Persepsi Pedagang Terhadap Teritori Dalam Penggunaan Ruang Publik (Studi Kasus : Koridor Jalan Iskandar Muda, Medan)

BAB II.
KAJIAN PUSTAKA

2.1.

Koridor Kota sebagai Ruang Publik
Ruang sebagai salah satu komponen arsitektur menjadi sangat penting

dalam pembahasan studi mengenai hubungan arsitektur lingkungan dan perilaku
karena fungsinya sebagai wadah kegiatan manusia (Haryadi & Setiawan, 2010).
Ruang kota merupakan ruang publik yang dapat diakses oleh semua masyarakat
kota dan dapat digunakan bersama (Zahrah et al. 2016). Tanpa kita sadari, jalan
merupakan ruang publik terbesar dan pasti dimiliki oleh setiap kota dengan
berbagai aktivitas di dalamnya.

2.1.1. Ruang Publik
Ruang Publik merupakan ruang atau wadah yang terbentuk karena
adanya kebutuhan akan tempat untuk bertemu ataupun berkomunikasi.
Pada dasarnya, ruang publik ini merupakan suatu tempat untuk
menampung aktivitas tertentu dari manusia, baik secara individu maupun
berkelompok (Prihutami, 2008).


Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2007,
bahwa ruang terbuka dapat didefinisikan sebagai ruang-ruang dalam kota
atau wilayah yang lebih luas baik dalam bentuk area/ kawasan maupun
dalam bentuk area memanjang / jalur dimana dalam penggunaannya lebih
bersifat terbuka yang pada dasarnya tanpa bangunan. Ketersediaan ruang
publik kota sangatlah penting dalam perencanaan kota guna meningkatkan
kualitas kehidupan perkotaan. Peranan ruang publik sebagai salah satu
komponen kota dapat memberikan karakter tersendiri, dan pada umumnya
memiliki fungsi interaksi sosial bagi masyarakat, kegiatan ekonomi serta
tempat apresiasi budaya (Darmawan, 2007). Ruang publik juga harus
memenuhi beberapa faktor agar berhasil yaitu melalui aspek sirkulasi/
aksesibilitas. Dengan kata lain, ruang publik harus tetap dapat diakses bagi
seluruh penggunanya dan dapat merefleksikan komunitas sekitarnya.

6

Universitas Sumatera Utara

Sehingga segala bentuk aktivitas, termasuk aktivitas komersial di dalam

suatu ruang publik harus dapat membuat para user merasa ikut dilibatkan
dalam aktivitas tersebut.
Menurut Hakim dan Utomo (2003), ruang publik terbagi menjadi
dua berdasarkan sifatnya, yaitu:
1. Ruang publik tertutup; ruang publik yang berada di dalam bangunan
2. Ruang publik terbuka; ruang publik yang berada di luar bangunan.

Adapun pengertian ruang publik terbuka menurut Hakim dan
Utomo (2003) adalah sebagai berikut:
1. Bentuk dasar ruang terbuka selalu terletak di luar massa bangunan
2. Dapat dimanfaatkan dan digunakan oleh setiap orang
3. Memberi tempat untuk menampun bermacam-macam kegiatan/aktivitas
(multifungsi).
Contoh ruang publik terbuka seperti : jalan, jalur pedestrian, taman
lingkungan, plaza, lapangan olahraga, taman kota, dan lain-lain.

Ruang publik terbuka tentunya memiliki peranan penting terhadap
perkembangan sosial masyarakat. Hadirnya suatu ruang publik akan
memberi


dampak

pada

kehidupan

sehari-hari

masyarakat

dalam

beraktivitas. Beberapa fungsi ruang terbuka menurut Hakim dan Utomo
(2003), yaitu:
1. Fungsi sosial; sebagai tempat berkomunikasi dan bersosialisasi, tempat
bermain dan berolahraga, tempat untuk mendapatkan udara segar,
tempat menunggu kegiatan lain, sebagai pembatas di antara massa
bangunan, menghubungkan tempat yang satu dengan yang lain, sarana
untuk menciptakan kebersihan, kesehatan, keserasian, dan keindahan
lingkungan,


sebagai

saranan

penelitian

dan

pendidikan,

serta

penyuluhan bagi masyarakat untuk membentuk kesadaran lingkungan.
2. Fungsi ekologi; yaitu ruang terbuka yang memiliki fungsi untuk
memperlunak arsitektur bangunan, menyerap air hujan, pencegah

7

Universitas Sumatera Utara


banjir, meyegarkan udara, memperbaiki iklim mikro dengan mereduksi
panas dan polusi, memelihara serta menjaga keseimbangan ekosistem.

Secara garis besar, Krier (1979) dalam Prihutami (2008)
mengklasifikasikan ruang terbuka menjadi dua jenis, yaitu:
1. Ruang terbuka yang bentuknya memanjang (koridor) yang pada
umumnya hanya mempunyai batas pada sisi-sisinya, misalnya bentuk
ruang terbuka pada jalan.
2. Ruang terbuka yang bentuknya bulat dan pada umumnya mempunyai
batasan di sekelilingnya, misalnya ruang rekreasi dan lapangan upacara.

2.1.2. Koridor sebagai Ruang Publik
Salah satu bentuk ruang publik kota adalah koridor. Menurut
Darmawan (2003), koridor adalah sebuah jalan yang diapit oleh dinding
dari sebelah kiri maupun kanan yang merupakan ruang-ruang di sekitar
jalan. Koridor juga merupakan bentuk dasar street yang merupakan ruang
pergerakan linear, sebagai sarana untuk sirkulasi. Koridor jalan sebagai
linear space tidak sekedar menjadi ruang sirkulasi, namun juga sangat
berpotensi untuk tumbuh dan berkembang sebagai ruang aktivitas

masyarakat (Shirvani, 1985). Menurut Bishop (1989) dalam buku
Designing Urban Corridors, terdapat 2 jenis urban koridor, yaitu:
1. Koridor komersial biasanya berada pada area perkotaan dan
dimulai dari area-area komersial menuju pusat sub-urban berupa
kompleks bangunan perkantoran dan pusat-pusat pelayanan jasa
perdagangan yang terbentuk di sepanjang koridor. Koridor
komersial termasuk di dalamnya memiliki jalur pedestrian
sebagai aktivitas dan pergerakan manusia serta jalan sebagai
jalur sirkulasi kendaraan yang melewati kawasan kota.
2. Koridor Scenic, kebanyakan berada di area pedesaan. scenic
koridor memberikan pemandangan yang unik dan khas bagi
pengendara saat melewati koridor tersebut.

8

Universitas Sumatera Utara

Menurut Carr, et al. dalam Sigit (2015), bentuk fisik koridor dapat
berperan secara baik jika mengandung beberapa unsur, yaitu:
1. Comfort, adalah salah satu syarat keberhasilan ruang fisik koridor. lama

seseorang beraktivitas pada suatu koridor dapat dijadikan tolok ukur
tingkat kenyamanan (comfortable) pada koridor tersebut. Dalam hal ini,
kenyamanan koridor antara lain dipengaruhi oleh: kenyamanan
lingkungan yang berupa perlindungan dari pengaruh alam seperti sinar
matahari dan angin; kenyamanan fisik yang berupa ketersediaan
fasilitas penunjang yang cukup seperti tempat duduk; kenyamanan
sosial yang berupa ruang bersosialisasi untuk pengguna.
2. Relaxation, merupakan aktivitas yang erat hubungannya dengan
kenyamanan psikologi. Suasana rileks akan mudah dicapai jika badan
dan pikiran dalam kondisi sehat dan senang. Kondisi ini dapat dibentuk
dengan menghadirkan unsur-unsur alam seperti tanaman atau
pepohonan, air, serta dengan lokasi yang terpisah atau terhindar dari
kebisingan dan hiruk pikuk kendaraan di sekelilingnya.
3. Passive engagement, aktivitas ini sangat dipengaruhi oleh kondisi
lingkungan. Kegiatan pasif dapat dilakukan dengan cara duduk-duduk
atau berdiri sambil melihat aktivitas yang tejadi di sekitarnya atau
melihat pemandangan lingkungan sekitar.
4. Active engagement, yaitu ketika suatu ruang koridor dapat mewadahi
aktivitas kontak atau interaksi antar anggota masyarakat dengan baik.
5. Discovery, dapat diartikan secara umum sebagai suatu proses mengelola

ruang koridor agar di dalamnya terjadi suatu aktivitas yang tidak
monoton dengan memelihara keunikan aktivitas dan ciri khas
arsitektural yang terdapat pada koridor sesuai dengan budaya setempat.

Jacob (1995) mengatakan bahwa ada beberapa kriteria dalam
perencanaan koridor, yaitu:
1. Adanya perbandingan proporsi antara lebar jalan dengan tinggi
bangunan
2. Mempunyai fungsi yang jelas

9

Universitas Sumatera Utara

3. Bangunan di sekitar koridor memiliki kesatuan yang saling melengkapi

Koridor sebagai wadah aktivitas manusia, sirkulasi pergerakan manusia
dan transportasi memiliki dua pengaruh langsung pada kualitas
lingkungan, yaitu kelangsungan aktivitas komersial dan kualitas visual
yang kuat terhadap struktur dan bentuk fisik kota.


2.1.3. Koridor Komersial
Koridor dibentuk oleh dua deretan massa (pohon atau bangunan)
yang membentuk sebuah ruang untuk menghubungkan dua kawasan atau
wilayah kota (Zahnd, 2012 dalam Dipta, 2015 ). Kawasan komersial
merupakan suatu kawasan yang diawarnai atau ditandai oleh aktivitas
ekonomi yaitu perdagangan dan jasa (Yunus, 2005). Menurut Philadelphia
(2009), koridor komersial adalah kumpulan toko ritel yang melayani area
perdagangan yang berada di sepanjang jalan tunggal. Dengan kata lain
koridor komersial adalah sebuah ruang yang diapit oleh dua deretan massa
sebagai jalur pergerakan transportasi, manusia dan juga sebagai kawasan
aktivitas perekonomian masyarakat yang berupa aktivitas perdagangan dan
jasa.

Menurut PPS (Project for Public Space), terdapat beberapa elemen
pada koridor komersial, antara lain:
1. Kenyamanan dan identitas
a. Menciptakan budaya lokal dan identitas
b. Adanya elemen penanda sebagai informasi kepada pengunjung
c. Terdapat ruang tempat duduk untuk para pengunjung, lansekap,

elemen pencahayaan yang baik, dan perabot jalan yang
memberikan keamanan dan kenyamanan
2. Aksesibilitas
a. Kemudahan dalam menyebarang dan melintasi jalan
b. Mengakomodasi dan memberikan kenyamanan bagi pengguna
pedestrian

10

Universitas Sumatera Utara

c. Terdapat transportasi publik
3. Fungsi dan aktivitas
a. Keragaman aktivitas seperti tempat makan, toko, dan lainnya
b. Pengunjung merasa betah berada pada koridor ini
c. Aktivitas di koridor mengundang pengunjung lain untuk
berkunjung ke koridor ini
4. Mendukung fungsi sosial
a. Masyarakat dapat berkumpul di koridor
b. Adanya rasa memiliki terhadap koridor

c. Adanya ruang untuk melakukan kegiatan dalam kondisi apapun

2.1.4. Pengguna Ruang Publik

Ruang publik merupakan salah satu ruang kota yang dapat diakses
oleh siapa saja dan digunakan bersama (Zahrah et al. 2016). Dengan kata
lain, pengguna-pengguna ruang publik pun bermacam-macam sesuai
dengan kebutuhan user dalam batas tertentu. Adapun beberapa pengguna
koridor jalan, antara lain:

2.1.4.1. Pedestrian (Pejalan Kaki)

Pejalan kaki adalah setiap orang yang bergerak atau berpindah dari
suatu

tempat

ke tempat

tujuan tanpa menggunakan kendaraan.

Pedestrian berasal dari bahasa Yunani pedos yang berarti kaki. Pedestrian
juga berasal dari bahasa Latin pedester-pedestris yaitu orang yang berjalan
kaki atau pejalan kaki, sehingga pedestrian dapat diartikan sebagai pejalan
kaki atau orang yang berjalan kaki (Dharmawan,2004). Jalur pedestrian
pertama kali dikenal pada tahun 6000 SM di Khirokitia, Cyprus, dimana
jalan terbuat dari batu gamping lalu permukaannya di tinggikan terhadap
tanah dan pada interval tertentu dibuat ramp untuk menuju ke kelompok
hunian pada kedua sisi-sisinya (Kostof,1992). Menurut Iswanto (2006),
suatu ruas jalan perlu dilengkapi dengan adanya jalur pedestrian apabila

11

Universitas Sumatera Utara

disepanjang jalan terdapat penggunaan lahan yang memiliki potensi
menimbulkan pejalan kaki.
Pengertian dasar berjalan kaki menurut Fruin, 1979 yaitu Berjalan kaki
merupakan alat untuk pergerakan internal kota, satu – satunya alat untuk
memenuhi kebutuhan interaksi tatap muka yang ada didalam aktivitas
komersial dan kultural di lingkungan kehidupan kota. Berjalan kaki
merupakan alat penghubung antara moda – moda angkutan yang lain.
Menurut Rapoport (1977), kebutuhan ruang berjalan kaki dibagi
menjadi 2 jenis yaitu ruang gerak dan ruang istirahat. Ruang gerak bersifat
dinamis dimana kegiatannya antara lain yaitu berjalan dan bergerak
walaupun dengan kecepatan yang sangat lambat atau perlahan-lahan.
Besaran dimensi ruang gerak tergantung pada jarak berpapasan baik dari
arah yang sama maupun berbeda kemudian juga tergantung sesuai dengan
lokasi (Harris dan Dines, 1988). Dimensi minimum yang dibutuhkan
sewaktu pengguna jalur berpapasan adalah 1,5m x 1,5m.

Gambar 2.1 Jarak Ruang yang Dibutuhkan Pejalan Kaki Sesuai Lokasi
(Harris dan Dines, 1988)
Sumber: Washington State Department of Transportation 1997

12

Universitas Sumatera Utara

2.1.4.2. Pedagang Kaki Lima (PKL)
Salah satu produk dari proses perkembangan dan pertumbuhan
kota-kota besar di Indonesia adalah lahirnya sektor informal seperti
pedagang kaki lima yang menempati ruang publik berupa jalur pejalan
kaki. Pedagang kaki lima dapat ditemukan hampir di seluruh kota dan
kebanyakan berada di ruang fungsional kota seperti pusat perdagangan,
pusat rekreasi, taman kota, dan tempat-tempat umum yang dapat menarik
sejumlah besar penduduk sekitar. Sektor informal menurut Ahmad (2002)
dalam Lie (2014) merupakan kegiatan ekonomi yang bersifat marjinal dan
memiliki beberapa ciri seperti kegiatan yang tidak teratur, tidak tersentuh
peraturan, bermodal kecil dan bersifat harian, tempat tidak tetap dan
berdiri sendiri, berlaku di kalangan masyarakat yang berpenghasilan
rendah, tidak membutuhkan keahlian dan keterampilan khusus, lingkungan
kecil, serta tidak mengenal perbankan, pembukuan maupun perkreditan.
Dilihat dari sejarahnya di Indonesia, komunitas PKL sudah ada
sejak pada masa penjajahan Kolonial Belanda. Istilah pedagang kaki lima
berasal dari zaman pemerintahan Rafles, Gubernur Jendeeral pmerintahan
Kolonial Belanda, yaitu dari kata "five feet" yang berarti jalur pejalan kaki
di pinggir jalan selebar lima kaki. Ruang tersebut kemudian digunakan
untuk kegiatan berjualan pedagang kecil sehingga disebut dengan
pedagang kaki lima (Lie, 2014). PKL juga mempunyai pengertian yang
sama dengan "hawkers" oleh McGee dan Yeung (1977), yang
didefinisikan sebagai orang-orang yang menjajakan barang dan jasa untuk
dijual di tempat yang merupakan ruang untuk kepentingan umum,
terutama di pinggir jalan dan trotoar.
Menurut Kartono et al. (1980), ada beberapa karakteristik umum
pada pedagang kaki lima, yaitu:

1. Merupakan pedagang yang sebagian juga sekaligus menjadi produsen
2. Ada yang menetap pada lokasi tertentu dan ada yang bergerak dari satu
tempat ke tempat lainnya (menggunakan pikulan, kereta dorong, tempat
atau stand yang tidak permanen serta bongkar pasang)

13

Universitas Sumatera Utara

3. Menjajakan bahan makanan, minuman, barang-barang konsumsi lainnya
yang tahan lama secara eceran
4. Umumnya bermodal kecil dan terkadang hanya merupakan alat bagi
pemilik modal dengan mendapatkan sekedar komisi sbagai imbalan atas
jerih payahnya
5. Kualitas barang-barang yang diperdagangkan relatif rendah dan
biasanya tidak berstandar
6. Volume peredaran uang tidak seberapa besar, para pembeli cenderung
merupakan pembeli yang berdaya beli rendah
7. Usaha skala kecil bisa berupa family enterprise, dimana ibu dan anakanak turut membantu dalam usaha tersebut, baik langsung maupun tidak
langsung
8. Tawar menawar antara penjual dan pembeli merupakan ciri khas pada
usaha pedagang kaki lima
9. Dalam melaksanakan pekerjaannya ada yang secara penuh, sebagian
melaksanakan setelah kerja atau pada waktu senggang, dan ada pula
yang melaksanakan musiman.

Dalam Lie (2014), McGee & Yeung (1977) mengelompokkan PKL
dalam tiga tipe berdasarkan sifat layanannya, yaitu:
a. Pedagang keliling (mobile), pedagang yang dengan mudah dapat
membawa barang dagangannya berpindah dari satu tempat ke tempat
lain, mulai dari menggunakan sepeda, gerobak atau keranjang.
b. Pedagang semi menetap (semistatic), pedagang ini mempunyai sifat
menetap sementara, dimana kios dan tempat usahanya akan berpindah
setelah beberapa waktu berjualan di tempat tersebut.
c. Pedagang Menetap (static), sifat layanan pedagang ini memiliki
frekuensi menetap yang paling tinggi, dimana lokasi tempat usahanya
permanen disuatu tempat seperti di jalan atau ruang-ruang publik
dengan membangun kios, maupun jongko.

14

Universitas Sumatera Utara

Dalam Lie (2014), McGee & Yeung (1977) mengelompokkan PKL
dalam tiga tipe berdasarkan pola penyebaran aktivitas, yaitu:
a. Pola penyebaran mengelompok (focus aglomeration), biasanya terjadi
pada mulut jalan, di sekitar pinggiran pasar umum atau ruang terbuka.
Pengelompokkan ini merupakan suatu pemusatan atau pengelompokan
pedagang yang memiliki sifat sama / berkaitan. Pengelompokan
pedagang

yang

sejenis

dan

saling

mempunyai

kaitan,

akan

menguntungkan pedagang, karena mempunyai daya tarik besar terhadap
calon pembeli. Aktivitas pedagang dengan pola ini dijumpai pada
ruang-ruang terbuka publik (taman, lapangan , dan lainnya).
b. Pola penyebaran memanjang (linier aglomeration), pola penyebaran ini
dipengaruhi oleh pola jaringan jalan. Pola penyebaran memanjang ini
terjadi di sepanjang/pinggiran jalan utama atau jalan penghubung. Pola
ini terjadi berdasarkan pertimbangan kemudahan pencapaian, sehingga
mempunyai kesempatan besar untuk mendapatkan konsumen. Jenis
komoditi yang biasa diperdagangkan adalah sandang / pakaian,
kelontong, jasa reparasi, buah-buahan, rokok/obat-obatan, dan lain-lain.

2.2.

Arsitektur Perilaku sebagai Pendekatan

Dalam buku Arsitektur, Lingkungan dan Perilaku, Haryadi dan Setiawan
(2010) berpendapat bahwa pada masa kini dan yang akan datang, perkembangan
suatu bidang ilmu akan lebih banyak dipengaruhi oleh keberadaan bidang-bidang
ilmu lain, tidak terlepas ilmu arsitektur. Isu tentang kenyamanan ruang,
kesesakan, rasa terisolasi, hilangnya privasi seseorang, citra budaya suatu
bangunan atau kawasan adalah beberapa contoh yang mulai banyak dibicarakan
pada masa sekarang. Kepedulian akan kualitas hidup manusia inilah yang
membantu berkembangnya ilmu arsitektur ke arah hal-hal yang mengandung
permasalahan sosial.
Haryadi

dan

Setiawan

(2010)

menjelaskan

bahwa

perilaku

dioperasionalisasikan seabagai kegiatan manusia yang membutuhkan setting atau

15

Universitas Sumatera Utara

wadah kegiatan yang berupa ruang. Wadah-wadah berbabagai kegiatan tersebut
yang membentuk tata ruang yang merupakan bagian dari arsitektur. Hal-hal inilah
yang menjadi dasar pertimbangan bahwa ruang menjadi salah satu komponen
arsitektur yang menjadi penting dalam pembahasan studi hubungan arsitektur
lingkungan dan perilaku. Kemudian hal ini dipertegas oleh Prohansky (1976)
dalam Syahputra (2013) bahwa kini perhatian utama dalam perancangan urban
adalah pengaruh psikologi lingkungan terhadapnya. Proses interaksi lingkungan
dapat dilihat seperti pada Gambar 2.2.

Gambar 2.2 Proses penginderaan kognitif oleh manusia terhadap suatu objek
Sumber: Prohansky, 1976 dalam Syahputra, 2013

2.2.1. Pengertian Arsitektur Perilaku
Arsitektur adalah bangunan tempat kegiatan manusia, berguna dan
mempunyai nilai-nilai tertentu (keindahan) yang dapat menyentuh
perasaan manusia (Talarosha, 1999). Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Perilaku adalah tanggapan atau reaksi individu terhadap
rangsangan atau lingkungan. Tandal dan Egam (2011) dalam Lie (2014)
berpendapat bahwa kata perilaku menunjukkan manusia dalam aksinya,
berkaitan dengan aktivitas manusia secara fisik, berupa interaksi manusia
dengan sesamanya ataupun dengan lingkungan fisiknya. Dengan kata lain,
arsitektur perilaku merupakan bangunan, arsitektur, ruang, lingkungan
sebagai wadah aktivitas manusia yang dipengaruhi atau mempengaruhi
manusia di dalamnya secara psikologi.

16

Universitas Sumatera Utara

Berikut merupakan definisi arsitektur perilaku menurut beberapa tokoh:
1. Menurut Y.B. Mangun Wijaya dalam buku Wastu Citra.
Arsitektur perilaku adalah arsitektur yang manusiawi, yang mampu
memahami dan mewadahi perilaku-perilaku manusia yang ditangkap
dari berbagai macam perilaku, baik itu perilaku pencipta, pemakai,
pengamat juga perilaku alam sekitarnya
2. Donna P. Duerk mengatakan bahwa manusia dan perilakunya adalah
bagian dari sistem yang menempati tempat dan lingkungan tidak dapat
dipisahkan secara empiris. Oleh sebab itu, perilaku manusia selalu
terjadi pada suatu tempat dan dapat dievaluasi secara keseluruhan tanpa
pertimbangan faktor-faktor lingkungan.
Lingkungan mempengaruhi perilaku manusia. orang cenderung
menduduki suatu tempat yang biasanya diduduki meskipun tempat
tersebut bukan tempat duduk. Misalnya: susunan anak tangga di depan
rumah, bagasi mobil yang besar, pagar yang rendah, dsb.
Perilaku manusia yang mempengaruhi lingkungan. Pada saat orang
cenderung memilih jalan pintas yang dianggapnya terdekat daripada
melewati pedestrian yang memutar sehingga orang tersebut tanpa sadar
telah membuat jalur sendiri meski telah disediakan pedestrian.
3. Gary T. More dalam buku Introduction to Architecture
Istilah perilaku diartikan sebagai suatu fungsi dari tuntutan-tuntutan
manusia dalam dan lingkungan sosio-fisik luar. Pengkajian perilaku
menurut Garry T. More diakitkan dengan lingkungan sekitar yang lebih
dikenal sebagai pengkajian lingkungan-perilaku. Adapun pengkajian
lingkungan_perilaku seperti yang dimaksudkan oleh Garry T. More
terdiri atas definisi-definisi sebagai berikut :
a. Meliputi penyelidikan sistematis tentang hubungan-hubungan antara
lingkungan dan perilaku manusia serta penerapannya dalam proses
perancangan.
b. Pengakjian lingkungan-perilaku dalam Arsitektur mencakup lebih
banyak daripada sekedar fungsi.

17

Universitas Sumatera Utara

c. Meliputi

unsur-unsur

keindahan

estetika,

dimana

fungsi

berhubungan dengan perilaku dan kebutuhan oang, estetika
berhubungan dengan pilihan dan pengalaman. Jadi, estetika formal
dilengkapi dengan estetika hasil pengalaman yang bersandar pada si
pemakai.
d. Jangkauan faktor perilaku lebih mendalam, pada psikologi si
pemakai

bangunan

,

kebutuhan

interaksi

kemasyarakatan,

perbedaan-perbedaan sub budaya dalam gaya hidup dan makna serta
simbolisme bangunan.
e. Pengkajian lingkungan-lingkungan juga meluas ke teknologi, agar
elemen-elemen

Arsitektur

dapat

memberikan

penampilan

kemantapan atau perlindungan.
4. Victor Papanek mengatakan bahwa dalam telaah-telaah lingkungan
dalam arsitektur, harus dipahami dua kerangka konsep yang satu
menjelaskan jajaran informasi lingkungan perilaku-perilaku yang
tersedia, dan yang lain memperhatikan dimana proses perancangan
informasi lingkungan perilaku paling mempengaruhi pengambilan
keputusan Arsitektur.
5. J.B. Watson mengatakan bahwa arsitektur perilaku adalah arsitektur
yang

dalam

penerapannya

selalu

menyertakan

pertimbangan-

pertimbangan perilaku dalam perancangan kaitan perilaku dengan
desain arsitektur (sebagai lingkungan fisik) yaitu bawa desain arsitektur
dapat menjadi fasilitator terjadinya perilaku atau sebaliknya sebagai
penghalang terjadinya perilaku.

2.2.2. Konsep - Konsep Perilaku

Perkembangan kajian arsitektur lingkungan dan perilaku diawali
oleh kajian psikologi lingkungan yang pada hakikatnya mempertanyakan
peran proses-proses psikologis. Beberapa konsep penting dalam kajian
arsitektur lingkungan dan perilaku menurut Haryadi dan Setiawan (2010)
adalah sebagai berikut:

18

Universitas Sumatera Utara

1. Setting Perilaku (Behavior Setting)
Behavior setting dapat diartikan secara sederhana sebagai suatu
interaksi antara suatu kegiatan dengan tempat yang spesifik. Dengan
demikian, behavior setting mengandung unsur-unsur: sekelompok
orang yang melakukan sesuatu kegiatan aktivitas atau perilaku dari
sekelompok orang tersebut, serta tempat dimana kegiatan tersebut
dilakukan. Contoh dari setting perilaku ini dalam kehidupan sehari-hari
seperti di dalam suatu setting bank, kelas, ruang tunggu, pasar, sederet
penjual kaki lima, dsb.
Dalam banyak kajian arsitektur lingkungan dan perilaku, istilah
behavior setting dijabarkan dalam dua istilah yakni system of setting
dan system of activity, dimana keterkaitan antara keduanya membentuk
satu behavior setting tertentu. system of setting atau sistem
tempatdiartikan sebagai rangkaian unsur-unsur fisik atau spasial yang
mempunyai hubungan tertentu dan terkait hingga dapat dipakai untuk
suatu kegiatan tertentu. Contoh dari setting adalah ruang yang
dimanfaatkan sebagai ruang untuk pameran, ruang terbuka atau trotoar
yang ditata untuk berjualan kaki lima. Sementara itu System of activity
atau sistem kegiatan diartikan sebagai suatu rangkaian perilaku yang
secara sengaja dilakukan oleh satu atau beberapa orang. Contohnya
adalah rangkaian persiapan dan pelayanan di dalam suatu restoran atau
rangkaian upacara perkawinan dengan adat Jawa. Behavior setting
mempunyai spektrum yang luas, mulai dari setting suatu kamar hingga
setting suatu kota.
2. Persepi tentang Lingkungan (Environmental Perception)
Persepsi lingkungan atau environmental perception adalah interpretasi
tentang suatu setting oleh individu, didasarkan latar belakang budaya,
nalar, dan pengalaman individu tersebut. Dengan demikian, setiap
individu akan mempunyai persepsi lingkungan yang berbeda karena
latar belakang budaya, nalar serta pengalamannya berbeda. Akan tetapi,
dimungkinkan

pula

beberapa

kelompok

individu

mempunyai

kecenderungan persepsi lingkungan yang sama atau mirip karena

19

Universitas Sumatera Utara

kemiripan latar belakang budaya, lanar, serta pengalamannya.
Pendekatan persepsi akan dijelaskan lebih lanjut pada sub-bab
selanjutnya.
3. Lingkungan yang Terpersepsikan (Perceived Environment)
Lingkungan

yang

terpersepsikan

atau

perceived

environment

merupakan produk atau bentuk persepsi lingkungan seseorang atau
sekelompok

orang.

Apabila

kita

berbicara

mengenai

persepsi

lingkungan berarti kita berbicara tentang proses kognisi, afeksi serta
kognasi seseorang atau sekelompok orang terhadap lingkungan.
Keseluruhan proses ini menghasilkan apa yang disebut perceived
environment atau lingkungan yang terpersepsikan.
4. Kognisi Lingkungan, Citra, dan Skemata (Environmental Cognition,
Image and Schemata)
Kognisi lingkungan atau environmental cognition adalah suatu proses
memahami dan memberi arti terhadap lingkungan. Proses ini dalam
kajian arsitektur lingkungan dan perilaku penting karena merupakan
suatu proses yang menjelaskan mekanisme hubungan antara manusia
dan lingkungannya. Rapoport (1997) dalam Haryadi dan Setiawan
(2010) mengatakan bahwa kognisi lingkungan ditentukan oleh tiga
faktor yakni: organismic, environmental, dan cultural. Ketiganya saling
berinteraksi mempengaruhi proses kognisi seseorang.
5. Pemahaman Lingkungan (Environmental Learning)
Environmental learning diartikan sebagai keseluruhan proses yang
berputar dari pembentukan kognisi, schemata serta peta mental.
Sebagaimana dilihat pada Gambar 2.3, proses environment learning
meliputi proses pemahaman yang menyeluruh dan menerus tentang
suatu lingkungan oleh seseorang (Rapoport, 1977 dalam Haryadi dan
Setiawan, 2010). Gambar 2.3 menjelaskan bahwa pembentukan kognisi
mengenai suatu lingkungan merupakan suatu pengetahuan, pemahaman,
dan pengartian yang dinamis dan berputar.

20

Universitas Sumatera Utara

6. Kualitas Lingkungan (Environmental Quality)
Keseluruhan proses environmental learning, pada akhirnya akan
menghasilkan apa yang disebut sebagai persepsi mengenai kualitas
lingkungan. Kualitas lingkungan didefinisikan secara umum sebagai
suatu lingkungan yang memenuhi preferensi imajinasi ideal seseorang
atau sekelompok orang. Definisi ini menegaskan bahwa dalam kajian
arsitektur lingkungan dan perilaku, kualitas lingkungan seyogyanya
dipahami secara subjektif, yakni dikaitkan dengan aspek-aspek
psikologis dan sosio-kultural masyarakat yang menghuni suatu
lingkungan. Namun, meskipun kualitas lingkungan sangat subjektif,
terdapat pula unsur-unsur dasar kualitas lingkungan yang harus kita
jaga.
7. Teritori (Territory)
Teritori di dalam kajian arsitektur dan perilaku diartikan sebagai batas
tempat organisme hidup menentukan tuntutannya, menanai, serta
mempertahankannya, terutama dari kemungkinan intervensi pihak lain.
Konsep Teritori yang berlaku pada manusia menyangkut juga perceived
environment serta imaginary environment. Artinya, bagi manusia,
konsep teritori lebih dari sekedar tuntutan atas suatu area untuk
memenuhi kebutuhan fisiknya saja, tetapi juga untuk kebutuhan
emosional dan kultural. Altman (1975) dalam Haryadi dan Setiawan
(2010) membagi teritori menjadi 3 kategori dikatikan dengan
keterlibatan personal, involvement, kedekatan dengan kehidupan seharihari individu atau kelompok, dan frekuensi penggunaan. Tiga kategori
tersebut adalah: primary, secondary, serta public territory. Penjelasan
mengenai konsep teritori ini akan dilanjutkan lebih mendalam pada
subbab berikutnya.
8. Ruang Personal dan Kesumpekan (Personal space and Crowding)
Secara sederhana, Sommer (1969) dalam Haryadi dan Setiawan (2010)
mendefinisikan ruang privat sebagai batas tak tampak di sekitar
seseorang , yang mana orang lain tidak boleh atau merasa enggan untuk
memasukinya. Personal space merupakan konsep yang dinamis dan
21

Universitas Sumatera Utara

adaptif, tergantung pada situasi lingkungan dan psikologis seseorang
serta kultural seseorang. Dengan kata lain, jarak individu untuk
mendapatkan personal space dapat membesar atau mengecil. Konsepsi
mengenai personal space ini, lebih lanjut menentukan isu dalam kajian
arsitektur lingkungan dan perilaku yakni crowding (kesumpekan).
Crowding ialah situasi ketika seseorang atau sekelompok orang sudah
tidak mampu mempertahankan ruang privatnya. Dengan kata lain,
karena situasi tertentu, masing-masing telah mengintervensi batas-batas
personal space. Oleh karena personal space-nya dimasuki oleh orang
atau banyak orang lain, situasi crowding apabila berlangsung lama akan
mengarah pada munculnya stress. Faktor utama crowding adalah
densitas manusia yang terlalu tinggi di suatu tempat. Namun, mengingat
konsep personal space menyangkut pula aspek psikologis dan kultur
seseorang, masalah crowding tidak hanya berkaitan dengan densitas
fisik.
9. Tekanan Lingkungan dan Stres (Environmenal Pressures and Stress)
Tekanan lingkungan didefinisikan sebagai faktor-faktor fisik, sosial,
serta ekonomi yang dapat menimbulkan perasaan tidak enak, tidak
nyaman, kehilangan orientasi, atau kehilangan keterikatan dengan suatu
tempat tertentu. Apabila hal ini dibiarkan secara terus menerus, tekanan
lingkungan dapat menyebabkan stres.Dengan kata lain, tekanan
lingkungan yang terlalu besar menyebabkan inteaksi antara manusia
dan lingkungan tidak terjadi secara baik dan optimal yang kemudian
menimbulkan perilaku yang tidak wajar akibat stres.

2.2.3. Persepsi
Persepsi merupakan proses untuk memperoleh informasi dari
seseorang tentang lingkungan di mana ia berada. (Lang, 1987).
Pemahaman terhadap perilaku manusia dapat diawali dengan memahami
proses terbentuknya perilaku tersebut serta mengetahui faktor-faktor
penting yang mempengaruhinya Perilaku manusia merupakan pusat
perhatian dalam hubungan antara manusia dengan lingkungannya.

22

Universitas Sumatera Utara

Manusia menginderakan objek di lingkungannya, hasil penginderaannya
diproses, sehingga timbul makna tentang objek tersebut. Ini dinamakan
persepsi yang selanjutnya menimbulkan reaksi (Wirawan, 1992).
Istilah persepsi berasal dari Bahasa Inggris yaitu kata "perception"
yang berarti penglihatan, keyakinan dapat melihat atau mengerti. Dalam
hal interaksi manusia dengan lingkungannya, manusia akan selalu
berusaha untuk memperoleh keselarasan dengan lingkungannya. Hal ini
dimungkinkan dengan adanya kemampuan kognitif untuk mengadakan
reaksi-reaksi tertentu terhadap lingkungan yang memuat hal-hal tertentu
yang menarik minatnya dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. (Bell,
2001).
Proses hubungan dengan lingkungan yang terjadi sejak individu
berinteraksi melalui penginderaan sampai terjadinya reaksi, digambarkan
dalam skema persepsi oleh Paul A. Bell (2001).

Gambar 2.3 Skema Persepsi
Sumber: Bell, 2001
Dalam skema tersebut terlihat bahwa tahap paling awal dari
hubungan manusia dengan lingkungannya adalah kontak fisik antara
individu dengan objek-objek di lingkungannya. Objek tampil dengan
kemanfaatannya masing-masing sedangkan individu datang dengan sifat-

23

Universitas Sumatera Utara

sifat individunya, pengalaman masa lalunya, bakat, minat, sikap dan
berbagai ciri pribadi masing-masing (social background).
Hasil interaksi individu dengan objek menghasilkan persepsi
individu tentang objek tersebut. Jika persepsi berada dalam batas optimal,
maka individu dikatakan dalam keadaan homeostatis, yaitu keadaan yang
serba seimbang dan biasanya selalu ingin dipertahankan oleh setiap
individu karena menimbulkan perasaan yang menyenangkan. Sebaliknya,
jika objek dipersepsikan di luar batas optimal, maka individu akan
mengalami stress. Terjadi peningkatan energi, sehingga harus dilakukan
coping untuk menyesuaikan lingkungan pada kondisi dirinya. Penyesuaian
diri individu terhadap lingkungannya disebut dengan adaptasi, sedangkan
penyesuaian lingkungan terhadap individu disebut adjustment.
Kemudian, Walgito dalam Mujib (2011) membagi proses
terjadinya persepsi menjadi dua jenis,yaitu:
a. Proses fisik
Proses persepsi dimulai dari pengindraan yang menimbulkan stimulus
pada reseptor kemudian dilanjutkan dengan pengolahan data pada
syaraf sensoris otak atau dalam pusat kesadaran. Proses ini disebut juga
dengan proses fisiologis.
b. Proses psikologis
Proses pengolahan data pada syaraf sensoris otak akan menyebabkan
reseptor menyadari apa yang dilihat, didengan serta apa yang diraba.

Persepsi manusia dapat berubah-ubah karena adanya proses
fisiologis di mana ruang mempunyai komponen yang dapat mempengaruhi
persepi seseorang. Menurut Hall.E (1966) dalam Utomo (2008), Faktorfaktor pemahaman ruang menyangkut hal-hal yang lebih dalam mengenai
aspek psikologi dari pemakai, bagaimana persepsinya terhadap suatu
ruang/ bangunan, bagaimana kebutuh interaksi sosial antara pemakai dan
bagaimana arti simbolis suatu ruang/bangunan. Hall E kemudian
menjelaskan bahwa pengalaman ruang dapat dibentuk melalui:
1. Visual Space, yang terbentuk dari persepsi indera penglihatan

24

Universitas Sumatera Utara

2. Audial Space, yang terbentuk dari persepsi indera pendengaran
3. Obsticel space, terbentuk dari persepsi indera penciuman
4. Thermal space, terbentuk dari persepsi terhadap temperatur lingkungan
5. Testicle space, terbentuk dari persepsi indera peraba
6. Kinesthetic space, terbentuk dari persepsi keterbatasan gerak manusia

Menurut Gifford dalam Yusra (2014), persepsi manusia dipengaruhi oleh
beberapa hal,yaitu:
a. Faktor personal
Karakterisik seorang individu akan dihubungan dengan perbedaan
persepsi terhadap lingkungan. Dengan kata lain, dalam hal ini akan
melibatkan faktor antara lain kemampuan perseptual dan pengalaman
atau pengenalan terhadap kondisi lingkungan. Pada umumnya, proses
pengalaman atau pengenalan seseorang terhadap kondisi lingkungan
yang di hadapi mempunyai orientasi pada kondisi lingkungan lain yang
telah dikenal sebelumnya dan secara otomatis akan menghasilkan
proses pembanding yang menjadi dasar persepsi yang dihasilkan.
b. Faktor kultural
Dalam hal ini, Gifford menjelaskan bahwa konteks kultural yang
dimaksud berhubungan dengan tempat asal atau tempat tinggal
seseorang. Budaya yang dibawa dari tempat asal suatu individu akan
membentuk cara yang berbeda bagi setiap individu tersebut dalam
memandang dunia. Kemudian Gifford menyebutkan bahwa faktor
pendidikan juga dapat mempengaruhi persepsi seseorang terhadap
lingkungan dalam konteksnya.
c. Faktor fisik
Faktor fisik merupakan faktor di mana kondisi alamiah dari suatu
lingkungan akan turut mempengaruhi persepsi seseorang dalam
lingkungan tersebut. Lingkungan dengan elemen pembentuknya akan
menghasilkan karakter atau tipikal tertentu yang kemudian menciptakan
identitas bagi lingkungan tersebut.

25

Universitas Sumatera Utara

Selanjutnya,

Laurens

(2004)

mengemukakan

istilah

yang

digunakan untuk pengalaman ruang, pengetahuan akan bentuk dan
simbolisasi adalah peta mental. Gagasan ini sejalan dengan pemikiran
Haryadi dan Setiawan dalam buku Arsitektur Lingkungan dan Perilaku
bahwa kognisi lingungan yang sifatnya abstrak dapat diproyeksikan secara
spasial dan di dalam kajian arsitektur linkungan dan perilaku disebut
sebagai peta mental. Peta mental setiap individu akan berbeda-beda
terhadap suatu lingkungan yang sama (Laurens, 2004 & Haryadi dan
Setiawan, 2010).
Faktor-faktor yang membedakan peta mental seseorang menurut
Laurens (2004), antara lain:
a. Gaya Hidup
Gaya hidup seseorang menyebabkan timbulnya selektivitas dan distorsi
peta mental. Hal tersebut erat kaitannya dengan tempat (jenis, kondisi,
jumlah, dan lain sebagainya) yang pernah dikunjungi sesuai dengan
gaya hidup yang dimiliki.
b. Keakraban dengan lingkungan
Hal ini menyangkut pada seberapa baik seseorang mengenal
lingkungannya. Semakin kuat seseorang mengenal lingkungannya,
semakin luas dan rinci peta mentalnya.
c. Keakraban sosial
Semakin luas pergaulannya, semakin luas wilayah yang dikunjungi, dan
semakin ia tahu akan kondisi wilayah tertentu maka semakin baik peta
mentalnya.
d. Kelas sosial
Semakin terbatas kemampuan seseorang, semakin terbatas pula daya
geraknya dan semakin sempit peta mentalnya.
e. Perbedaan seksual
Laki-laki biasanya mempunyai peta mental yang lebih baik dan terinci
daripada perempuan karena kesempatan pergaulan dan ruang geraknya
juga lebih luas. Terlebih lagi, dalam kondisi masyarakat yang ada pada

26

Universitas Sumatera Utara

umumnya akan lebih memberi peluang kepada kaum pria untuk
bergerak dengan berbagai aktivitas.

Faktor-faktor inilah yang akan memberi pengertian bagaimana
menciptakan bangungan atau lingkungan yang mudah dilihat dan diingat
sekaligus membangkitkan kekayaan pengalaman orang yang memakainya
sebagai citra pada tempat tersebut.

2.2.4. Pemetaan Perilaku (Behavioral mapping)
Dari beberapa teknik survei yang dapat dipakai dalam kajian
arsitektur lingkungan dan perilaku, teknik behavioral mapping yang
dikembangkan oleh Ittelson sejak tahun 1970-an, merupakan teknik yang
sangat populer dan banyak dipakai. Selain relatif gampang dipahami,
teknik ini mempunyai kekuatan utama pada aspek spasialnya. Artinya,
dengan teknik ini didapatkan sekaligus suatu bentuk informasi mengenai
suatu fenomena (terutama pelaku individu dan sekelompok manusia) yang
terkait dengan sistem spasialnya. Sommer dalam Haryadi dan Setiawan
(2010) mengatakan bahwa behavioral mapping digambarkan dalam bentuk
sketsa atau diagram mengenai suatu area di mana manusia melakukan
berbagai kegiatannya. Tujuannya adalah untuk menggambarkan perilaku
dalam peta, mengidentifikasikan jenis dan frekuensi perilaku, serta
menunjukkan kaitan antara perilaku tersebut dengan wujud perancangan
yang spesifik. Secara umum , prosedur pemetaan perilaku terdiri dari lima
unsur dasar (Ittelson dalam Haryadi dan Setiawan, 2010), yaitu:
1. Sketsa dasar area atau setting yang akan diobservasi
2. Definisi yang jelas tentang bentuk-bentuk perilaku yang akan diamati,
dihitung, dideskripsikan dan didiagramkan
3. Satu rencana waktu yang jelas pada saat kapan pengamatan akan
dilakukan
4. Prosedur sistematis yang jelas harus diikuti selama observasi
5. Sistem coding yang efisien untuk lebih mengefisiensikan pekerjaan
selama observasi.

27

Universitas Sumatera Utara

Adapun jenis-jenis perilaku yang biasa dipetakan antara lain meliputi:
1. Pola perjalanan
2. Migrasi
3. Perilaku konsumtif
4. Kegiatan rumah tangga
5. Hubungan ketetanggaan
6. Penggunaan berbagai fasilitas publik

Terdapat dua cara untuk melakukan pemetaan perilaku yakni:
1. Place-centered Mapping (Pemetaan berdasarkan tempat)
Teknik ini digunakan untuk mengetahui bagaimana manusia atau
sekelompok

manusia

memanfaatkan,

menggunakan,

atau

mengakomodasikan perilaku dalam suatu situasi waktu dan tempat yang
tertentu. Dengan kata lain, perhatian dari teknik ini adalah satu tempat
yang spesifik, baik kecil maupun besar. Dalam teknik ini, langkah
pertama yang harus dilakukan adalah membuat sketsa dari tempat atau
setting meliputi seluruh unsur fisik yang diperkirakan mempengaruhi
perilaku pengguna ruang tersebut. Langkah berikutnya adalah membuat
daftar perilaku yang akan diamati serta menentukan simbol atau tanda
sketsa atas setiap perilaku. Kemudian, dalam satu kurun waktu tertentu,
peneliti mencatat berbagai perilaku yang terjadi dalam tempat tersebut
dengan menggambarkan simbol-simbol pada peta dasar yang telah
disiapkan.
2. Person-centered Mapping (Pemetaan berdasarkan pelaku)
Teknik ini menekankan pada pergerakan manusia pada suatu periode
waktu tertentu. Dengan demikian, teknik ini akan berkaitan dengan
tidak hanya satu tempat akan tetapi dengan beberapa tempat atau lokasi.
Pada person-centered mapping ini, peneliti berhadapan dengan
seseorang yang khusus diamati. Tahap pertama yang harus dilakukan
adalah memilih sampel person atau sekelompok manusia yang akan
diamati perilakunya. tahap berikutnya adalah mengikuti pergerakan dan

28

Universitas Sumatera Utara

aktivitas yang dilakukan oleh orang tersebut. pengamatan ini dapat
dilakukan dengan membuat sketsa-sketsa dan catatan-catatan pada
suatu peta dasar yang sudah disiapkan. pengamatan dapat dilakukan
secara kontiniu atau hanya pada periode-periode tertentu saja,
tergantung dari tujuan penelitiannya.

2.2.5. Teritorialitas
Batasan ruang dalam kajian arsitektur lingkungan dan perilaku
dikenal dengan sebutan teritorial space. Menurut Haryadi dan Setiawan
(2010) dalam buku Arsitektur Lingkungan dan Perilaku, teritori diartikan
sebagai batas tempat organisme hidup menentukan tuntutannya, menandai,
serta mempertahankannya, terutama dari kemungkinan intervensi pihak
lain. Pastalan (1970) dalam Ricardo mendefinisikan teritori sebagai ruang
yang diberi batas atau cagar yang melibatkan indetifikasi psikologis
terhadap tempat, seperti tindakan pengaturan dan sikap memiliki pada
benda-benda yang berada di dalamnya. Lang (1987) dalam Ricardo (2014)
berpendapat bahwa batas dari sebuah teritori bisa dikenali lewat terjadinya
perubahan perilaku dan sifat privasi ketika teritori tersebut diintervensi.
Kemudian menurut lang (1987), terdapat empat karakter dari
teritorialitas, antara lain sebagai berikut:
1. kepemilikan atau hak dari suatu tempat
2. personalisasi atau penandaan dari suatu area tertentu
3. hak untuk mempertahankan diri dari gangguan luar
4. pengatur dari beberapa fungsi, mulai dari bertemunya kebutuhan dasar
psikologis sampai dengan kepuasan kognitif dan kebutuhan-kebutuh
estetika.
Sementara itu, Altman (1975) membagi teritori menjadi tiga kategori
dikaitkan dengan keterlibatan personal, involvement, kedekatan dengan
kehidupan sehari hari individu atau kelompok dan frekuensi penggunaan.
Tiga kategori tersebut yaitu primary territory, secondary territory, dan
public territory.

29

Universitas Sumatera Utara

1. Primary territory, adalah suatu area yang dimiliki, digunakan secara
eksklusif, disadari oleh orang lain, dikendalikan secara permanen, serta
menjadi bagian utama dalam kegiatan sehari-hari penghuninya.
2. Secondary territory, adalah suatu area yang tidak terlalu digunakan
secara eksklusif oleh seseorang atau sekelompok orang mempunyai
cakupan area yang relatif luas, dikendalikan secara berkala.
3. Public territory, adalah suatu area yang digunakan dan dapat dimasuki
oleh siapapun akan tetapi ia harus mematuhi norma-norma serta aturan
yang berlaku di area tersebut.

Kajian tentang persoalan teritori ini akan sangat penting terutama
untuk memberikan rekomendasi bagi perancangan desain ruang publik
mengingat teritori merupakan hal yang sangat mempengaruhi perilaku
pada ruang publik. Beberapa faktor yang mempengaruhi teritori menurut
Fatimah (2011), yaitu sebagai berikut:
1. Faktor Personal
Faktor personal yang mempengaruhi karakteristik seseorang yaitu jenis
kelamin, usia dan kepribadian yang diyakini mempunyai pengaruh
terhadap sikap teritorialitas.
2. Faktor Situasi
Perbedaan situasi berpengaruh pada teritorialitas, ada dua aspek situasi
yaitu tatanan fisik dan sosial budaya yang mempunyai peran dalam
menentukan sikap teritorialitas.
3. Faktor Budaya
Faktor budaya mempengaruhi sikap teritorialitas. Secara budaya
terdapat perbedaan sikap teritori hal ini dilatar belakangi oleh budaya
seseorang yang sangat beragam. Apabila seseorang mengunjungi ruang
publik yang jauh berada diluar kultur budayanya pasti akan sangat
berbeda sikap teritorinya.

30

Universitas Sumatera Utara