Eksistensi Perdamaian Antara Korban dengan Pelaku Tindak Pidana Kecelakaan Lalu Lintas dalam Sistem Pemidanaan (Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan)

(1)

EKSISTENSI PERDAMAIAN ANTARA KORBAN DENGAN PELAKU TINDAK PIDANA KECELAKAAN LALU LINTAS DALAM SISTEM PEMIDANAAN

(Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan)

S K R I P S I

Diajukan untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat-Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Universitas Sumatera Utara

O L E H :

HOTMARTA ADELIA SARAGIH NIM : 100200169

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

EKSISTENSI PERDAMAIAN ANTARA KORBAN DENGAN PELAKU TINDAK PIDANA KECELAKAAN LALU LINTAS DALAM SISTEM PEMIDANAAN

( Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan) SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH :

HOTMARTA ADELIA SARAGIH NIM : 100200169

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA Disetujui,

Ketua Departemen Hukum Pidana

Dr. M. Hamdan, SH., M.H NIP 195703261986011001

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Prof. Dr.Ediwarman, SH.,MH Alwan, SH.,MHum

NIP : 195405251981031003 NIP: 196005201998021001

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

Hotmarta Adelia Saragih* Prof. Dr.Ediwarman, S.H.,M.H **

Alwan, S.H.,M.Hum ***

In real life in the community, peace agreement between victims and offenders of the crime of traffic accidents often occur. Although there has been peace agreement between victims and offenders of the crime of traffic accidents, do not cover the possibility of the case by the police submitted and vetted in court hearing even though the parties did not want the matter proceed legally. At the court hearing, peace agreement is going completely into the authority of judges, that is, whether the judge considered the peace agreement or not in check and break things, depends on the policy of the judge because there is no rule of law which expressly regulate the existence of peace agreement between victims and offenders of the crime of traffic accidents in the judge's ruling.

Related to this, a problem that wants to canvassed is about how setting traffic accidents after the peace agreement between victim and ofender, how the existence of peace agreement in a traffic accident in Pengadilan Negeri Medan and how legal policy in the peace agreement of a traffic accident. The research method used is descriptive research i.e. research that are discover the facts therein (fact finding). In doing the steps that need to be applied, descriptive research approach to the problem so that the problems will be examined more clearly and forcefully. Approach the problem through Juridical normative and Juridical way Empirical. Data collection methods used in this research is the research studies library (library research), to obtain primary data, this data is obtained using interview techniques and using the technique of sampling (sampling).

Regulations governing traffic accidents is regulated in the Criminal Code and Act No. 22 of 2009 about traffic and Road Transport. As the implementation of the principle of lex speciales derogate lex generalis, the provisions in force at the moment is Act No. 22 of 2009 about traffic and Road Transport. In this Act, the peace agreement that has been done by the victim with the offender in a traffic accident is not dismissed criminal charges against the offenders. While in the punshment system, yet no arrangements regarding the obligation of the judge to consider the judge's verdict in peace agreement so that there is still a difference between the existence of peace agreement in the decision of the judge. State Court judge's ruling in the Field, not all peace agreement in traffic accidents as one consideration in dropping criminal. The existence of such a peace agreement cannot be used as a reason to delete, but rather a criminal as the reason for the criminal defendant. lighten. In a traffic accident, the criminal law policy more stressed to the penal policy through provision of criminal. While non-penal policy is directed at the prevention of the occurrence of traffic accidents.

* Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ** Dosen Pembimbing I


(4)

Hotmarta Adelia Saragih* Prof. Dr.Ediwarman, S.H.,M.H **

Alwan, S.H.,M.Hum ***

Dalam kenyataanya di masyarakat, perdamaian antara korban dengan pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas sering terjadi. Meskipun telah terjadi perdamaian antara korban dengan pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas, tidak menutup kemungkinan perkara tersebut oleh pihak kepolisian diajukan dan diperiksa di sidang pengadilan walaupun para pihak tidak menginginkan perkara tersebut dilanjutkan secara hukum. Di sidang pengadilan, perdamaian yang terjadi sepenuhnya menjadi kewenangan hakim, artinya apakah perdamaian tersebut dipertimbangkan hakim atau tidak dalam memeriksa dan memutus perkara, tergantung kepada kebijakan hakim sebab tidak ada peraturan hukum yang secara tegas mengatur mengenai eksistensi perdamaian antara korban dengan pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas dalam putusan hakim.

Berkaitan dengan hal tersebut, permasalahan yang ingin diteliti adalah mengenai bagaimana pengaturan kecelakaan lalu lintas setelah adanya perdamaian antara korban dengan pelaku, bagaimana eksistensi perdamaian dalam kecelakaan lalu lintas dalam putusan Pengadilan Negeri Medan dan bagaimana kebijakan hukum dalam perdamaian kecelakaan lalu lintas.

Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif yaitu penelitian yang bersifat menemukan fakta-fakta seadanya (fact finding). Dalam melakukan langkah-langkah penelitian deskriptif tersebut perlu diterapkan pendekatan masalah sehingga masalah yang akan dikaji menjadi lebih jelas dan tegas. Pendekatan masalah tersebut dilakukan melalui cara Yuridis Normatif dan Yuridis Empiris. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian studi kepustakaan (library research), untuk memperoleh data primer, data ini diperoleh dengan menggunakan teknik wawancara dan menggunakan teknik sampel (sampling).

Peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai kecelakaan lalu lintas diatur dalam KUHP dan juga Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Sebagai pelaksanaan asas lex specialis derogate lex generalis, maka ketentuan yang berlaku saat ini adalah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Dalam undang-undang ini, perdamaian yang telah dilakukan oleh korban dengan pelaku dalam kecelakaan lalu lintas tidak menggugurkan tuntutan pidana terhadap pelaku. Sementara dalam sistem pemidanaan, belum ada pengaturan mengenai kewajiban hakim untuk mempertimbangkan perdamaian dalam putusan hakim sehingga masih terdapat perbedaan eksistensi perdamaian dalam putusan hakim. Dalam putusan hakim pengadilan Negeri Medan, tidak semua perdamaian dalam kecelakaan lalu lintas dijadikan sebagai salah satu pertimbangan dalam menjatuhkan pidana. Eksistensi perdamaian tersebut tidak dapat dijadikan sebagai alasan menghapus pidana, melainkan sebagai alasan yang meringankan pidana bagi terdakwa.. Dalam kecelakaan lalu lintas, kebijakan hukum pidana lebih dititikberatkan kepada kebijakan penal melalui pemberian pidana. Sementara kebijakan non penal lebih diarahkan pada pencegahan terhadap terjadinya kecelakaan lalu lintas.

* Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ** Dosen Pembimbing I


(5)

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Kuasa yang telah melimpahkan kasih, kekuatan dan anugerah-Nya yang begitu besar kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk menempuh ujian Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.Skripsi ini berjudul Eksistensi Perdamaian Antara Korban Dengan Pelaku Tindak Pidana Kecelakaan Lalu Lintas Dalam Sistem

Pemidanaan (Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan).

Dalam menyelesaikan skripsi ini, penulis ini telah mendapatkan bantuan dari beberapa pihak,.Dalam kesempatan ini penulis menyampaikan rasa hormat dan ucapan terimakasih yang setulusnya kepada :

1. Prof. Dr. Runtung, SH., M.H, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara.

2. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH., M.H, selaku Pembantu Dekan I Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Prof. Dr. Syafruddin Hasibuan, SH, MH. DFM, selaku Pembantu Dekan II

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Prof. Dr. O.K. Saidin, SH., MHum, selaku Pembantu Dekan III Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Muhammad Hamdan, SH., M.Hum, selaku Ketua Departemen Hukum

Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. Ibu Liza Erwina SH, M.Hum selaku sekertaris Departemen Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

7. Prof.Dr.Ediwarman, SH.,MH selaku Dosen Pembimbing I yang telah bersedia


(6)

menyelesaikan skripsi ini.

9. Bapak Alwan, SH.,MHum, selaku Dosen Pembimbing II yang telah bersedia

meluangkan waktunya dan selalu sabar dalam membimbing penulis dan mengarahkan serta memberi banyak masukan yang sangat membantu dan berguna bagi penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

10.Bapak Dr. Ramlan Yusuf Rangkuti, MA, selaku Dosen Penasehat Akademik

Penulis yang telah membimbing penulis selama penulis melaksanakan perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

11.Seluruh Dosen dan Staf Pengajar yang pernah mengajar penulis selama penulis

menjalani pendidikan akademis di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

12.Kepada Ibu Rafikoh Lubis, yang banyak meluangkan waktu bagi penulis untuk

berdiskusi selama studi di FH USU.

13.Seluruh Staf di bagian Pendidikan, yang telah membantu penulis dalam urusan

administrasi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

14.Seluruh Staf Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang

telah membantu penulis dalam menyediakan bahan-bahan yang dibutuhkan penulis dalam penyusunan skripsi ini.

15.Seluruh hakim di Pengadilan Negeri Medan, Pak Saur Sitindaon,S.H. M.Hum

Waspin Simbolon, S.H, M.H, Lisfer Berutu, S.H. M.H dan juga staf Pegawai Pengadilan Negeri Medan yang selama ini banyak memberikan bantuan dan meluangkan waktu untuk berdiskusi dengan penulis dalam pengerjaan skripsi ini.

16.Teristimewa kepada Kedua Orang Tuaku tercinta, Ayahku dan Ibuku, K.


(7)

atas cinta yang tak pernah berhenti dirasakan oleh penulis. Cinta yang tak pernah menuntut apapun dari penulis. Penulis ada seperti sekarang ini, tak terlepas dari peluhmu yang dicurahkan untuk penulis. Terima kasih untuk semangat, motivasi, nasihat dan doa yang tak pernah berhenti dipanjatkan untukku. Senyuman kalian yang membuat penulis kuat menghadapi apapun tantangan dalam hidup ini. Secara khusus untuk ayah penulis, yang telah lebih dahulu dipanggil Sang Pemilik Nafas Hidup, Terima kasih untuk semangatmu untuk terus bertahan hidup untuk melihatku wisuda dan berhasil. Bukan rencana kita yang terjadi, Pa. Tapi rencana-Nyalah yang terjadi. Walaupun engkau sudah jauh di sana, engkau masih terus hidup di hati penulis. Untuk mama, terima kasih banyak, Ma. Penulis akan melakukan yang terbaik, untuk membuatmu bahagia di hari tuamu.

18.Kepada kakak penulis, Satriani Saragih dan Kaha -ku, Rajiman Purba; Elfrida

Saragih dan Kaha -ku, Maruli Haloho; Trinora Saragih dan Kaha -ku, Sadaraman Purba; Hetty Merdalina Saragih dan Kaha -ku, Jan Surya Purba; serta Abangku Tercinta, Junbarisman Saragih dan Rikarno Saragih, terima kasih penulis ucapkan untuk semua dukungan, kasih sayang, doa, semangat, motivasi yang diberikan selama ini. Terima kasih untuk kasih persaudaraan yang begitu hangat selama ini. Juga untuk Ito penulis, Monang Manurung, terima kasih buat dukungan dan motivasi yang diberikan kepada penulis. Menganggap penulis sebagai saudara kandung.

19.Kepada keponakanku, Adolf Purba, Asril Purba, Marsella Haloho, Alfredo

Purba, Ayub Trihot Purba, Nael Haloho, Jelita Purba,Asido Purba, Abdon


(8)

tidak langsung memberikan kekuatan untuk berusaha dan memberi yang terbaik kepada kalian suatu saat nanti.

21.Kepada orang yang sangat spesial, Nengnongku, Roy Natal Samosir, terima

kasih untuk dukungan, semangat, doa dan motivasi yang selama ini diberikan kepada penulis selama ini. Terima kasih juga untuk rangkaian mimpi masa depan yang harus kita wujudkan.

22.Kepada sahabatku semua di Kost Berdikari 41, Rahel Marissa Saragih, Diora,

Vanny Ginting, Sri Elsinta Silalahi, Herlin Simorangkir, Bella Ginting, Intan Pasaribu dan juga Ibu Kostku tersayang, terima kasih untuk kekeluargaan yang diberikan kepada penulis selama kost di Berdikari 41. Biarlah kekeluargaan itu tetap ada walaupun kita tak bersama nantinya.

23.Kepada sahabat terbaikku, Henny Handayani Sirait, terima kasih, Laekku, untuk

setiap persahabatan kita selama ini, suka dan duka yang kita alami, pertentangan karakter dan juga curahan hati kita selama ini. Terima kasih sudah menjadi sahabat dan juga saudara bagi penulis. Sampai jumpa saat kita menjadi orang besar, sahabatku. Juga untuk sahabat sejak kecilku, Dosni Dwira Saragih, temanku sejak masih ingusan sampai sudah dewasa saat ini.Terima kasih untuk semua dukunganmu, Nang. Jangan pernah lupakan persahabatan kita.

24.Kepada teman dan juga saudaraku di Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia

FH USU, Bung dan Sarinah kebanggaanku, Sarinah Heny, Bung Michael, Sarinah Ester, Sarinah Valerin, Sarinah Yohana, Bung Buno, Bung Natanael, Bung Maslon, Sarinah Elfrina, Sarinah Yersa, Sarinah Vonny, Sarinah Conny, Sarinah Gelora, Bung Udur, Bung Turedo, Bung Samuel, Bung Oris, Bung Frisdar, bung Reynaldo, Bung Lorenza, Sarinah Novi, Sarinah Rizki dan semua


(9)

Jayakan GmnI, Menangkan Kaum Marhaen. Merdeka Indonesiaku dan Tersenyumlah Ibu Pertiwi!

26.Kepada rekan-rekan penulis, coach di MDC, Reza, Kiky, Zebua, Arija, Henny,

Rahmad, Izma, Dina dan semua canoners MDC yang tak bisa kusebutka satu per satu, terima kasih atas setiap doa dan dukungannya. MDC.... Booooom...!!!

27.Kepada sahabat-sahabat penulis di Gembel, Gemar Belajar, yang tak bisa

kusebutkan satu per satu, terima kasih atas dukungannya. Tinggkatkan semangat belajarnya.

28.Kepada sahabat-sahabat penulis, Botou pakon Saninaku di Ikatan Mahasiswa

Simalungun USU (IMAS USU), terima kasih atas semua dukungan dan semangat persaudaraan selama ini. Hiranan Hu Tanoh Simalungun.

29.Kepada saudara-saudaraku terkasih, Pemuda GKPS Padang Bulan, Terima

kasih atas kebersamaan dan pelayanan kita saat kita pernah melayani bersama. Terima kasih atas dukungan dan doanya juga selama ini. Khusus untuk Pemimpin Kelompok Kecil (PKK-ku), Kak Jojor Siahaan, Terima kasih ya, kak atas doa dan dukungannya selama ini yang tak pernah bosan-bosannya memperhatikan penulis. Senang bisa bertumbuh bersama dalam kelompok kecil.

30.Seluruh rekan-rekan stambuk 2010, terima kasih atas setiap dukungan dan

semangat yang diberikan pada penulis. Biarlah kelak kita menjadi orang-orang yang menjadi berkat bagi bangsa ini.

31.Seluruh pihak-pihak yang tak sempat penulis sebutkan satu per satu. Terima


(10)

sehingga penulisan skripsi masih memiliki banyak kekeliruan, oleh karena itu penulis mohon maaf kepada pembaca skripsi ini karena keterbatasan pengetahuan oleh penulis. Besar harapan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.

Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih sedalam-dalamnya kepada kita semua dan semoga doa yang telah diberikan mendapat berkah dari Tuhan dan semoga skripsi ini bermanfaat bagi para pembaca dan perkembangan hukum di Negara Republik Indonesia.

Medan, Juni 2014.

Penulis,


(11)

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ...ix

ABSTRAKSI ... xi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan ... 10

C. Tujuan Penulisan ... 11

D. Manfaat Penulisan ... 12

E. Keaslian Penulisan ... 13

F. Tinjauan Kepustakaan 1. Tinjauan tentang Perdamaian ... 13

2. Tinjauan tentang Korban ... 21

3. Tinjauan tentang Pelaku Tindak Pidana ... 28

4. Tinjauan tentang Kecelakaan Lalu Lintas ... 34

5. Tinjauan tentang Ssistem Pemidanaan ...36

G.Metode Penelitian... 37

1. Spesifikasi Penelitian ...37

2. Metode Pendekatan ... 38

3. Lokasi Penelitian, Populasi, Sampel ... 39

4. Sumber Data ...40

5. Alat Pengumpul Data ...41


(12)

TERJADI PERDAMAIAN ANTARA KORBAN DENGAN PELAKU

TINDAK PIDANA KECELAKAAN LALU LINTAS DALAM SISTEM

PEMIDANAAN

A.Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

1. Pengaturan Kecelakaan Lalu Lintas dalam KUHP... 46

2. Pengaturan Perdamaian dalam Kecelakaan Lalu Lintas dalam Sistem

Pemidanaan dalam KUH………. 52

B. Undang- Undan Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

1. Pengaturan Kecelakaan Lalu Lintas dalam Undang-UndangNomor 22 Tahun

2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan

Jalan...69

2. Pengaturan Perdamaian dalam Kecelakaan Lalu Lintas dalam

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan

Angkutan………78

C. Rancangan Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) 2013

1. Pengaturan Kecelakaan Lalu Lintas dalam RUU KUHP 201381

2. Pengaturan Perdamaian dalam Kecelakaan Lalu Lintas dalam RUU KUHP

2013...83

BAB III EKSISTENSI PERDAMAIAN ANTARA KORBAN DENGAN PELAKU

TINDAK PIDANA KECELAKAAN LALU LINTAS DALAM SISTEM

PEMIDANAAN DALAM PUTUSAN HAKIM PENGADILAN NEGERI

MEDAN


(13)

Meringankan/MenghapusPidana... 95

C. Pendapat Hakim Pengadilan Negeri Medan Mengenai Eksistensi Perdamaian

dalam Kecelakaan Lalu Lintas dalam Sistem

Pemidanaan...98

BAB IV KEBIJAKAN HUKUM PIDANA JIKA TELAH TERJADI PERDAMAIAN

ANTARA KORBAN DENGAN PELAKU TINDAK PIDANA LALU LINTAS

DALAM SISTEM PEMIDANAAN.

A. Kebijakan Penal ... ...118 B. Kebijakan Non Penal ...132

BAB V PENUTUP

A.Kesimpulan ... 142 B. Saran ... 143 DAFTAR PUSTAKA


(14)

Hotmarta Adelia Saragih* Prof. Dr.Ediwarman, S.H.,M.H **

Alwan, S.H.,M.Hum ***

In real life in the community, peace agreement between victims and offenders of the crime of traffic accidents often occur. Although there has been peace agreement between victims and offenders of the crime of traffic accidents, do not cover the possibility of the case by the police submitted and vetted in court hearing even though the parties did not want the matter proceed legally. At the court hearing, peace agreement is going completely into the authority of judges, that is, whether the judge considered the peace agreement or not in check and break things, depends on the policy of the judge because there is no rule of law which expressly regulate the existence of peace agreement between victims and offenders of the crime of traffic accidents in the judge's ruling.

Related to this, a problem that wants to canvassed is about how setting traffic accidents after the peace agreement between victim and ofender, how the existence of peace agreement in a traffic accident in Pengadilan Negeri Medan and how legal policy in the peace agreement of a traffic accident. The research method used is descriptive research i.e. research that are discover the facts therein (fact finding). In doing the steps that need to be applied, descriptive research approach to the problem so that the problems will be examined more clearly and forcefully. Approach the problem through Juridical normative and Juridical way Empirical. Data collection methods used in this research is the research studies library (library research), to obtain primary data, this data is obtained using interview techniques and using the technique of sampling (sampling).

Regulations governing traffic accidents is regulated in the Criminal Code and Act No. 22 of 2009 about traffic and Road Transport. As the implementation of the principle of lex speciales derogate lex generalis, the provisions in force at the moment is Act No. 22 of 2009 about traffic and Road Transport. In this Act, the peace agreement that has been done by the victim with the offender in a traffic accident is not dismissed criminal charges against the offenders. While in the punshment system, yet no arrangements regarding the obligation of the judge to consider the judge's verdict in peace agreement so that there is still a difference between the existence of peace agreement in the decision of the judge. State Court judge's ruling in the Field, not all peace agreement in traffic accidents as one consideration in dropping criminal. The existence of such a peace agreement cannot be used as a reason to delete, but rather a criminal as the reason for the criminal defendant. lighten. In a traffic accident, the criminal law policy more stressed to the penal policy through provision of criminal. While non-penal policy is directed at the prevention of the occurrence of traffic accidents.

* Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ** Dosen Pembimbing I


(15)

Hotmarta Adelia Saragih* Prof. Dr.Ediwarman, S.H.,M.H **

Alwan, S.H.,M.Hum ***

Dalam kenyataanya di masyarakat, perdamaian antara korban dengan pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas sering terjadi. Meskipun telah terjadi perdamaian antara korban dengan pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas, tidak menutup kemungkinan perkara tersebut oleh pihak kepolisian diajukan dan diperiksa di sidang pengadilan walaupun para pihak tidak menginginkan perkara tersebut dilanjutkan secara hukum. Di sidang pengadilan, perdamaian yang terjadi sepenuhnya menjadi kewenangan hakim, artinya apakah perdamaian tersebut dipertimbangkan hakim atau tidak dalam memeriksa dan memutus perkara, tergantung kepada kebijakan hakim sebab tidak ada peraturan hukum yang secara tegas mengatur mengenai eksistensi perdamaian antara korban dengan pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas dalam putusan hakim.

Berkaitan dengan hal tersebut, permasalahan yang ingin diteliti adalah mengenai bagaimana pengaturan kecelakaan lalu lintas setelah adanya perdamaian antara korban dengan pelaku, bagaimana eksistensi perdamaian dalam kecelakaan lalu lintas dalam putusan Pengadilan Negeri Medan dan bagaimana kebijakan hukum dalam perdamaian kecelakaan lalu lintas.

Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif yaitu penelitian yang bersifat menemukan fakta-fakta seadanya (fact finding). Dalam melakukan langkah-langkah penelitian deskriptif tersebut perlu diterapkan pendekatan masalah sehingga masalah yang akan dikaji menjadi lebih jelas dan tegas. Pendekatan masalah tersebut dilakukan melalui cara Yuridis Normatif dan Yuridis Empiris. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian studi kepustakaan (library research), untuk memperoleh data primer, data ini diperoleh dengan menggunakan teknik wawancara dan menggunakan teknik sampel (sampling).

Peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai kecelakaan lalu lintas diatur dalam KUHP dan juga Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Sebagai pelaksanaan asas lex specialis derogate lex generalis, maka ketentuan yang berlaku saat ini adalah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Dalam undang-undang ini, perdamaian yang telah dilakukan oleh korban dengan pelaku dalam kecelakaan lalu lintas tidak menggugurkan tuntutan pidana terhadap pelaku. Sementara dalam sistem pemidanaan, belum ada pengaturan mengenai kewajiban hakim untuk mempertimbangkan perdamaian dalam putusan hakim sehingga masih terdapat perbedaan eksistensi perdamaian dalam putusan hakim. Dalam putusan hakim pengadilan Negeri Medan, tidak semua perdamaian dalam kecelakaan lalu lintas dijadikan sebagai salah satu pertimbangan dalam menjatuhkan pidana. Eksistensi perdamaian tersebut tidak dapat dijadikan sebagai alasan menghapus pidana, melainkan sebagai alasan yang meringankan pidana bagi terdakwa.. Dalam kecelakaan lalu lintas, kebijakan hukum pidana lebih dititikberatkan kepada kebijakan penal melalui pemberian pidana. Sementara kebijakan non penal lebih diarahkan pada pencegahan terhadap terjadinya kecelakaan lalu lintas.

* Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ** Dosen Pembimbing I


(16)

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sesuai dengan kodrat alam, manusia sejak lahir hingga meninggal dunia hidup bersama-sama dengan manusia lainnya. Atau dengan kata lain, manusia tidak dapat hidup menyendiri, terpisah dari kelompok manusia lainnya. Sejak dahulu kala pada diri manusia terdapat suatu hasrat untuk berkumpul dengan sesamanya dalam suatu kelompok. Disamping itu juga, manusia punya hasrat untuk bermasyarakat. Seorang ahli pikir Yunani yang bernama Aristoteles menyatakan bahwa manusia adalah zoon

politicon yang artinya bahwa manusia itu sebagai makhluk pada dasarnya selalu ingin

bergaul dan berkumpul dengan sesama manusia. Oleh karena sifat manusia yang suka bergaul antara satu dengan yang lainnya, maka manusia itu disebut dengan makhluk sosial. Manusia hidup bermasyarakat agar mampu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Manusia sebagai individu tidak akan pernah mampu memenuhi kebutuhannya sendiri

tanpa orang lain.1 Manusia sebagai individu (perseorangan) mempunyai kehidupan jiwa

yang menyendiri, namun manusia sebagai makhluk sosial tidak dapat dipisahkan dari masyarakat. Manusia lahir, hidup berkembang dan meninggal dunia di dalam

masyarakat.2

Setiap anggota masyarakat mempunyai kepentingan. Kepentingan adalah suatu tuntutan perorangan atau kelompok yang diharapkan untuk dipenuhi. Setiap

1

Chainur Arrasjid, Dasar- Dasar Ilmu Hukum , Sinar Grafika, Medan, 2000 hlm 1.

2

C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1984, hlm 29


(17)

manusia adalah mendukung atau penyandang kepentingan. Sejak dilahirkan manusia butuh makan, pakaian, tempat berteduh, dan sebagainya. Manusia dalam hidupnya dikelilingi pelbagai bahaya yang mengancam kepentingannya, sehingga sering kali menyebabkan kepentingannya atau keinginannya tidak tercapai. Manusia menginginkan agar kepentingan-kepentingannya terlindungi dari bahaya yang mengancamnya. Untuk itu ia memerlukan bantuan manusia lain. Dengan kerja sama dengan manusia lain akan lebih mudahlah keinginannya tercapai atau keinginannya terlindungi. Manusia merupakan unsur utama pembentuk kelompok masyarakat. Masyarakat merupakan suatu kehidupan bersama yang terorganisir untuk mencapai dan merealisir tujuan bersama. Berapa jumlah manusia diperlukan untuk dapat disebut masyarakat tidaklah berapa penting. Kalau di sebuah pulau hanya terdapat seorang manusia saja manusia belumlah dapat dikatakan ada masyarakat, tetapi kalau kemudian datang manusia lain di pulau itu akan terjadilah hubungan dan pengaturan-pengaturan. Apa yang mempertemukan atau mendekatkan kedua manusia itu satu sama lain adalah pemenuhan kebutuhan atau kepentingan mereka. Kehidupan bersama dalam masyarakat tidaklah didasarkan pada adanya beberapa manusia yang secara kebetulan bersama, tetapi didasarkan pada adanya

kebersamaan tujuan.3

Kepentingan manusia berbeda-beda. Ada kepentingan yang sama dan ada pula kepentingan yang saling bertentangan. Dengan adanya kepentingan yang berbeda -beda dari masyarakat tersebut, makin sering terjadi pertentangan-pertentangan antara kepentingan yang satu dengan yang lainnya. Maka untuk menghindari terjadinya pertentangan-pertentangan tersebut maka sangat dibutuhkan suatu perlindungan kepentingan. Perlindungan kepentingan itu tercapai dengan terciptanya pedoman atau peraturan hidup yang menentukan bagaimana manusia harus bertingkah laku dalam

3

Sudikno Mertokusumo Mengenal Hukum Suatu Pengantar Edisi Revisi, Penerbit Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta, 2010, halaman. 1.


(18)

masyarakat agar tidak merugikan orang lain dan dirinya sendiri. Pedoman, patokan atau ukuran untuk berperilaku atau bersikap dalam kehidupan bersama ini disebut norma atau

kaidah sosial.4

Kaidah sosial pada hakikatnya merupakan perumusan suatu pandangan mengenai perilaku atau sikap yang seyogyanya tidak dilakukan, yang di larang dilakukan atau yang dianjurkan dilakukan. Dengan kaidah sosial ini, hendak dicegah gangguan-gangguan kepentingan manusia. Kaidah sosial ini ada yang berbentuk tertulis dan ada juga yang berbentuk tidak tertulis yang merupakan kebiasaan yang diteruskan dari generasi ke

generasi.5

Untuk melindungi kepentingan manusia di dalam masyarakat terdapat beberapa kaidah sosial. Tata kaidah tersebut terdiri dari kaidah kepercayaan atau keagamaan, kaidah kesusilaan, kaidah sopan santun, dan kaidah hukum yang dapat dikelompokkan

seperti berikut:6

1. Tata kaidah dengan aspek kehidupan pribadi yang dibagi menjadi:

a. Kaidah kepercayaan atau keagamaan

b. Kaidah kesusilaan

2. Tata kaidah dengan aspek kehidupan antar pribadi yang dibagi menjadi:

a. Kaidah sopan santun atau adat

b. Kaidah hukum

Di samping kaidah kepercayaan atau kegamaan, kaidah kesusilaan dan kaidah kesopanan, masih sangat diperlukan kaidah hukum. Kaidah hukum ini melindungi lebih lanjut kepentingan-kepentingan manusia yang sudah mendapat perlindungan dari ketiga kaidah lainnya dan melindungi kepentingan manusia lainnya yang belum mendapat perlindungan dari ketiga kaidah tersebut.

Hukum bertujuan untuk menciptakan suatu keadaan yang baik dalam pergaulan hidup masyarakat, baik dalam lingkungan yang kecil maupun dalam lingkungan yang

4

Ibid, halaman 5.

5

Ibid

6Ibid


(19)

besar agar di dalamnya terdapat suatu ketertiban, suatu kepastian hukum dan lain

sebagainya.7

Hukum ada pada setiap masyarakat dimanapun di muka bumi ini. Primitif atau modernnya suatu masyarakat pasti mempunyai hukum. Oleh karena itu keberadaan atau eksistensi hukum sifatnya universal. Hukum tidak dapat dipisahkan dari masyarakat,

keduanya mempunyai hubungan yang timbal balik.8

Masyarakat umumnya kerap kali memahami hukum sebagai suatu perangkat aturan yang dimuat oleh negara dan mengikat warga negaranya dengan mekanisme keberadaan sanksi sebagai pemaksa. Tujuan hukum akan tercapai manakala terdapat keserasian antara kepastian hukum dengan kesebandingan hukum sehingga menghasilkan suatu

keadilan.9

Kehidupan manusia dalam masyarakat merupakan proses kegiatan yang menuju pada suatu pola sistem sosial bagi interaksi antar pribadi dan kelompok manusia. Agar dalam interaksi tersebut kelestarian pergaulan dan keserasian antara kepentingan dalam masyarakatdapat berlangsung dengan lancar, anggota masyarakat diharapkan melakukan perbuatan-perbuatan sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam masyarakat.

Kaidah hukum lebih ditujukan kepada pelakunya yang konkret yaitu si pelaku pelanggaran yang nyata-nyata berbuat, bukan untuk penyempurnaan manusia, melainkan untuk ketertiban masyarakat agar masyarakat tertib. Pelanggaran akan kaidah hukum ini akan disertai dengan pengenaan sanksi. Sekalipun pada umumnya kaidah hukum itu disertai sanksi, namun tidak semua pelanggaran kaidah hukum dikenakan sanksi. Yang dapat memberi atau yang memaksakan sanksi terhadap pelanggaran kaidah hukum

7

P.A.F Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung 1997), halaman.6

8

Riduan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Edisi Revisi, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti , 2004, halaman.27

9

Emon Makarim, Kompilasi Hukum Telematika, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, halaman 13.


(20)

adalah penguasa, karena penegakan hukum dalam hal pelanggaran adalah monopoli

penguasa suatu negara.10

Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara yang berdasarkan Pancasila

dan UUD 1945. Negara Republik Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum.11

Indonesia menganut paham negara hukum ( rechtstaat), bukan berdasarkan kekuasaan

belaka (machstaat).12 Ini berarti bahwa Republik Indonesia adalah negara hukum yang

demokratis berdasarkan Pencasila dan UUD 1945.

Indonesia merupakan negara yang mempunyai tujuan untuk mewujudkan kesejahteraan bagi rakyat ( welfare state). Tujuan mulia ini akan mustahil tercapai tanpa adanya pembangunan di berbagai bidang kehidupan sebagai syarat mutlak tercapainya cita-cita kenegaraan ini sebagaimana yang termaktub dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945. Tujuan pembangunan nasional yang dimaksud di sini bukan hanya terbatas pada pembangunan di bidang fisik saja, melainkan juga termasuk di bidang pembangunan di bidang hukum.

Dalam pembagian hukum konvensional, hukum pidana termasuk bidang hukum publik. Artinya hukum pidana mengatur hubungan antara warga negara dan menitikberatkan kepada kepentingan umum atau kepentingan publik. Secara historis, hubungan hukum yang ada pada awalnya adalah hubungan pribadi/privat, tetapi dalam perjalanan waktu terdapat hal-hal yang diambil alih oleh kelompok atau suku dan akhirnya setelah berdirinya negara diambil alih oleh negara dan dijadikan kepentingan umum. Hak penuntutan terhadap perbuatan pidana terletak pada alat kelengkapan negara

, yaitu jaksa penuntut umum.13

10

Ibid, halaman 25.

11

Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

12

Jimly Ashidiqie, Komentar Atas Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Sinar Grafika, Jakarta, 2009. halaman. 12

13


(21)

Setiap perbuatan pidana yang dilakukan akan menimbulkan akibat negatif berupa ketidakseimbangan suasana kehidupan yang bernilai baik. Untuk mengembalikan kepada suasana dan kehidupan yang bernilai baik itu, diperlukan suatu pertanggungjawaban dari

pelaku yang teelah mengakibatkan ketidakseimbangan tersebut. Dan

pertanggungjawaban yang wajib dilaksanakan oleh pelakunya berupa pelimpahan ketidakenakan masyarakat supaya dapat juga dirasakan juga penderitaan atau kerugian yang dialami. Jadi seseorang yang dipidanakan berarti dirinya menjalankan suatu hukuman untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya yang dinilai kurang baik dan

membahayakan kepentingan umum.14

Salah satu karakteristik dari hukum pidana sebagai bagian dari hukum publik dapat dilihat dari segi keterlibatan alat kelengkapan negara untuk menuntut setiap orang yang telah melakukan perbuatan pidana. Hukum pidana pada umumnya tidak mengenal adanya penyelesaian perkara di luar pengadilan.

Dalam kenyataannya di masyarakat, penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan sering dilakukan. Secara khusus menyangkut perkara kecelakaan lalu lintas. Masyarakat lebih memilih untuk menyelesaikan kasus tersebut melalui perdamaian secara kekeluargaan antara pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas dengan korban. Perdamaian tersebut dianggap merupakan penyelesaian yang memberikan kemanfaatan bagi para pihak. Penyelesaian perkara secara damai sebenarnya merupakan nilai kultural yang dimiliki oleh masyarakat seperti yang dinyatakan oleh Daniel S. Lev yang dikutip oleh Wukir Prayitno bahwa budaya hukum Indonesia dalam menyelesaikan konflik mempunyai karakteristik tersendiri disebabkan oleh nilai-nilai tertentu. Kompromi dan

perdamaian merupakan nilai yang mendapat dukungan dalam masyarakat,

mempertahankan perdamaian merupakan usaha terpuji, sehingga dalam menyelesaikan

14Ibid


(22)

konflik, terwujud dalam bentuk pemilihan kompromi atau perdamaian, terutama masyarakat Jawa dan Bali. Biasanya perdamaian tersebut dilakukan dengan pemberian ganti rugi berupa sejumlah uang dari pelaku kepada korban atau korban memaafkan

pelaku dengan meminta ganti kerugian atas perbuatan yang dilakukannya. 15

Jika ditelaah dalam sistem hukum Indonesia, perdamaian pada umumnya dikenal dalam hukum perdata. Dalam ketentuan hukum pidana maupun Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkuta Jalan, konsepsi perdamaian sebagai bentuk penyelesaian perkara diluar pengadilan sama sekali tidak dikenal. Perdamaian dalam kecelakaan lalu lintas yang selama ini dikenal dalam masyarakat sama sekali tidak memiliki landasan hukum formalnya sehingga sering terjadi suatu kasus kecelakaan lalu lintas yang telah ada penyelesaia damai (musyawarah secara hukum adat), namun tetap saja diproses ke pengadilan sesuai dengan hukum yang berlaku. Perdamaian antara korban dan/atau keluarga korban dengan pelaku tindak pidana, tidak menutup kemungkinan perkara tersebut dapat diperiksa dan diputus oleh pengadilan formal, sehingga walaupun sudah terjadi perdamaian antara para pihak, polisi sering kali tetap meneruskan perkara ke sidang pengadilan formal dengan alasan tuntutan atas asas legalitas.

Dalam pengadilan formal, perdamaian yang terjadi sepenuhnya menjadi wewenang hakim, artinya apakah perdamaian tersebut menjadi bahan pertimbangan atau tidak dalam menjatuhkan putusan tergantung pada kebijakan hakim. Hal ini sebagaimana diketahui bahwa dalam KUHP yang berlaku sekarang ini tidak mengatur mengenai pemberian pidana (straftoemetingsleiddrad), yang ada hanya aturan pemberian pidana (straftoemetingsregel). Pedoman serta atauran pemberian pidana penting sekali ditegaskan oleh pembentuk undang-undang agar supaya hakim dalam member

15

Wukir Prayitno, Modernitas Hukum Berwawasan Indonesia, CV. Agung, Semarang,1991, halaman 21.


(23)

putusannya di dalam kebebasannya sebgaai hakim tetap ada batasannya yang ditetapkan secara objektif, jadi pembentuk undang-undang seharusnya memberikan beberapa

kriteria untuk pemberian pidana oleh hakim.16

Berkaitan dengan tujuan pemidanaan, perdamaian yang dilakukan dalam menyelesaikan perselisihan mendukung atau sejalan dengan tujuan pemidanaan, khususnya sebagai sarana untuk menyelesaikan konflik, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat.

Perdamaian yang dilakukan oleh korban dengan pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas juga mempunyai arti yang penting dalam mengaspirasikan dua kepentingan yaitu kepentingan si korban dan juga kepentingan pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas mengingat struktur hukum pidana Indonesia saat ini, secara khusus yang mengatur mengenai kecelakaan lalu lintas belum mengakomodasikan kepentingan korban dimana hanya ditempatkan sebagai saksi korban yang hanya bergantung nasibnya pada jaksa yang mewakili kepentingannya.

Keseimbangan perlindungan berbagai kepentingan merupakan hal yang perlu diperhatikan sebagaiamana yang telah dinyatakan oleh Muladi bahwa dalam masyarakat Indonesia yang sedang membangun dan mengatur berbagai kepentingan masyarakat serta sarana perlindungan hak-hak warga negara dibutuhkan adanya keterpaduan sistem peradilan pidana (integrated criminal justice system), yaitu suatu sistem yang berusaha menjaga keseimbangan perlindungan kepentiingan, baik kepentingan negara, masyarakat individu termasuk kepentingan pelaku tindak pidana dan korban kejahatan. Perdamaian sekaligus dapat dijadikan alternatif pidana yatitu sebagai tindakan non penal dalam menyelesaikan permasalahan mengingat bahwa upaya penal merupakan ultimum remedium apabila upaya lain tidak mampu mengatasi.

16 Alef Musyahadah R. 2005, “

Kedudukan Perdamaian Antara Korban Dengan Pelaku Tindak Pidana Dalam Sistem Pemidanaan.” Tesis, Universitas Dipinegoro, Semarang.


(24)

Eksistensi perdamaian antara korban dengan pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas juga mempunyai peranan yang penting sebagai sarana pembaharuan hukum pidana yang bermakna upaya untuk melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentral sosio politik, sosio filosofik, dan sosio kultural masyarakat Inonesia yang melandasi kebijakan sosial, kebijakan kriminal dan kebijakan

penegakan hukum di Indonesia,17 yang dalam hal ini khususnya nilai-nilai positif yang

terkandung dalam perdamaian dan merupakan nilai kultural yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia dapat menjadi sumbangan dalam rangka pembaharuan hukum pidana tersebut.

Bertitik tolak dari pemikiran tersebut diatas, maka penulis bermaksud untuk

menulis skripsi yang berjudul “Eksistensi Perdamaian Antara Korban Dengan

Pelaku Tindak Pidana Kecelakaan Lalu Lintas Dalam Sistem Pemidanaan (Studi

Kasus Pengadilan Negeri Medan).” B. Permasalahan

Rumusan masalah yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah:

1. Bagaimana pengaturan hukum tentang kecelakaan lalu lintas jika terjadi

perdamaian antara korban dengan pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas?

2. Bagaimana eksistensi perdamaian antara korban dengan pelaku tindak pidana

kecelakaan lalu lintas dalam putusan Pengadilan Negeri Medan?

3. Bagaimana kebijakan hukum pidana setelah terjadi perdamaian antara korban

dengan pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas dalam putusan Pengadilan Negeri Medan ?

17

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bandung, 1996, halaman 30-31.


(25)

C. Tujuan Penulisan

Suatu penelitian dapat merupakan penelitian yang bertujuan untuk menemukan

fakta belaka (fact finding).18 Dalam setiap penelitian ilmiah perlu ditegaskan

tujuan-tujuan yang hendak dicapai, agar penelitian dapat berjalan secara benar dan mencapai tujuan yang dirumuskan. Seperti yang dilakukan dalam penelitian ini, dengan mengajukan masalah yang diteliti seperti telah dikemukakan pada sub bab permasalahan terdahulu. Karena itu dapat dirumuskan tujuan penelitian ini yaitu :

1. Untuk mengetahui dan menganalisis pengaturan hukum tentang kecelakaan lalu lintas

jika terjadi perdamaian antara korban dengan pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas.

2. Untuk mengetahui dan menganalisis eksistensi perdamaian antara korban dengan

pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas dalam putusan Pengadilan Negeri Medan.

3. Untuk mengetahui dan menganalisis kebijakan hukum pidana setelah terjadi

perdamaian antara korban dengan pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas dalam putusan Pengadilan Negeri Medan.

D. Manfaat Penulisan

Penulisan skripsi ini diharapkan bermanfaat secara teoritis maupun praktis yaitu sebagai berikut:

a. Manfaat Teoritis

Skripsi ini memberikan manfaat dalam menyumbangkan pemikiran di bidang ilmu hukum pada umumnya dan khususnya hukum pidana yang berhubungan dengan eksistensi perdamaian antara korban dengan pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas dalam sistem pemidanaan. Skripsi inipun kedepannya diharapkan dapat menambah

18


(26)

kontribusi pemikiran dan koleksi karya ilmiah yang telah ada sebelumnya berkaitan dengan permasalahan dalam skripsi ini.

b. Manfaat Praktis.

1) Skripsi ini diharapkan bermanfaat sebagai bahan masukan kepada penegak hukum yang

menangani kasus kecelakaan lalu lintas, khususnya yang berhubungan dengan adanya perdamaian antara korban dengan pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas.

2) Skripsi ini juga diharapkan bermanfaat bagi masyarakat agar memahami bagaimana

pengaruh perdamaian dalam kecelakaan lalu lintas dalam putusan hakim. E. Keaslian Penulisan

Setelah dilakukan penelusuran skripsi di perpustakaan Fakultas Hukum USU dan Kearsipan di Departemen Hukum Pidana, tidak ada satu pun karya ilmiah dengan judul “Eksistensi Perdamaian Antara Korban Dengan Pelaku Tindak Pidana Kecelakaan Lalu Lintas Dalam Sistem Pemidanaan (Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan).” Demikian pula dari segi permasalahan yang diangkat dalam penulisan skripsi ini belum pernah diangkat oleh skripsi lain. Skripsi ini merupakan karya asli penulis sendiri yang mengumpulkan data dari literatur sebelumnya yang telah membahas tentang perdamaian dalam hukum pidana dan perdamaian dalam kecelakaan lalu lintas, seperti buku-buku yang ada di perpustakaan, skripsi maupun tesis yang sebelumnya telah membahas mengenai perdamaian dalam hukum pidana, serta media massa maupun media elektronik yaitu internet. Penulis tidak meniru karya orang lain sehingga dapat dikatakan bahwa penulisan skripsi ini asli dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

F. Tinjauan Kepustakaan


(27)

Perdamaian berasal dari kata “ damai” atau concilia tion dalam bahasa Inggris. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, perdamaian didefenisikan sebagai penghentian

permusuhan (perselisihan).19 Sedangkan menurut Black’s Law Dictionary:20

Concilia tion is the a djustment a nd settlement of a dispute in friendly una nta gonistic ma nner used in courts before tria l with a few towa rds a voiding tria l a nd in la bour dispute before a rbitra tion.

Sementara menurut Hans Kelsen, perdamaian merupakan suatu kondisi yang disitu tidak terdapat paksaan. Menurut pengertian ini, hukum hanya memberikan perdamaian relatif, bukan absolut. Karena hukum mencabut hak para individu utuk menggunakan paksaan tetapi menyerahkannya kepada masyarakat. Dengan kata lain, ketiadaan hukum,

menurut pengertian yang ada di sini pada hakikatnya merupakan keadaan perdamaian.21

Dari kedua pengertian di atas tentang rumusan pengertian perdamaian, pada intinya, perdamaian adalah satu sarana untuk menyelesaikan konflik secara kekeluargaan tanpa kekerasan. Perdamaian ini dapat dilakukan baik sebelum perkara di ajukan ke pengadilan (sebelum sidang) maupun saat perkara di pengadilan (selama persidangan). Dalam perdamaian lebih mengutamakan suasana kekeluargaan di antara para pihak yang bersengketa sebab dalam perdamaian tidak ditonjolkan pihak yang bersalah atau yang benar namun akan dibahas duduk persoalan yang sebenarnya dan para pihak akan mengambil keputusan berdasarkan kesepakatan.

Penyelesaian sengketa dengan perdamaian lazimnya ditempuh dalam lapangan Hukum Perdata dan Hukum Adat ( Hukum Pidana Adat).

a. Perdamaian dalam Hukum Perdata

19

Departement Pendidikan dan Kebudayaan , Kamus Besar Bahasa Indonesia , Balai Pustaka, Jakarta , 1994, halaman 207.

20

Black Law’s Dictionary, dalam Alef Musyahadah R. 2005, “Kedudukan Perdamaian Antara Korban Dengan Pelaku Tindak Pidana Dalam Sistem Pemidanaan.” Tesis, Universitas Dipinegoro, Semarang.

21

Hans Kelsen, Teori Umum Tentang Hukum dan Negara, diterjemahkan oleh Raisul Muttaqien dari General Theory of Law and State ( New York, Russel and Russel, 1971), Nusa media, Bandung, 2011. halaman 27.


(28)

Dalam Hukum Perdata, itikad perdamaian tidak hanya datang dari para pihak yang bersengketa, namun hakim wajib mengupayakan perdamaian terhadap penyelesaian perkara yang diajukan kepadanya. Hal ini sebagaimana diatur dalam pasal 130 ayat (1) HIR yang berbunyi : jika pada hari yang ditentukan kedua belah pihak datang maka pengadilan negeri dengan pertolongan ketua mencoba akan memperdamaikan mereka.

Ketentuan mengenai perdamaian dalam hukum perdata dapat dilihat dalam pasal 1851 sampai dengan pasal 1864 KUHPerdata. Dalam pasal 1851, diatur tentang pengertian perdamaian ( dading) yaitu :

Suatu persetujuan dengan mana kedua belah pihak, dengan menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu barang, mengakhiri suatu perkara yang sedang bergantung ataupun mencegah timbulnya suatu perkara. Persetujuan ini tidaklah sah melainkan jika dibuat secara tertulis.

Dari rumusan pasal tersebut diatas, terlihat beberapa syarat formal dari putusan

perdamaian, yaitu :22

1. Persetujuan dari kedua belah pihak.

2. Mengakhiri suatu sengketa

3. Perdamaian atas sengketa yang telah ada

4. Berbentuk tertulis

Inisiatif untuk melakukan perdamaian harus datang dari inisiatif murni datang dari kedua belah pihak yang bersengketa, bukan atas kehendak sepihak ataupun atas kehendak hakim. Adapun sengketa yang dapat dituangkan dalam persetujuan perdamaian yakni:

a. Sudah berwujud sengketa perkara di pengadilan

22

Victor M. Situmorang, Perdamaian dan Perwasitan dalam Hukum Acara Perdata, Rineka Cipta, Jakarta, 1993.halaman 6.


(29)

b. Sudah nyata berwujud sengketa perdata yang akan diajukan ke pengadilan, sehingga perdamaian hanya dibuat oleh para pihak mencegah terjadinya perkara di sidang pengadilan

Suatu persetujuan perdamaian sah apabila dibuat secara tertulis. Syarat ini sifatnya imperatif. Berdasarkan tingkat cara pembuatan persetujuan perdamaian itu sendiri

dibedakan:23

a. Putusan perdamaian

Apabila kedua belah pihak berdamai, kemudian meminta ke pihak pengadilan agar perdamaian itu dijadikan sebagai putusan pengadilan, maka bentu k persetujuan perdamaian ini disebut putusan perdamaian.

b. Akta Perdamaian.

Yakni suatu persetujuan perdamaian yang dibuat para pihak dan terdapat dalam persetujuan itu. Para pihak tidak meminta pengukuhan dari pengadilan.

Dalam perkara perdata sudah ditentukan perkara/objek yang dapat ataupun tidak dapat diselesaikan melalui perdamaian. Perkara yang dapat diselesaikan secara damai seperti kepentingan-kepentingan keperdataan yang terbit dari suatu kejahatan pelanggaran (pasal 1953). Perkara yang dilarang diselesaikan melalui perdamaian seperti dading tentang sah tidaknya suatu perkawinan, pengesahan anak, sahnya suatu pengakuan anak, hak untuk memilih atau dipilih menjadi anggota badan-badan perwakilan, boedel warisan (pasal 1334 ayat (2)), barang-barang yang berada di luar

perdagangan (buiten handel) (pasal 1332). 24 Kekuatan hukum perjanjian perdamaian

sama dengan suatu hukum yang tetap (in kracht van gewijsde) artinya suatu perdamaian di muka sidang pengadilan negeri mempunyai kekuatan yang sama dengan putusan

23

Ibid

24Ibid.


(30)

hakim pada tingkat akhir (pasal 1858). 25 Meskipun demikian, perjanjian perdamaian

dapat dibatalkan dalam hal: 26

a. Terjadi kekhilafan mengenai orangnya dan mengenai pokok yang diperselisihkan (

pasal 1859).

b. Melanggar asas umum dalam perjanjian seperti penipuan, atau paksaan (pasal 1320).

c. Tentang surat palsu ( pasal 1861)

d. Tidak diketahui oleh para pihak atau salah satu pihak, padahal sudah diakhiri dengan

putusan hakim ( pasal 1862).

b. Perdamaian dalam Hukum Adat

Konsep penyelesaian perkara secara damai sudah lama dikenal dalam hukum adat Indonesia. Dalam hukum adat, termasuk didalamnya hukum pidana adat, penyelesaian sengketa dengan jalan damai yang sering ditempuh tidak dapat dipisahkan dari konsepsi masyarakat Indonesia yang memandang penyesalan dan reputasi buruk sebagai unsur esensial dalam pelanggaran adat. Dalam alam pikiran masyarakat tradisional Indonesia, yang bersifat kosmis, yang penting adalah adanya pengutamaan terhadap terciptanya suatu keseimbangan (evenwicht) antara dunia lahir dan dunia ghaib, antara golongan manusia seluruhnya dan orang seorang, antara persekutuan dan teman masyarakatnya. Segala perbuatan yang mengganggun perimbangan tersebut, merupakan pelangaran hukum dan petugas hukum wajib mengambil tindakan- tindakan yang perlu guna

menimbulkan kembali perimbangan hukum.27

Penyelesaian perkara secara musyawarah antara para pihak telah lama dikenal oleh masyarakat hukum adat, jauh sebelum sistem litigasi diperkenalkan oleh pemerintah Kolonial Belanda. Penyelesaian perkara secara adat melalui lembaga musyawarah lebih diarahkan kepada pemulihan dan keseimbangan tatanan yang terganggu karena adanya sengketa tersebut dan tidak bersifat penghukuman. Ketua adat dalam menyelesaikan

25

Ibid halaman 12.

26

Ibid halaman 14.

27


(31)

sengketa tidak untuk mencari siapa yang menang dan siapa yang kalah, melainkan lebih mengacu pada musyawarah mufakat dan damai.

Sanksi adat/ reaksi adat yang dijatuhkan merupakan bentuk tindakan ataupun

usaha-usaha untuk mmengembalikan ketidakseimbangan termasuk pula

ketidakseimbangan yang bersifat magis akibat adanya gangguan yang merupakan pelanggaran adat. Jadi sanksi adat mempunyai fungsi dan berperan sebagai stabilitator untuk mengembalikan keseimbangan adat dunia lahir dengan dunia ghaib untuk

merehabilitasi, bukan penciptaan derita.28

Schepper memberikan ilustrasi reaksi adat dalam “ Indisch Tijdschriftva n het

Recht” No. T.129, muka 334, sebagai berikut: penyesalan, kerendahan hati,

penghapusan fitnah , meminta maaf dengan pemberian sirih, perbaikan kerusakan disebabkan oleh seseorang yang dengan tangannya sendiri atau atas namanya , kompensasi dalam arti luas, pembayaran yang melebihi uang ganti kerugian (denda menurut hukum pidana), mengurus kuburan orang terhormat yang terbunuh, tawaran berdamai sebagai suatu perbuatan pembersihan, berbagai macam hukuman yang bersifat

mencemoohkan, pengusiran dan sebagainya.29

Penyelesaian perkara secara damai sudah dikenal pada zaman Mataram II. Pada saat sultan Agung berkuasa, urusan peradilan dilaksanakan oleh penghulu agama atas nama raja yang didampingi oleh beberapa ulama sebagai majelis peradilan yang disebut dengan peradilan serambi. Peradilan ini dilaksanakan dengan dasar musyawarah dan mufakat (collegiale rechtspraak). Hasil putusan musyawarah menjadi putusan terakhir oleh raja. 30

28

I Made Widnyana Suarda, Kapita Selekta Hukum Pidana Adat, Eresco, Bandung, 1993, halaman. 8

29

Oemar Seno Aji, Hukum Hakim Pidana, Erlangga, Jakarta, 1980, halaman. 66

30

Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, CV. Mandar Maju, Bandung, 1992, halaman.61


(32)

Pada zaman tersebut, disamping adanya peradilan serambi, di daerah-daerah juga

berlaku peradilan “pa du”, yaitu penyelesaian perselisihan antara perorangan olehperadilan keluarga (peradilan desa) secara damai, dan apabila tidak dapat diatasi secara kekeluargaan, maka diselesaikan oleh peradilan padu secara damai di bawah

pimpinan sseorang pejabat kerajaan yang disebut jaksa.31

Kemudian pola-pola penyelesaian perkara tersebut tetap dikenal dalam hukum adat pada zaman pemerintahan kolonial Belanda. Pada zaman ini, dikenal Hakim perdamaian desa. Lembaga hakim perdamaian desa mendapat pengakuan secara hukum berdasarkan pasal 3a RO (Reglement op de Rechterlijke Organisatie en het Beleid der Justitie (RO) (Peraturan tentang Susunan Pengadilan dan Kebijakan Pengadilan), yaitu yang antara lain menyatakan bahwa hakim-hakim adat tidak boleh menjatuhkan hukuman (ayat 3). Oleh karena itu tidak diperkenankan menjatuhkan hukuman, ditempuhlah suatu usaha

“perdamaian”. 32

dalam menegakkan hukum adat, lembaga perdamaian desa ini menjalankan peranan mendamaikan dan membina ketertiban disebutkan dalam pasal 3a Reglement Indonesia yang diperbaharui (RIB).

Kekuasaan hakim perdamaian desa itu tidak terbatas pada perdamaian saja, tetapi meliputi kekuasaan memutus semua sengketa dalam semua bidang hukum, tanpa membedakan antara pengertian pidana, perdata, publik maupun sipil. Kedudukan bidang kehakiman atau peradilan itu barulah memperoleh perubahan jika masyarakat hukum adat menundukkan dirinya kepada kekuasaan yang lebih tinggi yang membatasi

mengenai hak-hak kehakiman itu.33

Hazairin menulis tentang kedudukan hakim desa sekarang dan kemudian hari. Dalam Undang-Undang Darurat No. 1 PS/ 51, LN 9/ 1951 pasal 1 ayat (3), tetap

31Ibid 32

Tjok Istri Putra Astiti, Pemberdayaan Hakim Perdamaian Desa dalam Menyelesaikan Kasus Adat di Luar Pengadilan, Buletin Musyawarah 1 (Juli 1997), halaman 6

33


(33)

mengakui kekuasaan dorps justitie/hakim-hakim peradilan dalam masyarakat hukum adat sebagai yang dimaksud dalam RO pasal 3. Hakim-hakim tersebut disamakan dengan hakim perdamaian desa, ialah suatu lembaga desa yang kehadirannya dalam masyarakat hukum adat merupakan suatu condition sine qua non sebagai alat pelengkap kekuasaan desa selama itu mampu mempertahankan wajah aslinya dan sifat-sifat keistimewaannya

sebagai kesatuan politik, sosial, ekonomi yang dapat berdiri sendiri. 34

Namun dewasa ini, hakim perdamaian desa mengalami banyak hambatan dalam menegakkan hukum dan mendamaikan para pihak sehingga timbul kesan seolah-olah tidak berdaya menghadapi situasi konflik di pedesaan saat ini. Di beberapa tempat, perdamaian desa tidakk berfungsi lagi, namun di beberapa tempat lainnya masih berfungsi seperti biasanya. Pola-pola penyelesaian sengketa secara musyawarah dan damai tetap bertahan di dalam masyarakat hukum adat Indonesia saat ini. Dalam masyarakat Batak, misalnya, masih mengandalkan forum runggun adat yang pada intinya adalah penyelesaian perkara secara musyawarah (perdamaian) dan kekeluargaan. Dalam masyarakat Minang Kabau juga, dikenal adanya lembaga hakim perdamaian

Minang Kabau, yang secara umum bertindak sebagai mediator dan konsiliator.35

c. Perdamaian Dalam Perkara Kecelakaan Lalu Lintas

Kecelakaan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Balai Pustaka, mempunyai arti kemalangan atau kesusahan. Sedangkan kata lalu lintas mempunyai arti yang sangat luas, di mana di dalamnya meliputi pengertian lalu lintas

jalan; di udara, di air yang terdiri lagi di laut, pantai, sungai; serta lalu lintas di atas rel. 36

Namun kecelakaan lalu lintas yang dimaksud dalam penelitian ini hany terbatas pada lalu lintas yang terjadi di jalan.

34

Ibid.

35

Nirnianingsih Amriani, Mediasi Alternatiff Penyelesaian Sengketa Perdata di Pengadilan, Rajawali Press, Jakart, 2012, halaman 115

36

Marianna Sutadi, Tanggung Jawab Perdata dalam Kecelakaan Lalu Lintas, Mahkamah Agung RI, 1992, halaman. 1


(34)

Menurut Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, kecelakaan lalu lintas adalah suatu peristiwa di Jalan yang tidak

diduga dan tidak disengaja melibatkan kendaraan dengan atau tanpa Pengguna Jalan lain

yang mengakibatkan korban manusia dan/atau kerugian harta benda.37

Menurut Undang-undang No. 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan

Jalan Kecelakaan Lalu Lintas digolongkan atas :38

1. Kecelakaan Lalu Lintas ringan

Kecelakaan Lalu Lintas ringan merupakan kecelakaan yang mengakibatkan kerusakan Kendaraan dan/atau barang

2. Kecelakaan Lalu Lintas sedang;

Kecelakaan Lalu lintas sedang merupakan kecelakaan yang mengakibatkan luka ringan dan kerusakan Kendaraan dan/atau barang.

3. Kecelakaan Lalu Lintas berat;

Kecelakaan lalu lintas berat merupakan kecelakaan yang mengakibatkan korban meninggal dunia atau luka berat.

Pendapat lain mengatakan bahwa kategori kecelakaan lalu lintas dibedakan berdasarkan jenisnya, tingkat parah korban, faktor penyebab yang berkontribusi, keadaan

lingkungan dan waktu.39

Konsep perdamaian sudah sering dilaksanakan dalam hukum perdata dan juga hukum adat. Dalam hukum pidana, konsep perdamaian belum dikenal. Hal ini merupakan konsekuensi logis bahwa hukum pidana merupakan bagian dari hukum publik yang mengikutsertakan negara dalam setiap penyelesaian perkara pidana.

37

Pasal 1 angka 24 , Undang-undang No. 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

38

Pasal 229 Undang-undang No. 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

39

Leksmono Suryo Putranto, Rekayasa Lalu Lintas. Cetakan Pertama, PT Mancanan Jaya Cemerlang: Jakarta, 2008, halaman 135


(35)

Demikian juga dengan penyelesaian perkara kecelakaan lalu lintas sebagai bagian dari hukum pidana tidak mengenai perdamaian sebagai jalan terakhir dalam menyelesaikan perkara tersebut. Kecelakaan ringan,sedang maupun berat tidak dapat diselesaikan melalui perdamaian saja. Penyelesaian perkara kecelakaan lalu lintas tidak dikenal dalam hukum pidana. Walaupun perdamaian dalam tindak pidana kecelakaan lalu lintas belum diakomodir dalam ketentuan peraturan perundang-undangan pidana, namun perdamaian tersebut sudah sering dilakukan oleh masyarakat. Bentuk perdamaian tersebut umumnya dilakukan dengan adanya penggantian ganti kerugian, biaya perobatan/perawatan, biaya duka cita maupun biaya pemakaman yang diberikan oleh pihak pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas kepada pihak korban. Perdamaian tersebut biasanya dilakukan berdasarkan kesepakatan antara pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas dengan pihak korban. Setelah tercapai kesepakatan, pihak korban biasanya memberikan pemaafan dan dengan tulus ikhlas menerima ganti kerugian yang telah disepakati tersebut.

2. Kajian Hukum Mengenai Korban Dalam Kecelakaan Lalu Lintas

a. Pengertian Korban

Keberadaan korban dalam kecelakaan lalu lintas sebagai pihak yang terkena penderitaan atas suatu perbuatan tidak dapat dipisahkan dalam suatu tindak pidana. Yang dimaksud dengan korban adalah mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat dari tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi yang menderita. Mereka di sini dapat berarti individu atau kelompok baik swasta maupun pemerintah

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, dalam pasal 1 angka 1 menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan korban adalah


(36)

seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental dan/atau kerugian ekonomi yang

diakibatkan oleh suatu tindak pidana.40. Berhubung masalah korban pada umumnya

adalah masalah manusia, maka sudahlah wajar apabila tetap berpegangan pada pandangan yang tepat mengenai manusia serta eksistensinya. Dengan pandangan/ pengertian yang tepat mengenai manusia, maka dimungkinkan sikap dan tindakan yang tepat menghadapi manusia yang ikut serta dalam terjadinya/ lahirnya si pembuat korban tindak pidana dan si korban dan menentukan tanggung jawabnya masing-masing. Penderitaan si korban adalah hasil interaksi antara si pembuat korban dan si korban, saksi

(bila ada), badan-badan penegak hukum dan anggota masyarakat lainnya.41

Menurut Muladi, korban (victims) adalah orang-orang yang baik secara individual maupun kolektif telah menderita kerugian,termasuk kerugian fisik atau mental, emosi atau ekonomi atau gangguan substansial terhadap hak -haknya yang fundamental, melalui perbuatan atau komisi yang melanggar hukum pidana di

masing-masing negara, termasuk penyalahgunaanh kekuasaan.42 Schafer dalam teorinya tentang

Crimina l Victims Rela tionship, mengemukakan bahwa suatu kejahatan terjadi karena

antar hubungan korban dan pembuat kejahatan.43

Dalam Black’s Law Dictionary, korban ( victims) adalah:

“The Person who is the object of the crime or tort a s the victim of a robbery is the

person robbed.”

40

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi Dan Korban

41

Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan, Penerbit Universitas Trisaksi, Jakarta, 2009. halaman 335-336

42

Didik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan, Rajawali Press, Jakarta, 2008, halaman. 47.

43 Alef Musyahadah R. 2005, “

Kedudukan Perdamaian Antara Korban Dengan Pelaku Tindak Pidana Dalam Sistem Pemidanaan.” Tesis, Universitas Dipinegoro, Semarang.


(37)

Korban juga didefinisikan oleh Van Boven yang merujuk pada deklarasi prinsip-prinsip dasar keadilan bagi korban kejahatan dan penyalahgunaan kekuasaan sebagai berikut :44

Orang yang secara individual maupun kelompok telah menderita kerugian, termasuk cedera fisik maupun mental, penderitaan emosional, kerugian ekonomi atau perampasan yang nyata terhadap hak-hak dasarnya, baik karena tindakan (by a ct) maupun kelalaian (by omission).

Dari pengertian di atas, tampak bahwa makna dari korban tidak hanya mengacu pada individu atau perseorangan saja, melainkan juga mencakup korban yang bukan perorangan (kelompok dan masyarakat). Yang dimaksud dengan korban perseorangan ialah korban yang hanya terdiri dari satu orang saja, sedangkan yang dimaksud dengan korban yang bukan perorangan, misalnya suatu badan, organisasi atau lembaga.

Menurut “ The Decla ra tion of Ba sic Pr inciples of Justice For Victims Of Crime And

Abuse Of Power”, Perserikatan Bangsa-Bangsa (1985), yang dimaksud dengan korban

(victims) adalah orang-orang yang secara Individual atau kolektif mengalami penderitaan meliputi penderitaan fisik atau mental, penderitaan emosi kerugian ekonomis atau pengurangan substansial hak-hak asasi, melalui perbuatan-perbuatan atau pembiaran-pembiaran ( omissions) yang melanggar hukum pidana yang berlaku di negara-negara

anggota yang meliputi juga peraturan hukum yang melarang penyalahgunaan kekuasaan.45

Pengertian korban yang bisa diartikan secara luas adalah yang didefinisikan oleh South Carolina Governor’s Office of Executif Policy and Programs, Columbia, yaitu :46

“Victims means a person who suffers direct or threatened physical, psychological, or fina ncia l ha rm a s the result of crime a ga inst him. Victim a lso includes the

44

Rena Yulia. Viktimologi Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan. Cetakan Pertama.Graha Ilmu, Yogyakarta, 2010, halaman 49.

45

Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan, Penerbit Universitas Trisaksi, Jakarta, 2009. halaman 335-336.

46

Soeharto, Perlindungan Hak Tersangka, Terdakwa, Dan Korban Tindak Pidana Terorisme Dalam Sistem Peradilan Pidana, Refika Aditama, Bandung,2007, halaman 78


(38)

person is decea sed, a minor, incompetent wa s a homicide victim a nd/or is physically or psychologically incapacitated.”

Pengertian di atas, apabila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, maka akan memberikan pengertian mengenai korban secara luas. Menurut pengertian tersebut, pengertian korban bukan hanya merujuk pada korban yang menderita secara langsung, akan tetapi korban tidak langsungpun juga mengalami penderitaan yang dapat diklasifikasikan sebagai korban.. Demikian juga halnya dalam perkara kecelakaan lalu lintas, yang menjadi korban bukan hanya pihak-pihak yang secara langsung terkena dampak kecelakaan lalu lintas, tetapi juga pihak yang secara tidak langsung juga terkena dampak kecelakaan lalu lintas, misalnya keluarga korban dan juga masyarakat. Yang dimaksud korban tidak langsung di sini seperti istri yang kehilangan suami, anak yang kehilangan bapak, orang tua yang kehilangan anaknya, dan sebagainya. Dalam perkara kecelakaan lalu lintas, korban merupakan pihak yang paling menderita akibat kecelakaan lalu lintas yang terjadi. Kerugian akibat kecelakaan lalu lintas tersebut berupa kerusakan kendaraan/barang, luka berat, luka ringan maupun meninggal dunia.

b. Tipologi Korban

Ditinjau dari perspektif tingkat keterlibatan korban dalam terjadinya kejahatan, Ezzat

Abde Fattah menyebutkan beberapa tipologi korban, yaitu :47

a. Nonpa rticipa ting victims, adalah mereka yang menyangkal/menolak

kejahatan dan penjahat tetapi tidak turut berpartisipasi dalam penanggulangan kejahatan.

b. La tent or predisposed victims, adalah mereka yang mempunyai karakter

tertentu cenderung menjadi korban pelanggaran tertentu.

c. Provoca tif victims, adalah mereka yang menimbulkan kejahatan atau pemicu

kejahatan.

d. Pa rticipa ting victims, adalah mereka yang tidak menyadari atau memiliki

perilaku lain sehingga memudahkan dirinya menjadi korban.

e. Fa lse victims, adalah mereka yang menjadi korban karena dirinya sendiri.

47

Lilik Mulyadi,Kapita Selekta Hukum Pidana Kriminologi Dan Viktimologi, Djambatan, Jakarta, 2007, halaman 124


(39)

Hans von Hentig dalam Schafer, melakukan tipologi atau pengelompokan korban

atas dasar faktor psikologi sosial dan biologis dalam 13 kategori yaitu:48

1. the young;

2. the fema le;

3. the old;

4. the menta lly devectif a nd other menta lly dera nged;

5. immigra nts;

6. minorities;

7. dull norma ls;

8. depressed;

9. the a cquisitif;

10.the wa nthom;

11.the lonesome a nd the hea rtbroken;

12.tormentors;

13.the blocked, exempted, a nd fighting;

c. Hak dan Kewajiban Korban

Sebagai pihak yang mengalami penderitaan dan kerugian dalam terjadinya suatu tindak pidana atau kejahatan, korban tentunya memiliki hak-hak yang dapat diperoleh sebagai seorang korban. Hak-hak tersebut diantaranya termuat dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, yang menyatakan bahwa

korban berhak untuk :49

a. Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta

bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya;

b. Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan perlindungan dan dukungan

keamanannya;

c. Memberikan keterangan tanpa tekanan;

d. Mendapat penerjemah;

e. Bebas dari pertanyaan yang menjerat;

f. Mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus;

g. Mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan;

h. Mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan;

i. Mendapat identitas baru;

j. Mendapatkan tempat kediaman baru;

k. Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan;

l. Mendapat nasihat; dan/atau

m. Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan

berakhir.

48

Ibid

49


(40)

Sementara menurut Arif Gosita, hak korban terdiri atas :50

1. mendapat pelayanan (bantuan, restitusi dan kompensasi);

2. menolak mendapat pelayanan demi kepentingan pelaku;

3. mendapat pelayanan untuk ahli warisnya;

4. mendapat kembali hak milik;

5. menolak menjadi saksi apabila tidak ada perlindungan terhadap dirinya;

6. mendapat perlindungan terhadap ancaman pihak pelaku apabila melapor dan menjadi

saksi;

7. mendapat informasi mengenai permasalahan yang dihadapinya;

8. dapat melangsungkan pekerjaannya;

9. mendapat pelayanan yang layak sewaktu sebelum persidangan, selama persidangan

dan setelah persidangan;

10.mendapat bantuan penasihat hukum;

11.menggunakan upaya hukum.

Adapun kewajiban korban antara lain:51

1. tidak melakukan tindakan-tindakan pembalasan, main hakim sendiri yang membuat

pelaku menderita mental, fisik, sosial;

2. berpartisipasi dengan masyarakat mencegah adanya korban lebih lanjut;

3. berpartisipasi dengan masyarakat membina pelaku;

4. bersedia dibina atau membina diri sendiri untuk tidak menjadi korban lagi;

5. tidak menuntut ganti kerugian di luar kemampuan pelaku;

6. memberi kesempatan kepada pelaku untuk mengganti kerugian sesuai dengan

kemampuannya (mencicil bertahap/ member imbalan jasa);

7. menjadi saksi apabila tidak membahayakan dirinya dan ada perliindungan keamanan

untuk dirinya.

Situasi dan kondisi pihak korban dapat merangsang pihak pelaku untuk melakukan suatu kejahatan terhadap pihak korban. Dengan kata lain tanpa korban tidak akan terjadi suatu kejahatan. Jadi jelaslah bahwa pihak korban adalah sebagai partisipan utama yang memainkan peranan penting, bahkan setelah kejahatan dilaksanakan dalam masalah penyelesaian konflik dan penentuan hukuman para pelaku dapat juga terjadi suatu kejahatan yang dilakukan oleh pihak korban apabila dirasakan ada tindak lanjut yang tidak adil dan merugikan pihak korban. Yang menjadi pertimbangan-pertimbangan penentuan hak dan kewajiban pihak korban adalah taraf keterlibatan dan tanggung jawab fungsional pihak korban dalam tindak pidana itu. Demi keadilan dan kepastian hukum,

50

Arif Gosita Op. Cit, halaman. 260

51Ibid


(41)

perumusan mengenai hak dan kewajiban dalam suatu peraturan atau undang-undang

harus dipertanggungjawabkan secara yuridis ilmiah.52

Walaupun korban berperan dalam terjadinya kejahatan, tetapi korban juga tetap memiliki hak-hak yang harus dipenuhi dalam implementasinya. Dengan melihat beberapa hak dan kewajiban korban yang telah Penulis paparkan di atas, diharapkan masyarakat dapat memahami bahwa korban juga memiliki hak-hak yang harus dihormati seperti layaknya manusia yang merupakan bagian dari anggota masyarakat. Begitu juga dengan pelaku tindak pidana yang tidak jarang menjadi korban main hakim sendiri, adalah sama dengan korban yang lain, mereka juga memiliki hak -hak korban yang dimiliki oleh korban kejahatan lain karena mereka juga merupakan korban kejahatan.

3. Kajian Hukum Mengenai Pelaku Tindak Pidana Dalam Kecelakaan Lalu Lintas

Stra fba a r feit merupakan istilah asli bahasa Belanda yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan berbagai arti diantaranya yaitu, tindak pidana, delik, perbuatan pidana, peristiwa pidana maupun perbuatan yang dapat dipidana. Kata Strafbaar feit terdiri dari 3 kata, yakni straf, baar dan feit. Berbagai istilah yang digunakan sebagai terjemahan dari strafbaar feit itu, ternyata straf diterjemahkan sebagai pidana dan hukum. Perkataan baar diterjemahkan dengan dapat dan boleh, sedangkan untuk kata feit

diterjemahkan dengan tindak, peristiwa, pelanggaran dan perbuatan.53

Menurut Pompe, sebagaimana yang dikemukakan oleh Bambang Poernomo,

pengertian strafbaar feit dibedakan menjadi :54

a. Defenisi menurut teori memberikan pengertian “strafbaar feit” adalah suatu

pelanggaran terhadap norma, yang dilakukan karena kesalahan si pelanggar dan

52

Antonio S. Padaga. Tinjauan Sosio Yuridis Terhadap Restitusi Bagi Korban Kecelakaan Lalu Lintas Di Kota Makassar, Skripsi, Fakultas Hukum, Universitas Hasanuddin, Makassar, 2012, halaman 20.

53

Adami Chadawi, Pengantar Hukum Pidana Bagian I, Grafindo, Jakarta, 2002, halaman. 69

54


(42)

diancam dengan pidana untuk mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum ;

b. Definisi menurut hukum positif, merumuskan pengertian “strafbaar feit” adalah

suatu kejadiaan (feit) yang oleh peraturan perundang-undangan dirumuskan sebagai perbuatan yang dapat dihukum.

Sejalan dengan definisi atau pengertian menurut teori dan hukum positif di atas, J.E Jonkers juga telah memberikan defenisi strafbaar feit menjadi dua pengertiaan,

sebagaimana yang dikemukakan Bambang Pornomo yaitu :55

a. Definisi pendek memberikan pengertian “strafbaar feit” adalah suatu kejadian (feit) yang dapat diancam pidana oleh Undang-Undang.

b. Definisi panjang atau lebih dalam memberikan pengertian “strafbaar feit” adalah suatu kelakuan yang melawan hukum berhubung dilakukan dengan sengaja atau alpa oleh orang yang dapt dipertanggungjawabkan.

Menurut definisi pendek pada hakekatnya menyatakan bahwa pastilah untuk setiap delik yang dapat dipidana harus berdasarkan Undang-Undang yang dibuat oleh pembentuk Undang-Undang, dan pendapat umum tidak dapat menentukan lain daripada apa yang telah ditetapkan dalam Undang-undang. Definisi yang panjang lebih menitikberatkan kepada sifat melawan hukum dan pertanggung jawaban yang merupakan unsur-unsur yang telah dirumuskan secara tegas didalam setiap delik, atau unsur yang tersembunyi secara diam-diam dianggap ada.

Sementara, secara singkat, pelaku tindak pidana merupakan orang yang melakukan tindak pidana. Pelaku tindak pidana (Dader) menurut doktrin adalah barang siapa yang melaksanakan semua unsur-unsur tindak pidana sebagai mana unsur-unsur tersebut dirumuskan di dalam undang-undang menurut KUHP.


(43)

Seperti yang terdapat dalam pasal 55 (1) KUHP yang berbunyi: (1) Dipidana sebagai pelaku tindak pidana:

1. mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan

perbuatan;

2. mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu dengan menyalahgunakan

kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.

Sebagaimana diatur dalam pasal 55 KUHP (1) di atas, bahwa pelaku tindak

pidana itu dapat dibagi dalam 4 (empat) golongan:56

a. Orang yang melakukan sendiri tindak pidana (pleger).

Dari berbagai pendapat para ahli dan dengan pendekatan praktik dapat diketahui bahwa untuk menentukan seseorang sebagai yang melakukan (pleger)/pembuat pelaksana tindak pidana secara penyertaan adalah dengan 2 kriteria:

1. perbuatannya adalah perbuatan yang menetukan terwujudnya tindak pidana,

2. perbuatannya tersebut memenuhi seluruh unsur tindak pidana.

b. Orang yang menyuruh orang lain untuk melakukan tindak pidana (doen

pleger)

Undang-undang tidak menjelaskan tentang siapa yang dimaksud dengan yang menyuruh melakukan itu. Untuk mencari pengertian dan syarat untuk dapat ditentukan sebagai orang yang melakukan (doen pleger), pada umumnya para ahli hukum merujuk pada keterangan yang ada dalam MvT WvS Belanda, yang berbunyi bahwa

“yang menyuruh melakukan adalah dia juga yang melakukan tindak pidana, tapi tida k seca ra priba di, mela inka n dengan peranta ra orang la in sebaga i a la t di da la m

56

Adami Chadawi, Percobaan dan Penyertaan ( Pelajaran Hukum Pidana), Rajawali Press, Jakarta, 2002, halaman 86-87


(1)

Ediwarman, 2014, Penegakan Hukum Pidana dalam Perspektif Kriminologi, Medan:Genta Publishing.

Hadikusuma, Hilman, 1992, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia , Bandung: CV. Mandar Maju.

Hamdan, 2012, Alasan Penghapus Pidana Teori dan Studi Kasus, Medan: Refika Aditama,. Kansil, C.S.T, 1984, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia , , Jakarta: Balai

Pustaka,.

Kartanegara, Satochid, Hukum Pidana (Kumpulan kuliah), bagian kedua, Balai Lektur Ma ha siswa, Jakarta.

Kerlinger, Fred N., 1991, Asas-Asas Penelitian Behavourial, Yogyakarta : Gajah Mada University Press,.

Kelsen, Hans, 1971,Teori Umum Tentang Hukum dan Negara, diterjemahkan oleh Raisul Mutta qien da ri Genera l Theory of La w a nd Sta te ( New York, Russel and Russel, , Bandung: Nusa Media.

Koeswadji, Hermien Hadiati, 1995, Perkembangan Macam-Macam Pidana Dalam Rangka Pemba nguna n Hukum Pida na, Bandung: Citra Aditya Bakti.

Lamintang, P.A.F, 1997, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia , Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,.

Makarim, Emon, 2003, Kompilasi Hukum Telematika , Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Mansur, Didik M. Arief dkk, 2008 Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan, Jakarta:

Rajawali Press.

Mawarni, Rita, 2012, Ilmu Kedokteran Kehakiman, Bahan ajar tidak diterbitkan, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Mertokusumo, Sudikno, 2010, Mengenal Hukum Suatu Pengantar Edisi Revisi, Yogyakarta: Penerbit Cahaya Atma Pustaka,.


(2)

Muhammad, Buhsar, 1981, Pokok-Pokok Hukum Adat, Jakarta: Pradnya Paramita,. Muladi, 2002, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana , Semarang: Badan

Penerbit Universitas Diponegoro,.

Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1998, Teori dan Kebijakan Pidana , , Bandung: Alumni. Mulyadi, Lilik, 2007, Kapita Selekta Hukum Pidana Kriminologi Dan Viktimologi, Jakarta:

Djambatan,.

Mulyadi, Mahmud, 2008, Criiminal Policy, Pendekatan Integral Penal Policy dan Non Penal Policy da la m Pena nggula nga n Kekera sa n, , Medan: Pustaka Bangsa Press,

Poernomo, Bambang, 1991, Asas-Asas Hukum Pidana , Jakarta: Ghalia Indonesia,. Prayitno, Wukir, 1991, Modernitas Hukum Ber wa wasan Indonesia , Semarang: , CV. Agung,. Prasetyo ,Teguh, 2011, Hukum Pidana , Jakarta: Rajawali Press.

Prasetyo, Teguh dan Abdul Halim Barkatullah, 2005, Politik Hukum Pidana, Ka jian Kebija ka n Krimina lisa si da n Dekrimina lisa si, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,.

Putranto, Leksmono Suryo, 2008, Rekayasa Lalu Lintas. Cetakan Pertama, Jakarta: PT Mancanan Jaya Cemerlang,.

Rahmawati, Mety, 2010, Dasar-dasar penghapus penuntutan, penghapus, peringanan dan pembera t pida na da la m KUHP, Jakarta: Penerbit Universitas Trisakti.

Roeslan, Saleh, 1987, Stelsel Pidana Indonesia , Jakarta: Aksara Baru, .

Situmorang, Victor M, 1993, Perdamaian dan Perwasitan dalam Hukum Acara Perdata , Jakarta: Rineka Cipta..

Soeharto, 2007, Perlindungan Hak Tersangka, Terdakwa, Dan Korban Tindak Pidana Terorisme Da la m Sistem Pera dila n Pida na, Bandung: Refika Aditama,.

Soekanto, Soerjono, 1989, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, Soepomo, 1979, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Jakarta: Padnya Paramita.


(3)

Sudarto dalam Barda Nawawi Arief, 1996, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti,.

, 1986, Kapita Selekta Hukum Pidana , Bandung: Alumni.

Sunggono, Bambang, 2009, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: Raja Grafindo Persada. Surakhmad, Winarno, 1997, Dasar dan Teknik Research, Bandung: Tarsito.

Sutadi, Marianna, 1992, Tanggung Jawab Perdata dalam Kecelakaan Lalu Lintas, Mahkamah Agung RI.

Suarda, I Made Widnyana, 1993, Kapita Selekta Hukum Pidana Adat, Bandung: Eresc. Syahrani, Riduan, 2004, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Edisi Revisi, Bandung: PT. Citra

Aditya Bakti.

Waluyo, Bambang, 1996, Penelitian Hukum dalam Praktek, Jakarta: Sinar Grafika,.

Yulia, Rena. 2010, Viktimologi Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan, Yogyakarta :Graha Ilmu, Cetakan Pertama.

Zulfa, Eva Achjani, 2011, Pergeseran Pardigma Pemidanaan, Bandung: CV Lubuk Agung. B. Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-undang No. 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Kitab Undang-undang Hukum Pidana

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi Dan Korban

Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2011tentang Forum Lalu Lintas dan Angkutan Jalan RUU KUHP 2013

C. Putusan

Putusan No.992 / Pid. B /2013 / PN. Mdn

Putusan Nomor No.501 / Pid. B / 2012 / PN. Mdn, D. Skripsi dan Tesis


(4)

Antonio S. Padaga. Tinjauan Sosio Yuridis Terhadap Restitusi Bagi Korban Kecelakaan Lalu Linta s Di Kota Ma ka ssa r, Skripsi, Fakultas Hukum, Universitas Hasanuddin, Makassar, 2012.

Musyahadah R, Alef. 2005, “Keduduka n Perda ma ia n Anta ra Korba n Denga n Tinda k Pida na Da la m Sistem Pemida na a n.” Tesis, Universitas Dipinegoro, Semarang.

E. Kamus

Departement Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia , Balai Pustaka, Jakarta , 1994.

F. Website:

Http: Hynatha30.Files.Wordpress.Com/2009/10/Sejarah-Hpi.Pdf. Diakses Tanggal 8 Mei 2014.

Syarif,PertanggungjawabanPidana .2012,http://syarifblackdolphin.wordpress.com/2012/01/11/p ertanggungjawaban-pidana/.


(5)

Wawancara Penulisan Skripsi Yang Berjudul “Eksistensi Perdamaian Antara Korban Dengan Pelaku Tindak Pidana Kecelakaan Lalu Lintas Dalam Sistem Pemidanaan

(Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan).

Nama Hakim:………...

1. Menurut pengalaman Bapak/ Ibu Hakim, pernahkah Bapak/Ibu Hakim menangani perkara kecelakaan lalu lintas?

2. Apakah perkara tersebut mengandung perdamaian antara korban dengan pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas?

3. Bagaimana bentuk perdamaian yang sering dilakukan pelaku dengan tindak pidana? 4. Menurut pendapat Bapak/ Ibu Hakim, apakah perlu bagi pelaku tindak pidana

kecelakaan lalu lintas berdamai dengan korban? Mengapa?

5. Bagaimana kedudukan perdamaian tersebut dalam pertimbangan dalam menjatuhkan putusan? (Dipertimbangkankah atau tidak dipertimbangkan).Mengapa?

6. Jika dipertimbangkan, apakah perdamaian tersebut meringankan pidana atau menghapuskan pidana/menghapus pertanggungjawaban pidana? Mengapa?

7. Dari segi isi surat perdamaian yang dibuat oleh korban dengan pelaku memohon agar perkaranya tidak diteruskan secara hukum dan sudah mengikhlaskan peristiwa kecelakaan lalu lintas tersebut, apakah Bapak/ Ibu hakim mengalami dilema dalam menjatuhkan pidana bagi pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas tersebut demi kemanfaatan si korban dengan pelaku yang tidak lagi mempermasalahkan perkara tersebut? Mengapa?

8. Saat persidangan, pernahkah saksi korban maupun keluarga korban pernah memohon kepada majelis hakim untuk tidak menjatuhkan pidana kepada pelaku?


(6)

9. Apakah saat ini telah ada pedoman pemidanaan bagi hakim dalam menjatuhkan pidana? Apakah ada dasar hukum yang mewajibkan hakim untuk mempertimbangkan perdamaian tersebut? Jika ada, apakah dasar hukumnya?

10.Menurut pendapat Bapak/ Ibu Hakim, apakah perdamaian dalam kecelakaan lalu lintas ini perlu diatur dalam peraturan perundang-undangan? Jika perlu, apakah sebagai hal yang meringankan pidana atau menghapus pidana? Mengapa?

11.Menurut Bapak/ Ibu Hakim, bagaimana dampak jika perdamaian dijadikan sebagai hal yang menghapus pidana bagi pelaku?

Dampak positif: Dampak negatif:


Dokumen yang terkait

Eksistensi Perdamaian Antara Korban dengan Pelaku Tindak Pidana Kecelakaan Lalu Lintas dalam Sistem Pemidanaan (Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan)

2 42 147

KEDUDUKAN PERDAMAIAN ANTARA KORBAN DENGAN PELAKU TINDAK PIDANA DALAM SISTEM PEMIDANAAN - Diponegoro University | Institutional Repository (UNDIP-IR)

0 0 157

Eksistensi Perdamaian Antara Korban dengan Pelaku Tindak Pidana Kecelakaan Lalu Lintas dalam Sistem Pemidanaan (Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan)

0 0 13

Eksistensi Perdamaian Antara Korban dengan Pelaku Tindak Pidana Kecelakaan Lalu Lintas dalam Sistem Pemidanaan (Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan)

0 0 2

Eksistensi Perdamaian Antara Korban dengan Pelaku Tindak Pidana Kecelakaan Lalu Lintas dalam Sistem Pemidanaan (Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan)

0 0 39

Eksistensi Perdamaian Antara Korban dengan Pelaku Tindak Pidana Kecelakaan Lalu Lintas dalam Sistem Pemidanaan (Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan)

0 0 31

Eksistensi Perdamaian Antara Korban dengan Pelaku Tindak Pidana Kecelakaan Lalu Lintas dalam Sistem Pemidanaan (Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan)

0 0 5

Eksistensi Perdamaian Antara Korban dengan Pelaku Tindak Pidana Kecelakaan Lalu Lintas dalam Sistem Pemidanaan (Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan)

0 0 2

Penerapan Diversi Terhadap Anak Sebagai Pelaku Dalam Kecelakaan Lalu Lintas (Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan)

0 0 2

Penerapan Diversi Terhadap Anak Sebagai Pelaku Dalam Kecelakaan Lalu Lintas (Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan)

0 0 1