BOOK Mediamorfosa Puji R Kebangkitan Pers Populer

Kebangkitan Pers Populer
di Era Hiperkomersialisasi Media:
Kecenderungan Koran Lokal DIY
dalam Mendefinisikan Berita dan Pembaca
Puji Rianto
Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta
� Email: p.rianto1976@gmail.com

Pendahuluan
Munculnya market-driven journalism, yakni jurnalisme yang
dikendalikan oleh pasar (lihat Rianto, 2007; McManus, 1996) telah
mendorong para pengelola media untuk menempatkan pembaca
lebih sebagai customer dibandingkan dengan publik. Hal ini membuat
media lebih cenderung melayani keinginan pembaca dibandingkan
memberikan sesuatu yang benar-benar dibutuhkan. Berita-berita yang
sensasional, menyentuh emosi, dan dangkal menghiasi lebih banyak
media dibandingkan dengan berita-berita yang mempunyai nilai
signiikansi dan relevansi tinggi bagi publik.
Dalam “Reporting and the Push for Market-Oriented Journalism:
Media Organization as Businesses”, Underwood (2001: 99)
mengemukakan bahwa surat kabar saat ini lebih banyak didedikasikan

untuk mencetak uang, mempertemukan tujuan-tujuan pemasaran,
dan melayani kebutuhan para pengiklan daripada melaksanakan peran
tradisional mereka untuk melayani publik dan bertindak sebagai “anjing
penjaga” pemerintahan dan bisnis. Hal ini tentu saja mengurangi secara
serius peran tradisional pers, dan koran -demi menarik lebih banyak
pembaca-mengadopsi teknik-teknik tabloid (Underwood, 2001: 111).
Singkatnya, hiperkomersialisasi produk media telah menciptakan
suatu ‘kebangkitan pers populer’ dalam wajahnya yang baru. Dikatakan
baru karena praktik-praktik pers populer atau tabloidisasi tersebut tidak
hanya menghinggapi pers populer dalam pengertian tradisionalnya
seperti bisa dijumpai dalam koran Merapi, Pos Kota, dan sebagainya,

87

Mediamorfosa :
Transformasi Media Komunikasi di Indonesia

tapi telah hadir dalam pers-pers serius. Indikator paling utama adalah
menguatnya sensasionalisme berita. Ini bisa dilihat, misalnya, pada
headline Harian Jogja edisi 22 Agustus dengan judul “Isapan Jempol

Harga Rokok.” Dengan judul menyolok, berita itu ditulis dengan gaya
tabloid lengkap dengan ilustrasinya yang sangat detil.
Tribun Jogja juga tidak kalah gencarnya dalam menampilkan
praktik-praktik pers populer dalam membangun headline. Headline
Tribun Jogja edisi 14 Januari 2016, misalnya, mengangkat judul “Isap
Sabu di Hotel Terasa Lebih Nyaman.” Seperti halnya Harian Jogja,
headline Tribun Jogja ini juga dilengkapi dengan detil ilustrasi sabu
dan orang-orang yang ditangkap. Tema kriminalitas dalam berita yang
dijadikan headline memperkuat tampilan pers populer dalam koran
serius Tribun Jogja.
Menguatnya praktik-praktik pers populer yang didorong oleh
hiperkomersialisasi produk media ini pada akhirnya berimplikasi
pada pergeseran konsep khalayak. Dalam hal ini, terjadi pergeseran
pembaca yang sebelumnya pembaca dianggap sebagai citizen menjadi
sekadar pasar atau pelanggan. Akibatnya, berita tidak lagi dilihat pada
nilai penting dan kesesuaiannya dengan kebutuhan khalayak, tapi lebih
pada seberapa besar berita yang diangkat mampu menarik khalayak.
Dalam hal ini, nilai signiikansi sebagai salah satu dimensi penting
nilai berita (lihat McQuail, 1992; Siregar dkk, 1997) tidak lagi menjadi
pertimbangan utama. Sebaliknya, berita-berita hiburan, human

interest, kriminalitas dan berita ringan menjadi yang utama. Penelitian
ini karenanya dilakukan untuk membuktikan tesis ini dengan
melihat kecenderungan pemberitaan di koran-koran lokal dengan
menggunakan analisis isi kuantitatif. Oleh karena itu, pertanyaan besar
yang diajukan dalam penelitian ini adalah bagaimana kecenderungan
pemberitaan koran-koran lokal Yogyakarta dalam menempatkan
pembaca sebagai publi warga negara dibandingkan sekadar sebagai
pasar? Sejauh mana, berita-berita yang disajikan surat kabar harian
di Yogyakarta (Kedaulatan Rakyat, Harian Jogya, dan Tribun Jogja
mempunyai signiikansi yang tinggi bagi pembaca? Kemudian, terkait
dengan sensasionalisme berita, sejauh mana berita-berita sensasional
pada akhirnya mengalahkan berita-berita yang faktual dan relevan
bagi pembaca?

88

Puji Rianto, Kebangkitan Pers Populer...

Kajian Teori
Pers populer menunjuk pada suatu jenis pers yang dicirikan

oleh berita-berita kriminal dan skandal dan kurang memberikan
perhatian pada berita-berita politik, sebagai lawan ‘pers berkualitas’.
Dibandingkan dengan pers berkualitas, pers populer ini mempunyai
beberapa perbedaan. Pertama, pengemasan cerita. Baik pers populer
maupun pers berkualitas sama-sama mengandalkan cerita, tapi ceritacerita pers populer lebih menyandarkan pada personalitas. Colin
Spark (Storey, 2008) mengemukakan bahwa perbedaan penting
antara pers populer dengan pers ‘berkualitas’ adalah pengerahan (oleh
pers populer) ‘yang personal’ sebagai kerangka kerja yang bersifat
menjelaskan. Kedua, letak batas beroperasi antara keduanya. Seperti
dikemukakan Fiske (Storey, 2008), pers populer beroperasi pada
garis batas antara yang publik dan yang private: gayanya sensasional,
terkadang skeptis, tidak jarang bersungguh-sungguh secara moralistis;
ungkapannya populis; kelonggaran bentuknya menampik perbedaan
stilistik antara iksi dan dokumenter, antara berita dan hiburan.
Sejarah pers populer atau koran kuning itu sendiri dimulai jauh
pada bulan September 1833, seorang penerbit muda bernama Ben Day
mulai menerbitkan sebuah koran sederhana, Sun di New York. Day
menjual korannya seharga satu sen. Ia membidik kalangan kebanyakan
dan berhasil karena selisih harga produksi bisa ditutupi dengan
banyaknya tiras koran yang terjual. Dalam isi beritanya, Day lebih

memfokuskan pada berita-berita hukum dan kriminal seperti korupsi
polisi, skandal di pengadilan atau hukuman mati (Rivers dkk, 2003: 53).
Kuatnya kapitalisasi dalam institusi media telah melahirkan
praktik jurnalisme yang lebih dikendalikan oleh pasar atau yang sering
disebut market-driven journalism. Dalam market-driven journalism,
audience lebih dilihat sebagai ”customer” dibandingkan dengan sebagai
”citizen”. Sebagaimana dikemukakan oleh Joel Kramer (Rianto, 2007),
marketing menjadi bagian jurnalisme, dan editor mengambil keputusan
dalam garis kebijakan ini. Surat kabar disusun berdasarkan unit-unit
customer dan editor bertangggung jawab dalam mencari pembaca dan
keuntungan.
Dalam praktiknya, kuatnya hiperkomersialisasi ini telah
melahirkan berita-berita sensasional, mengalahkan berita-berita serius
89

Mediamorfosa :
Transformasi Media Komunikasi di Indonesia

dan bermakna bagi publik. Dengan kata lain, hiperkomersialisasi telah
mendorong kemunculan kembali praktik-praktik ‘jurnalisme kuning’

atau pers populer atau ada yang menyebutnya sebagai ‘tabloidisasi
jurnalisme’. Praktik-praktik itu menjadi semakin lazim dalam korankoran yang selama ini dikategorikan ke dalam koran serius.
Market-driven journalism, di sisi lain, juga melahirkan fenomena
junk news dalam bentuk infotainment dan tabloidisasi berita (lihat
Rianto, 2007). Junk news merujuk pada berita-berita dengan kualitas
rendah dan gambar-gambar dangkal sebagaimana halnya junk food
yang mempunyai selera global, tetapi berbahan baku miskin kualitas
(Sopian, 2004). Infotainment mengacu pada berita-berita yang dikemas
sebagai hiburan, sementara tabloidisasi, sebagaimana ditunjukkan oleh
penelitian McLahan dan Golding (Rianto, 20017), dikarakteristikkan
oleh kurangnya berita-berita internasional, lebih banyak gambar,
miskin teks, lebih mengandung human interest, dan kurang menyentuh
dimensi politik dan parlementaria. Tabloidisasi merupakan bentuk
yang lebih canggih dari infotainment yang menekankan dimensi
hiburan dan informasi.
Dalam market-driven journalism, liputan media akan bergeser
dari isu-isu sosial politik jangka panjang menjadi berita-berita yang
menyentuh kebutuhan personal masyarakat. Seperti dikemukakan
oleh Chesney (Rianto, 2007), peliputan yang sebelumnya begitu kuat
dalam wilayah-wilayah politik, kini, beralih ke dalam liputan-liputan

mengenai kejahatan, olah raga, dan kehidupan kaum selebritis.
Life style, kesehatan, dan hobi juga menjadi isu-isu yang banyak
diminati oleh para pembuat berita. Dengan kata lain, segmentasi dan
targeting telah mempengaruhi banyak pengelolaan media sehingga
muncullah koran dan majalah yang sangat tersegmentasi berdasarkan
kelompok-kelompok pasar tertentu. Ini semua terjadi karena kuatnya
pertimbangan-pertimbangan pasar dalam menentukan bagaimana
media dikelola, yang pada akhirnya berujung pada area liputan media
dan segmen pasar mana yang harus mereka layani.

Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode analisi isi. Analisis isi itu
sendiri dideinisikan sebagai sebuah metode penelitian yang sistemik,

90

Puji Rianto, Kebangkitan Pers Populer...

objektif, dan cenderung kuantitatif dengan fokus pada isi pesan
media massa (dikutip dari Prajarto, 2010: 4). Eriyanto (2013: 15)

mengemukakan bahwa secara umum analisis isi dideinisikan sebagai
suatu teknik penelitian ilmiah yang ditujukan untuk mengidentiikasi
secara sistematis isi pesan komunikasi yang manifes atau tampak, dan
dilakukan secara objektif, valid, reliabel, dan dapat direplikasi. Berelson
(1952) seperti dikutip Eriyanto mendeinisikan analisisi isi sebagai
suatu teknik penelitian yang dilakukan secara objektif, sistematis
dan deskriptif kuantitatif dari isi komunikasi yang tampak (manifes).
Wimmer dan Dominic (2006: 150; seperti dikutip Salvatore, 2014: 44)
mendeinisikan analisis isi sebagai suatu metode untuk mempelajari
dan menganalisis praktik komunikasi secara sistematik, objektif dan
kuantitatif dengan tujuan untuk mengukur variabel-variabel tertentu.
1. Sampel Penelitian
Sebagai sebuah penelitian kuantitatif, analisis isi akan dihadapkan
pada pilihan-pilihan sampel penelitian. Dalam penelitian ini,
koran yang akan dianalisis adalah koran lokal di Yogyakarta, yakni
Kedaulatan Rakyat, Harian Jogja (Harjo), Tribun Jogja. Analisis akan
dilakukan pada halaman pertama, yang mencakup berita headline dan
nonheadline. Analisis dilakukan selama dua minggu (kurang lebih 14
edisi).
2. Uji Realibilitas

Dalam penelitian ini, uji realibilitas dilakukan oleh dua orang koder
dengan menggunakan rumus sederhana Holsti. Hasil uji realibilitas
sebesar 84,6% dari uji reabilitas yang disyaratkan sebesar 60% (lihat
Sinarmata, 2014).

Hasil Penelitian dan Pembahasan
1. Paparan Hasil Penelitian
a. Proil Berita
Total berita yang dianalisis dalam penelitian ini adalah 189 item
berita dengan rincian 60 item berita dari Kedaulatan Rakyat, 65 item
berita dari Harian Jogja, dan 64 item berita dari Harian Tribun Jogja.

91

Mediamorfosa :
Transformasi Media Komunikasi di Indonesia

Tabel 1
Jenis Berita
No.


Koran

Headline

Nonheadline

Total

1

Kedaulatan Rakyat

21.67%

78.33%

100%

(13)


(47)

(60)

2

Harian Jogja

18%

82%

100%

(12)

(53)

(65)

3

Tribun Jogja

17.19%

82.81%

100%

(11)

(53)

(64)

Untuk format berita, tabel 2 menunjukkan bahwa baik Kedaulatan
Rakyat, Harian Jogja maupun Tribun Jogja, berita didominasi oleh
hardnews. Ini menunjukkan bahwa ketiga harian tersebut sangat
menonjolkan aktualitas berita. Aktualitas berita biasanya diukur maksimal
dua hari dari peristiwa. Selain itu, tingginya berita hardnews menunjukkan
bahwa ketiga koran merasa bahwa realitas yang disampaikan mempunyai
kesegeraan untuk diketahui oleh pembaca. Meskipun demikian, beritaberita dengan hardnews mengandung kelemahan karena biasanya hanya
menjawab formula 5W+1H. Berita cenderung dangkal karena hanya
memberitakan hal-hal yang pokok atau utama.
Kedaulatan Rakyat menjadi koran lokal dimana persentase
hardnews pada halaman pertamanya paling tinggi, yakni 83.33%,
sotnews 10.00%, dan feature sebesar 6.67%. Sebaliknya, Tribun Jogja
menjadi koran dengan berita hardnews paling rendah. Berita hardnews
di halaman pertama koran ini hanya mencapai 46.88%, diikuti oleh
berita-berita sotnews 39.06% dan feature sebesar 14.06%.
Tabel 2
Format Berita
No. Koran

Hardnews

Sotnews

Feature

Total

1

83,33%

10,00%

6,67%

100%

Kedaulatan Rakyat

(60)
2

Harian Jogja

51%

35%

14%

100%
(65)

3

Tribun Jogja

46,88%

39,06%

14,06%

100%
(64)

92

Puji Rianto, Kebangkitan Pers Populer...

b. Tema Berita
Dalam penelitian ini, tema berita dikategorikan ke dalam delapan
kelompok, yakni berita-berita mengenai politik dan pemerintahan,
sosial budaya, pertahanan dan keamanan, ekonomi dan perdagangan,
hukum dan kriminal, olah raga, hubungan dan politik internasional,
dan hiburan. Dari delapan kategori ini, masing-masing koran
berbeda dalam memberikan penekanan atas isu yang sering diangkat
dalam pemberitaan. Kedaulatan Rakyat, misalnya, berita politik dan
pemerintahan menempati porsi tertinggi bersama dengan beritaberita sosial budaya. Untuk kedua kategori ini, masing-masing sebesar
31.67%. Sementara itu, untuk Harian Jogja, berita dengan tema sosial
budaya menempati porsi tertinggi, yakni sebesar 48% diikuti dengan
berita-berita hiburan sebesar 32%. Menariknya, tidak ada beritaselama dua minggu penelitian ini dilakukan-berita di Harian Jogja
yang mengangkat tema politik dan pemerintahan. Begitu juga, Tribun
Jogja memberikan perhatian yang rendah terhadap berita-berita
politik dan pemerintahan. Harian ini hanya memberikan porsi sebesar
3.13% untuk berita-berita politik dan pemerintahan. Sebaliknya,
memberikan porsi yang sangat besar untuk berita sosial budaya. Dari
total 64 item berita yang dianalisis selama dua minggu, berita politik
dan pemerintahan hanya sebesar 3.13%, jauh di bawah berita sosial
dan budaya yang sebesar 65.63%, serta berita kriminal sebesar 21.88%.
Diantara ketiga koran, hanya Harian Tribun Jogja yang memberikan
porsi besar di halaman pertama berita hukum dan kriminal. Koran
lainnya, yakni Kedaulatan Rakyat dan Harian Jogja, masing-masing
hanya 8.33% dan 3%.
Tabel 3 menunjukkan bahwa berita-berita hubungan internasional
dan politik internasional sangat rendah. Hanya Kedaulatan Rakyat yang
memberikan porsi di halaman pertama berita hubungan internasional
dan politik internasional. Dari total 60 item berita, Kedaulatan Rakyat
memberikan porsi sebesar 3,33% (atau 1 item berita). Kedua koran
lainnya bahkan tidak ditemukan satupun berita internasional.
Sementara ketiga Koran memberikan perhatian yang sangat rendah
terhadap berita internasional yang sebenarnya penting bagi masyarakat,
ketiga koran bahkan memberikan perhatian kecil terhadap berita-berita
politik. Sebaliknya, mereka lebih cenderung mengangkat berita-berita

93

Mediamorfosa :
Transformasi Media Komunikasi di Indonesia

yang lebih menghibur seperti berita olah raga dan hiburan. Padahal,
berita-berita politik dan pemerintahan sangat penting karena hal itu akan
memberikan informasi kepada pembaca sebagai warga negara untuk
terlibat dalam kehidupan politik atau terlibat dalam proses kebijakan
publik. Berita-berita semacam ini biasanya mempunyai nilai signiikansi
tinggi. Sebaliknya, berita-berita olah raga dan hiburan hanya memenuhi
aspek hiburan (satisfaksi) bagi pembaca (Siregar dkk, 1997). Tribun Jogja
menjadi koran lokal dengan berita hukum dan kriminal paling tinggi.
Begitu juga, dibandingkan dengan koran lokal lainnya, porsi untuk
berita sosial budaya sangat tinggi, yakni mencapai 65%. Di sini, tampak
bahwa Tribun Jogja lebih cenderung berupaya memenuhi aspek satisfaksi
pembaca dibandingkan dengan dengan memberikan berupaya memenuhi
apa yang benar-benar dibutuhkan oleh pembaca.
Tabel 3
Tema Berita
No. Tema Berita

Koran
Kedaulatan Rakyat Harian Jogja Tribun Jogja

1

Politik dan pemerintahan

31,67%

0%

3,13%

2

Sosial budaya

31,67%

48%

65,63%

3

Pertahanan dan keamanan 5,00%

8%

1,56%

4

Ekonomi dan perdagangan

3,33%

2%

3,13%

5

Hukum kriminal

8,33%

3%

21,88%

6

Olah raga

10,00%

8%

3,13%

7

Hubungan dan politik
internasional

3,33%

0%

0,00%

8

Hiburan

6,67%

32%

1,56%

c. Nilai Signiikansi Berita
Suatu berita dikatakan mempunyai nilai signiikansi jika berita
tersebut menyentuh kebutuhan pembaca. Ada banyak fungsi berita
bagi pembaca, salah satu diantaranya bahwa berita-berita itu bisa
memberikan referensi bagi pembaca untuk terlibat dalam kehidupan
publik atau pembaca. Dalam penelitian ini, signiikansi berita
dibedakan ke dalam tiga kategori, yakni berita-berita dengan nilai
signiikansi tinggi, sedang, dan rendah.
Dilihat dari nilai signiikansi berita, tampak bahwa rerata berita
mempunyai nilai signiikansi rendah. Dari total 189 item berita
94

Puji Rianto, Kebangkitan Pers Populer...

yang dianalisis, persentase paling tinggi adalah berita-berita dengan
nilai signiikansi yang rendah. Harian Jogja memiliki jumlah item
berita dengan sigiikansi rendah paling tinggi, yakni 52%. Berita
dengan kategori signiikansi rendah ini lebih dari separuh berita di
halaman pertama Harian Jogja. Meskipun demikian, Harian Jogja
juga mempunyai nilai berita dengan signiikansi paling tinggi, yakni
sebesar 22%. Ini lebih tinggi dibandingkan dengan Kedaulatan Rakyat,
dan lebih-lebih Tribun Jogja. Total item berita di Harian Tribun Jogja
dengan nilai signiikansi tinggi bahkan tidak sampai 10% (lihat tabel
4). Persentase tertinggi nilai signiikansi harian Tribun Jogja adalah
dengan kategori signiikansi rendah (48.44%), diikuti berita-berita
dengan nilai signiikansi sedang (45.31%).
Tabel 4
Nilai Signiikansi Berita
No.

Koran

Nilai Signiikansi Berita
Tinggi

Sedang

Rendah

1

Kedaulatan Rakyat

20,00%

35,00%

45,00%

2

Harian Jogja

22%

26%

52%

3

Tribun Jogja

6,25%

45,31%

48,44%

Apa yang bisa dibaca dari hasil penelitian ini bahwa koran-koran
lokal di Yogyakarta kurang memberikan perhatian pada berita-berita
yang memenuhi kebutuhan pembaca. Sebaliknya, mereka lebih cenderung
untuk menyajikan berita-berita yang memenuhi aspek satisfaksi atau
sekadar memuaskan keinginan pembaca. Ada dua alasan yang mungkin
bisa dikemukakan terkait kecenderungan ini. Pertama, koran-koran di
Yogyakarta memang lebih cenderung menyajikan berita-berita yang ‘laku’
dan memberikan kepuasan pembaca, dibandingkan dengan menyajikan
berita-berita yang dibutuhkan. Artinya, koran-koran di Yogyakarta lebih
cenderung memenuhi permintaan pasar dibandingkan dengan melayani
pembaca sebagai warga negara yang membutuhkan informasi. Kedua,
berita-berita hiburan dan yang memenuhi aspek satisfaksi biasanya lebih
95

Mediamorfosa :
Transformasi Media Komunikasi di Indonesia

mudah dan biaya yang lebih kecil dibandingkan dengan berita-berita politik
dan pemerintahan. Dengan biaya kecil, diharapkan akan memberikan
koran-koran lokal itu keuntungan.
d. Relevansi Berita
Suatu berita dikatakan relevan jika berita tersebut mengandung
hal-hal yang sesuai dengan kehidupan sehari-hari pembaca. Dengan
kata lain, suatu berita dikatakan mempunyai nilai relevansi jika beritaberita tersebut mempunyai kesesuaian dengan kebutuhan pembaca.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), sesuatu dikatakan
mempunyai relevansi jika mempunyai hubungan. Dengan demikian,
suatu berita dikatakan relevan jika berita tersebut mempunyai
hubungan dengan kehidupan sehari-hari pembaca.
Tabel 5 menunjukkan relevansi berita di halaman pertama surat
kabar lokal di Yogyakarta. Dari tabel 5, terlihat bahwa berita-berita di
halaman pertama harian yang terbit di Yogyakarta, yakni Kedaulatan
Rakyat, Harian Jogja dan juga Tribun Jogja rata-rata mempunyai nilai
relevansi yang rendah. Harian Jogja bisa dikatakan menjadi yang paling
bagus karena berita-berita di halaman pertama yang mempunyai nilai
relevansi tinggi mencapai 35%, disusul Harian Kedaulatan Rakyat
(33.33%) dan Harian Tribun Jogja (32.91%). Namun, ketiga koran
tersebut persentase yang paling tinggi justru nilai relevansi yang rendah.
Tabel 5
Relevansi Berita
No.

Koran

Relevansi Berita
Tinggi

Rendah

1

Kedaulatan Rakyat

33,33%

66,67%

2

Harian Jogja

35%

65%

3

Tribun Jogja

32,81%

67,19%

e. Keberadaan Sensasionalisme dalam Berita
Suatu berita dikatakan mengandung unsur sensasional jika berita
tersebut menonjolkan unsur emosionalisme pembaca (lihat Rahayu dkk,
2006). Ini dilakukan dengan menonjolkan aspek emosional dibandingkan
dengan rasionalitas. Bisanya, diungkapkan dengan bahasa-bahasa yang
membangkitkan emosionalitas. Berita sensasional juga terjadi jika berita

96

Puji Rianto, Kebangkitan Pers Populer...

tersebut mengandung unsur dramatisasi. Dramatisasi berarti melebihlebihkan peristiwa. Ini dilakukan dengan menggunakan bahasa hiperbolik.
Berita-berita sensasional biasanya ditujukan untuk meraih
pembaca sebanyak-banyaknya. Dalam media yang didominasi oleh
hiperkomersialisme, sensasionalitas berita biasanya menjadi salah satu ciri
yang menonjol. Harapannya, berita-berita yang sensasional akan menarik
semakin banyak pembaca, dan, dengan demikian, akan menaikan tiras
koran dan iklan. Ini berarti keuntungan bagi koran yang bersangkutan.
Jika dilihat dari unsur sensasionalisme berita ini, maka tampak
bahwa bahwa seluruh koran mengandung sensasionalisme yang tinggi
meskipun dalam derajat yang berbeda. Dari tabel 6, bisa dikatakan
bahwa Harian Jogja menjadi koran yang paling sensasional karena
berita yang mengandung sensasionalitas mencapai 91%, diikuti
Tribun Jogja (89,06%). Harian Kedaulatan Rakyat menjadi koran yang
paling rendah sensasionalitas beritanya. Di harian ini, berita-berita di
halaman pertama yang mengandung sensasionalisme sebesar 36.67%.
Angka ini sebenarnya masih cukup tinggi, tapi jauh lebih rendah
dibandingkan dengan dua koran lainnya. Dari ketiga koran lokal yang
dianalisis dalam penelitian ini, tampak bahwa berita yang mengandung
sensasional cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan berita yang
tidak mengandung sensasional. Hanya Kedaulatan Rakyat, berita yang
mengandung sensasionalitas lebih rendah dibandingkan yang tidak.
Tabel 6
Keberadaan Sensasionalisme dalam Berita
No.

Tema Berita

Keberadaan Sensasionalisme
Ada

Tidak

36,67%

63,33%

1

Kedaulatan Rakyat

2

Harian Jogja

91%

9%

3

Tribun Jogja

89,06%

10,94%

2. Diskusi Teoritik
Konsep ideal pers menyatakan bahwa pers harus melayani kebutuhan
pembaca, menuntun kehidupan pembaca agar mampu terlibat secara aktif
dalam kehidupan publik. Ashadi Siregar (Rianto, 2007) mengemukakan
bahwa pers memang menjalankan fungsinya untuk memenuhi tujuan
pragmatis masyarakat, psikologis maupun sosial.
97

Mediamorfosa :
Transformasi Media Komunikasi di Indonesia

McQuail (Rianto, 2007) mengemukakan bahwa apapun argumentasi
yang diajukan untuk menjelaskan apa yang dimaksud dengan kepentingan
publik, yang paling utama adalah media seharusnya mengerjakan apa yang
seharusnya dibutuhkan oleh publik. Diantara syarat-syarat kepentingan
publik utama media adalah pluralitas dalam kepemilikan media,
kebebasan akan publikasi, keberagaman informasi yang tersedia untuk
publik, keberagaman opini, jangkauan yang luas, kualitas informasi dan
budaya yang tersedia, dukungan yang memadai terhadap sistem politik,
penghormatan terhadap hukum, dan penghormatan terhadap hak-hak
individu dan hak-hak publik secara umum.
Persoalan yang dihadapi oleh pers dewasa ini adalah kuatnya
hiperkomersialisasi. Hal ini telah mereduksi fungsi-fungsi pers dalam
memberikan layanan publik. Sebaliknya, hiperkomersialisasi telah
mendorong munculnya tabloidisasi produk jurnalisme. Sebagaimana
ditunjukkan oleh penelitian McLahan dan Golding (Beck, 2004),
tabloidisasi ini dikarakteristikkan oleh kurangnya berita-berita
internasional, lebih banyak gambar, miskin teks, lebih mengandung
human interest, dan kurang menyentuh dimensi politik dan
parlementaria. Tabloidisasi merupakan bentuk yang lebih canggih dari
infotainment yang menekankan dimensi hiburan dan informasi.
Penelitian yang dilakukan terhadap tiga koran lokal di DIY,
yakni Kedaulatan Rakyat, Harian Jogja, dan juga Tribun Jogja kiranya
mencerminkan apa yang dimaksudkan oleh McLahan dan Golding.
Dilihat dari tema, misalnya, berita-berita lebih didominasi oleh
human interest dan miskin berita internasional. Berita juga tidak
mengangkat persoalan-persoalan politik dan pemerintahan. Hanya
Kedaulatan Rakyat yang memberi porsi tinggi untuk berita politik
dan pemerintahan (31.67%). Harian lain seperti Tribun Jogja bahkan
memberikan porsi berita hukum dan kriminal yang jauh lebih tinggi.
Di Harian Jogja, berita yang mengangkat politik dan pemerintahan
dalam rentang dua minggu ketika dilakukan penelitian justru tidak
ada. Berita-berita internasional juga miskin. Hanya Kedaulatan Rakyat
yang menempatkan isu internasional di halaman pertama. Namun,
persentasenya sangat rendah, sedangkan kedua koran 0%.
Temuan-temuan ini jelas mereleksikan akibat-akibat yang ditimbulkan
oleh apa yang sering disebut sebagai market-driven journalism. Dalam
jurnalisme yang didorong oleh pasar, liputan media akan bergeser dari
98

Puji Rianto, Kebangkitan Pers Populer...

isu-isu sosial politik jangka panjang menjadi berita-berita yang menyentuh
kebutuhan personal pembaca. Seperti dikemukakan oleh Chesney (1998),
peliputan yang sebelumnya begitu kuat dalam wilayah-wilayah politik,
kini, beralih ke dalam liputan-liputan mengenai kejahatan, olah raga, dan
kehidupan kaum selebritis. Life style, kesehatan, dan hobi juga menjadi isuisu yang banyak diminati oleh para pembuat berita. Pada akhirnya, market
driven journalism telah membuat media gagal merepresentasikan dirinya
sebagai institusi sosial yang seharusnya bertindak sebagai ’public servant”
dalam menyediakan informasi bagi masyarakat sebagai prasyarat penting
berjalannya sistem demokrasi.

Penutup
Dari penelitian yang dilakukan terhadap ketiga koran dalam rentang
waktu dua minggu terbitan, dapat disimpulkan bahwa koran-koran lokal
tersebut kurang mampu melayani publik warga negara. Sebaliknya, korankoran tersebut lebih menempatkan pembaca sebagai pasar sehingga beritaberita yang disajikan kurang memberikan makna bagi publik. Berita hanya
berorientasi untuk melayani satisfaksi pembaca dibandingkan kebutuhankebutuhan mereka. Ini bisa dilihat dari rendahnya berita-berita politik
dan pemerintahan, pada satu sisi; dan tingginya berita-berita hukum
dan kriminal, sosial budaya, dan sebagainya. Berita juga jauh lebih tinggi
mengandung sensasionalisme dibandingkan berita-berita yang signiikan
dan relevan bagi pembaca. Dalam situasi semacam ini, akan sulit bagi
media-media lokal di Yogyakarta tersebut untuk melayani publik dalam hal
berita dan informasi, dalam arti berita-berita yang menyentuh kebutuhan
khalayak.
Dengan memberi penekanan pada berita-berita sensasional, dalam
suatu derajat tertentu, koran-koran serius ini telah mempraktikan
jurnalisme kuning atau pers populer. Pers-pers populer ini salah satunya
dicirikan oleh kuatnya berita hukum dan kriminal, dan selebihnya
adalah berita-berita yang lebih mengundang emosionalitas pembaca.
Penelitian ini berbasis analisis tekstual sehingga mempunyai beberapa
keterbatasan. Oleh karena itu, adalah penting untuk mengkaji dari sudut
jurnalis terutama dalam melihat kecenderungan mereka untuk menyajikan
berita yang sensasional dan mempunyai nilai signiikansi rendah. Penelitian
dengan menggunakan pendekatan ekonomi politik tampaknya juga
menarik terutama dalam kerangka market-driven journalism.
99

Mediamorfosa :
Transformasi Media Komunikasi di Indonesia

Datar Pustaka
Bek, Mine Gencel. (2004). “Research Note: Tabloidization of News Media
An Analysis of Television News in Turkey” European Journal of
Communication, SAGE Publications (London, housand Oaks
and New Delhi) Vol 19(3): 371–386, hal. 371.
Conboy, Martin. (2002). he Press and Popular Culture. London,
housand Oaks, dan New Delhi: Sage Publications
Eriyanto. (2011). Analisis Isi: Pengantar Metodologi untuk Penelitian
Ilmu Komunikasi dan Ilmu-Ilmu Sosial Lainnya, Jakarta: Kencana
Prenada Media Group
Mangiang, Masmiar. (2009). “Apa itu Berita”. Dalam Maskun Iskandar
dan Atmakusumah (penyunting), Panduan Jurnalistik Praktis:
Mendalami Penulisan Berita dan Feature, Memahami Etika dan
Hukum Pers. Jakarta: FES
McChesney, Robert. (1998). Konglomerasi Media Massa dan Ancaman
terhadap Demokrasi. Jakarta: Aliansi Jurnalis Independen
McQuail, Denis. (1992). Media Performance: Mass Communication and
the Public Interest. London: Sage Publications
Prajarto, Nunung. (2010). Analisis Isi: Metode Penelitian Komunikasi,
Yogyakarta: FISIPOL UGM
Rianto, Puji. (2007). Pers Indonesia Kontemporer: Antara Profesionalisme
dan Tanggung Jawab Sosial. Yogyakarta: PKMBP
Sinarmata, Salvatore. (2014). Media dan Politik. Jakarta: Yayasan Obor
Siregar, Ashadi dkk. (1998). Bagaimana Meliput dan Menulis Berita
untuk Media Massa.Yogyakarta: Kanisius
Sopian, Agus. (2004). “Junk Food News di Televisi Kita”. Pikiran Rakyat,
7 September 2004.
Underwood, Doug. (2001). “Reporting and the Push for MarketOriented Journalism: Media Organizations as Businesses”. Dalam
W. Lance Bennet and Robert M. Entman (eds.). Mediated
Politics: Communication in the Future of Democracy. Cambridge
University Press

100