Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran Semar untuk Persamaan Hak Kaum LGBT sebagai Pendekatan Konseling Masyarakat T2 752015028 BAB I

Bab I
PENDAHULUAN
I.1

Latar Belakang
Keragaman rientasi seksual merupakan salah satu bentuk keragaman kecil

di tengah banyaknya keragaman yang ada di tengah kehidupan. Mengacu pada
jenis kelamin mana seseorang tertarik secara emosional dan seksual, sebuah
ketertarikan tidaklah kasat mata, artinya hanya si individu sendiri yang bisa
merasakan kepada siapa ia tertarik. Dilihat dari sudut pandang orientasi seksual,
manusia dibagi menjadi 4 kategori. Kategori yang pertama adalah ketertarikan
manusia pada jenis kelamin yang sama (homoseksual), kedua, ketertarikan
manusia pada lawan jenis (heteroseksual), ketiga, ketertarikan manusia pada
keduanya, baik jenis kelamin yang sama maupun ketertarikan pada lawan jenis
(biseksual) dan terakhir, tidak tertarik pada jenis kelamin manapun (aseksual).1
Dari kategori ini jelas bahwa manusia sebagai makhluk seksualitas memiliki salah
satu dari empat kemungkinan orientasi seksual, dan ketika orientasi seksualnya
tidak sama dengan yang lain bukan berarti ia bukan manusia. Dari keberagaman
orientasi seksual ini, tanggapan berbeda muncul dari berbagai kalangan. Ada yang
menerima keberagaman orientasi seksual ini, tetapi tidak sedikit yang

mempermasalahkannya.
Munculnya perbedaan antara heteroseksual dan homoseksual dilihat dan
ditanggapi dengan baik oleh Alfred Kinsey yang disadur oleh Lingga dalam
Seksualitas Rasa Rainbow Cake dengan membuat skala perilaku seksual yang
1

Lingga Tri Utama, Seksualitas Rasa Rainbow Cake, Memahami Kebergaman Orientasi
Seksual Manusia, (Yogyakarta: Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia DIY, 2013), h. 12

1

masih sering dipakai sampai dengan saat ini untuk menjelaskan posisi perilaku
seksual seseorang.
Tabel 12: Skala Perilaku Seksual Alfred Kinsey
1

0

2


Heterosex

3

Exclusive

Heterosex

ly

ual

heterosex

incidental

substantial

ual


ual

homosexu

homosexu

experienc

al

e

with ual

Equal

Homosex

with heterosex


5

4

ual

Homosex

with ual

and substantia

6

Exclusive

with ly

incidental


homosex

homosexu l

heterosex

ual

al

al

heterosex

ual

experienc

experienc


experienc

experienc

ual

experienc

e

e

e

e

experienc

e


e

Dalam penelitiannya, Alfred Kinsey menemukan 7 kategori untuk
mengukur skala perilaku seksual manusia, ukurannya dimulai dari skala 0 yang
mewakili perilaku heteroseksual eksklusif sampai dengan 6 yang mewakili
homoseksual eksklusif. Angka 1 menunjukkan sebagian besar seseorang memiliki
kelakuan heteroseksual dan 5 menunjukkan sebagian besar seseorang memiliki
kelakuan homoseksual tetapi mereka memiliki paling sedikit beberapa kali
pengalaman seksual dengan orientasi yang berlawanan. Skala 2 menunjukkan
seseorang mempunyai pengalaman lebih dari sekadar insiden perilaku seks sejenis
tetapi ia masih lebih mempunyai kecenderungan pada orientasi heteroseksual,

2

Gary F. Kelly, Sexuality Today: The Human Perspective, (New York: Dushkin/Mc GrawHill, 1996), h. 366

2

skala 4 menunjukkan seseorang mempunyai pengalaman lebih dari sekedar
insiden perilaku seks heteroseksual tetapi ia masih lebih mempunyai

kecenderungan pada orientasi homoseksual. Dan skala nomer 3 orang-orang yang
mempunyai pengalaman atau ketertarikan seksual yang kira-kira sebanding antara
heteroseksual dan homoseksual, atau yang dikenal dengan biseksual.3 Dari skala
Kinsey dapat terlihat, seksualitas bukanlah permasalahan yang sederhana yang
melulu dapat dilihat dari kacamata heteronormatif. Seksualitas merupakan hal
kompleks dan keberadaannya diwakili oleh keberagaman individu dari berbagai
jaman.
Akhir-akhir ini berkembang analisis SOGI atau SOGIE yang dipaparkan
dalam buku A Guide to Gender4, dimana analisis ini merupakan gambaran yang
dapat digunakan dalam menjelaskan peta gender dan seksualitas.

3

Gary F. Kelly, Sexuality Today, h. 366
The Genderbread Person. http://itspronouncedmetrosexual.com/2015/03/thegenderbread-person-v3/ diakses pada 27 Juni 2016
4

3

Dari gambar diatas, dapat dilihat bahwa gender dan seksualitas manusia

terbagi menurut 4 aspek :
A. Identitas Gender (gender identity) menyangkut konsep diri, cara
pandang seseorang terhadap dirinya sendiri. Pembahasan transgender
(waria atau priawan) berada dalam aspek ini.
B. Ekspresi gender (gender expression) berkaitan dengan bagaiaman
seseorang menampilkan atau mengekspresikan dirinya : feminin,
maskulin atau androgynous (keduanya maskulin dan feminin).
C. Jenis kelamin (biological sex) merupakan aspek biologis yang
ditetapkan sejak ia lahir : apakah ia berjenis kelamin laki-laki atau
male, perempuan atau female, atau diantaranya (biasa disebut intersex)

D. Orientasi seksual (sexual orientation) membahas tentang ketertarikan
kepada yang lain. Pembahasan tentang aspek ini sudah dipaparkan
penulis pada penjelasan sebelumnya. Homoseksualitas berada di ranah
aspek orientasi seksual.
Keempat faktor ini ada dalam diri setiap manusia. Spektrum ini bervariasi
dan berbeda antar satu manusia dengan manusia lainnya. Penulis tidak akan
terlalu berfokus pada pembahasan ini. Namun setidaknya gambaran tentang
genderbread person menjelaskan isu seksualitas telah berkembang sedemikian


rupa dan bukan dilihat dalam pandangan biner : suatu hitam dan putih, benar dan
salah.
Dengan kenyataan keberagaman orientasi seksual tersebut, belakangan ini
sedang marak sekali perbincangan mengenai LGBT baik dari awam, akademisi,
pemimpin agama, aktivis dan masih banyak lagi. Perbincangan mengenai LGBT

4

ini benar-benar meletus sehubungan dengan banyaknya LGBT mulai mengakui
dan menunjukkan identitas (coming out) mereka pada publik dalam segi orientasi
seksualnya. Banyak yang menganggap orientasi seksual selain heteroseksual
merupakan ancaman bagi masyarakat Indonesia, sehingga masyarakat melakukan
resistensi berupa penolakan terhadap mereka. Penolakan tersebut dilakukan
dengan cara memandang dan bersikap bahwa apa yang mereka alami (orientasi
seksual) bukan merupakan budaya (yang umum) di Indonesia. Pelakunya
mayoritas adalah keluarga atau kerabat dengan jumlah 162 responden (76,4%) dan
teman dengan jumlah 57 responden atau setara dengan 26,9%.5 Terkhusus untuk
kaum homoseksual selalu diberi sebutan negatif dan direndahkan, orientasi
seksualnya dianggap menular seperti penyakit, dianggap tidak normal dan
menjadi korban tindak kriminalisasi.6 Perlakuan tidak menyenangkan ini tidak

hanya berhenti pada perlakuan terhadap kaum homoseksual sebagai individu,
penolakan dari masyarakat juga tampak pada tindak penolakan kegiatan yang
dilakukan ketika kaum homoseks berada dalam sebuah komunitas.
Pada tahun 2010 tercatat beberapa kasus yang dilakukan oleh kelompokkelompok fundamentalis terhadap kaum homoseks yang tergabung dalam
komunitas LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender) antara lain: penolakan
kegiatan dan pengusiran adanya konferensi ILGA-Asia (International Lesbian
Gay Association) ke-4 yang direncanakan diadakan di Surabaya pada Maret 2010,

serta seminar HIV & AIDS di Bandung dan Peringatan Hari Internasional

5

Arus Pelangi, Menguak Stigma Kekerasan dan Diskriminasi Pada LGBT Di Indonesia,
(Jakarta Selatan : Arus Pelangi, 2013), h. xvi
6
Lingga Tri Utama, Seksualitas Rasa Rainbow Cake, Memahami Kebergaman Orientasi
Seksual Manusia, (Yogyakarta: Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia DIY, 2013), h. 33

5

Melawan Homophobia di Yogyakarta pada bulan Mei 2010.7 Selain itu, LGBT
juga mengalami bullying, bullying terhadap mahasiswa LGBT juga menjadi hal
yang memprihatinkan.8 Ada tiga aspek bullying yaitu pertama adanya perbedaan
kekuatan antara pelaku dan korban. Kedua, perilaku bullying diulang-ulang dan
ketiga perilaku ini dilakukan secara intensif.9 Bullying tidak hanya lewat hal-hal
fisik dan kata-kata saja melainkan juga bisa dilakukan dengan membiarakan hal
buruk tentang seseorang di belakangnya. Selain itu bullying juga bisa dengan
membuat seseorang merasa tidak nyaman dan tidak aman atau merasa takut.10
Diskriminasi yang terjadi tersebut bertolak belakang dengan falsafah hidup
masyarakat Jawa. Falsafah yang dimaksud adalah falsafat tentang prinsip
kerukunan dan harmonitas sosial. Tidak hanya itu, diskriminasi juga bertolak
belakang dengan pergaulan

masyarakat jawa yang dimana pergaulan itu

ditentukan oleh dua kaidah. Kaidah pertama adalah prinsip kerukunan dan kaidah
yang kedua adalah prinsip hormat.11 Tujuan dari prinsip kerukunan adalah
mempertahankan masyarakat agar tetap dalam keharmonisan. Rukun adalah
keadaan ideal yang diharapkan dapat dipertahankan dalam hubungan sosial,
hubungan keluarga, dalam rukun tetangga. Ada dua segi yang perlu disadari dan
diperhatikan dalam tuntutan kerukunan ini yaitu dalam pandangan Jawa konsep

7

Lingga Tri Utama, Seksualitas Rasa Rainbow Cake,..., h. 51.
Dede Oetomo dan Khanis Suvianita dkk, Laporan LGBT Nasional Indonesia - Hidup
Sebagai LGBT di Asia (United Nations Development Programme : 2013), h. 11
9
Lingga Tri Utama, Seksualitas Rasa Rainbow Cake, (Yogyakarta : PKBI DIY, 2013), h. 82
10
Lingga Tri Utama, Seksualitas Rasa Rainbow Cake, (Yogyakarta : PKBI DIY, 2013), h. 83
11
Franz Magnis-Suseno. Etika Jawa sebuah analisa falsafati tentang Kebijaksanaan
Hidup Jawa . (Jakarta : Gramedia. 2003), h. 38
8

6

kerukunan ini bukan terletak pada menciptakan keadaan keharmonisan sosial
melainkan lebih pada tidak mengganggu keharmonisan yang sudah ada.12
Dalam pepatah jawa sering disebut-sebut tentang “rukun agawe santosa”.
Pepatah ini memiliki arti bahwa kerukunan yang terjalin antar umat manusia dapat
membawa kehidupan yang penuh dengan kesejahteraan. Apabila terjadi
pertengkaran di tengah kehidupan masyarakat atau di tengah komunitas sosial
maka hal itu dipahami karena adanya motivasi watak keserakahan baik dari
individu maupun secara kolektif demi meraih materi juga kemewahan duniawi.
Akan tetapi yang disayangkan juga adalah terkadang motivasi-motivasi tersebut
mengatasnamakan Tuhan.13 Jika hal-hal demikian terjadi maka tidak ada
harmonitas sosial disana sebab sebuah keharmonisan sosial perlu dijaga yakni
dengan cara menjaga agar kehidupan sosial selalu berada pada keselarasan,
keserasian, dan juga kerukunan. Jika demikian maka harmonitas sosial memiliki
arti bahwa jika semua interaksi sosial berjalan tanpa adanya tekanan-tekanan yang
menghalangi terjadinya suatu kebebasan dari setiap individu. Jadi suatu
harmonitas sosial nampaknya memang mensyaratkan adanya jaminan kebebasan
bagi setiap individu.14 Bahkan konsep kehidupan yang demikian itu juga
terkandung dalam wayang, nilai-nilai yang ada pada budaya jawa selalu dengan
menarik diceritakan dalam cerita-cerita pewayangan.15

Franz Magnis-Suseno. Etika Jawa sebuah analisa falsafati tentang Kebijaksanaan
Hidup Jawa ,..., h. 39
13
Drs. Moh. Roqib, Harmoni Dalam Budaya Jawa. (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2007),
h. 20
14
Drs. Moh. Roqib, Harmoni Dalam Budaya Jawa, h. 21
15
Ignas G. Saksono & Djoko Dwiyanto, Terbelahnya Kepribadian Orang Jawa.
(Yogyakarta : Keluarga Besar Marhaenis DIY, 2011), h. 135
12

7

Cerita-cerita pewayangan sering dijadikan sebagai sarana memberikan
pengajaran akan nilai-nilai kehidupan, terlebih wayang purwa. Wayang Purwa
mengandung konsepsi yang sering digunakan untuk memberikan pedoman sikap
dan perbuatan dari kelompok masyarakat tertentu yang kemudian konsepsi
tersebut membentuk suatu sistem nilai. Dalam pertunjukan wayang purwa, ada
gambaran sikap hidup dan karakter manusia yang diwakili oleh setiap tokoh
dalam pewayangan tersebut.16 Tokoh-tokoh pewayangan tersebut diantaranya
Bima, Arjuna, Semar, Gatutkaca, Kumbakarna, Dewi Kunti, Sinta, Arimbi, Utara,
Permadi, Wibisama Adipati Karna.
Adanya diskriminasi yang terjadi dan menimpa LGBT seperti yang sudah
dipaparkan dalam latar belakang di atas, maka dapat dilihat betapa kontradiktifnya
kehidupan di tengah masyarakat khususnya di Jawa yang menjadikan prinsip
hidup rukun sebagai salah satu falsafah hidup serta juga yang menjaga harmonitas
sosial. Dari beberapa tokoh dalam pewayangan yang menggambarkan berbagai
macam sikap dan sifat hidup manusia ini penulis mengambil satu model atau
tokoh pewayangan yaitu Semar. Ada sikap dan sifat Semar yang dapat dicontoh
manusia

dalam

berperilaku

dan

khususnya

bagi

orang

Jawa

untuk

mengembangkan falsafah hidup di tengah-tengah keberadaan kaum LGBT beserta
permasalahan yang menimpa mereka.
Dengan melihat realitas adanya diskriminasi terhadap kaum LGBT dan
kenyataan akan keberagaman orientasi seksual manusia di atas, maka disini
penulis ingin menggali peran Semar guna upaya mewujudkan kesamaan hak
untuk kaum LGBT yang akan dikaji dari konseling masyarakat. Usaha menggali
16

Ignas G. Saksono & Djoko Dwiyanto, Terbelahnya Kepribadian Orang Jawa, h. 139

8

peran dan nilai-nilai pastoral yang ada pada diri Semar ini akan dilakukan di kota
Blitar Jawa Timur, khususnya kepada Dalang yang ada disana. Akan tetapi
penelitian juga akan dilakukan kepada masyarakat Blitar sebagai salah satu
konteks yang berbudaya Jawa. Pemilihan tempat penelitian ini tidak didasarkan
pada alasan khusus misalnya karena ada diskriminasi terhadap kaum LGBT yang
ada disana. Pemilihan tempat ini murni dalam rangka menggali pandangan dan
pendapat masyarakat tentang LGBT dan juga nilai kebijaksanaan dari Semar
tanpa menunggu dahulu kasus yang berkenaan dengan LGBT itu terjadi.
Penelitian ini akan mengacu pada teori konseling masyarakat. Konseling
masyarakat dipakai guna mendukung temuan yang akan digali dalam diri Semar
sebagai upaya pemberdayaan masyarakat pada umumnya. Semar merupakan
sosok yang dapat dijadikan sebagai gambaran seorang yang bijaksana dan
memiliki kemampuan untuk menciptakan keharmonisan di tengah kehidupan.
Kehadirannya memiliki arti tersendiri diantara tokoh-tokoh pewayangan lainnya
dalam hal perdamaian diantara para ksatria. Sosok Semar akan dilihat juga terkait
kehadirannya di tengah adegan gara-gara dalam pewayangan. Ketika melihat
adegan gara-gara dalam pewayangan, maka berarti akan dilihat cara Semar
mengakhiri ketidakharmonisan yang ada. Peran dan kehadiran Semar dalam
adegan gara-gara

ini maka akan akan dilakukan upaya untuk melihat upaya

pendamaian yang ada dalam diri Semar.
Selanjutnya teori tentang konseling masyarakat sebagai teori yang dapat
dijadikan untuk mengkaji cara Semar menyelesaikan konflik diantara para kstaria
pada cerita pewayangan itu. Sosok Semar dalam dunia pewayangan, telah
dianggap sebagai sosok yang terpenting dalam seluruh mitologi wayang kulit
9

Purwa.17 Tujuan Semar ada adalah untuk membimbing manusia berjiwa ksatria
tersebut, untuk dapat memenangkan pertempuran batinnya dan kemudian
mengalahkan kejahatan yang ada di dunia ini. Konseling masyarakat memiliki
model diantaranya pelayanan langsung kepada suatu komunitas yang bisa
berisikan tentang pendidikan preventif, pelayanan langsung kepada konseli
(dalam suatu komunitas), pelayanan komunitas secara tidak langsung dan
pelayanan tidak langsung kepada seorang konseli (misal memberikan bantuan
hukum).18
Gara-gara merupakan sebuah adegan lawak, yang dilakukan oleh para

Punakawan di tengah-tengah konflik yang sedang terjadi. Tujuan dari adegan ini
adalah untuk mencairkan suasana, agar situasi konflik yang tengah terjadi dapat
segera diselesaikan dengan baik.19 Soegiono berpendapat bahwa gara-gara,
merupakan penggambaran dari keadaan dunia, yang sedang mengalami kekacauan
dan kekalutan. Kekacauan dan kekalutan tersebut, nyatanya akan dapat melanda
semua kalangan baik itu kepada manusia, dewa-dewa maupun alam semesta itu
sendiri.20 Setelah semua kekacauan dalam adegan ini dimunculkan, maka
selanjutnya juga akan memunculkan harapan, bahwa permasalahan tersebut akan
selesai. Harapan tersebut akan bertumpu pada kehadiran para Punakawan,
terkhusus dalam hal ini melalui tokoh Semar. Inilah alasan mengapa dalam

17

Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa,(Jakarta: 1989), h.

354
18

David B. Hershenson dkk, Community Counseling (Contemporary Theory and Practice).
Amerika : Library of Congress Cataloging in Publication Data. 1996, h. 27.
19
Sartono Katodirdjo, dkk, Perkembangan Peradaban Priyayi, (Yogyakarta: Gajah Mada
University Press, 1987), h. 119
20
Soegiono, Pu akawa da Gara-gara , dala Majalah Mawas Diri, Desember 1984,
(Jakarta: PT. Mandiri Bank), h. 34

10

penelitian ini akan memakai penggambaran tentang Semar dan juga Konseling
Masyarakat.
I.2

Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas maka masalah penelitian dirumuskan sebagai

berikut : bagaimana peran Semar untuk upaya persamaan hak bagi kaum LGBT
sebagai pendekatan konseling masyarakat? Rumusan masalah tersebut dijabarkan
dalam dua pokok penelitian sebagai berikut : Pertama, bagaimana peran Semar
untuk persamaan hak LGBT di tengah masyarakat kota Blitar dikaji dari
konseling masyarakat? Kedua, bagaimana peran Semar dikembangkan sebagai
pendekatan konseling masyarakat?
Berdasarkan rumusan masalah di atas maka tujuan dari penelitian ini ialah
mengkaji dan menganalisis peran Semar untuk upaya persamaan hak kaum LGBT
sebagai konseling masyarakat. Selanjutnya tujuan penelitian ini dijabarkan
menjadi dua sasaran pencapaian penelitian yaitu : Pertama, mengkaji peran Semar
untuk persamaan hak LGBT di tengah masyarakat kota Blitar dari perspektif
konseling masyarakat. Kedua, mengembangkan peran Semar sebagai pendekatan
konseling masyarakat.
I.3

Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dalam memberikan sumbangsih yang positif

dalam bidang akademisi, gereja, konselor serta masyarakat pada umumnya.
Sumbangsih ini terkait cara untuk menyikapi keberadaan kaum LGBT di tengahtengah masyarakat pada umumnya, dan kalangan akademisi serta gereja
khususnya. Terlebih diharapkan melalui penelitian ini, bidang pastoral dan juga
11

para konselor dapat memiliki suatu pendekatan baru yang dapat dipakai untuk
membuka cara pandang dan sikap masyarakat terkait keberadaan kaum LGBT.
Cara pandang dan sikap tersebut tidak lain adalah belajar dari sikap dan nilai
pastoral dari diri Semar. Kemudian dengan begitu maka harapan berikutnya
adalah msayarakat, akademisi dan gereja serta konselor dapat menjadi teman yang
dapat memanusiakan LGBT tanpa adanya sentimentil dan diskriminasi.
I.4

Metode Penelitian :
Menurut Sugiyono, metode penelitian merupakan cara ilmiah untuk

mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu.21 Di dalam mendapatkan
data tersebut, tentunya diperlukan teknik pengumpulan data. Dimana teknik
pengumpulan data ini merupakan langkah yang paling strategis dalam penelitian,
karena tujuan utama dari penelitian adalah mendapatkan data. 22 Untuk teknik
pengumpulan data ini, penyusun akan memakai dua teknik pengumpulan data
yaitu teknik wawancara dan teknik pengamatan. Sutrisno Hadi dalam Sugiyono
mengemukakan bahwa, observasi merupakan suatu proses yang kompleks. Hal
yang terpenting di dalamnya adalah proses-proses pengamatan dan ingatan.23
Untuk

pengamatan

ini

penyusun

akan

melakukannya

dengan

melihat

pertunjukkan wayang kulit yang ada di jawa timur. Pertunjukkan ini tidak dapat
ditentukan secara pasti tempatkan karena tergantung rombongan wayang itu
diundang dan dipentaskan dimana. Oleh karena itu penyusun harus mencari

21

Prof. Dr. Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. (Bandung :
Penerbit Alfabeta, CV. 2013), h. 14
22
Prof. Dr. Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, h. 224
23
Prof. Dr. Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, h. 145

12

informasi akan hal ini kepada dalang yang ada. pemilihan dalang ini adalah
dalang dan pertunjukan wayang dari kota Blitar Jawa Timur.
Sedangkan wawancara merupakan pertemuan dua orang untuk bertukar
informasi dan ide melalui tanya jawab, sehingga dapat dikontruksikan makna
dalam suatu topik tertentu.24 Wawancara ini akan dilakukan kepada dalang
wayang yang berasal dari kota Blitar. Selain itu penyusun juga akan melakukan
wawancara kepada masyarakat di Blitar. Dalam pemilihan responden wawancara
ini penyusun akan menentukannya ketika sudah melihat situasi setelah
pengamatan dilakukan. Hal ini karena mengacu pada apa yang dikemukakan oleh
Sugiyono mengenai purposive sampling yang artinya adalah teknik pengambilan
sampel sumber data dengan pertimbangan tertentu. Pertimbangan tertentu ini,
misalnya orang tersebut yang dianggap paling tahu tentang apa yang kita
harapkan, atau mungkin dia sebagai penguasa sehingga akan memudahkan
peneliti menjelajahi obyek atau situasi sosial yang diteliti.25

I.5

Sistematika Penulisan
Bab Pertama, pendahuluan. Berisi tentang latar belakang, rumusan

masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metodologi penelitian beserta
lokasi penelitian, sistematika penulisan. Bab Dua, tentang Semar yang meliputi
Semar dan Sejarah kemunculannya serta adegan gara-gara ; Konseling
Masyarakat yang meliputi dua kompetensi dalam konseling masyarakat dan
model konseling komunitas ; bagian terakhir tentang LGBT. Kemudian Bab Tiga
tentang hasil penelitian yang meliputi deskripsi asal-usul dan pemaknaan Semar,
24
25

Prof. Dr. Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, h. 231
Prof. Dr. Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, h. 218-219

13

serta deskripsi permasalahan persamaan hak LGBT di tengah masyarakat Blitar.
Bab Empat, tentang pembahasan dan analisis yang meliputi kajian terhadap asalusul dan peran Semar dari perspektif konseling masyarakat, kajian terhadap
persamaan hak kaum LGBT dari perspektif peran Semar. Bab Lima
mengembangkan peran Semar sebagai pendekatan konseling masyarakat untuk
kaum LGBT yang meliputi pertama, landasan filosofis dan nilai Spiritual Semar,
kedua tentang desain pendekatan konseling Semar untuk persamaan hak kaum

LGBT. Bab Enam adalah penutup berisikan tentang kesimpulan berupa temuan
dari hasil penelitian, pembahasan serta saran-saran berupa kontribusi dan
rekomendasi untuk penelitian lanjutan.

14

Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Persamaan Hak Penganut Agama dan Kepercayaan di Indonesia T2 322014002 BAB I

0 0 19

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran Semar untuk Persamaan Hak Kaum LGBT sebagai Pendekatan Konseling Masyarakat

0 2 12

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran Semar untuk Persamaan Hak Kaum LGBT sebagai Pendekatan Konseling Masyarakat

0 0 11

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran Semar untuk Persamaan Hak Kaum LGBT sebagai Pendekatan Konseling Masyarakat T2 752015028 BAB VI

0 0 3

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran Semar untuk Persamaan Hak Kaum LGBT sebagai Pendekatan Konseling Masyarakat T2 752015028 BAB V

0 0 11

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran Semar untuk Persamaan Hak Kaum LGBT sebagai Pendekatan Konseling Masyarakat T2 752015028 BAB IV

0 0 18

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran Semar untuk Persamaan Hak Kaum LGBT sebagai Pendekatan Konseling Masyarakat T2 752015028 BAB II

0 0 53

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Ino Fo Makati Nyinga sebagai Konseling Social Justice T2 752015006 BAB I

0 1 9

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Tunjuitam: Kumpul Keluarga sebagai Pendampingan dan Konseling Kedukaan T2 752016016 BAB I

0 0 10

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Ain Ni Ain sebagai Pendekatan Konseling Perdamaian Berbasis Budaya T2 752015029 BAB I

0 2 13