Moral Ekonomi Pedagang Ikan Asin Di Kelurahan Pasar Belakang Kec. Sibolga Kota, Kota Sibolga

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.

Moral Ekonomi Pedagang
Pandangan James C. Scott tersebut memberikan inspirasi pula bagi Hans-

Dieter Evers dan kawan-kawan untuk menulis ekonomi moral pedagang. Evers
dan kawan-kawan dalam buku mereka, The Moral Economy of Trade: Ethnicity
and Developing Market (1994: 7) menyutujui pendapat James Scott (1976: 176)
bahwa masyarakat petani umumnya dicirikan dengan tingkat solidaritas yang
tinggi dan dengan suatu sistem nilai yang menekankan tolong-menolong
pemilikan bersama sumberdaya dan keamanan subsistensi. Terdapat bukti kuat
bahwa, bersama-sama dengan resiprositas, hak terdapat subsistensi merupakan
suatu prinsip moral yang aktif dalam tradisi desa kecil. Ini direfleksikan pada
tekanan-tekanan sosial terhadap orang yang relatif berpunya di dalam desa
tersebut untuk membuka tangan dengan lebar menyambut tetangga-tetangga atau
kerabat-kerabat yang kurang bernasib baik (Damsar, 2011:237).
Dalam kondisi seperti ini pedagang menghadapi dilema yaitu memilih
antara memenuhi kewajiban moral kepada kerabat-kerabat dan tetangga-tetangga
untuk menikmati bersama pendapatan yang diperolehnya sendiri di satu pihak dan

untuk mengakumulasikan modal dalam wujud barang dan uang di pihak lain.
Kehidupan masyarakat akan teratur, baik, dan tertata dengan benar bila
terdapat suatu aturan yang sudah disepakati dalam masyarakat tersebut. Salah satu
bentuk peraturan tersebut adalah tentang moral. Dalam bahasa Indonesia, moral
16
Universitas Sumatera Utara

diartikan sebagai susila. Moral adalah ajaran baik-buruk yang diterima masyarakat
dalam perbuatan, sikap, kewajiban, akhlak, budi pekerti dan susila. Norma dan
nilai-nilai merupakan unsur-unsur yang terdapat dalam moral dan dijadikan
sebagai tolak ukur untuk menetapkan baik buruknya tindakan atau perbuatan
sebagai manusia. Norma dapat diartikan sebagai pedoman, ukuran, aturan atau
kebiasaan yang dipakai untuk mengatur sesuatu yang lain atau sebuah ukuran.
Dengan norma ini orang dapat menilai kebaikan atau keburukan suatu perbuatan.
Selain norma, nilai termasuk didalam unsur-unsur moral. Nilai merupakan suatu
harga, isi atau makna dari perbuatan yang memiliki tujuan. Nilai berada di dalam
moral agar seseorang dapat berbuat baik dengan tujuan yang memiliki nilai.
Moral, norma, dan nilai-nilai dapat berjalan apabila didalamnya terdapat atribut
yaitu sifat atau tindakan untuk melakukan hal tersebut sehingga menghasilkan
perilaku-perilaku yang benar dalam kehidupan (Soekanto, 1990:199).

Bertolak dari semuanya itu, moral telah mencakup berbagai aspek
kehidupan baik dalam budaya, agama, politik, pendidikan dan ekonomi. Di dalam
ekonomi, moral juga diperlukan. Moral ekonomi adalah suatu tindakan ekonomi
yang dilakukan oleh pelaku-pelaku ekonomi sesuai dengan etika atau tata tertib
tingkah laku dalam pola bertindak dan berpikir yang dianggap baik dan benar di
dalam aktivitas ekonomi. Nilai-nilai moral diletakkan diatas pertimbangan
ekonomi di dalam setiap pengambilan keputusan untuk menjalankan usaha. Moral
ekonomi dan etos kerja adalah salah satu hal yang penting didalam peningkatan
produktivitas ekonomi.

17
Universitas Sumatera Utara

Moral ekonomi pada awalnya sudah ada sejak masa dulu. Masyarakat pada
awalnya menggunakan sistem barter. Kemudian, dengan adanya perkembangan
muncullah etika subsistensi pada petani. Moral ekonomi petani tidak berorientasi
pada untung dan menghindari resiko. Mereka bekerja hanya untuk mencukupi
kebutuhan semata.
Sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh James.C.Scott pada
petani di Asia tenggara ditemukan bahwa banyak petani di Asia tenggara yang

hasil panennya hanya digunakan sebagai bahan pangan saja. Mereka
menggunakan hasilnya untuk kebutuhan hidup, selebihnya dijual untuk membeli
beberapa barang kebutuhan seperti garam, kain dan untuk memenuhi tagihantagihan dari pihak luar (Scott, 1981:4-5). Sifat resiprositas dan prinsip ”dahulukan
selamat” masih melekat pada masyarakat ini. Sudah menjadi suatu konsensus
yang tak terucapkan mengenai resiprositas pada petani untuk menolong kerabat,
teman dan tetangga dari kesulitan dan akan mengharapkan perlakuan yang sama
apabila mereka dalam kesulitan. Norma-norma inilah yang telah melekat dalam
moral ekonomi petani, (Scott, 1981:19).
Tetapi ketika petani mengalami pungutan-pungutan terhadap hasil
produksi mereka, maka muncul moral ekonomi untuk melakukan suatu tindakan
yang benar agar subsistensi mereka tidak terancam. Para petani, menurut James
Scott mulai mencari pekerjaan-pekerjaan sampingan. Seperti berjualan kecilkecilan, menjadi tukang kecil, buruh lepas atau malah berimigrasi. Hal-hal
tersebut mulai dilakukan para kaum Peasant untuk tidak tergantung pada bantuan
orang lain dengan cara mulai menjual hasil pertanian ke pasar. Pada saat
18
Universitas Sumatera Utara

kebutuhan dan perkembangan semakin maju, maka etika subsistensi kurang
mampu untuk memenuhi kebutuhan hidup sehingga muncul sistem ekonomi uang.
Sesuai dengan perkembangan dan meningkatnya kebutuhan maka sistem

barter yang dilakukan oleh mayarakat pertama berangsur-angsur berubah.
Demikian juga dengan moral ekonomi petani yang sifatnya subsistensi dan
menghindari resiko juga mengalami peubahan. Perkembangan manusia selalu
dinamis karena itu ketika para peasant mengalami dilema, maka mereka mulai
mengubah moral ekonomi mereka. Sifat untuk mencapai untung dan mulai
mengambil resiko mulai dilakukan oleh kaum peasant yang dimulai dengan
menjadi pedagang. Moral ekonomi pedagang yang masih disisipi oleh moral
ekonomi petani mulai mengalami berbagai perkembangan.
Menurut Hans Dieter Evers dalam Damsar (2000: 90-92), moral ekonomi
pedagang tetap menghadapi permasalahan dalam aktivitas jual-beli. Evers
menyatakan bahwa para pedagang seringkali mengalami dilema, hal inilah yang
menyebabkan adanya pertentangan dalam diri pedagang sendiri. Apabila
pedagang menggunakan harga yang tinggi, maka dagangannya tidak akan laku,
tetapi apabila pedagang menjual dagangannya dengan harga murah sedangkan
modal sangat mahal maka kerugian akan dialami atau jika pedagang bermurah
hati dengan menetapkan harga yang rendah atau memperpanjang jangka waktu
pembayaran maka pedagang itu akan menghadapi kerugian juga.

19
Universitas Sumatera Utara


Dalam keadaan seperti ini menurut H.D.Evers, pedagang berusaha mencari
jalan keluar sendiri. Diantaranya adalah dengan memilih jalan untuk merantau
atau membuka usahanya di daerah lain, sehingga pertentangan batinpun tidak ada
lagi. Evers memandang bahwa pedagang adalah manusia yang kreatif dan
dinamis. Hal ini didasarkan kepada para pedagang yang tidak tertumpu pada
norma-norma yang ada di didalam masyarakat. Mereka bisa menyelesaikan
permasalahan pribadi tanpa melanggar norma-norma yang ada. Berbeda seperti
yang dinyatakan James Scott tentang moral ekonomi petani yang didasarkan atas
norma subsistensi dan norma resiprositas yang terikat sangat statis pada aktivitas
ekonomi mereka. Prinsip moral tersebut dipelajari, dipahami, dan diterapkan
dalam kehidupan melalui proses pembudayaan secara terus-menerus dan
diwariskan secara turun-temurun dari generasi ke generasi. Di sini yang menjadi
alat kontrol atas tingkah laku seseorang di dalam komunitas adalah ukuran “baik
dan buruk” berdasarkan sistem nilai (budaya) yang dianut oleh masyarakat.
Pada dasarnya setiap manusia yang terlibat dalam aktivitas perekonomian
akan mengalami hal yang sama dalam dilema atau permasalahan dalam aktivitas
ekonomi, baik masyarakat petani, pedagang, nelayan baik mereka yang ada di
desa maupun di perkotaan. Apabila mereka menghadapi masalah yang disebut
dengan masalah subsistensi atau resiprositas, maka mereka akan mencoba untuk

melakukan tindakan-tindakan yang baru seperti menjual, menggadaikan,
meminjam uang (berhutang) dan tindakan lainnya. Tujuan dari semua itu adalah
untuk mengamankan posisi mereka dalam aktivitas perekonomian di dalam
menghadapi persaingan yang ada.

20
Universitas Sumatera Utara

Melihat dilema yang dialami oleh pedagang tersebut, Hans Dieter Evers
dalam Damsar (2000) menemukan 5 (lima) solusi atau jalan keluar yang berbeda
dengan apa yang dilakukan oleh para pedagang dalam menghadapi dilema
tersebut, yaitu:
1. Imigrasi Pedagang Minoritas
Kelompok minoritas baru dapat diciptakan melalui migrasi atau dengan
etnogenesis yaitu munculnya identitas etnis baru. Cara diferensiasi etnis
dan budaya tersebut secara efektif dapat mengurangi dilema pedagang.
Evers memberikan contoh tentang ”pedagang kredit” yang ada di
Sumateraa Utara, yang sebagian berasal dari suku Batak dan beragama
Kristen yang melakukan aktivitas dagangnya sebagai penjual pakaian dan
kain bakal baju kepada orang-orang desa dengan pembayaran tidak

kontan. ”Pedagang kredit” itu sendiri membeli barang dagangannya
kepada pedagang grosir yang umumnya orang Minangkabau. Evers
melihat jika orang Minangkabau sendiri yang melakukan ”perdagangan
kredit’ seperti yang dilakukan oleh orang Batak, di kampung halaman
tempat asalnya maka dia akan dihadapkan kepada dilema yaitu antara
mencari keuntungan untuk mengakumulasi modal dan kewajiban moral
untuk menikmati bersama dengan orang sekampung atas penghasilannya.
Untuk menghindari dilema tersebut maka lebih baik merantau (migrasi) ke
daerah lain dan melakukan aktivitas perdagangan di sana.

21
Universitas Sumatera Utara

2. Pembentukan Kelompok-Kelompok Etnis atau Religius
Muncul dua komunitas moral yang menekankan pentingnya kerja sama
tetapi tidak keluar dari batas-batas moral. Seperti pedagang kredit yang
ada di Sumatera Barat, mereka dibutuhkan oleh masyarakat Sumatera
Barat sebagai pemasok kebutuhan sandang baru, sedangkan pedagang
sendiri memperoleh untung yang relatif besar karena harga ditetapkan
relatif lebih tinggi dari harga di pasaran. Ini berarti terdapat hubungan

kerja sama yang saling menguntungkan antara masyarakat pedesaan
Sumatera Barat dan pedagang kredit yang masing-masing memiliki
komunitas moral sendiri yaitu agama Islam dan agama Kristen.
3. Akumulasi Status Kehormatan (Moral Budaya)
Melalui peningkatan akumulasi modal budaya berarti adanya peningkatan
derajat kepercayaan masyarakat untuk melakukan aktivitasnya. Sesuai
dengan studi Geertz tentang peranan santri pada sektor perdagangan orang
Jawa bahwa kedermawanan, keterlibatan dalam urusan masyarakat,
berziarah, menunaikan ibadah haji yang dilakukan oleh kaum santri
memberi dampak kepada akumulasi modal budaya yang dimiliki. Hal ini
menghindari dari cemoohan masyarakat sebagai orang kikir dan tamak
tetapi sebaliknya dianggap orang yangberbudi baik dan bermurah hati.
4. Munculnya Pedagang Kecil dengan Ciri “Ada Uang Ada Barang”
Dengan mengambil fenomena pedagang bakul di Jawa, Evers melihat
bahwa para pedagang bakul kurang ditundukkan oleh tekanan solidaritas
jika dibandingkan dengan pedagang yang lebih besar. Pedagang bakul

22
Universitas Sumatera Utara


akan bersikeras melakukan transaksi dalam bentuk “ada uang ada barang”
dan menghindari masalah utang piutang dengan pelanggan. Apabila ada
permintaan kredit maka akan dipertimbangkan dengan sangat hati-hati dan
sangat dibatasi sehingga tidak muncul resiko perkreditan. Dengan ciri-ciri
yang dimiliki oleh pedagang kecil tersebut, memungkinkan pedagang
untuk menghindari dilema yang biasanya dialami.
5. Depersonalisasi (Ketidakterlekatan) Hubungan-Hubungan Ekonomi.
Jika ekonomi pasar berkembang dan hubungan-hubungan ekonomi relatif
tidak terlekat atau terdiferensiasi maka dilema pedagang ditransformasikan
ke dalam dilema sosial pasar ekonomi kapitalis. Evers melihat bahwa
suatu ekonomi modern memerlukan rasionalisasi hubungan-hubungan
ekonomi dan keunggulan produktivitas di satu sisi dan di sisi lain keadilan
sosial dan redistribusi dibutuhkan untuk mempertahankan legitimasi
penguasa serta tatanan sosial dan politiknya. Ini bukan berarti dilema
pedagang hilang tetapi nilainya turun dan ditransformasikan ke dalam
suatu figur sosial dan budaya baru.
2.2

Tindakan Ekonomi
Tindakan ekonomi adalah suatu bentuk dari tindakan sosial. Menurut


Weber, tindakan ekonomi dapat dipandang sebagai suatu tindakan sosial sejauh
tindakan tersebut memperhatikan tingkah laku orang lain. Aktor sebagai pelaku
ekonomi akan selalu mengarahkan tindakannya menurut kebiasaan dan adat dari
nilai-nilai dan norma yang dimiliki dalam sistem hubungan sosial yang sedang
berlangsung. Pada kelompok masyarakat petani, tindakan ekonomi merupakan
23
Universitas Sumatera Utara

cerminan langsung dari moral ekonomi sedangkan pada masyarakat pedagang,
tindakan ekonomi merupakan kombinasi antara moral ekonomi, kepentingan
ekonomi dan dimensi moral mereka yang senantiasa dinamis. Norma-norma
moral, adat, hukum dipandang sebagai sesuatu yang mengganjal dalam mencapai
kepentingan pribadi. Tetapi sebagai manusia yang kreatif, masyarakat pedagang
tetap mencari jalan keluar dengan melakukan proses interaksi antara pedagang
dengan pedagang maupun pedagang dengan kelompok masyarakat, (Damsar,
2000:92-100).
Ekonomi mengasumsikan bahwa setiap individu memiliki pilihan-pilihan
atau preferensi tertentu. Tindakan individu bertujuan untuk memaksimalkan
utilitas dan keuntungan yang selanjutnya dalam ekonomi disebut prinsip

rasionalitas. Akan tetapi pandangan tersebut berbeda dari sudut pandang sosiologi,
yakni seperti yang dikemukakan Weber mengenai tindakan yang dalam sosiologi
dibedakan menjadi tindakan rasional, tradisional dan spekulatif-irrasional.
Para ekonom cenderung menganggap bahwa tindakan ekonomi dapat
ditarik dari hubungan antara preferensi selera dengan harga ataupun jasa pada sisi
lainnya. Sementara pandangan sosiolog memberi makna tindakan aktor yang
dikontruksi secara historis. Mengenai tindakan ekonomi, para ekonomi relatif
tidak memperhatikan aspek power atau kekuasaan karena menurut sudut pandang
ekonomi tindakan ekonomi dianggap sebagai pertukaran diantara yang sederajat.
Sedangkan menurut sosiologi tidaklah demikian, melainkan power ataupun
kekuasaan dipandang sebagai salah satu dimensi yang penting dalam menentukan
tindakan ekonomi.
24
Universitas Sumatera Utara

Tindakan ekonomi tidak dapat terlepas dari moral ekonomi dalam
ekonomi pasar. Di dalam ekonomi pasar, ditemukan budaya yang mempengaruhi
sistem nilai-nilai setiap pelaku ekonomi sesuai dengan yang mereka yakini dan
pilihan-pilihan rasional yang menuntun para pelaku ekonomi untuk melakukan
kegiatan mereka.
2.3

Resiprositas
Polanyi mengartikan resiprositas sebagai hubungan timbal balik antara

orang-orang yang berkedudukan yang sama dalam suatu masyarakat. Redistribusi
merupakan suatu pengumpulan barang dan atau jasa pada suatu titik pusat tertentu
( raja atau kepala suku), kemudian barang dan jasa tersebut dikembalikan secara
merata oleh pihak titik pusat kepada masyarakat luas. Sedangkan pertukaran pasar
menunjuk pada hubungan timbal balik antara orang-orang yang mana aturan
hubungan itu dibentuk oleh kekuatan pasar yang menciptakan terbentuknya suatu
harga. (Polanyi)
Resiprositas menunjuk pada gerakan di antara kelompok-kelompok
simetris yang saling berhubungan. Ini terjadi apabila hubungan timbal balik antara
individu-individu atau antara kelompok-kelompok sering dilakukan. Hubungan
bersifat simetris terjadi apabila hubungan antara berbagai pihak (antara individu
dan individu, individu dan kelompok serta kelompok dan kelompok) memilik
posisi dan peranan yang relatif sama dalam suatu proses pertukaran.

25
Universitas Sumatera Utara

Dari berbagai kepustakaan yang ada tentang resiprositas dapat disimpulkan
terdapat dua jenis resiprositas, yaitu :
1. Resiprositas sebanding (generalized reciprocity)
Resiprositas sebanding merupakan kewajiban membayar atau membalas
kembali kepada orang atau kelompok lain atas apa yang mereka berikan
atau lakukan untuk kita secara setara, seringkali, langsung, dan terjadwal.
Jadi resiprositas sebanding dapat diidentifikasikan dengan kenyataan
bahwa individu dengan sengaja dan terbuka mengkalkulasikan apa yang
mereka berikana kepada orang lain dan secara terebuka dinyatakan sifat
pengembalian yang akan diperoleh.
2. Resiprositas umum
Kewajiban member atau membantu orang atau kelompok lain tanpa
mengharapkan pengembalian, pembayaran atau balasan yang setara dan
langsung. Resiprositas umum tidak menggunakan kesepakatan terbuka aau
langsung antara pihak-pihak terlibat. Ada harapan bersifat umum (general)
bahwa pengembalian setara atau hutang ini akan tiba pada saatnya, tetapi
tidak ada batas waktu tertentu pengembalian, juga tidak ada spesifikasi
mengenai bagaimana pengembalian itu dilakukan (Sanderson, 2003: 118).
2.4

Modal Sosial
Modal sosial atau social capital merupakan satu terminologi baru yang

dikembangkan oleh ahli-ahli sosial untuk memperkaya pemahaman kita tentang
masyarakat dan komunitas. Modal sosial menjadi khasanah perdebatan yang

26
Universitas Sumatera Utara

menarik bagi ahli-ahli sosial dan pembangunan khususnya awal tahun 1990-an.
Teori tentang modal sosial ini pada awalnya dikembangkan oleh seorang sosiolog
Perancis bernama Pierre Bourdieu, dan oleh seorang sosiolog Amerika Serikat
bernama James Coleman. Bourdieu menyatakan ada tiga macam modal, yaitu
modal uang, modal sosial, dan modal budaya, dan akan lebih efektif digunakan
jika diantara ketiganya ada interaksi sosial atau hubungan sosial. Modal sosial
dapat digunakan untuk segala kepentingan, namun tanpa ada sumber daya fisik
dan pengetahuan budaya yang dimiliki, maka akan sulit bagi individu-individu
untuk membangun sebuah hubungan sosial. Hubungan sosial hanya akan kuat jika
ketiga unsur diatas eksis (Hasbullah, 2004:9).
James Coleman mengartikan modal sosial (social capital) sebagai struktur
hubungan antar individu-individu yang memungkinkan mereka menciptakan nilainilai baru. Menurut Coleman, modal sosial lemah oleh proses-proses yang
merusak kekerabatan, seperti perceraian dan perpisahan, atau migrasi. Ketika
keluarga meninggalkan jaringan-jaringan kekerabatan mereka yang sudah ada,
teman-teman dan kontak-kontak yang lainnya, maka nilai dari modal sosial
mereka akan jatuh (Field, 2005:140).
Fukuyama merumuskan modal sosial dengan mengacu kepada “normanorma informal yang mendukung kerjasama antara individu dan kapabilitas yang
muncul dari prevalensi kepercayaan dalam suatu masyarakat atau di dalam
bagian-bagian tertentu dari masyarakat. Modal sosial dapat menfasilitasi ekspansi
ekonomi ke tingkat yang lebih besar bila didukung dengan radius kepercayaan
yang meluas (Ahmadi, 2003: 6 ). Putnam merumuskan modal sosial dengan
27
Universitas Sumatera Utara

mengacu pada ciri-ciri organisasi sosial, seperti jaringan, norma-norma, dan
kepercayaan yang menfasilitasi koordinasi kerjasama untuk sesuatu yang
manfaatnya bisa dirasakan secara bersama-sama (mutual benafit).modal sosial
dalam bentuk struktur masyarakat yang horizontal ( yang kemudian melahirkan
asosiasi-asiosiasi horisontal) berperan penting dalam mendukung kemajuan
ekonomi.
Menurut Robert Lawang, modal sosial menunjuk pada semua kekuatan
kekuatan sosial komunitas yang dikontruksikan oleh individu atau kelompok
dengan mengacu pada struktur sosial yang menurut penilaian mereka dapat
mencapai tujuan individual dan/atau kelompok secara efisien dan efektif dengan
modal-modal lainnya (Lawang, 2004:24). Konsep modal sosial menawarkan
betapa pentingnya suatu hubungan. Dengan membagun suatu hubungan satu sama
lain, dan memeliharanya agar terjalin terus, setiap individu dapat bekerjasama
untuk memperoleh hal-hal yang tercapai sebelumnya serta meminimalisasikan
kesulitan yang besar. Modal sosial menentukan bagaimana orang dapat bekerja
sama dengan mudah. Hakikat modal sosial adalah hubungan sosial yang terjalin
dalam kehidupan sehari-hari warga masyarakat. Hubungan sosial mencerminkan
hasil interaksi sosial dalam waktu yang relatif lama sehingga menghasilkan
jaringan, pola kerjasama, pertukaran sosial, saling percaya, termasuk nilai dan
norma yang mendasari hubungan sosial tersebut (Ibrahim, 2006:110).
Pierre Bourdieu (Dalam Field, 2005:16) menjelaskan bahwa pusat
perhatian utamanya dalam modal sosial adalah tentang pengertian “tataran sosial”.
Menurutnya bahwa modal sosial berhubungan dengan modal-modal lainnya,
28
Universitas Sumatera Utara

seperti modal ekonomi dan modal budaya. Ketiga modal tersebut akan berfungsi
efektif jika kesemuanya memiliki hubungan. Modal sosial dapat digunakan untuk
segala kepentingan dengan dukungan sumberdaya fisik dan pengetahuan budaya
yang dimiliki, begitu pula sebaliknya.dalam konteks huibungan sosial, eksistensi
dari ketiga modal (modal sosial, modal ekonomi dan budaya) tersebut merupakan
garansi dari kuatnya suatu ikatan hubungan sosial.
Pierre Bourdieu (Dalam Field, 2005:16) menjelaskan bahwa pusat
perhatian utamanya dalam modal sosial adalah tentang pengertian “tataran sosial”.
Menurutnya bahwa modal sosial berhubungan dengan modal-modal lainnya,
seperti modal ekonomi dan modal budaya. Ketiga modal tersebut akan berfungsi
efektif jika kesemuanya memiliki hubungan. Modal sosial dapat digunakan untuk
segala kepentingan dengan dukungan sumberdaya fisik dan pengetahuan budaya
yang dimiliki, begitu pula sebaliknya.dalam konteks huibungan sosial, eksistensi
dari ketiga modal (modal sosial, modal ekonomi dan budaya) tersebut merupakan
garansi dari kuatnya suatu ikatan hubungan sosial.
Pada masyarakat dikenal beberapa jenis modal, yaitu modal budaya
(culturalcapital), modal manusia (human capital), modal keuangan (financial
capital) dan modaklfisik. Modal budaya lebih menekankan pada kemampuan
yang dimiliki seseorang, yang diperoleh dari lingkungan keluarga atau lingkungan
sekitarnya. Modal manusia lebih merujuk pada kemampuan, keahlian yang
dimiliki individu. Modal keuangan merupakan uang tunai yang dimiliki, tabungan
pada bank, investasi, fasilitas kredit dan lainya yang bisa dihitung dan memiliki
nilai nominal. Modal fisik dikaitkan dengan segala sesuatu yang berkaitan dengan
29
Universitas Sumatera Utara

material atau fisik.
Modal sosial akan dapat mendorong keempat modal diatas dapat
digunakan lebih optimal lagi. Menurut Hasbullah, modal sosial adalah
sumberdaya yang dapat dipandang sebagi investasi untuk mendapatkan
sumberdaya baru.. Di mana kebudayaan tersebut dapat membantu masyarakat atau
komunitas supaya bisa menumbuh kembangkan kehidupan ekonomi masyarakat
atau komunitas tersebut. Kemampuan komunitas mendayagunakan modal sosial
membuat penggunaan modal menjadi lebih efektif dan efisien sehingga
memungkinkan terciptanya sistem pengelolaan yang berkelanjutan.
Beberapa defenisi yang diberikan para ahli tentang modal sosial yang
secara garis besar menunjukkan bahwa modal sosial merupakan unsur pelumas
yang sangat menentukan bagi terbangunnya kerjasama antar individu atau
kelompok atau terbangunnya suatu perilaku kerjasama kolektif. Dalam modal
sosial selalu tidak terlepas pada tiga elemen pokok yang ada pada modal sosial
yang mencakup
(a) Kepercayaan/Trust (kejujuran, kewajaran, sikap egaliter, toleransi, dan
kemurahan hati);
(b) Jaringan Sosial/Social Networks (parisipasi, resiprositas, solidaritas,
kerjasama);
(c) Norma/norms (nilai-nilai bersama, norma dan sanksi, aturan-aturan).
Menurutnya ketiga elemen modal sosial di atas berikut aspek-aspeknya
pada hakikatnya adalah elemen-elemen yang ada atau seharusnya ada dalam
kehidupan sebuah kelompok sosial, apakah kelompok itu bernama komunitas,

30
Universitas Sumatera Utara

masyarakat, suku bangsa, atau kategori lainnya atau dengan kata lain elemenelemen modal sosial tersebut merupakan pelumas yang melicinkan berputarnya
mesin struktur sosial.

2.5

Pengertian dan Fungsi Distribusi

Banyaknya jenis kebutuhan manusia yang harus dipenuhi, memerlukan
usaha yang lebih banyak untuk menghasilkan barang dan jasa. Dengan banyaknya
barang dan jasa yang dihasilkan, memerlukan kegiatan tertentu agar hasil tersebut
dapat sampai ke tangan pengguna (konsumen). Semakin cepat barang atau jasa
digunakan oleh konsumen, semakin menguntungkan kedua belah pihak baik
produsen maupun konsumen.Untuk menyampaikan barang dan jasa dari produsen
ke konsumen dengan cepat, menguntungkan, efisien (berhasil guna), dan efektif
(berdaya guna), maka dibutuhkan kegiatan distribusi yang dilakukan oleh satu
lembaga yang disebut distributor.

Distribusi barang dan jasa adalah suatu kegiatan untuk menyampaikan,
menyebarkan, atau menyalurkan barang dan jasa dari produsen kepada konsumen.
Orang atau lembaga yang menjalankan kegiatan distribusi disebut distributor.
Kegiatan ekonomi yang berhubungan dengan distribusi umumnya dilakukan oleh
para pedagang yang menyalurkan barang dan jasa dari produsen ke konsumen.
Dalam penyaluran barang dan jasa, distribusi mempunyai fungsi sebagai berikut.

31
Universitas Sumatera Utara

2.5.1

Fungsi Distribusi

a.

Menyalurkan Barang dan Jasa Dari Produsen Ke Konsumen
Para distributor dalam menjalankan kegiatannya, melayani produsen

dengan menyalurkan hasil produksinya ke pihak konsumen yang membutuhkan.
Di sinilah letak fungsi utama distribusi berupa menyalurkan barang dan jasa.

b.

Memecahkan Perbedaan Tempat

Produsen dan konsumen yang berbeda tempat dapat menimbulkan
perbedaan harga barang yang tinggi. Produsen padi di sentra-sentra produksi padi,
harga beras lebih murah dibanding tempat konsumen yang tidak menghasilkan
beras. Untuk mengatasi perbedaan harga, pedagang membawa beras dari sentra
produksi padi yang harganya lebih murah, ke tempat konsumen sehingga harga
beras dapat terjangkau oleh para konsumen. Perbedaan tempat dan hasil produksi
diatasi oleh pedagang dengan membagi hasil produksi secara merata di tempat
yang kelebihan produksi ke tempat yang kekurangan produksi.

c.

Memecahkan Perbedaan Waktu

Waktu pada saat barang dihasilkan biasanya tidak bersamaan dengan
waktu pada saat barang dibutuhkan, misalnya padi dan gula yang dihasilkan
secara musiman, namun dibutuhkan secara terus-menerus oleh konsumen.
Perbedaan waktu ini diatasi oleh para pedagang dengan melakukan pembelian
diwaktu panen, kemudian menyimpannya, dan pada waktu dibutuhkan konsumen
baru dijual kembali sehingga kebutuhan konsumen tetap terjaga. Dalam hal ini,

32
Universitas Sumatera Utara

pedagang telah membantu memperlancar arus barang dan menjaga tingkat harga
yang normal.

d.

Seleksi dan Kombinasi Barang

Konsumen umumnya membutuhkan beberapa macam barang dan jasa
untuk memenuhi kebutuhannya. Karena beragam kebutuhan konsumen ini, maka
para pedagang juga harus mampu menyediakan beberapa macam barang dan jasa
tersebut sesuai kebutuhan konsumen. Para pedagang mengatasi perbedaan itu
dengan menyediakan bermacam barang dan jasa dalam jumlah dan mutu yang
diinginkan para konsumen sesuai daya belinya.

2.5

Konsep Aktor
Ekonomi seperti yang disebutkan sebelumnya merupakan suatu usaha

dalam pembuatan keputusan dan pelaksanaannya yang berhubungan dengan
pengalokasian sumber daya masyarakat dengan mempertimbangkan kemampuan,
usaha, dan keinginan masing-masing. Bisa dikatakan kegiatan ekonomi
merupakan cara bagaimana orang secara individual atau kelompok memenuhi
kebutuhan hidup terhadap barang dan jasa. Dalam hal ini segala aktifitas yang
dilakukan mereka berhubungan dengan proses produksi, distribusi, dan konsumsi.
Individu merupakan titik tolak dalam analisis ekonomi. Sebagaimana yang
diterangkan dalam buku pengantar sosiologi ekonomi karangan Prof. Dr. Damsar
yang mengatakan bahwa pendekatan individu dalam analisis ekonomi berakar dari
utilitarianisme dan ekonomi politik Inggris. Utilitarianisme mengasumsikan

33
Universitas Sumatera Utara

bahwa individu adalah makhluk yang rasional, senantiasa menghitung dan
membuat pilihan yang dapat memperbesar kesenangan pribadi atau keuntungan
pribadi, dan mengurangi penderitaan atau menekan biaya. Sementara ekonomi
politik Inggris dibangun diatas prinsip “laissez faire” yaitu “biarkan hal-hal
sendiri, biarkan hal yang baik masuk”. Artinya biarkan individu mengatur dirinya,
karena individu tahu yang dimauinya. Akan tetapi kontrol negara tetap dibutuhkan
sebagai penjaga dalam kebebasan individu dalam mendapatkan keuntungan yang
diinginkan.
Mengapa individu diberi kebebasan? Jawabannya karena individu itulah
sendiri yang lebih mengetahui daripada orang lain mengenai kemampuan,
pengetahuan, keterampilan, jaringan, dan lainnya yang dimilikinya. Sebagai
contoh, Rudi memilih bekerja sebagai makelar kendaraan bermotor dibandingkan
menjadi seorang guru SMA, meskipun dia seorang sarjana pendidikan bahasa,
dengan berbagai pertimbangan yang rasionalnya, seperti kemampuan finansial,
pengetahuan, keterampilan, jaringan dan dukungan dari anggota keluarga dan
kerabat lainnya yang lebih dulu berkelut dan semuanya berhasil. Sehingga dia
menjatuhkan pilihan tersebut dan dianggap sebagai keputusan yang rasional dan
tepat. Lain lagi dengan Sinta yang meninggalkan pekerjaannya sebagai penjual
pakaian dan pindah menjadi guru SD setelah lulus ujian dengan status PNS
(Pegawai Negeri Sipil). Dia beranggapan menjadi penjual baju butuh modal yang
besar sementara dia berasal dari keluarga miskin dan dia merasa tidak cocok
berprofesi sebagai pedagangan. Tapi menjadi guru adalah profesi yang diidamidamkan sejak dulu serta didukung dengan kemampuan dan keterampilannya

34
Universitas Sumatera Utara

sebagai tenaga pengajar yang baik. Dia juga berpamdangan bahwa jika menjadi
PNS maka masa tuanya setelah pensiun akan dijamin oleh negara.
Contoh lain, yang dikutip dalam buku pengantar sosiologi ekonomi, seorang
wanita karir yang melihat dirinya dalam kaitannya dengan apa yang dilakukannya,
diperbuat atau dikerjakannya. “Apapun kata orang tentang diriku, kutahu yang
kumau”. Itulah cara berpikir dan prinsip sang wanita karir itu. Beginilah cara
ekonomi klasik memandang aktor, dalam hal ini wanita karir tersebut.
Beda dalam pendangan sosiologi dalam mendiskusikan individu, aktor
dianggap sebagai kesatuan yang dikonstruksi secara sosial, yaitu aktor dalam
suatu interaksi atau aktor dalam masyarakat. Aktor dalam suatu interkasi artinya
individu yang terlibat dalam suatu interaksi dengan individu atau beberapa
individu lainnya. Individu dipandang sebagai aktor kreatif dalam menciptakan,
mempertahankan, dan merubah dunianya pada saat interaksi berlangsung. Contoh,
seorang mahasiswa yang setiap harinya mengenakan pakaian-pakaian bermerek
dan mengendarai mobil mewah ke kampus, berpenampilan bagus daripada temantemannya yang lain, seakan-akan memamerkan kekayaan orang tuanya. Suatu hari
ketika mangikuti perkuliahan, dia pun ditunjuk oleh dosen ke depan dan
memberikan penjelasan ke teman-teman sekelasnya tentang tema yang diangkat
pada saat perkuliahan tersebut. Tapi apa yang terjadi, mahasiswa tersebut maju
dan berdiri di depan dengan tubuh gemetaran dan tidak mampu mengeluarkan satu
kata pun dari mulutnya. Sudah beberapa menit berdiri, belum juga melontarkan
sebuah kata.

Akhirnya sang dosen, mengeluarkan kalimat kepadanya,

“penampilan saudara layaknya orang dewasa, tapi sayang saudara masih

35
Universitas Sumatera Utara

dikalahkan oleh seorang anak TK”. Mahasiswa tersebut merasa sangat malu
dihadapan dosen dan mahasiswa lainnya. Semenjak peristiwa itu, dia pernampilan
sederhana seperti mahasiswa lainnya dan tidak lagi memamerkan kekayaan orang
tuanya. Berdasarkan contoh di atas terlihat dengan jelas pentingnya konteks
interaksi dalam memperoleh perilaku seseorang dalam berbusana.
Selanjutnya yang dimaksud aktor dalam masyarakat adalah individu yang
identitas dirinya tidak tampil tetapi tersembunyi dalam suatu kesatuan yang
dinamakan masyarakat. Masyarakat sebagai satu kesatuan yang di dalamnya
terdiri dari individu-indivdiu yang membentuknya. Sebagai contoh, hubungan
persahabatan yang dipandang oleh Berger sebagai masyarakat. Pola hubungan
persahataan dengan pola hubungan teman biasa sangat berbeda. Pola hubungan
persahabatan dikenal dengan istilah sistem interaksi atau dikenal juga sebagai
masyarakat, sedang pola hubungan teman biasa hanya disebut sebagai interaksi
sosial biasa.
Dari penjelasan di atas, dapat ditekankan bahwa aktor dalam sosiologi tidak
bisa dilihat sebagai individu itu sendiri, akan tetapi individu itu harus
dihubungkan atau dikaitkan dengan individu lainnya baik sebagai peroranga
mapun dalam bentuk kelompok.Dari segi ekonomi, mengasumsikan bahwa aktor
tidak dihubungkan dengan aktor lainnya. Sedang dari segi sosiologi,
mengasumsikan bahwa aktor dihubungkan dengan dan dipengaruhi oleh aktor
lainnya (Damsar 2009).

36
Universitas Sumatera Utara