Identifikasi Kebutuhan Fasilitas Perumahan Bagi Buruh Industri (Studi Kasus Kawasan Industri Medan)

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1.

Kawasan Industri

2.1.1 Pengertian kawasan industri
Industri adalah suatu kegiatan ekonomi yang melakukan kegiatan mengubah
suatu barang dasar secara mekanis, kimia, atau dengan tangan sehingga menjadi
barang jadi atau setengah jadi dan atau barang yang kurang nilainya menjadi barang
yang lebih tinggi nilainya, dan sifatnya lebih dekat kepada pemakai akhir (BPS,
2002).Marpaung dalam Mujiono (1987) menyebutkan bahwa kawasan industri adalah
kawasan tempat pemusatan kegiatan industri yang dilengkapi dengan prasarana dan
sarana penunjang yang dikembangkan dan dikelola oleh perusahaan kawasan industri
yang telah memiliki izin usaha kawasan industri.
Kawasan industri menurut Keputusan Presiden Nomor 53 tahun 1989, dan
telah diperbaiki dengan Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 1996 tentang Kawasan
industri, pasal 1 menyebutkan bahwa kawasan industri adalah kawasan tempat
pemusatan kegiatan industri pengolahan yang dilengkapi dengan prasarana, sarana
dan fasilitas penunjang lainnya yang disediakan dan dikelola oleh perusahaan

kawasan industri. Terminologi kawasan Industri di Indonesia sering disebut dengan
istilah

Industrial

Estate

sementara

dibeberapa

negara

digunakan

istilah

IndustrialPark.

13


Universitas Sumatera Utara

14

Secara konseptual Kawasan Industri merupakan kawasan tempat pemusatan
kegiatan industri pengolahan (manufacture) yang dilengkapi dengan sarana dan
prasarana serta fasilitas penunjang lainnya yang disediakan oleh badan pengelola
(pemerintah/swasta), sehingga para investor atau pengusaha akan memiliki semangat
untuk memasukkan modalnya disektor industri. Dengan ketersediaan lahan, sarana
dan prasarana serta fasilitas lainnya yang memadai, akan menghasilkan efisiensi
ekonomi dalam berinvestasi (mendirikan pabrik dan industri) dibandingkan setiap
investor harus menyediakan sendiri fasilitas tersebut.
Berdasarkan batasan di atas ada beberapa hal yang dapat dimanfaatkan dari
kawasan industri, yaitu berkaitan dengan besaran dan lokasi kawasan industri bisa
menghasilkan dampak-dampak tertentu bagi wilayah sekitarnya, yang bila diinginkan
bisa diarahkan; bisa menjadi bidang usaha pengadaan dan pemasaran “lahan industri”
menurut kaidah-kaidah ekonomi pertanahan kota; dan bisa menjadi sarana
kemudahan usaha yang secara nyata dapat diberikan berbagai bentuk insentif atau
subsidi.

Dalam hal pembangunan industri, khususnya pengembangan kawasan industri
(dimana keterkaitan pada suatu lokasi agak terbatas), maka permasalahan pokoknya
adalah lokasi mana atau penetapan pengembangan gugusan mana yang menjanjikan
pemanfaatkan regional terbaik.

Universitas Sumatera Utara

15

Sasaran dari

strategi ini

adalah

menciptakan

tata ruang kegiatan

pengembangan yang seimbang terutama untuk menjangkau wilayah-wilayah

potensial baru; dan pada waktu yang sama membuka peluang partisipasi masyarakat
setempat.
Di Indonesia, pada tahun 2005 sudah terdapat 203 kawasan industri yang
tersebar diberbagai wilayah Indonesia dengan luas ±67.000 hektar. Dari jumlah
tersebut baru beroperasi 64 kawasan dengan total area ±20.000 hektar, dan rata-rata
tingkat

pemanfaatan

±44%

yang

didalamnya

terdapat

±60.000

industri


(www.depperin.go.id tahun 2008). Dari 64 kawasan industri yang beroperasi,
sebagian besar berada di propinsi di Pulau Jawa, Pulau Sumatera pada propinsi Riau
(Batam) dan Sumutera Utara.
2.1.2 Karakteristik dan jenis-jenis industri
Dalam pelaksanaannya karakter industri dapat berupa kompleks industri,
estate industri, lahan peruntukkan industri, kawasan berikat, permukiman
industrikecil, sentra industri kecil dan sarana industri kecil. Adapun pengertian
masing-masing bentuk lokasi industri tersebut adalah sebagai berikut:
a. Kompleks industri, yaitu suatu lahan peruntukan yang secara khusus
disediakan bagi sekumpulan kegiatan industri yang mempunyai keterkaitan
proses produksi mulai dari industri dasar (hulu) dan hilir. Contoh lahan
peruntukan khusus misalnya kompleks industri pupuk dan kompleks kertas.

Universitas Sumatera Utara

16

b. Estate industri (Industrial Estate), yaitu suatu lahan peruntukkan
yangsecara khusus disediakan untuk menampung berbagai jenis kegiatan

industri hilir yang dilengkapi berbagai fasilitas untuk memberikan
kemudahan bagi kegiatan industri dan pengolahannya ditangani oleh suatu
badan industri. Estate merupakan suatu lahan khusus yang menampung
industri-industri yang bersifat manufaktur yang dikelola oleh suatu
manajemen terpusat dengan luas minimal 20-40 Ha.
c. Lahan Peruntukkan Industri, yaitu lahan peruntukkan industri ini
merupakan lahan industri yang peruntukkannya telah ditetapkan dalam
suatu masterplankota untuk berbagai jenis kegiatan industri yang biasanya
bersifat pertumbuhan pita dan secara fisik dalam pertumbuhan nantinya
akan menjadi kawasan industri (imim). Pengembangan di masa mendatang
memungkinkan menjadi estate industri.
d. Kawasan Berikat (Bonded zone), yaitu suatu kawasan dengan batas-batas
tertentu di wilayah Indonesia yang di dalamnya terdapat ketentuanketentuan khusus di bidang pabean, yaitu terhadap barang-barang yang
dimasukkan atau dari luar daerah pabean lainnya tanpa terlebih dahulu
dikenakan pungutan bea cukai atau atau pungutan negara lainnya sampai
barang tersebut dikeluarkan untuk tujuan impor atau ekspor.
e. Permukiman Industri Kecil, yaitu lahan yang disediakan khusus untuk
industri kecil yang didalamnya dilengkapi dengan infrastruktur serta tempat
tinggal pengusahanya.


Universitas Sumatera Utara

17

f. Sentra Industri Kecil, yaitu suatu areal atau lahan peruntukkan dimana
terdapat berbagai kegiatan usaha industri kecil sejenis yang tumbuh dan
berkembang dalam suatu lokasi tertentu.
g. Sarana Usaha Industri Kecil, yaitu suatu sarana usaha yang disediakan
didalam estet industri yang mempunyai kaitan dengan berbagai industri
didalam estet industri tersebut.
Industri dalam pengertian luas dibedakan menjadi dua jenis, yaitu industri
primer yang merupakan jenis industri yang langsung mengambil komoditas ekonomi
dari alam tanpa proses pengolahan (pertanian, pertambangan dan kehutanan), dan
jenis industri sekunder yang merupakan industri yang mengolah bahan mentah atau
bahan baku menjadi barang setengah jadi atau barang jadi (manufaktur atau pabrik).
Jenis-jenis industri selanjutnya dikelompokan berdasarkan jumlah tenaga
kerja yang terlibat, antara lain sebagai berikut:
1. Industri rumah tangga, yaitu industri yang memiliki tenaga kerja sebanyak
1-4 orang.
2. Industri kecil, yaitu industri yang memiliki tenaga kerja sebanyak 5-19

orang.
3. Industri sedang, yaitu industri yang memiliki tenaga kerja sebanyak 20-99
orang.
4. Industri besar, yaitu industri yang memiliki tenaga kerja sebanyak 100
orang atau lebih.

Universitas Sumatera Utara

18

Departemen Perindustrian juga mengelompokkan industri berdasarkan
klasifikasi atau penjenisannya, yaitu sebagai berikut:
1. Industri kimia dasar, yaitu industri yang bahan baku atau olahannya
menggunakan bahan-bahan kimia, seperti industri semen, pupuk pestisida,
kertas, bahan peledak dan kenderaan.
2. Industri mesin dan logam dasar, yaitu industri yang bahan dan produk dasar
logam, perlengkapan pabrik, peralatan listrik dan kenderaan bermotor.
3. Aneka Industri, yaitu kelompok industri yang menghasilkan barang-barang
untuk memenuhi kebutuhan bermacam-macam kebutuhan masyarakat,
seperti industri makanan dan minuman, aneka sandang, aneka kimia dan

serat, serta aneka bahan bangunan.
4. Industri kecil, yaitu jenis industri rumah tangga, seperti industri roti,
kompor minyak, makanan ringan, es.

2.1.3 Tenaga kerja berpendapatan rendah di kawasan industri
Menurut Kuncoro (2007:72), salah satu pertimbangan perusahaan dalam
pemilihan lokasi industri adalah perbandingan antara biaya transportasi dan biaya
input lokal. Bila biaya transportasi lebih tinggi dari input lokal, maka perusahaan
akan memilih dekat dengan lokasi bahan baku, namun bila biaya input lokal (misal,
biaya tenaga kerja) lebih tinggi dari biaya transportasi, maka perusahaan memilih
lokasi input lokal sehingga biaya input lokal yang tinggi dapat dihindari.

Universitas Sumatera Utara

19

Atas dasar hal tersebut, maka pada industri yang bersifat padat karya, lokasi
industri cenderung untuk mendekati lokasi modal tenaga kerja guna mandapatkan
tenaga kerja yang murah. Besarnya upah yang dibayarkan oleh Perusahaan kepada
buruh adalah minimal setiap bulannya sama dengan Upah Minimum Regional yang

berlaku di wilayah tersebut.

2.1.4 Tenaga kerja pendatang
Kota merupakan pusat fasilitas pendidikan, rekreasi, menyediakan lapangan
pekerjaan, tempat pasaran tenaga kerja dan sebagainya. Anggapan yang demikian ini
memberikan dorongan kepada penduduk desa melakukan migrasi ke kota.
Ada tiga pola migrasi desa ke kota yaitu: (1) migrasi temporer laki-laki
terpisah dari keluarganya, mereka tetap melihat diri mereka sebagai anggota
masyarakat pedesaan, ingin kembali disaat panen atau ingin tetap di desa setelah
selesai masa kerja di kota; (2) migrasi keluarga ke wilayah perkotaan yang diikuti
oleh migrasi balik ke kampung halaman; (3) migrasi dengan pembentukan rumah
tangga keluarga urban yang permanen. Umumnya mereka memiliki hubungan yang
sangat akrab dengan desa, mereka tidak mempunyai niat untuk kembali bermukim di
pedesaan walaupun mereka memiliki tanah dan rumah di desa tetapi bukan sebagai
sumber pendapatan pokok mereka.

Universitas Sumatera Utara

20


Para pendatang ini biasanya mempunyai sentimental attachmental yang sangat
tinggi dengan kampung halamannya.Sehingga penghuni daerah permukiman
masyarakat yang berpenghasilan rendah ini, jika sudah memperoleh penghasilan
biasanya mereka langsung pulang kampung untuk menikmati hasil pekerjaannya itu
dikampung halamannya bersama keluarga (M. Herkovitz, 1976).
Ditinjau dari segi ekonomi, biasanya masyarakat yang berpenghasilan rendah
ini tidak bisa menikmati hasil kemajuan penghasilan yang didapatkannya secara utuh,
karena mereka masih menanggung beban sosial untuk menampung kerabat, teman
atau tenaga dari kampong, yang mencoba mencari keberuntungan di kota.

2.2

Perumahan dan Pemukiman

2.2.1 Pengertian rumah, perumahan dan pemukiman
Rumah pada awalnya merupakan salah satu kebutuhan dasar (basic need)
manusia sesudah pangan dan sandang.Namun sejalan dengan peningkatan pendapatan
seseorang, tingkatan kebutuhan seseorang terhadap rumah berubah menjadi beragam.
Menurut Budihardjo (1998:57), tingkat intensitas dan arti penting dari
kebutuhan manusia terhadap rumah bersifat berjenjang berdasarkan hirarki kebutuhan
dari Maslow, dimulai dari yang terbawah adalah sebagai berikut:
1. Rumah memberikan perlindungan terhadap gangguan alam dan binatang,
berfungsi sebagai tempat istirahat, tidur, dan pemenuhan fungsi badani.

Universitas Sumatera Utara

21

2. Rumah harus menciptakan rasa aman, sebagai tempat menjalankan
kegiatan ritual, penyimpanan harta milik yang berharga, menjamin hak
pribadi.
3. Rumah memberikan peluang interaksi dan aktivitas komunikasi yang akrab
dengan lingkungan sekitar (teman, tetangga, dan keluarga).
4. Rumah memberikan peluang untuk tumbuhnya harga diri, yang disebut
Pedro Arrupe sebagai “Status Confering Function”, kesuksesan
seseorangtercermin dari rumah dan lingkungan tempat huniannya.
5. Rumah sebagai aktualisasi diri yang diejawantahkan dalam bentuk
pewadahan kreativitas dan pemberian makna bagi kehidupan pribadi.

Bagi sebagian besar orang, kata rumah sering diartikan sebagai kata
benda.Namun oleh John F.C Turner (1972:151), selain memiliki arti sebagai kata
benda, Rumah juga memiliki arti sebagai kata kerja. Rumah sebagai kata benda
menunjukkan bahwa tempat tinggal (rumah dan lahan) sebagai suatu bentuk hasil
produksi komoditi, sedangkan sebagai kata kerja menujukkan suatu proses dan
aktivitas manusia yang terjadi dalam pembangunan maupun selama proses
menghuninya. Pengertian rumah sebagai produk atau komoditi lebih diarahkan pada
kriteria pengukuran standar-standar fisik rumah sedangkan dalam pengertian rumah
sebagai proses aktivitas kriteria pengukurannya adalah faktor kepuasan.

Universitas Sumatera Utara

22

Lebih lanjut Turner (1972:212-213) mengidentifikasikan 3 (tiga) fungsi utama
rumah sebagai tempat bermukim, yaitu:
1. Rumah sebagai penunjang identitas keluarga, yang diwujudkan pada
kualitas hunian atau perlindungan yang diberikan oleh rumah (the quality
of shelter provide by housing). Kebutuhan akan tempat tinggal
dimaksudkan agar penghuni dapat memiliki tempat berlindung/berteduh
agar terlindung dari iklim setempat.
2. Rumah sebagai penunjang kesempatan (opportunity) keluarga untuk
berkembang dalam kehidupan sosial, budaya, dan ekonomi atau fungsi
pengaman keluarga. Kebutuhan berupa akses ini diterjemahkan dalam
pemenuhan kebutuhan sosial dan kemudahan ke tempat kerja guna
mendapatkan sumber penghasilan.
3. Rumah sebagai penunjang rasa aman dalam arti terjaminnya keadaan
keluarga dimasa depan setelah mendapatkan rumah. Jaminan keamanan
atas lingkungan perumahan yang ditempati, serta jaminan berupa
kepemilikan rumah dan lahan (the form of tenure).
Fungsi ketiganya berbeda sesuai dengan tingkat penghasilan, bagi golongan
berpenghasilan tinggi atau menengah ke atas, faktor identity menjadi tuntutan utama,
pada masyarakat golongan menengah faktor security yang diprioritaskan, sedangkan
pada golongan berpenghasilan rendah atau menengah ke bawah faktor opportunity
merupakan yang terpenting.

Universitas Sumatera Utara

23

Istilah perumahan dan permukiman seringkali menjadi rancu karena dianggap
memiliki arti yang sama, namun sebenarnya terdapat perbedaan pengertian antara
perumahan dan permukiman. Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang
Perumahan dan Permukiman, pengertian perumahan adalah kelompok rumah yang
berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian yang dilengkapi
dengan prasarana dan sarana lingkungan.
Sedangkan permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan
lindung, baik yang berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan yang berfungsi
sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang
mendukung perikehidupan dan penghidupan.
Dalam pembangunan permukiman, menurut Johan Silas (1985), suatu
permukiman hendaknya mengikuti kriteria bagi permukiman yang baik dengan
memenuhi yaitu yang berkaitan dengan aspek fisik yang meliputi letak geografis;
lingkungan alam dan binaan; sarana dan prasarana, dan non fisik yang meliputi aspek
politik, ekonomi, sosial, dan budaya.
Agenda 21 Nasional Indonesia tentang kebijakan permukiman mencakup dua
hal utama, yaitu pertama, Tempat bernaung yang layak bagi semua, yaitu rumah yang
layak bagi semua; kerangka kerja yang memungkinkan dan konsisten untuk
pembangunan rumah yang berkelanjutan; pembiayaan perumahan yang efisien,
efektif dan dapat terjangkau; kesempatan yang sama untuk mendapatkan lahan,
sarana dan prasarana bagi semua; industri konstruksi bagi perumahan massal yang
dapat diandalkan; keterpaduan rumah dengan pembangunan ekonomi, dan kedua,

Universitas Sumatera Utara

24

Pembangunan permukiman yang berkelanjutan dalam dunia perkotaan, yaitu:
otonomi yang dapat dipercaya dengan perbaikan pada kemampuan pemda setempat
dalam mengelola pembangunan permukiman; peningkatan kemitraan antara
pemerintah, swasta dan masyarakat dalam pembangunan; permukiman, sarana dan
prasarana; permukiman yang aman, sehat, menyatu dengan lingkungannya dan
mendukung integrasi sosial; kesempatan kerja bagi semua; pengembangan tata ruang
dan penggunaan lahan yang berkelanjutan; sistem transportasi yang aman, nyaman,
formal, terjangkau dan efisien; sistem permukiman yang berkelanjutan yang
mendorong pengembangan ekonomi regional dan nasional; pengelolaan permukiman
yang efektif, efisien, transparan dan berkelanjutan.

2.2.2 Karakteristik perumahan
Menurut Mahfud Sidik (2000), karakteristik perumahan yang bersifat unik
terutama menyangkut hal- hal sebagai berikut lokasinya yang tetap dan hampir tidak
mungkin dipindah; pemanfaatannya dalam jangka panjang; bersifat heterogen secara
multidimensional, terutama dalam lokasi, sumber daya alam, dan preferensinya;
secara fisik dapat dimodifikasi.
Secara spasial lokasinya tetap berarti bahwa lokasi perumahan memiliki
atribut yang khusus tidak saja menyangkut aspek fisik, tetapi juga aspek kenyamanan,
strata sosial, akses pada fasilitas umum, pusat perbelanjaan dan kebutuhan sehari-hari
lainnya.

Universitas Sumatera Utara

25

Jarak dengan tempat kerja, gaya hidup dan kebutuhan sehari-hari lainnya. Jarak
dengan tempat kerja, gaya hidup dan kenyamanan lingkungan sekelilingnya dan
tujuan lainnya.

2.2.3 Teori mobilitas tempat tinggal
Menurut teori mobilitas tempat tinggal yang dikemukakan Turner (Yunus,
2000:29), terdapat perilaku yang berbeda pada masyarakat dalam menentukan pilihan
tempat tinggal. Berdasarkan perilaku menentukan tempat tinggal tersebut terdapat
tiga golongan strata sosial masyarakat, yaitu:
1. Bridgeheaders,

golongan

masyarakat

ekonomi

rendah

yang

cenderungmemilih tempat tinggal dekat dengan tempat kerja untuk
menekan biaya.
2. Consolidator, golongan dengan kemampuan ekonomi yang mulai
mapandan mencari lingkungan yang lebih nyaman.
3. Status atau Seekers, golongan dengan kemampuan ekonomi yang sangat
kuat dan berusaha mendapatkan pengakuan terkait dengan status sosialnya. Pada
golongan masyarakat dengan keterbatasan ekonomi umumnya memilih untuk
bertempat tinggal dekat dengan tempat kerjanya dengan maksud menghemat
biaya transportasi. Masyarakat golongan ini bisanya adalah warga baru di kota
tersebut yang masih belum memungkinkan untuk memiliki rumah sendiri. Pada
golongan masyarakat yang telah mengalami peningkatan kesejahteraan mulai
memikirkan untuk memiliki rumah sendiri di tempat lain dengan kondisi yang lebih

Universitas Sumatera Utara

baik, prioritas untuk dekat dengan tempat kerja.

Universitas Sumatera Utara

26

Pada golongan ini pilihan tempat tinggal diarahkan ke pinggiran yang menurut
mereka menjanjikan kenyamanan dalam bertempat tinggal.

2.2.4 Kriteria pembangunan perumahan
Berdasarkan petunjuk Rencana Kawasan Perumahan Kota yang disusun oleh
Departemen Pekerjaan Umum tahun 1997, suatu kawasan perumahan selayaknya
memenuhi persyaratan dasar untuk pengembangan kota, yakni:
1. Aksesibilitas, yakni kemungkinan pencapaian dari dan ke kawasan
perumahan dalam bentuk jalan dan transportasi.
2. Kompatibilitas, yakni keserasian dan keterpaduan antara kawasan yang
menjadi lingkungannya.
3. Fleksibilitas, yakni kemungkinan pertumbuhan fisik/pemekaran kawasan
perumahan dikaitkan dengan kondisi fisik lingkungan dan keterpaduan
prasarana.
4. Ekologi, yakni keterpaduan antara tata kegiatan alam yang mewadahinya.

2.2.5 Identifikasi faktor dalam menentukan lokasi perumahan
Perumahan mempunyai fungsi dan peranan yang penting, Rees dalam Yeates
dan Garner (1980:291) berpendapat bahwa terdapat empat elemen yang
mempengaruhi keputusan seseorang atau sebuah keluarga dalam menentukan pilihan
lokasi tempat tinggal, yaitu posisi keluarga dalam lingkup sosial, mencakup status
sosial ekonomi (pendidikan, pekerjaan dan penghasilan); lingkup perumahan,

Universitas Sumatera Utara

27

mencakup: nilai, kualitas dan tipe rumah; lingkup komunitas; dan lingkup fisik atau
lokasi rumah.
Hubungan antara perilaku manusia di dalam area perkotaan dengan ruang
sosial di perkotaan telah banyak diteliti, sampai saat ini para ahli geografi telah
mengidentifikasikan bahwa gaya hidup, status sosial, dan tingkat kehidupan sangat
berpengaruh di dalam hubungan antar tingkah laku individu dengan lingkungan
spasial (Golledge & Stimson, 1990:267).
Perpindahan manusia dari satu lokasi ke lokasi lain di perkotaan memegang
peranan penting dalam membentuk area sosial perkotaan. Penilaian lokasi perumahan
antara individu pasti berbeda, hal ini disebabkan latar belakang tingkat kebutuhan dan
kepentingan yang berbeda-beda (Knox, 1989:171-173).
Pengetahuan tentang lokasi perumahan diperoleh dari interaksi antar individu,
setelah berproses, informasi yang diperoleh tersebut akan mempengaruhi pandangan
tentang populasi dan pendapat/persepsi tempat tinggalnya. Individu tersebut akan
membentuk kelompok yang membentuk variasi kluster.
Kluster dari individu-individu yang mempunyai persamaan di dalam ekonomi,
sosial dan politik akan mempunyai referensi yang sama tentang lokasi tempat tinggal.
Kerangka dari referensi ini merupakan hasil dari beberapa faktor termasuk usia, latar
belakang sosial, kepercayaan (agama) dan latar belakang etnis.
Menurut H.R. Koestoer (2001:24), bahwa faktor sosial dan fisik sangat
menentukan dalam pilihan terhadap lokasi tempat tinggal. Dalam studi pengambilan
keputusan keluarga terhadap pilihan daerah, ditemukan bahwa faktor aksesibilitas

Universitas Sumatera Utara

28

merupakan pengaruh utama dalam pemilihan lokasi tempat tinggal, yaitu kemudahan
transportasi dan kedekatan jarak. Faktor lain seperti kaitan tali kekeluargaan
(kinship), juga turut mempengaruhi pengambilan keputusan pemilihan tempat tinggal.
Sementara itu para ahli geografi mengembangkan model-model tingkah laku
rumah tangga dalam memilih lokasi rumahnya, yang diklasifikasikan menjadi dua
kategori yaitu asumsi pertama adalah pilihan lokasi tempat tinggal dapat dijelaskan di
dalam pengertian “trade off” antara biaya transportasi dan harga rumah dan asumsi
kedua adalah model perilaku makro, aksesibilitas bukan syarat utama tetapi
kenyamanan lingkungan, sosial ekonomi, psikologi dan waktu adalah syarat utama
untuk memilih lokasi tempat tinggal.
a. Faktor Karakteristik Keluarga
Analisa mengenai kepuasan terhadap tempat tinggal terpusat pada
“kepuasan” sebagai konsekuensi dari karakteristik keluarga, namun hal ini
bukan satu-satunya variabel yang memberi efek rasa puas terhadap tempat
tinggal, akan tetapi faktor fisik lingkungan juga turut berpengaruh terhadap
rasa puas.
Faktor-faktor yang menjadi latar belakang rasa puas terhadap tempat
tinggal (Morris & Winter, 1978:156-157) yaitu faktor demografi dan sosial
ekonomi, meliputi: tingkat kehidupan, status sosial ekonomi dan struktur
keluarga; ketidakpuasan terhadap tempat tinggal yang lama; pengaruh dari
kondisi perumahan. Hubungan dari ketiga faktor tersebut dapat dilihat pada
Gambar 2.1.

Universitas Sumatera Utara

29

Karakteristik
demografi dan
sosial ekonomi
Tingkat Kehidupan
Keluarga

Normatif
permintaan akan
perumahan
Kepemilikan
Jenis Struktur

Rasa puas
terhadap rumah
tinggal

Pendapatan
Ruang
Pekerjaan
Pendidikan

Kualitas dan
pengeluaran

Struktur Keluarga

Lingkungan

Rasa puas
terhadap

lingkungan

Gambar 2.1 Hubungan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tempat
Tinggal Sumber: Moris Earl W dan Winter Mary, 1978:156-157
Faktor demografi dan sosial ekonomis dipengaruhi oleh tingkat kehidupan,
status sosial dan struktur keluarga, maksudnya adalah semakin tinggi tingkat
kehidupan seseorang, dengan sendirinya akan mempengaruhi status sosial
ekonominya, sehingga individu tersebut akan melalukan penyesuaian
perumahan untuk mencocokan dengan status sosial ekonominya.
Penyesuaian ini bisa juga dipengaruhi oleh struktur keluarga maksudnya
adalah

semakin

bertambah

anggota

keluarga

maka

individu

akan

menyesuaikan kondisi perumahannya. Penyesuaian juga akan dilakukan
apabila individu tersebut merasa tidak puas dengan tempat tinggal yang lama
atau bisa juga karena pengaruh dari kondisi disekeliling perumahan.

Universitas Sumatera Utara

30

b. Faktor Karakteristik Lingkungan
Kualitas lingkungan mencerminkan kualitas hidup manusia yang ada di
dalamnya. Menurut Amos Rapoport (1977:60-61) komponen kualitas
lingkungan dapat dibagi menjadi:
1. Variabel lokasi: jarak ke pusat pelayanan, iklim dan topografi.
2. Variabel fisik: organisasi ruang yang jelas, udara bersih dan tenang.
3. Variabel psikologis: kepadatan penduduk dan kemewahan.
4. Variabel sosial ekonomi: suku, status sosial, tingkat kriminalitas dan
sistem pendidikan.
Selain itu menurut Drabkin (1980:68) ada juga beberapa faktor yang
berpengaruh terhadap pemilihan lokasi perumahan, yang secara individu berbeda satu
sama lain, yaitu:
1. Aksesibilitas, yang terdiri dari kemudahan transportasi dan jarak ke pusat
kota; lingkungan, dalam hal ini terdiri dari lingkungan sosial dan fisik
seperti kebisingan, polusi dan lingkungan yang nyaman.
2. Peluang kerja yang tersedia, yaitu kemudahan seseorang dalam mencari
pekerjaan untuk kelangsungan hidupnya.
3. Tingkat pelayanan, lokasi yang dipilih merupakan lokasi yang memiliki
pelayanan yang baik dalam hal sarana dan prasarana dan lain-lain.
Faktor lingkungan yang juga menjadi pertimbangan di dalam memilih lokasi
perumahan menurut (Bourne,1975:205) adalah:
1. Aksesibilitas ke pusat kota: jalan raya utama, sekolah dan tempat rekreasi.

Universitas Sumatera Utara

31

2. Karakteristik fisik dan lingkungan permukiman: kondisi jalan, pedestrian,
pola jalan dan ketenangan.
3. Fasilitas dan pelayanan: kualitas dari utilitas, sekolah, polisi dan pemadam
kebakaran.
4. Lingkungan sosial: permukiman bergengsi, komposisi sosial ekonomi,
etnis dan demografi.
5. Karakteristik site rumah: luas tanah, luas bangunan, jumlah kamar dan
biaya pemeliharaan.
Berkaitan dengan pemilihan lokasi, Luhst (1997:128) menyebutkan bahwa
kualitas kehidupan yang berupa kenyamanan, keamanan dari suatu rumah sangat
ditentukan oleh lokasinya.Daya tarik dari suatu lokasi ditentukan oleh dua hal yaitu
aksesibilitas dan lingkungan.
Aksesibilitas merupakan daya tarik ditentukan oleh kemudahan dalam
pencapaian ke berbagai pusat kegiatan seperti pusat perdagangan, pusat pendidikan,
daerah industri, jasa pelayanan perbankan, tempat rekreasi, pelayanan pemerintahan,
jasa profesional dan bahkan merupakan perpaduan antara semua kegiatan tersebut.

2.2.6 Teori lokasi perumahan
Pemilihan dan penentuan lokasi untuk perumahan bagi setiap orang berbedabeda sesuai dengan pertimbangan masing-masing individunya.

Universitas Sumatera Utara

32

Beberapa ahli membuat kesimpulan mengenai pemilihan lokasi perumahan
sebagai berikut (dalam buku Harry W. Richadson, 1978: 280-281):
1. Filter Down Theory
Teori ini muncul pada tahun 1920 oleh EW Burgess untuk menerangkan
pola pemukiman di Chicago. Menurut EW. Burgerss, perkembangan CBD
yang pesat membuat pusat kota menjadi tidak menarik (tanah mahal,
macet, polusi).
2. Hipotesis Tiebout (1956)
Tiebout mengemukakan bahwa seseorang memilih lokasi perumahan kota
atau kabupaten yang pajaknya rendah atau pelayanan publiknya bagus.
3. Trade off Model oleh Alonso (1964) dan Solow (1972,1973)
Secara sederhana diartikan sebagai adanya trade off aksesibilitas terhadap
ruang yang dipilih rumah tangga sebagai lokasi untuk properti perumahan.
Model ini juga mengasumsikan bahwa kota melingkar dengan sebuah pusat
tenaga kerja dan transportasi yang tersedia dimana-mana, semua lokasi
dipertimbangkan secara homogen kecuali jarak ke pusat kota. Rumah tangga
akan bersedia membayar lebih untuk properti dengan lokasi yang lebih dekat
dengan CBD karena biaya perjalanan lebih rendah.
4. Ellis (1967)
Ellis menekankan pentingnya preferensi lingkungan dan karakteristik
sekitar dalam memilih lokasi perumahan.

Universitas Sumatera Utara

33

5. Senior dan Wilson (1974)
Senior dan Wilson menyatakan bahwa untuk beberapa rumah tangga,
kemudahan pencapaian ke tempat kerja tidak berarti sama sekali.
6. Little (1974) dan Kirwan & Ball (1974)
Mereka meneliti mengenai implikasi dari keinginan sebagian besar
keluarga- keluarga untuk hidup dengan tetangga yang homogen.
7. Social Aglomeration Theory (1985)
Dikemukakan bahwa orang memilih rumah dengan pertimbangan utama
bahwa dia akan nyaman bersama dengan kelompok sosial tertentu dimana
kelompok ini bisa terbentukk berdasarkan ras, pendapatan, usia, dan lain
sebagainya, yang kemudian timbul segregasi.
Pilihan lokasi untuk rumah tinggal menggambarkan suatu usaha individu
untuk menyeimbangkan dua pilihan yang bertentangan, yaitu kemudahan ke pusat
kota dan luas tanah yang bisa diperoleh.
Menurut Synder dan Anthony (1991:153) ada beberapa kriteria yang harus
diperhatikan dalam pemilihan lokasi perumahan antara lain: Perwilayahan (zoning)
yaitu terkait dengan tipe dan ukuran bangunan, persyaratan ketinggian bangunan,
garis sempadan bangunan; Utilitas (utilities), meliputi ketersediaan dan kondisi
saluran pembuangan air hujan, sanitasi, pemasangan gas, listrik, dan telepon; Faktorfaktor teknis (technical factor), meliputi kondisi tanah, topografi, dan drainase, desain
dan biaya; lokasi (location), meliputi ketersediaan di pasar untuk penggunaan yang
diusulkan, aksesibilitas, kondisi pesekitaran, dan kondisi lalu lintas; estetika

Universitas Sumatera Utara

34

(eisthetics), meliputi pemandangan dan bentang alam yang ada; komunitas
(community), yaitu terutama terkait lingkungan termasuk di dalamnya kesehatan dan
jasa-jasa yang diselenggarakan pemerintah; pelayanan kota (city service), meliputi
penyediaan pendidikan, layanan kesehatan, dan jasa-jasa yang diselenggarakan
pemerintah; biaya (cost) dan keterjangkauan penyewa.
Luhst (1997) menyebutkan bahwa kualitas kehidupan yang berupa
kenyamanan, keamanan dari suatu rumah tinggal sangat ditentukan oleh lokasinya,
dalam arti daya tarik dari suatu lokasi ditentukan oleh dua hal yaitu lingkungan dan
aksesibilitas.
Lingkungan oleh Luhst didefenisikan sebagai suatu wilayah yang secara
geografis dibatasi dengan batas nyata, dan biasanya dihuni oleh kelompok
penduduk.Lingkungan mengandung unsur-unsur fisik dan sosial yang menimbulkan
kegiatan dan kesibukan dalam kehidupan sehari-hari.Unsur-unsur tersebut berupa
gedung-gedung sekolah, bangunan pertokoan, pasar, daerah terbuka untuk rekreasi,
jalan mobil dan sebagainya.
Aksesibilitas merupakan daya tarik suatu lokasi dikarenakan akan
memperoleh kemudahan dalam pencapaiannya dari berbagai pusat kegiatan seperti
pusat perdagangan, pusat pendidikan, daerah industri, jasa pelayanan perbankan,
tempat rekreasi, pelayanan pemerintahan, jasa profesional dan bahkan merupakan
perpaduan antara semua kegiatan tersebut. Penilaian dari aksesibilitas bisa berupa
jarak dari Central Business Distrik atau CBD, kemudahan mendapat pelayanan dari
transportasi umum yang menuju lokasi bersangkutan atau bisa juga dilihat dari lebar

Universitas Sumatera Utara

35

jalan yaitu semakin sempit lebar jalan suatu lahan, maka berarti aksesibilitas dari
tempat yang bersangkutan kurang baik.
Pertimbangan lain yang sangat menentukan pemilihan lokasi perumahan
adalah nilai tanah, seperti diungkapkan oleh Richard M Hurds dalam Haikal Ali
(1996) dengan teori Bid-rent yang menyatakan bahwa nilai lahan sangat tergantung
pada kemauan dan kemampuan untuk membayar karena faktor ekonomi dan
keinginan tinggal di lokasi dan kedekatan.
Teori ini muncul karena semakin mahalnya harga lahan di perkotaan, untuk
mendapatkan harga lahan yang murah maka penduduk bergerak kearah pinggiran
kota. Dengan kata lain seamakin jauh lokasinya dari pusat kota, semakin menurun
permintaan akan tanah. Dan apabila tanah banyak, maka sewa yang ditawarkan orang
untuk membayar tanah per meter bujur sangkarnya menurun mengikuti jaraknya dari
pusat kota. Dengan demikian tanah dipinggiran luar kota, persaingannya berkurang
dan harga yang ditawarkan untuk tanah perumahan lebih tinggi harganya
dibandingkan tanah tersebut ditawarkan untuk pendirian toko, karena tanah
dipinggiran kota lebih banyak diperuntukan bagi perumahan.
Berry dan Harton dalam Nasucha (1995) menjelaskan hubungan antara harga
tanah dengan pencapaian atau aksesibilitas yang diukur dengan jarak dari pusat kota.
Pencapaian atau akses akan semakin menurun secara bertahap kesemua arah dari
pusat kota, sehingga harga tanah akan semakin berkurang seiring dengan makin
jauhnya lokasi tersebut terhadap pusat kota. Tanah yang berada disepanjang jalan

Universitas Sumatera Utara

36

utama harga sewanya akan lebih tinggi dibandingkan dengan harga sewa tanah yang
tidak berada di jalan utama.
Goodall (1972) menyebutkan bahwa beberapa pertimbangan yang dilakukan
oleh suatu keluarga dalam memilih sebuah rumah yaitu suasana kehidupan di
lingkungan; lokasi perumahan; keadaan fisik rumah; kelengkapan fasilitas rumah;
nilai prestisius; harga rumah; pendapatan keluarga.
Suharsono (Wonosuprojo dkk, 1995) mengemukakan yang perlu diperhatikan
dalam menentukan lokasi permukiman dari sudut geomorfologi adalah:
1. Relief, meliputi kemiringan dan besar sudut lereng.
2. Tanah, meliputi daya dukung tanah dan tekstur.
3. Proses geomorfologi, meliputi tingkat erosi, kenampakan gerakan masa
kedalam saluran dan kerapatan aliran.
4. Batuan, meliputi tingkat kelapukan batuan dan kekuatan batuan.
5. Hidrologi, meliputi kedalaman air tanah pada sumur gali.
6. Klimatologi, meliputi curah hujan, suhu udara, kelembaban udara relatif,
kecepatan dan arah mata angin.
7. Penggunaan lahan.
8. Jaringanan jalan dan jembatan, saluran pembuangan limbah, dan drainase.
9. Kependudukan dan sosial ekonomi.

Universitas Sumatera Utara

37

Dasra (1995) mengatakan bahwa faktor-faktor dominan dalam penentuan
lokasi perumahan adalah:
a. Arah perkembangan kota, dengan faktor penentu adalah keadaan fisik kota
(seperti adanya sungai, topografi tanak dsb).
b. Ketersediaan lahan dan harga tanah.
Tersedianya lahan yang belum terbangun, semakin mahal harga tanah maka
biaya unit satuan perumahan akan semakin tinggi.
c. Kondisi sosial budaya.
Kecenderungan

perkembangan

penduduk

(kepadatan,

jumlah

dan

pertumbuhan penduduk) menentukan kebutuhan akan rumah.
d. Aksesibilitas.
Tersedianya sarana transportasi, baik skala lokal maupun regional.
e. Transportasi dan utilitas,
Tersedianya pola jaringan jalan, jaringan listrik, jaringan telepon, jaringan
drainase serta jaringan air bersih.

Koestoer (2001) lebih menekankan pada faktor aksesibilitas sebagai pengaruh
utama dalam memilih lokasi tempat tinggal yaitu kemudahan transportasi dan
kedekatan jarak. Koestoer berpendapat bahwa terdapat hubungan yang sangat erat
antara ketersediaan angkutan umum lokal dengan pertumbuhan lokasi tempat tinggal,
adanya pelayanan angkutan umum menyebabkan kemudahan dalam mencapai lokasi
tempat tinggal yang berada di daerah pinggiran kota, sehingga semakin baik

Universitas Sumatera Utara

38

pelayanan transportasi akan

mempengaruhi pertumbuhan

suatu lingkungan

permukiman.
Yeri (2004) mengatakan faktor lokasi menjadi pertimbangan penting dalam
pemilihan perumahan. Faktor lain yang dipertimbangkan oleh konsumen adalah aspek
lingkungan, fisik rumah, fungsi rumah dan kedekatan dengan berbagai fasilitas
perkotaan lainnya.
Selain itu kondisi lingkungan yang asri, udara segar, ketersediaan air bersih,
kenyamanan dan kondisi lingkungan yang aman akan menjadi pertimbangan
konsumen.

2.3

Keterkaitan Antara Kawasan Industri dengan Kebutuhan Tempat
Tinggal Buruh Industri
Menurut Kuswartojo (2005:8), salah satu tujuan dari penciptaan pemukiman

adalah untuk menjamin kesehatan jasmani dan rohani. Berdasarkan tujuan tersebut,
maka pemukiman merupakan sarana dasar yang berfungsi untuk meningkatkan
produktivitas dan kualitas hidup seseorang.Produktivitas buruh industri sebagai
penggerak kegiatan industri yang lebih diutamakan dari segi tenaganya dan bukan
pikirannya, sangat dipengaruhi oleh pemenuhan kebutuhan tempat tinggalnya karena
berkaitan dengan kesejahteraan buruh industri tersebut.

Universitas Sumatera Utara

39

2.3.1 Buruh dan kebutuhan hunian
Pembangunan perumahan dan permukiman tidak dapat dipisahkan dari
pembangunan perkotaan mengingat kawasan terbesar dari suatu kota adalah
merupakan kawasan perumahan dan permukiman.
Dampak timbulnya aktifitas yang dihasilkan oleh suatu kegiatan perkotaan
sering menimbulkan hunian/permukiman tidak dipenuhi maka akan menimbulkan
kekumuhan disuatu bagian kota tertentu.
Hal ini disebabkan karena pekerja pendatang yang belum memiliki tempat
tinggal akan membangun rumah-rumah sementara yang berlokasi dipinggiran sungai,
sepanjang sisi rel kereta api dan tanah-tanah kosong milik pemerintah yang dapat
menampung mereka untuk sementara waktu sebelum mendapatkan perumahan yang
layak.
Eko Budiharjo, dalam bukunya menerangkan adanya interelasi antara kutubkutub pada segitiga: Jobs (pekerjaan)–Housing (permukiman)–Environment
(lingkungan), yang bila terjadi penekanan pada salah satu kutub saja maka akan
berpengaruh negatif pada seluruh sistem kota dan daerah (Budiharjo, 1985:90).
Pekerja pendatang dalam studi ini dapat digolongkan sebagai kelompok
pekerja berpenghasilan rendah didalam pemenuhan kebutuhan hunian masih kurang
diperhatikan dan sangat tergantung dengan kondisi lokasi dan pendapatannya. Yang
dimaksud

kelompok

pekerja

berpenghasilan

rendah

adalah

mereka

yang

pengupahannya menggunakan sistem pengupahan harian baik yang bersetatus tetap

Universitas Sumatera Utara

40

maupun tidak tetap. Status hunian ditinjau dari sudut mobilitas kerja hanya sementara
dan tergantung kondisi atau musim, atau dikenal sebagai “migren sekuler”.
Karakteristik penting dari migrant non permanen atau migrant yang bersifat
musiman adalah keinginan untuk menabung sebanyak mungkin selama mereka
bekerja di kota dengan konsekuensi mengorbankan pengeluaran untuk kebutuhan
akomodasi (Budiono Sundaru, 1993).

2.3.2 Kebutuhan tempat tinggal bagi buruh industri
Penentuan prioritas tentang tempat tinggal bagi seseorang yang
berpenghasilan rendah, termasuk buruh industri, cenderung didasarkan pada prioritas
utama yaitu lokasi tempat tinggal yang berdekatan dengan lokasi kerja dengan alasan
penghematan biaya transportasi yang sekarang ini semakin melambung seiring
tingginya harga bahan bakar minyak.
Aspek lokasi akan mempunyai implikasi ekonomi karena keterkaitannya
dengan tempat kerja dan fasilitas sosial. Jarak yang jauh dengan tempat kerja dan
fasilitas sosial berarti akan menambah persentase pengeluaran ongkos transportasi
dibandingkan seluruh pengeluaran rutin keluarga (Budihardjo, 1997:121). Lebih
lanjut Sastra dan Marlina (2006:132) menyatakan bahwa lokasi perumahan sebaiknya
dipilih di daerah yang memberikan akses yang mudah bagi orang yang bermukim
(maksimal 30 menit dengan menggunakan alat transportasi umum) untuk menuju
tempat kerja.

Universitas Sumatera Utara

41

Turner dalam Panudju (1999:9) menyatakan bahwa terdapat keterkaitan antara
kondisi ekonomi seseorang dengan skala prioritas kebutuhan hidup dan prioritas
kebutuhan perumahan seperti terlihat pada Gambar 2.2.

Gambar 2.2 Hubungan Antara Tingkat Kebutuhan Tempat Tinggal dan
Tingkat Pendapatan
Sumber: Turner Dalam Panudju, 1999
Seiring dengan meningkatnya pendapatan, prioritas kebutuhan tempat tinggal
akan berubah pula. Status kepemilikan rumah menjadi prioritas utama, karena
seseorang ingin mendapatkan kejelasan tentang status kepemilikan rumah. Hal ini
memberikan keyakinan bahwa dia tidak akan digusur sehingga dapat bekerja dengan
tenang untuk menaikkan pendapatannya. Pada tahap ini, prioritas kedekatan lokasi
tempat tinggal dengan lokasi kerja menjadi prioritas kedua dan standar fisik hunian
tetap menjadi prioritas terakhir (Turner, 1972:166).
Terdapat tiga kebutuhan utama dari hunian yakni: lokasi (proximity to
unskilled jobs), kepemilikan (freehold ownership), dan kondisi fisik unit hunian
(modern standard shelter).

Universitas Sumatera Utara

42

Untuk masyarakat yang berpendapatan rendah/sangat rendah yang menjadi
kebutuhan utama adalah lokasi, untuk kepemilikan dan kondisi fisik menempati
urutan yang tidak penting bahkan di perhitungkan dalam menempati suatu hunian.
Sedangkan untuk rentang waktu huni, para pekerja pendatang yang
meninggalkan keluarganya ditempat asal, cenderung untuk tidak menetap di kota
karena untuk meyakinkan keberadaan lapangan kerja atau dapat diindikasikan bahwa
kebanyakan pekerja pendatang ini dalam jangka waktu tertentu akan kembali lagi ke
arah asalnya (Sheng, 1992:116). Sehingga bila telah mendapatkan pekerjaan yang
menetap barulah mereka akan membawa keluarganya di kota dan untuk rentang
waktu tersebut para pekerja pendatang cenderung untuk menyewa kamar di
pemukiman kumuh yang berpenghuni enam atau lebih. Perhitungan kebutuhan hunian
secara normal untuk menentukan jumlah kamar sewa yang dibutuhkan sangat di
pengaruhi oleh berbagai macam faktor, tetapi secara garis besar untuk mengukur
jumlah kamar yang dibutuhkan dari pertambahan pekerja pendatang ini secara
langsung dapat diperkirakan melalui pertambahan pendapatan yang dilihat dengan
kondisi umum yang terjadi di lapangan tentang banyaknya penghuni pada setiap
kamarnya.
2.3.3 Tinjauan penyediaan tempat tinggal bagi buruh industri
Adapun penyediaan tempat tinggal buruh industri dapat ditinjau dari beberapa
hal, yaitu antara lain sebagai berikut:
1. Bentuk Tempat Tinggal Bagi Buruh Industri

Universitas Sumatera Utara

43

Masyarakat berpenghasilan rendah memiliki karakteristik yang heterogen,
antara lain bila ditinjau dari besarnya pendapatan dan jumlah anggota
keluarga yang dimiliki. Sifat heterogen lainnya yang mempengaruhi
pemilihan bentuk tempat tinggal bagi buruh industri adalah preferensi
lamanya tinggal disuatu tempat, ada yang berkeinginan hanya tinggal untuk
sementara saja, namun ada pula yang berkeinginan untuk tinggal menetap.
Menurut Sheng (1992:2-3), ada beberapa sub sistem pemasaran tempat
tinggal, yaitu squatter housing sub system, worker’s housing sub system,
filtered housing sub system, public housing sub system, dan rural commuter
sub

system,

dimana

pada

sub

sistem

tempat

tinggal

bagi

pekerja(worker’shousing sub system), penyediaan tempat tinggal lokasinya
diarahkan pada atau dekat dengan tempat kerja. Lebih lanjut Sheng
(1992:3) membagi sub system tersebut dalam 5 (lima) tipe, yaitu:
a. Work

place

site

houses,

didirikan

atas

ijin

pemberi

kerja

denganmenggunakan sebagian lahan pabrik, biasanya dibuat dari kayu
dan bahan material bekas, dibangun untuk pekerja dan keluarganya.
b. Factory site dormitories, biasanya berupa permukiman padat yangdihuni
oleh pekerja yang belum berkeluarga dengan ruang dan privasi yang
terbatas.
c. Staff

and

servant

quarters,

disediakan

bagi

pekerja

seperti

pembanturumah tangga, satpam, tukang kebun pada permukiman
kalangan

Universitas Sumatera Utara

44

menengah dan kalangan atas atau pada institusi umum dan lokasi bisnis
sebagai salah satu fasilitas yang disediakan oleh pemberi kerja.
d. Institutional housing, berupa barak tempat tinggal tentara atau
pekerjakereta api dan keluarganya.
e. Itinerant construction worker’s housing, merupakan bangunansementara
bagi pekerja bangunan yang dibangun dari material bangunan
di lokasi tersebut untuk mereka huni bersama keluarganya.
Menurut Komarudin (1996:334), tempat tinggal sederhana buruh industri
umumnya berbentuk kamar sewa atau indekos, rumah kontrakan, rumah
pribadi yang dibeli dengan cara angsuran dan asrama. Beberapa bentuk dari
hunian sewa bagi karyawan perusahaan dan pekerja lainnya adalah rumah
pekerja atau karyawan bergabung dengan pabrik, rumah karyawan yang
disewa perusahaan untuk dihuni pekerjanya, dan kamar sewa di rumah
kecil ataupun berupa asrama (Sheng, 1992:125).
2. Pihak-pihak yang Terlibat dalam Penyediaan Tempat Tinggal
Buruh industri menghadapi kesulitan dalam pemenuhan kebutuhan tempat
tinggal mengingat rendahnya pengahasilan yang mereka miliki.Oleh karena
itu, perlu keterlibatan berbagai pihak untuk membantu mereka agar dapat
memenuhi kebutuhan tempat tinggalnya.
Menurut Panudju dalam Komarudin (1996: 334), penyediaan tempat tinggal
bagi pekerja industri dapat dilaksanakan oleh berbagai pihak, antara lain oleh buruh

Universitas Sumatera Utara

45

industri secara perorangan, buruh industri melalui yayasan atau koperasi, masyarakat
sekitar daerah industri melalui sewa menyewa dan jual beli, perusahaan atau pemilik
industri, dan pihak ketiga (Pemerintah melalui KPR BTN dan Swasta melalui REI,
developer, industrial estate).
Tidak menutup kemungkinan penyediaan tempat tinggal buruh industri
tersebut dilakukan secara bersama-sama mengingat keterbatasan yang dimiliki oleh
masing-masing pihak tersebut.Misalnya, kerjasama antara perusahaan industri dengan
pemerintah, dimana biasanya perusahaan industri mengalami kesulitan dalam
penyediaan lahan maka pemerintah dapat membantu dengan penyediaan lahan.Payne
dalam Panudju (1999:120) menekankan perlunya intervensi Pemerintah dalam upaya
pengadaan site and service atau kapling siap bangun bagi masyarakat berpenghasilan
rendah.
Bentuk kombinasi kerjasama yang lain adalah antara koperasi dan perusahaan
industri. Keterbatasan dalam penyediaan lahan oleh koperasi dapat dibantu oleh
perusahaan dengan cara memberikan pinjaman lunak untuk digunakan koperasi
membeli lahan atau lahan dibeli oleh perusahaan untuk selanjutnya dibeli koperasi
dengan cicilan ringan (Komarudin, 1996:230).
2.3.4 Perumahan buruh industri
Suatu bentuk permukiman yang ideal di kota merupakan pertanyaan yang
menghendaki jawaban yang bersifat komprehensif, sebab perumahan dan

Universitas Sumatera Utara

46

permukiman menyangkut kehidupan manusia termasuk kebutuhan manusia yang
terdiri dari berbagai aspek.
Sehingga dapat dirumuskan secara sederhana tentang ketentuan yang baik
untuk suatu permukiman (Sinulingga, 2005:187-189) yaitu harus memenuhi sebagai
berikut:
1. Lokasinya sedemikian rupa sehingga tidak terganggu oleh kegiatan lain
seperti pabrik, yang umumnya dapat memberikan dampak pada
pencemaran udara atau pencemaran lingkungan lainnya.
2. Mempunyai akses terhadap pusat-pusat pelayanan seperti pelayanan
pendidikan, kesehatan, perdagangan, dan lain-lain.
3. Mempunyai fasilitas drainase, yang dapat mengalirkan air hujan dengan
cepat dan tidak sampai menimbulkan genangan air walaupun hujan yang
lebat sekalipun.
4. Mempunyai fasilitas penyediaan air bersih, berupa jaringan distribusi yang
siap untuk disalurkan ke masing-masing rumah.
5. Dilengkapi dengan fasilitas air kotor/tinja yang dapat dibuat dengan sistem
individual yaitu tanki septik dan lapangan rembesan, ataupun tanki septik
komunal.
6. Permukiman harus dilayani oleh fasilitas pembuangan sampah secara
teratur agar lingkungan permukiman tetap nyaman.

Universitas Sumatera Utara

47

7. Dilengkapi dengan fasilitas umum seperti taman bermain bagi anak-anak,
lapangan atau taman, tempat beribadat, pendidikan dan kesehatan sesuai
dengan skala besarnya permukiman itu.
8. Dilayani oleh jaringan listrik dan telepon.

Begitu pentingnya hunian bagi masyarakat, hal ini telah terakumulasi atau
tersirat dalam prinsip piagam hak asasi manusia yang menyatakan live, liberty,
property

yang

dalam

arti

sempitnya

hidup,

kebebasan,

tanah

dan

rumah/hartakekayaan. Kesemuanya ini merupakan tiga hak dasar yang harus ada pada
setiap individu sebagai warga masyarakat, dengan demikian ketiga unsur hak-hak
dasar tersebut menjadi atribut seseorang dapat dikatakan hidup layak.

Universitas Sumatera Utara