Analisis Keragaman Genetik Andaliman (Zanthoxylum acanthopodium Dc.) Sumatera Utara Menggunakan Marka RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA)
17
TINJAUAN PUSTAKA
Botani Tanaman
Andaliman termasuk tanaman perdu. Hsuang Keng (1978 dalam Wijaya,
1999) menyatakan bahwa sistematika tanaman andaliman adalah sebagai berikut:
kingdom: Plantae; divisio: Spermatophyta; subdivisio: Angiospermae; kelas:
Dicotyledonae; sub kelas: Rosidae; ordo: Rutales; family: Rutaceae; genus:
Zanthoxylum; spesies: Zanthoxylum acanthopodium DC.
Menurut Dianxiang dan Thomas (2008), andaliman merupakan tanaman
rempah yang tumbuh di hutan terbuka yang dapat ditemui di Bangladesh, Bhutan,
India, Indonesia, Laos, Malaysia, Myanmar, Nepal, Thailand dan Vietnam. Di
Indonesia, menurut Wijaya (1999) tanaman andaliman ini hanya terdapat di
Sumatera Utara, yaitu di Tapanuli, sekitar danau Toba.
Andaliman merupakan tumbuhan yang termasuk ke dalam famili
Rutaceae, tumbuh perdu, dengan tinggi 3 - 8 m, batang dan cabang merah kasar
beralur, berbulu halus dan berduri. Daun berukuran kecil, mirip daun bunga
mawar. Buah andaliman tumbuh di antara duri-duri dan bertangkai, buah muda
berwarna hijau, dan matang berwarna merah, bila dipetik warnanya cepat berubah
menjadi hitam. Bentuk buah bulat dan kecil, lebih kecil dari merica, bila digigit
mengeluarkan aroma wangi dan rasa tajam yang khas, dan dapat merangsang
produksi air liur (Miftakhurohmah dan Sintha, 2009).
Universitas Sumatera Utara
18
Gambar 1. Tanaman andaliman
Pucuk daun andaliman berwarna coklat kemerahan, berduri halus
beraroma tajam. Batang dan ranting berduri tajam yang tidak sama besar
ukurannya. Bunga yang menjadi buah muncul di ranting, cabang atau batang
utama. Buah sebesar biji merica berwarna hijau waktu muda dan berubah menjadi
merah bila sudah matang (Simatupang, et al., 2001).
Gambar 2. Daun andaliman yang berduri pada tanaman muda
Biji andaliman berwarna hitam, akan mencuat dari buah tua setelah 10 hari
panen pada temperatur kamar. Andaliman yang dikonsumsi adalah buah beserta
bijinya. Kebanyakan dijual dalam bentuk segar berwarna hijau yang tercampur
buah berwarna merah sekitar 5 – 10 % (Simatupang, et al., 2004). Uniknya bila
buah tidak dipanen, ranting atau cabang tempat buah melekat tersebut menjadi
kering dan mati, dan bila semua buah tidak dipanen dari satu pohon, pohon stress
Universitas Sumatera Utara
19
lalu mati. Belum diteliti zat apa yang dikeluarkan buah andaliman yang meracuni
pohonnya sendiri (Napitupulu, et al., 2004).
Ciri lain famili Rutaceae yang terdapat pada andaliman ialah daun
majemuk, bunga majemuk berbatas dalam anak payung, mempunyai perhiasan
bunga satu lingkaran, yaitu kelopak yang disusun oleh lima daun kelopak bebas.
Lain halnya dengan anggota famili Piperaceae, berdaun tunggal, bunga majemuk
tidak terbatas, tersusun dalam bulir (lada), dan tidak memiliki perhiasan bunga
(Siregar, 2003).
Tanaman ini tergolong perdu dengan tinggi 3-8 m, batang dan cabang
merah kasar, berbulu halus dan berduri. Tumbuhan ini berasal dari daerah
Himalaya subtropis. Di Indonesia, tumbuhan ini terdapat di Sumatera Utara dan
ditemukan liar di pegunungan pada ketinggian 1400 m dpl, dengan temperatur 15180 C (Gultom, 2011).
Manfaat dan Kandungan Andaliman
Saat ini andaliman diperhitungkan menjadi senyawa aromatik dan minyak
esensial. Masyarakat Himalaya, Tibet dan sekitarnya menggunakan tanaman ini
sebagai bahan aromatik, tonik, perangsang napsu makan dan obat sakit perut.
Manfaat lain buah andaliman berdasarkan penelitian adalah sebagai insektisida
untuk menghambat pertumbuhan serangga Sitophilus zeamais. Efeknya berupa
daya tolak makan serangga atau mengurangi selera makan serangga. Sedangkan di
Jepang, daun andaliman digunakan untuk pemberi aroma (Tensiska, 2001).
Komponen sitronella dan geraniol dikenal bersifat anti jamur dan
antibakteri. Berdasarkan penelitian, buah andaliman mampu menghambat
pertumbuhan 9 mikroba yang bersifat patogen dan perusak bahan pangan. Serbuk
Universitas Sumatera Utara
20
buah andaliman mampu menghambat pertumbuhan Eschericia coli, Salmonella
typhimurium, Bacillus cereus, Staphylococcus aureus, dan Pseudomonas
fluorescens. (Miftakhurohmah dan Sintha, 2009).
Buah andaliman berpotensi menjadi bahan pengawet alami berkaitan
dengan aktivitas antimikroba dan antioksidannya, sehingga dapat menggantikan
penggunaan pengawet makanan sintetik yang telah terbukti membahayakan bagi
kesehatan konsumen (Miftakhurohmah dan Sintha, 2009).
Andaliman juga mempunyai potensi sebagai insektisida alami dalam
mengendalikan hama gudang bahan pangan (Andayanie, 2001 dalam Napitupulu
et al., 2004). Penambahan 10 % ekstrak andaliman pada tepung beras tidak
disukai hama gudang Sithopilus zeamais, yang ditunjukkan tidak ada serangga
yang meletakkan telur pada tepung beras tersebut. Insektida alami sangat
diperlukan bahan pangan karena tidak mengandung racun bagi manusia yang akan
mengkonsumsinya.
Analisis
minyak
atsiri
buah
andaliman
dengan
teknik
GC-MS
menghasilkan 11 komponen, dengan 5 komponen utama adalah alfapinen,
limonen, geraniol, sitronelal, dan geranil asetat. Sedangkan dengan teknik
kromatografi gas, senyawa yang berhasil diidentifikasi sebanyak 7 komponen,
yaitu geranil asetat, sitronelal, geraniol, geranial, mirsen, linalool, dan limonen
(Miftakhurohmah dan Sintha, 2009).
Keragaman Genetik
Dalam proses pemuliaan tanaman ada beberapa hal penting yang umum
diakukan yaitu: 1) mengenali karakter morfologi dan fisiologi serta respon secara
pathologi dari satu spesies tanaman yang penting untuk adaptasi terhadap
Universitas Sumatera Utara
21
lingkungan, hasul dan kualitas tanaman tersebut, 2) merancang teknik yang akan
mengevaluasi potensi genetik untuk karakter-karakter tersebut dalam proses
penapisan spesies yang diinginkan, 3) untuk mencari sumber-sumber gen untuk
karakter yang diinginkan yang bisa digunakan dalam program pemuliaan tanaman
dan mengkombinasikan potensi genetik untuk karekter-karekter ini ke dalam
varietas atau kultivar baru (Poehlman, 1983 dalam Robi’ah, 2004).
Penilaian keragaman genetik tanaman secara morfologi dilakukan melalui
uji progeni, uji provenan dan pengujian lainnya dengan mengamati penampilan
fenotipik tanaman. Pengujian ini dilakukan pada lingkungan yang berbeda dengan
fokus utama adalah ciri kualitatif dan kuantitatif yang bernilai ekonomi serta ciri
yang secara biologi penting seperti kemampuan hidup (survive), sifat toleran
terhadap stres lingkungan, sifat produksi dan resistensi terhadap hama dan
penyakit. Sebagian diantara ciri–ciri tersebut bersifat poligenik dan ekspresinya
dipengaruhi oleh lingkungan. Studi secara tradisional dengan metode genetika
kuantitatif, penilaian keragaman dan distribusi keragaman dikelompokkan ke
dalam beberapa kelas pengaruh, seperti pengaruh fenotifik, genotipe, lingkungan
dan interaksi antara lingkungan dan genotipe. Penentuan keragaman genetik
tanaman secara konvensional ini membutuhkan waktu yang lama, relatif mahal,
dipengaruhi oleh lingkungan dan keragaman yang diperoleh terbatas dan tidak
konsisten (Zulfahmi, 2013).
Keragaman tingkat genetik merupakan tingkat keragaman yang paling
rendah dalam organisasi biologi. Keragaman genetik sangat penting bagi tanaman
untuk beradaptasi terhadap perubahan lingkungan yang terjadi disekitarnya.
Informasi keragaman genetik tanaman pada tingkat, individu, spesies maupun
Universitas Sumatera Utara
22
populasi perlu diketahui, sebagai dasar pertimbangan dalam menyusun strategi
konservasi, pemuliaan, pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya genetik
tanaman secara berkelanjutan. Penilaian keragaman genetik tanaman dapat
dilakukan dengan menggunakan penanda morfologi, biokimia dan molekuler
DNA (Zulfahmi, 2013).
Teknik
biologi
molekuler
telah
memberikan
peluang
untuk
mengembangkan dan mengidentifikasi peta genetik dari suatu kultivar tanaman.
Pendekatan genetika molekuler dengan menggunakan penanda DNA telah
berhasil membentuk penanda molekuler yang mampu dalam mendeteksi gen dan
sifat-sifat tertentu, evaluasi keragaman dan evolusi pada tingkat genetik. Beberapa
teknik penanda DNA tersebut adalah Restriction Fragment Length Polymorphism
(RFLP), Amplified Fragment Length Polymorphism (AFLP) dan Random
Amplified Polymorphic DNA (RAPD) (Harahap, 2013).
Marka RAPD
Sejak ditemukan teknologi PCR oleh Mullis dan Faloona (1987), penanda
molekuler DNA berkembang pesat dan diaplikasikan pada berbagai bidang, baik
yang menggunakan primer acak yang tidak memerlukan informasi sekuen DNA
maupun yang memerlukan informasi sekuen DNA, hal ini karena kecepatan,
efisiensi dan kesuksesan dalam mendeteksi berbagai tipe variasi DNA yang
tinggi. Teknologi PCR terus disederhanakan dan dikembangkan, sehingga biaya
relatif rendah, kecepatan tinggi, membutuhkan contoh uji sangat sedikit, metode
ekstraksi dan amplifikasi yang sederhana sehingga membuat penanda berdasarkan
PCR dapat diaplikasikan pada semua spesies (Zulfahmi, 2013).
Universitas Sumatera Utara
23
RAPD adalah metode analisis genetik yang menggunakan prinsip kerja
mesin PCR dan pertama kali dikembangkan oleh William, Kubedi, Rafalski dan
Tingey pada tahun 1990 dengan menggunakan primer tunggal atau sekuen
nulkeotida pendek (10-20-mer) yang susunan basanya dibuat secara acak. Tahun
1991, Welsh dan McClelland mengembangkan metode yang sama dan dinamakan
AP-PCR (Arbitrary-Primer PCR). Pada tahun yang sama, Caetano-Anolles,
Bussam dan Gresshoff juga mengembangkan metode yang sama dengan
menggunakan primer yang nukleotidanya jauh lebih pendek, metode ini diberi
nama DAF (DNA Amplified Fingerprinting). AP-PCR, DAF maupun RAPD
merupakan metode yang prinsipnya sama saja. Metode RAPD ini mampu
mendeteksi sekuen nukleotida dengan hanya menggunakan satu primer atau
nukleotida yang disusun secara acak (Sumarsono, 2000).
Penanda RAPD bersifat dominan, fragmen DNA yang dihasilkan tidak
dapat membedakan individu yang memiliki genotipe homozigot (AA) dengan
heterozigot (Aa), sedangkan yang tidak ada pita secara jelas menunjukkan
genotipe resesif (aa). Fragmen DNA hasil amplifikasi RAPD diskoring dengan
ketentuan ―1‖ untuk ada pita dan ―0‖ untuk tidak ada pita, data tersebut
kemudian digunakan untuk menghasilkan matrik biner untuk analisis statistik
selanjutnya. Keuntungan utama penanda RAPD adalah secara teknik lebih
sederhana dan cepat dalam pengujiannya, tidak memerlukan informasi sekuen
DNA sehingga penanda ini dapat digunakan secara luas, jumlah sampel DNA
yang dibutuhkan sedikit, primer tersedia secara komersial, dan tidak
menggunakan senyawa radioaktif (Cheng, et al., 1997)
Universitas Sumatera Utara
24
Produk amplifikasi DNA dari pasangan primer yang sama menghasilkan
fragmen DNA dengan ukuran yang berbeda. Perbedaan ukuran fragmen DNA
atau polimorfisme fragmen DNA hasil amplifikasi ini disebabkan oleh sebaran
lokasi basa nukleotida di dalam genom yang menjadi tempat pelekatan primer.
Dengan demikian RAPD menjadi cara yang efektif untuk memeriksa
polimorfisme sekuen DNA setiap individu dan sensitif, karena mampu mendeteksi
perubahan
satu
basa
nukleotida
pada
tempat
penempelan
primer
(Sumarsono, 2000).
Universitas Sumatera Utara
TINJAUAN PUSTAKA
Botani Tanaman
Andaliman termasuk tanaman perdu. Hsuang Keng (1978 dalam Wijaya,
1999) menyatakan bahwa sistematika tanaman andaliman adalah sebagai berikut:
kingdom: Plantae; divisio: Spermatophyta; subdivisio: Angiospermae; kelas:
Dicotyledonae; sub kelas: Rosidae; ordo: Rutales; family: Rutaceae; genus:
Zanthoxylum; spesies: Zanthoxylum acanthopodium DC.
Menurut Dianxiang dan Thomas (2008), andaliman merupakan tanaman
rempah yang tumbuh di hutan terbuka yang dapat ditemui di Bangladesh, Bhutan,
India, Indonesia, Laos, Malaysia, Myanmar, Nepal, Thailand dan Vietnam. Di
Indonesia, menurut Wijaya (1999) tanaman andaliman ini hanya terdapat di
Sumatera Utara, yaitu di Tapanuli, sekitar danau Toba.
Andaliman merupakan tumbuhan yang termasuk ke dalam famili
Rutaceae, tumbuh perdu, dengan tinggi 3 - 8 m, batang dan cabang merah kasar
beralur, berbulu halus dan berduri. Daun berukuran kecil, mirip daun bunga
mawar. Buah andaliman tumbuh di antara duri-duri dan bertangkai, buah muda
berwarna hijau, dan matang berwarna merah, bila dipetik warnanya cepat berubah
menjadi hitam. Bentuk buah bulat dan kecil, lebih kecil dari merica, bila digigit
mengeluarkan aroma wangi dan rasa tajam yang khas, dan dapat merangsang
produksi air liur (Miftakhurohmah dan Sintha, 2009).
Universitas Sumatera Utara
18
Gambar 1. Tanaman andaliman
Pucuk daun andaliman berwarna coklat kemerahan, berduri halus
beraroma tajam. Batang dan ranting berduri tajam yang tidak sama besar
ukurannya. Bunga yang menjadi buah muncul di ranting, cabang atau batang
utama. Buah sebesar biji merica berwarna hijau waktu muda dan berubah menjadi
merah bila sudah matang (Simatupang, et al., 2001).
Gambar 2. Daun andaliman yang berduri pada tanaman muda
Biji andaliman berwarna hitam, akan mencuat dari buah tua setelah 10 hari
panen pada temperatur kamar. Andaliman yang dikonsumsi adalah buah beserta
bijinya. Kebanyakan dijual dalam bentuk segar berwarna hijau yang tercampur
buah berwarna merah sekitar 5 – 10 % (Simatupang, et al., 2004). Uniknya bila
buah tidak dipanen, ranting atau cabang tempat buah melekat tersebut menjadi
kering dan mati, dan bila semua buah tidak dipanen dari satu pohon, pohon stress
Universitas Sumatera Utara
19
lalu mati. Belum diteliti zat apa yang dikeluarkan buah andaliman yang meracuni
pohonnya sendiri (Napitupulu, et al., 2004).
Ciri lain famili Rutaceae yang terdapat pada andaliman ialah daun
majemuk, bunga majemuk berbatas dalam anak payung, mempunyai perhiasan
bunga satu lingkaran, yaitu kelopak yang disusun oleh lima daun kelopak bebas.
Lain halnya dengan anggota famili Piperaceae, berdaun tunggal, bunga majemuk
tidak terbatas, tersusun dalam bulir (lada), dan tidak memiliki perhiasan bunga
(Siregar, 2003).
Tanaman ini tergolong perdu dengan tinggi 3-8 m, batang dan cabang
merah kasar, berbulu halus dan berduri. Tumbuhan ini berasal dari daerah
Himalaya subtropis. Di Indonesia, tumbuhan ini terdapat di Sumatera Utara dan
ditemukan liar di pegunungan pada ketinggian 1400 m dpl, dengan temperatur 15180 C (Gultom, 2011).
Manfaat dan Kandungan Andaliman
Saat ini andaliman diperhitungkan menjadi senyawa aromatik dan minyak
esensial. Masyarakat Himalaya, Tibet dan sekitarnya menggunakan tanaman ini
sebagai bahan aromatik, tonik, perangsang napsu makan dan obat sakit perut.
Manfaat lain buah andaliman berdasarkan penelitian adalah sebagai insektisida
untuk menghambat pertumbuhan serangga Sitophilus zeamais. Efeknya berupa
daya tolak makan serangga atau mengurangi selera makan serangga. Sedangkan di
Jepang, daun andaliman digunakan untuk pemberi aroma (Tensiska, 2001).
Komponen sitronella dan geraniol dikenal bersifat anti jamur dan
antibakteri. Berdasarkan penelitian, buah andaliman mampu menghambat
pertumbuhan 9 mikroba yang bersifat patogen dan perusak bahan pangan. Serbuk
Universitas Sumatera Utara
20
buah andaliman mampu menghambat pertumbuhan Eschericia coli, Salmonella
typhimurium, Bacillus cereus, Staphylococcus aureus, dan Pseudomonas
fluorescens. (Miftakhurohmah dan Sintha, 2009).
Buah andaliman berpotensi menjadi bahan pengawet alami berkaitan
dengan aktivitas antimikroba dan antioksidannya, sehingga dapat menggantikan
penggunaan pengawet makanan sintetik yang telah terbukti membahayakan bagi
kesehatan konsumen (Miftakhurohmah dan Sintha, 2009).
Andaliman juga mempunyai potensi sebagai insektisida alami dalam
mengendalikan hama gudang bahan pangan (Andayanie, 2001 dalam Napitupulu
et al., 2004). Penambahan 10 % ekstrak andaliman pada tepung beras tidak
disukai hama gudang Sithopilus zeamais, yang ditunjukkan tidak ada serangga
yang meletakkan telur pada tepung beras tersebut. Insektida alami sangat
diperlukan bahan pangan karena tidak mengandung racun bagi manusia yang akan
mengkonsumsinya.
Analisis
minyak
atsiri
buah
andaliman
dengan
teknik
GC-MS
menghasilkan 11 komponen, dengan 5 komponen utama adalah alfapinen,
limonen, geraniol, sitronelal, dan geranil asetat. Sedangkan dengan teknik
kromatografi gas, senyawa yang berhasil diidentifikasi sebanyak 7 komponen,
yaitu geranil asetat, sitronelal, geraniol, geranial, mirsen, linalool, dan limonen
(Miftakhurohmah dan Sintha, 2009).
Keragaman Genetik
Dalam proses pemuliaan tanaman ada beberapa hal penting yang umum
diakukan yaitu: 1) mengenali karakter morfologi dan fisiologi serta respon secara
pathologi dari satu spesies tanaman yang penting untuk adaptasi terhadap
Universitas Sumatera Utara
21
lingkungan, hasul dan kualitas tanaman tersebut, 2) merancang teknik yang akan
mengevaluasi potensi genetik untuk karakter-karakter tersebut dalam proses
penapisan spesies yang diinginkan, 3) untuk mencari sumber-sumber gen untuk
karakter yang diinginkan yang bisa digunakan dalam program pemuliaan tanaman
dan mengkombinasikan potensi genetik untuk karekter-karekter ini ke dalam
varietas atau kultivar baru (Poehlman, 1983 dalam Robi’ah, 2004).
Penilaian keragaman genetik tanaman secara morfologi dilakukan melalui
uji progeni, uji provenan dan pengujian lainnya dengan mengamati penampilan
fenotipik tanaman. Pengujian ini dilakukan pada lingkungan yang berbeda dengan
fokus utama adalah ciri kualitatif dan kuantitatif yang bernilai ekonomi serta ciri
yang secara biologi penting seperti kemampuan hidup (survive), sifat toleran
terhadap stres lingkungan, sifat produksi dan resistensi terhadap hama dan
penyakit. Sebagian diantara ciri–ciri tersebut bersifat poligenik dan ekspresinya
dipengaruhi oleh lingkungan. Studi secara tradisional dengan metode genetika
kuantitatif, penilaian keragaman dan distribusi keragaman dikelompokkan ke
dalam beberapa kelas pengaruh, seperti pengaruh fenotifik, genotipe, lingkungan
dan interaksi antara lingkungan dan genotipe. Penentuan keragaman genetik
tanaman secara konvensional ini membutuhkan waktu yang lama, relatif mahal,
dipengaruhi oleh lingkungan dan keragaman yang diperoleh terbatas dan tidak
konsisten (Zulfahmi, 2013).
Keragaman tingkat genetik merupakan tingkat keragaman yang paling
rendah dalam organisasi biologi. Keragaman genetik sangat penting bagi tanaman
untuk beradaptasi terhadap perubahan lingkungan yang terjadi disekitarnya.
Informasi keragaman genetik tanaman pada tingkat, individu, spesies maupun
Universitas Sumatera Utara
22
populasi perlu diketahui, sebagai dasar pertimbangan dalam menyusun strategi
konservasi, pemuliaan, pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya genetik
tanaman secara berkelanjutan. Penilaian keragaman genetik tanaman dapat
dilakukan dengan menggunakan penanda morfologi, biokimia dan molekuler
DNA (Zulfahmi, 2013).
Teknik
biologi
molekuler
telah
memberikan
peluang
untuk
mengembangkan dan mengidentifikasi peta genetik dari suatu kultivar tanaman.
Pendekatan genetika molekuler dengan menggunakan penanda DNA telah
berhasil membentuk penanda molekuler yang mampu dalam mendeteksi gen dan
sifat-sifat tertentu, evaluasi keragaman dan evolusi pada tingkat genetik. Beberapa
teknik penanda DNA tersebut adalah Restriction Fragment Length Polymorphism
(RFLP), Amplified Fragment Length Polymorphism (AFLP) dan Random
Amplified Polymorphic DNA (RAPD) (Harahap, 2013).
Marka RAPD
Sejak ditemukan teknologi PCR oleh Mullis dan Faloona (1987), penanda
molekuler DNA berkembang pesat dan diaplikasikan pada berbagai bidang, baik
yang menggunakan primer acak yang tidak memerlukan informasi sekuen DNA
maupun yang memerlukan informasi sekuen DNA, hal ini karena kecepatan,
efisiensi dan kesuksesan dalam mendeteksi berbagai tipe variasi DNA yang
tinggi. Teknologi PCR terus disederhanakan dan dikembangkan, sehingga biaya
relatif rendah, kecepatan tinggi, membutuhkan contoh uji sangat sedikit, metode
ekstraksi dan amplifikasi yang sederhana sehingga membuat penanda berdasarkan
PCR dapat diaplikasikan pada semua spesies (Zulfahmi, 2013).
Universitas Sumatera Utara
23
RAPD adalah metode analisis genetik yang menggunakan prinsip kerja
mesin PCR dan pertama kali dikembangkan oleh William, Kubedi, Rafalski dan
Tingey pada tahun 1990 dengan menggunakan primer tunggal atau sekuen
nulkeotida pendek (10-20-mer) yang susunan basanya dibuat secara acak. Tahun
1991, Welsh dan McClelland mengembangkan metode yang sama dan dinamakan
AP-PCR (Arbitrary-Primer PCR). Pada tahun yang sama, Caetano-Anolles,
Bussam dan Gresshoff juga mengembangkan metode yang sama dengan
menggunakan primer yang nukleotidanya jauh lebih pendek, metode ini diberi
nama DAF (DNA Amplified Fingerprinting). AP-PCR, DAF maupun RAPD
merupakan metode yang prinsipnya sama saja. Metode RAPD ini mampu
mendeteksi sekuen nukleotida dengan hanya menggunakan satu primer atau
nukleotida yang disusun secara acak (Sumarsono, 2000).
Penanda RAPD bersifat dominan, fragmen DNA yang dihasilkan tidak
dapat membedakan individu yang memiliki genotipe homozigot (AA) dengan
heterozigot (Aa), sedangkan yang tidak ada pita secara jelas menunjukkan
genotipe resesif (aa). Fragmen DNA hasil amplifikasi RAPD diskoring dengan
ketentuan ―1‖ untuk ada pita dan ―0‖ untuk tidak ada pita, data tersebut
kemudian digunakan untuk menghasilkan matrik biner untuk analisis statistik
selanjutnya. Keuntungan utama penanda RAPD adalah secara teknik lebih
sederhana dan cepat dalam pengujiannya, tidak memerlukan informasi sekuen
DNA sehingga penanda ini dapat digunakan secara luas, jumlah sampel DNA
yang dibutuhkan sedikit, primer tersedia secara komersial, dan tidak
menggunakan senyawa radioaktif (Cheng, et al., 1997)
Universitas Sumatera Utara
24
Produk amplifikasi DNA dari pasangan primer yang sama menghasilkan
fragmen DNA dengan ukuran yang berbeda. Perbedaan ukuran fragmen DNA
atau polimorfisme fragmen DNA hasil amplifikasi ini disebabkan oleh sebaran
lokasi basa nukleotida di dalam genom yang menjadi tempat pelekatan primer.
Dengan demikian RAPD menjadi cara yang efektif untuk memeriksa
polimorfisme sekuen DNA setiap individu dan sensitif, karena mampu mendeteksi
perubahan
satu
basa
nukleotida
pada
tempat
penempelan
primer
(Sumarsono, 2000).
Universitas Sumatera Utara