BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teori 2.1.1. Teori Keagenan - RENSI ALITIN NURAINI BAB II

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Landasan Teori 2.1.1. Teori Keagenan Jensen dan Meckling (1976) dalam Harmawan (2013)

  menggambarkan hubungan keagenan (agency relationship) sebagai hubungan yang timbul karena adanya kontrak yang ditetapkan antara

  principal yang menggunakan agent untuk melaksanakan jasa yang

  menjadi kepentingan principal dalam hal terjadi pemisahan kepemilikandan kontrol perusahaan. Ada dua bentuk hubungan keagenan, yaitu antara manajer dan pemegang saham, serta hubungan antara manajer dan pemberi pinjaman(bondholder). Agar hubungan kontraktual dapat berjalan lancar, maka principal akan mendelegasikan otoritas pembuatan keputusan kepada agent. Secara khusus teori keagenan membahas tentang adanya hubungan keagenan, dimana suatu pihak tertentu (principal) mendelegassikan pekerjaan kepada pihak lain (agent) yang melakukan pekerjaan.

  Setiawan (2007) menyatakan bahwa masalah keagenan akan mncul jika kepemilikan dan pengelolaan perusahaan dijalankan secara terpisah. Manajer yang bertindak sebagai pengelolaan dalam suatu perusahaan diberikan kewenangan untuk mengurus jalannya perusahaan dan mengambil keputusan asa nama pemilik. Dengan kewenangan yang dimiliki ini, manajer tidak bertindak yang terbaik untuk kepentingan pemilik karena adanya perbandingan kepentingan (conflict of interest). manajemen puncak perusahaan untuk mengambil keputusan tdak dalam kepentingan terbaik pemegang saham, khususnya bila orang yang opportunis sangat terlibat dalam proses (Jensen dan Meckling, 1976). Tanpa independen dan prosedur pengawasan yang efektif, manajemen puncak perusahaan selalu tergoda untuk menyimpang dari melindungi kepentingan pemegang saham (Fama dan Jensen, 1983).

  Menurut Brigham dan Daves (2003) financial distress terjadi karena serangkaian kesalahan, pengambilan keputusan yang tidak tepat, dan kelemahan-kelemahan yangsaling berhubungan yang dapat menyumbang secaraa langsung maupun tidak langsung kepada manajemen serta tidak adanya atau kurangnya upaya mengawasi kondisi keuangan sehingga penggunaan uang tidak sesuai dengan keperluan (Fachrudin, 2008).

  Keberadaan komite audit penting dalam memoderasi perilaku tim manajemen yang perferensi yaitu dalam memilih suatu alternatif atau keputusan yang memaksimalkan pribadi mereka dari pada kepentingan pemegang saham. Oleh karena itu, komite audit yang efektif dan efisien di perlukan untuk menyelesaikan konflik tersebut dan untuk menjaga kinerja yang baik (Ainudin dan Abdullah, 2001dalam Rahmat et al.,2008).

2.2. Telaah Pustaka Financial Distress

  Fnancial distress adalah suatu kondisi dimana perusahaan

  menghadapi masalah kesulitan keuangan. Menurut Platt dan Platt (2002), financial distress didefinisikan sebagai tahap penurunan kondisi keuangan yang terjadi sebelum terjadinya kebangkrutan ataupun likuidasi. Financial distress dapat dimulai dari kesulitan likuiditas (jangka pendek) sebagai indikasi financal distress yang paling berat (Triwahyuningtias, 2012).

  Menurut Kamaludin dan Karina (2011) dalam Harmawan (2013) menyatakan bahwa financial distress adalah tahap penurunan kondisi keuangan sebelum terjadinya kebangkrutan atau likuidasi.

  Perbedaan dalam mendefinisikan konsep financial distress tergantung dari cara pengukuran masing-masing peneliti. Classens et al. (1999), mendefinisikan perusahaan yang berada dalam kesulitan keuangan sebagai perusahaan yang memiliki interest coverage ratio dari satu.

  Perusahaan yang mengalami financial distress akan mengalami kegagalan membayar utang atau terdapat indikasi kegagalan membayar utang. Nettel Africa (2002) dalam fachrudin (2008) dalam Pembayun (2012) menyatakan bahwa kerugian utama perusahaan yang mempunyai tingkat hutang yang lebih tinggi adalah peningkatan risiko kesulitan keuangan, dan akhirnya likuidasi.

  a.

  Dampak mengalami kegagalan pembayaran (default), tidak sesuai dengan kontrak yang telah disepakati. Kegagalan pembayaran tersebut, mendorong debitor untuk mencari penyelesaian dengan pihak kreditor, yang pada akhirnya dapat dilakukan restrukturisasi keuangan antara perusahaan, kreditor dan invetor (Ross et al, 2010). Perusahaan yang mengalami financial distress (kesulitan keuangan) akan menghadapi kondisi a) tidak mampu memenuhi jadwal atau kegagalan pembayaran kembali utang yang sudah jatuh tempo kepada kreditor. b) perusahaan dalam kondisi tidak

  solvable (insolvency).

  b.

  Faktor Penyebab Financial Distress Menurut Damodaran (1997) dalam Harmawan (2013), kesulitan keuangan dapat disebabkan oleh faktor internal dan eksternal perusahaan. Faktor-faktor penyebab kesulitan keuangan perusahaan, yaitu:

  1) Faktor internal kesulitan keuangan

  Merupakan faktor dan kondisi yang timbul dari dalam perusahaan yang bersifat mikro ekonomi. Faktor internal dapat berupa: a. Kesulitan arus kas penerimaan uang yang bersumber dari penjualan dengan pengeluaran uang untuk pembelanjaan dan terjadinya kesalahan pengelolaan arus kas (cash flow) oleh manajemen dalam pembiayaan operasional perusahaan sehingga arus kas perusahaan berada pada kondisi defisit.

  b. Besarnya jumlah utang Perusahaan yang mampu mengatasi kesulitan keuangan melalui pinjaman bank, sementara waktu kondisi defisit arus kas dapat teratasi. Pada masa depan akan menimbulkan masalah baru yang berkaitan dengan pembayaran pokok dan bunga pinjaman, sekiranya sumber arus kas dari operasional perusahaan tidak dapat menutupi kewajiban pada pihak bank.

  Ketidak mampuan manajemen perusahaan dalam mengatur penggunaan dana pinjaman akan berakibat terjadinya gagal pembayaran (default) yang pada akhirnya timbul penyitaan harta perusahaan yang dijadikan sebagai jaminan bank. c. Kerugian operasional Kerugian operasional perusahaan selama beberapa tahun merupakan salah satu faktor utama yang

  (financial distress). Situasi ini perlu mendapat perhatian manajemen dengan seksama dan terarah.

  Sedangkan menurut Kamaludin dan Pribadi (2011) dalam Harmawan (2013), faktor-faktor yang mempengaruhi financial

  distress antara lain: sensitivitas pendapatan perusahaan terhadap

  aktivitas ekonomi secara keseluruhan, proporsi biaya tetap terhadap biaya variabel, likuiditas dan kondisi pasar dari asset perusahaan, kemampuan kas terhadap bisnis perusahaan. Financial distress dapat ditinjau dari komposisi neraca- jumlah asset dan kewajiban, dari laporan laba rugi – jika perusahaan terus menerus rugi, dan dari laporan arus kas – jika arus kas masuk lebih kecil dari arus kas keluar.

  Semua laporan tersebut merupakan hasil akhir dari siklus akuntansi atau pembukuan perusahaan.

  2) Faktor eksternal kesulitan keuangan

  Faktor eksternal kesulitan keuangan merupakan faktor- faktor diluar perusahaan yang bersifat makro ekonomi yang mempengaruhi baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap kesulitan keuangan perusahaan. Faktor eksternal kesulitan keuangan dapat berupa kenaikan tingkat bunga pinjaman.

  Sumber pendanaan yang berasal dari pinjaman lembaga ditempuh oleh manajemen agar proses produksi dan investasi dapat berjalan lanacar. Konsekuensi dari pinjaman, jika terjadi kenaikan tingkat bunga pinjaman bagi para pelaku bisnis merupakan suatu resiko dan ancaman bagi kelangsungan usaha.

  Financial distress dapat disimpulkan sebagai suatu kondisi yang dialami oleh sebuah perusahaan sebelum mengalami kebangkrutan.

  Para peneliti terdahulu mempunyai pandangan yang berbeda-beda dalam menafsirkan kondisi financial distress. Kondisi financial

  distress mempunyai dampak kegagalan (default) perusahaan dalam

  menyelesaikan kewajibannya kepada pihak ketiga. Kegagalan pembayaran ini akan memicu pihak ketiga untuk mengambil tindakan hukum.

2.2.2. Corporate Governance (Tata Kelola Perusahaan)

  FCGI (Forum Corporate Governance for Indonesia) dalam publikasinya mendefinisikan corporate governance adalah seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara pemegang saham, manajemen, pihak kreditur, pemerintah, karyawan serta para pemegang kepentingan intern dan ekstern lainnya yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban mereka. Oleh karena itu, dapat diambil kesimpulan mengenai tujuan dari corporate governance adalah untuk menciptakan nilai tambah bagi semua pihak yang berkepentingan (stakeholders) (dalam Harmawan, 2013). yang mempengaruhi keputusan yang akan diambil oleh manajer pada pemisahan antara kepemilikan dan pengendalian. Mekanisme

  corporate governance dalam perusahaan dapat menentukan

  kesuksesan perusahaan (dalam Harmawan, 2013). Kesuksesan suatu perusahaan banyak ditentukan oleh karakteristik strategi diantaranya dapat juga mencakup strategi penerapan sistem GCG (Good

  Corporate Governance ) dalam perusahaan. Struktur yang akan

  digunakan dalam penelitian ini adalah komite audit, dewan, dan struktur kepemilikan perusahaan.

  Struktur corporate governance harus didesain agar dapat mendukung jalannya aktivitas organisasi perusahaan secara bertanggung jawab dan terkendali (Harmawan,2013). Corporate

  governance dimaksudkan untuk mengatur hubungan ini dan mencegah

  terjadinya kesalahan signifikan dalam strategi korporasi dan untuk memastikan kesalahan yang terjadi dapat segera diperbaiki.

  Dapat disimpulkan bahwa tujuan utama dari corporate

  governance adalah menciptakan nilai tambah bagi para pemangku

  kepentingan. Corporate governance melalui mekanismenya dapat menentukan kesuksesan sebuah perusahaan. Mekanisme corporate

  governance yang efektif akan meningkatkan tingkat pengawasan oleh

  pemilik perusahaan sehingga kinerja manajer akan semakin terkendali (Harmawan, 2013)

   Komite Audit

  Keberadaan komite audit pada perusahaan publik di Indonesia secara resmi dimulai sejak bulan Juni 2000 yang ditandai dengan keluarnya Keputusan Direksi BEJ No: Ke-315/BEJ/06/2000 perihal: Peraturan Pencatatan Efek Nomor I-A: Tentang Ketentuan Umum Pencatatan Efek Bersifat Ekuitas di Bursa. Pada bagian ini dinyatakan bahwa dalam rangka penyelenggaraan pengelolaan perusahaan yang baik (good corporate governance). Perusahan yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta (sekarang Bursa Efek Indonesia) wajib memiliki komisaris independen, komite audit, sekretaris perusahaan, keterbukaan, dan standar laporan keuangan per sektor. Pembentukan komite audit dilakukan dengan dasar UU No.19 tahun 2003 pasal 70, yang dijabarkan lebih lanjut dalam keputusan Bapepam No.29 tahun 2004 pasal 2. Pembentukan tersebut berkaitan dengan review sistem pengendalian internal perusahaan, memastikan kualitas laporan keuangan, dan meningkatkan efektivitas fungsi audit.

  Peran komite audit adalah untuk mengawasi dan memberi masukan kepada dewan komisaris dalam hal terciptanya mekanisme pengawasan (FCGI, 2002). Komite auidit memberikan pendapat kepada dewan komisaris terhadap laporan atau hal-hal yang disampaikan oleh direksi kepada dewan komisaris, dan melaksanakan tugas-tugas lain yang berkaitan dengan tugas dewan komisaris.

  Pembentukan komite audit merupakan salah satu hal yang ini berperan penting dalam memantau operasi perusahaan dan sistem pengendalian internal dengan tujuan melindungi pemegang saham. Komite audit memberikan kontribusi untuk pengembangan manajemen strategis dari perusahaan dan diharapkan dapat memberikan rekomendasi untuk dewan dengan melihat setiap masalah keuangan dan operasional. Komite audit yang efektif diharapkan untuk fokus pada optimalisasi kekayaan pemegang saham dan mencegah maksimalisasi kepentingan pribadi oleh manajemen puncak (Wanthe, 2000 dalam Nuresa dan Hadiprajitno, 2013).

2.2.3.1.Pertemuan Komite Audit

  Pertemuan komite audit adalah frekuensi pertemuan komite audit. Dalam setiap audit committee charter yang dimiliki oleh masing-masing anggota, komite audit akan mengadakan pertemuan untuk rapat secara periodik dan dapat mengadakan rapat tambahan atau rapat-rapat khusus bila diperlukan. Pertemuan secara periodik ini sebagaimana ditetapkan oleh komite audit sendiri dan dilakukan sekurang- kurangnya sama dengan ketentuan rapat dewan komisaris yang ditentukan dalam anggaran dasar perusahaan. Komite audit biasanya perlu untuk mengadakan pertemuan tiga sampai empat kali dalam satu tahun untuk melaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya (FCGI, 2002 dalam Pembayun, 2012). eksekutif dengan pihak-pihak luar keanggotaan komite audit yang diundang sesuai dengan keperluan atau secara periodik.

  Pihak-pihak luar tersebut antara lain komisaris, manajemen senior, kepala auditor internal dan kepala auditor eksternal.

  Hasil rapat komite audit dituangkan dalam risalah rapat yang ditandatangani oleh semua anggota komite audit. Ketua komite audit bertanggng jawab atas agenda dan bahan-bahan pendukung yang diperlukan serta wajib melaporkan aktivitas pertemuan komite audit kepada dewan komisaris. Apabila komite audit menemukan hal-hal yang diperkirakan dapat mengganggu kegiatan perusahaan, komite audit wajib menyampaikannya kepada dewan komisaris selambat- lambatnya sepuluh hari kerja. Laporan yang dibuat dan disampaikan komite audit kepada komisaris utama adalah:

  1. Laporan triwulan mengenai tugas yang dilaksankan dan realisasi program kerja dalam triwulan bersangkutan.

2. Laporan tahunan pelaksanaan kegiatan komite audit.

3. Laporan atas setiap penguasaan khusus yang diberikan oleh dewan komisaris.

  Penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa komite audit perusahaan memegang peranan yang cukup penting dalam mewujudkan good corporate governace. Melalui karakteristik- karakteristiknya, komite audit diharapkan dapat menjadi lebih efektif dalam mengawasi jalannya perusahaan.

2.2.3.2.Proporsi Komite Audit Independen

  Komite audit independen adalah jumlah komite audit yang independen dalam suatu perusahaan. Anggota independen dikatakan sebagai pengawas yang baik karena di anggap lebih objektif dan kritis dalam hubungannya dengan kebijakan yang dibuat oleh manajemen. Anggota komite audit di persyaratkan berasal dari pihak yang tidak terlibat dengan tugas sehari-hari dari manajemen yang mengelola perusahaan dan memiliki pengalaman untuk melaksanakan fungsi pengawasan secara efektif. Salah satu dari beberapa alasan utama independensi ini adalah untuk memelihara integritas serta pandangan yang obyektif dalam laporan serta penyusunan rekomendasi yang diajukan oleh komite audit, karena individu yang independen cenderung lebih adil dan tidak memihak serta obyektif dalam menangani suatu permasalahan (FCGI, 2002 dalam Harmawan, 2013).

   Ukuran Dewan Direksi

  Dewan direksi (board of directors) berfungsi untuk mengurus perusahaan. Dewan direksi dipilih oleh pemegang saham dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) yang mewakili kepentingan para pemegang saham tersebut. Dewan direksi dalam suatu perusahaan akan menentukan kebijakan yang akan diambil atau strategi perusahaan tersebut secara jangka pendek maupun jangka panjang.

  Menurut Puspitasari (2009) dalam Harmawan (2013), dewan direksi harus mampu merumuskan strategi agar bisnis dapat berjalan secara efektif dan efisien dengan turbulensi kondisi internal dan eksternal.

  Dewan direksi tidak mungkin dapat melakukan tugas dengan baik apabila hanya mengedepankan self interest dan mengabaikan kepentingan para stakeholders. Dengan demikian, anggota dewan direksi harus memiliki reputasi moral yang baik dan kompetensi teknis yang mendukung. Oleh karena itu, untuk memilih anggota dewan direksi diperlukan standar profesionalisme (Harmawan, 2013).

  Dewan direksi memiliki kewajiban untuk menjaga transparansi tersebut tercermin dalam penyampaian informasi secara jujur kepada seluruh stakeholders .

2.2.5. Ukuran Dewan Komisaris

  Dewan komisaris (board of commissioner) berfungsi untuk melakukan pengawasan, sehingga interpretasi dari board of merupakan melakukan monitoring terhadap kinerja direksi sebagai pihak yang mengelola operasional perusahaan. Dewan komisaris bertanggung jawab mengawasi tindakan direksi dan memberikan nasihat kepada direksi jika dipandang perlu.

  Komposisi dewan komisaris harus sedemikian rupa sehingga memungkinkan pengambilan keputusan yang efektif, tepat dan cepat serta dapat bertindak secara independen dalam arti tidak mempunyai kepentingan yang dapat mengganggu kemampuannya untuk melaksanakan tugasnya secara mandiri dan kritis dalam hubungan satu sama lain dan terhadap direksi. Peran komisaris ini diharapkan akan meminimalisir permasalahan agensi yang timbul antara dewan direksi dan pemegang saham. Oleh karena itu, dewan komisaris seharusnya dapat mengawasi kinerja direksi sehingga kinerja yang di hasilkan sesuai dengan kepentingan pemegang saham (Wardhani, 2006 dalam Harmawan, 2013).

  Komposisi dewan komisaris merupakan salah satu karakteristik dewan yang berhubungan dengan kandungan informasi laba.

  Komposisi yang tepat berarti jumlah yang dianggap proposional untuk mewakili pemegang saham. Jadi, ukuran dewan komisaris merupakan jumlah yang dianggap proposional untuk mewakili pemegang saham badan usaha agar dewan komisaris dapat bekerja secara efektif dan menjalankan corporate governance dengan bertanggung jawab kepada

  Dewan komisaris yang merupakanpemegang saham perusahaan mempercayakan sumber daya yang mereka tanamkan untuk dikelola oleh dewan direksi. Dalam mengelola sumber daya tersebut dewan direksi berada dibawah pengawasan dewan komisaris. Dewan direksi harus mampu memberikan informasi yang penuh kebenaran kepada pemegang saham, maka jumlah dewan direksi dan dewan komisaris harus ideal agar tercipta efisiensi.

2.2.6. Struktur Kepemilikan

  Struktur kepemilikan merupakan perbandingan antara jumlah saham yang dimiliki oleh orang dalam (manajemen) dengan jumlah saham yang dimiliki oleh investor (Triwahyuningtias, 2012). Struktur kepemilikan dalam perusahaan merupakan salah satu faktor internal yang mempengaruhi pencapaian tujuan perusahaan. Kepemilikan manajerial didefinisikan sebagai kepemilikan saham yang dimiliki oleh manajemen, dalam hal ini kepemilikan oleh dewan direksi dan dewan komisaris.

  Struktur kepemilikan merupakan salah satu penentu utama pelaksanaan corporate governance dalam perusahaan. Pola kepemilikan dan jenis kepemilikan mempengaruhi struktur kepemilikan dari perusahaan. Berdasarkan pola kepemilikannya, perusahaan dapat dibedakan menjadi 2 yaitu perusahaan terkonsentrasi dan menyebar, sedangkan jenis kepemilikan perusahaan

  2.2.6.1.Kepemilikan Manajerial

  Kepemilikan manajerial didefinisikan sebagai kepemilikan saham yang dimiliki oleh manajemen, dalam hal ini kepemilikan oleh dewan direksi dan dewan komisaris. Kepemiikan manajerial diasumsikan mampu mengurangi tingkat masalah keagenan yang timbul dalam perusahaan (Emrinaldi, 2007 dalam Harmawan, 2013). Hal ini disebabkan dengan adanya kepemilikan oleh manajerial, pengambilan keputusan yang berkaitan dengan perusahaan akan dilakukan dengan tanggung jawab penuh karena sesuai dengan kepentingan pemegang saham dalam hal ini termasuk kepentingan manajemen sebagai salah satu komponen pemilik perusahaan. Kepemilikan olehmanajemen juga akan meningkatkan kontrol terhadap manajemen perusahaan.

  2.2.6.2.Kepemilikan Institusional

  Kepemilikan institusional adalah persentase saham yang dimiliki olehinstitusi dari keseluruhan saham perusahaan yang beredar. Kepemilikan institusional akan mengurangi masalah keagenan karena pemegang saham oleh institusional akan membantu mengawasi perusahaan sehingga manajemen tidak akan bertindak merugikan pemegang saham. Kepemilikan institusional yang besar (lebih dari 5%) akan memberikan (Emrinaldi, 2007 dalam Harmawan, 2013). Dengan adanya kepemilikan institusional, investor cenderung akan lebih percaya terhadap perusahaan tersebut dan hal ini menjadi nilai tambah tersendiri bagi perusahaan.

2.3. Penelitian Terdahulu

  Penelitian Tri Bodroastuti (2009) yang menguji tentang jumlah dewan direksi, jumlah dewan komisaris, kepemilikan publik, jumlah direksi keluar, kepemilikan institusional, kepemilikan direksi dan komisaris. Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel dewan direksi berpengaruh negatif terhadap financial distress, variabel dewan komisaris berpengaruh positif terhadap financial distress sedangkan variabel kepemilikan publik, jumlah direksi keluar, kepemilikan institusional, kepemilikan direksi dan komisaris tidak berpengaruh terhadap financial distress.

  Penelitian Orina Andre (2013) yang menguji tentang profitabilitas, likuiditas, dan leverage. Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel profitabilitas berpengaruh negatif terhadap financial distress, variabel likuiditas tidak berpengaruh terhadap financial distress sedangkan variabel

  leverage berpengaruh positif terhadap financial distress.

  Hanifah, Purwanto (2013) yang menguji tentang ukuran dewan direksi, ukuran dewan komisaris, komisaris independen, kepemilikan manajerial, kepemilikan institusional, ukuran komite audit, likuiditas, menunjukkan bahwa variabel ukuran dewan direksi, kepemilikan manajerial, kepemilikan institusional, dan operating capacity berpengaruh negatif terhadap financial distress. Variabel leverage berpengaruh positif terhadap financial distress, sedangkan variabel ukuran dewan komisaris, komisaris independen, ukuran komite audit dan profitabilitas tidak berpengaruh terhadap financial distress.

  Penelitian Putri, Merkusiwati (2014) yang menguji tentang kepemilikan institusional, komisaris independen, kompetensi komite audit, likuiditas, leverage, dan ukuran perusahaan. Hasil penelitian menujukkan bahwa variabel kepemilikan institusional, komisaris independen, kompetensi komite audit, likuiditas, leverage tidak berpengaruh terhadap

  financial distress , sedangkan variabel ukuran perusahaan berpengaruh negatif terhadap financial distress.

  Penelitian Nuresa, Hadiprajitno (2013) yang menguji tentang ukuran komite audit, independen komite audit, frekuensi pertemuan komite audit, dan pengetahuan keuangan anggota komite audit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel ukuran komite audit, dan independen komisaris audit tidak berpengaruh terhadap financial distress, sedangkan variabel frekuensi pertemuan komite audit, dan pengetahuan keuangan anggota komite audit berpengaruh negatif terhadap financial distress.

  2.4. Kerangka Pemikiran financial distress, sedangkan variabel independen yang digunakan yaitu

  frekuensi pertemuan komite audit, proporsi komite audit independen, ukuran dewan direksi, ukuran dewan komisaris, kepemilikan manajerial, dan kepemilikan institusional.

Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran H1(-)

  Frekuensi Pertemuan Komite Audit (X

  1 )

  Proporsi Komite Audit Independen

   H2(-)

  (X

  2 )

  Ukuran Dewan Direksi (X

  3 ) H3(-)

  Financial Distress (Y) H4(-)

  Ukuran Dewan Komisaris (X

  

4 )

  Kepemilikan Manajerial (X

  

5 )

H5(-) H6(-)

  Kepemilikan Institusional (X

  

6 )

2.5. Hipotesis Penelitian 2.5.1. Pengaruh Frekuensi Pertemuan Komite Audit terhadap Financial

  Distress

  mewajibkan komite audit untuk mengadakan pertemuan tiga sampai empat kali dalam satu tahun. Frekuensi pertemuan tersebut harus jelas terstruktur dan dikontrol dengan baik oleh ketua komite. Collier dan Gregory (1999) dalam Pembayun (2012) mengungkapkan bahwa komite audit yang menyelenggarakan frekuensi pertemuan yang lebih sering memberikan mekanisme pengawasan dan pemantauan kegiatan keuangan yang lebih efektif, meliputi persiapan dan pelaporan informasi keuangan perusahaan.

  Komite audit dapat mencegah dan mengurangi kemungkinan terjadinya kesalahan dalam pembuatan keputusan oleh manajemen karena aktivitas pengendalian internal perusahaan dilakukan secara terus menerus dan terstruktur sehingga setiap permasalahan dapat cepat terdeteksi dan diselesaikan dengan baik oleh manajemen. Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut:

  H : Frekuensi pertemuan komite audit berpengaruh negatif

  1 terhadap Financial Distress

2.5.2. Pengaruh Proporsi KomiteAudit Independen terhadap Financial

  Distress

  Seperti yang tertuang dalam peraturan BEI dan ketentuan yang efektif menyebutkan bahwa komite audit terdiri dari sekurang- kurangnya satu orang komisaris independen dan sekurang-kurangnya dua orang anggota lainnya berasal dari luar perusahaan. Syarat anggota komite audit harus berasal dari pihak ekstern perusahaan yang independen, tidak terlibat dengan tugas sehari-hari dari manajemen yang mengelola perusahaan, serta memiliki pengalaman untuk melaksanakan fungsi pengawasan secara efektif. Dengan adanya komite audit independen bertujuan untuk memelihara integritas serta pandangan yang objektif dalam laporan serta penyusunan rekomendasi yang diajukanoleh komite audit, karena individu yang independen cenderung lebih adil dan tidak memihak serta obyektif dalam menangani suatu permasalahan (FCGI, 2002 dalam Nuresa dan Hadiprajitno, 2013). Adanya anggota independen pada komite audit juga dapat menambah kepercayaan investor terhadap penyajian laporan keuangan dan akan mengurangi kemungkinan perusahaan mengalami kesulitan keuangan. Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut:

  H 2 : Proporsi komite audit independen berpengaruh negatif terhadap Financial Distress

2.5.3. Pengaruh Ukuran Dewan Direksi terhadap Financial Distress

  Dewan direksi merupakan salah satu mekanisme yang sangat penting dalam corporate governance, dimana keberadaannya Wardhani (2006) menyatakan semakin besar jumlah direksinya maka semakin tinggi kemungkinan perusahaan mengalami kondisi tekanan keuangan. Namun hasil bebeda terjadi pada penelitian Emrinaldi (2007) dan Bodroastuti (2009) menyatakan semakin besar jumlah direksi yang dimiliki oleh suatu perusahaan maka kemungkinan perusahaan akan semakin kecil potensi terjadinya kesulitan keuangan. Dari uraian diatas dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut:

  H 3 : Ukuran dewan direksi berpengaruh negatif terhadap Financial Distress 2.5.4.

   Pengaruh Ukuran Dewan Komisaris terhadap Financial Distress

  Dewan komisaris merupakan salah satu mekanisme corporate

  governance yang diperlukan untuk mengurangi agency problem antara

  pemilik dan manajer sehingga timbul keselarasan kepentingan antara pemilik perusahaan dan manajer. Hal ini didukung oleh adanya teori

  agency , sehingga tidak menimbulkan agency cost yang dapat menyebabkan kondisi kesulitan keuangan perusahaan.

  Komposisi dewan komisaris harus sedemikian rupa sehingga memungkinkan pengambilan keputusan yang efektif, tepat dan cepat serta dapat bertindak secara independen. Kecilnya jumlah komisaris berarti fungsi monitoring yang dijalankan dalam perusahaan tersebut relatif lebih lemah, dibandingkan dengan perusahaan yang tidak mengalami tekanan keuangan sehingga hal itu tidak mempengaruhi didukung dengan penelitian Wardhani (2006) dan Parulian (2007) bahwa dewan komisaris berpengaruh terhadap financial distress. Dari uraian diatas dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut:

  H : Ukuran dewan komisaris berpengaruh negatif terhadap

4 Financia Distress 2.5.5. Pengaruh Kepemilikan Manajerial terhadap Financial Distress

  Kepemilikan manajerial diasumsikan mampu mengurangi masalah keagenan yang timbul pada suatu perusahaan yang apabila terjadi terus menerus dapat menimbulkan financial distress pada perusahaan. Short dan Keasey (1999 dalam Emrinaldi, 2007) menyatakan bahwa terdapat hubungan linear antara kepemilikan manajerial dengan nilai perusahaan. Hubungan linear tersebut ditunjukkan dengan kinerja perusahaan. Menurut penelitian Emrinaldi (2007), dengan terjadinya peningkatan pada kepemilikan manajerial maka akan mampu mendorong turunnya potensi kesulitan keuangan.

  Hal ini akan mampu menyatukan kepentingan antara pemegang saham dan manajer sehingga mampu menurunkan potensi terjadinya kesulitan keuangan. Berdasarkan uraian diatas dapat dirumuskan hipotesis:

  H 5 : Kepemilikan manajerial berpengaruh negatif terhadap Financial Distress 2.5.6.

   Pengaruh Kepemilikan Institusional terhadap Financial Distress

  pemanfaatan aktiva perusahaan, sehingga potensi kesulitan keuangan dapat diminimalkan. Hal ini dikarenakan semakin besar kepemilikan institusional akan semakin besar monitor yang dilakukan terhadap perusahaan yang pada akhirnya akan mampu mendorong semakin kecilnya potensi kesulitan keuangan yang mungkin terjadi dalam perusahaan(Emrinaldi, 2007).

  Menurut penelitian yang dilakukan Parulian (2007), adanya kepemilikan saham oleh investor institusional akan dapat lebih mengawasi manajemen dalam melaksanakan operasi sehingga lebih terhindar dari kondisi financial distress. Hal ini dikarenakan dengan kepemilikan oleh investor institusional akan lebih ketat mengawasi manajemen dalam memenuhi penyajian laporan keuangan, maka manajemen relatif tidak mudah menutupi kinerja aktifnya dan harus melaporkan laba bersih dalam laporan keuangan. Berdasarkan uraian diatas dapat dirumuskan hipotesis:

  H : Kepemilikan institusional berpengaruh negatif

  6 terhadap Financial Distress