BAB II lap. magang (2003)

7

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Beberapa Pengertian Pokok
2.1.1 Pengertian Pajak
Salah satu wujud dari kemandirian bangsa dalam pembiayaan pembangunan
adalah dengan menggali sumber dana yang bersumber dari dalam negeri, salah
satunya adalah pajak. Berikut ini pengertian pajak menurut beberapa ahli :
Menurut Supramono dan Theresia Woro Damayanti (2015 : 2), pajak
didefinisikan :
“Sebagai iuran kepada kas Negara berdasarkan Undang-undang (yang dapat
dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung
dapat ditunjukan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran-pengeluaran
umum”.
Definisi pajak menurut Undang-undang No.16 Tahun 2009 tentang ketentuan
dan tata cara perpajakan (Direktorat Jendral Pajak, 2013 : 15), pajak adalah :
“Kontribusi wajib kepada Negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan
yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan
imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Negara bagi sebesarbesarnya kemakmuran rakyat”.

Definisi pajak menurut Pandiangan (2014 : 4), pajak adalah :
“Pembayaran atau pengalihan sebagian penghasilan atau harta kekayaan yang
dimiliki oleh masyarakat kepada Negara yang dapat dipaksakan berdasarkan
undang-undang sebagai bentuk keikutsertaan dan partisipasi masyarakat dalam
Negara, namun pembayarannya tidak mendapatkan suatu balas jasa secara
langsung, yang digunakan untuk membiayai tugas Negara demi meningkatkan
kualitas dan kesejahteraan masyarakat”.
Berdasarkan beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa pajak
merupakan iuran wajib dari rakyat kepada Negara, pajak dipungut berdasarkan
Undang-undang, dalam pembayaran pajak tidak ada kontraprestasi atau tidak ada

8

balas jasa yang diberikan secara langsung kepada pembayar pajak, dan pajak
digunakan untuk membiayai pengeluaran Negara.
2.1.2

Pengertian Prosedur

Prosedur penting dimiliki bagi suatu organisasi agar segala sesuatu dapat

dilakukan secara seragam. Pada akhirnya prosedur akan menjadi pedoman bagi
suatu organisasi dalam menentukan aktivitas apa saja yang harus dilakukan untuk
menjalankan suatu fungsi tertentu. Untuk lebih jelasnya mengenai pengertian
prosedur menurut beberapa para ahli :
Menurut Mulyadi (2013 : 5), prosedur adalah :
“Prosedur merupakan suatu urutan kegiatan klerikal, biasanya melibatkan
beberapa orang dalam suatu Departemen atau lebih, yang dibuat untuk menjamin
penanganan secara seragam transaksi perusahaan yang terjadi berulang-ulang”.
Menurut Zaki Baridwan (2009 : 30), prosedur adalah :
“Suatu urutan-urutan pekerjaan klerikal (clerical), biasanya melibatkan beberapa
orang dalam satu bagian atau lebih, untuk menjamin perlakuan yang seragam
terhadap transaksi-transaksi perusahaan yang terjadi”.
Menurut Irra Crisyanti Dewi (2011 : 43), prosedur adalah :
“Tata cara kerja yaitu rangkaian tindakan, langkah atau perbuatan yang harus
dilakukan oleh seseorang dan merupakan cara yang tetap untuk dapat mencapai
tahap tertentu dalam hubungan mencapai tujuan akhir”.
Berdasarkan pendapat dari beberapa ahli mengenai prosedur, maka penulis
mengambil kesimpulan bahwa prosedur adalah rangkaian langkah-langkah yang
dilaksanakan untuk menyelesaikan kegiatan atau aktifitas. Sehingga dapat


9

tercapainya tujuan yang diharapkan secara efektif dan efisien, serta dapat dengan
mudah menyelesaikan suatu masalah serta terperinci menurut jangka waktu yang
telah ditentukan.
2.1.3

Pengertian Surat Ketetapan Pajak

Menurut Supramono dan Theresia Woro Damayanti (2015 : 30), Surat
Ketetapan Pajak adalah :
“Selisih antara pajak terutang dan pajak yang telah dibayar, akan diberikan Surat
Ketetapan Pajak (SKP) yang berupa Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar.
Sedangkan jika tidak terdapat selisih antara pajak terutang dan pajak yang dibayar,
maka diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Nihil”.
Menurut Siti Resmi (2014 : 48), Surat Ketetapan Pajak adalah :
“Surat ketetapan yang meliputi Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB),
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), Surat Ketetapan
Pajak Lebih Bayar (SKPLB), Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN). Wajib Pajak

wajib membayar pajak terutang tanpa menggantungkan diri terhadap keberadaan
SKP”.
Menurut Pohan (2017 : 126), Surat Ketetapan Pajak adalah :
“Produk dari pemeriksaan pajak yang dilakukan oleh fiskus terhadap Surat
Pemberitahuan (SPT) Tahunan Wajib Pajak yang meliputi Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan
Pajak Nihil, atau Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar”.
Berdasarkan beberapa definisi di atas mengenai Surat Ketetapan Pajak, maka
penulis mengambil kesimpulan bahwa Surat Ketetapan Pajak adalah selisih antara
pajak terutang yang dikenakan kepada Wajib Pajak dengan pajak yang sudah
dibayarkan. Selisih dapat berupa kurang bayar atau lebih bayar, maka diterbitkan
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar.
Sedangkan jika tidak terdapat selisih antara pajak terutang dan pajak yang dibayar,
maka yang diterbitkan adalah Surat Ketetapan Pajak Nihil.

10

2.1.4 Pengertian Keberatan
Keberatan merupakan langkah awal yang harus ditempuh Wajib Pajak jika
terjadi sengketa pajak. Pengajuan keberatan merupakan salah satu hak yang

diberikan UU Perpajakan (KUP) kepada Wajib Pajak dalam mencari keadilan atas
hasil pengawasan dan pemeriksaan pajak serta penagihan pajak dalam hal tidak
menyetujui hasil pemeriksaan pajak yang dilakukan Fiskus. Berikut pengertian
keberatan menurut beberapa ahli :
Menurut Chairil Anwar (2017 : 136), keberatan adalah :
”Tindakan yang ditempuh oleh Wajib Pajak jika merasa tidak/kurang puas atas
suatu

ketetapan

pajak

yang

dikenakan

kepadanya

atau


atas

pemotongan/pemungutan oleh pihak ketiga, dengan cara menyampaikan surat
keberatan hanya kepada Direktur Jenderal Pajak”.
Menurut Wirawan B. Ilyas dan Richard Burton (2013 : 141), keberatan
adalah:
“Ketika Wajib Pajak memperoleh suatu Surat Ketetapan Pajak dan merasa tidak
puas atas ketetapan pajak dimaksud, maka Wajib Pajak dapat mengajukan upaya
hukum dengan nama keberatan. Sesuai ketentuan Pasal 25 UU KUP, upaya
hukum keberatan diajukan ke Direktorat Jendral Pajak, yaitu ke Kantor Pelayanan
Pajak atau Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan (KPP/KPPBB) tempat
dimana Wajib Pajak terdaftar”.
Menurut Pandiangan (2014 : 209), keberatan adalah :
“Suatu upaya yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang diperkenankan ketentuan
perundang-undangan perpajakan sehubungan dengan penetapan pajak oleh
Direktorat Jendral Pajak, atau pemotongan/pemungutan pajak yang dilakukan
pihak lain, yang menurut pendapat Wajib Pajak tidak sesuai sebagaimana
mestinya”.
Berdasarkan pendapat dari beberapa ahli di atas mengenai keberatan, maka
penulis mengambil kesimpulan bahwa keberatan adalah upaya hukum yang

diajukan Wajib Pajak karena adanya perbedaan sudut pandang mengenai

11

penerapan dan penafsiran suatu ketentuan materil perpajakan antara Wajib Pajak
(WP) dengan Direktur Jendral Pajak (DJP). Upaya keberatan yaitu upaya WP
untuk menguji kebenaran penetapan pajak yang telah ditetapkan oleh DJP (KPP).
Keberatan yang diajukan yaitu mengenai material atau isi dari ketetapan pajak.
2.1.5

Pengertian Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

Menurut Supramono dan Theresia Woro Damayanti (2015 : 187), Pajak
Pertambahan Nilai (PPN) adalah :
“Pajak yang dikenakan atas konsumsi di dalam negeri (daerah pabean), baik
konsumsi Barang Kena Pajak (BKP) atau konsumsi Jasa Kena Pajak (JKP). Pajak
Pertambahan Nilai dikenakan atas setiap tambahan nilai dari suatu produk atau
jasa yang dihasilkan oleh pengusaha kena pajak. Pajak Pertambahan Nilai
dikenakan pada setiap rantai produksi maupun distribusi, baik pabrikan, agen
utama, maupun distributor utama”.

Menurut Diaz Priantara (2016 : 419), Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah :
“Pajak tidak langsung atas konsumsi di daerah pabean, artinya beban pajak
tersebut dapat dialihkan kepada pihak lain, sepanjang pihak yang mengalihkan
pajak tersebut memenuhi syarat sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP). Oleh
karena itu, PPN harus selalu dilekatkan atau dipungut pada setiap transaksi
penjualan atau yang dikenal sebagai transaksi penyerahan kena pajak. Demikian
juga pada saat PKP melakukan perolehan barang atau JKP dari PKP yang lain, ia
pasti akan dipungut PPN”.
Menurut Erly Suandy (2014 : 56), Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah :
“Pajak yang dikenakan terhadap penyerahan atau impor Barang Kena Pajak atau
Jasa Kena Pajak yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak, dan dapat dikenakan
berkali-kali setiap ada pertambahan nilai dan dapat dikreditkan”.
Berdasarkan beberapa definisi menurut para ahli dapat disimpulkan Pajak
Pertambahan Nilai (PPN) adalah pajak atas konsumsi dalam negeri Barang Kena
Pajak (BKP) dan/atau Jasa Kena Pajak (JKP). PPN merupakan pajak konsumsi,

12

artinya pihak yang dibebani untuk membayar PPN adalah konsumen sebagai
pihak yang melakukan konsumsi barang atau jasa tersebut.

2.2 Kajian Pustaka
2.2.1 Fungsi Pajak
Menurut Abdul Halim, dkk (2014 : 4), ada dua fungsi pajak, yaitu :
1.

Fungsi Budgetair
Pajak memberikan sumbangan terbesar dalam penerimaan Negara. Oleh
karena itu, pajak merupakan salah satu sumber penerimaan pemerintah untuk
membiayai pengeluaran baik rutin maupun pembangunan.
Contoh : penerimaan pajak sebagai salah satu sumber penerimaan APBN.

2.

Fungsi mengatur (Regulerend)
Pajak berfungsi sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan
pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi.
Contoh :
1)

Memberikan insentif pajak (tax holiday) untuk mendorong peningkatan

investasi di dalam negeri.

2)

Pengenaan pajak yang tinggi terhadap minuman beralkohol untuk
menekan penjualan minuman beralkohol.

3)

Pengenaan tarif pajak 0% atas ekspor untuk mendorong peningkatan
ekspor produk dalam negeri.

2.2.2

Jenis-jenis Pajak

Menurut Supramono dan Theresia Woro Damayanti (2015 : 10-11),
mengelompokkan jenis-jenis pajak sebagai berikut :
1.


Menurut Golongan

13

1) Pajak Langsung
Pajak yang pembebanannya tidak dapat dilimpahkan kepada pihak lain,
tetapi harus menjadi beban langsung Wajib Pajak yang bersangkutan.
Contoh : Pajak Penghasilan (PPh) merupakan pajak langsung karena
pengenaan pajaknya adalah langsung kepada Wajib Pajak yang menerima
penghasilan, tidak dapat dilimpahkan kepada Wajib Pajak lain.
2) Pajak Tidak Langsung
Pajak yang pembebanannya dapat dilimpahkan ke pihak lain.
Contoh : Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pajak tidak langsung
sebab yang menjadi Wajib Pajak PPN seharusnya adalah penjualnya,
tetapi pengenaan PPN dapat digeser kepada pembeli (pihak lain).
2.

Menurut Sifat
1) Pajak Subjektif
Pajak yang didasarkan memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak yang
selanjutnya dicari syarat objektifnya (memperhatikan keadaan subjeknya).
Contohnya yaitu Pajak Penghasilan (PPh).
2) Pajak Objektif
Pajak yang berpangkal pada objeknya tanpa memperhatikan keadaan diri
Wajib Pajak. Contohnya yaitu PPN dan Pajak Bumi dan Bangunan.

3.

Menurut Lembaga Pemungut
1) Pajak Pusat (Negara)
Pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk
membiayai pengeluaran Negara.

14

Contoh : PPh, PPN dan PPnBM, dan Bea Materai
2) Pajak Daerah
Pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah dan digunakan untuk
membiayai pengeluaran daerah. Pajak daerah terdiri atas :
(1) Pajak Provinsi, Contoh : Pajak Kendaraan Bermotor, Bea Balik Nama
Kendaran Bermotor, Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor, Pajak
Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan.
(2) Pajak Kabupaten, Contoh : pajak hotel, pajak restoran, pajak hiburan,
pajak reklame, pajak penerangan jalan, Pajak Bumi dan Bangunan
(PBB), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).
2.2.3 Tata Cara Pemungutan Pajak
2.2.3.1 Stelsel Pajak
Menurut Abdul Halim, dkk (2014 : 6), Stelsel Pajak merupakan tata cara atas
pemungutan pajak. Pemungutan pajak dapat dilakukan dengan tiga stelsel, yaitu :
1.

Stelsel Nyata (Riil)
Menurut stelsel nyata, pengenaan pajak didasarkan pada objek atau
penghasilan yang sesungguhnya diperoleh, sehingga pemungutannya baru
dapat dilakukan pada akhir tahun pajak, yakni setelah penghasilan yang
sesungguhnya diketahui.

2.

Stelsel Anggapan (fiktif)
Menurut stelsel anggapan, pengenaan pajak didasarkan pada suatu anggapan
yang diatur oleh undang-undang. Misalnya, penghasilan suatu tahun dianggap
sama dengan tahun sebelumnya, sehingga pada awal tahun pajak sudah dapat
ditetapkan besarnya pajak yang terutang untuk tahun pajak berjalan.

15

3.

Stelsel Campuran
Stelsel ini merupakan kombinasi antara stelsel nyata dan stelsel anggapan.
Pada awal tahun, besarnya pajak dihitung menggunakan stelsel anggapan,
kemudian pada akhir tahun, besarnya pajak disesuaikan kembali berdasarkan
stelsel nyata. Apabila jumlah pajak menurut stelsel nyata lebih besar daripada
pajak menurut stelsel anggapan, maka Wajib Pajak harus menambah.
Sebaliknya, jumlah pajak menurut stelsel nyata lebih kecil daripada menurut
stelsel anggapan, maka kelebihannya dapat diminta kembali (restitusi) atau
dikompensasi pada periode berikutnya.

2.2.3.2

Asas Pemungutan Pajak

Menurut Abdul Halim, dkk (2014 : 6-7), ada tiga asas yang digunakan dalam
pemungutan pajak, yaitu:
1.

Asas domisili (asas tempat tinggal)
Negara berhak mengenakan pajak atas seluruh penghasilan Wajib Pajak
berdasarkan domisili atau yang bertempat tinggal di wilayahnya. Wajib Pajak
yang domisili atau yang bertempat tinggal di Indonesia dikenakan pajak atas
seluruh penghasilan yang diperolehnya baik penghasilan yang berasal dari
dalam negeri maupun luar negeri.

2.

Asas Sumber
Negara berhak mengenakan pajak atas penghasilan yang bersumber di
wilayahnya tanpa memperhatikan tempat tinggal Wajib Pajak. Wajib Pajak
yang memperoleh penghasilan dari Indonesia dikenakan pajak di Indonesia
tanpa memperhatikan wilayah tempat tinggal Wajib Pajak.

16

3.

Asas Kebangsaan
Pengenaan pajak dihubungkan dengan kebangsaan suatu Negara. Pengenaan
pajak diberlakukan kepada setiap orang asing yang bertempat tinggal di

Indonesia.
2.2.3.3 Sistem Pemungutan Pajak
Menurut Abdul Halim, dkk (2014 : 7), sistem pemungutan pajak dibagi dalam
tiga bagian berikut ini :
1.

Official Assessment System,
Sistem pemungutan yang memberi wewenang kepada aparatur perpajakan
(fiskus) untuk menentukan/menghitung besarnya pajak yang terutang oleh
Wajib Pajak menurut perundang-undangan perpajakan yang berlaku.

2.

Self Assessment System,
Sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada Wajib Pajak
dalam menentukan sendiri besarnya pajak yang terutang. Wajib Pajak
menghitung, memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri besarnya
pajak yang harus dibayar. Fiskus tidak turut campur dalam perhitungan
besarnya pajak terhutang kecuali jika Wajib Pajak menyalahi aturan.

3.

With Holding System,
Sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga
(bukan fiskus dan bukan Wajib Pajak yang bersangkutan) untuk menentukan
besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak.

2.2.4

Karakteristik Prosedur

Karakteristik prosedur menurut Mulyadi (2013 : 8), di antaranya yaitu :

17

1.

Prosedur menunjang tercapainya tujuan organisasi.

2.

Prosedur mampu menciptakan adanya pengawasan yang baik dan
menggunakan biaya yang seminimal mungkin.

3.

Prosedur menunjukan urutan-urutan yang logis dan sederhana.

4.

Prosedur menunjukan adanya penetapan keputusan dan tanggung jawab.

5.

Prosedur menunjukan tidak adanya keterlambatan atau hambatan.

2.2.5

Manfaat Prosedur

Menurut Mulyadi (2013 : 15), suatu prosedur dapat memberikan beberapa
manfaat di antaranya :
1.

Lebih memudahkan dalam langkah-langkah kegiatan yang akan datang.

2.

Mengubah pekerjaan yang berulang-ulang menjadi rutin dan terbatas,
sehingga menyederhanakan pelaksanaan dan untuk selanjutnya mengerjakan
yang perlunya saja.

3.

Adanya suatu petunjuk atau program kerja yang jelas dan harus dipenuhi oleh
seluruh pelaksana.

4.

Membantu dalam usaha meningkatkan produktifitas kerja yang efektif dan
efisien.

5.

Mencegah terjadinya penyimpangan dan memudahkan dalam pengawasan,
bila terjadi penyimpangan akan dapat segera diadakan perbaikan-perbaikan
sepanjang dalam tugas dan fungsinya masing-masing.

2.2.6

Fungsi Surat Ketetapan Pajak

Menurut Supramono dan Theresia Woro Damayanti (2015 : 31), Surat
Ketetapan Pajak berfungsi sebagai :

18

1.

Sarana untuk melakukan koreksi jumlah pajak yang terhitung menurut SPT
Wajib Pajak yang nyata-nyata atau berdasarkan hasil pemeriksaan tidak
memenuhi kewajiban formal dan atau kewajiban materil dalam memenuhi
ketentuan perpajakan.

2.

Sarana untuk mengenakan sanksi administrasi perpajakan.

3.

Sarana administrasi untuk melakukan penagihan pajak.

4.

Sarana untuk mengembalikan kelebihan pajak dalam hal lebih bayar.

5.

Sarana untuk memberitahukan jumlah pajak yang terhutang.

2.2.7

Jenis-jenis Surat Ketetapan Pajak

Menurut Thomas Sumarsan (2013 : 56), jenis-jenis Surat Ketetapan Pajak
(SKP) adalah sebagai berikut :
1.

Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB).
Adalah surat ketetapan pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak,
jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya
sanksi administrasi, dan jumlah yang masih harus dibayar.

2.

3.

Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT).
Adalah surat ketetapan pajak yang menentukan tambahan atas jumlah pajak
yang telah ditetapkan sebelumnya.
Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB).
Adalah surat ketatapan pajak yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran
pajak karena jumlah kredit pajak lebih besar daripada pajak yang terutang

4.

atau tidak seharusnya terutang.
Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN).

19

Adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah pokok pajak sama
besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terhutang dan tidak ada
kredit pajak.
2.2.8

Pembetulan Surat Ketetapan Pajak

Menurut Thomas Sumarsan (2013 : 60-61), Wajib Pajak dapat mengajukan
permohonan kepada Direktur Jendral Pajak melalui KPP tempat Wajib Pajak
terdaftar, jika terdapat kesalahan atau kekeliruan dalam ketetapan pajak yang tidak
mengandung persengketaan Antara fiskus dan Wajib Pajak, dan dapat dibetulkan
oleh Direktur Jendral Pajak secara jabatan.
Kesalahan atau kekeliruan dalam ketetapan pajak yang dapat dibetulkan
adalah :
1.

Kesalahan tulis, kesalahan penulisan nama, alamat, NPWP, nomor surat
ketetapan pajak, Jenis Pajak, Masa atau Tahun Pajak dan tanggal jatuh tempo;

2.

Kesalahan hitung, yang berasal dari penjumlahan dan atau pengurangan dan
atau perkalian suatu bilangan;

3.

Kekeliruan dalam penerapan tarif, penerapan persentase Norma Perhitungan
Penghasilan Neto, penerapan sanksi administrasi, Penghasilan Tidak Kena
Pajak, penghitungan PPh dalam tahun berjalan, dan pengkreditan pajak.
Ketetapan pajak yang dapat dibetulkan karena kesalahan atau kekeliruan,

antara lain :
1.

Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB);

2.

Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT);

3.

Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB);

20

4.

Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN);

5.

Surat Tagihan Pajak (STP);

6.

Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak;

7.

Surat Keputusan Keberatan;

8.

Surat Keputusan Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi;

9.

Surat Keputusan Pengurangan atau Pembatalan Ketetapan Pajak yang tidak
benar.

2.2.9

Sebab Diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB)

Menurut Abdul Halim, dkk (2014 : 31), dalam jangka waktu 5 (lima) tahun
setelah saat terutangnya pajak atau berakhirannya masa pajak, bagian tahun pajak,
atau tahun pajak, Direktorat Jendral Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan
Pajak Kurang Bayar, yaitu apabila :
1.

Berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain pajak yang terutang tidak
atau kurang bayar.

2.

Surat Pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka waktu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) Undang-undang KUP dan setelah ditegur
secara tertulis tidak disampaikan pada waktunya sebagaimana ditentukan
dalam Surat Teguran.

3.

Berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain mengenai Pajak
Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM)
ternyata tidak seharusnya dikompensasikan selisih lebih pajak atau tidak
seharusnya dikenakan tarif 0%.

21

4.

Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 atau Pasal 29 UU KUP
mengenai pembukuan dan pemeriksaan tidak dipenuhi sehingga tidak dapat
diketahui besarnya pajak yang terutang.

5.

Kepada Wajib Pajak diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau
dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak secara jabatan.
Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang

Bayar sebagaimana dimaksud di atas ditambah dengan sanksi administrasi berupa
bunga 2% perbulan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, dihitung sejak saat
terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun
Pajak sampai dengan diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar.
Jumlah pajak dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar pada angka 2, 3,
dan 4 ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% dari
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) barang dan jasa, dan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah (PPnBM) yang tidak atau kurang bayar.

2.2.10 Tata Cara Pengajuan Keberatan
2.2.10.1 Hal-hal yang Dapat Diajukan Keberatan
Menurut Erly Suandy (2014 : 81), Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan
atas suatu :
1.

Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB).

2.

Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT).

3.

Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB).

4.

Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN).

5.

Pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga.

22

Pihak yang dapat mengajukan keberatan adalah sebagai berikut :
1.

Bagi WP Badan oleh Pengurus.

2.

Bagi WP Orang Pribadi oleh WP yang bersangkutan.

3.

Pihak yang dipotong/dipungut oleh pihak ketiga.

4.

Kuasa yang ditunjuk oleh mereka pada butir 1 s.d 3 diatas dengan surat kuasa
khusus untuk pengajuan keberatan.

2.2.10.2 Ketentuan Pengajuan Keberatan
Menurut Anastasia Diana dan Lilis Setiawati (2014 : 49), Wajib Pajak
menyampaikan Surat Keberatan ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat Wajib
Pajak terdaftar dan/atau tempat Pengusaha Kena Pajak dikukuhkan dengan cara :
1.

Menyampaikan secara langsung, dengan menerima bukti penerimaan surat.

2.

Melalui pos dengan bukti pengiriman surat.

3.

Melalui perusahaan jasa ekspedisi/jasa kurir dengan bukti pengiriman surat.

4.

E-filing, dengan menerima bukti penerimaan elektronik.
Bukti penerimaan surat, bukti pengiriman surat, dan bukti penerimaan

elektronik, merupakan tanda bukti penerimaan Surat Keberatan. Tanggal yang
tercantum dalam bukti penerimaan Surat Keberatan merupakan tanggal Surat
Keberatan diterima. Direktur Jendral Pajak dalam jangka waktu paling lama 12
(dua belas) bulan sejak tanggal Surat Keberatan diterima harus memberikan
keputusan atas keberatan yang diajukan.
Untuk dapat mengajukan upaya hukum keberatan, menurut Abdul Halim, dkk
(2014 : 40-41), Wajib Pajak harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
1.

Diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia.

23

2.

Mengemukakan jumlah pajak yang terutang atau jumlah pajak yang dipotong
atau dipungut atau jumlah rugi menurut penghitungan Wajib Pajak dengan

3.

disertai alasan-alasan yang menjadi dasar penghitungan.
1 (satu) surat keberatan diajukan hanya untuk 1 (satu) surat ketetapan pajak,

4.

untuk satu pemotongan pajak atau untuk satu pemungutan pajak.
Wajib Pajak telah melunasi pajak yang masih harus dibayar paling sedikit
sejumlah yang telah disetujui Wajib Pajak dalam pembahasan akhir hasil

5.

pemeriksaan.
Diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal dikirim surat
ketetapan pajak atau sejak tanggal pemotongan atau pemungutan pajak oleh
pihak ketiga kecuali Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu

6.

tersebut tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaan Wajib Pajak.
Surat keberatan ditandatangani oleh Wajib Pajak, dan dalam hal surat
keberatan ditandatangani oleh bukan Wajib Pajak, surat keberatan tersebut
harus dilampiri dengan surat kuasa khusus.
Surat keberatan yang memenuhi persyaratan akan diproses lebih lanjut oleh

Direktorat Jendral Pajak. Sebelum Direktorat Jendral Pajak menyampaikan Surat
Pemberitahuan Untuk Hadir, hal-hal yang dapat dilakukan dalam proses
penyelesaian keberatan adalah :
1.

Direktorat Jendral Pajak meminta keterangan, data, dan/atau informasi
tambahan dari Wajib Pajak.

2.

Wajib Pajak menyampaikan alasan tambahan atau penjelasan tertulis untuk
melengkapi dan/atau memperjelas surat keberatan yang telah disampaikan
baik atas kehendak Wajib Pajak yang bersangkutan maupun dalam rangka

24

memenuhi permintaan Direktur Jendral Pajak sebagaimana dimaksud pada
poin 1 di atas.
3.

Direktur Jendral Pajak melakukan pemeriksaan untuk tujuan lain dalam
rangka keberatan untuk mendapatkan data dan/atau informasi yang objektif
yang dapat dijadikan dasar dalam mempertimbangkan keputusan keberatan.
Menurut Erly Suandy (2014 : 82), hal yang dapat dimintakan oleh Wajib

Pajak dalam hal pengajuan keberatan adalah untuk keperluan pengajuan
keberatan, Wajib Pajak dapat meminta penjelasan/keterangan tambahan dan
Kepala KPP wajib memberikan penjelasan secara tertulis hal-hal yang menjadi
dasar pengenaan pajak, penghitungan rugi, atau pemotongan, atau pemungutan
pajak.
Menurut Pandiangan (2014 : 211), satu hal penting dalam pengajuan
keberatan adalah bahwa Wajib Pajak harus mengemukakan alasan-alasan
mengapa terjadi perbedaan dalam penghitungan pajak yang menimbulkan
keberatan, yang juga muncul ketika dilakukan pemeriksaan hingga pembahasan
akhir hasil pemeriksa.
Menurut Wirawan B. Ilyas dan Richard Burton (2013 : 143), Surat keberatan
yang tidak memenuhi persyaratan, maka surat keberatan tersebut tidak dianggap
sebagai surat keberatan. Namun demikian, sekalipun surat keberatan tidak
memenuhi persyaratan tersebut, surat permohonan keberatan yang masih dalam
jangka waktu yang ditentukan oleh undang-undang, maka Kantor Pajak dapat
meminta kepada Wajib Pajak agar melengkapi persyaratan. Ini dilakukan tentunya

25

dalam rangka memberikan pelayanan yang baik kepada Wajib Pajak, karena bisa
saja Wajib Pajak tidak memahami betul ketentuan undang-undang pajak.
2.2.10.3 Jangka Waktu Pengajuan Keberatan
Menurut Thomas Sumarsan (2013 : 73), keberatan harus diajukan dalam
jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal SKPKB, SKPKBT, SKPLB, SKPN atau
sejak tanggal dilakukan pemotongan/pemungutan oleh pihak ketiga.
1.

Untuk surat keberatan yang disampaikan langsung ke Kantor Pelayanan
Pajak, maka jangka waktu 3 (tiga) bulan dihitung sejak tanggal SKPKB,
SKPKBT, SKPLB, SKPN atau sejak dilakukan pemotongan/pemungutan oleh

2.

pihak ketiga sampai saat keberatan diterima oleh Kantor Pelayanan Pajak.
Untuk surat keberatan yang disampaikan melalui pos (harus dengan pos
tercatat), maka jangka waktu 3 (tiga) bulan dihitung sejak tanggal SKPKB,
SKPKBT, SKPLB, SKPN atau sejak dilakukan pemotongan/pemungutan oleh
pihak ketiga sampai dengan tanggal tanda bukti pengiriman melalui Kantor

Pos dan Giro.
2.2.10.4 Keputusan Atas Surat Keberatan
Menurut Wirawan B. Ilyas dan Richard Burton (2013 : 143-144), setelah
kantor pajak melakukan proses pemeriksaan, sesuai Pasal 26 ayat (3) UU KUP,
ada 4 (empat) kemungkinan keputusan yang dapat diterbitkan atau dikeluarkan
oleh Direktur Jendral Pajak. Keempat keputusan tersebut adalah :
1.
2.
3.
4.

Ditolak.
Diterima sebagian.
Diterima seluruhnya.
Menambah ketetapan pajak.
Apabila dalam proses pemeriksaan yang dilakukan oleh Direktur Jendral

Pajak diketahui tidak terdapat cukup alasan dan bukti, maka Direktorat Jendral

26

Pajak akan mengeluarkan keputusan menolak keberatan Wajib Pajak. Jika terjadi
keputusan demikian, konsekuensinya hanya ada dua, yaitu pertama, Wajib Pajak
harus tetap melunasi utang pajak sebesar yang tercantum dalam keputusan
keberatan. Kedua, Wajib Pajak dapat melakukan upaya hukum lebih lanjut, yaitu
melakukan banding ke Pengadilan Pajak.
Selanjutnya, apabila surat keberatan Wajib Pajak setelah dilakukan
pemeriksaan ternyata hanya sebagian alasan dan bukti yang mendukung untuk
dikuranginya jumlah pajak yang tercantum dalam ketetapan pajak, maka Direktur
Jendral Pajak akan mengeluarkan keputusan menerima sebagian.
Menurut Thomas Sumarsan (2013 : 74), dalam hal pengajuan keberatan Wajib
Pajak ditolak atau dikabulkan sebagian atau menambah besarnya jumlah pajak
yang masih harus dibayar, Wajib Pajak dikenai sanksi admnisitrasi berupa denda
50% dari jumlah pajak berdasarkan keputusan keberatan dengan pajak yang telah
dibayar sebelum saat mengajukan keberatan.
Direktur Jendral Pajak dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan
sejak tanggal surat keberatan diterima, harus memberikan keputusan atas
keberatan yang diajukan. Jika melebihi jangka waktu 12 (dua belas) bulan DJP
tidak memberi suatu keputusan, keberatan yang diajukan tersebut dianggap
dikabulkan.
2.2.11 Karakteristik PPN
Menurut Diaz Priantara (2016 : 419), karakteristik Pajak Pertambahan Nilai
(PPN) adalah sebagai berikut :
1. Pajak tidak langsung

27

Artinya beban PPN dapat dialihkan kepada pihak lain selaku pembeli Barang
atau penerima Jasa tersebut. Berbeda dengan PPh yang beban pajaknya
2.

ditanggung oleh Wajib Pajak secara langsung.
Pajak objektif
Artinya timbulnya kewajiban membayar PPN sangat ditentukan oleh adanya
objek pajaknya. Kondisi subjektif tidak dipertimbangkan. Berbeda dengan
PPh yang pengenaannya dan pembebanannya dikenakan dan dirasakan

3.

langsung oleh atau melekat kepada subjek pajaknya,
Multi-stage tax
PPN dikenakan secara bertahap di setiap dan di seluruh rantai produksi dan

4.

distribusi.
Non-kumulatif
Meskipun PPN adalah multi-stage tax tetapi PPN tidak bersifat kumulatif

5.

karena PPN mengenal adanya mekanisme pengkreditan pajak masukan.
Tarif tunggal
Tarif PPN sangat sederhana karena hanya ada tarif 10% untuk transaksi

6.

penyerahan barang atau jasa di dalam negeri atau 0% atas transaksi ekspor.
Credit Method
Ini artinya PPN terutang adalah selisih PPN yang harus dipungut untuk
transaksi penyerahan barang atau jasa di dalam negeri yang harus dikenakan
PPN (Pajak Keluaran) dengan PPN yang telah dipungut sehubungan
pembelian atau perolehan barang atau penerimaan jasa (Pajak Masukan).
Atau, pajak masukan yang memenuhi syarat dapat dikreditkan dengan pajak

7.

keluaran untuk menghitung pajak yang harus disetor ke Negara.
Konsumsi dalam negeri
Atas impor barang atau jasa dari luar negeri dan transaksi jual beli di dalam
negeri dikenakan PPN dengan tarif 10% sedangkan ekspor tidak atau
dikenakan tarif 0%.

28

2.2.12 Penghitungan PPN
Menurut Abdul Halim, dkk (2014 : 362), Pajak Pertambahan Nilai yang
terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif PPN dengan Dasar Pengenaan
Pajak (DPP) yang meliputi Harga Jual, Penggantian, Nilai Impor atau nilai lain.
Penghitungan ini dapat dirumuskan sebagai berikut :
PPN = Tarif PPN x Dasar Pengenaan Pajak (DPP)
Menurut Diaz Priantara (2016 : 449-450), tarif PPN pada umumnya adalah
10%. Namun, tarif PPN sebesar 0% dapat diterapkan atas :
1.

Ekspor Barang Kena Pajak (BKP) berwujud.

2.

Ekspor BKP tidak berwujud.

3.

Ekspor Jasa Kena Pajak (JKP).
Pengenaan tarif 0% (nol persen) tidak berarti pembebasan dari pengenaan

PPN. Dengan demikian, tarif PPN dapat diubah menjadi paling rendah 5% dan
paling tinggi 15% yang perubahan tarifnya diatur dengan Peraturan Pemerintah.
2.2.13 Mekanisme Pengenaan PPN
Menurut Supramono dan Theresia Woro Damayanti (2015 : 181), Pajak
Pertambahan Nilai dikenakan atas setiap tambahan nilai dari suatu produk atau
jasa yang dihasilkan oleh Pengusaha Kena Pajak. Pajak Pertambahan Nilai
dikenakan pada setiap rantai produksi maupun distribusi baik pabrikan, agen
utama maupun distributor utama. Karena sistem pemungutannya yang hanya
dikenakan terhadap setiap pertambahan nilai maka dalam perhitungan pajaknya
menggunakan mekanisme kredit pajak. Kredit pajak dalam Pajak Pertambahan
Nilai adalah dengan mengurangkan Pajak Keluaran dengan Pajak Masukan.

29

Pajak Masukan adalah Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya sudah
dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak karena perolehan Barang Kena Pajak atau
Jasa Kena Pajak. Sedangkan Pajak Keluaran adalah Pajak Pertambahan Nilai yang
dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak atau
Jasa Kena Pajak. Jika Pajak Masukan lebih kecil dari Pajak Keluaran maka akan
timbul pajak kurang bayar (hutang PPN) sedangkan jika pajak masukan lebih
besar dari pajak keluaran maka akan timbul pajak lebih bayar (piutang PPN).
Jika timbul hutang PPN maka Wajib Pajak diharuskan untuk menyetor PPN
yang terutang ke kas Negara melalui Bank Persepsi atau Kantor Pos. Sedangkan
jika yang timbul adalah piutang PPN maka Wajib Pajak yang bersangkutan berhak
mengajukan

restitusi

(pengembalian

kelebihan

pajak)

atau

mengajukan

kompensasi terhadap hutang PPN yang timbul pada periode selanjutnya.

Dokumen yang terkait

PENGEMBANGAN MEDIA KOPER-X (KOTAK PERKALIAN) UNTUK MENINGKATKAN PEMAHAMAN SISWA PADA MATERI PERKALIAN SISWA KELAS II DI SD NEGERI MOJOLANGU 2

8 90 18

DISKRESI DALAM PELAKSANAAN PROGRAM BANTUAN SISWA MISKIN SEKOLAH DASAR (BSM-SD) (Studi Kasus di Sekolah Dasar Negeri Sebanen II Kalisat Kabupaten Jember)

1 35 17

EFEKTIVITAS IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENEMPATAN TENAGA KERJA INDONESIA DI LUAR NEGERI (PTKLN) BERDASARKAN PERATURAN DAERAH PROPINSI JAWA TIMUR NO.2 TAHUN 2004 BAB II PASAL 2 DI KABUPATEN BONDOWOSO (Studi Kasus pada Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupa

3 68 17

Hubungan pH dan Viskositas Saliva terhadap Indeks DMF-T pada Siswa-siswi Sekolah Dasar Baletbaru I dan Baletbaru II Sukowono Jember (Relationship between Salivary pH and Viscosity to DMF-T Index of Pupils in Baletbaru I and Baletbaru II Elementary School)

0 46 5

IMPLEMENTASI MODEL COOPERATIVE LEARNING TIPE STAD (STUDENT TEAMS ACHIEVEMENT DIVISION) UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA PADA POKOK BAHASAN MENGENAL UNSUR BANGUN DATAR KELAS II SDN LANGKAP 01 BANGSALSARI

1 60 18

Peningkatan keterampilan menyimak melalui penerapan metode bercerita pada siswa kelas II SDN Pamulang Permai Tangerang Selatan Tahun Pelajaran 2013/2014

20 223 100

LATIHAN UJIAN NASIONAL SMA 2013 UNTUK KELAS IPA BAB 1. Pangkat, Akar, dan Logaritma

0 47 1

SOAL ULANGAN HARIAN IPS KELAS 2 BAB KEHIDUPAN BERTETANGGA SEMESTER 2

12 263 2

TINJAUAN TENTANG ALASAN PERUBAHAN KEBIASAAN NYIRIH MENJADI MEROKOK DI KALANGAN IBU-IBU DI DUSUN TRIMO HARJO II KELURAHAN BUMI HARJO KECAMATAN BUAY BAHUGA KABUPATEN WAY KANAN

3 73 70

TEKNIK REAKSI KIMIA II

0 26 55