Hubungan Antara Regulasi Emosi Dengan Kebahagiaan Pada Lansia
10
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Lansia
1. Definisi Lansia
Menurut Hurlock (1999) lanjut usia merupakan individu yang sering
ditandai dengan perubahan fisik dan mengalami berbagai permasalahan
psikologis. Perubahan fisik termasuk perubahan dalam penampilan, perubahan
pada sistem organ dalam, perubahan pada sistem syaraf, dan perubahan
kemampuan seksual. Sedangkan permasalahan psikologis menurut Munandar
(2001) muncul bila lansia tidak berhasil menemukan jalan keluar masalah yang
timbul sebagai akibat dari proses menua, seperti rasa tersisih, tidak dibutuhkan
lagi, ketidakikhlasan menerima kenyataan seperti penyakit yang tidak kunjung
sembuh, dan kematian pasangan.
Papalia dkk (2008) membagi lansia kedalam tiga kelompok. Pertama, lansia
muda (young old) yaitu lansia yang biasanya sehat dan aktif dan secara umum
dinisbahkan kepada usia antara 65 sampai 74 tahun. Kedua, lansia tua (old old)
yaitu merujuk kepada kelompok minoritas yang lemah terlepas dari kronologis
usia dan berusia antara 75 sampai 84 tahun. Ketiga, Lansia tertua (oldest old)
yaitu berusia 85 tahun ke atas, berkecendrungan lebih besar lemah dan tidak bugar
serta memilki kesulitan dalam mengelola aktivitas keseharian. Sedangkan
Menurut Hurlock (1999) usia enampuluhan biasanya dipandang sebagai pemisah
antara usia madya dan usia lanjut. Hal ini juga sesuai dengan dokumen
Universitas Sumatera Utara
11
pelembagaan lanjut usia dalam kehidupan bangsa yang diterbitkan oleh
departemen sosial bahwa manusia lanjut usia adalah seseorang yang berusia 60
tahun atau lebih (Fatimah, 2010).
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa lanjut usia merupakan
seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih yang sering ditandai mengalami
berbagai perubahan fisik dan permasalahan psikologis.
2. Tugas Perkembangan Lansia
Sebagian besar tugas perkembangan lansia lebih banyak berkaitan dengan
kehidupan pribadi seseorang daripada kehidupan orang lain. Berikut ini
merupakan tugas-tugas perkembangan lansia yang dikemukakan oleh Havighurst
(dalam Hurlock, 1999):
1.
Menyesuaikan diri dengan menurunnya kekuatan fisik dan kesehatan
Perubahan kondisi fisik terjadi pada lansia dan sebagian besar perubahan
itu terjadi kearah yang memburuk, proses dan kecepatannya sangat
berbeda untuk masing-masing individu walaupun usianya sama.
2.
Menyesuaikan diri dengan masa pensiun dan berkurangnya penghasilan
keluarga
Kondisi-kondisi tertentu dapat membantu penyesuaian diri terhadap
masa pensiun, sedangkan kondisi lain dapat menghambat penyesuaian.
Sikap lansia terhadap pensiun pasti mempunyai pengaruh yang besar
terhadap penyesuaian.
Universitas Sumatera Utara
12
3.
Menyesuaikan diri dengan kematian pasangan hidup
Penyesuaian terhadap kematian pasangan sangat sulit bagi pria maupun
wanita usia lanjut, karena pada masa ini semua penyesuaian semakin
sulit dilakukan. Penyesuaian terhadap kematian pasangan berbeda antara
pria dan wanita. Bila pria kehilangan istrinya, segera setelah pensiun
kejadian ini akan menambah kesulitannya dalam menyesuaikan diri
terhadap masa pensiun. Sedangkan pada wanita, penyesuaian diri
seringkali terasa sulit karena berkurangnya pendapatan yang sering
diartikan pindah kedalam kehidupan lebih kecil atau lingkungan yang
kurang diinginkan, misalnya tinggal dengan anak yang sudah menikah,
atau hidup dalam suatu lembaga penyantunan.
4.
Membentuk hubungan dengan orang-orang yang seusia
Pada lanjut usia, mereka membangun ikatan dengan anggota dari
kelompok usia mereka, untuk menghindari kesepian akibat ditinggalkan
anak yang tumbuh besar dan masa pensiun.
5.
Membentuk pengaturan kehidupan fisik yang memuaskan
Bagi mereka yang tidak mempersiapkan diri secara psikis dan ekonomis
untuk menghadapi berbagai perubahan yang akan terjadi di hari tua,
seringkali akan mengalami trauma dalam melakukan penyesuaian
tersebut.
6.
Menyesuaikan diri dengan peran sosial secara luwes
Perubahan peran seringkali menyulitkan dan membangkitkan emosi.
Semakin besar perubahan tersebut dan semakin berkurang prestige yang
Universitas Sumatera Utara
13
diperoleh dari peran baru, maka semakin besar penolakan terhadap
perubahan peran. Individu akan merasa terganggu jika dipaksa oleh
lingkungan untuk melakukan perubahan peran.
B. Kebahagiaan
1. Definisi Kebahagiaan
Diener dkk. (dalam Snyder & Lopez, 2002) menyatakan kebahagiaan adalah
evaluasi kognitif dan afektif seseorang terhadap hidupnya. Evaluasi kognitif
terjadi ketika individu melakukan evaluasi seberapa memuaskan kehidupannya
secara keseluruhan (life satisfaction) atau pada aspek-aspek tertentu dari
kehidupannya (domain satisfaction) seperti pernikahan, pekerjaan, kesehatan, dll.
Sedangkan evaluasi afektif terjadi ketika individu melakukan evaluasi terhadap
emosi yang dirasakannya, dimana meliputi perasaan menyenangkan dan tidak
menyenangkan. Jadi, orang yang bahagia adalah orang yang puas terhadap
domain-domain tertentu dari kehidupannya dan juga puas secara keseluruhan, dan
lebih banyak mengalami emosi positif dibanding emosi negatif dalam hidupnya.
Sedangkan menurut Lyubomirsky (Hoyer & Roodin, 2009) orang yang bahagia
adalah orang yang mempersepsikan, mengingat, dan menginterpretasikan
peristiwa dengan cara yang lebih positif daripada individu yang tidak bahagia.
Menurut kamus umum, kebahagiaan adalah keadaan sejahtera dan kepuasan
hati, yaitu kepuasan yang menyenangkan yang timbul bila kebutuhan dan harapan
tertentu individu terpenuhi. Hal ini tidak sama dengan perasaan senang (euphoria),
yang menunjukkan tidak hanya keadaan puas tetapi juga “rasa fly” yang tidak
Universitas Sumatera Utara
14
terdapat dalam kepuasan hidup atau kebahagiaan (dalam Hurlock, 1999). Menurut
Shaver dan Freedman (dalam Hurlock, 1999) kebahagiaan lebih merupakan
masalah bagaimana individu memandang keadaannya dan bukan apa keadaan itu,
jadi kebahagiaan banyak bergantung pada sikap menerima dan menikmati
keadaan orang lain dan apa yang dimilikinya, mempertahankan keseimbangan
antara harapan dan prestasi.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kebahagiaan adalah kepuasan
seorang
individu
pada
domain-domain
tertentu
dan
keseluruhan
dari
kehidupannya dengan sikap menerima dan menikmati keadaannya dengan pikiran
yang positif, dan intensitas emosi positif lebih cenderung dirasakan dibanding
emosi negatif.
2. Komponen-Komponen Kebahagiaan
Diener (Eid & Larsen, 2008; Biswas-Diener & Dean, 2007) menyatakan
bahwa kebahagiaan memiliki dua komponen yang berbeda yaitu
1.
Komponen kognitif
yaitu meliputi life satisfaction dan domain
satisfaction, dianggap sebagai komponen kognitif karena keduanya
melakukan proses evaluasi terhadap kehidupan. Hal ini terjadi ketika
individu berfikir seberapa memuaskan kehidupannya secara keseluruhan
(life satisfaction) atau berdasarkan aspek tertentu didalam kehidupannya
(domain satisfaction) seperti kesehatan, keluarga, keuangan, pekerjaan,
teman sebaya, waktu luang, dan diri sendiri.
Universitas Sumatera Utara
15
2.
Komponen afektif yaitu meliputi positive affect (PA) dan negative affect
(NA), keduanya dianggap komponen afektif karena mencerminkan
sejumlah perasaan senang dan tidak menyenangkan yang dialami
individu di dalam kehidupan mereka. Orang yang bahagia sering
mengalami emosi yang positif, seperti rasa senang dan jarang mengalami
emosi yang negatif seperti rasa sedih, marah, dll.
3. Ciri-Ciri Orang yang Bahagia
Berikut ini merupakan ciri-ciri orang yang membedakan antara orang
bahagia dengan yang lainnya yang ditemukan oleh para peneliti (Biswas-Diener &
dean, 2007) :
1.
Memiliki kesehatan yang baik
Deborah Danner dan koleganya meneliti para biarawati melalui
pernyataan otobiografi pendek yang ditulis oleh biarawati. kemudian
Danner menganalisis narasi untuk melihat ada atau tidak adanya kalimat
positif dan negatif. Hasilnya, peneliti menemukan bahwa biarawati yang
memiliki nilai yang tinggi dalam mendeskripsikan diri secara positif
menunjukkan nilai yang tinggi dalam bertahan hidup dibanding rekanrekannya. Salah satu hal yang membuat penelitian ini menggemparkan
adalah bahwasanya biarawati memiliki gaya hidup yang sama dan
penelitian Danner ini adalah hanya salah satu contoh kuat dari manfaat
kesehatan terhadap kebahagiaan.
Universitas Sumatera Utara
16
2.
Memiliki hubungan sosial yang bermanfaat
Diener dan Seligman menemukan bahwa orang yang bahagia cenderung
memilki hubungan sosial yang bermanfaat. Mereka adalah orang yang
memiliki pernikahan yang baik, memiliki banyak teman yang bisa
dipercaya, dan bertahan lama dengan bos mereka.
3.
Menggunakan kebiasaan berpikir positif
Lyubomirsky menemukan perbedaan gaya berfikir antara orang yang
bahagia dibanding yang lainnya. Hasilnya yaitu orang yang bahagia
kurang rentan terhadap refleksi diri (perenungan), dan lebih kecil
kemungkinannya untuk terlibat dalam perbandingan dengan teman
sebaya dan cenderung untuk menafsirkan peristiwa secara lebih positif.
4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kebahagiaan
Berikut ini merupakan beberapa faktor yang mempengaruhi kebahagiaan
menurut Hurlcok (1999) yaitu :
a. Kesehatan
Kesehatan yang baik memungkinkan orang pada usia berapa pun
melakukan apa yang hendak dilakukan. Sedangkan kesehatan yang buruk
atau ketidakmampuan fisik menjadi halangan untuk mencapai kepuasan
bagi keinginan dan kebutuhan mereka, sehingga menimbulkan rasa tidak
bahagia.
Universitas Sumatera Utara
17
b. Daya tarik fisik
Daya tarik fisik menyebabkan individu dapat diterima dan disukai oleh
masyarakat sehingga menyebabkan meraih prestasi yang lebih besar
daripada individu yang kurang memiliki daya tarik fisik.
c. Tingkat Otonomi
Semakin besar tingkat otonomi yang dimiliki individu, maka semakin
besar kesempatan individu untuk bahagia. Hal ini ditemukan baik pada
masa kanak-kanak maupun masa dewasa.
d. Kesempatan-kesempatan interaksi diluar keluarga
Orang akan merasa bahagia jika memiliki hubungan sosial dengan
seseorang di luar lingkungannya, ketimbang apabila hubungan sosial
mereka terbatas pada anggota keluarga.
e. Jenis pekerjaan
Semakin rutin sifat pekerjaan dan semakin sedikit kesempatan untuk
otonomi maka kepuasan seseorang terhadap pekerjaannya akan semakin
berkurang.
f. Status kerja
Ketika seseorang berhasil melaksanakan suatu tugas, maka akan dikaitkan
dengan prestise, sehingga menimbulkan kepuasan yang besar terhadap
pekerjaannya.
g. Kondisi kehidupan
Kondisi kehidupan akan memungkinkan seseorang untuk berinteraksi
dengan orang-orang lain baik di dalam keluarga maupun dengan teman-
Universitas Sumatera Utara
18
teman
dan
tetangga
di
dalam
masyarakat,
sehingga
cenderung
memperbesar kebahagiaannya.
h. Pemilikan harta benda
Pemilikan harta benda bukan dalam arti memiliki benda itu yang
mempengaruhi kebahagiaan, melainkan cara orang merasakan pemilikan
itu.
i. Keseimbangan antara harapan dan pencapaian
Jika harapan yang dimiliki individu tersebut realistis, maka orang tersebut
akan puas dan bahagia jika tujuannya tercapai.
j. Penyesuaian emosional
Orang-orang yang bahagia mudah menyesuaikan diri dengan baik dan
jarang mengungkapkan perasaan-perasaan negatif seperti takut, marah, dan
iri hati daripada mereka yang tidak bahagia.
k. Sikap terhadap periode usia tertentu
Pengalaman bahagia yang akan dialami pada usia tertentu sebagian
ditentukan oleh pengalaman-pengalamannya sendiri bersama orang lain
semasa kanak-kanak pada usia itu dan sebagian oleh stereotip budaya.
l. Realisme dari konsep-diri
Orang-orang yang yakin bahwa kemampuannya lebih besar dari yang
sebenarnya akan merasa tidak bahagia apabila tujuan mereka tidak
tercapai. ketidakbahagiaan mereka dipertajam oleh perasaan tidak mampu
dan oleh keyakinan bahwa mereka tidak dimengerti dan diperlakukan
kurang adil.
Universitas Sumatera Utara
19
m. Realisme dari konsep-konsep peran
Orang-orang akan cenderung mengangankan peran yang akan dimainkan
pada usia mendatang. Apabila peran yang baru itu tidak sesuai dengan
harapan mereka, maka mereka merasa tidak bahagia kecuali jika mereka
mau menerima kenyataan peran yang baru itu.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kebahagiaan yang dikemukakan
oleh Hurlock (1999) tersebut juga diperkuat oleh Carr (2004) yaitu kesehatan,
pekerjaan, kekayaan, dan persahabatan. Berikut ini merupakan penjelasan lebih
rinci yang mempengaruhi kebahagiaan yang dikemukakan oleh Carr (2004) :
a. Kepribadian
Studi Kepribadian mengenai kebahagiaan menunjukkan bahwa orangorang bahagia dan tidak bahagia memiliki profil kepribadian yang khas,
misalnya dalam budaya Barat orang yang bahagia adalah
extrovert,
optimis, memiliki harga diri yang tinggi dan internal locus of control,
sebaliknya orang yang tidak bahagia cenderung memiliki tingkat
neurotisisme yang tinggi.
b. Faktor budaya
Menurut Triandis, faktor budaya dan sosial-politik juga memainkan peran
penting dalam menentukan kebahagiaan. Dalam studi lintas budaya telah
ditemukan hubungan antara kesejahteraan subjektif dalam demokrasi yang
stabil tanpa penindasan politik dan konflik militer, juga budaya di mana
ada kesetaraan sosial memiliki tingkat kesejahteraan subjektif yang lebih
tinggi, dan dalam budaya individualis kesejahteraan subjektif lebih baik
Universitas Sumatera Utara
20
daripada budaya kolektivis. Kebahagiaan juga berkaitan dengan ciri
penting dari institusi pemerintahan. kebahagiaan lebih tinggi di negaranegara yang makmur, di negara-negara yang institusi publik berjalan
secara efisien, dan di mana terdapat hubungan yang memuaskan antara
warga dan anggota birokrasi.
c. Pernikahan
Menurut Myers, orang yang menikah lebih bahagia daripada orang yang
belum menikah, yang bercerai, berpisah atau tidak pernah menikah. Ada
dua penjelasan hubungan antara kebahagiaan dan pernikahan, pertama,
bahwa orang yang lebih bahagia menikah dikarenakan mereka lebih
menarik sebagai pasangan daripada orang yang tidak bahagia. Kedua,
pernikahan menganugerahkan berbagai manfaat, misalnya menyediakan
keintiman psikologis dan fisik, bisa memiliki anak dan membangun
rumah, memiliki peran sosial sebagai pasangan dan orang tua, dan
menegaskan identitas dan memperoleh cucu.
d. Hubungan kekerabatan
hubungan yang mendukung antara orangtua, anak, saudara kandung, dan
anggota keluarga meningkatkan dukungan sosial bagi semua anggota
keluarga. Dukungan sosial dapat meningkatkan kebahagiaan, dan dari
sudut pandang evolusioner hal ini sudah 'terprogram' untuk mendapatkan
kebahagiaan
dari
kontak
kita
dengan
jaringan
kekerabatan.
Mempertahankan kontak dengan anggota keluarga dapat meningkatkan
dukungan sosial dan ini tidak hanya membawa kebahagiaan tetapi juga
Universitas Sumatera Utara
21
meningkatkan fungsi sistem kekebalan tubuh, mengurangi kemungkinan
kekerasan dalam rumah tangga dan pelecehan anak.
e. Persahabatan
Menurut Argyle, mempertahankan hubungan dekat dan erat ditemukan
berkorelasi dengan kebahagiaan. Sebagai contoh, dalam sebuah studi
ditemukan orang yang paling bahagia sekitar 10 persen dari 222
mahasiswa, dan hal ini dikaitkan dengan kehidupan sosial. Ada tiga alasan
terkait hubungan antara persahabatan dengan kebahagiaan. Pertama,
orang-orang bahagia mungkin lebih sering dipilih sebagai teman karena
mereka adalah orang yang lebih menarik daripada orang yang tidak
bahagia. Mereka juga membantu orang lain lebih dari orang-orang depresi
yang berfokus pada diri sendiri dan kurang dalam bersikap altruisme.
Kedua, persahabatan memenuhi kebutuhan afiliasi dan sebagainya,
sehingga membuat kita merasa senang dan puas. Ketiga, persahabatan
yang erat memberikan dukungan sosial.
f. Agama
Menurut Myers, ada hubungan antara kebahagiaan dan keterlibatan dalam
kegiatan keagamaan di North studi Amerika, dimana orang-orang yang
terlibat dalam agama mungkin lebih bahagia daripada yang lain karena
berbagai alasan, Pertama, agama menyediakan sistem kepercayaan yang
jelas yang memungkinkan orang untuk menemukan makna hidup dan
harapan untuk masa depan. Sistem kepercayaan agama memungkinkan
beberapa dari kita untuk membuat rasa kemalangan, stres dan kerugian tak
Universitas Sumatera Utara
22
terelakkan yang terjadi selama siklus hidup dan untuk bersikap optimis
tentang kehidupan setelah kematian di mana kesulitan-kesulitan ini akan
diselesaikan. Kedua, keterlibatan dan kehadiran rutin di pelayanan
keagamaan dan menjadi bagian dari komunitas agama menyediakan
dukungan sosial bagi individu. Ketiga, keterlibatan dalam agama sering
dikaitkan dengan gaya hidup sehat secara fisik dan psikologis ditandai
dengan kesetiaan perkawinan, perilaku prososial (bukan kriminalitas),
kesederhanaa dalam makan dan minum, dan komitmen untuk bekerja
keras.
g. Kekayaan
Profesor Ed Diener
ekonomi yang
menemukan bahwa orang-orang di negara-negara
kurang beruntung memiliki nilai yang rendah untuk
kebahagiaan, hal ini terbukti dari korelasi kebahagiaan dan kekayaan
sekitar r = 0,6 yang ditemukan di seluruh negara. Tingkat kebahagiaan
yang rendah di Rusia dan Turki dan tinggi di Irlandia, Kanada, Denmark
dan Swiss. Hal ini mungkin karena orang-orang di negara-negara miskin
tidak puas bahwa mereka tidak punya kemewahan yang mereka tahu dari
media yang tersedia di negara-negara yang lebih makmur.
h. Kesehatan
Penilaian subjektif terhadap kesehatan pribadi berkorelasi dengan
kebahagiaan.
kepribadian
Penilaian
dan
subjektif
strategi
lebih
dipengaruhi
penanggulangan,
seperti
oleh
ciri-ciri
penyangkalan
dibandingkan dengan tujuan kesehatan fisik. Orang tinggi pada
Universitas Sumatera Utara
23
neurotisisme mungkin mengeluh dari kesehatan yang buruk dan belum
dapat dinilai sebagai sehat fisik oleh dokter mereka. Sebaliknya, orang
yang dianggap sakit oleh dokter dapat melaporkan merasa cukup baik
karena mereka menolak bahwa fisik mereka sakit.
i. Pekerjaan
Menurut Argyle, Status pekerjaan berhubungan dengan kebahagiaan,
orang-orang yang bekerja lebih bahagia daripada mereka yang
menganggur, dan orang-orang yang bekerja secara profesional dan
memiliki keahlian lebih bahagia daripada mereka yang tidak. Hal ini
mungkin karena pekerjaan dapat memberikan stimulus bagi orang untuk
menemukan kesenangan, kesempatan untuk memenuhi dorongan rasa
ingin tahu dan pengembangan keterampilan, berkembangnya jaringan
dukungan sosial, dan mendapatkan identitas diri.
j. Pendidikan
Menurut
Diener,
tingkat
pendidikan
berkorelasi
positif
dengan
kebahagiaan dan hubungan ini sangat kuat untuk kelompok berpenghasilan
rendah di negara maju dan populasi di negara-negara miskin. Hal ini
mungkin karena di negara-negara terbelakang pendidikan memberikan
manfaat yang lebih besar. Di negara-negara terbelakang, orang yang
berpendidikan rendah kemungkinan tidak bisa memenuhi kebutuhan dasar
dibandingkan dengan mereka yang berpendidikan, dimana mereka bisa
mendapatkan uang yang cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka,
seperti makanan dan tempat tinggal.
Universitas Sumatera Utara
24
5. Kebahagiaan pada Lansia
Studi lintas budaya menemukan bahwa kebahagiaan pada lansia cenderung
lebih tinggi daripada tahap perkembangan lainnya, hal ini dikaitkan dengan emosi
positif yang secara reguler dialami oleh lansia. Emosi positif seringkali dikaitkan
dengan kesehatan, hal ini dibuktikan pada penelitian yang menggunakan subjek
sebanyak 851 orang dari komunitas pensiun, menemukan bahwa ada dua
prediktor terkuat dalam kesehatan pada lansia yaitu emosi positif dan aktifitas.
Myers juga menemukan bahwa lansia yang skor kebahagiaannya tinggi adalah
mereka yang memiliki kesehatan yang baik (dalam Hoyer dan Roodin, 2009).
Kesehatan yang baik memungkinkan orang pada usia berapa pun melakukan apa
yang hendak dilakukan, sedangkan kesehatan yang buruk atau ketidakmampuan
fisik menjadi halangan untuk mencapai kepuasan bagi keinginan dan kebutuhan
mereka sedemikian rupa, sehingga menimbulkan rasa tidak bahagia (Hurlcok,
1999).
C. Kesehatan
1. Definisi Kesehatan
Cavanaugh dkk. (2006) mendefinisikan kesehatan sebagai tidak adanya
keadaan fisik yang akut dan kronis atau penyakit mental dan gangguan.
Sedangkan menurut Sarafino (2011) kesehatan diartikan sebagai keadaan
kesejahteraan fisik, mental, dan sosial yang positif, yang bervariasi sepanjang
kontinum, bukan hanya sekedar tidak adanya cedera atau penyakit. Dengan
Universitas Sumatera Utara
25
demikian dapat disimpulkan bahwa kesehatan adalah kesejahteraan secara fisik,
mental, dan sosial yang bervariasi sepanjang kontinum.
2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesehatan
a. Regulasi emosi
Snyder dan Lopez (2006) mengatakan bahwasanya regulasi emosi
merupakan hal yang penting bagi individu, karena ketika individu tidak
mampu dalam meregulasi emosi maka akan meningkatkan resiko terhadap
masalah kesehatan.
b. Dukungan sosial
Sarafino (2011) mengemukakan bahwa dukungan sosial dapat mengurangi
stress, dan bermanfaat bagi kesehatan. Hal ini juga diperkuat oleh hasil
penelitian yang menemukan bahwa tekanan darah selama bekerja lebih
rendah bagi pekerja yang memiliki dukungan sosial tinggi daripada
mereka yang kurang mendapat dukungan.
c. Religiusitas
Agama ditemukan memiliki kaitan dengan kesehatan. Hal ini didasarkan
dari hasil penelitian yang menemukan bahwasanya aktivitas keagamaan
yang rutin dilaksanakan bisa mengurangi tingkat kematian hingga 25%
(dalam Papalia, Old, & Fredman, 2008).
Universitas Sumatera Utara
26
D. Regulasi Emosi
1. Definisi Regulasi Emosi
Gross (dalam Kring & Sloan, 2010) mendefinisikan regulasi emosi sebagai
proses dimana individu mempengaruhi emosi yang mereka miliki, ketika mereka
memilikinya dan bagaimana mereka mengekspresikan emosi. Gratz dan Roemer
(dalam Kring & Sloan, 2010) juga menambahkan bahwa regulasi emosi juga
meliputi kesadaran, pemahaman, dan penerimaan dari emosi, serta kemampuan
untuk mengontrol perilaku dalam konteks tekanan emosional. Regulasi emosi
sangat penting dalam fungsi adaptif individu, karena tingkat regulasi emosi yang
rendah terkait dengan tidak terkontrol, perilaku destruktif, perilaku agresi,
prososial rendah dan kerentanan terhadap efek dari emosi negatif dan penolakan
sosial, sedangkan tingginya kadar regulasi emosi memiliki efek yang berlawanan
(Snyder, Simpson, & Hughes, 2006).
Regulasi emosi merupakan kemampuan untuk mengatur keadaan perasaan
dan respon terhadap pemicu emosi (Ekerdt, 2002). Seseorang dapat mengatur
emosinya dengan menghindari situasi yang menimbulkan emosi, yaitu dengan
strategi kognitif (seperti denial atau intellectualization) atau dengan strategi
lainnya.
Menurut Dodge (dalam Garber & Dodge, 1991) regulasi emosi merupakan
proses di mana aktivasi dalam satu domain respon berfungsi untuk mengubah atau
mengatur aktivasi di domain respon lain. Domain yang terkait adalah domain
respon perilaku, pengalaman, dan fisiologis. Dodge (dalam Kring & Sloan)
berpendapat bahwa dalam memahami bagaimana seseorang mengkoordinasikan
Universitas Sumatera Utara
27
respon ini merupakan cara kita untuk mulai memahami regulasi emosi. Sebagai
contoh, seorang wanita dengan gangguan obsesif kompulsif mulai merasa
jantungnya berdetak cepat karena memikirkan kompor yang ditinggalkannya di
dapur, kemudian ia memeriksa kompor berulang kali, hal ini dilakukan untuk
mengurangi reaksi fisiologis terhadap kecemasan. Dalam Hal ini perilaku regulasi
emosi terjadi ketika munculnya perasaan kecemasan awal dan ia berusaha
mengurangi respon fisiologis dari kecemasan melalui tindakan.
Eisenberg dan Spinrad (dalam Kring & Sloan, 2010) mendefinisikan
regulasi diri sebagai proses memulai, mempertahankan, mengatur, atau mengubah
timbulnya, intensitas, atau durasi keadaan perasaan internal dan emosi terkait
motivasi dan proses fisiologis, seringkali untuk mencapai tujuan seseorang.
Menurut Eisenberg regulasi emosi digunakan untuk adaptasi biologis atau sosial
dan untuk mencapai tujuan.
Thompson (dalam Kring & Sloan, 2010) mengatakan bahwa regulasi emosi
terdiri dari proses ekstrinsik dan intrinsik yang bertanggung jawab untuk
memantau, mengevaluasi, dan memodifikasi reaksi emosi, terutama ciri mereka
yang intensif dan temporal, untuk mencapai tujuan seseorang. Emosi dikelola
melalui pengaruh ekstrinsik (pengasuh diawal kehidupan atau orang lain) serta
usaha orang itu sendiri. Emosi anak dan toleransi dibentuk oleh pengalamanpengalaman dari regulasi emosi ekstrinsik.
Berdasarkan penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa regulasi emosi
ialah suatu proses intrinsik dan ekstrinsik yang dapat mengontrol serta
menyesuaikan emosi yang muncul pada tingkat intensitas yang tepat untuk
Universitas Sumatera Utara
28
mencapai suatu tujuan yang meliputi kemampuan mengatur perasaan, reaksi
fisiologis serta dapat dengan cepat menenangkan diri setelah kehilangan kontrol
atas emosi yang dirasakan.
2. Aspek-Aspek Regulasi Emosi
Menurut Gratz dan Roemer (2004) ada empat aspek yang digunakan untuk
menentukan kemampuan regulasi emosi seseorang yaitu :
a.
Acceptance of emotional response
ialah kemampuan individu untuk
menerima suatu peristiwa yang menimbulkan emosi negatif dan tidak
merasa malu merasakan emosi tersebut.
b.
Strategies to emotion regulation ialah keyakinan individu untuk dapat
mengatasi suatu masalah, memiliki kemampuan untuk menemukan suatu
cara yang dapat mengurangi emosi negatif dan dapat dengan cepat
menenangkan diri kembali setelah merasakan emosi yang berlebihan.
c.
Engaging in goal directed behavior ialah kemampuan individu untuk tidak
terpengaruh oleh emosi negatif yang dirasakannya sehingga dapat tetap
berpikir dan melakukan sesuatu dengan baik.
d.
Control emotional responses ialah kemampuan individu untuk dapat
mengontrol emosi yang dirasakannya dan respon emosi yang ditampilkan
(respon fisiologis, tingkah laku dan nada suara), sehingga individu tidak
akan merasakan emosi yang berlebihan dan menunjukkan respon emosi
yang tepat.
Universitas Sumatera Utara
29
3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Regulasi Emosi
Gross (2007) menjelaskan ada faktor yang mempengaruhi kemampuan
regulasi emosi seseorang, yaitu :
a. Genetik
Ada bagian di otak yang berkontribusi terhadap regulasi emosi. Penelitian
lain juga menemukan bahwa variasi genetic 5-HTT mempengaruhi
tempramen dan affect individu.
b. Usia
Penelitian menemukan bahwa semakin bertambahnya usia, maka semakin
baik pula regulasi emosinya. Penelitian ini dilakukan dengan merangking
usia partisipan mulai dari 18-94 tahun, dan setiap partisipan diminta untuk
melaporkan emosi yang dialaminya, hasilnya menunjukkan bahwa kontrol
emosi semakin baik dengan bertambahnya usia.
c. Religiusitas
Setiap agama mengajarkan seseorang diajarkan untuk dapat mengontrol
emosinya. Seseorang yang tinggi tingkat religiusitasnya akan berusaha
untuk menampilkan emosi yang tidak berlebihan bila dibandingkan
dengan orang yang tingkat religiusitasnya rendah.
d.
Gaya pengasuhan
Orang tua dapat mepengaruhi pembentukan regulasi emosi awal anak,
dikarenakan orang tua memiliki perbedaan dalam memandang bagaimana
cara mengekspresikan emosi. Ada orang tua yang mengajarkan anaknya
Universitas Sumatera Utara
30
menggunakan strategi regulasi emosi reappraisal dan ada orang tua yang
mengajarkan anaknya menggunakan strategi regulasi suppression.
D. Hubungan antara Regulasi Emosi dengan Kebahagiaan pada Lansia
Menurut Diener dkk. (dalam Snyder & Lopez, 2002) menyatakan
kebahagiaan adalah evaluasi kognitif dan afektif seseorang terhadap hidupnya.
Evaluasi kognitif terjadi ketika individu melakukan evaluasi seberapa memuaskan
kehidupannya secara keseluruhan (life satisfaction) atau pada aspek-aspek tertentu
dari kehidupannya (domain satisfaction) seperti pernikahan, pekerjaan, kesehatan,
dll. Evaluasi afektif terjadi ketika individu melakukan evaluasi terhadap emosi
yang dirasakannya, dimana meliputi perasaan menyenangkan dan tidak
menyenangkan. Jadi, orang yang bahagia adalah orang yang puas terhadap
domain-domain tertentu dari kehidupannya dan juga puas secara keseluruhan, dan
lebih banyak mengalami emosi positif dibanding emosi negatif dalam hidupnya.
Faktor utama yang mempengaruhi kebahagiaan pada lansia adalah
kesehatan, hal ini diperkuat juga oleh Myers (dalam Hoyer & Roodin, 2009) yang
menemukan bahwa lansia yang skor kebahagiaannya tinggi adalah mereka yang
memiliki kesehatan yang baik. Lanjut usia merupakan seseorang yang berusia 60
tahun atau lebih yang sering ditandai mengalami berbagai perubahan fisik, seperti
perubahan dalam penampilan, perubahan pada sistem organ dalam, perubahan
pada sistem syaraf, dan perubahan kemampuan seksual. Menurut Hurlock (1999)
perubahan kondisi fisik pada lansia sebagian besar terjadi kearah yang memburuk,
proses dan kecepatannya sangat berbeda untuk masing-masing individu walaupun
Universitas Sumatera Utara
31
usianya sama. Oleh karena itu kesehatan yang baik memungkinkan lansia pun
melakukan apa yang hendak dilakukan, sedangkan kesehatan yang buruk atau
ketidakmampuan fisik menjadi halangan untuk mencapai kepuasan bagi keinginan
dan kebutuhan mereka sedemikian rupa, sehingga menimbulkan rasa tidak
bahagia (Hurlcok, 1999).
Kesehatan pada lansia juga sering dikaitkan dengan emosi positif, hal ini
dibuktikan pada penelitian yang menggunakan subjek sebanyak 851 orang dari
komunitas pensiun, menemukan bahwa ada dua prediktor terkuat dalam kesehatan
pada lansia yaitu emosi positif dan aktifitas (Hoyer & Roodin, 2009). Salah satu
cara untuk meraih emosi positif adalah melalui regulasi emosi, dikarenakan
individu yang memiliki kemampuan regulasi emosi yang rendah mengalami
kerentanan terhadap emosi negatif (Snyder, Simpson, & Hughes, 2006). Gratz dan
Roemer (dalam Kring & Sloan, 2010) menyatakan bahwa regulasi emosi
merupakan kemampuan untuk menggunakan strategi dalam mengatur respon
emosi ketika dibutuhkan dan juga meliputi kesadaran, pemahaman, dan
penerimaan dari emosi, serta kemampuan untuk mengontrol perilaku dalam
konteks tekanan emosional.
Berdasarkan
penjelasan
diatas,
penulis
dapat
menarik
kesimpulan
bahwasanya regulasi emosi ditemukan memiliki dampak positif terhadap lansia
yaitu kesehatan.. Kesehatan sendiri merupakan salah satu faktor utama yang
mempengaruhi kebahagiaan pada lansia, sehingga dapat diperoleh kesimpulan
bahwasanya ada kaitan antara regulasi emosi dengan kebahagiaan pada lansia.
Universitas Sumatera Utara
32
E. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan sebelumnya, maka hipotesis
yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada hubungan antara regulasi emosi
dengan kebahagiaan pada lansia dengan mengendalikan status kesehatan. Semakin
tinggi kemampuan regulasi emosi seseorang, maka akan semakin tinggi tingkat
kebahagiaannya, sebaliknya semakin rendah kemampuan regulasi emosi
seseorang,
maka
akan
semakin
rendah
tingkat
kebahagiaannya.
Universitas Sumatera Utara
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Lansia
1. Definisi Lansia
Menurut Hurlock (1999) lanjut usia merupakan individu yang sering
ditandai dengan perubahan fisik dan mengalami berbagai permasalahan
psikologis. Perubahan fisik termasuk perubahan dalam penampilan, perubahan
pada sistem organ dalam, perubahan pada sistem syaraf, dan perubahan
kemampuan seksual. Sedangkan permasalahan psikologis menurut Munandar
(2001) muncul bila lansia tidak berhasil menemukan jalan keluar masalah yang
timbul sebagai akibat dari proses menua, seperti rasa tersisih, tidak dibutuhkan
lagi, ketidakikhlasan menerima kenyataan seperti penyakit yang tidak kunjung
sembuh, dan kematian pasangan.
Papalia dkk (2008) membagi lansia kedalam tiga kelompok. Pertama, lansia
muda (young old) yaitu lansia yang biasanya sehat dan aktif dan secara umum
dinisbahkan kepada usia antara 65 sampai 74 tahun. Kedua, lansia tua (old old)
yaitu merujuk kepada kelompok minoritas yang lemah terlepas dari kronologis
usia dan berusia antara 75 sampai 84 tahun. Ketiga, Lansia tertua (oldest old)
yaitu berusia 85 tahun ke atas, berkecendrungan lebih besar lemah dan tidak bugar
serta memilki kesulitan dalam mengelola aktivitas keseharian. Sedangkan
Menurut Hurlock (1999) usia enampuluhan biasanya dipandang sebagai pemisah
antara usia madya dan usia lanjut. Hal ini juga sesuai dengan dokumen
Universitas Sumatera Utara
11
pelembagaan lanjut usia dalam kehidupan bangsa yang diterbitkan oleh
departemen sosial bahwa manusia lanjut usia adalah seseorang yang berusia 60
tahun atau lebih (Fatimah, 2010).
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa lanjut usia merupakan
seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih yang sering ditandai mengalami
berbagai perubahan fisik dan permasalahan psikologis.
2. Tugas Perkembangan Lansia
Sebagian besar tugas perkembangan lansia lebih banyak berkaitan dengan
kehidupan pribadi seseorang daripada kehidupan orang lain. Berikut ini
merupakan tugas-tugas perkembangan lansia yang dikemukakan oleh Havighurst
(dalam Hurlock, 1999):
1.
Menyesuaikan diri dengan menurunnya kekuatan fisik dan kesehatan
Perubahan kondisi fisik terjadi pada lansia dan sebagian besar perubahan
itu terjadi kearah yang memburuk, proses dan kecepatannya sangat
berbeda untuk masing-masing individu walaupun usianya sama.
2.
Menyesuaikan diri dengan masa pensiun dan berkurangnya penghasilan
keluarga
Kondisi-kondisi tertentu dapat membantu penyesuaian diri terhadap
masa pensiun, sedangkan kondisi lain dapat menghambat penyesuaian.
Sikap lansia terhadap pensiun pasti mempunyai pengaruh yang besar
terhadap penyesuaian.
Universitas Sumatera Utara
12
3.
Menyesuaikan diri dengan kematian pasangan hidup
Penyesuaian terhadap kematian pasangan sangat sulit bagi pria maupun
wanita usia lanjut, karena pada masa ini semua penyesuaian semakin
sulit dilakukan. Penyesuaian terhadap kematian pasangan berbeda antara
pria dan wanita. Bila pria kehilangan istrinya, segera setelah pensiun
kejadian ini akan menambah kesulitannya dalam menyesuaikan diri
terhadap masa pensiun. Sedangkan pada wanita, penyesuaian diri
seringkali terasa sulit karena berkurangnya pendapatan yang sering
diartikan pindah kedalam kehidupan lebih kecil atau lingkungan yang
kurang diinginkan, misalnya tinggal dengan anak yang sudah menikah,
atau hidup dalam suatu lembaga penyantunan.
4.
Membentuk hubungan dengan orang-orang yang seusia
Pada lanjut usia, mereka membangun ikatan dengan anggota dari
kelompok usia mereka, untuk menghindari kesepian akibat ditinggalkan
anak yang tumbuh besar dan masa pensiun.
5.
Membentuk pengaturan kehidupan fisik yang memuaskan
Bagi mereka yang tidak mempersiapkan diri secara psikis dan ekonomis
untuk menghadapi berbagai perubahan yang akan terjadi di hari tua,
seringkali akan mengalami trauma dalam melakukan penyesuaian
tersebut.
6.
Menyesuaikan diri dengan peran sosial secara luwes
Perubahan peran seringkali menyulitkan dan membangkitkan emosi.
Semakin besar perubahan tersebut dan semakin berkurang prestige yang
Universitas Sumatera Utara
13
diperoleh dari peran baru, maka semakin besar penolakan terhadap
perubahan peran. Individu akan merasa terganggu jika dipaksa oleh
lingkungan untuk melakukan perubahan peran.
B. Kebahagiaan
1. Definisi Kebahagiaan
Diener dkk. (dalam Snyder & Lopez, 2002) menyatakan kebahagiaan adalah
evaluasi kognitif dan afektif seseorang terhadap hidupnya. Evaluasi kognitif
terjadi ketika individu melakukan evaluasi seberapa memuaskan kehidupannya
secara keseluruhan (life satisfaction) atau pada aspek-aspek tertentu dari
kehidupannya (domain satisfaction) seperti pernikahan, pekerjaan, kesehatan, dll.
Sedangkan evaluasi afektif terjadi ketika individu melakukan evaluasi terhadap
emosi yang dirasakannya, dimana meliputi perasaan menyenangkan dan tidak
menyenangkan. Jadi, orang yang bahagia adalah orang yang puas terhadap
domain-domain tertentu dari kehidupannya dan juga puas secara keseluruhan, dan
lebih banyak mengalami emosi positif dibanding emosi negatif dalam hidupnya.
Sedangkan menurut Lyubomirsky (Hoyer & Roodin, 2009) orang yang bahagia
adalah orang yang mempersepsikan, mengingat, dan menginterpretasikan
peristiwa dengan cara yang lebih positif daripada individu yang tidak bahagia.
Menurut kamus umum, kebahagiaan adalah keadaan sejahtera dan kepuasan
hati, yaitu kepuasan yang menyenangkan yang timbul bila kebutuhan dan harapan
tertentu individu terpenuhi. Hal ini tidak sama dengan perasaan senang (euphoria),
yang menunjukkan tidak hanya keadaan puas tetapi juga “rasa fly” yang tidak
Universitas Sumatera Utara
14
terdapat dalam kepuasan hidup atau kebahagiaan (dalam Hurlock, 1999). Menurut
Shaver dan Freedman (dalam Hurlock, 1999) kebahagiaan lebih merupakan
masalah bagaimana individu memandang keadaannya dan bukan apa keadaan itu,
jadi kebahagiaan banyak bergantung pada sikap menerima dan menikmati
keadaan orang lain dan apa yang dimilikinya, mempertahankan keseimbangan
antara harapan dan prestasi.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kebahagiaan adalah kepuasan
seorang
individu
pada
domain-domain
tertentu
dan
keseluruhan
dari
kehidupannya dengan sikap menerima dan menikmati keadaannya dengan pikiran
yang positif, dan intensitas emosi positif lebih cenderung dirasakan dibanding
emosi negatif.
2. Komponen-Komponen Kebahagiaan
Diener (Eid & Larsen, 2008; Biswas-Diener & Dean, 2007) menyatakan
bahwa kebahagiaan memiliki dua komponen yang berbeda yaitu
1.
Komponen kognitif
yaitu meliputi life satisfaction dan domain
satisfaction, dianggap sebagai komponen kognitif karena keduanya
melakukan proses evaluasi terhadap kehidupan. Hal ini terjadi ketika
individu berfikir seberapa memuaskan kehidupannya secara keseluruhan
(life satisfaction) atau berdasarkan aspek tertentu didalam kehidupannya
(domain satisfaction) seperti kesehatan, keluarga, keuangan, pekerjaan,
teman sebaya, waktu luang, dan diri sendiri.
Universitas Sumatera Utara
15
2.
Komponen afektif yaitu meliputi positive affect (PA) dan negative affect
(NA), keduanya dianggap komponen afektif karena mencerminkan
sejumlah perasaan senang dan tidak menyenangkan yang dialami
individu di dalam kehidupan mereka. Orang yang bahagia sering
mengalami emosi yang positif, seperti rasa senang dan jarang mengalami
emosi yang negatif seperti rasa sedih, marah, dll.
3. Ciri-Ciri Orang yang Bahagia
Berikut ini merupakan ciri-ciri orang yang membedakan antara orang
bahagia dengan yang lainnya yang ditemukan oleh para peneliti (Biswas-Diener &
dean, 2007) :
1.
Memiliki kesehatan yang baik
Deborah Danner dan koleganya meneliti para biarawati melalui
pernyataan otobiografi pendek yang ditulis oleh biarawati. kemudian
Danner menganalisis narasi untuk melihat ada atau tidak adanya kalimat
positif dan negatif. Hasilnya, peneliti menemukan bahwa biarawati yang
memiliki nilai yang tinggi dalam mendeskripsikan diri secara positif
menunjukkan nilai yang tinggi dalam bertahan hidup dibanding rekanrekannya. Salah satu hal yang membuat penelitian ini menggemparkan
adalah bahwasanya biarawati memiliki gaya hidup yang sama dan
penelitian Danner ini adalah hanya salah satu contoh kuat dari manfaat
kesehatan terhadap kebahagiaan.
Universitas Sumatera Utara
16
2.
Memiliki hubungan sosial yang bermanfaat
Diener dan Seligman menemukan bahwa orang yang bahagia cenderung
memilki hubungan sosial yang bermanfaat. Mereka adalah orang yang
memiliki pernikahan yang baik, memiliki banyak teman yang bisa
dipercaya, dan bertahan lama dengan bos mereka.
3.
Menggunakan kebiasaan berpikir positif
Lyubomirsky menemukan perbedaan gaya berfikir antara orang yang
bahagia dibanding yang lainnya. Hasilnya yaitu orang yang bahagia
kurang rentan terhadap refleksi diri (perenungan), dan lebih kecil
kemungkinannya untuk terlibat dalam perbandingan dengan teman
sebaya dan cenderung untuk menafsirkan peristiwa secara lebih positif.
4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kebahagiaan
Berikut ini merupakan beberapa faktor yang mempengaruhi kebahagiaan
menurut Hurlcok (1999) yaitu :
a. Kesehatan
Kesehatan yang baik memungkinkan orang pada usia berapa pun
melakukan apa yang hendak dilakukan. Sedangkan kesehatan yang buruk
atau ketidakmampuan fisik menjadi halangan untuk mencapai kepuasan
bagi keinginan dan kebutuhan mereka, sehingga menimbulkan rasa tidak
bahagia.
Universitas Sumatera Utara
17
b. Daya tarik fisik
Daya tarik fisik menyebabkan individu dapat diterima dan disukai oleh
masyarakat sehingga menyebabkan meraih prestasi yang lebih besar
daripada individu yang kurang memiliki daya tarik fisik.
c. Tingkat Otonomi
Semakin besar tingkat otonomi yang dimiliki individu, maka semakin
besar kesempatan individu untuk bahagia. Hal ini ditemukan baik pada
masa kanak-kanak maupun masa dewasa.
d. Kesempatan-kesempatan interaksi diluar keluarga
Orang akan merasa bahagia jika memiliki hubungan sosial dengan
seseorang di luar lingkungannya, ketimbang apabila hubungan sosial
mereka terbatas pada anggota keluarga.
e. Jenis pekerjaan
Semakin rutin sifat pekerjaan dan semakin sedikit kesempatan untuk
otonomi maka kepuasan seseorang terhadap pekerjaannya akan semakin
berkurang.
f. Status kerja
Ketika seseorang berhasil melaksanakan suatu tugas, maka akan dikaitkan
dengan prestise, sehingga menimbulkan kepuasan yang besar terhadap
pekerjaannya.
g. Kondisi kehidupan
Kondisi kehidupan akan memungkinkan seseorang untuk berinteraksi
dengan orang-orang lain baik di dalam keluarga maupun dengan teman-
Universitas Sumatera Utara
18
teman
dan
tetangga
di
dalam
masyarakat,
sehingga
cenderung
memperbesar kebahagiaannya.
h. Pemilikan harta benda
Pemilikan harta benda bukan dalam arti memiliki benda itu yang
mempengaruhi kebahagiaan, melainkan cara orang merasakan pemilikan
itu.
i. Keseimbangan antara harapan dan pencapaian
Jika harapan yang dimiliki individu tersebut realistis, maka orang tersebut
akan puas dan bahagia jika tujuannya tercapai.
j. Penyesuaian emosional
Orang-orang yang bahagia mudah menyesuaikan diri dengan baik dan
jarang mengungkapkan perasaan-perasaan negatif seperti takut, marah, dan
iri hati daripada mereka yang tidak bahagia.
k. Sikap terhadap periode usia tertentu
Pengalaman bahagia yang akan dialami pada usia tertentu sebagian
ditentukan oleh pengalaman-pengalamannya sendiri bersama orang lain
semasa kanak-kanak pada usia itu dan sebagian oleh stereotip budaya.
l. Realisme dari konsep-diri
Orang-orang yang yakin bahwa kemampuannya lebih besar dari yang
sebenarnya akan merasa tidak bahagia apabila tujuan mereka tidak
tercapai. ketidakbahagiaan mereka dipertajam oleh perasaan tidak mampu
dan oleh keyakinan bahwa mereka tidak dimengerti dan diperlakukan
kurang adil.
Universitas Sumatera Utara
19
m. Realisme dari konsep-konsep peran
Orang-orang akan cenderung mengangankan peran yang akan dimainkan
pada usia mendatang. Apabila peran yang baru itu tidak sesuai dengan
harapan mereka, maka mereka merasa tidak bahagia kecuali jika mereka
mau menerima kenyataan peran yang baru itu.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kebahagiaan yang dikemukakan
oleh Hurlock (1999) tersebut juga diperkuat oleh Carr (2004) yaitu kesehatan,
pekerjaan, kekayaan, dan persahabatan. Berikut ini merupakan penjelasan lebih
rinci yang mempengaruhi kebahagiaan yang dikemukakan oleh Carr (2004) :
a. Kepribadian
Studi Kepribadian mengenai kebahagiaan menunjukkan bahwa orangorang bahagia dan tidak bahagia memiliki profil kepribadian yang khas,
misalnya dalam budaya Barat orang yang bahagia adalah
extrovert,
optimis, memiliki harga diri yang tinggi dan internal locus of control,
sebaliknya orang yang tidak bahagia cenderung memiliki tingkat
neurotisisme yang tinggi.
b. Faktor budaya
Menurut Triandis, faktor budaya dan sosial-politik juga memainkan peran
penting dalam menentukan kebahagiaan. Dalam studi lintas budaya telah
ditemukan hubungan antara kesejahteraan subjektif dalam demokrasi yang
stabil tanpa penindasan politik dan konflik militer, juga budaya di mana
ada kesetaraan sosial memiliki tingkat kesejahteraan subjektif yang lebih
tinggi, dan dalam budaya individualis kesejahteraan subjektif lebih baik
Universitas Sumatera Utara
20
daripada budaya kolektivis. Kebahagiaan juga berkaitan dengan ciri
penting dari institusi pemerintahan. kebahagiaan lebih tinggi di negaranegara yang makmur, di negara-negara yang institusi publik berjalan
secara efisien, dan di mana terdapat hubungan yang memuaskan antara
warga dan anggota birokrasi.
c. Pernikahan
Menurut Myers, orang yang menikah lebih bahagia daripada orang yang
belum menikah, yang bercerai, berpisah atau tidak pernah menikah. Ada
dua penjelasan hubungan antara kebahagiaan dan pernikahan, pertama,
bahwa orang yang lebih bahagia menikah dikarenakan mereka lebih
menarik sebagai pasangan daripada orang yang tidak bahagia. Kedua,
pernikahan menganugerahkan berbagai manfaat, misalnya menyediakan
keintiman psikologis dan fisik, bisa memiliki anak dan membangun
rumah, memiliki peran sosial sebagai pasangan dan orang tua, dan
menegaskan identitas dan memperoleh cucu.
d. Hubungan kekerabatan
hubungan yang mendukung antara orangtua, anak, saudara kandung, dan
anggota keluarga meningkatkan dukungan sosial bagi semua anggota
keluarga. Dukungan sosial dapat meningkatkan kebahagiaan, dan dari
sudut pandang evolusioner hal ini sudah 'terprogram' untuk mendapatkan
kebahagiaan
dari
kontak
kita
dengan
jaringan
kekerabatan.
Mempertahankan kontak dengan anggota keluarga dapat meningkatkan
dukungan sosial dan ini tidak hanya membawa kebahagiaan tetapi juga
Universitas Sumatera Utara
21
meningkatkan fungsi sistem kekebalan tubuh, mengurangi kemungkinan
kekerasan dalam rumah tangga dan pelecehan anak.
e. Persahabatan
Menurut Argyle, mempertahankan hubungan dekat dan erat ditemukan
berkorelasi dengan kebahagiaan. Sebagai contoh, dalam sebuah studi
ditemukan orang yang paling bahagia sekitar 10 persen dari 222
mahasiswa, dan hal ini dikaitkan dengan kehidupan sosial. Ada tiga alasan
terkait hubungan antara persahabatan dengan kebahagiaan. Pertama,
orang-orang bahagia mungkin lebih sering dipilih sebagai teman karena
mereka adalah orang yang lebih menarik daripada orang yang tidak
bahagia. Mereka juga membantu orang lain lebih dari orang-orang depresi
yang berfokus pada diri sendiri dan kurang dalam bersikap altruisme.
Kedua, persahabatan memenuhi kebutuhan afiliasi dan sebagainya,
sehingga membuat kita merasa senang dan puas. Ketiga, persahabatan
yang erat memberikan dukungan sosial.
f. Agama
Menurut Myers, ada hubungan antara kebahagiaan dan keterlibatan dalam
kegiatan keagamaan di North studi Amerika, dimana orang-orang yang
terlibat dalam agama mungkin lebih bahagia daripada yang lain karena
berbagai alasan, Pertama, agama menyediakan sistem kepercayaan yang
jelas yang memungkinkan orang untuk menemukan makna hidup dan
harapan untuk masa depan. Sistem kepercayaan agama memungkinkan
beberapa dari kita untuk membuat rasa kemalangan, stres dan kerugian tak
Universitas Sumatera Utara
22
terelakkan yang terjadi selama siklus hidup dan untuk bersikap optimis
tentang kehidupan setelah kematian di mana kesulitan-kesulitan ini akan
diselesaikan. Kedua, keterlibatan dan kehadiran rutin di pelayanan
keagamaan dan menjadi bagian dari komunitas agama menyediakan
dukungan sosial bagi individu. Ketiga, keterlibatan dalam agama sering
dikaitkan dengan gaya hidup sehat secara fisik dan psikologis ditandai
dengan kesetiaan perkawinan, perilaku prososial (bukan kriminalitas),
kesederhanaa dalam makan dan minum, dan komitmen untuk bekerja
keras.
g. Kekayaan
Profesor Ed Diener
ekonomi yang
menemukan bahwa orang-orang di negara-negara
kurang beruntung memiliki nilai yang rendah untuk
kebahagiaan, hal ini terbukti dari korelasi kebahagiaan dan kekayaan
sekitar r = 0,6 yang ditemukan di seluruh negara. Tingkat kebahagiaan
yang rendah di Rusia dan Turki dan tinggi di Irlandia, Kanada, Denmark
dan Swiss. Hal ini mungkin karena orang-orang di negara-negara miskin
tidak puas bahwa mereka tidak punya kemewahan yang mereka tahu dari
media yang tersedia di negara-negara yang lebih makmur.
h. Kesehatan
Penilaian subjektif terhadap kesehatan pribadi berkorelasi dengan
kebahagiaan.
kepribadian
Penilaian
dan
subjektif
strategi
lebih
dipengaruhi
penanggulangan,
seperti
oleh
ciri-ciri
penyangkalan
dibandingkan dengan tujuan kesehatan fisik. Orang tinggi pada
Universitas Sumatera Utara
23
neurotisisme mungkin mengeluh dari kesehatan yang buruk dan belum
dapat dinilai sebagai sehat fisik oleh dokter mereka. Sebaliknya, orang
yang dianggap sakit oleh dokter dapat melaporkan merasa cukup baik
karena mereka menolak bahwa fisik mereka sakit.
i. Pekerjaan
Menurut Argyle, Status pekerjaan berhubungan dengan kebahagiaan,
orang-orang yang bekerja lebih bahagia daripada mereka yang
menganggur, dan orang-orang yang bekerja secara profesional dan
memiliki keahlian lebih bahagia daripada mereka yang tidak. Hal ini
mungkin karena pekerjaan dapat memberikan stimulus bagi orang untuk
menemukan kesenangan, kesempatan untuk memenuhi dorongan rasa
ingin tahu dan pengembangan keterampilan, berkembangnya jaringan
dukungan sosial, dan mendapatkan identitas diri.
j. Pendidikan
Menurut
Diener,
tingkat
pendidikan
berkorelasi
positif
dengan
kebahagiaan dan hubungan ini sangat kuat untuk kelompok berpenghasilan
rendah di negara maju dan populasi di negara-negara miskin. Hal ini
mungkin karena di negara-negara terbelakang pendidikan memberikan
manfaat yang lebih besar. Di negara-negara terbelakang, orang yang
berpendidikan rendah kemungkinan tidak bisa memenuhi kebutuhan dasar
dibandingkan dengan mereka yang berpendidikan, dimana mereka bisa
mendapatkan uang yang cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka,
seperti makanan dan tempat tinggal.
Universitas Sumatera Utara
24
5. Kebahagiaan pada Lansia
Studi lintas budaya menemukan bahwa kebahagiaan pada lansia cenderung
lebih tinggi daripada tahap perkembangan lainnya, hal ini dikaitkan dengan emosi
positif yang secara reguler dialami oleh lansia. Emosi positif seringkali dikaitkan
dengan kesehatan, hal ini dibuktikan pada penelitian yang menggunakan subjek
sebanyak 851 orang dari komunitas pensiun, menemukan bahwa ada dua
prediktor terkuat dalam kesehatan pada lansia yaitu emosi positif dan aktifitas.
Myers juga menemukan bahwa lansia yang skor kebahagiaannya tinggi adalah
mereka yang memiliki kesehatan yang baik (dalam Hoyer dan Roodin, 2009).
Kesehatan yang baik memungkinkan orang pada usia berapa pun melakukan apa
yang hendak dilakukan, sedangkan kesehatan yang buruk atau ketidakmampuan
fisik menjadi halangan untuk mencapai kepuasan bagi keinginan dan kebutuhan
mereka sedemikian rupa, sehingga menimbulkan rasa tidak bahagia (Hurlcok,
1999).
C. Kesehatan
1. Definisi Kesehatan
Cavanaugh dkk. (2006) mendefinisikan kesehatan sebagai tidak adanya
keadaan fisik yang akut dan kronis atau penyakit mental dan gangguan.
Sedangkan menurut Sarafino (2011) kesehatan diartikan sebagai keadaan
kesejahteraan fisik, mental, dan sosial yang positif, yang bervariasi sepanjang
kontinum, bukan hanya sekedar tidak adanya cedera atau penyakit. Dengan
Universitas Sumatera Utara
25
demikian dapat disimpulkan bahwa kesehatan adalah kesejahteraan secara fisik,
mental, dan sosial yang bervariasi sepanjang kontinum.
2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesehatan
a. Regulasi emosi
Snyder dan Lopez (2006) mengatakan bahwasanya regulasi emosi
merupakan hal yang penting bagi individu, karena ketika individu tidak
mampu dalam meregulasi emosi maka akan meningkatkan resiko terhadap
masalah kesehatan.
b. Dukungan sosial
Sarafino (2011) mengemukakan bahwa dukungan sosial dapat mengurangi
stress, dan bermanfaat bagi kesehatan. Hal ini juga diperkuat oleh hasil
penelitian yang menemukan bahwa tekanan darah selama bekerja lebih
rendah bagi pekerja yang memiliki dukungan sosial tinggi daripada
mereka yang kurang mendapat dukungan.
c. Religiusitas
Agama ditemukan memiliki kaitan dengan kesehatan. Hal ini didasarkan
dari hasil penelitian yang menemukan bahwasanya aktivitas keagamaan
yang rutin dilaksanakan bisa mengurangi tingkat kematian hingga 25%
(dalam Papalia, Old, & Fredman, 2008).
Universitas Sumatera Utara
26
D. Regulasi Emosi
1. Definisi Regulasi Emosi
Gross (dalam Kring & Sloan, 2010) mendefinisikan regulasi emosi sebagai
proses dimana individu mempengaruhi emosi yang mereka miliki, ketika mereka
memilikinya dan bagaimana mereka mengekspresikan emosi. Gratz dan Roemer
(dalam Kring & Sloan, 2010) juga menambahkan bahwa regulasi emosi juga
meliputi kesadaran, pemahaman, dan penerimaan dari emosi, serta kemampuan
untuk mengontrol perilaku dalam konteks tekanan emosional. Regulasi emosi
sangat penting dalam fungsi adaptif individu, karena tingkat regulasi emosi yang
rendah terkait dengan tidak terkontrol, perilaku destruktif, perilaku agresi,
prososial rendah dan kerentanan terhadap efek dari emosi negatif dan penolakan
sosial, sedangkan tingginya kadar regulasi emosi memiliki efek yang berlawanan
(Snyder, Simpson, & Hughes, 2006).
Regulasi emosi merupakan kemampuan untuk mengatur keadaan perasaan
dan respon terhadap pemicu emosi (Ekerdt, 2002). Seseorang dapat mengatur
emosinya dengan menghindari situasi yang menimbulkan emosi, yaitu dengan
strategi kognitif (seperti denial atau intellectualization) atau dengan strategi
lainnya.
Menurut Dodge (dalam Garber & Dodge, 1991) regulasi emosi merupakan
proses di mana aktivasi dalam satu domain respon berfungsi untuk mengubah atau
mengatur aktivasi di domain respon lain. Domain yang terkait adalah domain
respon perilaku, pengalaman, dan fisiologis. Dodge (dalam Kring & Sloan)
berpendapat bahwa dalam memahami bagaimana seseorang mengkoordinasikan
Universitas Sumatera Utara
27
respon ini merupakan cara kita untuk mulai memahami regulasi emosi. Sebagai
contoh, seorang wanita dengan gangguan obsesif kompulsif mulai merasa
jantungnya berdetak cepat karena memikirkan kompor yang ditinggalkannya di
dapur, kemudian ia memeriksa kompor berulang kali, hal ini dilakukan untuk
mengurangi reaksi fisiologis terhadap kecemasan. Dalam Hal ini perilaku regulasi
emosi terjadi ketika munculnya perasaan kecemasan awal dan ia berusaha
mengurangi respon fisiologis dari kecemasan melalui tindakan.
Eisenberg dan Spinrad (dalam Kring & Sloan, 2010) mendefinisikan
regulasi diri sebagai proses memulai, mempertahankan, mengatur, atau mengubah
timbulnya, intensitas, atau durasi keadaan perasaan internal dan emosi terkait
motivasi dan proses fisiologis, seringkali untuk mencapai tujuan seseorang.
Menurut Eisenberg regulasi emosi digunakan untuk adaptasi biologis atau sosial
dan untuk mencapai tujuan.
Thompson (dalam Kring & Sloan, 2010) mengatakan bahwa regulasi emosi
terdiri dari proses ekstrinsik dan intrinsik yang bertanggung jawab untuk
memantau, mengevaluasi, dan memodifikasi reaksi emosi, terutama ciri mereka
yang intensif dan temporal, untuk mencapai tujuan seseorang. Emosi dikelola
melalui pengaruh ekstrinsik (pengasuh diawal kehidupan atau orang lain) serta
usaha orang itu sendiri. Emosi anak dan toleransi dibentuk oleh pengalamanpengalaman dari regulasi emosi ekstrinsik.
Berdasarkan penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa regulasi emosi
ialah suatu proses intrinsik dan ekstrinsik yang dapat mengontrol serta
menyesuaikan emosi yang muncul pada tingkat intensitas yang tepat untuk
Universitas Sumatera Utara
28
mencapai suatu tujuan yang meliputi kemampuan mengatur perasaan, reaksi
fisiologis serta dapat dengan cepat menenangkan diri setelah kehilangan kontrol
atas emosi yang dirasakan.
2. Aspek-Aspek Regulasi Emosi
Menurut Gratz dan Roemer (2004) ada empat aspek yang digunakan untuk
menentukan kemampuan regulasi emosi seseorang yaitu :
a.
Acceptance of emotional response
ialah kemampuan individu untuk
menerima suatu peristiwa yang menimbulkan emosi negatif dan tidak
merasa malu merasakan emosi tersebut.
b.
Strategies to emotion regulation ialah keyakinan individu untuk dapat
mengatasi suatu masalah, memiliki kemampuan untuk menemukan suatu
cara yang dapat mengurangi emosi negatif dan dapat dengan cepat
menenangkan diri kembali setelah merasakan emosi yang berlebihan.
c.
Engaging in goal directed behavior ialah kemampuan individu untuk tidak
terpengaruh oleh emosi negatif yang dirasakannya sehingga dapat tetap
berpikir dan melakukan sesuatu dengan baik.
d.
Control emotional responses ialah kemampuan individu untuk dapat
mengontrol emosi yang dirasakannya dan respon emosi yang ditampilkan
(respon fisiologis, tingkah laku dan nada suara), sehingga individu tidak
akan merasakan emosi yang berlebihan dan menunjukkan respon emosi
yang tepat.
Universitas Sumatera Utara
29
3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Regulasi Emosi
Gross (2007) menjelaskan ada faktor yang mempengaruhi kemampuan
regulasi emosi seseorang, yaitu :
a. Genetik
Ada bagian di otak yang berkontribusi terhadap regulasi emosi. Penelitian
lain juga menemukan bahwa variasi genetic 5-HTT mempengaruhi
tempramen dan affect individu.
b. Usia
Penelitian menemukan bahwa semakin bertambahnya usia, maka semakin
baik pula regulasi emosinya. Penelitian ini dilakukan dengan merangking
usia partisipan mulai dari 18-94 tahun, dan setiap partisipan diminta untuk
melaporkan emosi yang dialaminya, hasilnya menunjukkan bahwa kontrol
emosi semakin baik dengan bertambahnya usia.
c. Religiusitas
Setiap agama mengajarkan seseorang diajarkan untuk dapat mengontrol
emosinya. Seseorang yang tinggi tingkat religiusitasnya akan berusaha
untuk menampilkan emosi yang tidak berlebihan bila dibandingkan
dengan orang yang tingkat religiusitasnya rendah.
d.
Gaya pengasuhan
Orang tua dapat mepengaruhi pembentukan regulasi emosi awal anak,
dikarenakan orang tua memiliki perbedaan dalam memandang bagaimana
cara mengekspresikan emosi. Ada orang tua yang mengajarkan anaknya
Universitas Sumatera Utara
30
menggunakan strategi regulasi emosi reappraisal dan ada orang tua yang
mengajarkan anaknya menggunakan strategi regulasi suppression.
D. Hubungan antara Regulasi Emosi dengan Kebahagiaan pada Lansia
Menurut Diener dkk. (dalam Snyder & Lopez, 2002) menyatakan
kebahagiaan adalah evaluasi kognitif dan afektif seseorang terhadap hidupnya.
Evaluasi kognitif terjadi ketika individu melakukan evaluasi seberapa memuaskan
kehidupannya secara keseluruhan (life satisfaction) atau pada aspek-aspek tertentu
dari kehidupannya (domain satisfaction) seperti pernikahan, pekerjaan, kesehatan,
dll. Evaluasi afektif terjadi ketika individu melakukan evaluasi terhadap emosi
yang dirasakannya, dimana meliputi perasaan menyenangkan dan tidak
menyenangkan. Jadi, orang yang bahagia adalah orang yang puas terhadap
domain-domain tertentu dari kehidupannya dan juga puas secara keseluruhan, dan
lebih banyak mengalami emosi positif dibanding emosi negatif dalam hidupnya.
Faktor utama yang mempengaruhi kebahagiaan pada lansia adalah
kesehatan, hal ini diperkuat juga oleh Myers (dalam Hoyer & Roodin, 2009) yang
menemukan bahwa lansia yang skor kebahagiaannya tinggi adalah mereka yang
memiliki kesehatan yang baik. Lanjut usia merupakan seseorang yang berusia 60
tahun atau lebih yang sering ditandai mengalami berbagai perubahan fisik, seperti
perubahan dalam penampilan, perubahan pada sistem organ dalam, perubahan
pada sistem syaraf, dan perubahan kemampuan seksual. Menurut Hurlock (1999)
perubahan kondisi fisik pada lansia sebagian besar terjadi kearah yang memburuk,
proses dan kecepatannya sangat berbeda untuk masing-masing individu walaupun
Universitas Sumatera Utara
31
usianya sama. Oleh karena itu kesehatan yang baik memungkinkan lansia pun
melakukan apa yang hendak dilakukan, sedangkan kesehatan yang buruk atau
ketidakmampuan fisik menjadi halangan untuk mencapai kepuasan bagi keinginan
dan kebutuhan mereka sedemikian rupa, sehingga menimbulkan rasa tidak
bahagia (Hurlcok, 1999).
Kesehatan pada lansia juga sering dikaitkan dengan emosi positif, hal ini
dibuktikan pada penelitian yang menggunakan subjek sebanyak 851 orang dari
komunitas pensiun, menemukan bahwa ada dua prediktor terkuat dalam kesehatan
pada lansia yaitu emosi positif dan aktifitas (Hoyer & Roodin, 2009). Salah satu
cara untuk meraih emosi positif adalah melalui regulasi emosi, dikarenakan
individu yang memiliki kemampuan regulasi emosi yang rendah mengalami
kerentanan terhadap emosi negatif (Snyder, Simpson, & Hughes, 2006). Gratz dan
Roemer (dalam Kring & Sloan, 2010) menyatakan bahwa regulasi emosi
merupakan kemampuan untuk menggunakan strategi dalam mengatur respon
emosi ketika dibutuhkan dan juga meliputi kesadaran, pemahaman, dan
penerimaan dari emosi, serta kemampuan untuk mengontrol perilaku dalam
konteks tekanan emosional.
Berdasarkan
penjelasan
diatas,
penulis
dapat
menarik
kesimpulan
bahwasanya regulasi emosi ditemukan memiliki dampak positif terhadap lansia
yaitu kesehatan.. Kesehatan sendiri merupakan salah satu faktor utama yang
mempengaruhi kebahagiaan pada lansia, sehingga dapat diperoleh kesimpulan
bahwasanya ada kaitan antara regulasi emosi dengan kebahagiaan pada lansia.
Universitas Sumatera Utara
32
E. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan sebelumnya, maka hipotesis
yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada hubungan antara regulasi emosi
dengan kebahagiaan pada lansia dengan mengendalikan status kesehatan. Semakin
tinggi kemampuan regulasi emosi seseorang, maka akan semakin tinggi tingkat
kebahagiaannya, sebaliknya semakin rendah kemampuan regulasi emosi
seseorang,
maka
akan
semakin
rendah
tingkat
kebahagiaannya.
Universitas Sumatera Utara