Anak dengan Berkesulitan Belajar sebuah

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Ilmu pendidikan berpendirian bahwa semua anak miliki perbedaan dalam
perkembangan yang dialami, kemampuan yang dimiliki, dan hambatan yang
dihadapi. Akan tetapi ilmu pendidikan juga berpendirian bahwa meskipun
setiap anak mempunyai perpedaan-perbedaan, mereka tetap sama yaitu
sebagai seorang anak. Oleh karena itu jika kita berhadapan dengan seorang
arang anak, yang pertama harus dilihat, ia adalah seorang anak, bukan label
kesulitannya semata-mata yang dilihat. Dengan kata lain pendidikan melihat
anak dari sudut pandang yang positif, dan selalu melihat adanya harapan
bahwa anak akan dapat berkembang secara optimal sesuai dengan potensi
yang dimilikinya. Sudut pandang seperti inilah yang mendorong para pendidik
untuk bersikap optimis dan tidak pernah menyerah.
Pendidikan

memposisikan

anak

sebagai


pusat

aktivitas

dalam

pembelajaran. Ketika pembelajaran dilakukan maka pertimbangan pertama
yang diperhitungkan adalah apa yang menjadi hambatan belajar dan
kebutuhan anak. Apabila hal itu dapat diketahui maka aktivitas pendidikan
akan dipusatkan kepada apa yang dibutuhkan oleh seorang anak, bukan pada
apa yang diinginkan oleh orang lain. Pendirian seperti itu menganggap
bahwa fungsi pendidikan antara lain untuk memfasilitasi agar anak
berkembang menjadi dirinya sendiri secara optimal sejalan dengan potensi
yang dimilikinya.
Belajar adalah kegiatan yang berproses dan merupakan unsur yang sangat
fundamental dalam setiap penyelenggaraan jenis dan jenjang pendidikan. Hal
ini berarti bahwa berhasil atau gagalnya pencapaian tujuan pendidikan itu
sangat bergantung pada proses belajar yang dialami siswa, baik ketika ia
berada dalam sekolah maupun di lingkungan rumah atau keluarga sendiri.

Oleh sebab itu, ketika seseorang anak mengalami suatu hambatan belajar
maka pencapaian tujuan pembelajaran untuk mencapai hasil maksimal akan
sulit tercapai. Sehingga, mulai dari awal pembelajaran seorang pendidikan

1

2

harus lebih tahu kondisi anak apakah anak mempunyai hambatan
pembelajaran atau tidak dan seperti apakah hambatan tersebut. Untuk
membantu kondisi tersebut, maka kami menyusun Makalah ini yang berjudul
Anak yang Mengalami Hambatan Belajar.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka rumusan masalah dari
Makalah ini diantaranya:
1. Bagaimana konsep dan definisi anak yang mengalami kesulitan belajar?
2. Apa saja terminologi yang digunakan untuk anak yang mengalami
kesulitan belajar?
3. Bagaimana dampak anak yang mengalami kesulitan belajar dalam
perkembangan kognitif?

4. Bagaimana dampak anak yang mengalami kesulitan belajar dalam
perkembangan bahasa?
5. Bagaimana dampak anak yang mengalami kesulitan belajar dalam
perkembangan social-emosi?
6. Bagaimana dampak anak yang mengalami kesulitan belajar dalam perilaku
kehidupan sehari-hari?
7. Bagaimana dampak anak yang mengalami kesulitan belajar dalam
kegiatan pembelajaran?
8. Bagaimana penanganan anak yang mengalami kesulitan belajar?
C. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan dari Makalah ini
diantaranya:
1. Untuk mengetahui konsep dan definisi anak yang mengalami kesulitan
belajar.
2. Untuk mengetahui terminologi yang digunakan untuk anak yang
mengalami kesulitan belajar.
3. Untuk mengetahui dampak anak yang mengalami kesulitan belajar dalam
perkembangan kognitif.

3


4. Untuk mengetahui dampak anak yang mengalami kesulitan belajar dalam
perkembangan bahasa.
5. Untuk mengetahui dampak anak yang mengalami kesulitan belajar dalam
perkembangan social-emosi.
6. Untuk mengetahui dampak anak yang mengalami kesulitan belajar dalam
perilaku kehidupan sehari-hari.
7. Untuk mengetahui dampak anak yang mengalami kesulitan belajar dalam
kegiatan pembelajaran.
8. Untuk mengetahui penanganan anak yang mengalami kesulitan belajar.
D. Manfaat
Adapun manfaat dari Makalah ini diantaranya:
1. Manfaat Teoritis
Untuk menyumbang khazanah ilmu pengetahuan, khususnya dalam
pendidikan di Indonesia. Memberikan sumbangan pemikiran dalam rangka
pengembangan ilmu pendidikan terutama dikaitkan dengan anak yang
mengalami kesulitan belajar.
2. Manfaat Praktis
a. Penulis
1) Sebagai bahan pembelajaran bagi penulis serta tambahan

pengetahuan

sekaligus

untuk

mengembangkan

pengetahuan

penulis dengan landasan dan kerangka teoritis yang ilmiah atau
pengintegrasian ilmu pengetahuan dengan praktek serta melatih
diri dalam menjalankan dan memahami suatu penelitian atau studi
kasus khususnya mengenai kesulitan belajar pada siswa.
2) Sebagai tugas mata kuliah Perkembangan Anak dengan Disabilitas
dan Keberbakatan 2.
b. Pembaca
Sebagai media informasi tentang anak yang mengalami kesulitan
belajar.


BAB II
PEMBAHASAN
A. Konsep dan Definisi Anak yang Mengalami Kesulitan Belajar
Istilah yang digunakan untuk menyebut Anak Berkesulitan Belajar
(ABB) cukup beragam. Keragaman istilah ini disebabkan oleh sudut
pandang ahli yang berbeda-beda. Kelompok ahli bidang medis
menyebutnya dengan istilah brain injured dan minimal brain dysfunction,
kelompok ahli psikolinguistik menggunakan istilah language disorders,
dan selanjutnya dalam bidang pendidikan ada yang menyebutnya dengan
istilah educationally handicaped. Namun istilah umum yang sering
digunakan oleh para ahli pendidikan adalah learning disabilities (Donald,
1967:1) yang diartikan sebagai "Kesulitan Belajar". Karena sifat
kelainannya yang spesifik, kelompok anak yang mengalami kesulitan
belajar ini, disebut Specific Learning Disabilities yaitu Kesulitan Belajar
Khusus (Painting, 1983: Kirk, 1989).
Dalam dunia pendidikan digunakan istilah educationally handicapped
karena anak-anak ini mengalami kesulitan dalam mengikuti proses
pendidikan, sehingga mereka memerlukan layanan pendidikan secara
khusus (special education) sesuai dengan bentuk dan derajat kesulitannya
(Hallahan dan Kauffman, 1991). Layanan pendidikan khusus yang

dimaksud tidak hanya berkaitan dengan kesulitan yang dihadapinya, tetapi
juga dalam strategi atau pendekatan bantuannya.
Istilah yang digunakan oleh para medis adalah brain injured, minimal
brain dysfunction, dengan alasan bahwa dari hasil deteksi secara medis
anak-anak

berkesulitan

belajar

mengalami

penyimpangan

dalam

perkembangan otaknya yang diakibatkan oleh adanya masalah pada saat
persalinan

atau


memang

sejak

dalam

kandungan

mengalami

penyimpangan. Penyimpangan perkembangan otak biasanya tidak
menimbulkan kelainan struktural, akan tetapi penyimpangan tersebut dapat
menimbulkan gangguan fungsi pada otak (Dikot, Y., 1992:6)

4

5

Sementara itu para ahli bahasa menyebutnya dengan istilah language

disorders karena anak-anak berkesulitan belajar mengalami gangguan
dalam berbahasa. Gangguan bahasa yang dimaksud meliputi berbahasa
ekspresif yaitu kemampuam mengemukakan ide atau pesan secara lisan,
dan berbahasa reseptif yaitu kemampuan menangkap ide atau pesan orang
lain yang disampaikan secara lisan.
Adapun pengertian tentang anak berkesulitan belajar khusus,
sebagaimana dijelaskan oleh Canadian Association for Children and
Adults with Learning Disabilities (1981) adalah mereka yang tidak mampu
mengikuti pelajaran di sekolah meskipun kecerdasannya termasuk ratarata, sedikit di atas rata-rata, atau sedikit di bawah rata-rata, dan apabila
kecerdasannya lebih rendah dari kondisi tersebut bukan lagi termasuk
learning disabilities. Keadaan ini terjadi sebagai akibat disfungsi minimal
otak (DMO) yaitu karena adanya penyimpangan dalam perkembangan
otak yang dapat berwujud dalam berbagai kombinasi gejala gangguan
seperti: gangguan persepsi, pembentukan konsep, bahasa, ingatan, kontrol
perhatian atau gangguan motorik. Keadaan ini tidak disebabkan oleh
gangguan primer pada penglihatan, pendengaran, gangguan motorik,
gangguan emosional, retardasi mental, atau akibat lingkungan (Wright,
dkk., 1985).
Public Law (Hallahan dan Kauffman, 1991: 126) menjelaskan tentang
"Specific Learning Disabilities" sebagai gangguan pada satu proses

psikologis dasar atau yang lebih terlihat didalam penggunaan bahasa lisan
dan

tulis

dengan

wujud

seperti

ketidaksempurnaan

mendengar,

memikirkan, membicarakan, membaca, menulis, mengucapkan atau
melakukan penghitungan matematis. Di dalam istilah kesulitan belajar
tercakup kondisi-kondisi halangan persepsi, cedera otak, disfungsi
minimal otak, disleksia, dan aphasi perkembangan. Istilah ini tidak
mencakup anak yang mempunyai masalah yang pada dasarnya sebagai

akibat hambatan visual, pendengaran, tunagrahita, gangguan fisik,
gangguan emosi, lingkungan, budaya, dan ekonomi yang kurang
menguntungkan.

6

The National Joint Committee for Learning Disabilities (NJCLD)
mengemukakan bahwa kesulitan belajar adalah istilah umum yang
digunakan untuk kelompok gangguan yang heterogen yang berupa
kesulitan nyata dalam menggunakan pendengaran, percakapan, membaca,
menulis, berfikir, dan kemampuan matematika. Gangguan ini terdapat
didalam diri seseorang dan dianggap berkaitan dengan disfungsi sistem
syaraf pusat. Sekalipun kesulitan belajar mungkin berdampingan dengan
kondisi-kondisi hambatan lain (misalnya perbedaan budaya, kekurangan
pengajaran, faktor penyebab psikogen), kesulitan belajar bukan akibat
langsung dari kondisi atau pengaruh tersebut.
Memperhatikan ketiga pengertian tentang anak berkesulitan belajar
khusus tersebut, tergambar bahwa sumber penyebabnya yaitu pada
"disfungsi sistem syaraf pusat". Kondisi "disfungsi" menunjukkan adanya
gangguan fungsi dari sistem syaraf sehingga tidak berperan sebagaimana
mestinya. Gangguan yang terjadi pada aspek organis, dan pada proses
psikologis dasar berupa gangguan berbahasa, artikulasi, membaca, menulis
ekspresif

dan

berhitung

tidaklah

bersifat

permanen,

sehingga

memungkinkan kembali berfungsi optimal manakala memperoleh layanan
yang sesuai.
Berdasarkan gambaran di atas, kita dapat membuat batasan yang lebih
ringkas sebagai berikut. “Anak berkesulitan belajar adalah anak yang
mengalami kesulitan dalam tugas-tugas akademiknya, yang disebabkan
oleh adanya disfungsi minimal otak, atau dalam psikologis dasar, sehingga
prestasi belajarnya tidak sesuai dengan potensi yang sebenarnya, dan
untuk mengembangkan potensinya secara optimal mereka memerlukan
pelayanan pendidikan secara khusus”.
1. Karakteristik Anak yang Mengalami Kesulitan Belajar
Mencermati definisi dan uraian di atas tampak bahwa kondisi kesulitan
belajar memiliki beberapa karakteristik utama, yaitu:
a. Gangguan Internal

7

Penyebab kesulitan belajar berasal dari faktor internal, yaitu yang
berasal dari dalam anak itu sendiri. Anak ini mengalami gangguan
pemusatan perhatian, sehingga kemampuan perseptualnya terhambat.
Kemampuan perseptual yang terhambat tersebut meliputi persepsi
visual

(proses pemahaman terhadap objek yang dilihat),

persepsi

auditoris (proses pemahaman terhadap objek yang didengar) maupun
persepsi
yang diraba

taktil-kinestetis
dan

digerakkan).

(proses pemahaman terhadap objek
Faktor-faktor

internal tersebut

menjadi penyebab kesulitan belajar, bukan faktor eksternal (yang
berasal dari luar anak), seperti factor lingkungan keluarga, budaya,
fasilitas, dan lain-lain.
b. Kesenjangan antara Potensi dan Prestasi
Anak berkesulitan belajar memiliki potensi kecerdasan/inteligensi
normal, bahkan

beberapa diantaranya di atas rata-rata.

Namun

demikian, pada kenyataannya mereka memiliki prestasi akademik yang
rendah. Dengan demikian, mereka memiliki kesenjangan yang
nyata antara potensi dan prestasi yang ditampilkannya. Kesenjangan
ini biasanya terjadi pada kemampuan belajar akademik yang spesifik
yaitu pada kemampuan membaca (disleksia), menulis (disgrafia), atau
berhitung (diskalkulia).
c. Tidak Adanya Gangguan Fisik dan/atau Mental
Anak berkesulitan belajar merupakan anak

yang

tidak memiliki

gangguan fisik dan/atau mental. Kondisi kesulitan belajar berbeda
dengan kondisi masalah belajar berikut ini:
1) Tunagrahita

(Mental

Retardation). Anak tunagrahita memiliki

inteligensi antara 50-70. Kondisi tersebut menghambat prestasi
akademik dan adaptasi sosialnya yang bersifat menetap.
2) Lamban Belajar (Slow Learner). Slow learner adalah anak yang
memiliki

keterbatasan potensi kecerdasan, sehingga

proses

belajarnya menjadi lamban. Tingkat kecerdasan mereka sedikit di

8

bawah rata- rata
mereka

merata

dengan IQ antara 80-90. Kelambanan belajar
pada

semua mata pelajaran.

Slow

learner

disebut anak border line (“ambang batas”), yaitu berada di antara
kategori kecerdasan rata-rata dan kategori

mental

retardation

(tunagrahita).
3) Masalah Belajar (Learning Problem). Anak dengan problem belajar
(bermasalah dalam belajar) adalah anak yang mengalami hambatan
belajar karena faktor eksternal. Faktor eksternal tersebut berupa
kondisi lingkungan keluarga, fasilitas belajar di rumah atau di
sekolah, dan lain sebagainya. Kondisi ini bersifat temporer atau
sementara dan mempengaruhi prestasi belajar.
2. Faktor Penyebab Anak yang Mengalami Kesulitan Belajar
Ada beberapa penyebab kesulitan belajar yang terdapat pada litelatur
dan hasil riset (Harwell, 2001), yaitu:
a. Faktor keturunan/bawaan.
b. Gangguan semasa kehamilan, saat melahirkan atau premature. Kondisi
janin yang tidak menerima cukup oksigen atau nutrisi dan atau ibu
yang merokok, menggunakan obat-obatan (drugs), atau meminum
alcohol selama masa kehamilan.
c. Trauma pasca kelahiran, seperti demam yang sangat tinggi trauma
kepala atau pernah tenggelam.
d. Infeksi telinga yang berulang pada masa bayi dan balita.
e. Anak dengan kesulitan belajar biasanya mempunyai system imun yang
lemah.
f. Awal masa kanak-kanak yang sering berhubungan dengan aluminium,
arsenik, merkuri/raksa, dan neurotoksin lainnya.
Riset menunjukkan bahwa apa yang terjadi selama tahun tahun awal
kelahiran sampai umur 4 tahun adalah masa-masa kritis yang penting
terhadap pembelajaran ke depannya. Stimulasi pada masa bayi dan kondisi
budaya juga mempengaruhi belajar anak. Pada masa awal kelahiran
samapi usia 3 tahun misalnya, anak mempelajari bahasa dengan cara

9

mendengar lagu, berbicara kepadanya, atau membacakannya cerita.
Pada beberpa kondisi, interaksi ini kurang dilakukan, yang bisa saja
berkontribusi terhadap kurangnya kemampuan fonologi anak yang dapat
membuat anak sulit membaca (Harwell, 2001).
Sementara Kirk & Ghallager (1986) menyebutkan faktor penyebab
kesulitan belajar sebagai berikut:
a. Faktor Disfungsi Otak
Penelitian mengenai disfungsi otak dimulai oleh Alfred Strauss di
Amerika Serikat pada akhir tahun 1930-an, yang menjelaskan
hubungan kerusakan otak dengan bahasa, hiperaktivitas dan kerusakan
perceptual. Penelitian berlanjut ke area neuropsychology yang
menekankan adanya perbedaan pada hemisfer otak. Menurut Wittrock
dan Gordon, hemisfer kiri otak berhubungan dengan kemampuan
sequential linguistic atau kemampuan verbal; hemisfer kanan otak
berhubungan dengan tugas-tugas yang berhubungan dengan auditori
termasuk melodi, suara yang tidak berarti, tugas visual-spasial dan
aktivitas nonverbal. Temuan Harness, Epstein dan Gordon mendukung
penemuan sebelumnya bahwa anak-anak dengan kesulitan belajar
menampilkan kinerja yang lebih baik daripada kelompoknya ketika
kegiatan yang mereka lakukan berhubungan dengan otak kanan, dan
buruk ketika melakukan kegiatan yang berhubungan dengan otak kiri.
Gaddes

mengatakan

bahwa

15%

dari

anak

yang

termasuk

underachiever, memiliki disfungsi system syaraf pusat (dalam Kirk &
Ghallager, 1986).
b. Faktor Genetik
Hallgren melakukan penelitian di Swedia dan menemukan bahwa,
yang factor herediter menentukan ketidakmampuan dalam membaca,
menulis dan mengeja diantara orang-orang yang didiagnosa disleksia.
Penelitian lain dilakukan oleh Hermann (dalam Kirk & Ghallager,
1986) yang meneliti disleksia pada kembar identik dan kembar
tidak identik yang menemukan bahwa frekwensi disleksia pada

10

kembar identik lebih banyak daripada kembar tidak identik sehingga ia
menyimpulkan bahwa ketidakmampuan membaca, mengeja dan
menulis adalah sesuatu yang diturunkan.
c. Faktor Lingkungan dan Malnutrisi
Kurangnya stimulasi dari lingkungan dan malnutrisi yang terjadi di
usia awal kehidupan merupakan dua hal yang saling berkaitan yang
dapat

menyebabkan

Cruickshank

dan

munculnya kesulitan belajar

Hallahan (dalam

Kirk

pada anak.

& Ghallager,

1986)

menemukan bahwa meskipun tidak ada hubungan yang jelas antara
malnutrisi dan kesulitan belajar,

malnutrisi berat

pada

usia

awal

akan mempengaruhi sistem syaraf pusat dan kemampuan belajar serta
berkembang anak.
d. Faktor Biokimia
Pengaruh penggunaan obat atau bahan kimia

lain terhadap

kesulitan belajar masih menjadi kontroversi. Penelitian yang dilakukan
oleh Adelman

dan Comfers

menemukan bahwa
mengurangi

obat

hiperaktivitas.

(dalam Kirk & Ghallager,

stimulant
Namun

dalam

1986)

jangka pendek dapat

beberapa

penelitian Levy (dalam Kirk & Ghallager, 1986)

tahun

kemudian

membuktikan hal

yang sebaliknya.
Penemuan kontroversial oleh Feingold menyebutkan bahwa alergi,
perasa dan pewarna buatan hiperkinesis

pada anak yang

kemudian

akan menyebabkan kesulitan belajar. Ia lalu merekomendasikan diet
salisilat

dan

bahan

mengalami kesulitan

makanan buatan
belajar.

Pada

kepada

anak-anak yang

sebagian anak,

diet ini

berhasil namun ada juga yang tidak cukup berhasil. Beberapa ahli
kemudian

menyebutkan

bahwa memang

ada

beberapa

anak

yang tidak cocok dengan bahan makanan. Mulyono Abdurrahman
mengatakan bahwa prestasi belajar dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu
internal dan eksternal. Faktor Internal, yaitu kemungkinan adanya

11

disfungsi neurologis, sedangkan penyebab utama problema belajar
adalah factor eksternal, yaitu antara lain berupa strategi pembelajaran
yang keliru, pengelolaan kegiatan belajar yang tidak membangkitkan
motivasi belajar anak, dan pemberian ulangan penguatan. Hal-hal yang
dapat mempengaruhi faktor neurologis yakni:
1) Faktor genetik
2) Luka pada otak (kekurangan oksigen)
3) Faktor biokimia
4) Pencemaran lingkungan
5) Gizi yang tidak memadai (nutrisi)
6) Pengaruh psikologis dan sosial yang merugikan anak.
3. Klasifikasi Anak yang Mengalami Kesulitan Belajar
a. Kesulitan Belajar Perkembangan (Praakademik)
Kesulitan yang bersifat perkembangan meliputi:
1) Gangguan Perkembangan Motorik
Gangguan
mencakup

perkembangan

gangguan

pada

motorik
motorik

disebut

kasar,

dispraksia,

motorik

halus,

penghayatan tubuh, pemahaman keruangan dan lateralisasi (arah)
gerak.
Dispraksia atau sering disebut clumsy adalah keadaan sebagai
akibat adanya gangguan dalam intelegensi audiotori-motorik. Anak
tidak mampu melakukan gerakan anggota tubuh dengan benar
walaupun tidak ada kelumpuhan anggota tubuh. Manifestasinya
dapat berupa disfasia verbal (bicara) dan non verbal (menulis,
bahasa isyarat, dan pantomim). Ada beberapa jenis dispraksia,
yaitu:
a) Dispraksia

ideomotoris

ditandai

dengan

kurangnya

kemampuan dalam melakukan gerakan praktis sederhana,
seperti menggunting, menggosok gigi, atau menggunakan
sendok makan. Gerakannya terkesan canggung dan kurang

12

luwes. Dispraksia ini sering merupakan kendala bagi
perkembangan bicara.
b) Dispraksia ideosional ditandai anak dapat melakukan gerakan
kompleks

tetapi

tidak

mampu

menyelesaikan

secara

keseluruhan terutama dalam kondisi lingkungan yang tidak
tenang. Kesulitannya terletak pada urutan gerakan, anak sering
bingung mengawali suatu aktivitas, misalnya mengikuti irama
musik.
c) Dispraksia
mengalami

konstruksional
kesulitan

ditemukan

dalam

pada

melakukan

anak

yang

gerakan-gerakan

kompleks yang berkaitan dengan bentuk, seperti menyusun
balok dan menggambar. Kondisi ini dapat mempengaruhi
gangguan menulis (disgrafia). Hal ini disebabkan karena
kegagalan dalam konsep visiokonstuktif.
d) Dispraksia oral sering ditemukan pada anak yang mengalami
disfasia perkembangan (gangguan perkembangan bahasa).
Anak mempunyai gangguan dalam bicara karena adanya
gangguan dalam konsep gerakan motoric di dalam mulut.
Berbicara dipandang sebagai bentuk gerakan halus dan
terampil dalam rongga mulut sehingga anak kurang mampu
jika diminta menirukan gerakan, misalnya menjulurkan atau
menggerakan lidah, menggembungkan pipi, menarik bibir
kedepan dan sebagainya.
2) Gangguan Perkembangan Bahasa (Disfasia)
Disfasia adalah ketidakmampuan atau keterbatan kemampuan
anak menggunakan simbol linguistik dalam rangka berkomunikasi
secara verbal. Gangguan pada anak yang terjadi pada fase
perkembangan ketika anak belajar berbicara disebut disfasia
perkembangan (developmental dysphasia).
Disfasia ada dua jenis, yaitu disfasia reseptif dan disfasia
ekspresif. Pada disfasia reseptif anak mengalami gangguan

13

pemahaman dalam penerimaan bahasa. Anak dapat mendengar
kata-kata yang diucapkan, tetapi tidak mengerti apa yang didengar
karena mengalami gangguan dalam memproses stimulus yang
masuk. Pada disfasia ekpresif, anak tidak mengalami gangguan
pemahaman bahasa. Tapi ia sulit mengekspresikan kata secara
verbal. Anak dengan gangguan perkembangan bahasa akan
berdampak pada kemampuan membaca dan menulis.
3) Gangguan Perkembangan Sensorik (Penginderaan)
Gangguan pada

kemampuan menangkap

rangsang dari luar

melalui alat-alat indera. Gangguan tersebut mencakup pada proses
penglihatan, pendengaran, perabaan, penciuman, dan pengecap.
4) Gangguan Perkembangan Perseptual (Pemahaman atau apa yang
diinderai)
Gangguan pada kemampuan mengolah dan

memahami

rangsang dari proses penginderaan sehingga menjadi informasi
yang bermakna. Bentuk-bentuk gangguan tersebut meliputi:
a) Gangguan

dalam Persepsi Auditoris,

berupa kesulitan

memahami objek yang didengarkan.
b) Gangguan dalam Persepsi Visual, berupa kesulitan memahami
objek yang dilihat.
c) Gangguan dalam Persepsi Visual Motorik, berupa kesulitan
memahami objek yang bergerak atau digerakkan.
d) Gangguan Memori, berupa ingatan jangka panjang dan pendek.
e) Gangguan dalam Pemahaman Konsep.
f) Gangguan Spasial, berupa pemahaman konsep ruang.
g) Gangguan Perkembangan Perilaku
h) Gangguan pada kemampuan menata dan mengendalikan diri
yang bersifat internal dari dalam diri anak. Gangguan tersebut
meliputi: ADD (Attention Deficit Disorder) atau gangguan

14

perhatian, ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder)
atau gangguan perhatian yang disertai hiperaktivitas.
b. Kesulitan Belajar Akademik
Kesulitan Belajar akademik terdiri atas:
1) Disleksia atau Kesulitan Membaca
Disleksia berasal dari kata dys yang bermakna “kesulitan”. Dan
lexis yang berarti “bahasa”. Jadi, disleksia secara harfiah berarti
kesulitan dalam berbahasa. Anak disleksia tidak hanya mengalami
kesulitan dalam membaca, tetapi menulis, dan beberapa aspek
bahasa yang lain. Kesulitan pada anak disleksia tidak sebanding
dengan tingkat inteligensi ataupun motivasi yang dimiliki untuk
kemampuan membaca dengan lancar dan akurat. Sebab, anak
disleksia biasanya mempunyai level inteligensi normal atau bahkan
sebagian diantaranya di atas rata-rata.
Disleksia
neurobiologist.

merupakan
Disleksia

kelainan
ditandai

dengan
dengan

dasar

gejala

kesulitan

dalam

mengenali kata secara tepat dan akurat, mengeja, serta mengode
symbol. World Federation of Neurology mendefinisikan disleksia
sebagai gangguan yang dimanifestasikan dengan kesulitan belajar
membaca meskipun memiliki instruksi konvensional, kecerdasan,
serta kesempatan sosial budaya yang memadai. Sejumlah ahli juga
mendefinisikan disleksia sebagai suatu kondisi pemrosesan input
atau informasi yang berbeda dari anak normal. Kondisi tersebut
sering ditandai dengan kesulitan dalam membaca yang dapat
memengaruhi area kognisi, seperti daya ingat, kecepatan
memproses input, kemampuan mengatur waktu, aspek koordinasi,
serta pengendalian gerak. Disleksia juga dapat ditandai kesulitan
visual dan fonologis di mana biasanya terdapat perbedaan
kemampuan di berbagai aspek perkembangan. Secara lebih khusus,
anak yang mengalami disleksia biasanya mengalami lima masalah.

15

Pertama, masalah fonologi. Maksud dari fonologi adalah
hubungan sistematik antara huruf dan bunyi. Misalnya, seorang
anak mengalami kesulitan membedakan kata paku dengan "palu";
atau keliru memahami kata-kata yang mempunyai bunyi cukup
mirip, misalnya "lima puluh dengan "lima belas" Kesulitan ini
bukan disebabkan masalah pendengaran, melainkan terkait proses
pengolahan input di dalam otak.
Kedua, masalah mengingat perkataan. Kebanyakan anak
disleksia mempunyai level inteligensi normal atau bahkan di atas
rata-rata. Akan tetapi, mereka mempunyai kesulitan dalam hal
mengingat perkataan. Seorang anak yang mengidap disleksia
mungkin sulit menyebutkan nama teman-temannya sehingga
memilih untuk memanggilnya dengan sebutan "temanku di
sekolah" atau "temanku laki-laki yang itu". Boleh jadi, ia dapat
menjelaskan suatu cerita, tetapi tidak dapat mengingat jawaban
untuk suatu pertanyaan sederhana.
Ketiga, masalah penyusunan yang sistematis/berurutan. Anak
disleksia mengalami kesulitan menyusun sesuatu secara berurutan,
misalnya susunan bulan dalam setahun, hari dalam seminggu, atau
urutan huruf dan angka. Penderita disleksia sering lupa terhadap
susunan aktivitas yang sudah direncanakan sebelumnya, sebagai
contoh, seorang anak lupa setelah pulang sekolah langsung pulang
ke rumah atau pergi ke tempat latihan sepak bola. Padahal, orang
tua sudah mengingatkannya, bahkan boleh jadi sudah ditulis di
dalam agenda kegiatannya. Anak disleksia juga mengalami
kesulitan yang berhubungan dengan perkiraan terhadap waktu.
Misalnya, seorang anak kesulitan memahami instruksi berikut.
“Waktu untuk mengerjakan soal ujian 45 menit. Sekarang tepat
pukul 08.00. Nanti 15 menit sebelum waktu berakhir, Ibu Guru
akan mengetuk meja satu kali". Selain contoh tersebut, anak
disleksia juga dibuat bingung dengan perhitungan uang sederhana.

16

Misalnya, ia merasa ragu uangnya cukup untuk membeli sepotong
kue atau tidak.
Keempat, masalah ingatan jangka pendek. Anak disleksia
mengalami kesulitan memahami instruksi panjang dalam waktu
pendek. Sebagai contoh, ibu menyuruh anak dengan kalimat
berikut. "Simpan tas di kamarmu di lantai atas! Setelah itu, segera
ganti pakaian, cuci kaki dan tangan, lalu turun ke bawah lagi untuk
makan siang bersama lbu, tetapi jangan lupa bawa buku PR
matematikanya." Kemungkinan besar, anak disleksia tidak mampu
melakukan seluruh instruksi tersebut secara sempurna. Sebab, ia
tidak mengingat seluruh perkataan ibunya.
Kelima, masalah pemahaman sintaksis. Anak disleksia sering
mengalami kebingungan dalam memahami tata bahasa terutama
jika dalam waktu bersamaan mereka menggunakan dua atau lebih
bahasa yang mempunyai struktur dan kaidah berbeda. Anak
disleksia mengalami masalah dengan bahasa kedua apabila
pengaturan tata bahasanya berbeda daripada bahasa pertama.
Sebagai contoh, dalam bahasa Indonesia dikenal susunan
diterangkan-menerangkan (contohnya tas merah, buku biru, dan
sebagainya). Namun, dalam bahasa Inggris, pola yang digunakan
adalah menerangkan-diterangkan (red bag, blue book, dan
sebagainya).
Masalah-masalah tersebut semakin jelas karena penelitian
terkini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan anatomi antara
otak anak disleksia dengan anak normal. Perbedaan tersebut
terletak di bagian temporal-parietal oksipitalnya (otak bagian
samping

dan

belakang).

Pemeriksaan

functional

magnetic

resonance imaging untuk memeriksa otak saat dilakukan akti-vitas
membaca ternyata menunjukkan bahwa aktivitas otak individu
disleksia jauh berbeda dengan manusia normal. Dalam hal ini,
perbedaan yang paling utama terletak pada pemrosesan input huruf

17

ataupun kata yang dibaca, lalu diterjemahkan menjadi suatu
makna. Tanda-tanda anak mengalami diseleksia:
a) Kesulitan mengenali ataupun mengeja huruf
b) Kesulitan membuat pekerjaan tertulis secara terstruktur
misalnya esai.
c) Sering tertukar dalam menuliskan huruf, misalnya "b" tertuka
tertukar dengan "d", "p" tertukar dengan "q”, “m” dengan "w",
serta "s" tertukar dengan "z”
d) Daya ingat jangka pendek buruk
e) Kesulitan memahami kalimat yang dibaca atau didengar
f) Bentuk tulisan tangan buruk.
g) Mengalami kesulitan mempelajari tulisan sambung.
h) Ketika mendengarkan sesuatu, rentang perhatiannya pendek.
i) Kesulitan mengingat kata-kata.
j) Kesulitan dalam diskriminasi visual
k) Kesulitan dalam persepsi spasial.
l) Kesulitan mengingat nama-nama.
m) Mengalami kesulitan atau lambat dalam mengerjakan pekerjaan
rumah.
n) Kesulitan memahami konsep waktu.
o) Sulit membedakan huruf vokal dengan konsonan.
p) Kebingungan atas konsep alfabet dan simbol.
q) Kesulitan mengingat rutinitas aktivitas sehari-hari.
r) Kesulitan membedakan kanan kiri.
s) Membaca lambat, terputus-putus, serta tidak tepat.
Perhatikan beberapa contoh berikut ini,
(1) Menghilangkan atau salah membaca kata penghubung,
seperti"di", "ke", pada", dan sebagainya.
(2) Mengabaikan kata awalan pada waktu membaca misalnya
"menulis" hanya dibaca "tulis".
(3) Tidak dapat membaca atau membunyikan perkataan yang
tidak pernah dijumpai.

18

(4) Kata saling tertukar, misalnya "dia" dengan ada". "sama"
dengan "masa", "lagu" dengan "gula", "batu" dengan
"buta”, tanam dengan “taman", "dapat" dengan “padat”.
“mana" dengan "nama", dan sebagainya.
Kesulitan belajar membaca sering disebut disleksia. Kesulitan
belajar membaca yang berat dinamakan aleksia. Disleksia
atau kesulitan membaca adalah kesulitan untuk memaknai simbol,
huruf, dan angka melalui persepsi visual dan auditoris. Hal ini akan
berdampak

pada

kemampuan membaca pemahaman. Adapun

bentuk-bentuk kesulitan membaca di antaranya berupa:
a) Penambahan (Addition)
Menambahkan huruf pada suku kata.
Contoh: suruh  disuruh; gula  gulka; buku  bukuku
b) Penghilangan (Omission)
Menghilangkan huruf pada suku kata.
Contoh: kelapa  lapa; kompor  kopor; kelas  kela
c) Pembalikan kiri-kanan (Inversion)
Membalikkan bentuk huruf, kata, ataupun angka dengan arah
terbalik kirikanan.
Contoh: buku  duku; palu  lupa; 3  µ; 4  ¼
d) Pembalikan atas-bawah (ReversalI)
Membalikkan bentuk huruf, kata, ataupun angka dengan arah
terbalik atas-bawah.
Contoh: m  w; u  n; nana  uaua; mama  wawa; 2  5; 6  9
e) Penggantian (Substitusi)
Mengganti huruf atau angka.
Contoh: mega  meja; nanas  mamas; 3  8
Ada dua tipe disleksia, yaitu dileksi audiotoris dan disleksia
visual. Gejala-gejalan disleksia audiotoris sebagai berikut:

19

a) Kesulitan dalam diskriminasi audiotoris dan persepsi sehingga
mengalami kesulitan dalam analisis fonestik, contohnya anak
tidak dapat membedakan kata ‘kakak, katak, kapak’.
b) Kesulitan analisis dan sintesis audiotoris, contohnya ‘ibu’ tidak
dapat diuraikan menjadi ‘i-bu’ atau problem sintesa ‘p-i-ta’
menjadi ‘pita’. Gangguan ini dapat menyebabkan kesulitan
membaca dan mengeja.
c) Kesulitan reaudiotoris bunyi atau kata. Jika diberi huruf tidak
dapat mengingat bunyi huruf atau kata tersebut, atau kalau
melihat kata tidak dapat mengungkapkannya walaupun
mengerti arti kata tersebut.
d) Membaca dalam hati lebih baik dari pada membaca lisan.
e) Kadang-kadang disertai gangguan urutan audiotoris.
f) Anak cenderung melakukan aktivitas visual.
Gejala-gejala disleksia visual adalah sebagai berikut:
a) Tendensi terbalik, misalnya b dibaca d, p menjadi g, u menjadi
n, m menjadi w, dan sebagainya.
b) Kesulitan diskriminasi, mengacaukan huruf atau kata yang
mirip.
c) Kesulitan mengikuti dan mengingat urutan visual. Jika diberi
huruf cetak untuk menyusun kata mengalami kesulitan,
misalnya ‘ibu’ menjadi ubi atau iub.
d) Memori visual terganggu.
e) Kecepatan presepsi lambat.
f) Kesulitan analisis dan sintesis visual.
g) Hasil tes membaca buruk.
h) Biasanya lebih baik dalam kemampuan aktivitas audiotori.
2) Disgrafia atau Kesulitan Menulis
Disgrafia adalah kesulitan seseorang dalam menulis, terlepas
dari kemampuannya untuk membaca. Kesulitan belajar menulis

20

yang berat disebut agrafia. Menurut Feldmen, disgrafia berasal dari
bahasa Yunani dengan makna kesulitan khusus yang membuat anak
sulit menulis atau mengekspresikan pikirannya dalam bentuk
tulisan dan menyusun huruf-huruf.
Disgrafia disebabkan oleh faktor neurologis, yakni gangguan
pada otak kiri depan yang berhubungan dengan kemampuan
menulis. Kelainan neurologis ini berwujud hambatan secara fisik,
seperti tidak dapat memegang pensil dengan mantap ataupun hasil
tulisantangan yang buruk. Anak dengan gangguan disgrafia
sejatinya mengalami kesulitan dalam mengharmonisasikan ingatan
dengan penguasaan gerak otot secara otomatis saat menulis huruf
dan angka.
Kesulitan menulis biasanya menjadi problem utama dalam
rangkaian gangguan belajar terutama pada anak yang berada di
tingkat sekolah dasar (SD). Kesulitan dalam menulis sering kali
juga disalah artikan sebagai kebodohan oleh orang tua dan guru.
Akibatnya, seorang anak yang bersangkutan merasa frustrasi
karena pada dasarnya ia sangat ingin mengekspresikan dan
mentransfer pikiran dan pengetahuannya dalam bentuk tulisan.
Akan tetapi, ia memiliki hambatan untuk melakukan hal itu.
Sebagai langkah awal dalam menghadapi anak yang mengalami
disgrafia, orang tua dan guru harus memiliki pemahaman yang
tepat. Disgrafia bukan disebabkan tingkat inteligensi yang rendah,
kemalasan, sikap asal-asalan, ataupun keengganan dalam belajar.
Gangguan ini juga bukan akibat kurangnya perhatian orang tua dan
guru terhadap anak ataupun keterlambatan proses visual motorik.
Sebuah penelitian di Amerika menunjukkan bahwa kasus
kesulitan belajar yang terkait ketidakmampuan menulis (disgrafia)
lebih banyak ditemui pada anak laki-laki. BerkebalikaN dengan
kesulitan membaca seperti disleksia, penelitian tentang kesulitan
menulis masih sangat minim sehingga angka kasusnya juga tidak
jelas. Pada penelitian terbaru yang melibatkan lebih dari 5.700

21

anak, sekitar 7-15 persen dari jumlah tersebut diketahui mengalami
gangguan baca-tulis semasa duduk di bangku sekolah. Persentase
ini bervariasi karena bergantung pada kriteria yang dipakai untuk
mendiagnosis masalah. Dalam hal ini, anak laki-laki memiliki
kecenderungan 2-3 kali lebih beresiko terdiagnosis tidak mampu
membaca dibanding perempuan-apapun jenis kriteria yang
digunakan.
Secara spesifik, penyebab disgrafia tidak diketahui secara pasti.
Namun demikian, apabila kelainan tersebut terjadi secara tiba-tiba,
baik pada anak maupun orang yang telah dewasa maka disgrafia
diduga disebabkan oleh trauma kepala, entah akibat kecelakaan,
penyakit, dan sebagainya. Selain itu, para ahli juga menemukan
bahwa anak yang menderita disgrafia terkadang mempunyai
anggota keluarga dengan gejala serupa. Dengan demikian, ada
kemungkinan faktor herediter ikut berperan dalam disgrafia.
Sebagaimana telah diuraikan, disgrafia sering disebabkan faktor
neurologis, yakni adanya gangguan pada otak bagian kiri depan
yang berhubungan dengan kemampuan membaca dan menulis.
Anak mengalami kesulitan dalam harmonisasi secara otomatis
antara kemampuan mengingat dan menguasai gerakan otot saat
menuliskan huruf dan angka. Kesulitan ini tidak terkait dengan
masalah kemampuan intelektual, kemalasan, sikap asal serta
kemauan belajar.
Feldmen menyatakan bahwa ada beberapa ciri khusus anak
dengan gangguan disgrafia. Untuk lebih jelasnya perhatikan ciri
ciri berikut ini:
a) Terdapat inkonsistensi bentuk huruf dalam tulisannya.
b) Saat menulis, penggunaan huruf capital (besar) dan kecil masih
tercampur.
c) Ukuran dan bentuk huruf pada tulisannya tidak proporsional.
d) Anak tampak harus berusaha keras saat mengomunikasikan
suatu ide, pengetahuan, ataupun pemahamannya lewat tulisan.

22

e) Sulit memegang pulpen ataupun pensil dengan maantap.
Caranya memegang alat tulis sering terlalu dekat, bahkan
hampir menempel dengan kertas.
f) Berbicara pada diri sendiri ketika sedang menulis. Jika tidak
demikian, bisa juga anak tersebut terlalu memerhatikan
tangannya yang sedang menulis.
g) Penulisan tidak mengikuti alur garis yang tepat dan serta
kurang proporsional. 8. Tetap mengalami kesulitan sekalipun
hanya diminta menyalin contoh tulisan yang sudah ada.
Disgrafia

adalah

kesulitan

yang

melibatkan

proses

menggambar simbol-simbol bunyi menjadi symbol huruf atau
angka. Kesulitan

menulis tersebut terjadi pada beberapa tahap

aktivitas menulis, yaitu:
a) Mengeja, yaitu aktivitas memproduksi urutan huruf yang tepat
dalam

ucapan

atau

tulisan

dari

suku

kata/kata.

Kemampuan yang dibutuhkan aktivitas mengeja antara lain (1)
Decoding atau kemampuan menguraikan kode/simbol visual;
(2) Ingatan auditoris dan visual atau ingatan atas objek kode
/symbol yang sudah diurai tadi; untuk (3) Divisualisasikan
dalam bentuk tulisan.
b) Menulis Permulaan (Menulis cetak dan

Menulis

sambung)

yaitu aktivitas membuat gambar simbol tertulis. Sebagian anak
berkesulitan belajar umumnya lebih mudah menuliskan huruf
cetak yang terpisah-pisah daripada menulis-huruf-sambung.
Tampaknya, rentang perhatian yang pendek menyulitkan
mereka saat menulis-huruf-sambung. Dalam menulis-hurufcetak,

rentang

perhatian

yang dibutuhkan mereka relatif

pendek, karena mereka menulis “per huruf”. Sedangkan
saat menulis huruf-sambung rentang perhatian yang dibutuhkan
relatif

lebih panjang,

karena

mereka

menulis “per kata”.

23

Kesulitan yang

kerap

muncul

dalam

proses menulis

permulaan antara lain:
(1) Ketidakkonsistenan bentuk/ukuran/proporsi huruf.
(2) Ketiadaan jarak tulisan antar-kata.
(3) Ketidakjelasan bentuk huruf.
(4) Ketidakkonsistenan posisi huruf pada garis.
Dalam disgrafia terdapat bentuk-bentuk kesulitan yang juga
terjadi pada kesulitan membaca, seperti:
(1) Penambahan huruf/suku kata.
(2) Penghilangan huruf/suku kata.
(3) Pembalikan huruf ke kanan-kiri.
(4) Pembalikan huruf ke atas-bawah.
(5) Penggantian huruf/suku kata
c) Menulis Lanjutan/Ekspresif/Komposisi

merupakan aktivitas

menulis yang bertujuan mengungkapkan pikiran atau perasaan
dalam bentuk tulisan. Aktivitas ini membutuhkan kemampuan
(1) berbahasa ujaran; (2) membaca; (3) mengeja; (4) menulis
permulaan.
3) Diskalkulia atau Kesulitan Berhitung
Kesulitan belajar berhitung disebut juga diskakulia. Kesulitan
belajar berhitung yang berat disebeut akalkulia. Menurut
Abdurrahman (1996), diskakulia adalah gangguan belajar yang
berpengaruh terhadap kemampuan matematika. Seorang dengan
diskakulia sering mengalami kesulitan memecahkan masalah
matematika serta konsep dasar aritmetika. Sebagian besar orang
yang mengalami diskalkulia mempunyai masalah dalam proses
visual. Dalam beberapa kasus, pada bagian pemrosesan dan
pengurutan matematika memerlukan seperangkat prosedur yang
harus diikuti. Masalah ini juga berkaitan dengan kurangnya

24

memori (memory deficits). Mereka yang sulit mengingat bendabenda/ angka akan mengalami masalah dalam mengingat urutan
operasi (order of operations) yang harus diikuti atau langkahlangkah

pengurutan

tertentu

untuk

memecahkan

soal-soal

matematika. Diskalkulia juga dikenal dengan istilah math
difficulty.

Sebab,

gejala

ini

menyangkut

gangguan

pada

kemampuan kalkulasi secara matematis. Kesulitan ini dapat
ditinjau secara kuantitatif yang terjadi menjadi bentuk kesulitan
berhitung (counting) dan mengalkulasi (calculating). Anak yang
menderita diskakulia akan menunjukan kesulitan dalam memahami
proses-proses matematis. Hal ini biasanya ditandai dengan
munculnya kesulitan belajar dan mengerjakan tugas yang
melibatkan angka atau simbol matematika.
Kesulitan berhitung adalah kesulitan dalam

menggunakan

bahasa simbol untuk berpikir, mencatat, dan mengkomunikasikan
ide-ide yang berkaitan dengan kuantitas atau jumlah. Kemampuan
berhitung sendiri terdiri dari kemampuan yang bertingkat dari
kemampuan dasar sampai kemampuan lanjut. Oleh karena itu,
kesulitan berhitung dapat dikelompokkan menurut tingkatan, yaitu
kemampuan dasar

berhitung,

kemampuan dalam menentukan

nilai tempat, kemampuan melakukan operasi penjumlahan dengan
atau tanpa teknik menyimpan dan pengurangan dengan atau tanpa
teknik meminjam, kemampuan memahami konsep perkalian dan
pembagian. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada uraian di
bawah ini:
a) Kemampuan dasar berhitung, terdiri atas:
(1) Mengelompokkan (classification),

yaitu

kemampuan

mengelompokkan objek sesuai warna, bentuk, maupun
ukurannya. Objek yang sejenis dikelompokkan dalam suatu
himpunan, misalnya himpunan kursi, himpunan kelereng
merah, himpunan bola besar, dan lain-lain. Pada anak yang
kesulitan

25

mengklasifikasi, anak tersebut kesulitan menentukan
bilangan ganjil dan genap, bilangan cacah, bilangan asli,
bilangan pecahan, dan seterusnya.
(2) Membandingkan (comparation),

yaitu

kemampuan

membandingkan ukuran atau kuantitas dari dua buah objek.
Misalnya: Penggaris A lebih panjang dari penggaris B,
Bola X lebih kecil dari Bola Y, Bangku Merah lebih banyak
dari Bangku Biru, dan seterusnya.
(3) Mengurutkan (seriation),

yaitu

kemampuan

membandingkan ukuran atau kuantitas lebih dari dua buah
objek. Pola pengurutannya sendiri bisa dimulai dari yang
paling minimal ke yang paling maksimal atau sebaliknya.
Contohnya: Penggaris A paling pendek, Penggaris B agak
panjang, dan Penggaris C paling panjang; Bola X paling
besar, Bola Y lebih kecil, dan Bola Z paling kecil; Bangku
Merah paling banyak, Bangku Biru lebih sedikit, dan
Bangku Hijau paling sedikit;
5 – 4 – 3 atau 20 – 40 – 70 – 80 –100; dan seterusnya.
(4) Menyimbolkan (simbolization), yaitu kemampuan membuat
symbol atas kuantitas yang berupa angka bilangan (0-1-2-34-5-6-7-8-9) atau simbol tanda operasi dari sebuah proses
berhitung seperti tanda + (penjumlahan), - (pengurangan), x
(perkalian), atau ÷ (pembagian), < (kurang dari), >
(lebih dari), dan =

(sama

dengan)

dan

lain-lain.

Penguasaan simbol-simbol tanda ini akan berguna saat anak
melakukan operasi hitung.
(5) Konservasi, yaitu kemampuan memahami, mengingat, dan
menggunakan suatu kaidah yang sama dalam proses/operasi
hitung yang memiliki kesamaan. Bentuk konkret dari
konservasi adalah penggunaan rumus atau kaidah suatu
operasi

hitung.

Dalam sebuah

operasi hitung

berlangsung proses yang serupa untuk objek kuantitas yang

26

berbeda. Misalnya dengan memahami konsep penjumlahan
anak akan tahu bahwa 2+5 adalah 7 dan 4+9 adalah 13;
karena meskipun jumlah angkanya berbeda tetapi pola
hitungannya sama. Anak akan mengalami kesulitan saat
menterjemahkan

kalimat

bahasa

menjadi

kalimat

matematis pada soal cerita.

b) Kemampuan dalam menentukan nilai tempat
Dalam berhitung/matematis, pemahaman akan nilai tempat
adalah

sesuatu yang penting, karena bilangan

ditentukan

nilainya oleh urutan atau posisi suatu angka di antara angka
lainnya. Dalam matematika, bilangan yang terletak di sebelah
kiri nilainya lebih besar dari bilangan di sebelah kanan.
Misalnya pada bilangan 15; angka “1” nilainya adalah 1
puluhan sedangkan angka “5” adalah “5 satuan”. Konsep
nilai puluhan

dan

satuan

melekat pada

posisi/tempatnya

masing-masing. Begitu juga nilai ratusan, ribuan, puluh ribuan,
dan seterusnya. Pemahaman mengenai konsep nilai tempat
juga penting dalam operasi hitung. Pada operasi penjumlahan
konsep ini akan mengarahkan penentuan berapa nilai yang
disimpan, sedangkan operasi pengurangan konsep nilai tempat
akan mengarahkan penentuan berapa nilai yang dipinjam.
Contoh: Menjumlah semua bilangan tanpa melihat makna nilai
tempat.
c) Kemampuan melakukan operasi penjumlahan dengan atau
tanpa teknik menyimpan; dan pengurangan dengan atau tanpa
teknik meminjam
Anak yang tidak menguasai tahapan konservasi akan
kesulitan melakukan operasi
menguasai

konsep

nilai

hitung.
tempat

Anak
akan

yang

belum

mengalami

27

kesulitan dalam proses operasi hitung penjumlahan dengan
menyimpan atau pengurangan dengan meminjam.

d) Kemampuan memahami konsep perkalian dan pembagian
Konsep perkalian merupakan lanjutan dari konsep operasi
penjumlahan.
yang

berulang

konsep

Perkalian

pada dasarnya adalah penjumlahan

(sebanyak

pembagian adalah

angka pengalinya).
lanjutan

Sedangkan

dari konsep

operasi

pengurangan. Pembagian pada dasarnya adalah pengurangan
yang berulang (sebanyak angka pembaginya). Kedua konsep
operasi hitung ini akan bisa dikuasai anak hanya bila anak telah
menguasai

konsep

penjumlahan

pengurangan. Pada anak yang

kesulitan

dan

mengalikan atau

membagi akan cenderung menebak-nebak jawaban atau tidak
cermat

melakukan

proses

penghitungan.

Contoh:

Perkalian dijadikan penjumlahan= 2x5=7; Perkalian yang tidak
cermat= 2x5=8; Pembagian dijadikan pengurangan= 12:3=9;
Pembagian yang tidak cermat = 12:3=6. Dan seterusnya.

e) Kemampuan Menjumlah dan Megurangi Bilangan Bulat
Bilangan bulat terdiri dari bilangan positif dan negatif.
Penjumlahan bilangan bulat positif dengan bilangan bulat
positif lain pada
10+3=13;

umumnya tidak ditemukan kendala.

7+13=20.

Pada operasi pengurangan yang

Misal:
nilai

pengurangnya lebih kecil, juga tidak ditemukan kendala.
Misal: 10-3=7; 17-8=9. Kesulitan-kesulitan yang dihadapi pada
operasi penjumlahan dan

pengurangan

bilangan bulat yaitu:

Penjumlahan bilangan bulat positif dengan negative. Contoh:
14+(-10)=…; Penjumlahan bilangan bulat negative dengan
positif. Contoh: -7+9=...; Penjumlahan bilangan bulat negative
dengan negative. Contoh: -8+(-7)=...: Pengurangan bilangan
bulat positif dengan positif (bilangan pengurangan lebih besar).

28

Contoh: 6–10=...; Pengurangan bilangan bulat positif dengan
negative. Contoh: 7–(-10)=...; Pengurangan bilangan bulat
negative

dengan

positif.

Contoh: -4–8=...;

Pengurangan

bilangan bulat negative dengan negative. Contoh: -3–(-5)=...
Dari uraian di atas, tampak bahwa kemampuan berhitung
merupakan kemampuan yang sifatnya bertingkat. Dimulai dari
tingkat yang paling sederhana, yaitu kemampuan dasar (seperti
klasifikasi, komparasi, seriasi, serta simbolisasi dan konservasi)
sampai

kemampuan

yang

kompleks

(yang sifatnya

operasional seperti nilai tempat, operasi hitung penjumlahan,
pengurangan, perkalian, dan pembagian).
Menurut Kirk & Gallagher (1986),

kesulitan

belajar dapat

dikelompokan menjadi dua kelompok besar yaitu developmental learning
disabilities dan

kesulitan belajar akademis.

developmental learning

Komponen utama

disabilities antara lain;

pada

perhatian, memori,

gangguan persepsi visual dan motorik, berpikir dan gangguan bahasa.
Sedangkan kesulitan belajar akademis termasuk ketidakmampuan pada
membaca, mengeja, menulis, dan aritmatik.
a. Developmental Learning Disabilities
1) Perhatian (attention disorder). Anak dengan attention disorder akan
berespon pada berbagai stimulus yang banyak. Anak ini selalu
bergerak,

sering

teralih

perhatiannya,

tidak dapat

mempertahankan perhatian yang cukup lama untuk belajar
dan tidak dapat

mengarahkan perhatian

secara

utuh

pada sesuatu hal.
2) Memory Disorder. Memory disorder adalah ketidakmampuan
untuk

mengingat

dialami. Anak
kesulitan dalam

apa

yang telah dilihat atau didengar ataupun

dengan masalah memori
me-recall

kata-kata

visual dapat memiliki
yang ditampilkan

secara visual. Hal serupa juga dialami oleh anak dengan masalah

29

pada ingatan auditorinya yang mempengaruhi perkembangan
bahasa lisannya.
3) Gangguan persepsi visual dan motorik.

Anak-anak dengan

gangguan persepsi visual tidak dapat memahami rambu-rambu lalu
lintas, tanda panah, kata-kata yang tertulis, dan symbol visual yang
lain. Mereka tidak dapat menangkap arti dari sebuah gambar
atau angka atau memiliki pemahaman akan dirinya. Contohnya
seorang anak yang memiliki penglihatan normal namun tidak dapat
mengenali teman sekelasnya. Dia hanya mampu mengenal saat
orang tersebut berbicara atau menyebutkan namanya. Pada anak
dengan gangguan persepsi motorik, mereka tidak dapat memahami
orientasi kanan-kiri, bahasa tubuh, visual closure dan orientasi
spasial serta pembelajaran secara motorik.
4) Thinking disorder. Thinking disorder adalah kesulitan dalam
operasi kognitif pada pemecahan
dan

asosiasi.

Thinking

masalah pembentukan

disorder

konsep

berhubungan dekat dengan

gangguan dalam berbahasa verbal. Dalam penelitian oleh Luick
terhadap 237 siswa dengan gangguan dalam berbahasa verbal yang
parah, menemukan bahwa mereka memperlihatkan kemampuan
yang normal dalam tes visual dan motoric namun berada di bawah
rata-rata pada

tes persepsi

auditori, ekspresi

verbal,

memori

auditori sekuensial dan grammatic closure.
5) Language Disorder. Merupakan kesulitan belajar yang paling
umum dialami pada anak prasekolah. Biasanya anak-anak ini tidak
berbicara

atau berespon dengan benar

terhadap

instruksi atau

pernyataan verbal.
b. Academic Learning Disabilities. Academic learning disabilities adalah
kondisi yang menghambat proses belajar yaitu dalam membaca,
mengeja, menulis, atau menghitung. Ketidakmampuan ini muncul pada
saat anak menampilkan kinerja di bawah potensi akademik mereka.

30

B. Terminologi yang Digunakan untuk Anak yang Mengalami Kesulitan
Belajar
Attention deficit disorder
Clumsy child syndrome
Perceptual handicap
Brain injury
Minimal brain dysfunction
Dyslexia
Dyslogic syndrome
Learning disorder
Learning disabilities
Educational handicap
Mild handicap
Neurological impairment
Hyperactivity
Hyperkinesis
Language disorders
Specific learning disability
Learning difficult
C. Dampak Anak yang Mengalami Kesulitan Belajar dalam Perkembangan
Kognitif
Masalah yang berkaitan dengan kesulitan memori juga meliputi
kemampuan dalam menggunakan strategi kognitif untuk memecahkan
masalah. Istilah kognisi digunakan dalam menggambarkan proses analisis
masalah, membuat perencanaan, dan pengaturan yang diperlukan bagi solusi
masalah itu. Anak-anak berkesulitan belajar sering memuncukan sikap di
dalam kelas yang menunjukkan kurang kemampuan dalam menganalisis,
membuat perencanaan dan pengaturan suatu masalah. Tugas-tugas sekolah
dapat menunjukkan bukti bahwa mereka mempunyai sifat tergesa-gesa dan
sangat tidak beraturan. Sebagian siswa ini nampaknya sangat tidak menyadari
pentingnya perencanaan dan pengaturan tugas yang diberikan pada mereka
untuk diselesaikan disekolah.

31

Kesadaran yang membentuk strategi dan kemampuan yang diperlukan
bagi keberhasilah tugas yang harus dise