Potensi Antagonisme Bakteri Kitinolitik Rizosfer Akar Tanaman Tembakau (Nicotiana tabaccum) Terhadap Penyakit Layu (Fusarium solani)
12
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sub-sektor perkebunan merupakan penyumbang ekspor terbesar di sektor
pertanian dengan nilai ekspor yang jauh lebih besar dibandingkan nilai impornya.
Sebagian besar produk perkebunan utama diekspor ke negara-negara lain. Ekspor
komoditas perkebunan tumbuh dengan laju 6,9% per tahun. Laju pertumbuhan
nilai ekspor komoditi tembakau mengalami percepatan bersama dengan komoditi
teh dan kakao (Kementerian Pertanian, 2015).
Berita yang dimuat di www.liputan6.com bulan Desember 2014 yang
dikutip pada tanggal 17 Juni 2015 berisi Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia
(AMTI) menyatakan, ekspor dan produk tembakau olahan Indonesia diperkirakan
tumbuh sekitar 10 persen menjadi US$ 1,1 miliar pada 2015 dari target ekspor
tahun ini sebesar US$ 1 miliar (Denis, 2014).
Untuk meningkatkan pendapatan petani tembakau sekaligus meningkatkan
ekspor, pemerintah telah menganjurkan kepada petani tembakau untuk
melaksanakan intensifikasi. Dalam pelaksanaan intensifikasi ini agar petani
tembakau berhasil maka perlu diatur langkah-langkahnya. Salah satu faktor yang
menentukan keberhasilan intensifikasi adalah masalah proteksi tanaman atau
perlindungan tanaman dari penyakit sejak dini (Ratmawati, 2015).
Salah satu penyakit yang disebabkan oleh cendawan adalah penyakit layu
Fusarium yang disebabkan oleh cendawan Fusarium sp. Penyebaran cendawan
Fusarium sangat cepat dan dapat menyebar ke tanaman lain dengan cara
menginfeksi akar tanaman dengan menggunakan tabung kecambah atau miselium.
Akar tanaman dapat terinfeksi langsung melalui jaringan akar, atau melalui akar
Universitas Sumatera Utara
13
lateral dan melalui luka-luka, yang kemudian menetap dan berkembang di berkas
pembuluh. Setelah memasuki akar tanaman, miselium akan berkembang hingga
mencapai jaringan korteks akar. Pada saat miselium cendawan mencapai xilem,
maka miselium ini akan berkembang hingga menginfeksi pembuluh xilem.
Miselium yang telah menginfeksi pembuluh xilem, akan terbawa ke bagian lain
tanaman sehingga mengganggu peredaran nutrisi dan air pada tanaman yang
menyebabkan tanaman menjadi layu (Semangun, 2005).
Pengendalian yang biasa dilakukan oleh petani untuk mengendalikan layu
Fusarium yaitu membongkar dan membakar tanaman yang sakit. Pengendalian
cendawan penyebab penyakit layu Fusarium ini perlu dikaji lebih dalam untuk
mengetahui metode pengendalian yang tepat khususnya pengendalian yang ramah
lingkungan (Nugraheni, 2010). Penggunaan mikroorganisme dari golongan jamur
dan bakteri sebagai pengendali hayati penyakit tanaman mempunyai prospek yang
sangat baik di masa yang akan datang. Hal ini dikarenakan kedua golongan
mikroorganisme ini selain mudah dibiakkan dan diperbanyak juga dapat diperoleh
di areal pertanian itu sendiri. Selain itu penggunaan agensia pengendali hayati
dalam
mengendalikan
organisma
pengganggu
tanaman
(OPT)
semakin
berkembang karena cara ini lebih unggul dibanding pengendalian berbasis
pestisida. Beberapa keunggulan tersebut adalah: aman bagi manusia dan musuh
alami; dapat mencegah timbulnya ledakan OPT sekunder; produk tanaman yang
dihasilkan bebas dari residu pesti sida; muda didapat karena ada di sekitar
pertanaman sehingga dapat mengurangi ketergantungan petani terhadap pestisida
sintetis;
menghemat
biaya
produksi
serta
ramah
terhadap
lingkungan
(Nurhayati, 2011).
Universitas Sumatera Utara
14
Berbagai manfaat positif dari bakteri dalam rizosfer telah menjadikannya
sumber potensial bagi ketersediaan nutrisi dalam tanah serta mendorong
pertumbuhan tanaman sehingga menjadi lebih baik. Beberapa bakteri tanah
berasosiasi dengan akar tanaman budidaya dan memberikan pengaruh yang
bermanfaat pada tanaman inangnya. Bakteri ini dikelompokkan ke dalam PGPR
(Plant Growth Promoting Rhizobacteria). Strain PGPR yang sering ditemukan di
antaranya Pseudomonas fluorescence (Dewi, 2007).
Pengendalian penyakit tanaman dengan agen pengendali hayati (APH)
seperti Plant Growth Promoting Rhizobacteria (PGPR) perlu dimanfaatkan dalam
usaha tani perkebunan ramah lingkungan dan berkelanjutan. PGPR merupakan
bakteri pemacu pertumbuhan yang hidup di akar dapat menghasilkan antibiotik,
sebagai kompetitor, menginduksi ketahanan tanaman untuk pengendalian patogen
penyakit dan hama, serta dapat mensekresikan senyawa-senyawa berguna bagi
pertumbuhan tanaman (Tombe, 2013).
Pemanfaatan bakteri rizosfer sebagai agensia hayati dan pemacu
pertumbuhan tanaman sangat menguntungkan tanaman karena tidak bersifat
toksik bagi tanaman, efektif dalam mengendalikan patogen dan meningkatkan
ketahanan tanaman, serta tidak menimbulkan dampak negatif terhadap
lingkungan. Bakteri rizosfer juga efektif selama masa hidup tanaman dan dapat
menghasilkan senyawa tertentu yang berfungsi sebagai hormon tumbuh, penyedia
dan memobilisasi unsur hara sehingga memberi manfaat ganda sebagai pupuk
hayati dan agens hayati (Khaeruni et al., 2010).
Efek PGPR pada tanaman yang dinokulasi dikelompokkan menjadi dua,
yaitu: mendukung pertumbuhan tanaman dan pengendali secara biologis
Universitas Sumatera Utara
15
(biokontrol). Meskipun secara konseptual kedua efek ini sangat berbeda, dalam
prakteknya sangat sulit bahkan hampir tidak mungkin untuk menentukan
perbedaan dan batas antara keduanya. Biokontrol terhadap patogen tumbuhan
tampaknya menjadi mekanisme utama dari PGPR (Plant Growth Promoting
Rhizobacteria). Penekanan patogen tumbuhan merupakan hasil dari produksi
metabolit sekunder atau datang pada tanaman dengan sendirinya sebagai sistem
pertahanannya. PGPR berbasis inokula seharusnya dapat bersaing dengan
mikroorganisme indigenous dan dengan efisien mendiami daerah perakaran
tanaman untuk melindunginya. Satu pendekatan untuk menyeleksi organisme
dengan potensi untuk mengontrol patogen tumbuhan tular tanah (soilborne
phytopathogens) adalah dengan mengisolasi organisme itu dari tanah suppresive
terhadap patogen itu (Dewi, 2007).
Salah satu jenis dari bakteri rizosfer akar adalah bakteri kitinolitik yang
memproduksi enzim kitinase. Menurut Ginting (2007) pada tanaman, kitinase
dihasilkan dan diakumulasi sebagai respon akibat infeksi jamur atau simbion
jamur. Kitinase berperanan penting dalam pengendalian hayati jamur dan
nematoda patogen tanaman dimana patogen tersebut menyerang tanaman dengan
cara hidup parasit. Kitinase yang dihasilkan oleh rhizobakteri diyakini mempunyai
peran aktif dalam pengendalian jamur patogen tanaman.
Sullia et al. (2012) melaporkan Pseudomonas spp. yang diisolasi dari
tanaman kubis,gandum, padi, kentang dan tomat (famili solanaceae) mampu
menekan
pertumbuhan
jamur
patogen
Alternaria
brassicae,
Alternaria
brassicicola, Alternaria alternate, Collectotrichum gleosporoides, Fusarium
solani, Fusarium oxysporum, dan Rhizoctonia solani. Bakteri tersebut mampu
Universitas Sumatera Utara
16
menekan
pertumbuhan
jamur
patogen
karena
menghasilkan
siderofor,
hydrocyanid acid dan enzim seperti kitinase dan selulase.
Dari paparan diatas peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai
potensi bakteri kitinolitik rizosfer tanaman tembakau sebagai agens antagonis
untuk mengendalikan jamur patogen penyebab layu (F. solani).
Tujuan Penelitian
Untuk mengeksplorasi bakteri kitinolitik rizosfer akar tanaman tembakau
(Nicotiana tabaccum) yang bersifat antagonis terhadap jamur patogen penyebab
penyakit layu (F. solani) dan mengetahui potensinya dalam mengendalikan
penyakit tersebut.
Hipotesis Penelitian
Terdapat bakteri kitinolitik pada rizosfer akar tanaman tembakau yang
memiliki kemampuan antagonisme terhadap patogen F. solani.
Kegunaan Penelitian
Sebagai sumbangsih untuk ilmu pengetahuan dan informasi bagi budidaya
tanaman tembakau khususnya pada usaha pengendalian patogen.
Universitas Sumatera Utara
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sub-sektor perkebunan merupakan penyumbang ekspor terbesar di sektor
pertanian dengan nilai ekspor yang jauh lebih besar dibandingkan nilai impornya.
Sebagian besar produk perkebunan utama diekspor ke negara-negara lain. Ekspor
komoditas perkebunan tumbuh dengan laju 6,9% per tahun. Laju pertumbuhan
nilai ekspor komoditi tembakau mengalami percepatan bersama dengan komoditi
teh dan kakao (Kementerian Pertanian, 2015).
Berita yang dimuat di www.liputan6.com bulan Desember 2014 yang
dikutip pada tanggal 17 Juni 2015 berisi Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia
(AMTI) menyatakan, ekspor dan produk tembakau olahan Indonesia diperkirakan
tumbuh sekitar 10 persen menjadi US$ 1,1 miliar pada 2015 dari target ekspor
tahun ini sebesar US$ 1 miliar (Denis, 2014).
Untuk meningkatkan pendapatan petani tembakau sekaligus meningkatkan
ekspor, pemerintah telah menganjurkan kepada petani tembakau untuk
melaksanakan intensifikasi. Dalam pelaksanaan intensifikasi ini agar petani
tembakau berhasil maka perlu diatur langkah-langkahnya. Salah satu faktor yang
menentukan keberhasilan intensifikasi adalah masalah proteksi tanaman atau
perlindungan tanaman dari penyakit sejak dini (Ratmawati, 2015).
Salah satu penyakit yang disebabkan oleh cendawan adalah penyakit layu
Fusarium yang disebabkan oleh cendawan Fusarium sp. Penyebaran cendawan
Fusarium sangat cepat dan dapat menyebar ke tanaman lain dengan cara
menginfeksi akar tanaman dengan menggunakan tabung kecambah atau miselium.
Akar tanaman dapat terinfeksi langsung melalui jaringan akar, atau melalui akar
Universitas Sumatera Utara
13
lateral dan melalui luka-luka, yang kemudian menetap dan berkembang di berkas
pembuluh. Setelah memasuki akar tanaman, miselium akan berkembang hingga
mencapai jaringan korteks akar. Pada saat miselium cendawan mencapai xilem,
maka miselium ini akan berkembang hingga menginfeksi pembuluh xilem.
Miselium yang telah menginfeksi pembuluh xilem, akan terbawa ke bagian lain
tanaman sehingga mengganggu peredaran nutrisi dan air pada tanaman yang
menyebabkan tanaman menjadi layu (Semangun, 2005).
Pengendalian yang biasa dilakukan oleh petani untuk mengendalikan layu
Fusarium yaitu membongkar dan membakar tanaman yang sakit. Pengendalian
cendawan penyebab penyakit layu Fusarium ini perlu dikaji lebih dalam untuk
mengetahui metode pengendalian yang tepat khususnya pengendalian yang ramah
lingkungan (Nugraheni, 2010). Penggunaan mikroorganisme dari golongan jamur
dan bakteri sebagai pengendali hayati penyakit tanaman mempunyai prospek yang
sangat baik di masa yang akan datang. Hal ini dikarenakan kedua golongan
mikroorganisme ini selain mudah dibiakkan dan diperbanyak juga dapat diperoleh
di areal pertanian itu sendiri. Selain itu penggunaan agensia pengendali hayati
dalam
mengendalikan
organisma
pengganggu
tanaman
(OPT)
semakin
berkembang karena cara ini lebih unggul dibanding pengendalian berbasis
pestisida. Beberapa keunggulan tersebut adalah: aman bagi manusia dan musuh
alami; dapat mencegah timbulnya ledakan OPT sekunder; produk tanaman yang
dihasilkan bebas dari residu pesti sida; muda didapat karena ada di sekitar
pertanaman sehingga dapat mengurangi ketergantungan petani terhadap pestisida
sintetis;
menghemat
biaya
produksi
serta
ramah
terhadap
lingkungan
(Nurhayati, 2011).
Universitas Sumatera Utara
14
Berbagai manfaat positif dari bakteri dalam rizosfer telah menjadikannya
sumber potensial bagi ketersediaan nutrisi dalam tanah serta mendorong
pertumbuhan tanaman sehingga menjadi lebih baik. Beberapa bakteri tanah
berasosiasi dengan akar tanaman budidaya dan memberikan pengaruh yang
bermanfaat pada tanaman inangnya. Bakteri ini dikelompokkan ke dalam PGPR
(Plant Growth Promoting Rhizobacteria). Strain PGPR yang sering ditemukan di
antaranya Pseudomonas fluorescence (Dewi, 2007).
Pengendalian penyakit tanaman dengan agen pengendali hayati (APH)
seperti Plant Growth Promoting Rhizobacteria (PGPR) perlu dimanfaatkan dalam
usaha tani perkebunan ramah lingkungan dan berkelanjutan. PGPR merupakan
bakteri pemacu pertumbuhan yang hidup di akar dapat menghasilkan antibiotik,
sebagai kompetitor, menginduksi ketahanan tanaman untuk pengendalian patogen
penyakit dan hama, serta dapat mensekresikan senyawa-senyawa berguna bagi
pertumbuhan tanaman (Tombe, 2013).
Pemanfaatan bakteri rizosfer sebagai agensia hayati dan pemacu
pertumbuhan tanaman sangat menguntungkan tanaman karena tidak bersifat
toksik bagi tanaman, efektif dalam mengendalikan patogen dan meningkatkan
ketahanan tanaman, serta tidak menimbulkan dampak negatif terhadap
lingkungan. Bakteri rizosfer juga efektif selama masa hidup tanaman dan dapat
menghasilkan senyawa tertentu yang berfungsi sebagai hormon tumbuh, penyedia
dan memobilisasi unsur hara sehingga memberi manfaat ganda sebagai pupuk
hayati dan agens hayati (Khaeruni et al., 2010).
Efek PGPR pada tanaman yang dinokulasi dikelompokkan menjadi dua,
yaitu: mendukung pertumbuhan tanaman dan pengendali secara biologis
Universitas Sumatera Utara
15
(biokontrol). Meskipun secara konseptual kedua efek ini sangat berbeda, dalam
prakteknya sangat sulit bahkan hampir tidak mungkin untuk menentukan
perbedaan dan batas antara keduanya. Biokontrol terhadap patogen tumbuhan
tampaknya menjadi mekanisme utama dari PGPR (Plant Growth Promoting
Rhizobacteria). Penekanan patogen tumbuhan merupakan hasil dari produksi
metabolit sekunder atau datang pada tanaman dengan sendirinya sebagai sistem
pertahanannya. PGPR berbasis inokula seharusnya dapat bersaing dengan
mikroorganisme indigenous dan dengan efisien mendiami daerah perakaran
tanaman untuk melindunginya. Satu pendekatan untuk menyeleksi organisme
dengan potensi untuk mengontrol patogen tumbuhan tular tanah (soilborne
phytopathogens) adalah dengan mengisolasi organisme itu dari tanah suppresive
terhadap patogen itu (Dewi, 2007).
Salah satu jenis dari bakteri rizosfer akar adalah bakteri kitinolitik yang
memproduksi enzim kitinase. Menurut Ginting (2007) pada tanaman, kitinase
dihasilkan dan diakumulasi sebagai respon akibat infeksi jamur atau simbion
jamur. Kitinase berperanan penting dalam pengendalian hayati jamur dan
nematoda patogen tanaman dimana patogen tersebut menyerang tanaman dengan
cara hidup parasit. Kitinase yang dihasilkan oleh rhizobakteri diyakini mempunyai
peran aktif dalam pengendalian jamur patogen tanaman.
Sullia et al. (2012) melaporkan Pseudomonas spp. yang diisolasi dari
tanaman kubis,gandum, padi, kentang dan tomat (famili solanaceae) mampu
menekan
pertumbuhan
jamur
patogen
Alternaria
brassicae,
Alternaria
brassicicola, Alternaria alternate, Collectotrichum gleosporoides, Fusarium
solani, Fusarium oxysporum, dan Rhizoctonia solani. Bakteri tersebut mampu
Universitas Sumatera Utara
16
menekan
pertumbuhan
jamur
patogen
karena
menghasilkan
siderofor,
hydrocyanid acid dan enzim seperti kitinase dan selulase.
Dari paparan diatas peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai
potensi bakteri kitinolitik rizosfer tanaman tembakau sebagai agens antagonis
untuk mengendalikan jamur patogen penyebab layu (F. solani).
Tujuan Penelitian
Untuk mengeksplorasi bakteri kitinolitik rizosfer akar tanaman tembakau
(Nicotiana tabaccum) yang bersifat antagonis terhadap jamur patogen penyebab
penyakit layu (F. solani) dan mengetahui potensinya dalam mengendalikan
penyakit tersebut.
Hipotesis Penelitian
Terdapat bakteri kitinolitik pada rizosfer akar tanaman tembakau yang
memiliki kemampuan antagonisme terhadap patogen F. solani.
Kegunaan Penelitian
Sebagai sumbangsih untuk ilmu pengetahuan dan informasi bagi budidaya
tanaman tembakau khususnya pada usaha pengendalian patogen.
Universitas Sumatera Utara