Uji Efektifitas Bakteri Kitinolitik Terhadap Penyakit Layu Fusarium Pada Tanaman Bawang Merah

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Bawang merah merupakan salah satu komoditas sayuran yang mempunyai
arti penting bagi masyarakat baik dilihat dari nilai ekonomisnya yang tinggi
maupun dari kandungan gizinya. Dalam dekade terakhir ini permintaan akan
bawang merah untuk konsumsi dan bibit dalam negeri mengalami peningkatan.
Permintaan akan bawang merah yang terus meningkat perlu diimbangi dengan
peningkatan produksi bawang merah (Berson et al.,2015).
Beberapa daerah di sumatera utara yang banyak ditemukan budidaya
bawang merah yaitu di Kecamatan Simanindo dan Sianjur Mula- Mula dengan
luas tanam 10-15 ha. Selain di dua kecamatan tersebut, bawang merah ditanam
juga di Kecamatan Sitio-tio, Onan Runggu, Harian, Nainggolan, Palipi dan
Pangururan dengan luas tanam antara 1–8 ha. Data dari Dinas Pertanian,
Perikanan, dan Peternakan Kabupaten Samosir sampai dengan bulan April 2013
dari luas panen 55 ha menghasilkan bawang merah sebanyak 345 ton. Dengan
demikian produktivitas bawang merah yang dapat dicapai masih rendah yaitu ratarata 6,27 t/ha dibandingkan dengan rata-rata nasional sekitar 9,7 t/ha
(Hidayat et al., 2014).
Hasil produksi bawang merah untuk seluruh daerah di Sumatera Utara pada
tahun 2013 sebesar 8.305 ton, mengalami penurunan 5.851 ton (41,33 %)
dibandingkan pada tahun 2012. Penurunan produksi tersebut disebabkan oleh
menurunnya luas lahan tanaman bawang merah sebesar 533 hektar dan sulitnya

mendapatkan umbi bibit yang bebas dari penyakit untuk bahan tanam(BPS, 2013).

1
Universitas Sumatera Utara

Penyakit yang sering ditemui pada budidaya bawang merah ini yaitu
penyakit moler atau layu fusarium(Fusarium oxysporum f.sp. cepae). Nugroho
dkk. (2011) menyatakan bahwa penyakit moler merupakan penyakit utama
bawang merah yang disebabkan olehFusarium oxysporum f.sp. cepae. Gejala
yang ditimbulkan oleh patogen yaitu daun yang menguning dan cenderung
terpelintir. Infeksi pada bagian akar atau batang yang berbatasan dengan
permukaan tanah merupakan awal serangan patogen tular tanah pada tanaman.
Hal ini menyebabkan transportasi hara dan air tersumbat sehingga tanaman layu
(Kaeni et al., 2014).
Salah satu cara dalam mengendalikan penyakit moler yaitu dengan
menggunakan bakteri kitinolitik. Bakteri kitinolitik dapat memecah dan
mendegradasi kitin penyusun dinding sel jamur sehingga bakteri ini sangat
potensial untuk menghambat pertumbuhan jamur patogen pada tanaman (Ferniah
et al., 2003).
Bakteri kitinolitik merupakan salah satu jenis bakteri rhizosfer tanaman

yang

memproduksi enzim kitinase. Menurut Ginting (2007) pada tanaman,

kitinase dihasilkan dan diakumulasi sebagai respon akibat infeksi jamur atau
simbion jamur. Kitinase berperanan penting dalam pengendalian hayati jamur dan
nematoda patogen tanaman dimana patogen tersebut menyerang tanaman dengan
cara hidup parasit. Kitinase yang dihasilkan oleh rhizobakteri diyakini mempunyai
peran aktif dalam pengendalian jamur patogen tanaman
Kitinase dapat dihasilkan oleh kelompok bakteri dan jamur antagonis.
Beberapa bakteri yang dilaporkan menghasilkan kitinase adalahPseudomonas
fluorescens dan Bacillus sp. yang bersifat antagonis terhadap Rizoctonia solani,

2
Universitas Sumatera Utara

Fusarium oxysporum,Helminthosporium maydis, Pyricularia oryzae(Giyanto et
al., 2010).
Tujuan Penelitian
Untuk mendapatkan bakteri kitinolitik lokal yang dapat digunakan sebagai

agens hayati dalam mengendalikan penyakit layu fusarium yang disebabkan oleh
Fusarium oxysporum f.sp. cepae pada tanaman bawang merah dataran tinggi dan
rendah di Provinsi Sumatera Utara
Hipotesis Penelelitian
Diduga bakteri kitinolitik efektif dalam mengendalikan F. oxysporum
penyebab penyakit layu pada tanaman bawang merah
Kegunaan Penelitian
Sebagai salah satu syarat untuk dapat melaksanakan penelitian di Program
studi Agroteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan dan
sebagai bahan informasi bagi yang membutuhkan terkait dengan usaha
pengendalian penyakit layu fusarium pada tanaman bawang merah.

3
Universitas Sumatera Utara

TINJAUAN PUSTAKA
Biologi Penyakit
Menurut Alexopouluset al (1996), jamur Fusarium oxysporum f.sp. cepae
dapat diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom : Myceteae; Divisio :
Amastigomycota; Sub Divisi : Deuteromycotina;Class : Deuteromycetes; Ordo :

Moniliales; Famili : Tuberculariaceae; Genus : Fusarium;Species : Fusarium
oxysporum f.sp. cepae (Hanz).
Ciri-ciri dari cendawan ini adalah konidia hialin terdiri dari dua jenis yaitu
makrokonidia dan mikrokonidia. Makrokonidia berbentuk sabit, umumnya
bersekat tiga, berukuran 30 – 40 x 4,5 – 5,5 μm, mikrokonidia bersel-1, berbentuk
bulat telur atau lonjong, terbentuk secara tunggal atau berangkai-rangkai,
membentuk massa yang berwarna putih atau merah jambu. Pertumbuhan koloni
cepatdan dalam waktu 4 hari mencapai diameter 7,5-9 cm. Miselia seperti kapas,
dan semula berwarna agak putih (Indrawati, 1999).
Jamur fusarium membentuk miselium bersekat dan dapat tumbuh dengan
baik pada bermacam-macam medium yang mengandung ekstrak sayuran. Mulamula miselium tidak bewarna, semakin tua warna miselium menjadi krem,
akhirnya koloni tampak mempunyai benang-benang bewarna oker. Pada miselium
yang lebih tua terbentuk klamidiospora. Jamur membentuk banyak mikrokonidia
bersel 1, tidak bewarna, lonjong atau bulat telur (Fuadi, 2010).
Gejala Serangan
Gejala penyakit moler biasanya mulai tampak pada tanaman berumur 20
hari. Gejala umum penyakit moler berupa daun tidak tumbuh tegak tetapi meliuk
karena batang semu tumbuh lebih panjang, warna daun hijau pucat atau

4

Universitas Sumatera Utara

kekuningan, namun tidak layu. Umbi lapis tanaman sakit lebih kecil dan lebih
sedikit dibandingkan tanaman sehat. Pada umumnya tanaman yang menunjukkan
gejala moler sejak awal pertumbuhan, tidak dapat menghasilkan umbi lapis
(Wiyatiningsih et al., 2009).

Gambar.1. Gejala penyakit layu fusarium pada bawang merah
Tanaman sangat mudah tercabut karena pertumbuhan akar terganggu
bahkan membusuk. Pada dasar umbi terlihat cendawan yang berwarna keputihputihan, sedangkan jika umbi lapis dipotong membujur terlihat adanya
pembusukan, yang berawal dari dasar umbi meluas ke atas maupun ke samping.
Serangan lanjut akan mengakibatkan tanaman mati, yang dimulai dari ujung daun
dan dengan cepat menjalar ke bagian bawahnya (Sunarjono et al., 1995)
Daur Hidup
Penyakit ini bermula di pertanaman dan berlanjut sesudah panen yang
mengalami kebusukan pada masa penyimpanan. Jamur ini hidup di tanah yang
kemudian menyerang akar, pangkal batang dan umbi bawang yang sedang
tumbuh, kemudian diikuti oleh umbi yang luka (Marisa et al., 1995).
Daur hidup F. oxysporum mengalami fase patogenesis dan saprogenesis.
Pada fase patogenesis, cendawan hidup sebagai parasit pada tanaman inang.

Apabila tidak ada tanaman inang, patogen hidup di dalam tanah sebagai saprofit

5
Universitas Sumatera Utara

pada sisa tanaman dan masuk fase saprogenesis, yang dapat menjadi sumber
inokulum untuk menimbulkan penyakit pada tanaman lain. Penyebaran propagul
dapat terjadi melalui angin, air tanah, serta tanah terinfeksi dan terbawa oleh alat
pertanian dan manusia(Djaenuddin, 2011).
Faktor - Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Penyakit
Penyebaran jamur Fusarium sp juga dipengaruhi oleh keadaan pH yaitu
dari kisaran keasaman tanah yang memungkinkan jamur Fusarium sp tumbuh dan
melakukan kegiatannya. Sementara itu, suhu didalam tanah erat kaitannya dengan
suhu udara di atas permukaan tanah. Suhu udara yang rendah akan menyebabkan
suhu tanah yang rendah, begitu juga sebaliknya. Suhu selain berpengaruh terhadap
petumbuhan tanaman, juga terhadap perkembangan penyakitnya. Jamur Fusarium
sp mampu hidup pada suhu tanah antara 10-240C, meskipun hal ini tergantung
pula pada isolat jamurnya (Soesanto, 2002).
Pada kelembaban udara tinggi, konidiofora dan konidia akan terbentuk
sangat banyak pada permukaan daun. Konidia tersebut mudah disebarkan oleh

tiupan angin, sehingga pada kondisi cuaca seperti tersebut di atas cendawan ini
mampu berperan sebagai penyakit utama bawang merah maupun tanaman bawang
– bawangan lainnya. Cendawan mampu bertahan tetap hidup pada sisa-sisa
tanaman inang (Udiarto et al., 2005).
Pengendalian Penyakit
Usaha pengendalian penyakit moler pada saat ini masih ditekankan pada
teknik pengendalian dengan menggunakan fungisida. Akan tetapi, saat ini
diperlukan pengendalian penyakit yang aman, murah, dan ramah lingkungan.
Salah satu pilihan pengendalian yang tepat dan perlu diupayakan adalah

6
Universitas Sumatera Utara

pengendalian dengan menggunakan agensia hayati, seperti Trichoderma
harzianum, T. koningii, dan Pseudomonas fluorescens P60. T. harzianummampu
menekan F. oxysporum f.sp. gladiolipenyebab layu pada tanaman gladiol
(Rokhlani, 2005).
Beberapa dari jenis agen pengendali hayati ini dapat mengeluarkan senyawa
antibiotik (antifungal), subtilin, subtilosin, mycobacillin, subsporin, ituirin,
Cerexin, surfactin, bacillomycin, bacilysin, asam sianida, fengycin dan

bacilysocin, dan siderofor, dan metabolit sekunder lainnya yang sifatnya dapat
menghambat aktivitas dan perkembangan jamur F. oxysporum. Agen-agen
pengendali hayati ini juga mampu menghasilkan enzim degradatif makromolekul
yang bisa menghancurkan dinding sel jamur, seperti protease (intraseluler) dan
beberapa enzim yang disekresikan pada medium seperti levansukrase, ßglukanase, α-amilase, xilanase, kitinase dan protease (Kadja, 2013).
Selain degradasi dinding sel oleh enzim kitinase dan b-1,3-gluca-nase
yang juga telah dibuktikan berperan dalam proses terjadinya aksi antagonis
beberapa jenis jamur dan bakteri kitinolitik terhadap patogen tular tanah. Enzim
tersebut sangat penting, karena kitin merupakan konstituen utama dari dinding sel
kebanyakan jamur patogen tanaman (Singh et al., 1999).
Penekanan bakteri kitinolitik terhadap jamur patogen adalah dengan
melisis hifa jamur sebagai substrat untuk pertumbuhannya. Selain itu, bakteri juga
dapat bersimbiosis dengan akar tanaman dan menghasilkan kitinase yang berperan
sebagai pertahanan diri bagi tanaman dalam melawan patogen. Aplikasi bakteri
kitinolitik dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman lada terutama tinggi
tanaman (Harni & Amaria, 2012).

7
Universitas Sumatera Utara


Isolat bakteri kitinolitik yang diisolasi dari tanah memiliki kemampuan dalam
menghambat jamur F. oxysporumpenyebab layu Fusarium pada kecambah cabai
merah. Isolat tersebut adalah BK08, BK09, KR05, LK08, dan BK07 yang memiliki
potensi sebagai agen biokontrol. Isolat bakteri kitinolitik asal tanah memiliki
kemampuan dalam menghambat jamur patogen seperti Ganoderma boninense,
Penicillium citrinum, dan Fusarium oxysporum (Suryanto et al. 2011).

Bakteri Kitinolitik
Mikroorganisme kitinolitik adalah mikroorganisme yang dapat mendegradasi
kitin dengan menggunakan enzim kitinase. Mikroorganisme ini dapat diperoleh dari
berbagai sumber seperti rizosfer, filosfer, tanah atau lingkungan air seperti laut, danau
atau limbah udang dan sebagainya. Selain lingkungan mesofil, mikroorganisme
kitinolitik juga dapat diisolasi dari lingkungan termofilik seperti sumber air panas,
daerah geotermal dan lain-lain (Herdyastuti et al. 2009).
Bakteri kitinolitik adalah bakteri yang mampu menghasilkan enzim kitinase
untuk asimilasi kitin yang dimanfaatkan sebagai sumber karbon dan nitrogen bagi
bakteri itu sendiri (Wu et al., 2001). Bakteri kitinolitik dapat memecah dan
mendegradasi kitin penyusun dinding sel fungi sehingga bakteri ini sangat potensial
untuk menghambat pertumbuhan fungi patogen pada tanaman. Beberapa genus
bakteri seperti Streptomyces, Bacillus, Enterobacter, Aeromonas, Serratia, dan Vibrio

dilaporkan memiliki aktivitas kitinolitik (Ferniah et al., 2003).

Berbagai laporan menyebutkan bahwa bakterikitinolitik sangat potensial
digunakan dalam bidangpertanian sebagai agen biokontrol yang efektif
terhadapsejumlah jamur fitopatogenik. Bakteri kitinolitikAeromonas caviae
digunakan untuk mengontrol seranganRhizoctonia solani dan Fusarium
oxysporum pada kapasserta Sclerotium rolfsii pada buncis. Enzim kitinase

8
Universitas Sumatera Utara

yangdihasilkan oleh Serratia marcescens juga efektif untukmelawan kapang
patogen

S.

rolfsii.

Filtrat


kulturAphanocladium

terbukti

menghambat

pertumbuhanNecteria haematcocca yang menyerang kapri. Mikrobakitinolitik
Streptomyces dan Paenibacillus juga dilaporkandapat mengendalikan kapang
Fusarium yang menyerangmentimun (Singh et al. 1999).
Mikroba

kitinolitik

dapat

ditapis

dengan

menggunakan

medium

mengandung kitin. Mikroba diisolasi dengan menggunakan medium garam
koloidal kitin disesuaikan dengan kondisi lingkungan darimana isolat berasal.
Pembentukan halo terjadi di sekitar koloni sebagai hasil degradasi kitin(Suryanto
& Munir, 2006).
Kitin adalah homopolimer dari β-1, 4 N-asetil glukosmin dan merupakan
polimer kedua terbanyak setelah selulosa. Kitin dapat dijumpai pada cangkag
udang, kepiting, moluska, serangga, annelida, serta pada dinding sel jamur
terutama kelas Ascomycetes, Zygomycetes, Basidiomycetes, dan Deuteromycetes.
Dinding sel jamur tersusun oleh glukan dan kitin oleh karena itu β-1, 3 glukanase
dan kitinase merupakan enzim yang bertanggung jawab dalam mendegradasi dan
melisiskan dinding sel jmur (Anitha & Rabeeth, 2010).
Mekanisme kerja enzim kitinase dalam menghidrolisis kitin pada limbah
udang dan jamur patogen, terkait dengan adanya kitin pada limbah udang dan
pada dinding sel jamur yang dapat dimanfaatkan oleh enzim tersebut sebagai
substratnya(Katatny et al., 2000).
Peranan kitinase dalam ketahanan tanaman terhadap serangan patogen
melalui dua cara yaitu menghambat pertumbuhan jamur patogen dengan cara
langsung menghidrolisis dinding sel jamur dan melalui pelepasan elisitor endogen

9
Universitas Sumatera Utara

oleh aktivitas kitinase yang memicu ketahanan sistemik pada inang(Hanif et al.,
2015).

10
Universitas Sumatera Utara