TAP.COM - JOIJOI - JOURNAL | UNAIR - UNIVERSITAS AIRLANGGA

Jurnal Oftalmologi Indonesia Vol. 5, No. 1, April 2007 : Hal. 58 - 64

I S S N . 1 6 9 3 - 2 5 8 7

Jurnal Oftalmologi Indonesia

JOI

HUBUNGAN ANTARA BESARNYA ANISOMETROPIA DENGAN KEDALAMAN
PENGLIHATAN BINOKULER DAN AMBLIOPIA PADA ANAK USIA SEKOLAH
DI UNIT RAWAT JALAN MATA RSU DR. SOETOMO SURABAYA
Yulianti Kuswandari, Hamidah M. Ali
Bag./SMF Ilmu Penyakit Mata Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/RSU Dr. Soetomo Surabaya

ABSTRACT
Purpose: To investigate the correlation between degree of anisometropia to depth of binocular vision and
amblyopia.
Methods: Thirthy six patients with anisometropia were studied. The difference of refraction of each patient
was recorded. Patients, corrected with spectacles, were evaluated using Bagolini glasses test, Worth Four Dot
Test, Synophtophore, and TNO stereo test.
Results: Most patiens indicated fusion by the Bagolini glasses, Worth Four Dot Test, and Synophtophore. Six

patients indicated scotoma by the Bagolini glasses, and one patient showed suppression. On TNO test,
stereoacuty levels were normal in 12 patients. Twenty four patiens indicated reduced or absent of stereoacuity.
Synophtophore evaluation showed 10 orthophoria patiens , 25 esotropia patients and one patient missed the test.
Conclusion: Anisometropia does not correlate significantly to the depth of amblyopia. There is a correlation
between anisometropia and binocular vision.
Key words: anisometropia, binocular vision, amblyopia

PENDAHULUAN
Pengukuran fungsi penglihatan adalah penting
sebab dapat membantu menentukan penglihatan
binokuler sejak awal. Kelainan tajam penglihatan
dapat mempengaruhi penglihatan binokuler. Adanya
perbedaan tajam penglihatan antara mata kanan dan
kiri lebih sensitif mempengaruhi penglihatan
1
binokuler.
Untuk tercapainya penglihatan tunggal
diperlukan tiga syarat yang harus terpenuhi yaitu faal
masing-masing mata harus baik, seluruh otot-otot
luar kedua mata dapat bekerja sama dengan baik

dan susunan saraf pusat yang baik.2,3
Penanganan anisometropia secara dini penting oleh
karena berbagai hal atau masalah dapat terjadi yaitu
supresi, gangguan penglihatan binokuler, ambliopia
dan akhirnya berkembang menjadi mikrostrabismus
ataupun makrostrabismus

Pengertian anisometropia sampai sekarang
masih diperdebatkan. Beberapa penulis seperti
Sloane, Pickwell, Vaughan dan Duke Elder
menyebutkan pengertian anisometropia merupakan
terminologi yang diberikan pada suatu kondisi
dimana refraksi pada kedua mata adalah tidak sama.
Perbedaan kelainan refraksi antara mata kanan dan
kiri bisa ringan sampai berat. Sloane 1979, membagi
menjadi beberapa tingkatan yaitu: pertama
perbedaan refraksi antara kedua mata kurang dari
1,5D dimana kedua mata masih dapat dipakai
bersama sama dengan fusi yang baik dan
stereoskopik, kedua perbedaan refraksi antara

kedua mata 1,5D sampai 3D (perbedaan silinder
lebih bermakna dibandingkan sferis) dan ketiga
perbedaan refraksi lebih dari 3D.
Penglihatan binokuler adalah penglihatan yang
mempergunakan kedua mata secara serentak

58
1

59

Jurnal Oftalmologi Indonesia Vol. 5, No. 1, April 2007

JOI

Hubungan Antara Besarnya Anisometropia

disertai koordinasi tingkat tinggi sedemikian rupa
sehingga menghasilkan sensasi penglihatan
tunggal. Worth (1901), membagi penglihatan

binokuler menjadi 3 tingkat yaitu persepsi simultan,
fusi dan penglihatan stereoskopis.

penderita unit rawat jalan mata RSU Dr. Soetomo
Surabaya usia sekolah dengan perbedaan refraksi
antara mata kanan dan kiri.
Besar sampel:

2

Za + Z b

Persepsi simultan adalah kemampuan untuk
melihat secara serentak dua bayangan yang
terbentuk pada masing-masing mata.4,5
Fusi dibagi menjadi dua macam yaitu fusi
sensorik dan fusi motorik. Fusi sensorik adalah
kemampuan seseorang menyatukan dua bayangan
retina mata kanan dan kiri yang sesuai, baik di fovea
maupun diluar fovea,

menjadi satu bayangan
tunggal. Sedangkan gerakan reflek dari kedua mata
untuk mendapatkan kedudukan binokuler yang tepat
sehingga fusi sensoris dapat dipertahankan disebut
fusi motorik. Fusi motorik hanya dimiliki oleh retina
perifer.2,3,6
Penglihatan stereoskopik adalah pengaturan
relatif dari persepsi kedalaman obyek visual, normal
60 detik busur atau lebih kecil.2,3,7
Ambliopia secara klinis didefinisikan sebagai
penurunan tajam penglihatan dengan koreksi terbaik
dimana pada pemeriksaan klinis tidak didapatkan
gangguan organis pada mata dan tidak dapat
dikoreksi maksimal serta tidak ada lesi pada lintasan
penglihatan di system saraf pusat, dapat unilateral
atau bilateral.6,8

Variabel yang diamati adalah: anisometropia,
penglihatan binokuler, ambliopia, umur dan jenis
kelamin.


BAHAN DAN METODE
Penelitian ini bersifat deskriptif (observasional
dan cross sectional) dengan tujuan umum untuk
mengetahui hubungan antara anisometropia dengan
penglihatan binokuler pada anak usia sekolah di unit
rawat jalan mata RSU Dr. Soetomo Surabaya dan
tujuan khusus untuk mengukur derajat
anisometropia, mengukur penglihatan binokuler
pada penderita anisometropia dan menghitung jumlah
penderita anisometropia yang mengalami ambliopia.
Sebagai hipotesa adalah ada hubungan antara
derajat anisometropia dengan kedalaman
penglihatan binokuler dan ada hubungan antara
derajat anisometropia dengan ambliopia.
Penelitian dilakukan di unit rawat jalan mata
RSU Dr. Soetomo Surabaya. Penelitian dilakukan
mulai bulan November 2005 sampai mencapai
jumlah sampel terpenuhi. Populasi penelitian adalah


Definisi operasional
Anisometropia. menurut Sloane, Pickwell,
Vaughan dan Duke Elder yaitu suatu kondisi dimana
refraksi pada kedua mata tidak sama. Sloane 1979,
membagi menjadi beberapa tingkatan: pertama
perbedaan refraksi antara kedua mata kurang dari
1,5D dimana kedua mata masih dapat dipakai
bersama sama dengan fusi yang baik dan
stereoskopik, kedua perbedaan refraksi antara
kedua mata 1,5D sampai 3D (perbedaan silinder
lebih bermakna dibandingkan sferis) dan ketiga
perbedaan refraksi lebih dari 3D.
Taj a m p e n g l i h a t a n d i p e r i k s a d e n g a n
menggunakan kartu Snellen atau kartu E. Bila
terdapat kelainan refraksi visus dikoreksi sampai
menghasilkan refraksi terbaik. Penglihatan binokular
tunggal adalah suatu sistem penglihatan pada kedua
mata secara serentak disertai koordinasi tingkat

n=


0,5 ln 1+r
1-r

+3

r = 0.6 9

Besar sample (n) = 19 orang , tetapi besar sampel
minimal uji statistik p = 0,5 maka dipakai besar
sampel 30 + 10% = 33 orang
Kriteria inklusi: Keadaan umum baik, terdapat
perbedaan refraksi antara mata kanan dan kiri, tidak
didapatkan kelainan segmen anterior maupun
posterior yang mengganggu visus, tidak didapatkan
makrostrabismus, tidak pernah menjalani operasi
strabismus, bersedia mengikuti penelitian.
Kriteria eksklusi: tidak kooperatif, terdapat kelainan
segmen anterior yang memungkinkan terjadinya
ambliopia seperti ptosis, paska pembedahan

palpebra, kekeruhan kornea dan katarak, terdapat
kelainan segmen posterior seperti kelainan retina
dan kelainan saraf optik.

60

Jurnal Oftalmologi Indonesia Vol. 5, No. 1, April 2007

JOI

Hubungan Antara Besarnya Anisometropia

tinggi sehingga menghasilkan suatu persepsi
bayangan tunggal.8 Pemeriksaan menggunakan uji
empat titik dari Worth, uji kaca beralur Bagolini, uji
prisma base out 4 Δ, synoptophore dan Tes TNO.
Kriteria ambliopia menurut Duke Elder adalah
penurunan tajam penglihatan yang secara
optalmoskopis tak ditemukan kelainan pada retina
ataupun kelainan lintasan aferen penglihatan.

Penilaian perbedaan yaitu dua tingkat dari bawah
pada Snellen Chart.
Umur responden pada saat penelitian antara 6
sampai 17 tahun. Jenis kelamin responden laki-laki
dan perempuan.
Cara Kerja
Dicatat data umum meliputi nama, umur, jenis
kelamin. Tajam penglihatan diperiksa dengan
menggunakan kartu Snellen. Dicatat berapa besar
kelainan refraksi dan apakah terdapat ambliopia.
Segmen anterior diperiksa menggunakan slit lamp
sedangkan segmen posterior dengan oftalmoskop
direk. Pemeriksaan penglihatan binokuler dengan
tes Bagolini menggunakan kaca beralur Bagolini,
kemudian dilakukan tes empat titik dari Worth untuk
melihat apakah terdapat diplopia, supresi atau
normal. Pemeriksaan synoptophore meliputi
persepsi simultan, fusi dan stereoskopis.
Selanjutnya dilakukan tes stereoskopis dengan
menggunakan tes TNO.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Tabel 1.
Distribusi penderita anisometropia menurut jenis kelamin dan
Frekuensi
Jenis Kelamin

P

25

69.4

L

11

30.6

36

100.0

- 3th

-

0

- 6th

1

2.8

- 9th

10

27.7

-12th

14

38.9

-15th

3

8.3

>15th

8

22.2

36

100

Total
Umur

%

Tabel 2.
Distribusi penderita menurut kelainan refraksi dan anisometropia
Frekuensi

%

Miopia ringan

7

19.4

Miopia sedang

12

33.3

Miopia berat

4

11.1

Miopia astigmat

13

36.1

Total

36

Derajat Anisometropia 0.25 – 1.50

100

29

80.6

3.00

1

2.8

(Dioptri)

Total

36

JOI

Hubungan Antara Besarnya Anisometropia

Didapatkan jumlah subjek sebanyak 36 orang.
Laki-laki berjumlah 11(30.6%)
sedangkan
perempuan sebanyak 25(69.4%).
Kelompok umur terbanyak adalah >9-12 tahun
yaitu 14 orang (38-9%), sedangkan termuda adalah
umur 6 tahun sebanyak 1 orang (2.8%). Pada
penelitian yang dilakukan oleh David RW (2001),
rata-rata umur semua subjek penelitian adalah 105
bulan (8.75 tahun dengan rentang umur antara 37
sampai 174 bulan).10

Kelainan refraksi

61

Jurnal Oftalmologi Indonesia Vol. 5, No. 1, April 2007

100

Didapatkan kelainan refraksi terbanyak adalah
miopia astigmat sebanyak 13(36.1%), miopia
sedang sebanyak 12(33.3%), miopia ringan
7(19.4%) dan miopia berat sebanyak 4(11.1%).
Sedangkan untuk besarnya anisometropia
terbanyak adalah 0.25D - 1.50D sebanyak 29 orang
(80.6%), kedua >1.50D - 3.00D sebanyak 6 orang
(16.6%) dan >3.00 sebanyak 1 orang (2.8%). Ratarata anisometropia 1.0139 dengan nilai terendah
0.25 dan nilai tertinggi 4.00. Menurut penelitian David
RW 2001, didapatkan jumlah subjek penelitian
dengan kelainan refraksi miopia, hipermetropia,
astigmat miopia, astigmat hipermetropia dengan
rentang antara 0.5 sampai >10. Subjek penelitian
dengan anisometropia miopia 138 orang,
anisometropia hipermetropia 139 orang, astigmat
miopia 44 orang dan astigmat hipermetropia 40
orang.

Tabel 3.
Distribusi penderita menurut beratnya ampbliopia dan
Visus

Skor
ampbliopia

Frekuensi

Tabel 5.
Distribusi penderita anisometropia pada pemeriksaan Worth Four
Dot Test (WFDT)

%

WFDT jauh

WFDT dekat

28 (77.8%)

33 (91.7%)

6/6

0

22

61,1

6/7.5

1

4

11,1

6/8.5

2

2

5,6

Supresi

8 (22.2%)

2

(5.6%)

6/10

4

2

5,6

6/12

5

2

5,6

Diplopia

0

1

(2.8%)

6/20

7

1

2,8

6/40

10

1

2,8

6/60

11

1

2,8

2/60

12

1

2,8

Total

36

100

Total

Jumlah subjek penelitian anisometropia dengan
ambliopia, rata-rata 1.83 dimana dari 36 subjek
penelitian sebanyak 22(61.1%) tidak didapatkan
ambliopia. Terbanyak didapatkan pada visus 6/7.5.
Sedangkan pada visus 6/8.5,6/10 dan 6/12 masingmasing 2 (5.6%). Visus 6/20, 6/40, 6/60 dan 2/60
masing-masing 1(2.8%). Penelitian yang dilakukan
David RW, (2001), didapatkan rata-rata tajam
penglihatan yang baik adalah 20/20 sedang tajam
penglihatan yang lebih jelek adalah antara 20/20
sampai 20/432.
Tabel 4.
Distribusi penderita anisometropia pada pemeriksaan Bagolini
Frekuensi
Bagolini

Fusi

%

Fusi

29

80.6

Supresi

1

2.8

Skotoma

6

16.7

Total

36

100.0

Pada pemeriksaan penglihatan binokuler
dengan Bagolini, fusi terdapat pada 80.6% subjek
yang berarti 29 orang, satu subjek didapatkan
supresi dan 6 orang (16.7%) didapatkan skotoma.
Sedangkan pada penelitian yang dilakukan Tomac S
(2001), semua penderita sebanyak 25 (100%)
didapatkan fusi.9

36 (100.0%)

36 (100.0%)

Pemeriksaan Worth Four Dot Test jauh
didapatkan fusi 28 (77.8%) dan supresi 8(22.2%),
sedangkan untuk dekat 33 (91.7%) fusi, supresi
2(5.6%) dan didapatkan diplopia pada 1 subjek.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Tomac S (2001),
pemeriksaan Worth Four Dot tes jarak jauh penderita
dengan fusi 15 orang (60%), supresi 9 orang (36%)
dan diplopia 1 orang (4%).9
Tabel 6.
Distribusi anisometropia menurut derajat penglihatan binokuler
Maples
Frekuensi

%

Supresi

9

25.0

Simultan

1

2.8

Superimposed

26

72.2

Total

36

100.0

Sesuai dengan derajat penglihatan dari Maples
26 orang(72.2%) didapatkan hasil superimposed,
dan paling sedikit 1(2.8%) simultan. Sedangkan
supresi terjadi pada 9(25.0%) subjek penelitian.
Tomac S (2001), menjelaskan subjek penelitian pada
pemeriksaan dengan Worth Four Dot tes yang
supresi dan diplopia menunjukkan bahwa disini
hubungan antara anisometropia dan ambliopia lebih
tinggi dari pada subjek penelitian yang pada
pemeriksaan didapatkan fusi dengan perbandingan
p= 0.0054: p= 0.0001. Rata-rata besar anisometropia
2.33D dan rata-rata ambliopia sebesar 7 baris
dimana tidak didapatkan fusi pada jarak jauh. Pada
pemeriksaan jarak dekat menunjukkan supresi
3(12%) dan pada jarak jauh juga supresi. Pada 7

62

Jurnal Oftalmologi Indonesia Vol. 5, No. 1, April 2007

JOI

Hubungan Antara Besarnya Anisometropia

subjek penelitian yang mengalami supresi dan
diplopia pada jarak jauh dan dekat didapatkan
hubungan yang tidak bermakna antara
anisometropia dengan ambliopia pada kedua grup.
(p=0.7143: p= 0.5476).9
Tabel 7.
Distribusi penderita anisometropia pada pemeriksaan
Frekuensi

%

Ortoforia + stereoskopis positif

11

30.6

Esotropia + Stereoskopis positif

17

47.2

Esotropia + Stereoskopis negatif

5

13.9

Ortoforia + Stereoskopis negatif

1

2.8

Tidak bisa

2

5.6

Total

36

100.0

Pada pemeriksaan penglihatan binokuler
dengan synoptophore yang terdiri dari persepsi
simultan, fusi dan stereoskopis, terbanyak berupa
esotropia untuk persepsi simultan dan fusi serta
stereoskopis positif yaitu: 17 orang (47.2%) dan
paling sedikit ortoforia dengan stereoskopis negatif
yaitu 1 orang (2.8%). Sebanyak 11 orang (30.6%)
mempunyai penglihatan binokuler, ortoforia dengan
stereoskopis positif, 5 orang (13.9%) didapatkan
esotropia tanpa stereoskopis. Sedangkan 2 orang
(5.6%) tidak didapatkan persepsi simultan, fusi
maupun stereoskopis.
Tabel 8.
Distribusi penderita anisometropia pada pemeriksaan stereoskopis
Detik busur

Frekuensi

%

30

3

8.3

60

9

25.0

120

7

19.4

240

7

19.4

480

3

8.3

800

1

2.8

Tidak bisa

6

16.7

Total

36

100.0

Tabel 9.
Hubungan antara anisometropia dengan Bagolini, Worth Four Dot
test, Synoptophore, TNO tes dan Ambliopia
Spearman’s rho
Correlation

Bagolini WFDT

Sinoptofor TNO

Ambliopia

0.072

0.575

0.134

-0.343

JOI

Hubungan Antara Besarnya Anisometropia

Pemeriksaan dengan tes stereoskopis TNO
didapatkan rata-rata 359.2857 detik busur.
Terbanyak penderita dengan penglihatan binokuler
sebesar 60 detik busur yaitu: 9 orang (25.0%)
sedangkan paling sedikit pada 800 detik busur yaitu
1(2.8%). Penderita yang tidak mempunyai
stereoskopis sebanyak 6(16.7%) subjek. Pada
penglihatan binokuler normal tajam penglihatan
stereoskopiknya 60 detik busur atau lebih kecil 2,3,7.
Cooper dkk 1979, menggunakan tes stereoskopik
TNO mendapatkan hasil 98 detik busur (4 tahun) dan
72 detik busur (5 tahun). Dari penelitian Hamidah
pada murid taman kanak-kanak di Sidoarjo pada
tahun 2000 dengan menggunakan Worth Four Dot
Test untuk fusi dan Titmus test untuk penglihatan
stereoskopis didapatkan hasil rata- rata penglihatan
stereoskopik 75.17 detik busur dimana 74.88%
mempunyai penglihatan binokuler normal atau lebih
baik11. Penelitian Tomac S (2001), hasil rata-rata 19
subjek penelitian dengan penglihatan stereoskopis
positif adalah 634.7 detik busur (median: 240 detik
busur). Enam orang (24%) didapatkan stereoskopis
normal, 13 orang (52%) stereoskopis yang menurun
dan 6 orang (24%) tidak didapatkan stereoskopis.

Anisometropia

63

Jurnal Oftalmologi Indonesia Vol. 5, No. 1, April 2007

0.611

Coefficient
Sig.(2-tailed)

0.675

0.040

0.000

0.000

0.438

N

36

36

36

36

36

p

Dokumen yang terkait

EVALUASI TARIF ANGKUTAN ANTAR KOTA TRAYEK TERMINAL LEMPAKE / SAMARINDA - TERMINAL SANGATTA BERDASARKAN BIAYA OPERASIONAL KENDARAAN

4 108 15

PERAN PERAWAT DALAM IMPLEMENTASI KOLABORATIF PEMBERIAN TERAPI INSULIN SEBAGAI TINDAKAN DALAM PENURUNAN KADAR GULA DALAM DARAH PADA KLIEN DENGAN HIPERGLIKEMI DI RUANG AIRLANGGA RSUD KANJURUHAN KEPANJEN TAHUN 2012

1 55 23

HUBUNGAN ANTARA LOCUS OF CONTROL DENGAN MOTIVASI BERPRESTASI PADA MAHASISWA S1–KEPERAWATAN DI FAKULTAS ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

9 108 28

STUDI PENGGUNAAN KOMBINASI FUROSEMID - SPIRONOLAKTON PADA PASIEN GAGAL JANTUNG (Penelitian di Rumah Sakit Umum Dr. Saiful Anwar Malang)

15 131 27

Pola Mikroba Penyebab Diare pada Balita (1 bulan - 5 tahun) dan Perbedaan Tingkat Kesembuhan Di RSU.Dr.Saiful Anwar Malang (Periode Januari - Desember 2007)

0 76 21

KONSTRUKSI BERITA MENJELANG PEMILU PRESIDEN TAHUN 2009 (Analisis Framing Pada Headline Koran Kompas Edisi 2 juni - 6 juli 2009)

1 104 3

ERBANDINGAN PREDIKSI LEEWAY SPACE DENGAN MENGGUNAKAN TABEL MOYERS DAN TABEL SITEPU PADA PASIEN USIA 8-10 TAHUN YANG DIRAWAT DI KLINIK ORTODONSIA RUMAH SAKIT GIGI DAN MULUT UNIVERSITAS JEMBER

2 124 18

Improving the VIII-B Students' listening comprehension ability through note taking and partial dictation techniques at SMPN 3 Jember in the 2006/2007 Academic Year -

0 63 87

Kerjasama Kemanan Antara Autralia - Indonesia Dalam Mengataasi Masalah Terorisme Melalui Jakarta Centre For Law Enforcement Cooperation (JCLEC)

1 25 5

SISTEM INVENTORY JURUSAN ILMU KOMPUTER di UNIVERSITAS LAMPUNG

2 26 45