANG CACAT TUBUH

Yang dipersiapkan dan disusun oleh:
DITA ANGGRAINI
NIM : 019114093
Telah dipertahankan di depan Panitia Penguji
Pada tanggal 9 Juni 2009
dan dinyatakan memenuhi syarat
guna memperoleh derajat
Sarjana S1 Psikologi

Susunan Panitia Penguji
Ketua

: Y. Heri Widodo, S.Psi, M.Psi.


_____________________

Sekretaris : P. Eddy Suhartanto, S.Psi., M.Si.

_____________________

Anggota

_____________________

: P. Henrietta PDADS., S.Psi.

Yogyakarta, 9 Juni 2009
Fakultas Psikologi
Universitas Sanata Dharma
Dekan,

P. Eddy Suhartanto, S.Psi., M.Si.


iii

Jalan menuju NEXT L EVEL
tdk selalu lurus…
ada tikungan bernama
KEGAGAL AN…
Ada bundaran bernama
KEBI NGU NGAN…
Tanjakan bernama
TEM AN…
L ampu merah bernama
M U SU H…
L ampu kuning bernama
KEL U ARGA…
Engkau akan mengalami
ban PECAH…
itulah PROSES…
tapi jika engkau membawa
ban serep bernama
TEKAD…

M esin bernama
KETEKU NAN…
Asuransi bernama
PERCAYA…
Penolong bernama
TU HAN…
Kau akan sampai di daerah yang
disebut…
KEL U L U SAN… (anonim)

Kupersembahkan Karya yang
sungguh sederhana ini untuk:

 Allah yang M aha Pengasih
yang telah memberiku banyak
karunia hingga saat ini,

 I bu-ku yang kekuatan dan
ketegarannya mengajariku
untuk terus bertahan dan

berjuang mencapai tujuanku.
M uch love,
Dita

iv

v

ABSTRAK
PERBEDAAN TINGKAT HARGA DIRI ANTARA PRIA DAN WANITA
DEWASA AWAL PENYANDANG CACAT TUBUH
Dita Anggraini
019114093
Fakultas Psikologi
Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta
2009
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan tingkat harga diri
antara pria dan wanita dewasa awal penyandang cacat tubuh. Hipotesis yang
diajukan adalah harga diri wanita dewasa awal penyandang cacat tubuh lebih

rendah daripada pria dewasa awal penyandang cacat tubuh.
Jenis penelitian ini adalah penelitian komparatif. Subyek penelitian ini
berjumlah 90 penyandang cacat tubuh di Yogyakarta, yang terdiri dari 45 pria
penyandang cacat tubuh dan 45 wanita penyandang cacat tubuh, yang berusia 1840 tahun, tanpa diserta gangguan penyerta berupa cacat mata, tuli atau gangguan
mental. Metode sampling yang digunakan adalah gabungan antara purposive
sampling dan incidental sampling. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini
menggunakan skala harga diri yang diadopsi dari skala harga diri milik Yovie
yang telah melalui proses seleksi item dan telah diuji validitas dan reliabilitasnya.
Setelah dilakukan tryout dengan koefisien α sebesar 0,843, diperoleh empat item
yang dinyatakan gugur. Setelah ke empat item dihilangkan koefisien α menjadi
0,860.
Pengujian hipotesis menggunakan Independent Sample t-Test dari
program SPSS for Windows versi 15 dengan membandingkan mean kedua
kelompok subyek. Mean pria penyandang cacat tubuh sebesar 95,91 dan mean
wanita penyandang cacat tubuh sebesar 93. Hasil uji-t menunjukkan nilai t =
1,355 dengan probabilitas 0,179 (p > 0,05), artinya Ha (harga diri wanita dewasa
awal penyandang cacat tubuh lebih rendah dari pria dewasa awal penyandang
cacat tubuh) ditolak. Dari hasil penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa tidak ada
perbedaan tingkat harga diri yang signifikan antara pria dan wanita dewasa awal
penyandang cacat tubuh.


Kata kunci: harga diri, penyandang cacat tubuh, pria dan wanita dewasa awal

vi

ABSTRACT
THE DIFFERENCE LEVEL OF SELF ESTEEM BETWEEN
PHYSICALLY DIFABLE ADULT MEN AND WOMEN
Dita Anggraini
019114093
Faculty of Psychology
Sanata Dharma University
Yogyakarta
2009
The purpose of this research was to find out the difference level of self
esteem between physically difable adult men and women. Hypothesis that was
proposed was the physically difable adult women self esteem was lower than
physically difable adult men.
The research type was a comparative study. The subjects of research
were 90 physically difable peoples in Yogyakarta, consist of 45 physically difable

adult men and 45 physically difable adult women whose ages around 18-40 years
old, was not blind, deaf or mental retarded. The sampling method was aliance
between purposive sampling and incidental sampling. Data collected method in
this research applied self esteem scale adopted from self esteem scale property of
Tanoyo (2008) which has passed selection item process that the validity and the
reliability of the scale had been tested before. After done the tryout with the
coefficient α = 0,843, obtained four items expressed fall. The coefficient α became
0,860, after four items were eliminated.
The hypothesis was analyzed by using Independent Sample t-Test of
SPSS program for Windows versi 15, to compare the two groups of subject. The
physically difable adult men mean was 95,91 and the physically difable adult
women mean was 93. The result of the t-test showed the value of the t = 1,355
with probability 0,179 (p > 0,05). Therefore, Ha (physically difable adult women
self esteem was lower than physically difable adult men) was rejected. The result
of this research was not significantly difference level of self esteem between
physically difable adult men and women.

Key word: self esteem, physically difable, adult men and women

vii


viii

KATA PENGANTAR
Alhamdulillah puji syukur keharibaan Allah SWT, yang telah
menganugerahkan hidayah dan ridhoNya sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi yang berjudul ”Perbedaan Tingkat Harga Diri antara Pria dan Wanita
Dewasa Awal Penyandang Cacat Tubuh”.
Penyusunan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan
program sarjana pada Jurusan Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Selama persiapan hingga terselesaikannya skripsi ini, penulis menyadari tidak
lepas dari bantuan dan dorongan berbagai pihak. Pada kesempatan kali ini dengan
segenap ketulusan dan kerendahan hati, penulis ingin mengucapkan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak P. Eddy Suhartanto, S.Psi., M.Si., selaku Dekan Fakultas Psikologi
Yogyakarta yang telah berkenan memberikan izin dan dukungan untuk
melakukan penelitian ini.
2. Ibu Sylvia Carolina M. Y. M., S.Psi., M.Si., selaku Kepala Program Studi
Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma yang telah berkenan membantu
dan memberikan dukungan kepada penulis.

3. Bapak Y. Heri Widodo, S.Psi, M.Psi. selaku dosen pembimbing skripsi yang
telah banyak meluangkan waktu dan tenaga, bersabar membimbing,
mengarahkan, memberikan saran kepada penulis selama proses penulisan
skripsi ini.

ix

4. Bapak P. Eddy Suhartanto, S.Psi., M.Si. dan Ibu P. Henrietta PDADS., S.Psi.,
selaku dosen penguji atas segala masukan berupa kritik dan saran demi
kelayakan skripsi ini untuk dipublikasikan.
5. Ibu Lusia Pratidarmanastiti, S.Psi., M.Si., terimakasih atas diskusi dan saran
yang diberikan kepada penulis.. Bu, semoga Ibu selalu diberkati oleh
Tuhan..terimakasih banyak ya Bu.
6. Segenap staf pengajar Fakultas Psikologi Univesitas Sanata Dharma. Terima
kasih atas seluruh ilmu yang diberikan sehingga penulis dapat belajar banyak
hal tentang psikologi.
7. Karyawan Fakultas Psikologi. Mas Muji, Mas Gandung, Mbak Nanik, Mas
Doni dan Pak Gie, terima kasih atas bantuannya selama ini.
8. Bapak dan Ibuku yang telah memberikan dukungan spiritual dan material
kepada penulis. Kakak-kakakku: Mah Nie-Pak Ayip, Pak Andri-Wik Nya’,
Brow Pramu-Mb. Indri, Om Wahyu-Mb. Jarti...hehehe..ahuahua..
9. Buat keponakanku yang seabreg: Dendri, Mas Neza, Adelia ”Menik”, Dik
Dimas, Mas Rafli, Dik Hana, Aurora... ”.
10. Buat Papi... atas support ’n back up-nya yaaa.. entah apa jadinya tanpa
Papi??? 
11. Buat Mas Ratman, Mas-ku.. atas segala ketulusan, doa yang selalu
menyejukkan, menjadi Imam ketika Sholat, cinta dan rasa sayang. Mas tuh
kaya kipas angin..menyejukkan hatiku....whuekekekekeke..
12. Buat keluarga di Berkisan, terima kasih telah menerima kehadiranku.

x

13. Buat Fajar ”makasih ya atas doa, dorongan, berbagi pengalaman,
pengetahuan, n specially bantuan merawat Anakku...ahuahua”
14. Sahabat-sahabatku: Tiwi ”Hunnieh, sebaiknya kau memahami makna teman
tidak hanya sekedar ada ketika kau butuhkan!”; Dian ”meski jauh, thanks
supportnya. Katana taon ini nikah?Yuuuuukk..”.
15. Septiyati Purwandari, S.Pd., thank’s yo Ndar..Bu Ndari..dosen bayangan nie
yeee..bimbingan nyampe jam 12 malem gtu looch..whuekekekeke.. Sukses
buat KB Melati ’n Rumahku Tumbuh 
16. Teman-teman di PPCS&Paguyuban Tuna Daksa: Mas Himawan, Pak
Budianto BPOC, Mas Tasik, Mas Udin, Mas Dayat, Mb. Haning, Pak
Widodo, Mb. Nuning dan teman-teman yang lain, terimakasih atas
keterbukaan&penerimaannya sehingga penulis merasakan kemudahan mencari
data. Buat Mas Doddy&Bu Asih ”tanpa totalitas kalian membantu cari
subyek pasti aku ga akan bisa slesain skripsi ini...tak doa’in cepet dapet
momongan yah, amin..amin”,
17. Teman-teman Psikologi 2001: Devi ” makasih banget ya Vi, dah dipinjemin
buku, atas sharing ’n masukannya...”; Special buat Yovie ”makasih dah
diijinin pake skala na”; Seto ”ajarin download software lagi yaaa..”; Sylva,
Jely, Desi...ayo! Tetep SEMANGAT yah!
18. Teman-teman Guru&Tentor, Jeng Risa, Bu Puja-Puji , Bu Hesti, Bu Ningrum,
Bu Ambar, Pak Ali, dan Bu Retno.
19. Dan pihak lain yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang telah banyak
membantu dan memberikan dukungan serta doanya. Terima kasih.

xi

Akhir kata, semoga Allah membalas semua kebaikan dan bantuan kalian
kepada penulis. Penulis menyadari banyak kelemahan dan kesalahan dalam
skripsi ini, karena itu penulis mohon maaf apabila ada kesalahan dalam skripsi ini.
Penulis mengharapkan semoga karya sederhana ini dapat bermanfaat bagi siapa
saja dan bernilai ibadah di sisi Allah SWT.

Yogyakarta, 20 Juni 2009

Penulis

xii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL …………………………………………………………

i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ……………………………..

ii

HALAMAN PENGESAHAN ………………………………………………..

iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ……………………………………………..

iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA …………………………………....

v

ABSTRAK …………………………………………………………………..

vi

ABSTRACT …………………………………………………………………

vii

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ……………….

viii

KATA PENGANTAR ………………………………………………………

ix

DAFTAR ISI ………………………………………………………………...

xiii

DAFTAR TABEL …………………………………………………………....

xvi

DAFTAR LAMPIRAN ………………………………………………………

xvii

BAB I PENDAHULUAN …………………………………………………...

1

A. Latar Belakang Masalah………………………………………….....

1

B. Rumusan Masalah…………………………………………………..

8

C. Tujuan Penelitian …………………………………………..............

8

D. Manfaat Penelitian ………………………………………………....

8

1. Manfaat Teoritis ………………………………………………..

8

2. Manfaat Praktis ………………………………………………...

9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................

8

A. Harga diri ..........................................................................................

10

1. Pengertian Harga Diri .................................................................

10

2. Pembentukan Harga Diri .............................................................

12

3. Aspek-aspek Harga Diri ..............................................................

14

4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Harga Diri ...........................

17

5. Penggolongan Harga Diri ............................................................

22

xiii

B. Penyandang Cacat Tubuh ..................................................................

24

1. Pengertian Cacat Tubuh ..............................................................

24

a. Istilah Cacat Tubuh .................................................................

24

b. Pengertian Cacat Tubuh ..........................................................

25

2. Penyebab Terjadinya Cacat Tubuh .............................................

26

3. Klasifikasi Cacat Tubuh ..............................................................

27

4. Penyandang Cacat Tubuh Dewasa Awal ....................................

30

5. Perbedaan Pria dan Wanita Penyandang Cacat Tubuh ...............

35

C. Perbedaan Tingkat Harga Diri antara Pria dan Wanita Dewasa
Awal Penyandang Cacat Tubuh ........................................................

38

D. Hipotesis ...........................................................................................

42

BAB III METODE PENELITIAN ...............................................................

43

A. Jenis Penelitian ..................................................................................

43

B. Identifikasi Variabel Penelitian .........................................................

43

C. Definisi Operasional Variabel Penelitian ..........................................

43

D. Subyek Penelitian ..............................................................................

46

E. Metode Pengumpulan Data ………………………………………

47

F. Pertanggungjawaban Mutu …………………………………………

49

1. Validitas ………………………………………………………..

49

2. Seleksi Item …………………………………………………….

50

3. Reliabilitas ……………………………………………………...

55

G. Analisis Data ……………………………………………………….

56

1. Uji Asumsi Analisis Data ………………………………………

56

a. Uji Normalitas ………………………………………………

56

b. Uji Homogenitas …………………………………………...

57

2. Pengujian Hipotesis Penelitian …………………………………

57

3. Hasil Tambahan (Kategorisasi) ……………………………….

57

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN …………………..

59

A. Orientasi Kancah …….……………………………..........................

59

B. Deskripsi Subyek ………………………………………………….

61

xiv

C. Hasil Penelitian .……………………………………..……..............

62

1. Deskripsi Penelitian ……………………………………………

62

2. Hasil Uji Asumsi ………………………………………………

62

a. Uji Normalitas ……………………………………………….

62

b. Uji Homogenitas …………………………………………….

63

3. Uji Hipotesis ……………………………………………………

64

4. Hasil Tambahan (Kategorisasi) ………………………………

65

D. Pembahasan ………………………………………………………...
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN …………………………..............

67
72

A. Kesimpulan ………………………………………………………...

72

B. Keterbatasan Penelitian ............................................................

72

C. Saran ……………………………………………………………….

73

DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………….

75

Lampiran ..........................................................................................................

80

xv

DAFTAR TABEL
Tabel 1 Blueprint Skala Harga Diri Sebelum Adaptasi ……………………....... 48
Tabel 2 Pemberian Skor Skala Harga Diri pilihan jawaban favorable ………… 49
Tabel 3 Pemberian Skor Skala Harga Diri pilihan jawaban unfavorable ……… 49
Tabel 4 Blue print Skala Harga Diri Seleksi Item ............................................... 51
Tabel 5 Blue-print Skala Harga Diri untuk Tryout ……………………………

52

Tabel 6 Distribusi Koefisien α Try Out Skala Harga Diri …………………....... 54
Tabel 7 Distribusi Item Sahih untuk Analisis Uji t …………………................

55

Tabel 8 Jumlah Prosentase Subyek Berdasarkan Kategori Usia .........................

61

Tabel 9 Ringkasan Hasil Perhitungan Uji Normalitas K-S Z .............................. 63
Tabel 10 Ringkasan Hasil Perhitungan Uji Homogenitas ................................... 64
Tabel 11 Ringkasan Uji-t ..........................................................................

64

Tabel 12 Ringkasan Mean Teoritik & Mean Empirik .................................

66

Tabel 13 Ringkasan Hasil Uji Beda Mean Pria dan Wanita terhadap Mean
Teoritik .....................................................................................

xvi

66

DAFTAR LAMPIRAN
Skala Harga Diri Sebelum Adaptasi …………………………………………

80

Skala Harga Diri Sesudah Adaptasi …………………………………………

85

Data Hasil Penelitian (Pria) …………………………………………………

92

Data Hasil Penelitian (Wanita) ………………………………………………

96

Uji Reliabilitas Sebelum Tryout ………………………………….............

100

Uji Reliabilitas Hasil Penelitian ……………………………………………..

101

Uji Normalitas ……………………………………………………………….

102

Uji Homogenitas ………………………………………………………….....

103

Uji Hipotesis …………………………………………………………………

104

Uji Beda Mean Empirik dengan Mean Teoritik ……………………………..

105

Surat Keterangan Penelitian …………………………………………………

107

xvii

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Sebagai makhluk sosial, tugas manusia bukan hanya untuk hidup dan
berkembang biak, melainkan juga untuk membangun kehidupan yang beradab
dalam masyarakat. Hari-hari yang dijalani, seharusnya dapat dijadikan
kesempatan untuk mengikis karakter buruk dalam diri dan mengembangkan
kebiasaan yang baik untuk mewujudkan harga diri yang sesungguhnya.
Dengan inilah diharapkan seorang individu bisa menjadi orang yang benarbenar berharga.
Setiap manusia yang ada di dunia ini pasti memiliki harga diri dan
tentunya masing-masing orang selalu menginginkan harga diri yang tinggi.
Harga diri itu sendiri merupakan hasil penilaian oleh seseorang terhadap
dirinya sendiri yang sifatnya relatif tetap (Coopersmith, 1967). Tinggi
rendahnya harga diri seseorang juga berpengaruh dalam kehidupannya seharihari. Harga diri dapat tinggi apabila seseorang sering sukses. Sebaliknya,
harga diri bisa rendah bila terlalu sering mengalami kegagalan hidup,
hilangnya kasih sayang, dan penghargaan dari orang lain. Kepuasan terhadap
terpenuhinya kebutuhan akan harga diri menimbulkan perasaan percaya diri,
kuat, stabil, merasa berguna, dan diperlukan oleh orang lain (Koeswara,
1991).

1

2

Harga diri (self-esteem) merupakan sikap jalan tengah (middle path). Ia
berada di antara dua ekstrimitas sikap “anti-sosial”: minder dan sombong.
Jadi, seorang dengan harga diri sempurna tidak akan minder atas kekurangan
yang dimiliki, tapi juga tidak akan sombong pada kelebihan yang disandang.
Ia akan merasa “bebas” untuk bergaul dengan siapa saja; tanpa memandang
kelebihan/kekurangan materi, tanpa melihat kelebihan/kekurangan fisik, tanpa
peduli dengan kelebihan/kekurangan jabatan/titel rekan bergaulnya. Mereka
menghargai seseorang dari segi kemanusiaannya: bahwa setiap orang
diciptakan sama dan patut mendapat respek yang tidak beda (dalam Syuhud,
2004).
Menurut Maslow (dalam Goble, 1987), setiap orang memiliki dua
kategori kebutuhan akan penghargaan, salah satunya adalah harga diri yang
meliputi kebutuhan akan kepercayaan diri, kompetensi, penguasaan,
kecukupan, prestasi, ketidaktergantungan dan kebebasan. Seseorang yang
memiliki harga diri yang cukup akan memiliki kepercayaan diri serta
kemampuan yang lebih untuk menjadi lebih produktif. Sebaliknya jika harga
dirinya kurang maka ia akan diliputi rasa rendah diri serta tidak berdaya, yang
selanjutnya dapat menimbulkan rasa putus asa serta tingkah laku neurotik.
Berkaitan dengan masalah produktivitas, usia dewasa awal dianggap
sebagai usia yang produktif, karena seorang individu pada usia ini tumbuh
dengan memiliki kekuatan dan ukuran yang sempurna. Masa dewasa awal
yang diawali dari usia 18 hingga 40 tahun, merupakan suatu periode
penyesuaian diri terhadap pola-pola kehidupan dalam harapan-harapan sosial

3

baru. Oleh karena itu, pada masa ini, individu disibukkan dengan sulitnya
menyesuaikan diri dalam berbagai aspek kehidupan. Penyesuaian diri ini
menjadikan periode ini suatu periode yang khusus dan sulit dari rentang hidup
seseorang (Hurlock, 1999). Batasan dewasa secara fisikologis dan psikologis
seperti diungkapkan oleh Mappiere (1983), yaitu: individu-individu yang
disebut dewasa adalah individu-individu yang telah memiliki kekuatan tubuh
secara maksimal dan siap bereproduksi dan telah dapat diharapkan memiliki
kesiapan kognitif, afektif, dan psikomotor, serta dapat memainkan peranannya
bersama dengan individu-individu lain dalam masyarakat.
Sebagai bagian dari kehidupan masyarakat, penyandang cacat tubuh
yang sedang dalam rentang usia dewasa awal juga diharapkan memainkan
peranan baru mereka dalam mengembangkan kekuatan fisik dan psikologis
mereka. Penyandang cacat tubuh dewasa awal juga berhak meningkatkan
kepercayaan diri, memiliki motivasi untuk hidup, dan menjalani proses belajar
yang bertujuan mempertahankan dan memperkuat harga diri (self esteem),
karena dengan memiliki harga diri yang tinggi berarti mereka memiliki
kesempatan untuk menjadi lebih produktif sesuai dengan tugas perkembangan
di usianya. Namun, segala keterbatasan yang mereka miliki akibat cacat tubuh
menumbuhkan kekhawatiran dalam dirinya disebabkan adanya penolakan
sosial dan keraguan bahwa mereka berbeda dan tidak mampu berkompetensi
dalam kemajuan jaman. Keterbatasan fisik pada penyandang cacat tubuh
dinilai sebagai faktor penyebab kegagalan beruntun mereka, akibatnya mereka

4

memiliki harga diri yang rendah, pesimis terhadap kehidupan, perasaan tidak
mampu, dan lain sebagainya (Salim, 1996).
Menurut ilmu kedokteran, cacat tubuh adalah kelainan pada anggota
gerak yang meliputi tulang, otot dan persendian baik dalam struktur maupun
fungsinya sehingga dapat menjadikan rintangan bagi penderita untuk
melakukan kegiatan(Poerwanti, 2000). Kelainan pada anak cacat tubuh dapat
dikelompokkan menjadi dua bagian besar, yaitu kelainan pada sistem serebral
(Cerebral System), dan kelainan pada sistem otot dan rangka (Musculus
Skeletal System). Penyebab keadaan cacat dapat berasal dari penyakit yang
dibawa sejak lahir yang kemudian disebut dengan cacat bawaan dan cacat
yang berasal dari perjalanan hidupnya setelah lahir (acquired) baik merupakan
penyakit maupun kecelakan (Direktorat Pendidikan Luar Biasa, 2006).
Apabila ada istilah “tawar-menawar”, barangkali tidak ada orang yang
mau menerima kondisi kecacatan. Kondisi kecacatan seseorang memang
sudah menjadi kehendak Illahi dan tugas orang yang tidak cacat adalah
membantu memecahkan permasalahan yang disandang penyandang cacat
tubuh. Salah satu dampak sekunder dari kondisi kecacatan pada aspek
kepribadian adalah aspek harga diri yang rendah (Salim, 1996). Bagi
penyandang cacat tubuh dewasa awal, baik pria maupun wanita dalam
mempertahankan harga dirinya ternyata menjadi permasalahan tersendiri. Hal
ini terjadi karena adanya kenyataan bahwa pembentukan harga diri
dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal berupa penilaian
individu terhadap dirinya sendiri, sedangkan faktor eksternal yaitu lingkungan

5

sosial dimana individu tersebut tinggal dan berinteraksi, terkandung di
dalamnya dari pihak keluarga dan masyarakatnya (Coopersmith, 1967).
Penyandang cacat tubuh terkadang dihakimi sebagai ‘an existence
which should not exist’. Mereka merupakan eksistensi yang seharusnya tidak
ada. Kelompok penyandang cacat tubuh ini telah tersub-ordinasi menjadi
masyarakat kelas dua. Suatu prototipe masyarakat yang didesain untuk
menerima diskriminasi fisik dan non-fisik (Raff, 2008).
Bentuk-bentuk ekspresi sosial sebenarnya telah digunakan oleh
penyandang cacat, atau belakangan disebut dengan difable (different ability,
bukan disabled ability), di berbagai negara (Raff, 2008). Mereka membentuk
kelompok-kelompok difable, yang menurut Noesjirwan (dalam Eryunanti,
2000), ketika seorang individu berada dalam sebuah kelompok, diterima dan
dihargai oleh anggota kelompok yang lain, individu tersebut memperoleh
keyakinan bahwa dirinya mempunyai arti dalam suatu kelompok dan
selanjutnya akan timbul perasaan berharga dalam dirinya.
Dengan demikian, komunitas difable berusaha mereduksi paradigma
negatif masyarakat terhadap keberadaan mereka sebagai upaya untuk
memperkuat harga diri mereka, sehingga bukan sekedar mengekspresikan
eksistensi (Raff, 2008). Namun, kelompok minoritas ini, rupanya belum cukup
kuat untuk melawan diskriminasi fisik dan non fisik yang diarahkan pada
mereka. Burton dan Hirshoren (dalam Munandar, 1999) menemukan bahwa
semakin berat kecacatan seseorang, semakin berat tingkat penolakan sosial.
Hal tersebut terjadi karena adanya kesadaran akan adanya reaksi sosial

6

terhadap bentuk tubuh dan bahwa daya tarik fisik berperan penting dalam
hubungan sosial.
Tuhan menciptakan pria dan wanita sesuai dengan peranannya masingmasing. Bagi penyandang cacat tubuh, baik pria maupun wanita juga
diharapkan berusaha untuk memenuhinya peranannya. Peranan ini sangat
terlihat ketika seseorang sedang berada dalam rentang waktu dewasa. H. S.
Becker (dalam Mappiare, 1983) menyatakan bahwa manusia dewasa awal
diharapkan memainkan peranan–peranan baru sebagai suami/istri, orang tua
dan sebagai pemimpin rumah tangga, serta mengembangkan sikap–sikap,
minat–minat dan nilai–nilai dalam memelihara peranan–peranannya yang baru
tersebut. Pria dan wanita tersebut mempunyai peran, motivasi, konsep diri dan
pola tingkah laku yang berbeda satu sama lain.
Pada umumnya bentuk tubuh ideal laki-laki adalah atletis, berotot dan
kekar; sedangkan, bentuk tubuh ideal wanita adalah halus, lemah dan kecil.
Dengan adanya gambaran ideal ini, penyandang cacat tubuh baik pria maupun
wanita merasa malu, tidak puas dengan dirinya, serta merasa tidak berharga,
terlebih bagi seorang wanita yang belum menikah, apabila mengalami cacat
fisik akan lebih berpengaruh daripada pria (Kompas, 2006). Hal ini
dikarenakan, daya tarik fisik semacam penampilan fisik, tubuh, wajah, rambut,
atau pakaian memainkan peranan paling penting dalam diri seorang wanita
(Wolf, 2002).
Menurut Ratnawati dalam penelitiannya (1990) pria penyandang cacat,
termasuk cacat tubuh dinilai lebih tinggi penerimaan dirinya dibanding wanita

7

penyandang cacat. Hal ini dikarenakan selain adanya sifat wanita yang relatif
lebih sensitif serta lebih menitikberatkan pada sifat afektif daripada pria, juga
adanya sifat serta perlakuan yang diterapkan para orang tua terhadap anaknya
yang cacat. Kecacatan berubah menjadi masalah bagi seseorang yang
mengalaminya ketika kondisi cacat tersebut dikaitkan dengan mitos, stigma,
dan kepercayaan-kepercayaan tak berdasar yang berkembang dalam
masyarakat. Keadaan cacat dianggap sebagai aib yang memalukan, sehingga
banyak orang tua menyembunyikan anaknya yang cacat dan cenderung
overprotective terhadap anaknya yang cacat terutama bila anaknya
perempuan. Akibatnya anak itu pun merasa malu dan merasa rendah diri
(Parlin, tanpa tahun).
Diskriminasi terhadap kaum penyandang cacat tubuh juga menimpa
dalam hal seksualitas. Padahal sebagai manusia, penyandang cacat tubuh juga
memiliki hak untuk berkarya, berpartisipasi dalam kehidupan, berserikat,
berkumpul, bekerja, hidup layak, bahkan juga berhak untuk bereproduksi.
Namun sayangnya, di masyarakat tumbuh pemahaman bahwa penyandang
cacat, terutama cacat tubuh adalah bagian masyarakat yang tidak memerlukan
seksualitas. Seorang perempuan penyandang cacat tubuh diklaim tidak akan
bisa melahirkan seorang anak, merawat anak, menjaga dan memelihara
rumah; sedangkan penyandang cacat tubuh pria diragukan kemampuannya
untuk mencukupi semua kebutuhan rumah tangga (Solider, 2008). Dengan
demikian, adanya perasaan tertekan, penolakan sosial dan perasaaan bahwa
dirinya berbeda dan tidak berharga menyebabkan kurangnya perasaan positif

8

pada diri penyandang cacat tubuh terutama wanita, sehingga perasaan seperti
rasa percaya diri dan harga diri dengan sendirinya akan sulit tumbuh
(Munandar, 1999).
Berdasarkan fenomena di atas, peneliti bermaksud untuk mengetahui
apakah ada perbedaan tingkat harga diri antara pria dan wanita dewasa awal
penyandang cacat tubuh.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah dalam penelitian
ini adalah apakah ada perbedaan tingkat harga diri antara pria dan wanita dewasa
awal penyandang cacat tubuh?

C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan
tingkat harga diri antara pria dan wanita dewasa awal penyandang cacat tubuh.

D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoretis
a.

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi ilmu
Psikologi khususnya Psikologi Sosial dan Psikologi Kepribadian.

b.

Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sumber pustaka untuk penelitian
selanjutnya yang berkaitan dengan penyandang cacat tubuh dan harga
diri.

9

2. Manfaat Praktis
a.

Bagi pemerintah, pendidik, dan masyarakat, memberikan wacana
mengenai tingkat harga diri dan perbedaan tingkat harga diri penyandang
cacat tubuh pria dan wanita sebagai bahan refleksi terhadap diskriminasi
dari masyarakat bagi penyandang cacat tubuh.

b.

Sebagai bahan refleksi bagi penyandang cacat tubuh mengenai tingkat
harga dirinya yang bisa selalu dikembangkan meskipun mengalami
diskriminasi.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Harga Diri
1. Pengertian Harga Diri
Harga diri atau self esteem merupakan unsur yang sangat penting dalam
kehidupan manusia. Hal ini disebabkan, dalam harga diri terkandung unsurunsur penghargaan, penerimaan, dan keyakinan diri yang merupakan
kebutuhan-kebutuhan penting manusia. Coopersmith (1967) menyatakan
bahwa harga diri merupakan hasil penilaian yang dilakukan oleh seseorang
pada dirinya sendiri yang sifatnya relatif tetap, diperoleh dari interaksinya
dengan lingkungan, seperti penerimaan, penghargaan, dan perilaku orang lain
terhadap dirinya.
Menurut Coon (dalam Tjahjaningsih, 1994) harga diri adalah suatu
keyakinan yang berasal dari anggapan bahwa diri sendiri berharga. Pendapat
Coon ini sejalan dengan pendapat Bee (dalam Tjahjaningsih, 1994), yang
mengungkapkan bahwa harga diri merupakan penilaian diri terhadap individu
itu sendiri. Hal ini juga dikemukakan oleh Rosenberg (dalam Burn, 1982)
bahwa harga diri adalah perasaan yang dimiliki individu bahwa dirinya
berharga, menerima diri apa adanya, puas dengan apa yang dimilikinya, serta
tidak merasa kecewa terhadap keterbatasan-keterbatasannya.
Branden (1999) mengungkapkan

bahwa harga

diri merupakan

pengalaman intim yang berada dalam inti kehidupan. Harga diri adalah apa
10

11

yang dipikirkan dan dirasakan tentang diri sendiri, bukanlah apa yang
dipikirkan dan dirasakan oleh orang lain tentang siapa diri kita sebenarnya.
Harga diri mempunyai dua komponen yaitu perasaan kompetensi pribadi dan
perasaan nilai pribadi. Dengan kata lain, harga diri merupakan perpadauan
antara kepercayaan diri (self confidence) dengan penghormatan diri (self
respect)
Menurut Maslow (dalam Tjahjaningsih dan Nuryoto, 1994) harga diri
bisa diperoleh melalui penghargaan seseorang terhadap dirinya sendiri
maupun penghargaan dari orang lain. Penghargaan dari diri sendiri meliputi:
kebutuhan prestasi, keunggulan dan kompetisi, kepercayaan diri, kemandirian,
dan kebebasan. Sedangkan penghargaan dari orang lain meliputi: prestise,
kedudukan, kemasyuran dan nama baik, martabat, dan penghargaan. Maslow
(dalam Goebel, 1981) juga mengungkapkan bahwa seseorang yang memiliki
cukup harga diri akan mempunyai sifat percaya diri, lebih mampu menjalani
kegiatannya dengan berhasil. Sebaliknya jika harga diri kurang atau rendah
maka seseorang akan diliputi rasa rendah diri, tidak berdaya dan putus asa.
Klass dan Hodge (1978) menyatakan bahwa harga diri merupakan hasil
evaluasi diri yang dibuat dan dipertahankan individu yang diperoleh dari hasil
interaksi individu dengan lingkungan. Hal itu juga diperkuat oleh Coopersmith
(1967) yang mengemukakan bahwa harga diri tidak dapat lepas dari pengaruh
lingkungan, karena harga diri terbentuk dari interaksi lingkungan, khususnya
lingkungan sosial. Tinggi rendahnya harga diri seseorang juga berpengaruh
pada perilakunya dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Koeswara (1991)

12

kepuasan terhadap terpenuhinya kebutuhan harga diri menimbulkan perasaan
percaya diri, kuat, stabil, merasa berguna dan diperlukan oleh orang lain.
Sebaliknya, kegagalan untuk memenuhi kebutuhan harga diri menyebabkan
timbulnya perasaan inferior, lemah, dan tidak berdaya.
Dari berbagai pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa harga
diri merupakan suatu hasil penilaian atau evaluasi yang dibuat dan
dipertahankan oleh individu terhadap dirinya sendiri, sifatnya relatif tetap,
kualitasnya

(tinggi-rendahnya)

dipengaruhi

oleh

interaksinya

dengan

lingkungan yang menunjukkan tingkat kepercayaan individu bahwa dirinya
mampu, berarti, berhasil dan berharga.
2. Pembentukan Harga Diri
Harga diri bukan merupakan faktor yang dibawa individu sejak lahir,
melainkan terbentuk dari interaksi individu dengan lingkungannya, yaitu
melalui pengalaman seseorang dalam kehidupan sehari-hari bersama individu
lain. Hal ini diperkuat oleh pendapat Clemes, dkk. (1995) bahwa pandangan
seseorang tentang dirinya dan harga dirinya berkembang secara bertahap
sepanjang hidup. Setiap tahap perkembangan memberinya kesan dan perasaan
baru, dan pada akhirnya adalah perasaan menyeluruh tentang diri atau
ketidakmampuan diri.
Coopersmith (1967) menyatakan bahwa pembentukan harga diri
individu dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal
yaitu berupa penilaian individu terhadap dirinya sendiri berdasarkan tingkat
penerimaan dan penghargaan dari orang lain yang dirasakannya. Selain itu,

13

faktor internal dalam pembentukan harga diri juga bisa berupa harapan
individu terhadap dirinya sendiri. Epstein ( dalam Colhoun&Acocella, 1990)
menyatakan bahwa seseorang membuat evaluasi terhadap dirinya sendiri
berdasarkan penilaian antara ”gambaran diri individu” dengan “gambaran
yang diharapkan” ( I could be dan I should be). Selanjutnya Rogers (dalam
Colhoun&Acocella,1990) mengatakan semakin besar ketidaksesuaian antara I
could be dan I should be maka akan mengganggu proses pembentukan harga
diri yang sehat, yaitu semakin rendah harga diri individu tersebut.
Sumbangan faktor eksternal dalam pembentukan harga diri yaitu
lingkungan sosial dimana individu tersebut tinggal dan berinteraksi, terutama
dari keluarga. Setiap individu akan belajar menilai dirinya melalui sikap orang
tua dan anggota keluarga yang lain. Perhatian, penerimaan, dan kasih sayang
dari keluarga akan mempengaruhi perkembangan harga diri seorang individu
(Coopersmith, 1967).
Dalam interaksinya dengan orang lain individu berusaha mengenal
seperti apa orang lain dan seperti apa dirinya. Menurut Rogers (dalam Alwisol
2005) persoalan mengenai “siapa diri” atau "siapa saya" akan membentuk
suatu konsep yang terorganisasi di dalam diri seseorang. Konsep tersebut
kemudian akan membentuk suatu persepsi secara keseluruhan tentang
kualitas, kemampuan, dorongan dan sikap yang dimilikinya dalam
berhubungan dengan orang lain. Hal tersebut kemudian akan membentuk diri
individu yang kemudian akan membentuk harga dirinya.

14

Selain lingkungan keluarga, lingkungan masyarakat dan kelompok sosial
juga berpengaruh bagi pembentukan harga diri seseorang. Brehm & Kassin
(dalam Tjahjaningsih, 1994) mengatakan bahwa apabila individu merasa
ditolak, kurang dicintai dan kurang mendapat penghargaan dari lingkungan
sosialnya, maka individu tersebut akan mengembangkan rasa harga diri yang
kurang baik. Sebaliknya, apabila individu diterima, dicintai, dan dihargai oleh
lingkungannya, maka ia akan membentuk dan mengembangkan harga diri
yang baik.
Selain itu, berdasarkan beberapa penelitian di Indonesia telah
menunjukkan bahwa harga diri dapat ditingkatkan melalui pelatihan-pelatihan,
baik itu pelatihan pengenalan diri, pelatihan sosial, maupun pelatihan
mengembangkan potensi untuk berwirausaha (Handayani, 1998). Hal ini juga
didukung oleh pendapat Ife (1995) yang mengungkapkan bahwa harga diri
bisa ditingkatkan dengan meningkatkan keahlian yang dimiliki. Kemampuan,
keahlian, dan keterampilan yang dimiliki memberikan sumbangan untuk
meningkatkan harga diri. Semakin banyak dan beragam keahlian yang
dimiliki, akan semakin besar penghargaan terhadap diri sendiri.
Dengan demikian, kesimpulannya adalah harga diri berkembang secara
bertahap sepanjang hidup terbentuk dari faktor internal dan faktor eksternal
individu.
3. Aspek-aspek Harga Diri
Menurut Coopersmith (1967) ada empat aspek penting dalam
pembentukan harga diri seseorang, yaitu :

15

a. Power
Power adalah kemampuan untuk mempengaruhi, mengontrol orang
lain dan mengontrol dirinya sendiri. Pada situasi tertentu kebutuhan ini
ditunjukkan dengan penghargaan dan penghormatan dari orang lain. Aspek ini
dapat berupa pengaruh dan wibawa pada seorang individu. Ciri-ciri individu
yang mempunyai aspek ini biasanya menunjukkan sikap asertif.
b. Virtue
Virtue adalah ketaatan pada nilai moral, etika, dan aturan-aturan yang
ada dalam masyarakat. Seseorang yang taat pada aturan-aturan dan ketentuan
ketentuan yang ada dalam masyarakat akan mempunyai perasaan berharga dan
bangga pada diri sendiri. Hal ini disebabkan bahwa dengan menunjukkan
perilaku yang diharapkan dan diinginkan oleh masyarakat, maka orang lain
akan menghargai dan menghormati individu yang bersangkutan sebagai orang
yang berkelakuan baik dan bisa dijadikan teladan. Hal ini akan mendorong
terbentuknya harga diri yang positif, demikian juga sebaliknya. Aspek ini
ditunjukkan dengan bagaimana individu melihat persoalan benar atau salah
berdasarkan moral, norma, dan etika yang berlaku di dalam lingkungan
interaksinya.
c. Significance
Significance adalah keberartian individu dalam lingkungan. Individu
akan merasa berarti jika ada penghargaan, penerimaan, perhatian, dan kasih
sayang dari orang-orang terdekat seperti keluarga, sahabat, atau masyarakat.
Dengan adanya lingkungan yang mendukung, menerima, dan menghargai

16

individu akan membuat individu semakin berarti yang akhirnya membentuk
harga diri yang positif. Sebaliknya, jika lingkungan tidak atau jarang
memberikan stimulus positif yang berupa penerimaan, penghargaan atau
dukungan kepada seorang individu, maka ia akan merasa ditolak dan
kemudian akan mengucilkan diri. Selain itu menurut Noesjirwan (dalam
Eryunanti, 2000) yaitu adanya perasaan individu bahwa dirinya adalah bagian
dari suatu kelompok yang diterima dan dihargai oleh anggota kelompok yang
lain. Individu yang memperoleh keyakinan bahwa dirinya mempunyai arti
dalam suatu kelompok akan timbul perasaan berharga.
d. Competence
Competence adalah kemampuan untuk mencapai apa yang dicitacitakan atau diharapkan. Hal ini berhubungan dengan kemampuan yang
dimiliki individu, dengan adanya kemampuan yang cukup individu merasa
yakin untuk mencapai apa yang dicita-citakan dan mampu mengatasi setiap
masalah yang dihadapinya. Aspek ini didukung oleh pengalaman tentang
kesuksesan yang pernah diraih seseorang yang membuat individu yakin dan
mampu menghadapi setiap masalah, sedangkan pengalaman masa lalu yang
penuh dengan kegagalan akan membuat individu bermasalah dengan harga
dirinya.
Apabila individu menganggap penampilannya atau prestasinya kurang
baik/gagal dapat menimbulkan harga diri yang rendah, sebaliknya apabila
individu merasa berhasil atau berprestasi maka evaluasi terhadap dirinya akan
lebih positif.

17

4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Harga Diri
Harga diri tidak dibawa sejak lahir, namun merupakan faktor yang
terbentuk sepanjang pengalaman hidup individu dalam relasinya dengan
dirinya sendiri dan orang lain. Berikut ini adalah faktor-faktor yang
mempengaruhi harga diri, yaitu :
a. Lingkungan keluarga
Pembentukan harga diri dimulai dari lingkungan keluarga. Kaluarga
merupakan lingkungan pertama dan ter-utama bagi seorang individu. Di
tengah sebuah keluarga seorang anak pertama kali belajar berhubungan
dengan orang lain selain dirinya, seperti orang tua, kakak/adiknya dan anggota
keluarganya yang lain. Hurlock (1999) mengungkapkan bahwa membangun
rasa harga diri harus dilakukan pada saat seseorang masih berada pada usia
anak-anak. Hal ini dikarenakan apa yang sudah tertanam dalam diri individu
ketika masa kecilnya akan terus dibawa sampai individu tersebut beranjak
dewasa.
Menurut Hurlock (1999) seseorang akan belajar menilai dirinya
melalui sikap orang tua dan anggota keluarga yang lain. Dengan demikian, di
dalam kehidupan keluarga, sikap orang tua terhadap anaknya akan
mempengaruhi kepribadian dan perilaku anak. Seorang dewasa yang ketika
masa kecilnya mendapat perhatian, penerimaan, merasa dimengerti dan
dihargai oleh orang tuanya, sehingga ketika dewasa akan tumbuh menjadi
pribadi yang percaya diri dan merasa dirinya berharga. Sedangkan anak yang

18

ditolak dan tidak diperhatikan oleh orang tuanya akan merasa gagal dan
cenderung menjadi anak yang bermasalah (Mappiere, 1983).
Dalam Coopersmith (1967) pengaruh orang tua terhadap harga diri
anak bukan hanya karena siapa mereka dan apa yang mereka percayai, namun
yang terpenting adalah apa yang mereka lakukan. Orang tua yang sering
memuji anaknya, lebih demokratis, penuh penerimaan dan pengungkapan
cinta, tidak mudah menghukum anak, akan cenderung mempengaruhi
perkembangan harga diri anak kearah harga diri yang relatif tinggi.
Sedangkan, pada orang tua yang menerapkan aturan yang kurang jelas, acara
mendidik yang kasar, menunjukkan emosi yang tidak stabil, akan cenderung
mempengaruhi harga diri anak ke arah harga diri yang rendah.
b. Lingkungan sosial
Coopersmith (1967) mengatakan bahwa harga diri dipengaruhi oleh
faktor lingkungan. Seorang individu akan mengevaluasi dirinya melalui
respon yang diberikan oleh orang lain. Adanya penerimaan dari kelompok
terhadap

seseorang

akan

memberikan

perasaan

bangga

yang

bisa

meningkatkan harga dirinya (Hurlock, 1999). Sedangkan penolakan bisa
membuat seseorang frustasi, kecewa, yang akhirnya menunjukkan perilaku
pengunduran atau penarikan diri maupun agresif (Mappiare, 1983). Penarikan
diri menunjukkan adanya perasaan rendah diri dan tidak percaya diri. Hal
tersebut bisa menurunkan tingkat harga diri seseorang.

19

c. Kondisi psikologis individu
Rosenberg (dalam Coopersmith, 1967) mengungkapkan bahwa adanya
beberapa variabel dalam harga diri yang dapat dijelaskan melalui konsep nilai
(value), aspirasi, mekanisme pertahanan diri, pengalaman hidup, dan nilainilai kebajikan.
Nilai adalah sesuatu yang dianggap penting dan berharga dan telah
terinternalisasikan dalam diri individu. Individu akan merasa berharga apabila
mampu melakukan sesuatu sesuai dengan nilai-nilai yang diyakininya.
Aspirasi merupakan penilaian obyektif, jadi apabila seseorang
mempunyai harga diri yang tinggi, orang tersebut akan menilai sesuatu secara
logis, realistis dan obyektif. Akibatnya, jika seseorang menghadapi suatu
masalah dia tidak akan menggunakan mekanisme pertahanan diri.
Pengalaman akan keberartian dan keberhasilan akan membawa
individu kearah harga diri yang tinggi. Individu yang berhasil melakukan
sesuatu sesuai dengan harapan dan keinginannya maka akan menilai dirinya
secara lebih positif.
Nilai-nilai kebajikan yang dimaksud yang berpengaruh dalam
pembentukan harga diri berupa ketaatan individu terhadap standar moral, etika
dan prinsip yang diyakininya. Harga diri yang tinggi akan terbentuk apabila
masyarakat memberi penghargaan terhadap perilaku individu yang menaati
moral, prinsip atau etika dalam masyarakat.

20

d. Kondisi fisik individu
Seseorang yang berpenampilan menarik akan lebih percaya diri dalam
bergaul dan merasa berharga, sedangkan orang yang berpenampilan tidak
menarik dapat menghambat pergaulannya (Hurlock, 1999). Hal ini juga
dijelaskan oleh Mathes&Khan sebagai berikut:
“Dalam interaksi sosial penampilan fisik yang menarik merupakan
potensi yang menguntungkan dan dapat dimanfaatkan untuk
memperoleh berbagai hasil yang menyenangkan bagi pemiliknya.
Salah satu keuntungan yang sering diperoleh ialah bahwa ia mudah
berteman. Orang-orang yang menarik lebih mudah diterima dalam
pergaulannya dan dinilai lebih positif oleh orang lain dibandingkan
teman-teman lainnya yang kurang menarik. Melalui banyaknya halhal positif yang disebabkan oleh penampilan yang menarik ini,
sehingga mereka pun lebih berbahagia dan lebih mudah
menyesuaikan diri daripada mereka yang kurang menarik. Dengan
demikian, sangat mungkin pula banyaknya orang yang
menyukainya terpantul dalam harga diri yang tinggi.” (dalam
Hurlock, 1999)
Masalah penampilan ini berkaitan dengan bentuk tubuh, misalnya
cacat, terlalu gemuk, terlalu kurus, terlalu tinggi, terlalu pendek, dan
sebagainya (Mappiere, 1983). Dalam hal ini penampilan fisik yang kurang
menarik tidak selalu cenderung berpengaruh negatif terhadap harga diri
seseorang tetapi lebih tergantung pada mampu tidaknya seseorang menerima
dirinya apa adanya.
e. Hubungan individu dengan teman/sahabatnya
Dimulai pada masa anak-anak, sebagian besar dari kita membangun
pertemanan dengan teman-teman/sahabat yang memiliki minat yang sama.
Hubungan awal ini, cenderung dari rasa suka yang didasarkan pada efek
positif. Menurut Hartup&Steven (dalam Baron&Byrne, 2003), secara umum,

21

memiliki teman adalah positif sebab teman dapat mendorong self esteem dan
menolong individu dalam mengatasi stres.
f. Konformitas individu terhadap kelompok sosialnya
Sebagai makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri, sudah pasti
setiap individu membutuhkan keberadaan orang lain. Hal ini tercermin dalam
kehidupan bermasyarakat ketika seorang individu membentuk kelompok dan
membagi tugas di dalam kelompok. Melalui kelompok itulah individu dapat
memuaskan keseluruhan kebutuhan yang fundamental dan memperoleh
kesempurnaan yang besar (Ahmadi, 1991). Dari kelompok-kelompok
masyarakat yang ada, sebagai individu yang tergabung di dalamnya timbul
perasaan-perasaan untuk menegaskan diri bahwa dirinya adalah bagian dari
kelompok tersebut atau perasaan tidak ingin berbeda dari yang lain.
Terkadang dari perasaan tersebut, timbullah tingkah laku yang disebut dengan
konformitas sosial, yaitu perubahan perilaku atau keyakinan individu ke arah
kelompok sosial sebagai akibat dari tekanan atau tuntutan kelompok, baik
tuntutan nyata maupun tuntutan yang dibayangkan (Kiesler&Kiesler dalam
Ahmadi, 1996).
Konformitas berkaitan dengan pembentukan harga diri seseorang.
Individu yang memiliki taraf harga diri yang tinggi akan menyukai dirinya dan
melihat bahwa dirinya mampu menghadapi lingkungan sedangkan individu
dengan taraf harga diri rendah mudah dihinggapi rasa takut. Makin tinggi
harga diri maka makin berkurang konformitasnya terhadap kelompoknya
(Sahma, 2008)

22

g. Kondisi sosial ekonomi
Coopersmith (1967) berpendapat bahwa ada hubungan antara harga
diri dengan status sosial. Individu dengan harga diri tinggi lebih banyak
ditemukan pada kalangan sosial ekonomi tinggi. Hal ini disebabkan karena
status sosial ekonomi yang dimiliki seseorang akan memberikan prestise
tertentu dalam masyarakat yang akan mempengaruhi harga diri individu
tersebut.
h. Jenis kelamin
Adanya perlakuan lingkungan yang berbeda terhadap pria dan wanita
bisa berpengaruh terhadap kualitas harga diri seseorang. Pandangan yang
menganggap bahwa wanita lebih rendah daripada pria dapat menyebabkan
harga diri wanita lebih rendah dari pada pria. Hal tersebut terjadi karena
wanita merasa dirinya lebih rendah, kurang mampu dan harus dilindungi oleh
pria (Bachman&O’Malley, 1977).
5. Penggolongan Harga Diri
Harga diri dapat dibedakan menjadi dua, yaitu harga diri tinggi dan
harga diri rendah (Coopersmith, 1967), yaitu :
a. Harga diri tinggi
Orang yang mempunyai harga diri tinggi akan menilai dirinya secara
positif. Mereka mampu menerima dan mengenal diri sendiri dengan segala
keterbatasannya. Coopersmith (1967) menyatakan bahwa orang yang
mempunyai harga diri tinggi percaya bahwa mereka adalah pribadi yang
berhasil, menerima diri, bahagia, bisa memenuhi harapan lingkungan,

23

memandang dirinya sebagai orang yang beruntung dan dapat menikmati
hidup, dapat menerima kegagalan dan keberhasilan secara wajar dan lebih
realistik, menyukai tugas baru yang menantang serta tidak cepat bingung bila
segala sesuatunya berjalan di luar rencana, mempunyai motivasi yang kuat
untuk menghadapi kegagalan, mencoba men