Penjatuhan Sanksi Pidana Dibawah Batas Minimum Ancaman Hukuman Bagi Anak Pelaku Tindak Pidana Narkotika

17

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Narkoba merupakan singkatan dari narkotika dan obat berbahaya, namun lamakelamaan disadari bahwa kepanjangan narkoba tersebut keliru, sebab istilah obat
berbahaya dalam ilmu kedokteran adalah obat-obatan yang tidak boleh dijual bebas
karena pemberiannya dapat membahayakan bila tidak melalui pertimbangan medis.
Jenis obat seperti itu sangat banyak dan sifatnya tidak tergolong narkoba, misalnya
antibiotik, obat jantung, obat darah tinggi dan sebagainya. Semua obat berbahaya
tetapi bukan narkoba. 1
Pemerintah dan rakyat telah melakukan kesalahan dalam memberikan
pengertian narkoba. Narkoba yang tepat adalah narkotika, psikotropika dan bahan
adiktif lainnya, karena tidak selamanya narkoba tidak memberikan manfaat. Banyak
jenis narkotika dan psikotropika yang memberi manfaat besar bila digunakan dengan
baik dan benar dalam bidang kedokteran. Narkotika dan psikotropika dapat
menyembuhkan banyak penyakit dan mengakhiri penderitaan. Tindakan operasi
(pembedahan) yang dilakukan oleh dokter harus didahului dengan pembiusan dengan
menggunakan obat bius yang tergolong narkotika. Orang stres dan gangguan jiwa
diberi obat-obatan yang tergolong psikotropika oleh dokter agar dapat sembuh.

1

Subagyo Partodiharjo, Kenali Narkoba & Musuhi Penyalahgunaannya, (Jakarta: Esensi,
2007), hal. 10.

Universitas Sumatera Utara

18

Narkotika memiliki berbagai jenis yang dibedakan dalam bentuk golongan I,
golongan II dan golongan III. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
TentangNarkotika, golongan I terbagi dalam beberapa jenisseperti tanaman papaver
somniferum L, opium mentah, opium masak, tanaman koka, daun koka, kokain
mentah, tanaman ganja dan lain-lain. Golongan II merupakan narkotika yang memiliki
daya aktif kuat tetapi bermanfaat untuk pengobatan dan penelitian. Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2009 TentangNarkotika mengklasifikasikan jenis golongan II
tersebut seperti alfasetilmetadol, alfameprodina, alfametadol, alfaprodina, alfentanil,
anileridina dan sebagainya. Golongan III merupakan narkotika yang memiliki daya
adiktif


ringan

tetapi

bermanfaat

untuk

pengobatan

dan

penelitian,

sepertiasetildihidrokodeina, dekstropropoksifena, dihidrokodeina, etilmorfina, kodeina
dan sebagainya. Keseluruhan golongan yang telah disebutkan di atas tentu saja
memiliki kegunaan dan manfaat tertentu, namun di saat yang bersamaan ketiga
golongan tersebut dapat berbahaya bagi penggunanya apabila disalahgunakan. 2
Penyalahgunaan zat narkotika tentu saja memberikan dampak buruk bagi
penggunanya. Penggunaan zat narkotika tertentu dipandang sebagai penyimpangan

perilaku yang membahayakan dan merugikan sendiri, keluarga, masyarakat, maupun
negara. Pengguna zat narkotika aktif tertentu harus dilarang oleh peraturan perundangundangan. Sampai saat ini Indonesia telah mengaturgolongan narkotika dalam bentuk
undang-undang, yang pertama adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1976

2

Ibid,hal.12.

Universitas Sumatera Utara

19

TentangNarkotika, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 TentangNarkotika, dan
yang terakhir adalah Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 TentangNarkotika.
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 TentangNarkotikamemberikan
ancaman hukuman yang ketat kepada pelaku tindakpidana narkotika, penyalahgunaan
narkoba khususnya narkotika di Indonesia sampai saat ini tumbuh subur bahkan dalam
tingkat yang mengkhawatirkan. 3
Darikasus tindak pidana narkoba tahun 2009-2013 adalah sebagai berikut: 4
1.


Tahun 2013
Di tahun 2013, terjadipenurunan kasus psikotropika dengan persentase penurunan
6,77% dari 1.729 kasus di tahun 2012 menjadi 1.612 kasus ditahun 2013.
Sedangkan peningkatan kasus terbesar yaitu kasus bahan adiktif lainnya dengan
persentase kenaikan 60,48% dari 7.917 kasus ditahun 2012 menjadi 12.705 kasus
ditahun 2013. Kasus narkotika merupakan kasus terbesar yang terjadi tahun 2013
dengan total 21.269 kasus.

2.

Tahun 2009-2013
Jumlah kasus tertinggi yaitu kasus narkotika ditahun 2013 dengan total 21.269
kasus dan jumlah kasus terendah yaitu kasus psikotropika ditahun 2011 sebanyak
1.601 kasus. Kenaikan kasus terbesar yaitu kasus narkotika dari tahun 2009

3

Satya Joewana, M. D, Gangguan Mental dan Perilaku Akibat Penggunaan Zat Psikoaktif:
Penyalahgunaan Napza/Narkoba, E/2, edisikedua, (Jakarta: Gramedia, 2005), hal. 79.

4
Www,Badan Narkotika Nasional. go id,Diakses januari 2016.

Universitas Sumatera Utara

20

ketahun 2010 sebesar 60,66% dan penurunan kasus terbesar yaitu kasus
psikotropika dari tahun 2009 ke tahun 2010 sebesar 86,55%.
Penyalahgunaan narkotika ini juga tidak mengenal umur, berdasarkan data yang ada
bahwa kelompok umur pelaku tindak pidana narkotika digolongkan menjadi 5 (lima)
golongan umur, yaitu ,29
tahun. Bahwakasus tindak pidana narkoba tahun 2009-2013 adalah sebagai berikut: 5
1.

Tahun 2013
Ditahun 2013, berdasarkan kelompok usia, tersangka kasus narkoba berusia lebih
dari 29 tahun merupakan tersangka paling banyak dengan total 19.023 orang.
Sedangkan tersangka paling sedikit merupakan tersangka berusia di bawah 16
tahun dengan jumlah 122 orang.Kenaikan tersangka terbesar yaitu terjadi pada

tersangka berusia antara 25-29 tahun dengan persentase kenaikan 56,84%, dari
10.339 orang yang ditangkap di tahun 2012 menjadi 16.216 orang ditahun 2013.
Sedangkan penurunan jumlah tersangka hanya terjadi pada tersangka berusia
kurang dari 16 tahun dengan persentase penurunan 7,58%, dari 132 orang di tahun
2012 menjadi 122 orang ditahun 2013.

2.

Tahun 2009-2013
Jumlah tersangka tertinggi yaitu tersangka berusia lebih dari 29 tahun ditahun
2009 sebanyak 21.374 tersangka dan jumlah tersangka terendah yaitu tersangka
berusia di bawah 16 tahun ditahun 2010 sebanyak 88 tersangka.Kenaikan jumlah
tersangka terbesar yaitu tersangka narkoba berusia antara 25-29 tahun dari tahun
5

Www,Badan Narkotika Nasional. go id,Diakses januari 2016.

Universitas Sumatera Utara

21


2012 ke tahun 2013 sebesar 56,84% dan penurunan jumlah tersangka terbesar
yaitu tersangka narkoba berusia kurang dari 16 tahun dari tahun 2009 ke tahun
2010 sebesar 22,12%.
Penerapan hukuman kepada pelaku tindak pidana berdasarkan Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2009 TentangNarkotika tidak main-main. Undang-Undang Nomor
35 Tahun 2009 TentangNarkotika terdapat sejumlah sanksi pidana bagi orang yang
menjadi penjual, calo/perantara dalam transaksi/jual beli narkotika. Sanksi-sanksi
tersebut berbeda-beda bergantung pada jenis golongan narkotika, beratnya, dan
bentuknya (apakah masih dalam bentuk tanaman atau narkotika siap pakai).
1.

Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum, menanam, memelihara,
menyimpan, menguasai atau menyediakan narkotikagolongan I dalam bentuk
tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan
paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.
800.000.000,- (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 8.000.000.000,(delapan miliar rupiah) (Pasal 111 ayat (1) UU Narkotika.

2.


Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan,
menguasai, atau menyediakan narkotikagolongan I bukan tanaman, dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua
belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 800.000.000,00 (delapan ratus
juta rupiah) dan paling banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah) Pasal
112 ayat (1) UU Narkotika. Dalam hal perbuatan memiliki, menyimpan,
menguasaiatau

menyediakan narkotikagolongan Ibukan tanaman sebagaimana

Universitas Sumatera Utara

22

dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5(lima) gram, pelaku dipidana dengan
pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun
dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga). (Pasal 112 Ayat 2).
3.


Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual,
menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukaratau
menyerahkan narkotikagolongan I, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup
atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh)
tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)
dan paling banyak Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).” (Pasal 114
ayat (1) UU Narkotika).

4.

Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual,
menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau
menyerahkan narkotikagolongan II, dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda
paling sedikit Rp. 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp. 8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).” (Pasal 119 ayat (1)UU Narkotika)

5.

Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual,

menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau
menyerahkan narkotikagolongan III, dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling

Universitas Sumatera Utara

23

sedikit Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.
5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). (Pasal 124 ayat (1) UU Narkotika).
Penegakan hukum pemberantasan narkotika di Indonesia saat ini sedang diuji
terkait dengan adanya penerapan batas minimum ancaman hukuman untuk anak
pelaku tindak pidana narkotika. Ancaman hukuman tersebut dapat diberikan dengan
memberikan hukuman ½ (setengah) dari jumlah minimum sanksi pidana penjara yang
ada bahkan dibawah dari setengah jumlah minimum sanksi pidana penjara. Seperti
contoh kasus terpidana Selamat Ariadi yang berumur 17 Tahun. Berdasarkan putusan
Pengadilan Negeri Lubuk Pakam Nomor 584/Pid.B/P.A/2013/PN.LP, Selamat Riadi
dijatuhi hukuman penjara selama 2 (dua) tahun dan denda Rp. 800.000.000,- (delapan
ratus juga rupiah). Selamat Riadi terbukti melakukan tindak pidana pasal 112 Ayat (1)
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 TentangNarkotika dengan membawa zat

methamfetamina yang terdaftar pada golongan I dengan berat bruto 0,3255 gram dan
berat netto 0,0068. Selain itu juga, berdasarkan tes urine milik Selamat Ariadi juga
terbukti mengandung zat methamfetamina juga. Pada tingkat banding, Pengadilan
Tinggi Medan melalui putusan Nomor 369/Pid/2013/PT-Mdn kembali menguatkan
Putusan Pengadilan Negeri Lubuk Pakam Nomor 584/Pid.B/P.A/2013/PN.LP, yaitu
tetap memberikan hukuman penjara selama 2 (dua) tahun, denda Rp. 800.000.000,(delapan ratus juga rupiah), subsidair latihan kerja selama 30 (tiga puluh) hari kepada
Selamat Ariadi. 2 (dua) tahun pidana penjara yang ditetapkan oleh majelis

Universitas Sumatera Utara

24

Hakimkepada Selamat Ariadi merupakan pidana penjara di bawah ancaman paling
singkat 4 (empat) tahun. 6
Beberapa alasan memutuskan dengan hukuman ½ (setengah) dari jumlah
minimum sanksi pidana penjara tersebut adalah didasarkan atas pasal 22 Nomor 3
Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak, yaitu “terhadap anak nakal hanya dapat
dijatuhkan pidana atau tindakan yang ditentukan dalam undang-undang ini”.
Kemudian Pasal 23 Ayat (1) Nomor 3Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak, yaitu
“Pidana yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal ialah pidana pokok dan pidana
tambahandan pasal 26 Ayat (1) Nomor 3 Tahun 1997, yaitu; “pidana penjara yang
dapat dijatuhkan kepada anak nakal sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 2
huruf a, paling lama ½ (satu per dua) dari maksimum ancaman pidana penjara bagi
orang dewasa”. Dari ketiga pasal di atas, sebenarnya tidak ada pengaturan terkait
hukuman ½ (setengah) dari jumlah minimum sanksi pidana penjara dan dapat
dikatakan Hakim dalam hal ini membuat suatu terobosan hukum dengan melakukan
penerapan hukuman tersebut.7
Apa yang diterapkan oleh judex factiepada tingkat Pengadilan Negeri dan
Pengadilan Tinggi merupakan keputusan yang cukup berani dengan memberikan
hukuman dibawah minimum ancaman hukuman, padahal tindak pidana tersebut
merupakan tindak pidana yang saat ini telah menjadi musuh utama negara ini.

6

Berdasarkan Putusan Pengadilan Tinggi Nomor 369/Pid/2013/PT-Mdn.
Muladi, Hal-hal Yang Harus Dipertimbangkan Hakim Dalam Menjatuhkan Pidana Dalam
Rangka Mencari Keadilan Dalam Kapita Selekta Sistem Pengadilan PidanaBadan, (Semarang :
Universitas Diponegoro, 1995), hal.107.
7

Universitas Sumatera Utara

25

Pandangan umum akan menilai putusan yang dilakukan olehjudex factie tidak sejalan
dengan semangat pemberantasan narkoba, apalagi dalam hal ini judex factietelah
melihat dengan jelas kebenaran fakta materil terkait dengan tindak pidana yang
dilakukan Selamat Ariadi.
Hakimmempunyai kebebasan yang sangat luas untuk memilih jenis pidana
(strafsort) sesuai dengan kehendaknya, karena pada asasnya hukum pidana positif
Indonesia menggunakan sistem alternatif dalam pencantuman sanksi pidana. Dalam
hal penerapan putusan, Hakim melalui pertimbangannya memutuskan suatu perkara
berdasarkan minimum sanksi pidana atau pun berdasarkan maksimal bukan dibawah
ancaman minimum hukuman. Penerapan dibawah minimum ancaman sanksi pidana
telah menyalahi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 TentangNarkotikadan inilah
yang

terjadi

dalam

Putusanjudex

factie

terkait

dengan

perkara

Nomor

584/Pid/P.A/2013/PN.LP dan putusan Nomor 369/Pid/2013/PT-Mdn. Namun apakah
ini menjadi kesalahan mutlak yang dilakukan oleh judex factie tersebut.
Antara mendukung pemberantasan narkotika, menerapkan prinsip hukum
pidana dan melihat sisi psikologis anak dibawah umur, Hakim berada di posisi sulit
untuk memutus perkara tindak pidana narkotika ini. Karena anak dibawah umur juga
menjadi suatu hal yang dipertimbangkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 3
Tahun 1997 TentangPengadilan Anak. Anak yang terlibat tindak pidana mendapat
perlindungan secara hukum terkait dengan masalah yang dihadapin. Oleh karena itu
pengadilan anak tidak sama dengan Pengadilan orang dewasa pada umumnya.

Universitas Sumatera Utara

26

Penjatuhan batas minimum ancaman hukuman tindak pidana narkotikamenjadi
kajian yang menarik sehingga dalam hal ini sangat perlu dan penting untuk diteliti,
melihat sejauh mana judex factie menerapkan aturan-aturan yang ada berdasarkan
pertimbangannya agar memberikan kepastian hukum dalam proses penegakkan
pemberantasan tindak pidana narkotika. 8
Beberapa hal yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian tesis ini
adalah sebagai berikut, bagaimanapengaturan hukuman bagi anak dibawah umur
pelaku tindak pidana narkotika, bagaimana pertimbangan Hakimdalam menjatuhkan
hukuman pidana dibawah batas minimum ancaman sanksi pidana anak pelaku tindak
pidana narkotika. Berdasarkan uraian yang telah dikemukan di atas maka peneliti
tertarik untuk melakukan penelitian dalam bentuk karya ilmiah dengan fokus judul
adalah“PENJATUHAN SANKSI
ANCAMANHUKUMAN

BAGI

PIDANA
ANAK

DIBAWAH BATAS
PELAKU

TINDAK

MINIMUM
PIDANA

NARKOTIKA”.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dalam penelitian ini dirumuskan 2
(dua) permasalahan yang akan diteliti, yaitu:
1.

Bagaimanapengaturan hukuman bagi anak dibawah umur pelaku tindak pidana
narkotika?
8

Barda Nawawi Arief, Tinjauan Terhadap Pengenaan Sanksi Pidana Minimal,
PertemuanIlmiah Sistem Pemidanaan di Indonesia BPHN – Depkumham, Jakarta, 27 Nopember 2007.

Universitas Sumatera Utara

27

2.

Bagaimana pertimbangan Hakimdalam menjatuhkan hukuman pidana dibawah
batas minimum ancamansanksi pidana anak pelaku tindak pidana narkotika?

C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan uraian rumusan permasalahan di atas maka yang menjadi tujuan
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.

Untuk mengetahui pengaturan hukuman bagi anak dibawah umur pelaku tindak
pidana narkotika.

2.

Untuk mengetahui dan menganalisispertimbangan Hakimdalam menjatuhkan
hukuman pidana dibawah batas minimum ancaman sanksi pidana anak pelaku
tindak pidana narkotika.

D. Manfaat Penelitian
Adapundilakukan penelitian ini adalah untuk memberikan manfaat secara
teoritis dan praktis, yaitu:
1. Manfaat teoritis
Penelitian ini memberikan sejumlah manfaat terhadap para akademisi maupun
masyarakat umumnya serta dapat menambah khasanah ilmu hukum pidana
khususnya dalam tindak pidana narkotikadi Indonesia.

Universitas Sumatera Utara

28

2.

Manfaat praktis
Penelitian ini memberikan informasi kepada aparat penegak hukum seperti;
Advokat, Polisi dan Jaksa. Selain itu juga akan memberi informasi kepada instansi
pengawas narkotika seperti Badan Narkotika Nasional ataupun juga kepada
lembaga penggiat anti narkoba dan juga kepada masyarakat pada umumnya
mengenai kegiatan tindak pidana narkotika di Indonesia.

E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan pemeriksaan dan pengecekan yang telah dilakukan oleh peneliti di
perpustakaan Universitas Sumatera Utara, diketahui bahwa penelitian Tentang
“Penjatuhan Sanksi Pidana Dibawah Batas Minimum Ancaman Hukuman Bagi Anak
Pelaku Tindak Pidana Narkotika” belum pernah dilakukan penelitian oleh penelitipeneliti sebelumnya baik pada aspek pendekatan maupun perumusan masalahnya.
Penelitian sebelumnya yang pernah membahas mengenai narkotika, namun
penelitian tersebut jauh berbeda dengan judul serta pembahasan yang diteliti, yang
diantaranya,“Sistem Pembinaan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Narkotika
(Penelitian Pada Lembaga Pemasyarakatan Anak Tanjung Gusta Medan)” penelitian
yang dilakukan oleh Suwarsa Hidayat,“Sistem Penghukuman Bagi Pecandu Narkotika
Pada Undang – Undang No 35 Tahun 2009 TentangNarkotika”, penelitian yang
dilakukan oleh Iwan Setyawan,“Analisis Yuridis Rehabilitasi Terhadap Pecandu
Narkotika Dalam Perspektif Pembaharuan Hukum Pidana Nasional”, penelitian yang

Universitas Sumatera Utara

29

dilakukan oleh Mala Puspita Sari Br. Ginting, dan “Kebijakan Penegakan Hukum
Pidana Terhadap Tindak Pidana Narkotika (Studi di Polda Sumut)”, penelitian yang
dilakukan oleh Lidya Carolina Sitepu.
Keempat judul diatas memiliki judul serta pembahasan yang jauh berbeda
dengan penilitian proposal tesis ini sehingga dapat dikatakan bahwa penelitian ini
dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya sehubungan dengan pendekatan dan
perumusan masalah yang dikemukakan dalam penelitian proposal tesis ini.

F. Kerangka Teori dan Konsep
1. Kerangka Teori
Kerangka teori dalam penelitian hukum ini sangat penting untuk membuat jelas
nilai-nilai oleh postulat-postulat hukum sehingga dapat dipahami dan dimengerti.
Teori hukum sendiri dapat juga disebut sebagai kelanjutan dari mempelajari hukum
positif.Teori mengenai suatu kasus atau permasalahan menjadi bahan perbandingan
penulis dibidang hukum, suatu kerangka teori bertujuan untuk menyajikan cara-cara
untuk mengorganisasikan dan menginterprestasikan hasil-hasil penelitian dan
menghubungkannya dengan hasil-hasil penelitian terdahulu. Kata lain dari kerangka
teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat teoritis mengenai suatu
kasus atau permasalahan yang menjadi bahan perbandingan atau pegangan teoritis. 9

9

M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung: Mandar maju, 1994),hal. 27.

Universitas Sumatera Utara

30

Teori juga disebut dengan seperangkat konsep, batasan dan proporsi yang
menyajikan suatu pandangan sistematis tentang fenomena dengan merinci hubungan
antar variabeldengan tujuan menjelaskan dan memprediksi gejala tersebut.Kerangka
teori yang digunakan dalam penelitian proposal tesis ini adalah terkait dengan
pembentukan hukum yang ditujukan untuk efektivitas kaedah hukum. Penerapan
aturan hukum di dalam suatu kebijakan yang berdaya guna dan memberikan
kemanfaatan tidak dapat dipisahkan dari kerangka pembentukan hukum di dalam
pembangunan sistem hukum di Indonesia yang berorientasi pada keadilan dan
kemanfaatan hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat. Hukum yang dibuat
haruslah disesuaikan dengan perkembangan dinamika dan memperhatikan aspek
keadilan dan memberikan perlindungan untuk menciptakan tertib hukum. Fungsi
hukum sebagai aturan, penerapan suatu kebijakan hukum tentunya tidak dapat
dipisahkan dari efektivitas suatu kaedah hukum. Efektivitas kaidah hukum sebagai
suatu proses yang pada hakekatnya merupakan penerapan yang menyangkut dalam
membuat keputusan yang secara ketat tidak diatur oleh kaedah hukum, akan tetapi
mempunyai unsur penilaian pribadi dan pada hakekatnya ini berada diantara hukum
dan moral, hal ini sebagaimana pendapat Roscoe Pound. 10
Hukumdapat dikatakan sebagairules of conduct for men behavior in a
societydan hukum menghilangkan ketidakpastian, hukum memberikan jaminan bagi
terjadinya perubahan sosial. Dardji Darmodihardjo dan Sidharta mengatakan bahwa
10

Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2004), hal. 7.

Universitas Sumatera Utara

31

sebagai suatu sistem hukum mempunyai berbagai fungsi yakni hukum sebagai kontrol
sosial. Hukum membuat norma-norma yang mengontrol perilaku individu dalam
berhadapan dengan kepentingan-kepentingan individu dan fungsi hukum sebagai
sarana penyelesaian konflik serta berfungsi untuk memperbaharui masyarakat.11
Teori yang digunakan di dalam penelitian ini adalah teori-teori pemidanaan dan
tujuan pemidanaan yang ditawarkan dalam perkembangan hukum mengalami
perubahan-perubahan sesuai dengan kebutuhan masyarakat.Dalam perkembangannya,
tujuan pemidanaan dan pemidanaan memiliki pandangan-pandangan tersendiri yang
mengalami perubahan-perubahan dari waktu ke waktu dengan berbagai aliran atau
penggolongan sebagai berikut.Aliran klasik berfaham indeterminismemengenai
kebebasan kehendak (free will) manusia yang menekankan pada perbuatan pelaku
kejahatan sehingga dikehendakilah hukum pidana perbuatan (daad-strefrecht). Aliran
klasik pada prinsipnya hanya menganutsingle track system berupa sanksi tunggal,
yaitu sanksi pidana. Aliran ini juga bersifat retributif dan represif terhadap tindak
pidana, sebab doktrin dalam aliran ini adalah pidana harus sesuai dengan kejahatan.
Sebagai konsekuensinya, hukum harus dirumuskan dengan jelas dan tidak
memberikan kemungkinan bagi hakim untuk melakukan penafsiran. 12
Aliran modern atau aliran positif bertitik tolak pada aliran determinisme yang
menggantikan doktrin kebebasan berkehendak (the doctrine of free will). Manusia

11

Fred N. Kerlinger, Asas-Asas Penelitian Beahvioral, (Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press, 2004), hal. 14.
12
Gorys Keraf, Argumentasi dan Narasi, (Jakarta: Gramedia, 2001), hal. 47.

Universitas Sumatera Utara

32

dipandang tidak mempunyai kebebasan berkehendak, tetapi dipengaruhi oleh watak
lingkungannya, sehingga dia tidak dapat dipersalahkan atau dipertanggungjawabkan
dan dipidana. Aliran ini menolak pandangan pembalasan berdasarkan kesalahan yang
subyektif. Aliran ini menghendaki adanya individualisasi pidana yang bertujuan untuk
mengadakan resosialisasi pelaku. Aliran ini menyatakan bahwa sistem hukum pidana,
tindak pidana sebagai perbuatan yang diancam pidana oleh undang-undang, penilaian
hakim yang didasarkan pada konteks hukum yang murni atau sanksi pidana itu sendiri
harus tetap dipertahankan. Hanya saja dalam menggunakan hukum pidana, aliran ini
menolak penggunaan fiksi-fiksi yuridis dan teknik-teknik yuridis yang terlepas dari
kenyataan sosial. 13
Aliran neo klasik beranggapan bahwa pidana yang dihasilkan olah aliran klasik
terlalu berat dan merusak semangat kemanusiaan yang berkembang pada saat itu.
Perbaikan dalam aliran neo klasik ini didasarkan pada beberapa kebijakan peradilan
dengan merumuskan pidana minimum dan maksimum dan mengakui asas-asas tentang
keadaan

yang

meringankan

(principle

ofextenuating

circumtances).

Perbaikanselanjutnya adalah banyak kebijakan peradilan yang berdasarkan keadaaankeadaan obyektif. Aliran ini mulai mempertimbangkan kebutuhan adanya pembinaan
individual dari pelaku tindak pidana. Disamping munculnya aliran-aliran hukum

13

Achmad Roestandi, Pengantar Teori Hukum,(Bandung: Fakultas Hukum Uninus, 1980), hal.

18-19.

Universitas Sumatera Utara

33

pidana tersebut muncullah teori-teori tentang pemidanaan beserta tujuannya masingmasing yaitu sebagai berikut: 14
a.Teori Absolut/Teori pembalasan (Vergeldings Theorien).
Menurut teori ini pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah
melakukan kejahatan atau tindak pidana. Teori ini diperkenalkan oleh Kent dan Hegel.
Teori absolut didasarkan pada pemikiran bahwa pidana tidak bertujuan untuk praktis,
seperti memperbaiki penjahat tetapi pidana merupakan tuntutan mutlak, bukan hanya
sesuatu yang perlu dijatuhkan tetapi menjadi keharusan, dengan kata lain hakikat
pidana adalah pembalasan (revegen). 15
Sebagaimana yang dinyatakan Muladi bahwa teori absolut memandang bahwa
pemidanaan merupakan pembalasan atas kesalahan yang telah dilakukan sehingga
berorientasi pada perbuatan dan terletak pada terjadinya kejahatan itu sendiri. Teori ini
mengedepankan bahwa sanksi dalam hukum pidana dijatuhkan semata-mata karena
orang telah melakukan sesuatu kejahatan yang merupakan akibat mutlak yang harus
ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan sehingga
sanksi bertujuan untuk memuaskan tuntutan keadilan.
Menurut Vos, bahwa teori pembalasan absolut ini terbagi atas pembalasan
subyektif dan pembalasan obyektif. Pembalasan subyektif adalah pembalasan terhadap

14

John Rawls, Teori Keadilan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hal. 3.
L.J. van Apeldoorn, Inleiding tot de Sardis van het Nederlandse Recht, diterjemahkan oleh
Oetarid Sadino, Penganfar Ilmu Hukum, cet. XXV, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2000),hal.12.
15

Universitas Sumatera Utara

34

kesalahan pelaku, sementara pembalasan obyektif adalah pembalasan terhadap apa
yang telah diciptakan oleh pelaku didunia luar. Teori pembalasan mengatakan bahwa
pidana tidaklah bertujuan untuk yang praktis, seperti memperbaiki penjahat. Kejahatan
itu sendirilah yang mengandung unsur-unsur untuk dijatuhkannya pidana. Pidana
secara mutlak ada, karena dilakukan suatu kejahatan. Tidaklah perlu untuk
memikirkan manfaat menjatuhkan pidana itu. Setiap kejahatan harus berakibatkan
dijatuhkan pidana kepada pelanggar. Oleh karena itulah maka teori ini disebut teori
absolut. Pidana merupakan tuntutan mutlak, bukan hanya sesuatu yang perlu
dijatuhkan tetapi menjadi keharusan. Hakikat suatu pidana ialah pembalasan . 16
Nigel Walker menjelaskan bahwa ada dua golongan penganut teori retributive
yaitu: Teori retributif murniyang memandang bahwa pidana harussepadan dengan
kesalahan. Teori retributif tidak murni, teori ini juga masih terpecah menjadi dua
yaitu:


17

Teori retributiveterbatas (the limiting retribution). Yang berpandangan bahwa
pidana tidak harus sepadan dengan kesalahan. Yang lebih penting adalah
keadaan yang tidak menyenangkan yang ditimbulkan oleh sanksi dalam hukum
pidana itu harus tidak melebihi batas-batas yang tepat untuk penetapan
kesalahan pelanggaran.

16

Edi Setiadi, Hukum Pidana Ekonomi, (Bandung: Fakultas Hukum Universitas Islam
Bandung, 2004), hal. 7.
17
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar (Edisi Revisi), (Yogyakarta:
Cahaya Atma, 2013), hal. 71-72.

Universitas Sumatera Utara

35



Teori retributive distribusi (retribution in distribution). Penganut teori ini tidak
hanya melepaskan gagasan bahwa sanksi dalam hukum pidana harus dirancang
dengan pandangan pada pembalasan, namun juga gagasan bahwa harus ada
batas yang tepat dalam retribusi pada beratnya sanksi.

b. Teori Relatif atau Tujuan (Doel Theorien)
Teori relatif atau teori tujuan, berpokok pangkal pada dasar bahwa pidana
adalah alat untuk menegakkan tata tertib (hukum) dalam masyarakat. Teori ini berbeda
dengan teori absolut, dasar pemikiran agar suatu kejahatan dapat dijatuhi hukuman
artinya penjatuhan pidana mempunyai tujuan tertentu, misalnya memperbaiki sikap
mental atau membuat pelaku tidak berbahaya lagi, dibutuhkan proses pembinaan sikap
mental. Menurut Muladi tentang teori ini bahwa: pemidanaan bukan sebagai
pembalasan atas kesalahan pelaku tetapi sarana mencapai tujuan yang bermanfaat
untuk melindungi masyarakat menuju kesejahteraan masyarakat. Sanksi ditekankan
pada tujuannya, yakni untuk mencegah agar orang tidak melakukan kejahatan, maka
bukan bertujuan untuk pemuasan absolut atas keadilan. Dari teori ini muncul tujuan
pemidanaan yang sebagai sarana pencegahan, baik pencegahan khusus (speciale
preventie) yang ditujukan kepada pelaku maupun pencegahan umum (general
preventie) yang ditujukan ke masyarakat.
Teori relatif ini berasas pada tiga tujuan utama pemidanaan yaitu
preventif,detterence, dan reformatif.Tujuan preventif (prevention) untuk melindungi
masyarakat dengan menempatkan pelaku kejahatan terpisah dari masyarakat. Tujuan

Universitas Sumatera Utara

36

menakuti (detterence) untuk menimbulkan rasa takut melakukan kejahatan, baik bagi
individual pelaku agar tidak mengulangi perbuatanya, maupun bagi publik sebagai
langkah panjang. Sedangkan tujuan perubahan (reformation) untuk mengubah sifat
jahat si pelaku dengan dilakukannya pembinaan dan pengawasan, sehingga nantinya
dapat kembali melanjutkan kebiasaan hidupnya sehari-hari sebagai manusia yang
sesuai dengan nilai-nilai yang ada di masyarakat. 18
Menurut teori ini suatu kejahatan tidak mutlak harus diikuti dengan suatu
pidana. Untuk ini, tidaklah cukup adanya suatu kejahatan, tetapi harus dipersoalkan
perlu dan manfaatnya suatu pidana bagi masyarakat atau bagi si penjahat sendiri.
Tidaklah saja dilihat pada masa lampau, tetapi juga pada masa depan. Dengan
demikian, harus ada tujuan lebih jauh daripada hanya menjatuhkan pidana saja.
Dengan demikian, teori ini juga dinamakan teori tujuan. Tujuan ini pertama-tama
harus diarahkan kepda upaya agar dikemudian hari kejahatan yang dilakukan itu tidak
terulang lagi (prevensi).
Teori relatif ini melihat bahwa penjatuhan pidana bertujuan untuk
memperbaiki si penjahat agar menjadi orang yang baik dan tidak akan melakukan
kejahatan lagi. Menurut Zevenbergen ”terdapat tiga macam memperbaiki si penjahat,
yaitu perbaikan yuridis, perbaikan intelektual, dan perbaikan moral.” Perbaikan yuridis
mengenai sikap si penjahat dalam hal menaati undang-undang. Perbaikan intelektual

18

Mochtar Kusumaatmadja,
Alumni, 2006), hal. 3.

Konsep-Konsep Hukum dalam Pembangunan, (Bandung: PT

Universitas Sumatera Utara

37

mengenai cara berpikir si penjahat agar ia insyaf akan jeleknya kejahatan. Sedangkan
perbaikan moral mengenai rasa kesusilaan si penjahat agar ia menjadi orang yang
bermoral tinggi.
c. Teori Gabungan/modern (Vereningings Theorien)
Teori gabungan atau teori modern memandang bahwa tujuan pemidanaan
bersifat plural, karena menggabungkan antara prinsip-prinsip relatif (tujuan) dan
absolut(pembalasan) sebagai satu kesatuan. Teori ini bercorak ganda, dimana
pemidanaan mengandung karakter pembalasan sejauh pemidanaan dilihat sebagai
suatu kritik moral dalam menjawab tindakan yang salah. Sedangkan karakter
tujuannya terletak pada ide bahwa tujuan kritik moral tersebut ialah suatu reformasi
atau perubahan perilaku terpidana dikemudian hari.
Teori ini diperkenalkan oleh Prins, Van Hammel, Van List dengan pandangan
sebagai berikut :
1.

Tujuan terpenting pidana adalah memberantas kejahatan sebagai suatu gejala
masyarakat.

2.

Ilmu hukum pidana dan perundang-undangan pidana harus memperhatikan hasil
studi antropologi dan sosiologis.

3.

Pidana ialah suatu dari yang paling efektif yang dapat digunakan pemerintah
untuk memberantas kejahatan. Pidana bukanlah satu-satunya sarana, oleh karena

Universitas Sumatera Utara

38

itu pidana tidak boleh digunakan tersendiri akan tetapi harus digunakan dalam
bentuk kombinasi dengan upaya sosialnya adalah memberikan pemidanaan.
Dari uraian diatas menunjukkan bahwa teori ini mensyaratkan agar
pemidanaan itu selain memberikan penderitaan jasmani juga psikologi dan terpenting
adalah memberikan pemidanaan dan pendidikan. Dari uraian di atas dapat disimpulkan
bahwa tujuan dari pemidanaan, yaitu dikehendakinya suatu perbaikan-perbaikan dalam
diri manusia atau yang melakukan kejahatan-kejahatan terutama dalam delik ringan.
Sedangkan untuk delik-delik tertentu yang dianggap dapat merusak tata kehidupan
sosial dan masyarakat dan dipandang bahwa penjahat-penjahat tersebut sudah tidak
bisa lagi diperbaiki, maka sifat penjeraan atau pembalasan dari suatu pemidanaan tidak
dapat dihindari. Teori ini di satu pihak mengakui adanya unsur pembalasan dalam
penjatuhan pidana. Akan tetapi di pihak lain, mengakui pula unsur prevensi dan unsur
memperbaiki penjahat/pelaku yang melekat pada tiap pidana. Teori ketiga ini muncul
karena terdapat kelemahan dalam teori absolut dan teori relatif, kelemahan kedua teori
tersebut adalah : 19

Kelemahan teori absolut :

19

Nani Nurrachman, Keadilan Sosial: Upaya Mencari Makna Kesejahteraan Bersama di
Indonesia, (Jakarta: Kompas, 2004), hal.13.

Universitas Sumatera Utara

39

1.

Dapat menimbulkan ketidakadilan. Misalnya pada pembunuhan tidak semua
pelaku pembunuhan dijatuhi pidana mati, melainkan harus dipertimbangkan
berdasarkan alat-alat bukti yang ada.

2.

Apabila yang menjadi dasar teori ini adalah untuk pembalasan, maka mengapa
hanya negara saja yang memberikan pidana.
Kelemahan teori tujuan :

1.

Dapat menimbulkan ketidak-adilan pula. Misalnya untuk mencegah kejahatan
itu dengan jalan menakut-nakuti, maka mungkin pelaku kejahatan yang ringan
dijatuhi pidana yang berat sekadar untuk menakut-nakuti saja, sehingga menjadi
tidak seimbang, hal mana bertentangan dengan keadilan.

2.

Kepuasan masyarakat diabaikan. Misalnya jika tujuan itu semata-mata untuk
memperbaiki sipenjahat, masyarakat yang membutuhkan kepuasan dengan
demikian diabaikan.

3.

Sulit untuk dilaksanakan dalam peraktek. Bahwa tujuan mencegah kejahatan
dengan jalan menakut-nakuti itu dalam praktek sulit dilaksanakan. Misalnya
terhadap residive.
Dengan munculnya teori gabungan ini, maka terdapat perbedaan pendapat

dikalangan para ahli (hukum pidana), ada yang menitik beratkan pembalasan, ada pula
yang ingin unsur pembalasan dan prevensi seimbang. Yang pertama, yaitu menitik
beratkan unsur pembalasan dianut oleh Pompe. Pompe menyatakan orang tidak

Universitas Sumatera Utara

40

menutup mata pada pembalasan. Memang, pidana dapat dibedakan dengan sanksisanksi lain, tetapi tetap ada ciri-cirinya. Tetap tidak dapat dikecilkan artinya bahwa
pidana adalah suatu sanksi, dan dengan demikian terikat dengan tujuan sanksi-sanksi
itu. Dan karena hanya akan diterapkan jika menguntungkan pemenuhan kaidah-kaidah
dan berguna bagi kepentingan umum.Van Bemmelan pun menganut teori gabungan, ia
menyatakan pidana bertujuan membalas kesalahan dan mengamankan masyarakat.
Tindakan bermaksud mengamankan dan memelihara tujuan. Jadi pidana dan tindakan,
keduanya bertujuan mempersiapkan untuk mengembalikan terpidana kedalam
kehidupan masyarakat.
Grotius mengembangkan teori gabungan yang menitik beratkan keadilan
mutlak yang diwujudkan dalam pembalasan, tetapi yang berguna bagi masyarkat.
Dasar tiap-tiap pidana ialah penderitaan yang berat sesuai dengan beratnya perbuatan
yang dilakukan oleh terpidana. Tetapi sampai batas mana beratnya pidana dan
beratnya perbuatan yang dilakukan oleh terpidana dapat diukur, ditentukan oleh apa
yang berguna bagi masyarakat.
Teori yang dikemukakan oleh Grotius tersebut dilanjutkan oleh Rossi dan
kemudian Zenvenbergen, yang mengatakan bahwa makna tiap-tiap pidana ialah
pembalasan tetapi maksud tiap-tiap pidana melindungi tata hukum. Pidana
mengembalikan hormat terhadap hukum dan pemerintahan. Teori gabungan yang
kedua yaitu menitik beratkan pertahanan tata tertib masyarakat. Teori ini tidak boleh

Universitas Sumatera Utara

41

lebih berat daripada yang ditimbulkannya dan gunanya juga tidak boleh lebih besar
dari pada yang seharusnya.
Pidana bersifat pembalasan karena ia hanya dijatuhkan terhadap delik-delik,
yaitu perbuatan yang dilakukan secara sukarela, pembalasan adalah sifat suatu pidana
tetapi bukan tujuan. Tujuan pidana ialah melindungi kesejahteraan masyarakat.
Menurut Vos ”pidana berfungsi sebagai prevensi umum, bukan yang khusus kepada
terpidana, karena kalau ia sudah pernah masuk penjara ia tidak terlalu takut lagi,
karena sudah berpengalaman.” Teori gabungan yang ketiga, yaitu yang memandang
pembalasan dan pertahanan tata tertib masyarakat. Menurut E. Utrecht teori ini kurang
dibahas oleh para sarjana . 20
Pemberian hukuman atau sanksi dan proses hukum yang berlangsung dalam
kasus pelanggaran hukum oleh anak memang berbeda dengan kasus pelanggaran
hukum oleh orang dewasa, karena dasar pemikiran pemberian hukuman oleh negara
adalah bahwa setiap warga negaranya adalah mahkluk yang bertanggung jawab dan
mampu mempertanggungjawabkan segala perbuatannya. Sementara anak diakui
sebagai individu yang belum dapat secara penuh bertanggung jawab atas
perbuatannya. Oleh sebab itulah dalam proses hukum dan pemberian hukuman,
(sebagai sesuatu yang pada akhirnya hampir tidak dapat dihindarkan dalam kasus
pelanggaran hukum), anak harus mendapat perlakuan khusus yang membedakannya
dari orang dewasa.

20

Theo Huijbers, Filsafat Hukum, (Yogyakarta: Kanisius, 1995), hal. 49.

Universitas Sumatera Utara

42

Di Indonesia, penyelenggaraan proses hukum dan peradilan bagi pelanggaran
hukum oleh anak sudah bukan lagi hal baru. Tetapi karena sampai saat ini belum ada
perangkat peraturan yang mengatur mengenai penyelenggaraan peradilan anak secara
menyeluruh, mulai dari penangkapan, penahanan, penyidikan, dan pemeriksaan di
persidangan, sampai dengan sanksi yang diberikan serta eksekusinya, maka sampai
saat ini pelaksanaannya masih banyak merujuk pada beberapa aturan khusus mengenai
kasus pelanggaran hukum oleh anak dalam KUHP dan KUHAP, serta pada UndangUndang No.3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak(UU Pengadilan Anak). Selain itu,
pelaksanaan proses peradilan bagi anak juga harus mengacu pada Konvensi hak anak
yang telah diratifikasi ke dalam Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990 (Konvensi
Hak Anak), dimana sedikit banyak telah diakomodir dalam UU Pengadilan Anak.
Khusus mengenai sanksi terhadap anak dalam UU Pengadilan Anak ditentukan
berdasarkan perbedaan umur anak, yaitu bagi anak yang masih berumur 8 (delapan)
sampai 12 (dua belas) tahun hanya dapat dikenakan tindakan, seperti dikembalikan
kepada orang tuanya, ditempatkan pada organisasi sosial, atau diserahkan kepada
Negara, sedangkan terhadap anak yang telah mencapai umur di atas 12 (dua belas)
sampai 18 (delapan belas) tahun dijatuhkan pidana. Dalam kasus anda, karena anak
tersebut berumur 14 (empat belas) tahun maka sanksi yang dijatuhkan dapat saja
berupa pidana.
Namun pada hakekatnya, segala bentuk penanganan terhadap anak yang
melanggar hukum harus dilakukan dengan memprioritaskan kepentingan terbaik untuk

Universitas Sumatera Utara

43

si anak. Oleh karena itu, keputusan yang diambil Hakim (apabila kasus diteruskan
sampai persidangan) harus adil dan proporsional, serta tidak semata-mata dilakukan
atas pertimbangan hukum, tapi juga mempertimbangkan berbagai faktor lain, seperti
kondisi lingkungan sekitar, status sosial anak, dan keadaan keluarga.
Hal ini dijamin serta diatur dalam UU Pengadilan Anak, misalnya adalah pada
saat polisi melakukan penangkapan dan pemeriksaan, ia wajib untuk menghubungi
dan mendatangkan seorang petugas Bapas (Balai Pemasyarakatan, biasa juga disebut
PK atau Petugas Kemasyarakatan). Petugas Bapas berfungsi hampir sama seperti
probation officer. Polisi wajib menyertakan hasil Litmas (Penelitian Kemasyarakatan)
yang dibuat oleh petugas Bapas dalam Berita Acara Pemeriksaannya. Tanpa Litmas,
Jaksa harus menolak BAP dan meminta kelengkapannya kembali. Litmas ini berisi
tentang latar belakang anak secara keseluruhan, seperti data diri, keluarga, sekolah,
dan lingkungan sekitar, sampai dengan latar belakang kasus, seperti kronologi
kejadian, motif, gambaran mengenai seriusitaskasus, kondisi tersangka. Litmas juga
berisi kesimpulan petugas Bapas tentang kasus yang bersangkutan dan rekomendasi
mengenai disposisi (untuk kasus dewasa disebut vonis) apa yang terbaik bagi anak.
Rekomendasi yang bisa diberikan mulai dari kembali ke orang tua, pidana bersyarat,
pidana dengan keringanan hukuman, pidana sesuai perbuatan, anak negara dan anak
sipil.
Dalam kasus ini, jika anak ditahan sebaiknya segera ditanyakan apakah ia telah
ditemui oleh seorang petugas Bapas. Dan apakah padanya telah diberikan haknya

Universitas Sumatera Utara

44

untuk tetap memperoleh penasehat hukum, karena petugas Bapas bukanlah seorang
penasehat hukum. Harus diingat, anak berhak memperoleh dan negara wajib
memberikan proses hukum yang cepat. 21
Apabila pihak korban akan menarik tuntutannya, penyelesaian di luar proses
hukum sangat mungkin untuk dilakukan karena petugas hukum, dalam hal ini polisi,
yang terlibat dalam proses peradilan anak diberi keleluasaan untuk melakukan
diskresi(sewaktu-waktu menghentikan proses hukum) demi kepentingan anak. Apabila
polisi menolak diskresi, sanksi pidana berupa penjara atau rehabilitasi institusional
masih dapat diupayakan untuk diganti dengan program pembinaan di luar lembaga,
kompensasi, atau restitusi bagi korban, yang bisa diupayakan melalui jalur hukum.
Selama proses hukum berlangsung, pihak orang tua atau wali juga dapat meminta agar
anak diberi tahanan luar dengan memberikan jaminan. Dalam kasus anak, tahanan luar
juga dipertimbangkan mengingat anak masih harus bersekolah.
Belum adanya peraturan yang menyeluruh tentang sistem peradilan anak
sebagaimana disebutkan pada bagian awal membawa implikasi pada belum adanya
polisi khusus anak dan jaksa khusus anak. Yang ada barulah hakim anak, sidang anak,
dan lembaga pemasyarakatan anak. Keterbatasan sistem hukum kita memandang
masalah tindak pidana oleh anak hanya pada urusan pengadilan anak, menyebabkan
pertimbangan yang digunakan oleh petugas yang terlibat masih merupakan
pertimbangan hukum semata, yang mendasarkan keputusannya pada apakah si anak
21

Hyronimus Rhiti, Filsafat Hukum ; Edisi lengkap (Dari Klasik sampai Postmoderenisme),
(Jogyakarta : Penerbit Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2011), hal. 159.

Universitas Sumatera Utara

45

bersalah atau tidak sebagai pelanggar hukum, tingkat seriusitas perbuatannya, dan
catatan kriminal yang dimilikinya. Oleh karena itu tidaklah mengherankan jika sampai
saat ini terdapat kenyataan yang memprihatinkan bahwa sebagian besar kasus
pelanggaran hukum oleh anak yang ditangani polisi, diteruskan kedalam proses pidana
selanjutnya, dan sebagian besar dari kasus yang diproses tersebut berakhir dengan
keputusan pemenjaraan, dimana seharusnya kedua hal tersebut menjadi alternatif
upaya yang paling terakhir.

2. Kerangka konsep
a.

Hukuman berasal dari kata straf yang merupakan suatu istilah dari bahasa
Belanda. Menurut Amdi Hamzah istilah hukuman adalah istilah umum yang
dipergunakan untuk semua jenis sanksi baik dalam ranah hukum perdata,
administratif, disiplin dan pidana. 22

b.

Anak adalah seseorang yang sudah mencapai 8 (delapan) tahun namun belum
mencapai 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah. 23

c. Tindak pidana di dalam bahasa belanda dikenal dengan istilah strafbaarfeit.
Strafbaarfeit adalah kelakuan yang diancam dengan pidana, bersifat melawan
hukum dan berhubung dengan kesalahan yang dilakukan oleh orang yang
mampu bertanggung jawab. Sedangkan Van Hamel mengatakan “strafbaarfeit
22

Muhammad Ekaputra dan Abdul Khair, Sistem Pidana di dalam KUHP dan Pengaturannta
Menurut Konsep KUHP Baru, (Medan: USU Press, 2010) , hal. 1.
23
Chairul Huda.. Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggung
Jawaban Pidana Tanpa Kesalahan: tinjauan kritis terhadap tindak pidana dan pertanggung jawaban
pidana, cetakan keempat, (Jakarta: Kencana, 2011), hal. 27.

Universitas Sumatera Utara

46

adalah kelakuan orang yang dirumuskan dalam undang-undang, bersifat
melawan hukum, patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan. 24
d. PertimbanganHakim

adalah

suatu

tahapan

dimana

majelis

Hakim

mempertimbangkan fakta yang terungkap selama persidangan berlangsung,
mulai dari gugatan/dakwaan, eksepsi yang dituangkan dengan alat bukti yang
memenuhi syarat formil dan syarat materil yang mencapai batas minimal
pembuktian. 25
e. Menjatuhkan hukuman adalah menghukum yang memiliki arti membiarkan orang
menderita

atau

susah

sebagai

balasan

atas

pelanggaran

yang

telah

dilakukannya. 26
f. Sanksi pidana adalah salah satu bentuk dari sanksi hukum, yakni akibat tertentu
yang dapat (seharusnya) dikenakan kepada seseorang karena perbuatannya yang
memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan dalam kaidah hukum pidana. 27
g. Penerapan sanksi pidana memiliki arti suatu implementasi atau pelaksanaan atas
sanksi hukum. 28
h. Narkotika adalah bentuk murni maupun campuran atau sediaan-sediaan yang
berasal dari tanaman candu (papaversomniferum), ganja (cannabis) dan koka
(erythroxylon), juga termasuk dalam golongan narkotika adalah bahan lain baik
alamiah,

sintetis

maupun

semi sintetis,

yang

dapat

dipakai

sebagai

24

Ibid.
Ibid.
26
Anonim, “Hukum”, dalam http://kbbi.web.id/hukum. diakses pada tanggal 10 Agustus 2015
27
Todung Mulya Lubis dan Alexander Lay, Kontroversi Hukuman Mati, Perbedaan Pendapat
Hakim Konstitusi, (Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara, 2009), hal. 236.
28
Ibid.
25

Universitas Sumatera Utara

47

penggantimorfin atau kokaina, apabila penyalahgunaannya dapat menimbulkan
akibat ketergantungan yang merugikan seperti pethidina, metadon dan lainlain 29.
i. Penyalahguna adalah orang yang menggunakan narkotika tanpa hak atau melawan
hukum. 30
j. Pecandu Narkotika adalah orang yang menggunakan atau menyalahgunakan
Narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada narkotika, baik secara fisik
maupun psikis. 31

G. Metode Penelitian
1. Jenis dan sifat penelitian
Penelitian proposal tesis ini menggunakan penelitian yuridis normatif. Jenis
metode penelitian yuridis normatif berguna untuk mengetahui atau mengenal apakah
dan bagaimanakah hukum positifnya mengenai suatu masalah tertentu dan juga dapat
menjelaskan atau menerangkan kepada orang lain apakah dan bagaimanakah
hukumnya mengenai peristiwa atau masalah yang tertentu.Sifat dari metode penelitian
tesis ini adalah deskriptif analitis yaitu penelitian yang menggambarkan, menelaah,
menjelaskan dan menganalisis suatu peraturan hukum dalam hal ini yang berkaitan

29

Anonim,“Mengenal
Narkoba
dan
Bahayanya”,
dalamhttp://www.surakarta.go.id/konten/mengenal-narkoba-dan-bahayanya-i. diakses pada tanggal 5
oktober2014.
30
Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.
31
Pasal 1 angka 13 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.

Universitas Sumatera Utara

48

dengan Penjatuhan Sanksi Pidana Di bawah Batas Minimum Ancaman Hukuman Bagi
Anak Pelaku Tindak Pidana Narkotika. 32
Penelitian hukum normatif ini juga menggunakan beberapa pendekatan yang
diantaranya pendekatan undang-undang (statute approach), pendekatan kasus (case
approach). Pendekatan perundang-undangan (statute approach) adalah suatu
pendekatan yang dilakukan terhadap berbagai aturan hukum yang berkaitan dengan
pembahasan yang diteliti di dalam proposal tesis ini. Pendekatan ini dilakukan dengan
menelaah semua peraturan perundang-undangan yang bersangkut paut dengan
permasalahan (isu hukum) yang sedang dihadapi. Pendekatan perundang-undangan ini
misalnya dilakukan dengan mempelajari konsistensi/kesesuaian antara UndangUndang Dasar 1945 dengan undang-undang, atau antara undang-undang yang satu
dengan undang-undang yang lain. 33
Pendekatan undang-undang dimaksudkan bahwa perundang-undangan sebagai
dasar awal melakukan analisis, hal ini dilakukan karena perundang-undangan
merupakan titik fokus dari penilitan tersebut dan karena sifat hukum yang mempunyai
ciri-ciri: 34
a. Comprehensive: norma-norma hukum yang ada di dalamnya terkait antara satu
dengan yang lainnya secara logis.

32

Soerdjono Soekantor dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012), hal.13.
33
C. F. G. Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum Di Indonesia Pada Akhir Abad Ke-20,
(Bandung: Penerbit Alumni, 1994), hal.140.
34
Soerjono Seokanto. Pengantar Penelitian Hukum. (Jakarta: UI Press, 1986), hal 63.

Universitas Sumatera Utara

49

b. All-inclusive: bahwa kumpulan norma hukum tersebut cukup mampu menampung
permasalahan hukum yang ada sehingga tidak akan ada kekosongan hukum.
c. Systematic: disamping bertautan antara satu dengan lainnya, norma-norma hukum
tersebut tersusun secara hirarki.
Pendekatan kasus (case approach) dalam penelitian hukum normatif bertujuan
untuk mempelajari norma-norma atau kaidah hukum yang dilakukan dalam praktek
hukum. Pendekatan kasus (case approach) dilakukan dengan cara melakukan kajian
terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan isu yang dihadapi yang telah menjadi
putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Kasus ini
dapat berupa kasus yang terjadi di Indonesia maupun di luar negara lain. Yang
menjadi kajian pokok di dalam pendekatan kasus adalah ratio decidendi atau
reasoning yaitu pertimbangan pengadilan untuk sampai kepada suatu putusan. 35
Kasus-kasus yang ditelaah merupakan kasus yang telah memperoleh putusan
pengadilan berkekuatan hukum tetap. Hal pokok yang dikaji pada setiap putusan
tersebut adalah pertimbangan Hakim untuk sampai pada suatu keputusan sehingga
dapat digunakan sebagai argumentasi dalam memecahkan isu hukum yang dihadapi.
Kasus yang ditelaah dalam proposal tesis ini adalah yang berkaitan dengan putusan
Pengadilan Tinggi Medan atas penjatuhan sanksi pidana di bawah batas minimum
ancaman hukuman bagi anak pelaku Tindak Pidana Narkotika. 36

35

Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum & Empiris. (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2010), hal. 185.
36
Johnny Ibrahim, Teori, Metode dan Penelitian Hukum Normatif, (Malang: Bayumedia
Publising, 2007), hal. 300.

Universitas Sumatera Utara

50

2. Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian hukum normatif ini ini adalah