psikologi belajar dalam perspektif Islam

1. Latar Belakang
2. Rumusan Masalah
a) Bagaimana konsep belajar dalam perspektif Islam?
b) Apa saja yang mempengaruhi kesulitan belajar menurut perspektif Islam?
c) Bagaiamana perbandingan antara konsep beajar dalam perspektif Islam dan
perspektif Psikologi?
3. Tujuan
a) untuk mengetahui bagaimana konsep belajar dalam perspektif Islam
b) untuk mengetahui apa yang mempengaruhi kesulitan belajar dalam perspektif
Islam
c) untuk mengetahui bagaimana perbandingan antara konsep belajar Islam dan
Psikologi

Bab II
PEMBAHASAN

A. Konsep Belajar dalam Perspektif Islam
1. Belajar dalam Pandangan Al Quran dan As Sunnah
Sebelum membahas lebih jauh tentang apa yang dimaksud dengan teori belajar
dalam perspektif Islam. Maka menarik kiranya, bahkan dianggap perlu sekali untuk
mengetahui akan makna tentang teori belajar terlebih dahulu. Teori adalah seperangkat

konsep, asumsi, dan generalisasi yang dapat digunakan untuk mengungkapkan dan
menjelaskan perilaku dalam berbagai organisasi.1 Belajar adalah perubahan tingkah
laku yang relatif menetap sebagai hasil pengalaman dan interaksi dengan
lingkungannya.2
Maka teori belajar dapat dipahami sebagai kumpulan prinsip umum yang saling
berhubungan dan merupakan penjelasan atas sejumlah fakta dan penemuan yang
berkaitan dengan peristiwa belajar. Jadi, teori belajar dalam Islam artinya kumpulan
penjelasan tentang prinsip-prinsip yang berkaitan dengan peristiwa belajar yang
bersumber dari al-Qur’an dan al-Hadith serta khazanah pemikiran intelektual Islam.
Pendapat yang mengatakan bahwa belajar sebagai aktifitas yang tidak dapat
dipisah dari kehidupan manusia, ternyata bukan berasal dari hasil renungan manusia
semata. Ajaran agama sebagai pedoman hidup manusia juga menganjurkan manusia
untuk selalu malakukan kegiatan belajar. Dalam AlQur’an, kata al-ilm dan turunannya
berulang sebanyak 780 kali. Seperti yang termaktub dalam wahyu yang pertama turun
kepada baginda Rasulullah SAW yakni Al-‘Alaq ayat 1-5.
Ayat ini menjadi bukti bahwa al-Qur’an memandang bahwa aktifitas belajar
merupakan sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Kegiatan belajar
dapat berupa menyampaikan, menelaah, mencari, dan mengkaji, serta meneliti. Selain
al-Qur’an, al-Hadith juga banyak menerangkan tentang pentingnya menuntut ilmu.
Misalnya beberapa hadist berikut ini, “Mencari ilmu itu wajib bagi setiap muslim;

carilah ilmu sejak dalam buaian hingga ke liang lahat; para ulama itu pewaris Nabi;
pada hari kiamat ditimbanglah tinta ulama dengan dara syuhada, maka tinta ulama
dilebihkan dari ulama”
1 Sugiyono. Metode Penelitian Administrasi. hlm. 55
2 Syah, Muhibin. Psikologi Belajar. hlm. 68

Belajar memiliki tiga arti penting menurut Al-Qur’an. Pertama, bahwa orang yang
belajar akan mendapatkan ilmu yang dapa digunakan untuk memecahkan segala
masalah yang dihadapinya di kehidupan dunia. Kedua, manusia dapat mengetahui dan
memahami apa yang dilakukannya karena Allah sangat membenci orang yang tidak
memiliki pengetahuan akan apa yang dilakukannya karena setiap apa yang diperbuat
akan dimintai pertanggungjawabannya. Ketiga, dengan ilmu yang dimilikinya, mampu
mengangkat derajatnya di mata Allah.3
Belajar merupakan kebutuhan dan berperan penting dalam kehidupan manusia. Hal
ini disebabkan manusia terlahir tidak mengetahui apa-apa, ia hanya dibekali potensi
jasmaniah dan rohaniah (QS. An-Nahl:78). Maka sangat beralasan jika mengapa dan
bagaimana manusia itu dipengaruhi oleh bagaimana ia belajar.
2. Belajar dalam Pandangan Berbagai Tokoh Islam
Beberapa tokoh yang dipilih dalam makalah ini merupakan beberapa ulama yang
mempunyai andil dan konsep dalam dunia pendidikan. Pada abad klasik seperti Ibn

Maskawaih, Al-Qabisi, Al-Mawardi, Ibn Sina, dan al-Ghazali. Sedangkan tokoh yang
berasal dari abad pertengahan diwakili oleh Burhanuddin az-Zarnuji.
a) Al Ghazali
Dalam pemahaman al-Ghazali, pendekatan belajar dalam mencari ilmu dapat
dilakukan dengan melakukan dua pendekatan, yakni ta’lim insani dan ta’lim
rabbani. Ta’lim insani adalah belajar dengan bimbingan manusia. Pendekatan ini
merupakan hal yang lazim dilakukani oleh manusia dan biasanya menggunakan alat
indrawi yang diakui oleh orang yang berakal. Sedangkan ta’lim rabbani adalah proses
belajar dengan bimbingan Tuhan. Maksud dari pendekatan ini adalah proses belajar
manusia dimana informasi yang masuk ke dalam dirinya dia dapatkan dari dasar ilham
dan dan mengkaji ayat ayat qauliyah dan qauniyah yang bertebaran di ala ini.
Titik tekan pendidikan menurut al-Ghazali terletak pada pendidikan agama dan
moral. Untuk itu, sangat diperhatikan bagaimana kondisi pengajar yang ideal karena
tidak sembarang orang yang dapat memberikan pendidikan agama dan moral. Syarat
menjadi guru menurut al-Ghazali, selain cerdas dan sempurna akalnya, juga guru yang
baik akhlaknya dan kuat fisiknya. Dengan kesempurnaan akal ia dapat memiliki
berbagai ilmu pengetahuan secara mendalam, dan dengan akhlaknya yang baik ia
dapat menjadi contoh dan teladan bagi para muridnya, dan dengan kuat fisiknya ia
3 http://fisikaumm.blogspot.com


dapat melaksanakan tugas mengajar, mendidik dan mengarahkan anak-anak
muridnya.4
b) Ibn Sina
Tujuan pendidikan menurut Ibn Sina harus diarahkan kepada pengembangan
seluruh potensi yang dimiliki seseorang kearah perkembangannya yang sempurna,
yaitu perkembangan fisik, intelektual dan budi pekerti. Ibn Sina mengatakan bahwa
guru yang baik adalah guru yang berakal cerdas, beragama, mengetahui cara mendidik
akhlak, cakap dalam mendidik anak, berpenampilan tenang, jauh dari berolok-olok
dan main-main di hadapan muridnya, tidak bermuka musam, sopan santun, bersih dan
suci murni.
Cara mengajar menurut Ibn Sina, yaitu dengan metode talqin. Metode ini
biasanya digunakan untuk mengajarkan membaca al-Qur’an. Cara seperti ini dalam
ilmu pendidikan modern dikenal dengan nama tutor sebaya, sebagaimana dikenal
dalam pengajaran dengan modul.5
c) Ibnu Maskawih
Titik tekan pemikiran Ibn Maskawaih dalam bidang akhlak termasuk salah satu
yang mendasari konsepnya dalam bidang pendidikan. Tujuan pendidikan akhlak yang
dirumuskan Ibn Maskawaih adalah terwujudnya sikap batin yang mampu mendorong
secara spontan untuk melahirkan semua perbuatan yang terpuji, sehingga mencapai
kesempurnaan dan memperoleh kebahagiaan hidup.

Kedua aspek dalam dunia pendidikan (pendidik dan anak didik), hubungan
keduanya menjadi perhatian khusus Ibn Maskawaih. Menurutnya, kecintaan anak
didik ke gurunya harus melebihi kecintaan terhadap orang tuanya sendiri. Kecintaan
anak didik terhadap gurunya disamakan dengan kecintaan terhadap tuhannya. Namun
karena kecintaan terhadap tuhan tidak boleh disamakan dengan yang lain, maka
kecintaan murid terhadap gurunya berada di antara kecintaan terhadap orang tua dan
kecintaan terhadap tuhannya.
Menurut keyakinan Ibn Maskawaih, bahwasanya akhlak seseorang itu tidaklah
merupakan bawaan atau warisan dari kedua orang tuanya. Untuk itu, pendidikan yang
diajarkan oleh seorang guru dapat menjadikan anak berakhlak mulia. Terdapat
beberapa metode yang diajukan oleh Ibn Maskawaih dalam mencapai akhlak yang
baik. Pertama, adanya kemauan yang sungguh-sungguh untuk berlatih terus-menerus
4 Nata, Abuddin. Pemkiran Para Tokoh Pendidikan Islam. hlm. 94
5 Ibid hlm. 67

dan menahan diri untuk memperoleh keutamaan dan kesopanan yang sebenarnya.
Kedua, dengan menjadikan semua pengetahuan dan pengalaman orang lain yang baik
dan luhur sebagai cermin bagi dirinya. 6
d) Al Qabisi
Al-Qabisi memiliki perhatian yang besar terhadap pendidikan anak-anak.

Menurutnya bahwa mendidik anak-anak merupakan upaya amat strategis dalam
rangka menjaga keberlangsungan bangsa dan negara. Oleh karena itu, pendidikan
anak harus dilaksanakan dengan penuh kesungguhan dan ketekunan yang tinggi. AlQabisi juga menghendaki agar pendidikan dan pengajaran dapat
menumbuhkembangkan pribadi anak sesuai dengan nilai-nilai Islam yang benar.
Untuk itu, Al-Qabisi membagi kurikulum ke dalam dua bagian. Pertama,
kurikulum ijbari. Kurikulum ini berisi tentang kandungan yang berhubungan dengan
al-Qur’an. Kedua, kurikulum ikhtiyari. Kurikulum ini berisi ilmu hitung dan seluruh
ilmu nahwu, bahasa Arab, sya’ir, kisah-kisah masyarakat Arab, sejarah Islam dan lain
sebagainya.
Selain membicarakan kurikulum, Al-Qabisi juga berbicara tentang metode dan
teknik mempelajari mata pelajaran yang terdapat dalam kurikulum itu. Ia misalnya
telah berbicara mengenai teknik dan langkah-langkah menghafal al-Qur’an dan
belajar menulis. Bahkan menurutnya, seorang pelajar itu membutuhkan istirahat siang
hari. Hal ini sesuai dengan konsep pendidikan modern yang memberikan waktu
istirahat sebagai waktu yang amat penting untuk menyegarkan kemampuan berpikir
seseorang.7
e) Al Mawardi
Pemikiran Al-Mawardi dalam bidang pendidikan sebagian besar terkonsentrasi
pada masalah etika hubungan murid dalam proses belajar mengajar. Al-Mawardi
memandang penting seorang guru memiliki sikap tawadlu’ (rendah hati) serta

menjauhi sikap ujub (besar kepala). Menurutnya, sikap tawadlu’ akan menimbulkan
simpatik dari para anak didik, sedangkan sikap ujub akan menyebabkan guru tidak
disenangi.
Al-Mawardi melarang seseorang mengajar dan mendidik atas dasar motif
ekonomi. Akan tetapi menurutnya, seorang guru seharusnya selalu memiliki

6 ibid hlm. 17
7 ibid hlm. 27

keikhlasan dan kesadaran akan pentingnya tugas, sehingga dengan kesadaran tersebut,
ia akan terdorong untuk mencapai hasil yang maksimal.8
f) Al Zarnuji
Menurut al-Zarnuji, belajar bernilai ibadah dan mengantarkan seseorang untuk
memperoleh kebahagiaan duniawi dan ukhrawi. Karenanya, belajar harus diniati
untuk mencari ridha Allah, kebahagiaan akhirat, mengembangkan dan melestarikan
Islam, mensyukuri nikmat akal, dan menghilangkan kebodohan. Dimensi duniawi
yang dimaksud adalah sejalan dengan konsep pemikiran para ahli pendidikan, yakni
menekankan bahwa proses belajar-mengajar hendaknya mampu menghasilkan ilmu
yang berupa kemampuan pada tiga ranah yang menjadi tujuan pendidikan/
pembelajaran, baik ranah kognitif, afektif, maupun psikomotorik.

Adapun dimensi ukhrawi, Al-Zarnuji menekankan agar belajar adalah proses
untuk mendapat ilmu, hendaknya diniati untuk beribadah. Artinya, belajar sebagai
manifestasi perwujudan rasa syukur manusia sebagai seorang hamba kepada Allah
SWT yang telah mengaruniakan akal. Lebih dari itu, hasil dari proses belajarmengajar yang berupa ilmu (kemampuan dalam tiga ranah tersebut), hendaknya dapat
diamalkan dan dimanfaatkan sebaik mungkin untuk kemaslahatan diri dan manusia.
Buah ilmu adalah amal. Pengamalan serta pemanfaatan ilmu hendaknya dalam
koridor keridhaan Allah, yakni untuk mengembangkan dan melestarikan agama Islam
dan menghilangkan kebodohan, baik pada dirinya maupun orang lain. Inilah buah dari
ilmu yang menurut al-Zarnuji akan dapat menghantarkan kebahagiaan hidup di dunia
maupun akhirat kelak.
Dalam konteks ini, para pakar pendidikan Islam termasuk al-Zarnuji mengatakan
bahwa para guru harus memiliki perangai yang terpuji. Guru disyaratkan memiliki
sifat wara’ (meninggalkan hal-hal yang terlarang), memiliki kompetensi (kemampuan)
dibanding muridnya, dan berumur (lebih tua usianya). Di samping itu, al-Zarnuji
menekankan pada “kedewasaan” (baik ilmu maupun umur) seorang guru. Hal ini
senada dengan pernyataan Abu Hanifah ketika bertemu Hammad, seraya berkata:
“Aku dapati Hammad sudah tua, berwibawa, santun, dan penyabar. Maka aku
menetap di sampingnya, dan akupun tumbuh dan berkembang.9

8 ibid hlm. 49

9 idem 3

B. Kesulitan Belajar dalam Perspektif Islam
Menurut Al-Zarnuji, seseorang yang sedang belajar harus memiliki 6 syarat agar
mudah mendapatkan ilmu. Jika 6 sayarat tersebut tidak dipenuhi, individu akan mengalami
kesulitan belajar. 6 perkara tersebut sebagaimana yang terdapat dalam kitab beliau berupa
nadhom: 10
‫سانبيك عن مجموعها ببيان‬

#

‫الل تنال العلم ال بستة‬

‫ و ارشاد استاذ و طول زمان‬# ‫ذكاء و حرص و اصطبار و بلغة‬
“Tidak akan kalian peroleh ilmu kecuali dengan memiliki 6 perkara, yaitu: cerdas,
semanagat, sabar, memiliki biaya, ada guru, dan dalam waktu yang lama”
Selain itu, dalam kitabnya al-Zarnuji juga memberikan saran-saran agar individu
tidak mengalami kesulitan belajar, di antaranya yaitu dengan meminimalisir perbuatan
maksiat, meminimalisir kelupaan dan meningkatkan ingatan/memory.
Berdasarkan pendapat al-Zarnuji di atas, ada 6 faktor yang jika salah satunya tidak

terpenuhi, maka individu akan mengalami kesulitan belajar, yaitu :
-

‫– ذكاء‬cerdas

-

‫ – حرص‬semangat

-

‫ – اصطبار‬sabar

-

‫ – بلغة‬memiliki biaya

-

‫ – ارشاد استاذ‬ada guru


-

‫ – طول زمان‬dalam waktu yang lama/kontinuitas.

Dari 6 syarat tersebut dapat kita bagi menjadi 2 faktor besar, yaitu: 11

10 Az Zarnuji. Ta’lim Muta’alim. Surabaya: Nurul Huda
11 Azizah, Nur. dalam situs http//:ziezahfakott.blogspot.com/kesulitan-belajar-perspektif-islam

1. Faktor Internal
a) (‫ )ذكاء‬rdasCe
Artinya kemampuan untuk menangkap ilmu. Cerdas di sini bukan berarti harus
memiliki IQ yang tinggi, walaupun dalam mencari ilmu IQ yang tinggi sangat
menentukan. Asalkan akalnya mampu menangkap pelajaran maka setiap
individu telah memenuhi syarat pertama ini. Karena dalam Islam tidak mengenal konsep
orang bodoh selama orang tersebut mau berusaha. Sebagaimana kisah tokoh Islam yang
sangat terkenal dan mendapat julukan anak batu (Ibnu Hajar)12
Selama bertahun-tahun ibnu hajar belajar tetapi dia sangat sulit menangkap pelajaran.
Dan dia selalu mendapatkan label negative dari teman-temannya. Suatu hari ibnu hajar
kabur dari tempat sekolahnya, dan dia singgah di sebuah gua. Dia melihat batu yang
cekung karena tetesan air. Dia mampu menangkap pelajaran yang berarti dari
pengalamannya tersebut bahwa benda yang sangat keras seperti batu saja dapat
dikalahkan oleh tetesan air, maka dia percaya bahwa dia pun pasti bisa mendapatkan
ilmu dengan selalu belajar setiap hari. Akhirnya dia kembali ke sekolahnya, belajar
dengan sungguh-sungguh dan beliau menjadi orang yang alim dan terkenal.
Selain itu, kesulitan belajar juga dipengaruhi oleh kemampuan memori dalam
menangkap dan mengingat pelajaran. Dalam Islam, proses ingat itu merupakan proses
yang sadar dan sengaja dilakukan oleh individu karena adanya stimulus. Seperti orang
yang ingat akan jati dirinya sebagai manusia. Karena adanya stimulus berupa peringatanperingatan dari ajaran agama (dalam Al-Qur’an, istilah ingatan banyak digunakan dengan
menggunakan kalimat dzakara. Sementara proses lupa itu salah satunya diungkapkan
oleh Imam As-Syari’i.
‫العلم نور ونور الله ل يهدى للعاصى‬
Pada saat itu Imam Syafi’i mengalami kesulitan belajar. Dia mengelu karena sulit
mengingat pelajaran, maka gurunya menyuruh imam syafi’I untuk meninggalkan
kemaksiatan. Karena ilmu merupakan cahaya, dan cahaya Allah tidak akan diberikan
pada orang yang sering bermaksiat.
Dari sya’ir di atas dijelaskan bahwa proses lupa itu dikarenakan hatinya kotor (suka
maksiat) sehingga ia tidak bisa menghafal (mengingat) ilmu-ilmu yang baru, karena ilmu
itu sendiri adalah laksana cahaya Allah yang selalu bersinar dan diberikan kepada orangorang yang bersih (hatinya) atau tidak akan diberikan pada orang yang suka maksiat yag
12 Ibraim bin Ismail. Syarah Ta’lim Muta’alim. Surabaya: Nurul Huda

menyebabkan hatinya gelap dan kotor (karena orang yang berhati kotor itu tidak akan
berfikir secara jenih dan sulit mengingat sesuatu)
b) (‫ )حرص‬Semangat

Untuk mendapatkan ilmu, individu harus belajar dengan semangat. Semangat itu
dibuktikan dengan ketekutan dan pantang menyerah. Karena barang siapa yang
bersungguh-sungguh, dia akan menemukan yang dia inginkan
‫من جد و جد‬
Individu akan mengalami kesulitan belajar jika tidak memiliki rasa semangat dan
motivasi dalam dirinya. karena mencari ilmu itu tidak mudah, apa yang kemarin
dipelajari dan dihafalkan belum tentu saat ini masih bisa direcall. Padahal apa yang di
hafal kemarin masih berhubungan dengan pelajaran hari ini, akhirnya pelajaran hari
inipun berantakan karena hilangnya pelajaran kemarin. Maka tanpa rasa semangat dan
ketekunan, individu akan mengalami kesuliatan belajar.
c) Sabar (‫)اصطبار‬
Seringkali kita berputus asa tatkala mendapatkan kesulitan atau cobaan termasuk
dalam hal belajar. Padahal Allah telah memberi janji bahwa di balik kesulitan, pasti ada
jalan keluar yang begitu dekat. Dalam surat Alam Nasyroh, Allah Ta’ala berfirman:
‫عفرإ نعن عمعع ال سيعسسرر ي يسسررا‬
“Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.” (QS. Alam Nasyroh: 5).
Setelah itu, ayat ini diulang lagi:
‫رإ نعن عمعع ال سيعسسرر ي يسسررا‬
“Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.” (QS. Alam Nasyroh: 6)
Maka dalam belajar, individu harus memiliki kesabaran ketika mengalami kesulitan.
Selalu mencoba, tidak berputus asa, dan terus percaya bahwa suatu saat dia pasti bisa.
Sabar di sini juga berarti tabah menghadapi cobaan dan ujian dalam mencari ilmu,
orang yang mencari ilmu adalah orang yang mencari jalan lurus menuju penciptanya.
Oleh karena itu syetan sangat membenci pada mereka,apa yang di kehendaki syetan
adalah agar tidak ada orang yang mencari ilmu,tidak ada orang yang akan mengajarkan
pada umat bagaimana cara beribadah dan orang yang akan menasehti umat agar tidak
tergelincir kemaksiatan. maka syetan selalumenggoda pelajar agar gagal dalam
pelajarannya,digodanya mereka dengan suka pada lawan jenis, rasa malas,dan lain-lain

2. Faktor Eksternal
a) Biaya ( ‫)بلغة‬
Artinya setiap individu yang belajar memerlukan biaya. Biaya di sini tidak
diartikan bahwa individu harus memiliki materi atau uang yang banyak. Dalam sejarah
kepesantrenan dari zaman sahabat nabi sampai zaman ulama terkemuka kebanyakan
para santrinya adalah orang-orang yang kurang mampu secara materi,seperti Abu
hurairoh, sahabat Nabi seorang perawi hadist terbanyakyang merupakan seorang
fakir,imam syafi'i adalah seorang yatim, dan lain sebagainya. Mereka bekerja untuk
mendapatkan biaya agar dapat belajar. Meskipun para tokoh Islam itu merupakan orang
miskin tapi mereka tak pernah meminta-minta dan tak mau dikasihani oleh orang lain,
mereka selalu berusaha selama masih bisa bergerak dan bekerja. Karena mereka hanya
mengharap belas kasihan dari Allah dan mereka percaya bahwa Allah yang akan
mencukupi semuanya.
b) Petunjuk Guru (‫)ارشاد استاذ‬
Menurut Syekh Az-zarnuji, guru penting adanya agar kita tidak mengalami
kesulitan belajar. karena seorang guru yang akan menjadi pembimbing, penuntun dan
pentransfer ilmu pengetahuan kepada kita. Meskipun akibat perkembangan teknologi,
beberapa tokoh mengatakan bahwa guru sudah tidak diperlukan lagi karena setiap
individu dapat belajar dari internet, tapi penulis tetap tidak setuju dengan pendapat
tersebut.
Dalam konteks ini, para pakar pendidikan Islam termasuk al-Zarnuji mengatakan
bahwa para guru harus memiliki perangai yang terpuji. Guru disyaratkan memiliki sifat
wara’ (meninggalkan hal-hal yang terlarang), memiliki kompetensi (kemampuan)
dibanding muridnya, dan berumur (lebih tua usianya). Di samping itu, al-Zarnuji
menekankan pada “kedewasaan” (baik ilmu maupun umur) seorang guru. Hal ini senada
dengan pernyataan Abu Hanifah ketika bertemu Hammad, seraya berkata: “Aku dapati
Hammad sudah tua, berwibawa, santun, dan penyabar. Maka aku menetap di
sampingnya, dan akupun tumbuh dan berkembang.
Az-Zarnuji juga menjelaskan bagalmana kita mencari teman yang akan kita jadikan
sebagai patner dalam mencari ilmu, sebab berteman dengan orang yang malas, kita akan
ikut menjadi malas, begitu juga sebaliknya. Sebagai mana syair mengatakan :
‫ كم صالح بفساد اخر يفسد‬# ‫ل تصحب الكسلن فى حالته‬

Yang artinya:
"janganlah engkau bergaul denga seorang yang pemalas, banyak orang yang
baik lantaran bergaul denga orang yang rusak tingkah lakunya, akhirnya ia menjadi
rusak."
c) Dalam Waktu yang Lama
Artinya orang belajar perlu waktu yang lama,lama disini bukan berarti tanpa
target,sebab orang yang belajar harus mempunyai target,tanpa target akan hampa dan
malas untuk belajar. Yang dimaksud waktu yang lama di sini adalah bahwa belajar itu
dilakukan selama hidup dan tekun terhadap pelajaran yang belum difahami tanpa putus
asa. Sebagaimana hadits nabi:
‫اطلبوا العلم من المهد الى اللحد‬
“carilah ilmu mulai dari buaian sampai ke liang lahat (sepanjang masa)”
C. Perbandingan Konsep Belajar antara Perspektif Islam dan Psikologi
1. Persamaan
a. Merubah Perilaku / Akhlaq
Baik perspektif Islam maupun Psikologi, sama-sama berpendapat bahwa belajar
adalah bertujuan untuk mengubah prilaku. Bahasa yang digunakan dalam Psikologi
adalah perubahan prilaku dari yang awalnya tidak bisa menjadi bisa, yang tidak tahu
menjadi tahu, yang awalnya sulik menjadi mudah. Sedangkan dalam Islam, lebih focus
pada perubahan akhlaq, yakni yang semula tidak sopan menjadi sopan, beradab,
beretika, dan menjadi dekat dengan Tuhannya.
Hal ini seperti yang termaktub dalam pengertian belajar menurut Witherington:
“Belajar adalah setiap perubahan yang relatif menetap dalam tingkah laku yang terjadi
sebagai suatu pola baru dari reaksi yang berupa kecakapan, sikap, kebiasaan, kepandaian,
atau suatu pengertian.” 13
Dan pengertian belajar yang disampaikan oleh Ibnu Maskawih, beliau berpendapat bahwa
proses belajar titik utamanya adalah merubah akhlaq. Sehingga puncak dari proses belajar yang
dijalani adalah terwujudnya kondisi batin yang mampu mendorong secara spontan untuk

melahirkan semua perbuatan yang terpuji, sehingga mencapai kesempurnaan dan
memperoleh kebahagiaan hidup.
b. Merupakan Proses

13 Djamarah, Syaiful Bahri. Psikologi Belajar. 1999. hlm. 22

Antara perspektif Islam dan Psikologi keduanya sama-sama berpendapat bahwa
belajar adalah merupakan suatu proses, yakni perbuatan continue yang membutuhkan
waktu tidak sebentar.
Peperti halnya yang disampaikan oleh R. Gagne: “Belajar adalah suatu proses
untuk memperoleh motivasi dalam pengetahuan, ketrampilan, kebiasaan dan tingkah
laku”14
Dan disampaikan juga oleh salah satu tokoh Islam Az Zarmuji, bahwasanya salah
satu bekal untuk menuntut ilmu (belajar) adalah dibutuhkannya jangka waktu yang
lama dan dibutuhkannya sebuah kesabaran, yang mana kedua point tersebut adalah
sebuah indikasi bahwasanya memang belajar adalah merupakan sebuah proses yang
panjang dan membutuhkan kekuatan kesabaran untuk menjalankannya.
Bahkan Nabi Muhammad dalam hadistnya mengatakan bahwasanya belajar
merupakan proses yang dijalani seumur hidup:
‫اطلبوا العلم من المهد الى اللحد‬
“tuntutlah ilmu dari buaian sampai liang lahat”

2. Perbedaan
a. Faktor yang mempengaruhi kesulitan belajar
Terdapat perbedaan perbedaan pendapat antara perspektif Islam dan Psikoogi
tentang factor-faktor apa saja yang dapat mempengaruhi kesulitan dalam belajar.
Dalam perspektif Psikologi seperti yang tertulis dalam buku Psikologi Belajar
yang ditulis oleh Saiful Bahri th. 2002, bahwa yang mempengaruhi kesulitan belajar
adalah sebagai berikut:
1) Faktor Internal,meliputi:
a. Yang bersifat kognitif, antara lain seperti rendahnya kapasitas
intelektual/inteligensi anak didik.
b.

Yang bersifat efektif, antara lain seperti labilnya emosi dan sikap.

c. Yang bersifat psikomotor, antara lain seperti terganggunya alat-alat indra
penglihatan dan pendengaran (mata dan telinga).
2) Faktor Eksternal,meliputi:
a. Lingkungan keluarga, contohnya; ketidak harmonisan hubungan antara ayah
dengan ibu, dan rendahnya kehidupan ekonomi keluarga.

14 ibid hlm. 23

b.

Lingkungan perkampungan/masyarakat, contoh; wilayah perkampungan
kumuh (slum area) dan teman sepermainan (peer gruop) yang nakal.

c. Lingkingan sekolah, contohnya; kondisi dan letak gedung sekolah yang
buruk seperti dekat pasar, kondisi guru serta alat-alat belajar yang berkualitas
rendah.
Sedangkan dalam perspektif Islam, menurut Az Zarmuji, kesulitan belajar akan
dialami seseorag jika seseorang tidak memiliki satu atau beberapa diantara berikut:
-

‫– ذكاء‬cerdas

-

‫ – حرص‬semangat

-

‫ – اصطبار‬sabar

-

‫ – بلغة‬memiliki biaya

-

‫ – ارشاد استاذ‬ada guru

-

‫ – طول زمان‬dalam waktu yang lama/kontinuitas.

Bab III
Penutup

A. Kesimpulan
B. Saran
Berikut adalah beberapa saran dari penulis yang diambil dari sumber-sumber Islam
agar kita tidak mengalami kesulitan dalam belajar:
1. Menjauhi perbuatan maksiat
Karena ilmu merupakan cahaya, dan cahaya akan sulit masuk pada orang yang hatinya
kotor.
2. Memakai siwak dengan batang cabang arok
Bersiwak disunnahkan menggunakan kayu arok. Karena di dalamnya mengandung zat
kimia yang dapat meningkatkan ingatan. Kayu arok memiliki faedah yang sangat banyak
yaitu meningkatkan ingatan, meminimalisir kepikunan waktu tua, dan memudahkan
ketika sakarotul maut.
3. Berwudlu
Sebelum belajar, hendaknya setiap individu melakukan wudlu dan menjaga dirinya agar
selalu mempunyai wudlu (da’imul wudlu). Karena syetan tidak suka pada orang yang
dalam keadaan suci. Maka dalam belajar, kita akan lebih mudah menerima pelajaran.
4. Belajar pada waktu-waktu mustajab
Dalam islam mengenal waktu-waktu mustajab, di mana pada waktu itu do’a orang
muslim akan lebih mudah dikabulkan oleh Allah (InsyaAllah). Di antara waktu belajar
yang tepat adalah pada pertengahan malam (setelah selesai melakukan sholat malam)
dan sesudah subuh.

Daftar Pustaka

Sugiyono. 1994. Metode Penelitian Administrasi. Bandung: Alfabeta
Syah, Muhibin. 2004. Psikologi Belajar. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
http://www.fisikaumm.blogspot.com , diakses pada tanggal 28 Februari 2014 pukul 20.00
WIB
Nata, Abuddin. 2000. Pemiiran Para Tokoh Pendidikan Islam. Jakarta: Raja Grafindo
Persada
Az-Zarnuji. Ta’lim Muta’alim. Surabaya: Nurul huda
Nur Azizah. dalam situs http://ziezahfakott.blogspot.com/kesulitan-belajar-perspektif-islam.
diakses pada tanggal 28 Februari 2014 pukul 20.00 WIB
Djamarah, Syaiful Bahri. 1999. Psikologi Belajar. Jakarta: Rineka Cipta