FAKTOR FAKTOR PSIKIS YANG BERPENGARUH TE (2)

FAKTOR-FAKTOR PSIKIS YANG BERPENGARUH TERHADAP
PROSES DAN HASIL BELAJAR
A. Pendahuluan
Pendidikan, sebagaimana termaktub dalam UUD No. 20 Tahun
2003 Pasal 1 adalah, “Usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan
suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara
aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan negara.1” secara maknawi, representase
dari pasal ini mengandung dua retribusi yang harus direalisasikan.
Pertama, bahwa proses pendidikan merupakan kegiatan proses
pembelajaran yang harus berlangsung secara efektif dan efesiensi.
Kedua, bahwa kegiatan pembelajaran yang dilakukan berorientasi
pada tujuan pembelajaran, yang dalam bahasa umum disebut dengan
“Hasil belajar”, dengan demikian secara umum pendidikan itu
sifatnya elaboratif dann evaluatif.
Menyangkut hal-hal yang praktis, proses pembelajaran
merupakan kegaitan inti dari sebuah pendidikan. Selain bersifat
dogmatis-inkuiri dalam menanamkan nilai-nilai dan menyampaikan
materi pelajaran, juga banyak hal yang harus diperhatikan terkait

dengan pra-inter-pembelajaran yang pada gilirannya mempunyai
kolerasi terhadap pelaksanaan pembelajaran, di antaranya ialah
faktor pisikis anak. Dalam banyak studi –seperti yang akan
dijelaskan pada bagian selanjutnya- bahwa psikis anak sangat besar
kaitannya terhadap efektifitas proses pembelajaran.
Kematangan psikis anak, selain menentukan keterlaksanaan
proses pembelajaran secara efektif dan efesien, juga merupakan
faktor penentu ketercapaian tujuan pendidikan seperti yang
dimaksudkan dalam undang-undang di atas. Secara reflektif, tujuan
pendidikan selain bersifat observatif juga dapat dikalkulasikan
berdasarkan kriteria-kriteria yang telah ditentukan, karena tujuan
pendidikan merupakan sesuatu yang konkrit dan terukur.
Pada bagian di bawah ini, pemakalah akan mencoba mengurai
“Faktor-Faktor Psikis Yang Berpengaruh Terhadap Proses Dan
Hasil Belajar.”
B. Prinsip Dasar Proses Belajar Mengajar
Prinsip, jika diambil dalam makan literal seperti yang
diungkapkan oleh William J. Byron dalam bukunya bermakna keyakinan
yang diinternalisasikan yang menghasilkan tindakan. 2 Berdasarkan
prinsip-prinsp yang digariskan diharapkan dapat memberikan batasan

1 Undang-Undang Repuplik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem
Pendidikan Nasional & Undang-Undang Repuplik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005
Tentang Guru Dan Dosen (Jakarta: Visimedia, 2007), h. 2.

1

dan kajian peluang terhadap tindakan yang dilakukan, karena prinsip
tersebut menjadi “garis putus-putus” yang terhubung ke dalam setiap
aktivitas dilaksanakan. Dengan makna wilayah educatif, dengan
prinsip-prinsp pembelajaran yang disepakati tersebut akan membantu
guru (eksekutor) dalam memilih tindakan yang tepat.3
Berkaitan dengan prinsip-prinsip pembelajaran —seperti halnya
juga disebutkan dalam pembahasan sebelum makalah ini— telah
banyak disebutkan, beberapa ahli, meskipun tidak ada rincian pasti
dalam melukiskan prinsip-prinsip pembelajaran, namun ada hal-hal
umum yang bisa dirujuk sebagai prinsip pokok dalam pembelajaran.
Prinsip umum tersebut adalah;
a. Prinsip perhatian dan motivasi belajar.
b. Prinsip keaktifan belajar.
c. Prinsip keterlibatan langsung belajar.

d. Prinsip pengulangan belajar.
e. Prinsip sifat perangsang dan menantang dari materi yang
dipelajari.
f. Prinsip pemberian balikan dan penguruan dalam belajar.
g. Prinsip perbedaan individual dalam belajar.4
Prinsip-prinsip tersebut di atas menjadi tenaga positif yang
menjadi nilai dasar pelaksanaan pembelajaran. Pada saat
melaksanakan pembelajaran, guru diharuskan sebisa mungkin untuk
dapat memberian motivasi terhadap siswa, guru dalam kegiatan
pembelajaran tesebut juga harus mengupayakan dan menciptakan
suasana yang
kondusif, aktif dan inovatif, dalam kegiatan
pembelajaran juga harus diperhatikan dan disadari prinsip-prinsip
perbedaan yang ada. Jika Rambu-rambu ini benar-benar diperhatikan
maka bisa diduga keberlangsungan pembelajaran akan berjalan
dengan baik, dan pada gilirannya nanti akan menjadi penentu dalam
pencapaian keber-hasilan belajar.

C. Hasil Belajar Sebagai Tujuan
Dalam amandemen UUD 1945 pasal 31 ayat 3 menyebutkan

“Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem
pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan
serta ahlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,
yang diatur dengan undang-undang.” Dan pada ayat 5 disebutkan
“Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan
2 William J. Byron, The Power Of Principles, terj, Hardono Hadi (Yogyakarta:
Kanisius, 2010), h. 12
3 Dimyati & Mudjiono, Belajar Dan Pembelajaran (Jakarta: Rineka Cipta,
2006), h. 41
4 Moh. Suardi, Belajar Dan Pembelajaran (Yogyakarta: Deepuplish,2001), h.
55

2

menunjang tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk
kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.”5 Pasal
tersebut kemudian dilanjutkan pada bentukan UUSPN tahun 2003
pasa 3 yang mengatakan bahwa pendidikan “....bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,

sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara
yang demokratis serta bertanggung jawab.”6
Peruntutan Undang-undang di atas berikut juga dengan
penjabaran terhadap pasal-pasalnya, pendidikan selalu dirumuskan
berdasarkan asas-asas yang kuat, salah satunya adalah berorientasi
kepada tujuan, yang dalam hal ini adalah tujuan pendidikan Nasional.
Tujuan, dalam bahasa operasional satuan pendidikan dirumuskan
sebagai “hasil belajar”. Hasil belajar ini lah yang menjadi tumpuan
perhatian terhadap keterlaksanaannya proses pendidikan secara
optimal.
Tidak diragukan lagi, seperti disebutkan oleh tyler, pendidikan
sebagai sebuah proses di dalamnya terhadap tiga hal yang harus
diperhatikan, yaitu tujuan pendidikan, pengalaman belajar, dan
evaluasi hasil belajar. Hubungan antara tiga dimensi di atas dalam
proses pendidikan digambarkan dalam diagram di bawah ini.
Tujuan
pendidikan

Pengalaman
Belajar


B

A
C

Hasil
Belajar

Garis

A

menunjukkan hubungan hubungan antara tujuan pendidikan dan
pengalaman belajar, garis B menunjukkan hubungan antara tujuan
pendidikan dan hasil belajar, dan garis C menunjukkan hubungan
antara pengalaman belajar dengan hasil belajar. 7 Bertitik fokus
pada bagian “Hasil belajar”, selain menjadi perhatian ideal dalam
tujuan pendidikan, hasil belajar juga menjadi bagian yang tidak
terpisahkan dari proses pembelajaran, selain menjalin hubungan

kausalitas antara taksonomi di atas, hasil belajar menjadi tinjauan
aktual terhadap proses pembelajaran, dengannya keberhasilan,
ketepatan, dan kematangan proses pembelajaran salah satunya
dapat diukur melalui evaluasi terhadap hasil belajar.
5 Undang-Undang Repuplik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem
Pendidikan Nasional & Undang-Undang Repuplik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005
Tentang Guru Dan Dosen (Jakarta: Visimedia, 2007), h. 34
6 Undang-Undang Repuplik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang......h. 5
7 Lihat dalam, Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP-UPI, Ilmu Dan Aplikasi
Pendidikan, Bagian 1 Ilmu Pendidikan Teoritis (Bandung: IMTIMA, 2007), h. 110 .

3

Pradigma di atas hanyalah sebuah ilustrasi jalinan-jaringan
antara tujuan pendidikan nasional sampai kepada hasil belajar yang
diharapkan. Tujuan pendidikan bersifat ideal, sementara hasil belajar
sifatnya aktual.8 Hasil belajar merupakan realisasi tercapainya tujuan
pendidikan, sehingga hasil belajar diukur sangat tergantung kepada
tujuan pendidikannya.
Proses belajar mengajar memang bisa dilakukan dimana saja,

secara sistematis umumnya dilakukan disekolah, salah satu yang
membedakan pendidikan formal dengan pendidikan lainnya adalah
adanya rumusan terhadap tujuan yang akan dicapai. Tujuan
pendidikan di sekolah mengarahkan seluruh komponen seperti,
metode mengajar, media, materi, evaluasi, dst untuk sesuai dengan
tujuan pendidikan nasional. Hasil belajar termasuk dalam komponen
tujuan pendidikan yang menjadi titik awal evaluasi terhadap
pencapaian tujuan pendidikan secara umum. Denganya agak sukar
untuk merumuskan “ketercapaian” tujuan pendidikan jika dengan
tanpa merujuk kepada pencapaian hasil belajar siswa. Dengannya
hasil belajar merupakan tujuan penting dalam proses pembelajaran.
D. Krakteristik Hasil Belajar Yang Diharapkan
Belajar menimbulkan perubahan prilaku dan pembelajaran
adalah usaha mengadakan perubahan prilaku dengan mengusahakan
terjadinya proses belajar dalam diri siswa. Perubahan dalam
kepribadian ditunjukkan oleh adanya perubahan prilaku akibat belajar.
Dalam memudahkan memahami dan mengukur perubahan prilaku
maka prilaku manusia dibagi ke dalam tiga domain, kognitif, afektif,
dan psikomotorik. Kalau belajar menimbulkan perubahan prilaku,
maka hasil belajar adalah hasil perubahan prilakunya.

Perubahan prilaku (hasil belajar) merupakan hasil dari tindakan
pembelajaran yang seperti disebutkan di atas, meluputi kognitif,
afektif, dan psikomotorik. Maka ketiga aspek tersebut mempunyai
indikator penilaian tersendiri yang tentunya mengacu kepada tujuan
kurikuler-institusional. Secara umum seperti yang disampaikan
8 Purwanto, Evaluasi Hasil Belajar (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), h. 46

4

Purwanto, pada aspek kognitif, dari yang terendah, meluputi hapalan,
pemahaman, penerapan, analisis, sintesis, evaluasi. Sementara untuk
aspek afektif mulai dari penerimaan, partisipasi, penilaian, ogranisasi,
dan internalisasi. Dan untuk aspek psikomotorik berkaitan dengan
gerakan refleks, gerakan fundamental dasar, kemampuan perseptual,
kemampuan fisis, gerakan keterampilan, dan komunikasi
tanpa kata.9
Indikator
SK
KD


(ex):
Shalat

Mate
ri
Hapalan
Pemahama
n
penerapan
Analisis
Sintetis
Evaluasi
penerimaa
n
Partisipasi
Penilaian
Organisasi
Internalisa
si
Evaluasi

Gerakan
Gerakan
refleks
Kemampuan
fundamental
Kemampua
perseptual
nGerakan
Fisis
Komunikasi
keterampilan
tanpa kata

Pencapaian

Hasil
Belajar
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?

?
?
?
?

Aktivitas
pendidkan
berupaya
sebisa
mungkin
untuk
menciptakan perubahan terhadap peserta didik, perubahan tersebut
tidaklah tunggal seperti yang banyak dipahami selama ini bahwa
hasil belajar itu merupakan serangkaian angka-angkat kuantitatif,
namun juga meliputi berbagai domain yang mesti juga diharapkan
sejalan dengan pencapaian kognisis siswa, seperti indikasi
pencapaian afektif dan psikomotorik. Meskipun tergolong abstrak,
kedua domain tersebutlah yang menjadikan indikasi pencapaian
tujuan pendidikan nasional akan tercapai.
Menyimpulkan bagan di atas, dapat dipahami, kompetensi
pencapaian pembelajaran meliputi 3 domain, yaitu, kognitif, afektif,
dan psikomotorik. Dengan demikian ketercapaian indikator —seperti
yang telah disebutkan di atas— pada setiap domain menjadi kriteria
hasil belajar yang diharapkan, pada tahapan ini, siswa tidak hanya
mampu menghapal dan memahami materi pelajaran namun juga
mampu
mengamalkannya,
mempraktekkannya
dan
menginternalisasikannya dalam diri siswa itu sendiri.
E. Asfek Psikis Penentu Keberhasilan Belajar
Berangkat dari tinjauan terhadap makalah-makalah sebelum ini,
ketika memberikan persepsi tentang psikis manusia maka yang
9 Purwanto, Evaluasi Hasil Belajar.....h. 50-52; H. Martinis Yamin, Desain
Pembelajaran Berbasis Tingkat Satuan Pendidikan (Jakarta: Gaung Persada Press,
2010), h. 31-46.

5

dimaksudkan adalah tinjauan dari kacamata “psikologis”, meskipun
sebenarnya kajian terhadap psikis manusia banyak dibahas dan
ditelaah dalam disiplin ilmu lainnya, seperti ilmu falsafah dan
tasawuf, meskipun sebenarnya tidak jauh berbeda namun sebagai
objek kajian agaknya perlu ditegaskan pada bagian awal ini. Tanpa
beramaksud membatasi ‘kajian psikis’ manusia, bahwa teori yang
diulas selanjutnya pada bagian makalah ini merupakan ‘teropongan’
terhadap literatur psikologis, baik psikologi umum, maupun psikologi
Islami.
Keberlangsungan pembelajaran merupakan salah salah satu
skenario dalam sistem pendidikan, yang dalam pelaksanaanya
diharapkan menerapkan nilai-nilai dasar dalam prinsip pembelajaran.
Dengan mengacu terhadap nilai-nilai tersebut secara tidak langsung
akan menciptakan suasana dan iklim yang mendukung untuk
terlaksananya proses pembelajaran sebagaimana mestinya. Sebagai
formula akhir dalam kegiatan ini adalah mengacu kepada ‘hasil akhir’
yang akan menjadi tolak ukur keberhasilan kegiatan pembelajaran,
ketentuan-ketentuan dalam berbagai domain pencapaian hasil dari
pembelajaran merupakan tinjauan rill apakah siswa mempunyai
kemampuan standar atau belum, dengan makna yang sederhana,
bahwa prinsip dan proses pembelajaran yang diterapkan dengan baik
akan menjadi ‘rambu-rambu’ yang mengarahkan peserta didik untuk
mencapai tujuan pendidikan.
Secara sistemik, asas pendidikan tidak haya sebatas proses dan
hasil belajar, namun tetaplah sebuah organis yang mempunyai rantairantai struktural. Meskipun demikian, secara filosofis para ahli telah
banyak merumuskan bahwa objektifitas pendidikan adalah peserta
didik10, apapun yang diterapkan dalam pendidikan baik dalam skala
nasional maupun dalam tingkat satuan semuanya untuk peserta didik
agar lebih mudah, lebih terarah dalam memahami materi pelajaran.
Ketika proses pembelajaran berlangsung, banyak hal yang
harus diperhatikan untuk mencapai tujuan pembelajaran tersebut,
selain faktor eksternal seperti Media, guru, materi, strategi, sarana
dan prasarana sebagai realitas pendukung, ternyata yang tidak kalah
pentingnya yang juga harus diperhatikan adalah faktor internal siswa
(fisikis). Dalam banyak kasus misalnya, tidak semua anak yang
sekolah di tempat elite akan terjamin intlektualnya, dan juga tidak
ada jaminan bahwa sekolah di tempat yang sederhana akan
termarginalkan pengetahuannya dari anak-anak yang sekolah di
10 Dalam hal ‘peserta didik’, tidak sedikit para ahli mempunyai pandangan
yang berbeda apakah peserta didik sebagai subjek atau objek. Tesis sementara
dalam telaah penulis peserta didik dalam hal proses pembelajaran menempati
posisi keduanya, dan siswa akan menjadi objek saat berbicara evaluatif, lihat
misalnya, H. Djaali & Pudji Muljono, Pengukuran Dalam Bidang Pendidikan (Jakarta:
Grasindo, 2008), h. 8; sentralisasi anak dalam proses pembelajaran lihat, H.
Mohammad Surya, Bunga Rampai Guru Dan Pendidikan (Jakarta: Balai Pustaka,
2004), h. 176; lihat juga, Radno Harsanto, Pengelolaan Kelas Yang Dinamis:
Pradigma Baru Pembelajaran Menuju Kompetensi Siswa (Yogyakarta: Kanisius,
2011), h. 17.

6

tempat elit. Relatifitas ini sangat mungkin saja terjadi, karena faktor
psikis anak sangat kompleks.
Mengacu kepada makalah terdahulu, seperti yang disebutkan
oleh Baharuddin, dalam Alquran secara jelas diungkapkan bahwa
totalitas diri manusia terdiri dari 3 (tiga) aspek dan 5 (lima) dimensi,
ketiga aspek tersebut adalah aspek jismiyah, aspek nafsiyah, dan
aspek ruhaniyah. Sementara kelima dimensi psikis manusia tersebut
mencakup, al-nafsu, al-aql, al-qalb, al-ruh, dan al-fitrah. Dimensi alnafsu, al-aql, al-qalb berada pasa aspek nafsiyah, dan dimensi al-ruh,
al-fitrah berada pada aspek ruhaniyah.11 Kelima dimensi psikis
tersebut mempunyai kebutuhan-kebutuhan yang harus terpenuhi
sehingga realitas aktivitasnya terbentuk dengan sempurna, dan
begitu pula sebaliknya, jika kebutuhan-kebutuhan psikis manusia
tidak terpenuhi akan berdampak pada aktivitasnya.
Dalam pada ini, bagian psikis yang dimaksudkan adalah
al-nafsu, al-aql, al-qalb, al-ruh, dan al-fitrah. Kelima aspek ini lah yang
menjadi motor penggerak yang sangat berpengaruh terhadap
aktivitas sehari-hari, dan dalam hal ini adalah pembelajaran. secara
esensial, proses pembelajaran merupakan aktivitas guru-siswa di
kelas, karenanya dibutuhkan komunikasi dan sekaligus kondisi psikis
yang baik dalam berjalannya pembelajara, keserasian antar keduanya
menjadikan proses pembelajaran berjalan dengan baik, dan pada
gilirannya akan mempengaruhi pencapaian hasil belajar siswsa.
Pada aspek fisikis ruhaniyah, secara umum bersifat spritual
yang terbagi ke dalam dua dimensi yaitu, dimensi ruh dan dimensi alfitrah. Kebutuhan dua aspek ini adalah perwujudan diri (aktualisasi
diri) pada dimensi al-ruh dan kebutuhan agama pada dimensi alfitrah. Secara aktual potensi ruh yang berasal dari Allah diciptakan
dimuka bumi untuk menjadi khalifah12, dan secara implementatif ruh
tersebut juga harus beribadah kepada Allah. 13 Hal ini pada semua
manusia berlaku, tidak terkecuali terhadap peserta didik. Dalam
masyarakat (sosial) peserta didik yang mempunyai masalah, seperti
tidak harmonisnya keluarga (KDRT), atau pergaulan yang selalu
merendahkan, atau berupa tekanan hidup yang lain, tentu akan
memberikan dampak psikologis terhadap anak terutama terhadap
konsentrasinya waktu belajar. Sejalan dengan ini pula, aspek spritual
aktif anak juga punya posisi penting, selain aktif belajar agama,
secara implementatif jika anak mempunyai kecenderungankecenderungan untuk melanggar norma-norma agama dan
meninggalkan kewajiban sebagai seorang muslim, maka dengan
segera terlihat pelanggaran-pelanggaran itu pun akan tercermin di
dalam proses pembelajaran.

11 Lihat, Buharuddin, Paradigma Psikologi Islami: Studi Tentang Elemen
Psikologi Dari Al-Quran (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. 203.
12 Q.S. al-Baqarah [2]: 30.
13 Q.S. al-Zariyah [51]: 56

7

Seperti itu juga halnya pada dimensi fisikis yang lain. Qalb,
secara potensial memiliki daya memahami dan merasakan (zawq)14,
dan dalam kebutuhannya qalb selalu cenderung terhadap rasa cinta
dan kasih sayang, perasaan ini sebagai akibat dari adanya sifat supra
rasional, perasaan, dan esomosional yang bersumber dari dimensi
qalb itu sendiri. Dengan sifat perasaan ini, manusia selalu ingin
merasakan perasaan menyenangkan yang tentunya terwujud dengan
rasa cinta dan kasih sayang. 15 Kebutuhan inilah yang seharusnya
terjaga pada setiap peserta didik, anak didik yang terganggu qalb
(kasih sayang)-nya tentu akan berdampak pada aktivitas
pembelajarannya, anak yang selalu merasa terancam atau juga yang
merasa terbebani terhadap hal-hal yang negatif pada saat yang sama
akan terbentuk tingkah laku yang tidak responship pada saat kegiatan
pembelajaran. Pada arah yang lain juga seperti itu, pada aspek guru
misalnya, pada setiap siswa seharusnya mendapatkan perlakuan
yang sama, tidak membeda-bedakan kasih sayang dikarenakan faktor
sosial (murid kesayanangan). tidak diragukan lagi, hampir bisa
dipastikan ketergangguan fisikis dalam dimensi qalb pada diri anak
akan mempengaruhi proses pembelajarannya.
Sejalan dengan ini, dimensi fisikis aql yang pada dasarnya
mempunyai daya pikir, seperti tafakkur, al-nazar (memperhatikan), ali’tibar (menginterpretasikan). Selain daya pikir, aql juga mempunyai
daya memahami, seperti tadabbur, ta’ammul (merenungkan),
istibshar (melihat dengan mata bathin), tazakkur (mengingat), dll.16
Dengan demikian, kebutuhan dimensi fisikis aql adalah penghargaan
diri dan rasa ingin tau. Seperti yang disebutkan oleh Baharuddin
bahwa “kebutuhan tersebut akibat dari sifat rasional dari dimensi aql,
dengan adanya rasionalitas itu manusia dapat menyadari dan menilai
kebenaran dirinya di antara kebedaan orang lain”, sehingga dengan
demikian aql selalu berupaya untuk mendapatkan pengakuan dari
orang lain, dan tentunya juga dengan berusaha mencari tau
bagaimana cara yang baik.
Daya aql seperti yang disebutkan di atas tidak akan berfungsi
sebagaimana mestinya apabila kebutuhan-kebutuhannya tidak
terpenuhi. Jika rasa ingin tau anak terhambat, apalagi dengan
keadaan yang kurang apresiatif, maka dengan sendirinya daya-daya
dasar seperti tafakkur, nazar, istibshar dll, tidak akan berjalan dengan
baik,
dan
pada
gilirannya
akan
mengganggun
proses
pembelajarannya.
Dimensi fisikis yang selanjutnya adalah nafsu, pada ini
kebutuhannya adalah rasa aman dan seksualitas. 17 Kebutuhan ini
merupakan kebutuhan asas kebidupan manusia dari segi psikis,
dengan terpenuhinya kebutuhan tersebut, maka kehidupan manusia
dapat dipertahankan dan berkembang. Dalam hal
14Psik
Buharuddin,
15is
Buharuddin,
Nafs
16
Buharuddin,
17 Buharuddin,

u
Fisi
k

Paradigma
Paradigma
Paradigma
Paradigma

Psikologi
Psikologi
Psikologi
Psikologi

8

Islami.... h 235
Islami....h.245-6.
Islami...., h. 234
Islami....h. 245

pembelajaran, sekilas memang tampak tidak ada kolerasi antara
keterpenuhinya
kebutuhan
nafsu
terhadap
keberlangsungan
pembelajaran, namun jika ditelusuri lebih jauh, nafsu menempati
posisi lingkaran multidimensional yang menyentuh aspek fisik dan
psikis manusia, dan pada dimensi psikis rasa aman menjadi
keberlangsungan hidup sekaligus pula menjadi kebutuhan yang
sangat berpengaruh terhadap mentalitas manusia. Seorang anak
yang tidak mempunyai perlindungan dari keluarga, atau tidak pula
mendapatkan pengakuan sosial, justru akan menjadikan daya
konsentrasinya rendah. Dengan rendahnya daya konsentrasi anak
karena diakibatkan oleh rasa aman yang tidak didapatkan, maka
implikasinya adalah proses pembelajarannya akan terganggu, seperti
daya tangkap, dan pemahamannya rendah, kreatifitasnya kurang
aktif, dst. Lihat akselerasi psikis terhadap pembelajaran-hasil belajar
pada krangka di bawah ini.
Ruh
Aktualisasi
diri (khalifah

Ruhani
yah

Ibadan
Fitrah
PEMBELAJA
RAN

Qalb

Nafsiy
ah

Aql

HASIL
BELAJAR

rasa sayang
cinta dan
kasih
penghargaan
diri dan ingin
tahu
rasa
aman
dan
seksualitas

Nafsu

Aspek psikis manusia yang terdiri dari 5 dimensi mempunyai
kebutuhan-kebutuhan dasar yang harus terpenuhi, sebagaimana yang
dijelaskan di atas, terpenuhinya kebutuhan tersebut akan berdampak
terhadap realitas kehidupan sehari-hari. Tidak terkecuali dalam
aktivitas pembelajaran, karena pada esensinya dimensi-dimensi
psikislah yang banyak bermain di dalam kegiatan pembelajaran,
seperti, menghapal, memahami, dan mengelaborasi, informasi yang
ada. Sejalan dengan ini pula, hampir bisa dipastikan bahwa

9

pencapaian hasil belajar merupakan buah dari keberhasilan atau
ketidakberhasilan pembelajaran.
Aspek psikis, jika dikaitkan dalam pandangan umum akan
dijumpai beberapa aspek internal (psikis) yang mempengaru
pembelajaran, seperti minat, bakat, inteligensi, kepribadian, motivasi,
sikap, persepsi, emosi. Kesemua aspek terebut juga merupakan
bagian dari aspek psikis, namun tidak menjadi titik fokus dalam
uraian ini, karena lineritas kurikum (silabus) yang ditekankan.18
Wassalam.
dto
S.N

DAFTAR PUSTAKA
Alex Sobur, psikologi Umum, Bandung: Pustaka Setia, 2003
Buharuddin, Paradigma Psikologi Islami: Studi Tentang Elemen
Psikologi Dari Al-Quran Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007
Dimyati & Mudjiono, Belajar Dan Pembelajaran, Jakarta: Rineka Cipta,
2006
H. Djaali & Pudji Muljono, Pengukuran Dalam Bidang Pendidikan,
Jakarta: Grasindo, 2008
H. Martinis Yamin, Desain Pembelajaran Berbasis Tingkat Satuan
Pendidikan, Jakarta: Gaung Persada Press, 2010
H. Mohammad Surya, Bunga Rampai Guru Dan Pendidikan, Jakarta:
Balai Pustaka, 2004
Moh. Suardi, Belajar Dan Pembelajaran, Yogyakarta: Deepuplish,2001
Purwanto, Evaluasi Hasil Belajar, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010
Radno Harsanto, Pengelolaan Kelas Yang Dinamis: Pradigma Baru
Pembelajaran Menuju Kompetensi Siswa, Yogyakarta: Kanisius,
2011
Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP-UPI, Ilmu Dan Aplikasi
Pendidikan, Bagian 1 Ilmu Pendidikan Teoritis, Bandung:
IMTIMA, 2007
Undang-Undang Repuplik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang
Sistem Pendidikan Nasional & Undang-Undang Repuplik
Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru Dan Dosen,
Jakarta: Visimedia, 2007
William J. Byron, The Power Of Principles, terj, Hardono Hadi,
Yogyakarta: Kanisius, 2010

18 Untuk menerawang pada bagian ini lihat misalnya, Alex Sobur, psikologi
Umum (Bandung: Pustaka Setia, 2003). Dan jika ada yang tidak disebutkan
sumbernya pada bagian “Asfek Psikis Penentu Keberhasilan Belajar”, maka
rujukannya adalah Buharuddin, Paradigma Psikologi Islami....

10

11