Analisis Perencanaan Kebutuhan Obat dalam Implementasi Kebijakan Jaminan Kesehatan Nasional di Instalasi Farmasi Dinas Kesehatan Kota Medan

(1)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Konsep Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) pertama kali dicetuskan di Inggris pada tahun 1911 (ILO, 2007) yang didasarkan pada mekanisme asuransi kesehatan sosial dan pertama kali diselenggarakan di Jerman tahun 1883 (Schramm, 2004). Di Indonesia Undang-undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN), diundangkan pada tanggal 19 Oktober 2004 melalui Rapat Pleno DPR. UU SJSN ini memuat salah satu isinya adalah JKN.

Undang-undang (SJSN) No. 40/2004 disebutkan bahwa jaminan pemeliharaan kesehatan penduduk fakir miskin dan orang tidak mampu menjadi tanggung jawab pemerintah. Melalui undang-undang ini memberikan landasan hukum tentang kepastian perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dalam memenuhi kebutuhan dasar hidupnya secara layak. Selain itu, dalam UU No. 32/2004 tentang Otonomi Daerah telah memberikan kewenangan yang lebih luas kepada pemerintah kabupaten/kota untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat melalui dinas kesehatan. Namun urusan pemerintahan dibidang kesehatan tetap merupakan urusan bersama (concurrent function) antara pemerintah pusat dan pemerintah kabupaten/kota sesuai dengan keputusan menteri kesehatan No.922/MENKES/SK/X/2008.


(2)

Dinas kesehatan sebagai unit pelaksana teknis yang bertanggung jawab di sektor kesehatan di kabupaten/kota harus memiliki kemampuan menjalankan fungsi manajemen terutama fungsi perencanaan dan penganggaran, sehingga program dan kegiatan kesehatan dapat mencapai sasaran yang diharapkan. Hal ini terkait dengan Peraturan Pemerintah (PP) No. 38/2007 disebutkan bahwa salah satu urusan wajib kabupaten/kota adalah urusan kesehatan.

Untuk menjalankan amanat UU No.40/2004 dan UU No. 32/2004, menuju tercapainya jaminan kesehatan bagi semua penduduk (universal health coverage) maka pemerintah provinsi dan kabupaten/kota harus mengupayakan sumber dana pembiayaan. Sumber dana pembiayaan program dan kegiatan selama ini berasal dari Dana Alokasi umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dana dekonsentrasi melalui Dinas Kesehatan Provinsi serta dana hibah dari Bank Dunia melalui proyek HWS Health Workforce (Service) yang digunakan untuk melaksanakan fungsi sebagai service provider dalam mengembangkan dan mengimplementasikan kebijakan JKN sesuai dengan UU No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).

Mendukung pelaksanaan tersebut, Kementerian Kesehatan memberikan prioritas kepada jaminan kesehatan dalam reformasi kesehatan. Kementerian Kesehatan mengupayakan suatu regulasi berupa Peraturan Menteri, yang akan menjadi payung hukum untuk mengatur pelayanan kesehatan pada fasilitas kesehatan tingkat pertama, dan pelayanan kesehatan pada fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjutan. Peraturan Menteri juga mengatur jenis, plafon harga alat bantu kesehatan,


(3)

pelayanan obat serta bahan medis habis pakai untuk peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) (Permenkes RI No. 71, 2013).

Salah satu fasilitas kesehatan primer adalah Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas). Puskesmas merupakan sebuah organisasi di bawah Kementerian Kesehatan Republik Indonesia yang berfungsi menyediakan pelayanan kesehatan kepada masyarakat di tingkat kecamatan atau daerah (district). Pelayanan yang ditawarkan bersifat menyeluruh, terpadu, dapat diterima dan dijangkau oleh masyarakat. Rata-rata jumlah penduduk yang memperoleh pelayanan sebuah puskesmas biasanya mencapai 25,000-30,000 orang dalam sebuah wilayah pelayanan (Depkes RI, 2001)

Puskesmas sebagai pusat pelayanan kesehatan dasar tingkat pertama (fasilitas kesehatan primer) memberikan pelayanan kesehatan perorangan yang bersifat non spesialistik (primer) meliputi pelayanan rawat jalan dan rawat inap. Ini berarti puskesmas harus berusaha menyediakan pelayanan kesehatan tingkat dasar yang bersifat holistik, komprehensif, terpadu dan terus menerus kepada masyarakat baik di perkotaan maupun di pedesaan. Menurut panduan penyelenggaraan puskesmas di era desentralisasi, pembangunan kesehatan Indonesia mewujudkan lingkungan dan gaya hidup yang sehat, memiliki upaya untuk mencapai taraf pelayanan kesehatan yang berkualitas, adil, dan menyeluruh menuju pencapaian derajat kesehatan yang sangat tinggi (Depkes RI, 2001).

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2013 tentang Pelayanan Kesehatan pada JKN mengungkapkan bahwa fasilitas kesehatan


(4)

tingkat pertama adalah puskesmas atau setara yang bekerja sama dengan BPJS kesehatan harus menyelenggarakan pelayanan kesehatan komprehensif berupa pelayanan kesehatan promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif, pelayanan kebidanan, dan pelayanan kesehatan darurat medis, termasuk pelayanan penunjang meliputi pemeriksaan laboratorium sederhana dan pelayanan kefarmasian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2014, puskesmas sebagai pelayanan kesehatan publik dalam era BPJS diberikan wewenang kesehatan layanan primer mencakup 144 macam diagnosis penyakit dengan alur klinis (clinical pathway) yang sudah disusun organisasi profesi terkait. Hal ini memberikan makna bahwa puskesmas sebagai Pemberi Pelayanan Kesehatan (PPK) tingkat pertama wajib menangani pelayanan kesehatan mencakup 144 jenis diagnosis penyakit dan tidak boleh dirujuk ke PPK 2 atau PPK 3 kecuali memenuhi kondisi TACCC (time, age, complication, comorbidity, condition). Bila PPK 2 dan PPK 3 menangani kasus dengan diagnosis tersebut dan tidak memenuhi kondisi TACCC berarti juga tidak akan dibayar oleh BPJS.

Mendukung puskesmas sebagai PPK tingkat pertama dalam implementasi JKN dinas kesehatan sebagai pelaksana bidang pembangunan kesehatan mempunyai wewenang terhadap penyediaan dan pengelolaan obat pelayanan kesehatan dasar, alat kesehatan, reagensia dan vaksin skala kabupaten/kota. Sumber biaya anggaran obat di kabupaten/kota dapat diambil dari dana APBD II (DAU), APBD I, Askes, buffer stok kabupaten/kota, atau dari sumber anggaran program (Kemenkes RI, 2008).


(5)

Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 679/MENKES/SK/V/2005 tentang pedoman umum pengadaan obat publik untuk Pelayanan Kesehatan Dasar (PKD) dalam rangka meningkatkan penggunaan obat generik di sektor pemerintah menekankan bahwa pada prinsipnya pengadaan obat untuk PKD yaitu: ”mutu obat terjamin, memenuhi kriteria, khasiat, keamanan dan keabsahan obat serta mempunyai izin edar (nomor registrasi), menerapkan konsepsi obat esensial dan dilaksanakan melalui Pedagang Besar Farmasi (PBF) yang mempunyai izin dari Depkes yang masih berlaku” (Depkes RI, 2006).

Dinas Kesehatan Kota Medan selaku pelaksana teknis bidang pembangunan kesehatan membawahi 39 puskesmas (12 Puskesmas rawat inap dan 27 Puskesmas rawat jalan) dan 41 Puskesmas Pembantu (Pustu) pada 21 kecamatan harus mampu memenuhi kebutuhan obat publik pada setiap puskesmas. Selama ini perencanaan kebutuhan obat puskesmas mengacu pada penggunaan obat tahun sebelumnya untuk setiap tahunnya. Kebutuhan obat puskesmas tersebut skala prioritasnya mengacu kepada 10 penyakit terbesar pada puskesmas. Kemudian kebutuhan obat puskesmas disampaikan melalui Laporan Pemakaian dan Lembar Permintaan Obat (LPLPO) ke instalasi farmasi Dinas Kesehatan Kota Medan dan pengadaan jenis dan itemnya merujuk pada Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN).

Sedangkan pengadaan kebutuhan obat puskesmas tahun 2013 mengacu kepada Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2013 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengadaan Obat dengan Prosedur E-Purchasing Berdasarkan E-catalog yang menegaskan bahwa pengadaan obat harus melalui


(6)

Layanan Pengadaan Barang/Jasa Secara Elektronik (LPSE) atau E-catalog secara on line pada website pelelangan elektronik dan pengadaannya dilaksanakan oleh

Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP). Melalui sistem

E-catalog obat ini maka Kementerian/Lembaga/Dinas/Instansi (K/L/D/I) tidak perlu

melakukan proses pelelangan, namun dapat langsung memanfaatkan sistem

E-catalog obat dalam pengadaan obat dengan prosedur E-Purchasing.

Pengadaan obat dengan sistem E-catalog ini maka jenis, jumlah dan harganya telah ditetapkan oleh Menteri Kesehatan yang ditayangkan di portal pengadaan nasional serta pengadaan jenis dan itemnya merujuk pada Formularium Nasional (Fornas). Daftar obat ini digunakan sebagai acuan untuk penulisan resep dalam sistem JKN. Kemudian Tim perencana obat dan Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK) menyusun rencana kebutuhan obat disesuaikan dengan ketersediaan anggaran. Tim perencana obat dan rencana kebutuhan obat yang akan diadakan tersebut ditandatangani oleh PPTK dan penanggung jawab bidang kefarmasian.

Mengacu kepada Permenkes Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2014 bahwa puskesmas dalam era BPJS diberikan wewenang kesehatan layanan primer mencakup 144 macam diagnosis penyakit maka seharusnya kebutuhan obat di puskesmas disesuaikan dengan 144 macam diagnosis penyakit, namun sewaktu dilakukan pemesanan kebutuhan obat pada tahun 2013 kebutuhan obat belum sepenuhnya mengacu kepada 144 macam diagnosis penyakit.

Berdasarkan survei pendahuluan pada Dinas Kesehatan Kota Medan diperoleh informasi ketersediaan obat tahun 2013 belum sesuai dengan yang dibutuhkan. Hal


(7)

ini dilihat dari kebutuhan obat yang telah ditetapkan untuk dipesan pada awalnya sebanyak 125 item ternyata setelah disesuaikan dengan E-catalog hanya 93 item kebutuhan obat yang dapat dipesan. Pada saat pengadaan kebutuhan obat ternyata hanya 69 item obat (74,2%) yang terealisasi selebihnya belum terealisasi. Penyebab ketidaksesuaian kebutuhan dengan realisasi obat ini diantaranya adalah; (a) sewaktu pemesanan kebutuhan obat melaui E-catalog ternyata tidak semua item obat yang dibutuhkan tertera (terdaftar) pada E-catalog, (b) kebutuhan obat yang telah dipesan sesuai dengan E-catalog tidak seluruhnya pula terealisasi.

Disamping itu jika diasumsikan kebutuhan obat mengacu kepada 144 macam diagnosis penyakit maka estimasi kebutuhan obat sebanyak 432 item. Sementara sampai dengan bulan Maret 2014 ketersediaan obat di instalasi farmasi Dinas Kesehatan Kota Medan hanya sebanyak 250 item. Ketersediaan obat di instalasi farmasi Kota Medan yang belum sepenuhnya sesuai dengan kebutuhan dikhawatirkan secara jangka panjang berdampak terhadap kebutuhan obat di Puskesmas sebagai PPK-I .

Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa petugas obat di puskesmas mengeluhkan ketersediaan obat ini, karena ketersediaan obat di instalasi farmasi Dinas Kesehatan Kota Medan tidak sesuai lagi dengan LPLPO kebutuhan puskesmas, sehingga pasien pengguna obat di puskesmas menerima jumlah dan jenis obat yang diresepkan oleh dokter untuk kebutuhan obat seminggu hanya bisa diberikan untuk kebutuhan obat selama 2-3 hari saja.

Dinas kesehatan Kota Medan dan puskesmas sebagai pelayan publik dalam aktivitasnya sehari-hari merupakan pusat pelayanan kesehatan yang paling dekat


(8)

dengan masyarakat yang menjadi bagian pelaksana program JKN kerap mendapat kritikan dari masyarakat. Citra negatif tentang birokrasi publik maupun rendahnya kualitas pelayanan publik tercermin pada maraknya tanggapan, keluhan dan cibiran di berbagai media cetak dan elektronik.

Upaya yang dilakukan Dinas kesehatan Kota Medan adalah mendistribusikan obat dengan cara membagi obat secara merata sesuai dengan realisasi kebutuhan obat yang diterima oleh instalasi farmasi Dinas Kesehatan Kota Medan ke seluruh puskesmas.

Hasil penelitian Sunarsih (2002) menyimpulkan bahwa (a) pola penggunaan obat pada terapi 5 penyakit utama (ISPA, infeksi usus, infeksi kulit, alergi kulit, sistim otot dan jaringan pengikat) sangat tergantung pada ketersediaan obat di Puskesmas, (b) pola penggunaan obat belum sesuai dengan pedoman pengobatan dasar di Puskesmas walaupun penerapan yang dilakukan menggunakan obat esensial, (c) perubahan ketersediaan obat di gudang farmasi kota dan di Puskesmas berpengaruh terhadap pola penggunaan obat pada terapi ISPA, infeksi kulit dan alergi kulit, yakni peningkatan penggunaan antibiotik, penggunaan injeksi dan rata-rata jumlah item obat.

Adanya kebijakan SJSN dan BPJS sebagai penyelenggara JKN terkait dengan Puskesmas sebagai PPK I serta Dinas Kesehatan Kota Medan sebagai pelaksana bidang pembangunan kesehatan maka perlu dikaji tentang ”Analisis Perencanaan Kebutuhan Obat dalam Implementasi Kebijakan Jaminan Kesehatan Nasional di Instalasi Farmasi Dinas Kesehatan Kota Medan.


(9)

1.2. Permasalahan

Adapun permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana perencanaan kebutuhan obat dalam implementasi kebijakan jaminan kesehatan nasional di Instalasi Farmasi Dinas Kesehatan Kota Medan.

1.3. Tujuan Penelitian

Mengetahui perencanaan kebutuhan obat dalam implementasi kebijakan jaminan kesehatan nasional di Instalasi Farmasi Dinas Kesehatan Kota Medan.

1.4. Manfaat Penelitian

Penelitian diharapkan bermanfaat bagi;

1. Dinas Kesehatan Kota Medan sebagai masukan tentang kebijakan perencanaan kebutuhan obat puskesmas secara efektif dan efisien.

2. BPJS dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya sebagai penyelenggara jaminan sosial melalui Jaminan Kesehatan Nasional.

3. Akademik, memperkaya khasanah ilmu pengetahuan administrasi dan kebijakan kesehatan khususnya yang berkaitan dengan pelayanan kebijakan publik.


(1)

tingkat pertama adalah puskesmas atau setara yang bekerja sama dengan BPJS kesehatan harus menyelenggarakan pelayanan kesehatan komprehensif berupa pelayanan kesehatan promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif, pelayanan kebidanan, dan pelayanan kesehatan darurat medis, termasuk pelayanan penunjang meliputi pemeriksaan laboratorium sederhana dan pelayanan kefarmasian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2014, puskesmas sebagai pelayanan kesehatan publik dalam era BPJS diberikan wewenang kesehatan layanan primer mencakup 144 macam diagnosis penyakit dengan alur klinis (clinical pathway) yang sudah disusun organisasi profesi terkait. Hal ini memberikan makna bahwa puskesmas sebagai Pemberi Pelayanan Kesehatan (PPK) tingkat pertama wajib menangani pelayanan kesehatan mencakup 144 jenis diagnosis penyakit dan tidak boleh dirujuk ke PPK 2 atau PPK 3 kecuali memenuhi kondisi TACCC (time, age, complication, comorbidity, condition). Bila PPK 2 dan PPK 3 menangani kasus dengan diagnosis tersebut dan tidak memenuhi kondisi TACCC berarti juga tidak akan dibayar oleh BPJS.

Mendukung puskesmas sebagai PPK tingkat pertama dalam implementasi JKN dinas kesehatan sebagai pelaksana bidang pembangunan kesehatan mempunyai wewenang terhadap penyediaan dan pengelolaan obat pelayanan kesehatan dasar, alat kesehatan, reagensia dan vaksin skala kabupaten/kota. Sumber biaya anggaran obat di kabupaten/kota dapat diambil dari dana APBD II (DAU), APBD I, Askes, buffer stok kabupaten/kota, atau dari sumber anggaran program (Kemenkes RI, 2008).


(2)

Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 679/MENKES/SK/V/2005 tentang pedoman umum pengadaan obat publik untuk Pelayanan Kesehatan Dasar (PKD) dalam rangka meningkatkan penggunaan obat generik di sektor pemerintah menekankan bahwa pada prinsipnya pengadaan obat untuk PKD yaitu: ”mutu obat terjamin, memenuhi kriteria, khasiat, keamanan dan keabsahan obat serta mempunyai izin edar (nomor registrasi), menerapkan konsepsi obat esensial dan dilaksanakan melalui Pedagang Besar Farmasi (PBF) yang mempunyai izin dari Depkes yang masih berlaku” (Depkes RI, 2006).

Dinas Kesehatan Kota Medan selaku pelaksana teknis bidang pembangunan kesehatan membawahi 39 puskesmas (12 Puskesmas rawat inap dan 27 Puskesmas rawat jalan) dan 41 Puskesmas Pembantu (Pustu) pada 21 kecamatan harus mampu memenuhi kebutuhan obat publik pada setiap puskesmas. Selama ini perencanaan kebutuhan obat puskesmas mengacu pada penggunaan obat tahun sebelumnya untuk setiap tahunnya. Kebutuhan obat puskesmas tersebut skala prioritasnya mengacu kepada 10 penyakit terbesar pada puskesmas. Kemudian kebutuhan obat puskesmas disampaikan melalui Laporan Pemakaian dan Lembar Permintaan Obat (LPLPO) ke instalasi farmasi Dinas Kesehatan Kota Medan dan pengadaan jenis dan itemnya merujuk pada Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN).

Sedangkan pengadaan kebutuhan obat puskesmas tahun 2013 mengacu kepada Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2013 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengadaan Obat dengan Prosedur E-Purchasing Berdasarkan E-catalog yang menegaskan bahwa pengadaan obat harus melalui


(3)

Layanan Pengadaan Barang/Jasa Secara Elektronik (LPSE) atau E-catalog secara on line pada website pelelangan elektronik dan pengadaannya dilaksanakan oleh

Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP). Melalui sistem

E-catalog obat ini maka Kementerian/Lembaga/Dinas/Instansi (K/L/D/I) tidak perlu

melakukan proses pelelangan, namun dapat langsung memanfaatkan sistem

E-catalog obat dalam pengadaan obat dengan prosedur E-Purchasing.

Pengadaan obat dengan sistem E-catalog ini maka jenis, jumlah dan harganya telah ditetapkan oleh Menteri Kesehatan yang ditayangkan di portal pengadaan nasional serta pengadaan jenis dan itemnya merujuk pada Formularium Nasional (Fornas). Daftar obat ini digunakan sebagai acuan untuk penulisan resep dalam sistem JKN. Kemudian Tim perencana obat dan Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK) menyusun rencana kebutuhan obat disesuaikan dengan ketersediaan anggaran. Tim perencana obat dan rencana kebutuhan obat yang akan diadakan tersebut ditandatangani oleh PPTK dan penanggung jawab bidang kefarmasian.

Mengacu kepada Permenkes Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2014 bahwa puskesmas dalam era BPJS diberikan wewenang kesehatan layanan primer mencakup 144 macam diagnosis penyakit maka seharusnya kebutuhan obat di puskesmas disesuaikan dengan 144 macam diagnosis penyakit, namun sewaktu dilakukan pemesanan kebutuhan obat pada tahun 2013 kebutuhan obat belum sepenuhnya mengacu kepada 144 macam diagnosis penyakit.

Berdasarkan survei pendahuluan pada Dinas Kesehatan Kota Medan diperoleh informasi ketersediaan obat tahun 2013 belum sesuai dengan yang dibutuhkan. Hal


(4)

ini dilihat dari kebutuhan obat yang telah ditetapkan untuk dipesan pada awalnya sebanyak 125 item ternyata setelah disesuaikan dengan E-catalog hanya 93 item kebutuhan obat yang dapat dipesan. Pada saat pengadaan kebutuhan obat ternyata hanya 69 item obat (74,2%) yang terealisasi selebihnya belum terealisasi. Penyebab ketidaksesuaian kebutuhan dengan realisasi obat ini diantaranya adalah; (a) sewaktu pemesanan kebutuhan obat melaui E-catalog ternyata tidak semua item obat yang dibutuhkan tertera (terdaftar) pada E-catalog, (b) kebutuhan obat yang telah dipesan sesuai dengan E-catalog tidak seluruhnya pula terealisasi.

Disamping itu jika diasumsikan kebutuhan obat mengacu kepada 144 macam diagnosis penyakit maka estimasi kebutuhan obat sebanyak 432 item. Sementara sampai dengan bulan Maret 2014 ketersediaan obat di instalasi farmasi Dinas Kesehatan Kota Medan hanya sebanyak 250 item. Ketersediaan obat di instalasi farmasi Kota Medan yang belum sepenuhnya sesuai dengan kebutuhan dikhawatirkan secara jangka panjang berdampak terhadap kebutuhan obat di Puskesmas sebagai PPK-I .

Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa petugas obat di puskesmas mengeluhkan ketersediaan obat ini, karena ketersediaan obat di instalasi farmasi Dinas Kesehatan Kota Medan tidak sesuai lagi dengan LPLPO kebutuhan puskesmas, sehingga pasien pengguna obat di puskesmas menerima jumlah dan jenis obat yang diresepkan oleh dokter untuk kebutuhan obat seminggu hanya bisa diberikan untuk kebutuhan obat selama 2-3 hari saja.

Dinas kesehatan Kota Medan dan puskesmas sebagai pelayan publik dalam aktivitasnya sehari-hari merupakan pusat pelayanan kesehatan yang paling dekat


(5)

dengan masyarakat yang menjadi bagian pelaksana program JKN kerap mendapat kritikan dari masyarakat. Citra negatif tentang birokrasi publik maupun rendahnya kualitas pelayanan publik tercermin pada maraknya tanggapan, keluhan dan cibiran di berbagai media cetak dan elektronik.

Upaya yang dilakukan Dinas kesehatan Kota Medan adalah mendistribusikan obat dengan cara membagi obat secara merata sesuai dengan realisasi kebutuhan obat yang diterima oleh instalasi farmasi Dinas Kesehatan Kota Medan ke seluruh puskesmas.

Hasil penelitian Sunarsih (2002) menyimpulkan bahwa (a) pola penggunaan obat pada terapi 5 penyakit utama (ISPA, infeksi usus, infeksi kulit, alergi kulit, sistim otot dan jaringan pengikat) sangat tergantung pada ketersediaan obat di Puskesmas, (b) pola penggunaan obat belum sesuai dengan pedoman pengobatan dasar di Puskesmas walaupun penerapan yang dilakukan menggunakan obat esensial, (c) perubahan ketersediaan obat di gudang farmasi kota dan di Puskesmas berpengaruh terhadap pola penggunaan obat pada terapi ISPA, infeksi kulit dan alergi kulit, yakni peningkatan penggunaan antibiotik, penggunaan injeksi dan rata-rata jumlah item obat.

Adanya kebijakan SJSN dan BPJS sebagai penyelenggara JKN terkait dengan Puskesmas sebagai PPK I serta Dinas Kesehatan Kota Medan sebagai pelaksana bidang pembangunan kesehatan maka perlu dikaji tentang ”Analisis Perencanaan Kebutuhan Obat dalam Implementasi Kebijakan Jaminan Kesehatan Nasional di Instalasi Farmasi Dinas Kesehatan Kota Medan.


(6)

1.2. Permasalahan

Adapun permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana perencanaan kebutuhan obat dalam implementasi kebijakan jaminan kesehatan nasional di Instalasi Farmasi Dinas Kesehatan Kota Medan.

1.3. Tujuan Penelitian

Mengetahui perencanaan kebutuhan obat dalam implementasi kebijakan jaminan kesehatan nasional di Instalasi Farmasi Dinas Kesehatan Kota Medan.

1.4. Manfaat Penelitian

Penelitian diharapkan bermanfaat bagi;

1. Dinas Kesehatan Kota Medan sebagai masukan tentang kebijakan perencanaan kebutuhan obat puskesmas secara efektif dan efisien.

2. BPJS dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya sebagai penyelenggara jaminan sosial melalui Jaminan Kesehatan Nasional.

3. Akademik, memperkaya khasanah ilmu pengetahuan administrasi dan kebijakan kesehatan khususnya yang berkaitan dengan pelayanan kebijakan publik.