Pemberian Rehabilitasi Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Narkotika (Studi Kasus Tiga Putusan Pengadilan)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Anak adalah mereka yang belum dewasa dan yang menjadi dewasa karena
peraturan tertentu mental, fisik masih belum dewasa. Pengertian anak itu sendiri jika
ditinjau lebih lanjut dari segi usia kronologis menurut hukum dapat berbeda-beda
tergantung tempat, waktu dan untuk keperluan apa, hal ini juga akan mempengaruhi
batasan yang digunakan untuk menentukan umur anak.1 Menurut hukum positif anak
diartikan sebagai orang yang belum dewasa (minderjarig/person under age), orang
yang dibawah umur atau keadaan dibawah umur (minderjarig heid/inferiority) atau
biasa disebut juga sebagai anak yang berada dibawah pengawasan wali (minderjarige
under voordij).2

Hukum pidana juga mengenal usia belum dewasa dan dewasa. Batasan umur
dewasa adalah apabila telah berumur 21 tahun atau belum berumur 21 tahun, akan
tetapi sudah atau sudah pernah menikah. Hukum pidana anak dan acaranya berlaku
hanya untuk mereka yang belum berumur 18 tahun, yang menurut hukum perdata
belum dewasa. Anak yang telah berumur 17 tahun dan telah kawin maka tidak lagi
termasuk dalam ruang lingkup hukum pidana anak, sedangkan belum cukup umur

menurut Pasal 294 dan 295 KUHP adalah yang belum mencapai umur 21 tahun dan
1
2

Shanty Dellyana, Wanita Dan Anak Di Mata Hukum, (Yogyakarta: Liberty, 1988), hlm. 50
Abdussalam, Hukum Perlindungan Anak, (Jakarta: Restu Agung, 2007), hlm. 5

Universitas Sumatera Utara

belum kawin sebelumnya atau sebelum umur 21 tahun perkawinannya diputus, ia
tidak kembali menjadi kedalam kategori belum cukup umur.
Pada dasarnya peredaran narkotika di Indonesia apabila ditinjau dari aspek
yuridis adalah sah keberadaannya. Narkotika sangat diperlukan dalam dunia
kesehatan untuk pengobatan dan studi ilmiah terhadap jenis-jenis penyakit tertentu.
Undang-Undang Narkotika hanya melarang penggunaan narkotika tanpa izin oleh
undang-undang yang dimaksud. Keadaan yang demikian ini dalam tataran
empirisnya, penggunaan narkotika sering disalahgunakan bukan untuk kepentingan
pengobatan dan ilmu pengetahuan. Narkotika pada saat ini dijadikan ajang bisnis
yang menjanjikan dan berkembang pesat, yang mana kegiatan ini berimbas pada
rusaknya fisik maupun psikis mental pemakai narkotika khususnya generasi muda.3

Menyangkut penyalahgunaan narkoba, sindroma ketergantungan si pemakai
narkoba disebabkan karena beberapa faktor, antara lain:
1.

2.

Faktor predeposisi
a. Dikarenakan gangguan (faktor intern) dari dalam diri pribadi si pelaku.
b. Karena kecemasan (faktor intern) yang ada dalam perasaan si pemakai
tersebut semisal beban hidup yang begitu berat sehingga si pemakai ingin lari
dari kenyataan.
c. Karena depresi (faktor intern) atau tekanan batin yang mengakibatkan
turunnya gairah hidup si pelaku.
Faktor kontribusi
a. Dikarenakan hubungan interpersonal (intern/extern) yakni dengan adanya
interaksi yang terjadi di dalam kehidupan sehari-hari yang bila hubungan
tersebut membawa ke arah yang kurang baik, maka terjerumuslah orang
tersebut.
b. Karena kebutuhan keluarga (faktor intern) yang apabila keutuhan keluarga
tersebut terganggu atau kurang harmonis.

3

Materi Advokasi, Pencegahan Narkoba (Handbook Narkotika Nasional), (Jakarta: Badan
Narkotika Nasional, 2005), hlm. 8

Universitas Sumatera Utara

3.

c. Karena kesibukan keluarga (faktor intern) dapat mengakibatkan kurangnya
perhatian dan pengawasan terhadap anak remaja mereka.
Faktor pencetus
a. Pengaruh teman (faktor extern atau lingkungan atau dari luar) yang telah
lebih dahulu sebagai pemakai, yang dapat membawa akibat negatif
b. Kelompok pemakai (faktor extern) yang dapat mempengaruhi remaja,
sehingga meniru apa yang dilakukan oleh kelompok tersebut, semisal idola
dari remaja tersebut bisa berasal dari dalam negeri maupun luar negeri yang
dapat diakses melalui tayangan televisi, internet, dan lain sebagainya tanpa
melalui sensor.
Ketiga faktor di atas termasuk factor demand yang akan menjadi suatu


perbuatan penyalahgunaan psikotropika dan narkotika bila dibarengi dengan factor
supply.4 Menurut Ida Listyarini Handoyo bahwa pada umumnya para pengguna

narkoba pada awalnya hanya iseng, ingin mencoba dan sebagainya. Akan tetapi sifat
senyawa narkoba yang dapat mengakibatkan ketagihan membuat si pengguna tidak
lepas dari jerat narkoba.5
Hadiman menyatakan bahwa salah satu alasan meningkatnya penyalahgunaan
narkoba di kalangan anak-anak adalah kurangnya pendidikan dasar tentang narkoba
baik di kalangan orangtua dan anak-anak. Terutama banyak orangtua yang tidak
menyadari pengaruh narkoba yang ada di masyarakat dan bahaya yang dihadapi anakanak setiap harinya.6
Kalangan anak muda mudah terpengaruh ke dalam pemakaian narkoba,
terutama para remaja, karena masa remaja merupakan masa seorang anak mengalami
4
5

Gatot Supramono, Hukum Narkoba Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 2004), hlm. 2-4
Ida Listryarini Handoyo, Narkoba Perlukah Mengenalnya, (Yogyakarta: Pakar Raya, 2004),

hlm. 22

6

Hadiman, Pengawasan Serta Peran Aktif Orangtua Dan Aparat Dalam Penanggulangan
Dan Penyalahgunaan Narkoba, (Jakarta: Badan Kerjasama Sosial Usaha Bersama Warga Tama,
2005), hlm. 2

Universitas Sumatera Utara

perubahan dengan cepat di segala bidang, menyangkut perubahan tubuh, perasaan,
kecerdasan, sikap sosial dan kepribadian. Mereka mudah dipengaruhi karena dalam
dirinya banyak perubahan dan tidak stabilnya emosi cenderung menimbulkan
perilaku yang nakal.7
Seorang anak yang diduga melakukan tindak pidana, sistem peradilan formal
yang ada pada akhirnya menempatkan anak dalam status narapidana tentunya
membawa konsekuensi yang cukup besar dalam hal tumbuh kembang anak. Proses
penghukuman yang diberikan kepada anak lewat sistem peradilan pidana formal
dengan memasukkan anak ke dalam penjara ternyata tidak berhasil menjadikan anak
jera dan menjadi pribadi yang lebih baik untuk menunjang proses tumbuh
kembangnya. Penjara justru seringkali membuat anak semakin profesional dalam
melakukan tindak kejahatan.8

Setiap orang yang melakukan tindak pidana tentunya akan mendapatkan
sanksi pidana yang berupa hukuman, hal ini dapat berupa pidana mati, penjara,
kurungan, atau denda. Pemberian hukuman sangat erat kaitanya dengan
pertanggungjawaban

pidana

dimana

orang

yang

dihukum

harus

mampu

mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pertanggungjawaban pidana harus sesuai

dengan asas hukum pidana tentang pertanggungjawaban pidana yang berbunyi tidak
dipidana jika tidak ada kesalahan (geen straf zonder schuld actus non facit reum nisi

7

Gatot Supramono, Loc. Cit.
M. Joni & Zulchaina Z. Tanamas, Aspek Hukum Perlindungan Anak Dalam Perspektif
Konvensi Hak Anak, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999), hlm. 1
8

Universitas Sumatera Utara

mens sist rea).9 Hal-hal yang meringankan pemidanaan, terbagi juga menjadi tiga,

yaitu, percobaan (poeging), pembantuan (medeplictige), dan belum cukup umur
(minderjarig). Dengan pemahaman demikian, memang terhadap anak yang

melakukan kenakalan, Undang-Undang Tentang Peradilan Anak mengatur bahwa
bagi anak yang diancam pidana penjara, kurungan, dan denda, maka ancamannya
menjadi dikurangi ½ dari ancaman pidana pokok yang diperuntukkan pada orang

dewasa.10
Pidana penjara tidak berarti adalah sanksi yang paling tepat bagi anak. Bagi
anak seharusnya kebijakan untuk melihat permasalahan justru lebih dipentingkan,
apalagi apabila dilihat dari sudut ilmu kriminologi, bahwa anak-anak yang melakukan
kenakalan lebih dilatarbelakangi oleh pengaruh dari lingkungan. Teori yang paling
dekat adalah teori differential association11, yang pada intinya bahwa perilaku
kenakalan anak itu dilator belakangi oleh faktor belajar, selain itu juga teori motivasi
dari Romli Atmasasmita, yang artinya, lingkungan yang sehat dan kondusif untuk
perkembangan fisik, sosial dan mental anak harus diperhatikan sejak dini.
Masalah penyalahgunaan narkotika maupun psikotropika, baik dalam
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika maupun Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika, hanya menerapkan sanksi bagi pelaku
tindak pidana berdasarkan golongan narkotika dan psikotropika yang disalahgunakan.
Bagi sebagian orang, menjatuhkan pidana terhadap anak dianggap tidak bijak, akan
9

Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Reneka Cipta, 2009), hlm. 165
Pasal 26 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Peradilan Anak
11
Nashriana, Hukum Pidana Anak, (Palembang: Universitas Sriwijaya, 2009), hlm. 36-37

10

Universitas Sumatera Utara

tetapi ada sebagian yang beranggapan bahwa pemidanaan terhadap anak adalah tetap
penting dilakukan, agar sikap buruk tidak terus menjadi permanen sampai ia dewasa.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak, putusan yang dapat dijatuhkan oleh hakim terhadap tindak
pidana penyalahgunaan narkotika yang dilakukan oleh anak adalah dengan
menjatuhkan pidana atau tindakan kepada anak yang bersangkutan. Pertimbangan
hakim sangat berperan dalam memberikan putusan terhadap pelaku anak dalam
tindak pidana penyalahgunaan narkotika. Hakim dalam putusannya haruslah tetap
berdasarkan atas pertimbangan bahwa pemberian putusan tersebut merupakan
putusan yang terbaik bagi kepentingan si anak itu sendiri, dan untuk putusan hakim
yang berupa pidana yang dapat dijatuhkan kepada anak, dalam Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2012 menyebutkan bahwa:12
(1) Pidana pokok bagi anak terdiri atas:
a. Pidana peringatan
b. Pidana dengan syarat
1) Pembinaan di luar lembaga

2) Pelayanan masyarakat, atau
3) Pengawasan
c. Pelatihan kerja
d. Pembinaan dalam lembaga, dan
e. Penjara.
(2) Pidana tambahan terdiri atas:
a. Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana, atau
b. Pemenuhan kewajiban adat.
Sedangkan untuk putusan hakim yang berupa suatu tindakan bagi anak
disebutkan:13

12
13

Pasal 71 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
Pasal 82 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

Universitas Sumatera Utara

(1) Tindakan yang dapat dikenakan kepada Anak meliputi:

a. Pengembalian kepada orang tua atau wali
b. Penyerahan kepada seseorang
c. Perawatan di rumah sakit jiwa
d. Perawatan di LKPS
e. Kewajiban mengikuti pendidikan formal dan/atau pelatihan yang diadakan
oleh pemerintah atau badan swasta
f. Pencabutan surat izin mengemudi, dan/atau
g. Perbaikan akibat tindak pidana.
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tidak memberikan pengecualian
terhadap pelaku anak, namun terhadap putusan yang dijatuhkan oleh hakim mengenai
hukuman apa yang dikenakan dan berat hukuman yang dijatuhkan haruslah
mempertimbangkan dari keadaan sosial mengenai fakta-fakta dari pelaku anak
tersebut. Hakim sebelum menjatuhkan putusan terhadap anak yang melakukan tindak
pidana, ada beberapa hal yang menjadi dasar pertimbangan bagi hakim. putusan
hakim akan mempengaruhi kehidupan si anak tersebut pada masa selanjutnya, oleh
karena itu hakim harus yakin benar bahwa putusan yang akan diambil adalah yang
paling tepat dan juga adil.14
Upaya-upaya perlindungan anak harus telah dimulai sedini mungkin, agar
kelak dapat berpartisipai secara optimal bagi pembangunan bangsa dan negara. Anak
berhak atas pemeliharaan dan perlindungan baik semasa kandungan maupun sesudah
dilahirkan. Anak berhak atas perlindungan-perlindungan lingkungan hidup yang
dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangan dengan
wajar. Hal tersebut memberikan dasar pemikiran bahwa perlindungan anak

14

Sri Widowati Wiratmo Soekito, Anak Dan Wanita Dalam Hukum, (Jakarta: LP3ES, 1983),

hlm. 16

Universitas Sumatera Utara

bermaksud untuk mengupayakan perlakuan yang benar dan adil, untuk mencapai
kesejahteraan anak.15
Perlindungan terhadap anak pada suatu masyarakat bangsa, merupakan tolak
ukur peradaban bangsa tersebut, karenanya wajib diusahakan sesuai dengan
kemampuan nusa dan bangsa. Kegiatan perlindungan anak merupakan suatu tindakan
hukum yang berakibat hukum.16 Menyangkut anak yang melakukan kenakalan (anak
nakal), pada hakekatnya, batasan anak dalam kaitan hukum pidana yang berarti
melingkupi pengertian anak nakal. Menurut Maulana Hasan Wadong pengertian anak
nakal meliputi dimensi pengertian sebagai berikut:17
a.
b.

c.

d.
e.

Ketidakmampuan untuk pertanggungjawaban tindak pidana.
Pengembalian hak-hak anak dengan jalan mensubstitusikan hak-hak anak
yang timbul dari lapangan hukum keperdataan, tata negara, dengan
maksud untuk mensejahterakan anak.
Rehabilitasi, yaitu anak berhak untuk mendapatkan perbaikan mental
spiritual akibat dari tindakan hukum pidana yang dilakukan anak itu
sendiri.
Hak-hak untuk menerima pelayanan dan asuhan.
Hak-hak anak dalam proses hukum acara pidana.

Pasal 64 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
menentukan bahwa:18
(1) Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 meliputi anak yang berkonflik
dengan hukum dan anak korban tindak pidana, merupakan kewajiban dan
tanggungjawab pemerintah dan masyarakat.
15

Pasal 2 Ayat (3), (4) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1979 Tentang
Kesejahteraan Anak
16
Abdul G. Nusantara, Hukum Dan Hak-Hak Anak, (Jakarta: Rajawali Pers, 1996), hlm. 23
17
Maulana Hasan Wadong, Pengantar Advokasi Dan Hukum Perlindungan Anak, (Jakarta:
Grasindo, Jakarta, 2000), hlm. 22
18
Pasal 64 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

Universitas Sumatera Utara

(2) Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan melalui:
a. Perlakuan atas anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan
hak-hak anak.
b. Penyediaan petugas pendamping khusus anak sejak dini.
c. Penyedian sarana dan prasarana khusus.
d. Penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan yang terbaik bagi
anak.
e. Pemantauan dan pencatatan terus menerus terhadap perkembangan
anak yang berhadapan dengan hukum.
f. Pemberian jaminan untuk mempertahankan hubungan dengan orang
tua atau keluarga.
g. Perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan
untuk menghindari labelisasi.
(3) Perlindungan khusus bagi anak yang menjadi korban tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan melalui:
a. Upaya rehabilitasi, baik dalam lembaga maupun diluar lembaga.
b. Upaya perlindungan dari pemberian identitas melalui media massa
dan untuk menghindari labelisasi.
c. Pemberian jaminan keselamatan bagi saksi dan korban dan saksi ahli,
baik fisik, mental maupun sosial.
d. Pemberian aksesibilitas untuk mendapatkan informasi mengenai
perkembangan perkara.
Pasal ini menyebutkan bahwa seorang anak yang menjadi korban tindak
pidana berhak mendapat rehabilitasi dari pemerintah baik secara fisik maupun secara
mental, spiritual dan sosial, selain itu privasinya wajib untuk dilindungi, nama
baiknya dijaga dan dipelihara, keselamatannya juga sebagai saksi korban menjadi
tanggung jawab pemerintah, dan anak yang jadi korban tersebut berhak untuk
senantiasa mengetahui perkembangan perkara yang dihadapinya.
Hal yang sama juga diatur dalam Pasal 65 Undang-Undang Nomor 39 Tahun
1999 Tentang Hak Asasi Manusia yang menyebutkan bahwa rehabilitasi seharusnya
diberikan kepada semua korban tindak pidana yang memerlukan pemulihan baik
secara fisik maupun mental. Pemberian rehabilitasi seharusnya dilakukan secara

Universitas Sumatera Utara

merata kepada semua korban tanpa adanya diskriminasi, dalam hal ini lembagalembaga perlindungan anak harus bersikap lebih aktif dalam memberikan bantuan
berupa rehabilitasi korban sesuai amanat dari undang-undang.
Suatu bagian penting dari hukum pidana yang tampaknya masih kurang
mendapat perhatian adalah bagian mengenai pemidanaan (sentencing atau
straftoemeting). Padahal segala pengaturan mengenai hukum pidana ini pada

akhirnya akan berpuncak kepada pemidanaan yang dapat merenggut kemerdekaan
seseorang, harta bendanya, bahkan jiwanya. Hakim dalam menjatuhkan putusan
pidana, bebas menentukan berat ringannya hukuman yang akan dijatuhkan, akan
tetapi kebebasan ini dalam menentukan pidana harus dipahami benar makna
kejahatan, penjahat (pembuat kejahatan), dan pidana.19
Penyalahgunaan narkotika merupakan persoalan yang cukup kompleks mulai
dari proses hukum hingga proses pemulihan korbannya. Persoalan hukum karena
terkait dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, di satu
sisi pelanggaran terhadap undang-undang tersebut merupakan tindak pidana dan di
sisi lain korban ketergantungan terhadap narkotika wajib menjalani pengobatan dan
perawatan (rehabilitasi). Rehabilitasi terhadap pecandu narkotika adalah suatu proses
pengobatan untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan, dan masa menjalani
rehabilitasi tersebut diperhitungkan sebagai masa menjalani hukuman. Rehabilitasi
terhadap pecandu narkotika juga merupakan suatu bentuk perlindungan sosial yang

19

Eddy Djunaedi Kamasudirdja, Bebarapa Pedoman Pemidanaan Dan Pengamatan
Narapidana , (Jakarta: Bina Aksara, 1996), hlm. 80

Universitas Sumatera Utara

mengintegrasikan pecandu narkotika ke dalam tertib sosial agar dia tidak lagi
melakukan penyalahgunaan narkotika. Seharusnya sesuai dengan apa yang
diamanatkan

undang-undang

bahwa

anak

pecandu

narkotika

dan

korban

penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
Perbedaan pandangan hakim dalam memberikan pertimbangan bagi anak
pelaku tindak pidana narkoba juga menjadi dasar diberikan atau tidak diberikannya
rehabilitasi kepada anak pelaku tindak pidana narkotika di Indonesia. Hal ini dapat
dilihat lebih banyaknya putusan-putusan hakim yang lebih condong memberikan
hukuman penjara dibandingkan memberikan rehabilitasi bagi anak pelaku tindak
pidana narkotika. Kenyataan ini sangat disayangkan mengingat anak yang masih
dalam masa pertumbuhan dan perlu perhatian dari semua pihak, lebih condong di
berikan hukuman fisik dari pada memulihkan jiwa anak dari kecanduan dan
ketergantungan narkotika tersebut.
Pada dasarnya pemberian rehabilitasi merupakan jalan untuk menyelamatkan
jiwa generasi penerus bangsa dari ketergantungan narkoba, sebab pidana penjara bagi
anak bukan satu-satunya cara untuk mebuat efek jera bagi anak pelaku tindak pidana
narkoba. Rehabilitasi bagi anak pelaku tindak pidana narkotika ini harusnya lebih
didukung oleh semua kalangan, mengingat narkotika adalah musuh bersama dan
harus diberantas secara bersama oleh semua pihak, dan bagi anak yang sudah menjadi
korban, sudah selayaknyalah diberikan rehabilitasi agar anak tersebut dapat
terpulihkan kondisi fisik dan jiwanya hingga dapat melanjutkan cita-cita penerus
bangsa dimasa yang akan datang.

Universitas Sumatera Utara

Berdasarkan latar belakang penelitian tersebut diatas, maka penelitian ini
diberi judul “Pemberian Rehabilitasi Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana
Narkotika (Studi Kasus Tiga Putusan Pengadilan).”

B. Perumusan Masalah
Perumusan masalah merupakan pertanyaan mengenai objek empirik yang
akan diteliti dan jelas batas-batasnya serta dapa diidentifikasikan faktor-faktor yang
terkait didalamnya. Pada penelitian ini adapun yang menjadi permasalahan adalah
sebagai berikut:
1.

Apakah yang menjadi landasan hukum atas pemberian rehabilitasi terhadap anak
pelaku tindak pidana narkotika?

2.

Apakah yang menjadi pertimbangan hakim dalam memberikan rehabilitasi
terhadap anak pelaku tindak pidana narkotika dalam Penetapan Nomor
111/Pid.Sus-Anak/2014/Pn.Sby, Putusan Nomor 1817 K/Pid.Sus/2011, dan
Putusan Nomor 988/Pid.B/2011/PN.Jkt.Pst?

C. Tujuan Penelitian
Tulisan ini dibuat sebagai tugas akhir dan merupakan sebuah karya ilmiah
yang bermanfaat bagi semua kalangan baik civitas akademika, pemerintah,
masyarakat maupun para pihak yang terlibat langsung dalam setiap pemberian
rehabilitasi kepada anak pelaku tindak pidana narkoba. Selain itu tujuan penelitian ini
untuk mengembangkan pengetahuan hukum khususnya hukum yang mengatur

Universitas Sumatera Utara

tentang perlindungan terhadap anak pelaku tindak pidana narkotika. Sesuai
permasalahan yang diatas adapun tujuan penelitian ini adalah:
1.

Untuk mengetahui dan menganalisis mengenai landasan hukum atas pemberian
rehabilitasi terhadap anak pelaku tindak pidana narkotika.

2.

Untuk mengetahui dan menganalisis mengenai pertimbangan hakim dalam
memberikan rehabilitasi terhadap anak pelaku tindak pidana narkotika dalam
Penetapan Nomor 111/Pid.Sus-Anak/2014/Pn.Sby, Putusan Nomor 1817
K/Pid.Sus/2011, dan Putusan Nomor 988/Pid.B/2011/PN.Jkt.Pst.

D. Manfaat Penelitian
Penelitan ini diharapkan dapat memberikan kontribusi baik secara teoritas
kepada disiplin ilmu hukum yang ditekuni oleh peneliti maupun praktis kepada para
praktisi hukum.
1.

Manfaat yang bersifat teoretis adalah diharapkan hasil penelitian ini dapat
menyumbangkan pemikiran dibidang hukum yang akan mengembangkan displin
ilmu hukum khususnya dalam hal perlindungan hukum bagi anak yang
melakukan tindak pidana narkoba.

2.

Manfaat yang bersifat praktis adalah bahwa hasil penelitian ini nantinya
diharapkan memberikan jalan keluar yang akurat terhadap permasalahan yang
diteliti dan disamping itu peneltian ini dapat mengungkapkan teori-teori baru
serta pengembangan teori-teori yang sudah ada.20 Secara praktis diharapkan juga

20

Soerjono Soekanto(1), Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1986), hlm. 106

Universitas Sumatera Utara

agar penelitian ini dapat menjadi bahan masukan bagi masyarakat dan para pihak
yang berperan serta yang diharapkan dapat meningkatkan kesadaran dan
perannya dalam memberikan perlindungan dan kepastian hukum kepada hak
anak yang tersangkut kasus pidana, mengingat faktor pengawasan internal dan
eksternal sangat dibutuhkan dalam mengawasi perkembangan anak.

E. Keaslian Penelitian
Penelitian yang berjudul “Pemberian Rehabilitasi Terhadap Anak Pelaku
Tindak Pidana Narkotika (Studi Kasus Tiga Putusan Pengadilan)” adalah hasil
pemikiran sendiri. Penelitian ini menurut sepengetahuan, belum pernah ada yang
membuat. Kalaupun ada seperti beberapa judul penelitian yang diuraikan di bawah ini
dapat diyakinkan bahwa substansi pembahasannya berbeda. Dengan demikian
keaslian penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan secara moral dan ilmiah.
Pengujian tentang kesamaan dan keaslian judul yang diangkat di perpustakaan
fakultas hukum universitas sumatera utara khususnya dilingkungan magister
kenotariatan dan magister ilmu hukum juga telah dilakukan dan dilewati, namun ada
beberapa penelitian tesis yang memiliki kemiripan dengan judul yang diangkat, antara
lain:
1.

Nama

: Anjan Pramuka Putra

Nim

: 067005063

Judul

: Analisis Yuridis Penerapan Sistem Pemidanaan Terhadap Pelaku

Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba

Universitas Sumatera Utara

2.

Nama

: Elizabeth Siahaan

Nim

: 077005036

Tahun

: 2009

Judul

: Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba

Di Sumatera Utara
3.

Nama

: Elvina Anggraini

Nim

: 127005029

Judul

: Tinjauan Kriminologis terhadap Penyalahgunaan Narkoba Yang

Dilakukan Oleh Anak

F. Kerangka Teori Dan Konsepsi
1.

Kerangka Teori
Kerangka teori merupakan landasan dari teori atau dukungan teori dalam

membangun atau memperkuat kebenaran dari permasalahan yang dianalisis.
Kerangka teori dimaksud adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori,
tesis, sebagai pegangan baik disetujui atau tidak disetujui.21 Teori berguna untuk
menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi
dan satu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat
menunjukkan ketidakbenarannya.
Menurut Soerjono Soekanto, dinyatakan bahwa keberlanjutan perkembangan
ilmu hukum, selain bergantung pada metodologi, aktivitas penelitian dan imajinasi

21

M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu Dan Penelitian , (Bandung: Mandar Maju, 1994), hlm. 80

Universitas Sumatera Utara

sosial sangat ditentukan oleh teori.22 Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk
memberikan arahan atau petunjuk dan meramalkan serta menjelaskan gejala yang
diamati, dan dikarenakan penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif, maka
kerangka teori diarahkan secara khas ilmu hukum. Maksudnya penelitian ini berusaha
untuk memahami mengenai konsep rehabilitasi yang diterapkan bagi anak pelaku
tindak pidana narkoba, dimana konsep rehabilitasi diharapkan dapat memberikan
perlindungan hukum bagi anak pelaku tindak pidana narkoba.
Teori yang digunakan dalam tesis ini adalah teori treatment dan sosial
defence. Pemidanaan mempunyai beberapa tujuan yang bisa diklasifikasikan

berdasarkan teori-teori tentang pemidanaan. Pembabakan tentang tujuan pemidanaan
ini dapat diuraikan berdasarkan tujuan retributive, deterrence, treatment, sosial
defence. Rehabilitasi terhadap pecandu narkotika menganut teori treatment dan sosial
defence.

Rehabilitasi terhadap pecandu narkotika menganut teori treatment sebab
rehabilitasi terhadap pecandu narkotika merupakan suatu proses kegiatan pengobatan
secara terpadu untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan. Hal tersebut sesuai
dengan pemidanaan yang dimaksudkan pada aliran teori treatment yaitu untuk
memberi tindakan perawatan (treatment) dan perbaikan (rehabilitation) kepada
pelaku kejahatan sebagai pengganti dari penghukuman. Pelaku kejahatan adalah
orang yang sakit sehingga membutuhkan tindakan perawatan (treatment) dan
perbaikan (rehabilitation).
22

Soerjono Soekanto(1), Ibid., hlm. 6

Universitas Sumatera Utara

Treatment sebagai tujuan pemidanaan sangat pantas diarahkan pada pelaku

kejahatan, bukan pada perbuatannya. Pemidanaan yang dimaksudkan pada aliran ini
adalah untuk memberi tindakan perawatan (treatment) dan perbaikan (rehabilitation)
kepada pelaku kejahatan sebagai pengganti dari penghukuman. Pelaku kejahatan
adalah orang yang sakit sehingga membutuhkan tindakan perawatan (treatment) dan
perbaikan (rehabilitation).23 Perbuatan seseorang tidak bisa hanya dilihat dari aspek
yuridis semata terlepas dari orang yang melakukannya. Perbuatan seseorang itu harus
dilihat secara konkrit bahwa dalam kenyataannya perbuatan seseorang itu dipengaruhi
oleh watak pribadinya, faktor-faktor biologis, maupun faktor-faktor lingkungan.
Bentuk pertanggungjawaban si pembuat lebih bersifat tindakan (treatment) untuk
melindungi

kepentingan

masyarakat.

Metode

treatment

sebagai

pengganti

pemidanaan, menjadikan pendekatan secara medis menjadi model yang digemari
dalam kriminologi.24
Metode treatment sebagai pengganti pemidanaan sebagaimana yang
dipelopori oleh aliran positif, menjadikan pendekatan secara medis menjadi model
yang digemari dalam kriminologi. Pengamatan mengenai bahaya sosial yang
potensial dan perlindungan sosial menjadi suatu standar dalam menjustifikasi suatu
perbuatan, daripada pertanggungjawaban moral dan keadilan. Menurut Herbert L.
Packer, rehabilitasi dilakukan terhadap pelaku kejahatan karena dalam menjatuhkan

23

C. Ray Jeffery Dalam Mahmud Mulyadi, Criminal Policy, Pendekatan Integral Penal
Policy Dan Non Penal Policy Dalam Penanganan Kejahatan Kekerasan , (Medan: Pustaka Bangsa
Press, 2008), hlm. 79
24
Ibid., hlm. 81-82

Universitas Sumatera Utara

sanksi harus berorientasi kepada diri individu pelaku, bukan kepada perbuatannya.
Bagaimana menjadikan individu pelaku kejahatan tersebut untuk menjadi lebih
baik.25
Setelah lahirnya teori treatment, maka lahirlah teori sosial defence.
Rehabilitasi terhadap pecandu narkotika juga menganut teori sosial defence sebab
merupakan suatu bentuk perlindungan sosial yang mengintegrasikan pecandu
narkotika ke dalam tertib sosial agar dia tidak lagi melakukan penyalahgunaan
narkotika. Teori Sosial defence berkembang setelah Perang Dunia Ke II. Tokoh
terkenal dari teori ini adalah Filippo Gramatica. Dalam teori ini, terbagi dua konsepsi
yaitu konsepsi radikal (ekstrim), dan konsepsi yang moderat (reformist).26
Konsepsi radikal dipelopori dan dipertahankan oleh Filippo Gramatica.
Menurut Gramatica, hukum perlindungan sosial harus menggantikan hukum pidana
yang ada sekarang. Tujuan utama dari hukum perlindungan sosial adalah
mengintegrasikan individu kedalam tertib sosial dan bukan pemidanaan terhadap
perbuatannya. Konsepsi moderat dipertahankan oleh Marc Ancel. Menurut Marc
Ancel, tiap masyarakat memasyarakatkan adanya tertib sosial, yaitu seperangkat
peraturan-peraturan yang tidak hanya sesuai dengan kebutuhan untuk kehidupan
bersama, tetapi sesuai dengan aspirasi-aspirasi warga masyarakat pada umumnya,
oleh karena itu, peranan yang besar dari hukum pidana merupakan kebutuhan yang

25

Herbert L. Packer, The Limits Of The Criminal Sanction , (California: Stanford University
Press, 1968), hlm. 54
26
Muladi Dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori Dan Kebijakan Pidana , (Bandung: Alumni,
1992), hlm. 35-38

Universitas Sumatera Utara

tidak dapat dielakkan bagi suatu sistem hukum. Beberapa konsep pandangan moderat
diantaranya:
1.

2.

3.

Pandangan moderat bertujuan mengintegrasikan ide-ide atau konsepsi-konsepsi
perlindungan masyarakat ke dalam konsepsi-konsepsi perlindungan masyarakat
ke dalam konsepsi baru hukum pidana.
Perlindungan individu dan masyarakat tergantung pada perumusan yang tepat
mengenai hukum pidana, dan ini tidak kurang pentingnya dari kehidupan
masyarakat itu sendiri.
Dalam menggunakan sistem hukum pidana, aliran ini menolak penggunaan fiksifiksi dan teknis-teknis yuridis yang terlepas dari kenyataan sosial. Ini merupakan
reaksi terhadap legisme dari aliran klasik.27
Teori perlindungan hukum juga digunakan dalam penulisan tesis ini. Menurut

Satjipto

Raharjo

hukum

melindungi

kepentingan

seseorang

dengan

cara

mengalokasikan suatu kekuasaan kepadanya untuk bertindak dalam rangka
kepentingannya tersebut. Pengalokasian kekuasaan ini dilakukan secara terukur
dalam arti, ditentukan keluasan dan kedalamannya. Kekuasaan yang demikian itulah
yang disebut hak.
Tidak di setiap kekuasaan dalam masyarakat bisa disebut sebagai hak,
melainkan hanya kekuasaan tertentu yang menjadi alasan melekatnya hak itu pada
seseorang.28 Menurut Setiono perlindungan hukum adalah tindakan atau upaya untuk
melindungi masyarakat dari perbuatan sewenang-wenang oleh penguasa yang tidak
sesuai dengan aturan hukum, untuk mewujudkan ketertiban dan ketentraman
sehingga

memungkinkan

manusia

untuk

menikmati

martabatnya

sebagai

27

Marc Ancel, Sosial Defence, Modern Approach To The Criminal Problem, (London:
Roatledge & Paul Keagen, 1965), hlm. 35
28
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Cetakan Kelima, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000),
hlm. 53

Universitas Sumatera Utara

manusia.29Menurut Muchsin perlindungan hukum merupakan kegiatan untuk
melindungi individu dengan menyerasikan hubungan nilai-nilai atau kaidah-kaidah
yang menjelma dalam sikap dan tindakan dalam menciptakan adanya ketertiban
dalam pergaulan hidup antar sesama manusia.30
Perlindungan hukum merupakan suatu hal yang melindungi subjek-subjek
hukum melalui peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dipaksakan
pelaksanaannya dengan suatu sanksi. Perlindungan hukum dapat dibedakan menjadi
dua, yaitu perlindungan hukum preventif dan perlindungan hukum represif.
Perlindungan hukum preventif yakni bentuk perlindungan hukum dimana kepada
rakyat diberi kesempatan untuk mengajukan keberatan atau pendapatnya sebelum
suatu keputusan pemerintah mendapat bentuk yang definitif.
Hal ini terdapat dalam peraturan perundang-undangan dengan maksud untuk
mencegah suatu pelanggaran serta memberikan rambu-rambu atau batasan-batasan
dalam melakukan suatu kewajiban, sedangkan perlindungan hukum represif
merupakan perlindungan akhir berupa sanksi pidana. Penyelesaian sengketa melalui
peradilan seharusnya merupakan jalan terakhir (ultimum remedium).31 Fungsi teori
perlindungan hukum dalam penulisan tesis ini adalah untuk melindungi hak-hak dari
anak pelaku tindak pidana narkoba mengingat anak masih dalam usia pengawasan

29

Setiono, Rule Of Law (Supremasi Hukum), Tesis, Magister Ilmu Hukum, (Pascasarjana:
Universitas Sebelas Maret, 2004), hlm. 3
30
Muchsin, Perlindungan Dan Kepastian Hukum Bagi Investor Di Indonesia , Tesis, Magister
Ilmu Hukum, (Pascasarjana: Universitas Sebelas Maret, 2003), hlm. 14
31
Ibid., hlm. 20

Universitas Sumatera Utara

dan pembelajaran dari orang tua kandungnya segingga diperlukan konsep rehabilitasi
untuk melindungi anak pelaku tindak pidana narkoba.
Teori dalam penulisan tesis ini juga menggunakan teori kepastian hukum.
Kepastian hukum merupakan pertanyaan yang hanya dapat dijawab secara normatif,
bukan sosiologis. Kepastian hukum secara normatif adalah ketika suatu peraturan
dibuat dan diundangkan secara pasti karena mengatur secara jelas dan logis. Jelas,
dalam artian tidak menimbulkan keragu-raguan (multitafsir) dan logis dalam artian
menjadi suatu sistem norma, dengan norma lain sehingga tidak berbenturan atau
menimbulkan konflik norma.
Konflik norma yang ditimbulkan dari ketidakpastian aturan dapat berbentuk
kontestasi norma, reduksi norma atau distorsi norma. Pendapat ini dapat
dikategorikan sebagai pendapat yang berperspektif legal positivism karena lebih
melihat kepastian hukum dari sisi kepastian perundang-undangan. Kepastian hukum
harus diindikasikan oleh adanya ketentuan peraturan yang tidak menimbulkan
multitafsir terhadap formulasi gramatikal dan antinomi antar peraturan, sehingga
menciptakan keadaan hukum yang tidak membawa kebingungan ketika hendak
diterapkan atau ditegakkan oleh aparat penegak hukum.
Pada konsep ajaran prirotas baku mengemukakan bahwa tiga ide dasar hukum
atau tiga tujuan utama hukum adalah keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum.
Keadilan merupakan hal yang utama dari ketiga hal itu tetapi tidak berarti dua unsur
yang lain dapat dengan serta merta diabaikan. Hukum yang baik adalah hukum yang

Universitas Sumatera Utara

mampu mensinergikan ketiga unsur tersebut demi kesejahteraan dan kemakmuran
masyarakat.32
Keadilan yang dimaksudkan adalah keadilan dalam arti yang sempit yakni
kesamaan hak untuk semua orang di depan pengadilan. Kemanfaatan atau finalitas
menggambarkan isi hukum karena isi hukum memang sesuai dengan tujuan yang
mau dicapai oleh hukum tersebut. Kepastian hukum dimaknai dengan kondisi di
mana hukum dapat berfungsi sebagai peraturan yang harus ditaati.33
Kepastian hukum itu berkaitan dengan putusan hakim yang didasarkan pada
prinsip the binding for precedent (stare decisis) dalam sistem common law dan the
persuasive for precedent (yurisprudensi) dalam civil law. Putusan hakim yang

mengandung kepastian hukum adalah putusan yang berisi prediktabilitas dan otoritas.
Kepastian hukum akan terjamin oleh sifat prediktabilitas dan otoritas pada putusanputusan terdahulu.34 Hukum bertugas menjamin adanya kepastian hukum
(rechszekerheid) dalam pergaulan manusia. Dalam tugas itu tersimpul dua tugas lain,

yaitu harus menjamin keadilan serta hukum tetap berguna. Dalam kedua tugas
tersebut tersimpul pula tugas ketiga yaitu hukum menjaga agar masyarakat tidak
terjadi main hakim sendiri (eigenrichting).
Berdasarkan teori hukum yang ada maka tujuan hukum yang utama adalah
untuk menciptakan keadilan, kemanfaatan, kepastian hukum, ketertiban dan

32

Ali Ahmad, Menguak Teori Hukum Dan Teori Peradilan, (Jakarta: Kencana, 2009), hlm.

33

Ibid., hlm. 162
Ibid., hlm. 294

287-288
34

Universitas Sumatera Utara

perdamaian.35 Fuller memberikan makna yang lebih luas tentang kepastian hukum.
Fuller menjabarkan pendapatnya tentang kepastian hukum, dengan menyatakan
kepastian hukum selalu berkaitan dengan hal-hal seperti:36
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.

Adanya sistem hukum yang terdiri dari peraturan-peraturan, bukan berdasarkan
putusan sesaat untuk hal-hal tertentu.
Peraturan tersebut diumumkan kepada publik.
Peraturan tersebut tidak berlaku surut.
Dibuat dalam rumusan yang dimengerti oleh umum.
Tidak boleh ada peraturan yang saling bertentangan.
Tidak boleh menuntut suatu tindakan yang melebihi apa yang dapat dilakukan.
Tidak boleh sering diubah-ubah.
Harus ada kesesuaian antara peraturan dan pelaksanaan sehari-hari.
Fungsi teori kepastian hukum disini adalah untuk menjamin dan melindungi

hak-hak anak dari tuntutan hukum atas tindak pidana narkoba yang dilakukannya,
mengingat perlunya kepastian hukum atas sanksi pidana yang dijatuhkan pengadilan
kepada anak pelaku tindak pidana narkoba.
2.

Konsepsi
Konsepsi adalah salah satu bagian yang terpenting dari teori, peranan konsepsi

dalam penelitian ini untuk menghubungkan teori dan observasi, antara abstraksi dan
kenyataan. Konsep diartikan sebagai kata yang menyatukan abstraksi yang
digeneralisasikan dari hal-hal khusus yang disebut defenisi operasional.37 Maka
dalam penelitian ini disusun berberapa defenisi operasional dari konsep-konsep yang
akan digunakan agar tidak terjadi perbedaan pengertian yakni:

35

Ridwan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999),

36

Ahmad Ali, Op. Cit., hlm. 294
Samadi Suryabrata, Metodelogi Penelitian , (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998), hlm. 3

hlm. 22
37

Universitas Sumatera Utara

a.

Pemberian adalah upaya untuk memberikan sesuatu kepada seseorang dengan
maksud memberikan suatu manfaat kepada orang lain atas suatu pemberian
tersebut.

b.

Rehabilitasi, menurut Pasal 1 angka 23 KUHAP adalah hak seseorang untuk
mendapat pemulihan haknya dalam kemampuan, kedudukan, dan harkat serta
martabatnya yang diberikan pada tingkat penyidikan, penuntutan atau pengadilan
karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan
undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang
diterapkan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.

c.

Anak yang menjadi saksi tindak pidana yang selanjutnya disebut anak saksi
adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang dapat
memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan
pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang didengar,
dilihat, atau dialaminya sendiri.

d.

Anak yang menjadi korban tindak pidana yang selanjutnya disebut anak korban
adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang mengalami
penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang disebabkan oleh
tindak pidana.

e.

Narkoba adalah adalah singkatan dari narkotika dan obat atau bahan berbahaya
(napza). Semua istilah ini, baik narkoba ataupun napza, mengacu pada kelompok
senyawa yang umumnya memiliki risiko kecanduan bagi penggunanya. Menurut
pakar kesehatan, narkoba sebenarnya adalah senyawa-senyawa psikotropika yang

Universitas Sumatera Utara

biasa dipakai untuk membius pasien saat hendak dioperasi atau obat-obatan
untuk penyakit tertentu. Namun kini persepsi itu disalahartikan akibat pemakaian
di luar peruntukan dan dosis yang semestinya.
f.

Sistem peradilan pidana anak adalah keseluruhan proses penyelesaian perkara
anak yang berhadapan dengan hukum, mulai tahap penyelidikan sampai dengan
tahap pembimbingan setelah menjalani pidana.

G. Metode Penelitian
1.

Spesifikasi Penelitian
Penelitian dalam pelaksanaannya diperlukan dan ditentukan alat-alatnya,

jangka waktu, cara-cara yang dapat ditempuh apabila mendapat kesulitan dalam
proses penelitian. Penelitian harus dilakukan secara metodelogis, sistematis, dan
konsisten. Metodelogis yang dimaksud berarti sesuai dengan metode atau cara
tertentu, sistematis adalah berdasarkan pada suatu sistem, dan konsisten berarti tidak
adanya hal-hal yang bertentangan dengan suatu kerangka tertentu.38
Berdasarkan perumusan masalah dalam menyusun penelitian ini, jenis
penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian hukum normatif atau doktriner.
Penelitian hukum normatif atau doktriner yaitu metode penelitian hukum yang
mempergunakan sumber data sekunder atau dengan cara meneliti bahan pustaka yang
ada.39

38

Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001),

39

Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktik, (Jakarta: Sinar Grafika, 1996), hlm.

hlm. 42
13

Universitas Sumatera Utara

Tahapan pertama penelitian hukum normatif adalah penelitian yang ditujukan
untuk mendapatkan hukum objektif (norma hukum), yaitu dengan mengadakan
penelitian terhadap masalah hukum. Tahapan kedua penelitian hukum normatif
adalah penelitian yang ditujukan untuk mendapatkan hukum subjektif (hak dan
kewajiban).
Sifat penelitian ini adalah penelitian deskriptif analitis. Penelitian deskriftif
analitis yakni suatu bentuk penelitian yang ditujukan untuk mendeskripsikan
fenomena-fenomena yang ada, baik fenomena alamiah maupun fenomena buatan
manusia. Penelitian deskriptif analitis merupakan penelitian yang berusaha
mendeskripsikan dan menginterpretasikan sesuatu, misalnya kondisi atau hubungan
yang ada, pendapat yang berkembang, proses yang sedang berlangsung, akibat atau
efek yang terjadi, atau tentang kecendrungan yang tengah berlangsung kemudian
dianalisis dan dilakukan pengambilan kesimpulan.40
2.

Metode Pendekatan
Metode pendekatan adalah penggunaan cara atau metode pendekatan apa yang

akan diterapkan dalam penelitian yang akan dilakukan. Sehubungan dengan jenis
penelitian yang digunakan, yaitu penelitian yuridis normatif, maka pendekatan yang
digunakan adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach). Pendekatan
undang-undang (statute approach) dilakukan dengan menelaah semua undangundang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani.
Pendekatan perundang-undangan adalah pendekatan dengan menggunakan legislasi

40

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Prenada Media, 2005), hlm. 35

Universitas Sumatera Utara

dan regulasi.41 Metode pendekatan ini digunakan dengan mengingat permasalahan
yang diteliti berdasarkan pada peraturan perundang-undangan dalam hal hubungan
antara yang satu dengan yang lainnya serta kaitannya dengan penerapannya dalam
praktek.
3.

Sumber Data
Dalam penelitian hukum normatif data yang dipergunakan adalah data

sekunder yang diperoleh dari penelitian kepustakaan (library research) yang
bertujuan untuk mendapatkan konsep, teori dan informasi serta pemikiran
konseptual.42 Data sekunder yang digunakan dalam penulisan ini terdiri dari:
a.

Bahan hukum primer yaitu dokumen peraturan yang mengikat dan ditetapkan
oleh pihak yang berwenang. Dalam penelitian ini diantaranya Kitab UndangUndang Hukum Pidana, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, UndangUndang Nomor 5 Tahun 1997 Tentang Psikotrofika, Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2009 Tentang Narkotika, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang
Peradilan Anak, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang

Perlindungan Anak.
b.

Bahan hukum sekunder yaitu semua dokumen yang merupakan bacaan yang
relevan seperti buku-buku, seminar-seminar, jurnal hukum, majalah, koran karya
tulis ilmiah dan beberapa sumber dari internet yang berkaitan dengan materi yang
41

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 93
Johnny Ibrahim, Teori Dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Surabaya:
Bayumedia, 2006), hlm. 192
42

Universitas Sumatera Utara

diteliti. Selain data sekunder penelitian ini juga di dukung oleh data primer
berupa penelitian lainnya yang berkaitan dengan penelitian yang akan di bahas
dalam penelitian ini nantinya.
c.

Bahan hukum tersier yaitu semua dokumen yang berisi tentang konsep-konsep
dan keterangan keterangan yang mendukung bahan hukum primer dan bahan
hukum sekunder, seperti kamus, ensklopedia dan sebagainya.

4.

Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara studi kepustakaan (library

reseacrh). Studi kepustakaan (library reseacrh) adalah serangkaian usaha untuk

memperoleh

data

dengan

jalan

membaca,

menelaah,

mengklarifikasi,

mengidentifikasi, dan dilakukan pemahaman terhadap bahan-bahan hukum yang
berupa peraturan perundang-undangan serta buku-buku literatur yang ada
relevansinya dengan permasalahan penelitian. Hasil dari kegiatan pengkajian tersebut
kemudian dibuat ringkasan secara sistematis sebagai inti sari hasil pengkajian studi
dokumen. Tujuan dari teknik dokumentasi ini adalah untuk mencari konsepsikonsepsi, teori-teori, pendapat-pendapat atau penemuan-penemuan yang berhubungan
dengan permasalahan penelitian.43
5.

Analisis Data
Pengolahan, analisis dan konstruksi data penelitian hukum normatif dapat

dilakukan dengan cara melakukan analisis terhadap kaidah hukum dan kemudian

43

Edy Ikhsan, Mahmul Siregar, Metode Penelitian Dan Penulisan Hukum Sebagai Bahan
Ajar , (Medan: Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara), 2009, hlm. 24

Universitas Sumatera Utara

konstruksi dilakukan dengan cara memasukkan pasal-pasal ke dalam kategorikategori atas dasar pengertian-pengertian dari sistem hukum tersebut.44 Data yang
telah dikumpulkan selanjutnya akan dianalisis dengan analisis data kualitatif, yaitu:
a.

b.
c.

d.

Mengumpulkan bahan hukum, berupa inventarisasi peraturan perundangundangan yang terkait dengan prinsip pemberian rehabilitasi bagi anak pelaku
tindak pidana narkotika.
Memilah-milah bahan hukum yang sudah dikumpulkan dan selanjutnya
melakukan sistematisasi bahan hukum sesuai dengan permasalahan.
Menganalisis bahan hukum dengan membaca dan menafsirkannya untuk
menemukan kaiedah, asas dan konsep yang terkandung di dalam bahan hukum
tersebut.
Menemukan hubungan konsep, asas dan kaidah tersebut dengan menggunakan
teori sebagai pisau analisis.
Penarikan kesimpulan untuk menjawab permasalahan dilakukan dengan

menggunakan logika berfikir deduktif. Metode deduktif dilakukan dengan membaca,
menafsirkan dan membandingkan hubungan-hubungan konsep, asas dan kaidah yang
terkait sehingga memperoleh kesimpulan yang sesuai dengan tujuan penulisan yang
dirumuskan.45

44

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006),

45

Lexi J Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Jakarta: Rosda Karya, 2008), hlm. 48

hlm. 225

Universitas Sumatera Utara