Optimasi Ekstraksi Spent Bleaching Earth (Sbe) Dengan Pelarut N-Heksana Menggunakan Reaktor Ekstraksi

5
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sejarah Kelapa Sawit

Kelapa sawit pertama kali diperkenalkan di Indonesia oleh pemerintah kolonial
Belanda pada tahun 1848. Ketika itu ada empat batang bibit kelapa sawit dibawa dari
Mauritius dan Amsterdam dan ditanam di Kebun Raya Bogor. Tanaman kelapa sawit mulai
diusahakan dan dibudidayakan secara komersial pada tahun 1911. Perintis usaha perkebunan
kelapa sawit di Indonesia adalah Adrien Hallet, seorang Belgia yang telah belajar banyak
tentang kelapa sawit di Afrika. Budi daya yang dilakukannya diikuti oleh K. Schadt yang
menandai lahirnya perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Sejak saat itu perkebunan kelapa
sawit di Indonesia mulai berkembang. Perkebunan kelapa sawit pertama berlokasi di Pantai
Timur Sumatera (Deli) dan Aceh. Luas areal perkebunannya mencapai 5.123 ha. Indonesia
mulai mengekspor minyak sawit pada tahun 1919 sebesar 576 ton ke negara-negara eropa,
kemudian tahun 1923 mulai mengekspor minyak inti sawit sebesar 850 ton.
Pada masa pendudukan Belanda, perkebunan kelapa sawit mengalami perkembangan
yang cukup pesat. Indonesia menggeser dominasi ekspor negara Afrika pada waktu itu.
Namun, kemajuan pesat yang dialami oleh Indonesia tidak diikuti dengan peningkatan

perekonomian nasional. Hasil perolehan ekspor minyak sawit hanya meningkatkan
perekonomian negara asing termasuk Belanda.
Memasuki masa pendudukan Jepang, perkembangan kelapa sawit mengalami
kemunduran. Secara keseluruhan produksi perkebunan kelapa sawit terhenti. Lahan
perkebunan mengalami penyusutan sebesar 16 % dari total luas lahan yang ada sehingga

Universitas Sumatera Utara

6
produksi minyak sawit Indonesia pun hanya mencapai 56.000 ton pada tahun 1948/1949.
Padahal pada tahun 1940 Indonesia mengekspor 250.000 ton minyak.
Setelah Belanda dan Jepang meninggalkan Indonesia, pada tahun 1957, pemerintahan
mengambil alih perkebunan dengan alasan politik dan keamanan. Pemerintah menempatkan
perwira-perwira militer di setiap jenjang manajemen perkebunan yang bertujuan
mengamankan jalannya produksi. Pemerintah juga membentuk BUMIL (buruh militer) yang
merupakan wadah kerjasama antara buruh perkebunan dengan militer. Perubahan manajemen
dalam perkebunan dan kondisi sosial politik serta keamanan dalam negeri yang tidak
kondusif, menyebabkan produksi kelapa sawit mengalami penurunan. Pada periode tersebut
posisi Indonesia sebagai pemasok minyak sawit dunia terbesar tergeser oleh Malaysia.
Memasuki pemerintahan orde baru, pembangunan perkebunan diarahkan dalam

rangka menciptakan kesempatan kerja, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dan sebagai
sektor penghasil devisa negara. Pemerintah terus mendorong pembukaan lahan baru untuk
perkebunan. Sampai dengan tahun 1980 luas lahan mencapai 294.560 ha dengan produksi
CPO sebesar 721.172 ton. Sejak saat itu lahan perkebunan kelapa sawit Indonesia
berkembang pesat terutama perkebunan raya. Hal ini didukung oleh kebijakan pemerintah
yang melaksanakan program perkebunan inti rakyat perkebunan rakyat di sekitarnya yang
menjdai plasma. Perkembangan perkebunan semakin pesat lagi setelah pemerintah
mengembangkan program lanjutan yaitu PIR- Transmigrasi sejak tahun 1986. Program
tersebut berhasil menambah luas lahan dan produksi kelapa sawit. Pada tahun 1990 – an, luas
perkebunan kelapa swit mencapai lebih dari 1,6 juta hektar yang tersebar di berbagai sentra
produksi, seperti Sumatera dan Kalimantan.(Fauzi dkk, 2002)

Universitas Sumatera Utara

7
2.2.Minyak Kelapa Sawit

Tanaman kelapa sawit (Elaeis guinensis) berasal dari Guinea di pesisir Afrika Barat,
kemudian diperkenalkan ke bagian Afrika lainnya, Asia Tenggara dan Amerika Latin
sepanjang garis quator (antara garis lintang utara 15 odan lintang selatan 12 o). Kelapa sawit

tumbuh baik pada daerah iklim tropis, dengan suhu antara 24 oC – 32 oC dengan kelembaban
yang tinggi dan curah hujan 200 mm per tahun. Kelapa sawit mengamdung kurang lebih 80
% perikarp dan 20 % buah yang dilapisi kulit yang tipis. Kandungan minyak dalam perikarp
sekitar 30 % - 40 %. Kelapa sawit menghasilkan dua macam minyak yang sangat berlainan
sifatnya, yaitu:
-

Minyak sawit (CPO), yaitu yang berasal dari sabut kelapa sawit

-

Minyak inti sawit (CPKO), yaitu minyak yang berasal dari inti kelapa sawit
Pada umumnya minyak sawit mengandung lebih banyak asam-asam palmitat, oleat

dan linoleat jika dibandingkan dengan minyak inti sawit. Minyak sawit merupakan gliserida
yang terdiri dari berbagai asam lemak, sehingga titik lebur dari gliserida tersebut tergantung
pada kemajuan kejenuhan asam lemaknya. Semakin jenuh asam lemaknya semakin tinggi
titik lebur dari minyak sawit tersebut. (Tambun, 2006)
Sebagai minyak atau lemak, minyak sawit adalah suatu trigliserida, yaitu senyawa
gliserol dengan asam lemak. Sesuai dengan bentuk bangun rantai asam lemaknya, minyak

sawit termasuk golongan minyak asam oleat-linoleat. Minyak sawit berwarna merah jingga
karena kandungan karotenoida (terutama β-karotena), berkonsistensi setengah padat pada
suhu kamar (konsistensi dan titik lebur banyak ditentukan oleh kadar ALB-nya), dan dalam
keadaan segar dan kadar asam lemak bebas yang rendah, bau dan rasanya cukup enak.
Minyak sawit terdiri atas berbagai trigliserida dengan rantai asam lemak yang berbeda-beda.
Panjang rantai adalah antara 14-20 atom karbon. Dengan demikian sifat minyak sawit
ditentukan oleh perbandingan dan komposisi trigliserida tersebut. Karena kandungan asam

Universitas Sumatera Utara

8
lemak yang terbanyak adalah asam tak jenuh oleat dan linoleat, minyak sawit masuk
golongan minyak asam oleat – linoleat. Rumus bangun minyak sawit adalah sebagai berikut.
(Mangoensoekarjo dkk, 2003)

+

Gliserol

+


Asam lemak

Trigliserida

3H 2 O

Air

Gambar 2.1: Reaksi gliserol dengan asam lemak

Berikut adalah tabel komposisi asam lemak minyak sawit
Tabel 2.1 : Komposisi asam lemak minyak sawit
Asam Lemak

Jumlah
Karbon
8
10
12

14
16
18

Tak Jenuh

Kaprilat
Kaprat
Laurat
Miristat
Palmitat
Stearat
Jumlah asam
lemak jenuh :
Oleat
18
1
Linoleat
18
2

Jumlah asam tak
jenuh :
Sumber : Bailey (dalam : Mangoensoerkarjo dkk, 2003)

Titik Lebur,
o
C
16,7
31,6
44,2
54,4
62,9
69,6

Asam lemak,
% Berat
1,4 (0,5-6)
40,1 (32-45)
5,5 (2-7)
47,0

42,7 (38-52)
10,3 (5-11)
53,0

Universitas Sumatera Utara

9
2.3. Pengolahan Kelapa Sawit

2.3.1. Pengolahan Tandan Buah Segar (TBS)

Pengolahan TBS di pabrik bertujuan untuk memperoleh minyak sawit yang
berkualitas baik. Proses tersebut berlangsung cukup panjang dan memerlukan kontrol yang
cermat, dimulai dari pengangkutan TBS atau brondolan dari tempat pengumpulan hasil
(TPH) ke pabrik sampai dihasilkannya minyak sawit dan hasil- hasil sampingnya.
Pada dasarnya ada dua macam hasil olahan utama pengolahan TBS di pabrik, yaitu :
-

Minyak sawit yang merupakan hasil pengolahan daging buah, dan


-

Minyak inti sawit yang dihasilkan dari ekstraksi inti sawit.

Secara ringkas, tahap-tahap proses pengolahan TBS sampai dihasilkan minyak akan
diuraikan lebih lanjut berikut ini. (Tim penulis PS, 1997)

2.3.2. Pengangkutan TBS ke Pabrik

Tandan buah segar hasil pemanenan harus segera diangkut ke pabrik untuk diolah
lebih lanjut. Pada buah yang tidak segera diolah, maka kandungan ALB-nya semakin
meningkat. Untuk menghindari hal tersebut, maksimal 8 jam setelah panen, TBS harus segera
diolah.
Asam lemak bebas terbentuk karena adanya kegiatan enzim lipase yang terkandung di
dalam buah dan berfungsi memecah lemak/minyak menjadi aktif bila struktur sel buah
matang mengalami kerusakan. Untuk itu, pengangkutan TBS ke pabrik mempunyai peranan
yang sangat penting.
Pemilihan alat angkut yang tepat dapat membantu mengatasi masalah kerusakan buah
selama pengangkutan. Ada beberapa alat angkut yang dapat digunakan untuk mengangkut
TBS dari perkebunan ke pabrik, yaitu lori, traktor gandengan, atau truk. Pengangkutan


Universitas Sumatera Utara

10
dengan lori lebih baik daripada dengan alat angkut lain. Guncangan selama perjalanan lebih
banyak terjadi pada pengangkutan dengan truk atau traktor gandengan sehingga pelukan pada
buah sawit juga lebih banyak. Hal tersebut menyebabkan semakin meningkatnya kandungan
ALB pada buah yang diangkut.
Sesampai TBS di pabrik, segera dilakukan penimbangan. Penimbangan penting
dilakukan sebab akan diperoleh angka-angka yang terutama berkaitan dengan produksi
perkebunan, pembayaran upah para pekerja, penghitungan rendemen minyak sawit, dan lainlain. Setelah ditimbang, TBS mengalami proses selanjutnya yaitu perebusan. (Tim penulis
PS, 1997)

2.3.3. Perebusan TBS

Buah beserta lorinya kemudian direbus dalam suatu tempat perebusan (sterilizer) atau
dalam ketel rebus. Perebusan dilakukan dengan mengalirkan uap panas selama 1 jam atau
tergantung pada besarnya tekanan uap. Pada umumnya, besarnya tekanan uap yang
digunakan adalah 2,5 atmosfer dengan suhu uap 125 oC. Perebusan yang terlalu lama dapat
menurunkan kadar minyak dan pemucatan kernel. Sebaliknya, perebusan dalam waktu yang

terlalu pendek menyebabkan semakin banyak buah yang tidak rontok dari tandannya. Tujuan
perebusan adalah:
-

Merusak enzim lipase yang menstimulir pembentukan ALB,

-

Mempermudah pelepasan buah dari tandan dan inti dari cangkang,

-

Memperlunak daging buah sehingga memudahkan proses pemerasan, serta

-

Untuk mengkoagulasikan (mengendapkan) protein sehingga memudahkan
pemisahan minyak. (Tim penulis PS, 1997)

Universitas Sumatera Utara

11
2.3.4. Perontokan dan Pelumatan Buah

Setelah perebusan lori-lori yang berisi TBS ditarik keluar dan diangkat dengan alat
Hoisting Crane yang digerakkan dengan motor. Hoisting Crane akan membalikkan TBS ke
atas mesin perontok buah ( thresher ). Dari thresher, buah-buah yang telah rontok dibawa ke
mesin pelumat ( digester ). Untuk lebih memudahkan penghancuran daging buah dan
pelepasan biji, selama proses pelumatan TBS dipanasi (diuapi).
Tandan buah kosong yang sudah tidak mengandung buah diangkut ke tempat
pembakaran dan digunakan sebagai bahan bakar. Selain sebagai bahan bakar, tandan kosong
tersebut dapat juga digunakan sebagai bahan mulsa (penutup tanah). (Tim penulis PS, 1997)

2.3.5. Pemerasan atau Ekstraksi Minyak Sawit

Untuk memisahkan biji sawit dari hasil lumatan TBS, maka perlu dilakukan
pengadukan selama 25 – 30 menit. Setelah lumatan buah bersih dari biji sawit, langkah
selanjutnya adalah pemerasan atau ekstraksi yang bertujuan untuk mengambil minyak dari
masa adukan. Ada beberapa cara dan alat yang digunakan dalam proses ekstraksi minyak,
yaitu seperti berikut:
1. Ekstraksi dengan Sentrifugasi
Alat yang dipakai berupa tabung baja silindris yang berlubang-lubang pada bagian
dindingnya. Buah yang telah lumat, dimasukkan ke dalam tabung, lalu diputar.
Dengan adanya gaya sentrifugasi, maka minyak akan keluar melalui lubanglubang pada dinding tabung.
2. Ekstraksi dengan Cara Srew Press
Prinsip ekstraksi minyak dengan cara ini adalah menekan bahan lumatan dalam
tabung yang berlubang dengan alat ulir yang berputar sehingga minyak akan

Universitas Sumatera Utara

12
keluar lewat lubang-lubang tabung. Besarnya tekanan alat ini dapat diatur secara
elektris, dan tergantung dari volume bahan yang akan dipress. Cara ini
mempunyai kelemahan yaitu pada tekanan yang terlampau kuat akan
menyebabkan banyak biji yang pecah.
3. Ekstraksi dengan Bahan Pelarut
Cara ini lebih sering dipakai dalam ekstraksi minyak biji-bijian, termasuk minyak
inti sawit. Sedangkan ekstraksi minyak sawit dari daging buah, belum umum
digunakan dengan cara ini karena kurang efisien. Pada dasarnya, ekstraksi dengan
cara ini adalah dengan menambah pelarut tertentu pada lumatan daging buah
sehingga minyak akan terpisah dari partikel yang lain.
4. Ekstraksi dengan Tekanan Hidrolis
Dalam sebuah peti pemeras, bahan ditekan secara otomatis dengan tekanan
hidrolisa. (Tim penulis PS, 1997)

2.3.6. Pemurnian dan Penjernihan Minyak Sawit

Minyak sawit yang keluar dari tempat pemerasan atau pengepresan masih berupa
minyak sawit kasar karena masih mengandung kotoran berupa partikel-partikel dari
tempurung dan serabut serta 40 – 45 % air.
Agar diperoleh minyak sawit yang bermutu baik, minyak sawit kasar tersebut
mengalami pengolahan lebih lanjut. Minyak sawit yang masih kasar kemudian dialirkan ke
dalam tangki minyak kasar ( Crude Oil Tank ) dan setelah melalui pemurnian atau klarifikasi
yang bertahap, maka akan dihasilkan minyak sawit mentah ( Crude Palm Oil, CPO). Proses
penjernihan dilakukan untuk menurunkan kandungan air di dalam minyak. Minyak sawit ini
dapat ditampung dalam tangki-tangki penampungan dan siap dipasarkan atau mengalami
pengolahan lebih lanjut sampai dihasilkan minyak sawit murni ( Processed Palm Oil, PPO)

Universitas Sumatera Utara

13
dan hasil olahan lainnya. Sedangkan sisa olahan yang berupa lumpur, masih dapat
dimanfaatkan dengan proses daur ulang untuk diambil minyak sawitnya. (Tim penulis PS,
1997)

2.4. Proses Pemurnian Kelapa Sawit

Tujuan utama dari proses pemurnian minyak adalah untuk menghilangkan rasa serta
bau yang tidak enak, warna yang tidak menarik dan memperpanjang masa simpan minyak
sebelum dikonsumsi atau digunakan sebagai bahan mentah dalam industri. (Ketaren, 1986)
Untuk memperoleh minyak yang bermutu baik, minyak dan lemak kasar harus
dimurnikan dari bahan-bahan atau kotoran yang terdapat di dalamnya. Cara-cara pemurnian
dilakukan dalam beberapa tahap:
2.4.1.

Pengendapan

(settling)

dan

pemisahan

gumi

(degumming),

bertujuan

menghilangkan partikel-partikel halus yang tersuspensi atau berbentuk koloidal.
Pemisahan ini dilakukan dengan pemanasan uap dan adsorben, kadang-kadang
dilakukan sentrifusa.

2.4.2. Netralisasi dengan alkali, bertujuan memisahkan senyawa-senyawa terlarut seperti
fosfatida, asam lemak bebas, dan hidrokarbon. Lemak dengan kandungan asam lemak
bebas yang tinggi dipisahkan dengan menggunakan uap panas dalam keadaan vakum,
kemudian ditambahkan alkali. Sedangkan lemak dengan asam lemak bebas rendah
cukup ditambahkan NaOH atau garam NaCO 3 , sehingga asam lemak ikut fase air dan
terpisah dari lemaknya.

Universitas Sumatera Utara

14
2.4.3. Pemucatan, bertujuan menghilangkan zat-zat warna dalam minyak dengan
penambahan adsorbing agent seperti arang aktif, tanah liat, atau dengan reaksi-reaksi
kimia. Setelah penyerapan warna, lemak disaring dalam keadaan vakum.
2.4.4. Penghilangan bau (deodorisasi) lemak, dilakukan dalam botol vakum, kemudian
dipanaskan dengan mengalirkan uap panas yang akan membawa senyawa volatil.
Selesai proses deodorisasi, lemak harus segera didinginkan untuk mencegah kontak
dengan O 2 .(Winanrno, 1995)Dalam penggunaan minyak dan lemak di perusahaan
pembuatan margarin dibutuhkan minyak dan lemak yang tidak mempunyai rasa dan
bau. Oleh karena itu sering perlu dilakukan penghilangan bau dan cita-rasa yang ada.
(Buckle dkk, 2009)

2.5. Pemucatan Minyak Kelapa Sawit

Minyak sawit mempunyai warna kuning oranye sehingga jika digunakan sebagai
bahan baku untuk pangan perlu dilakukan pemucatan. Pemucatan ini dimaksudkan untuk
mendapatkan warna minyak sawit yang lebih memikat dan sesuai denga kebutuhannya.
Keintesifan pemucatan minyak sawit sangat ditentukan oleh kualitas minyak sawit yang
bersangkutan. Semakin jelek mutunya, maka biaya pemucatan juga semakin besar. Dengan
demikian, minyak sawit yang bermutu baik akan mengurangi biaya pemucatan pada pabrik
konsumen. (Tim penulis PS, 1997)
Pemucatan ialah suatu tahap proses pemurnian untuk menghilangkan zat- zat warna
yang tidak disukai dalam minyak.Pemucatan ini dilakukan dengan mencampur minyak
dengan sejumlah kecil adsorben. Adsorben yang digunakan untuk memucatkan minyak
terdiri dari tanah pemucat (bleaching earth)dan arang (bleaching carbon).
Pemucatan minyak menggunakan adsorben umumnya dilakukan dalam ketel yang
dilengkapi dengan pipa uap. Minyak yang akan dipucatkan dipanaskan pada suhu sekitar 105

Universitas Sumatera Utara

15
0

C, selama 1 jam. Penambahan adsorben dilakukan pada saat minyak mencapai suhu 70 – 80

0

C, dan jumlah adsorben kurang lebih sebanyak 1,0 – 1,5 persen dari berat minyak.

Selanjutnya minyak dipisahkan dari adsorben dengan cara penyaringan menggunakan kain
tebal atau dengan cara pengepresan dengan filter press. Minyak yang hilang karena proses
tersebut kurang lebih 0,2 – 0,5 persen dari berat minyak yang dihasilkan setelah proses
pemucatan. (Ketaren, 1986)

2.6. Bleaching Earth (BE) dan Spent Bleaching Earth (SBE)

Bleaching clay ( bleaching earth) : Bahan pemucat ini merupakan sejenis tanah liat
dengan komposisi utama terdiri dari SiO 2 , Al2 O 3 , air terikat serta ion kalsium, magnesium
oksida, dan besi oksida.
Bleaching clay pertama kali ditemukan pada abad ke-19 di Inggris dan Amerika.
Dalam perdagangan bleaching clay mempunyai nama dan komposisi kimia yang berbeda.
Sebagai contoh ialah bleaching clay yang berasal dari Amerika dikenal dengan nama
Floridin, sedangkan yang berasal dari Rusia, Kanada dan Jepang dikenal dengan nama
gluchower kaolin.
Jumlah adsorben yang dibutuhkan untuk menghilangkan warna minyak tergantung
dari macam dan tipe warna dalam minyak dan sampai berapa jauh warna tersebut akan
dihilangkan.
Daya pemucat bleaching clay disebabkan karena ion Al3+ pada permukaan partikel
adsorben dapat mengadsorbsi partikel zat warna. Daya pemucat tersebut tergantung dari
perbandingan komponen SiO 2 dan Al2 O 3 dan dalam bleaching clay. Adsorben yang terlalu
kering menyebabkan daya kombinasinya dengan air telah hilang. Sehingga mengurangi daya
penyerapan terhadap zat warna.(Ketaren, 1986)

Universitas Sumatera Utara

16
Tanah pemucat bekas (SBE) adalah limbah padat yang dihasilkan dari industri
pemurnian minyak goreng.Proses pemurnian CPO menghasilkan tanah pemucat bekas (SBE)
dalam jumlah banyak.SBE merupakan campuran antara lempung dengan senyawa
hidrokarbon dari CPO. (Suryani dkk, 2015)Tanah pemucat bekas (SBE) biasanya
mengandung antara 17-28 % berat minyak dengan kandungan asam lemak bebas yang tinggi,
yang tidak dapat dihilangkan selama proses penyaring dengan menekan yang terakhir. (Fattah
dkk, 2014)
Berikut adalah tabel komposisi dari bleaching earth.
Tabel 2.2: komposisi kimia dari bleaching earth
Komposisi

Jumlah

К2О, %

0.85

Na2O, %

0.46

Fe2O3, %

3.85

SiO2, %

59.98

Al2O3, %

16.95

CaO, %

3.92

MgO, %

2.89

Kadar air

11.20

Densitas dalam jumlah besar

54.50

pH dalam suspensi encer

4.52

Sumber : Prokopov et al, 2013
2.7. Analisis Kadar Lemak Metode Ekstraksi Sokletasi

Ekstraksi adalah suatu proses pemisahan dari bahan padat maupun cair dengan
bantuan pelarut. Pelarut yang digunakan harus dapat mengekstraksi substansi yang

Universitas Sumatera Utara

17
diinginkan tanpa melarutkan material lainnya. Penentuan kadar lemak dengan pelarut
menghasilkan lemak kasar (crude fat). Umumnya, analisis lemak kasar ada dua macam, yaitu
cara kering dan cara basah. Ekstraksi padat cair atau leaching adalah transfer difusi
komponen terlarut dari padatan inert ke dalam pelarutnya. Proses ini merupakan proses yang
bersifat fisik, karena komponen terlarut kemudian dikembalikan lagi ke keadaan semula yang
bersifat fisik tanpa mengalami perubahan kimiawi. Ekstraksi dari bahan padat dapat
dilakukan jika bahan yang diinginkan dapat larut dalam solven pengekstraksi. Ekstraksi
berkelanjutan diperlukan apabila padatan hanya sedikit larut dalam pelarut. Namun, sering
juga digunakan pada padatan yang larut karena efektivitasnya.
Pada cara kering, bahan dibungkus atau ditempatkan dalam thimbel, kemudian
dikeringkan dalam oven untuk menghilangkan airnya. Pemanasan harus dilakukan secepatnya
dan hindari suhu yang terlalu tinggi. oleh karena itu, dianjurkan menggunakan vakum oven
(suhu 70 oC). Penentuan kadar lemak dengan cara ekstraksi kering dapat menggunakan alat
yang dikenal dengan nama soxhlet. Ekstraksi dengan soxhlet ini dilakukan secara terputusputus. Uap tersebut kemudian masuk ke kondensor melalui pipa kecil dan keluar dalam fase
cair. Kemudian, pelarut masuk ke dalam selongsong berisi padatan. Pelarut akan membasahi
sampel dan tertahan di dalam selongsong sampai tinggi pelarut dalam pipa sifon sama dengan
tinggi pelarut di selongsong. Kemudian, pelarut seluruhnya akan mengalir masuk kembali ke
dalam labu didih dan begitu seterusnya. Peristiwa ini disebut dengan efek sifon. (Bintang,
2010)
Soxhlet apparatusdapat juga digunakan untuk ekstraksi minyak dari sesuatu bahan
yang mengandung minyak. Ekstraksi dengan alat soxhlet apparatus merupakan cara ekstraksi
yang efisien karena dengan alat ini pelarut yang dipergunakan dapat diperoleh kembali.
(Ketaren, 1986)

Universitas Sumatera Utara

18
2.8. Ekstraksi minyak yang Terkandung dalam Adsorben

Cara yang sederhana untuk mengekstraksi minyak yang tertinggal dalam adsorben
ialah mencampurkan adsorben tersebut dengan bahan yang akan diekstraksi minyaknya.
Umumnya ada 2 cara yang dapat digunakan untuk memperoleh kembali minyak yang
tertinggal dalam adsorben, yaitu dengan : 1) menggunakan surface active agent dan 2)
ekstraksi dengan pelarut organik.

2.8.1. Pemisahan Minyak dengan Menggunakan Surface Active Agent

Surface active agent yang digunakan adalah larutan alkali. Lemak dipisahkan dari
adsorben dengan menggunakan larutan alkali encer yang dipanaskan pada suhu air mendidih
( kira-kira 100 0C) dengan tekanan 1 atmosfer.
Larutan alkali dengan tegangan permukaan yang lebih rendah dan daya pembasah
yang lebih besar akan mencuci minyak yang tergabung dalam adsorben. Minyak yang
diperoleh kurang lebih sebanyak 70 – 75 % dari jumlah minyak yang terdapat dalam
adsorben.

2.8.2. Ekstraksi dengan Pelarut Organik

Pelarut organik dapat melarutkan dan mencuci minyak yang terdapat dalam adsorben,
selanjutnya pelarut organik tersebut dipisahkan dari minyak dengan cara penyulingan pada
suhu titik didih pelarut organik yang digunakan.
Jika dibandingkan dengan cara pemisahan minyak menggunakan surface active agent,
maka penggunaan pelarut organik mempunyai beberapa keuntungan, yaitu: 1) minyak yang
dihasilkan mutunya lebih baik dan kadar minyaknya yang diperoleh mencapai 90 – 95 persen
dari jumlah minyak yang terdapat dalam adsorben, 2) pengaruh uap air dan oksigen udara

Universitas Sumatera Utara

19
dapat dihindarkan sehingga kecil kemungkinan terjadinya proses hidrolisa dan oksidasi
minyak. Kontak minyak dengan oksigen udara perlu dihindarkan terutama pada minyak yang
mudah mengering (drying oil), karena minyak tersebut jika dioksidasi pada suhu tinggi akan
membentuk persenyawaan polimer yang berwarna gelap. (Ketaren, 1986)

2.9. Standar Mutu

Akhir-akhir ini minyak sawit berperan cukup penting dalam perdagangan dunia.
Berbagai industri, baik pangan maupun nonpangan, banyak yang menggunakannya sebagai
bahan baku. Berdasarkan peranan dan kegunanaan minyak sawit itu, maka mutu dan
kualitasnya harus diperhatikan sebab sangat menentukan harga dan nilai komoditas ini.
Di dalam perdagangan kelapa sawit, istilah mutu sebenarnya dapat dibedakan menjadi
dua arti. Yang pertama adalah mutu minyak sawit dalam arti benar-benar murni dan tidak
tercampur dengan minyak nabati lain. Mutu minyak sawit dalam arti yang pertama dapat
ditentukan dengan menilai sifat-sifat fisiknya, antara lain titik lebur angka penyabunan, dan
bilangan yodium. Sedangkan yang kedua, yaitu mutu minyak sawit dilihat dalam arti
penilaian menurut ukuran. Dalam hal ini syarat mutunya diukur berdasarkan spesifikasi
stnadar mutu internasional, yang meliputi kadar asam lema bebas (ALB, FFA), air, kotoran,
logam besi, logam tembaga, peroksida, dan ukuran pemucatan. Dalam dunia perdagangan,
mutu minyak sawit dalam arti yang kedua lebih penting.
Bertitik tolak dari perbedaan penggunaannya, terdapat perbedaan pula dalam hal
kebutuhan mutu minyak sawit yang akan digunakan sebagai bahan baku untuk industri
pangan dan nonpangan. Untuk kebutuhan bahan pangan, tentunya tuntutan syarat mutu
minyak sawit harus lebih ketat bila dibandingkan dengan bahan baku nonpangan. Oleh
karena itu keaslian, kemurnian, kesegaran, maupun aspek higienisnya harus lebih
diperhatikan sebab dampaknya langsung berpengaruh pada kesehatan manusia.

Universitas Sumatera Utara

20
Industri pangan maupun nonpangan selalu menghendaki minyak sawit dalam mutu
yang terbaik, yaitu minyak sawit yang dalam keadaan segar, asli, murni, dan tidak tercampur
bahan tambahan lain seperti kotoran, air, logam-logam (dari alat-alat selama pemrosesan),
dan lain-lain. Adanya bahan-bahan yang tidak semestinya terikut dalam minyak sawit ini
akan menurunkan mutu dan harga jualnya. (Tim penulis PS, 1997)
Tabel 2.3 : Standar Mutu Minyak Sawit
Karakteristik

Minyak Sawit

Keterangan

Asam lemak bebas

5%

Maksimal

Kadar kotoran

0,5 %

Maksimal

Kadar zat menguap

0,5 %

Maksimal

Bilangan peroksida

6 meq

Maksimal

Bilangan iode

44 – 58 mg/gr

-

Kadar logam (Fe, Cu)

10 ppm

-

Lovibond

3–4R

-

Kadar minyak

-

Maksimal

Kontaminasi

-

Maksimal

Kadar pecah

-

Maksimal

Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan, 1989 (dalam : Fauzi dkk, 2002)
Dalam standar mutu minyak kelapa sawit (CPO) yang ditetapkan dalam SNI 01-29012006, ada lima parameter yang harus diuji untuk menentukan kelayakan CPO yang akan
digunakan sebagai bahan baku dalam pembuatan minyak goreng. Berikut adalah syarat mutu
minyak kelapa sawit kasar menurut SNI 01-2901-2006.

Universitas Sumatera Utara

21
Tabel 2.4 : Standar mutu minyak kelapa sawit kasar menurutSNI 01-2901-2006
No

Parameter

Keterangan

1

Warna

Jingga kemerah-merahan

2

Kadar air (%)

0,5

3

Kadar kotoran (%)

0,5

4

Bilangan iod (mg/100 g)

50 – 55

5

Kadar asam lemak bebas (%)

0,5

Pengujian penentuan warna secara visual dengan kasat mata. Penetapan kadar air
dapat dilakukan dengan 2 metode yaitu metode pemanasan dengan oven atau pemanasan
dengan hot plate. Prinsip penghitungan persentase kandungan air adalah selisih berat contoh
sebelum dan sesudah dipanaskan. Kadar kotoran dihitung sebagai bahan yang terkandung
dalam minyak sawit mentah yang tidak larut dalam n-heksan atau light petroleum. Kadar
asam lemak bebas dihitung sebagai presentase berat (b/b) dari asam lemak bebas yang
terkandung dalam minyak sawit mentah (CPO) dimana berat molekul asam lemak bebas
tersebut dianggap sebesar 256 (sebagai asam palmitat). Bilangan yodium dinyatakan sebagai
gram yodium yang diserap per 100 gram minyak.
Berikut akan dibahas lima parameter uji untuk mutu minyak kelapa sawit yang
ditetapkan pada SNI 01-2901-2006.

2.9.1. Warna

Zat warna dalam minyak terdiri dari 2 golongan, yaitu : 1) zat warna alamiah, 2)
warna dari hasil degradasi zat warna alamiah.

Universitas Sumatera Utara

22
1.

Zat Warna Alamiah (Natural Coloring Matter)

Zat warna yang termasuk golongan ini terdapat secara alamiah di dalam bahan yang
mengandung minyak dan ikut terekstrak bersama minyak pada proses ekstraksi. Zat warna
tersebut antara lain terdiri dari α dan β karoten, xanthofil, klorofil, dan anthosyanin. Zat
warna ini menyebabkan minyak berwarna kuning, kuning kecokelatan, kehijau-hijauan dan
kemerah-merahan.
Pigmen berwarna merah jingga atau kuning disebabkan oleh karotenoid yang bersifat
larut dalam minyak. (Ketaren, 1986)Karoten terdiri dari 36 % alfakaroten dan 54 %
betakaroten dan tersimpan dalam daging buah kelapa sawit. Warna minyak yang demikian ini
kurang disukai konsumen, sehingga dalam proses di pabrik, karoten ini biasanya dibuang.
Padahal sebenarnya karoten menyimpan potensi yang cukup berharga karena para peneliti
berhasil membuktikan bahan tersebut dapat dimanfaatkan sebagai obat kanker paru-paru dan
payudara. Kandungan karoten dalam minyak sawit mencapai 0,05 – 0,18 %. (Fauzi dkk,
2002)

2. Warna Akibat Oksidasi dan Degradasi Komponen Kimia yang Terdapat dalam
Minyak

1. Warna Gelap
Disebabkan oleh proses oksidasi terhadap tokoferol (vitamin E). Jika minyak
bersumber dari tanaman hijau, maka zat khlorofil yang berwarna hijau turut terekstrak
bersama minyak dan khlorofil tersebut sulit dipidahkan dari minyak.
Warna gelap ini dapat terjadi selama proses pengolahan dan penyimpaban, yang
disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu:
-

Suhu pemanasan yang terlalu tinggi pada waktu pengepresan dengan cara
hidraulik atau expeller, sehingga sebagian minyak teroksidasi. Di samping itu

Universitas Sumatera Utara

23
minyak yang terdapat dalam suatu bahan, dalam keadaan panas akan
mengekstraksi zat warna yang terdapat dalam bahan tersebut.
-

Pengepresan bahan yang mengandung minyak dengan tekanan dan suhu yang
lebih tinggi akan menghasilkan minyak dengan warna yang lebih gelap.

-

Ekstraksi minyak dengan menggunakan pelarut organik tertentu misalnya
campuran pelarut petroleum-benzen akan menghasilkan minyak dengan warna
lebih cerah jika dibandingkan dengan minyak yang diekstraksi dengan pelarut
trichlor etilen, benzol dan heksan.

-

Logam seperti Fe, Cu, dan Mn akan menimbulkan warna yang tidak diingini
dalam minyak.

-

Oksidasi terhadap fraksi tidak tersabunkan dalam minyak, terutama oksidasi
tokoferol dan chroman 5,6 quinone menghasilkan warna kecoklat-coklatan.

2. Warna Coklat
Pigmen coklat biasanya hanya terdapat pada minyak atau lemak yang berasal dari
bahan yang telah busuk atau memar. Hal itu dapat pula terjadi karena reaksi
molekul karbohidrat dengan gugus pereduksi seperti aldehid serta gugus amin dari
molekul protein dan yang disebabkan oleh karena aktivitas phenol oxidase,
polyphenol oxidase dan sebagainya.
3. Warna Kuning
Hubungan yang erat antara proses absorbsi dan timbulnya warna kuning dalam
minyak terutama terjadi dalam minyak atau lemak tidak jenuh. Warna ini timbul
selama penyimpanan dan intensitas warna bervariasi dari kuning sampai ungu
kemerah-merahan. (Ketaren, 1986)

Universitas Sumatera Utara

24
2.9.2. Kadar Air atau Zat Menguap

Kadar air adalah bahan yang menguap yang terdapat dalam minyak sawit pada
pemanasan 105 oC. Kadar air tinggi di atas 0,1 % membantu hidrolisis. (Mangoensoekarjo,
2003) Dengan adanya air, lemak dapat terhidrolisis menjadi gliserol dan asam lemak. Reaksi
ini dipercepat oleh basa, asam, dan enzim-enzim. Hidrolisis sangat mudah terjadi dalam
lemak dengan asam lemak rendah (lebih kecil dari C 14 ) seperti pada mentega, minyak kelapa
sawit, dan minyak kelapa. Hidrolisi sangat menurunkan mutu minyak goreng. Reaksi ini akan
mengakibatkan ketengikan hidrolisa yang menghasilkan flavor dan bau tengik pada minyak
tersebut.
Ada tiga metode yang dapat digunakan untuk menentukan kadar air yaitu cara hot
plate, cara oven terbuka dan cara oven hampa udara.
-

Cara Hot Plate
Cara hot plate dapat digunakan untuk menentukan kadar air dan bahan lain yang menguap
yang terdapat dalam minyak dan lemak. Cara tersebut dapat digunakan untuk semua jenis
minyak dan lemak, termasuk emulsi seperti mentega dan margarin, serta minyak kelapa
dengan kadar asam lemak bebas yang tinggi. Untuk
minyak yang diperoleh melalui ekstraksi dengan pelarut menguap, cara tersebut di atas
tidak dapat digunakan.
Sebelum dilakukan pengujian contoh, minyak harus diaduk dengan baik, karena air
cenderung untuk mengendap. Dengan pengadukan, maka penyebaran air dalam contoh
akan merata.
Contoh ditimbang 5 sampai 10 gr di dalam gelas piala yang kering dan telah didininkan
dalam desikator. Kemudian contoh dipanaskan di atas hot plate sambil memutar gelas
piala secara perlahan-lahan dengan tangan, agar minyak tidak memercik. Pemanasan
dihentikan setelah tidak terlihat lagi gelembung gas atau buih. Adanya uap air dapat

Universitas Sumatera Utara

25
dilihat dari air yang mengembun pada gelas arloji. Pada akhir pemanasan, suhu minyak
tidak boleh lebih dari 130 oC. Selanjutnya contoh dimasukkan ke dalam desikator dan
didinginkan sampai suhu kamar, kemudian ditimbang. Penyusutan bobot disebabkan oleh
bobot dari air dan zat menguap yang terkandung dalam minyak.
Kadar air dan zat menguap % =
-

Cara Oven Terbuka

����� ���� ℎ����� (�)×100
����� ����� ℎ (�)

Cara oven terbuka (air oven method) digunakan untuk lemak hewani dan nabati, tetapi
tidak dapat digunakan untuk minyak yang mengering (drying oils) atau setengah
mengering (semi drying oils).
Contoh yang telah diaduk, selanjutnya ditimbang seberat 5 gram di dalam “cawan kadar
air” (moisture dish), lalu dimasukkan ke dalam oven dan dikeringkan pada suhu 105o±
1oselama 30 menit. Contoh diangkat dari oven dan didinginkan di dalam desikator sampai
suhu kamar, kemudian ditimbang. Pekerjaan ini diulang sampai kehilangan bobot selama
pemanasan 30 menit tidak lebih dari 0,05 persen.
Kadar air dan zat menguap % =
-

Cara Oven Hampa Udara

����� ���� ℎ����� (�)×100
����� ����� ℎ (�)

Cara oven hampa udara (vacuum oven method) dapat digunakan untuk semua jenis
minyak dan lemak kecuali minyak kelapa dan minyak yang sejenis yang tidak
mengandung asam lemak bebas lebih dari satu persen.
Contoh yang telah diaduk ditimbang seberat 5 gram di dalam “cawan kadar air”.
Kemudian dikeringkan di dalam oven hampa udara pada suhu tidak lebih dari 25 oC.
Contoh diangkat dari oven dan didinginkan di dalam desikator sampai suhu kamar,
kemudian ditimbang. Bobot tetap diperoleh jika selama pengeringan 1 jam perbedaan
penyusutan bobot tidak lebih dari 0,05 persen.

Universitas Sumatera Utara

26
Kadar air dan zat menguap % =
(Ketaren, 1986)

��� �� ���� ℎ����� (�)×100
����� ����� ℎ (�)

2.9.3. Kadar Kotoran

Kadar kotoran adalah bahan-bahan tak larut dalam minyak, yang dapat disaring
setelah minyak dilarutkan dalam suatu pelarut pada kepekatan 10 %. (Mangoensoekarjo,
2003)
Bagi negara konsumen terutama negara yang telah maju, selalu menginginkan minyak
sawit yang benar-benar bermutu. Permintaan tersebut cukup beralasan sebab minyak sawit
tidak hanya digunakan sebagai bahan baku dalam industri nonpangansaja, tetapi banyak
industri pangan yang membutuhkannya. Lagi pula, tidak semua pabrik minyak kelapa sawit
mempunyai teknologi dan instalasi yang lengkap, terutama yang berkaitan dengan proses
penyaringan minyak sawit. Pada umumnya, penyaringan hasil minyak sawit dilakukan dalam
rangkaian proses pengendapan, yaitu minyak sawit jernih dimurnikan dengan sentrifugasi.
Dengan proses di atas, kotoran-kotoran yang berukuran besar memang bisa diasring.
Akan tetapi, kotoran-kotoran atau serabut yang berukuran kecil tidak bisa disaring, hanya
melayang-layang di dalam minyak sawit sebab berat jenisnya sama dengan minyak sawit.
Padahal, alat sentrifugasi tersebut dapat berfungsi dengan prinsip kerja yang berdasarkan
perbedaan berat jenis. Walaupun bahan baku minyak sawit selalu dibersihkan sebelum
digunakan pada industri-industri yang bersangkutan, namun banyak yang beranggapan dan
menuntut bahwa kebersihan serta kemurnian minyak sawit merupakan tanggung jawab
sepenuhnya pihak produsen.

Universitas Sumatera Utara

27
Meskipun kadar ALB dalam minyak sawit kecil, tetapi hal itu belum menjamin mutu
minyak sawit. Kemantapan minyak sawit harus dijaga dengan cara membuang kotoran dan
zat menguap. Hal ini dilakukan dengan peralatan pemurnian modern. (Tim penulis PS, 1997)

2.9.4. Asam Lemak Bebas (ALB)

Bilangan asam adalah jumlah miligram KOH yang dibutuhkan untuk menetralkan
asam-asam lemak bebas dari satu gram minyak atau lemak. Bilangan asam dipergunakan
untuk mengukur jumlah asam lemak bebas yang terdapat dalam minyak atau lemak. (Ketaren,
1986)Caranya yaitu dengan menimbang minyak atau lemak sebanyak 10 – 20 gram ditambah
50 ml alkohol netral 95 persen kemudian dipanaskan 10 menit dalam penangas air sambil
diaduk dan ditutup pendingin bulk. Alkohol berfungsi untuk melarutkan asam lemak. Setelah
didinginkan kemudian dititrasi dengan KOH 0,1 N menggunakan indikator phenolphthalein
sampai tepat warna merah jambu. (Sudarmadji dkk, 1989)
Berikut adalah reaksi indikator phenolphthalein dengan KOH.

Gambar 2.2 Reaksi phenolphthalein dengan KOH
Asam lemak bebas (ALB) adalah asam yang dibebaskan pada hidrolisis lemak.
(Mangoensoekarjo, 2003)Asam lemak bebas dalam konsentrasi tinggi yang terikut dalam
minyak sawit sangat merugikan. Tingginya asam lemak bebas ini mengakibatkan rendemen

Universitas Sumatera Utara

28
minyak turun. Beberapa faktor yang dapat menyebabkan peningkatan kadar ALB yang relatif
tinggi dalam minyak sawit antara lain :
-

Pemanenan buah sawit yang tidak tepat waktu,

-

Keterlambatan dalam pengumpulan dan pengangkutan buah,

-

Penumpukan buah yang terlalu lama, dan

-

Proses hidrolisa selama pemrosesan di pabrik. (Tim penulis PS, 1997)
Angka asam yang besar menunjukkan asam lemak bebas yang besar yang berasal dari

hidrolisa minyak ataupun karena proses pengolahan yang kurang baik. Makin tinggi angka
asam makin rendah kualitasnya. (Sudarmadji dkk, 1989)

2.9.5. Bilangan Iod

Bilangan iod adalah jumlah (gram) iod yang dapat diikat oleh 100 gram lemak. Ikatan
rangkap yang terdapat pada asam lemak yang tidak jenuh akan bereaksi dengan iod atau
senyawa-senyawa iod. Gliserida dengan tingkat ketidakjenuhan yang tinggi, akan mengikat
iod dalam jumlah yang lebih besar.(Ketaren, 1986)Angka iod mencerminkan ketidakjenuhan
asam lemak penyusun minyak dan lemak. Banyaknya iod yang diikat menunjukkan
banyaknya ikatan rangkap. Penentuan angka iod dapat dilakukan dengan cara Hanus atau
cara Kaufmaun dan Von Hubl, atau cara Wijs. (Sudarmadji dkk, 1989)
-

Cara Hanus
Contoh minyak atau lemak dimasukkan ke dalam labu erlenmeyer 200 ml atau 300 ml
yang bertutup. Kemudian dilarutkan dengan 10 ml kloroform atau karbon tetraklorida dan
ditambahkan 25 ml pereaksi Hanus. Reaksi dibiarkan selama 1 jam di tempat yang gelap.
Sebagian iodium (I 2 ) akan dibebaskan dari larutan (larutan KI yang digunakan adalah KI
10 persen atau 10 ml larutan KI 15 persen). Iod yang dibebaskan dititrasi dengan larutan

Universitas Sumatera Utara

29
natrium thiosulfat 0,1 N dengan indikator larutan pati. Titrasi untuk blanko dilakukan
dengan cara yang sama. Berikut adalah reaksi iodium dengan larutan pati.

Gambar 2.3 Reaksi iodium dengan larutan pati

-

Cara Kaufmann dan Von Hubl
Pada cara ini digunakan pereaksi kaufmann yang terdiri dari campuran 5,2 ml larutan
brom murni di dalam 1000 ml metanol dan dijenuhkan dengan natrium bromida. Contoh
yang telah ditimbang dilarutkan dalam 10 ml kloroform kemudian ditambahkan 25 ml
pereaksi. Di dalam pereaksi ini natrium bromida akan mengendap. Reaksi dilakukan di
tempat yang gelap. Larutan ini dititrasi dengan larutan natrium thiosulfat 0,1 N dengan
indikator larutan pati. Blanko dikerjakan dengan cara yang sama.
Pada cara Von Hubl digunakan pereaksi yang terdiri dari larutan 25 g iod di dalam 500 ml
etanol dan larutan 30 g merkuri klorida di dalam 500 ml etanol. Kedua larutan ini baru
dicampurkan jika akan dipergunakan, dan tidak boleh berumur lebih dari 48 jam. Pereaksi
ini mempunyai reaktivitas yang lebih kecil dibandingkan dengan cara-cara lainnya,
sehingga membutuhkan waktu reaksi selama 12 sampai 14 jam.

Universitas Sumatera Utara

30
-

Cara Wijs
Contoh minyak yang telah disaring ditimbang sebanyak 0,1 – 0,5 g di dalam erlenmeyer
500 ml yang tertutup, kemudian ditambahkan 20 ml karbon tetraklorida sebagai pelarut.
Ditambahkan 25 ml larutan wijs dengan pipet, dengan kelebihan volume pereaksi sekitar
50 – 60 persen. Dengan cara yang sama dibuat juga larutan blanko. Erlenmeyer disimpan
di tempat gelap pada suhu 25o ± 5o C selama 30 menit. Akhirnya ditambahkan 20 ml
larutan kalium iodida 15 persen dan 100 ml air, dan botol ditutup serta dikocok dengan
hati-hati. Titrasi dilakukan dengan larutan natrium thiosulfat 0,1 N dengan menggunakan
indikator larutan pati. (Ketaren, 1986)

Universitas Sumatera Utara