Chapter II Korelasi Fenologi Tiang dan Pohon dengan Jumlah Sarang Orangutan (Pongo abelii) di Hutan Sekunder, Resort Sei Betung, Taman Nasional Gunung Leuser
TINJAUAN PUSTAKA
Deskripsi Area
Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) merupakan satu kesatuan
kawasan pelestarian alam, seluas 1.094.692 Hektar yang terletak di dua propinsi,
yaitu Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Propinsi Sumatera Utara. Kawasan
TNGL berada pada koordinat 96°35’’-98°30’’ BT dan 2°50’’-4°10’’ LU. Ditinjau dari
segi topografi, kawasan TNGL memiliki topografi mulai dari 0 meter dari
permukaan laut (mdpl) yaitu daerah pantai hingga ketinggian lebih dari 3000
mdpl, namun secara rata-rata hamper 80% kawasan memiliki kemiringan di atas
40%. TNGL membentang di kawasan tersebut dengan ketinggian mencapai 3.404
meter
(m)
diatas
permukaan
laut
(dpl)
(BB Taman Nasional Gunung Leuser, 2011).
Kawasan restorasi, Resort Sei Betung, Taman Nasional Gunung Leuser
(TNGL) merupakan areal bekas perkebunan sawit PT. Putri Hijau dan PT. Rapala,
yang mulai beroperasi pada tahun 1980 dan mulai membuka hutan dan di Desa
Halaban, Dusun Wonosari dan Dusun HKTI. Berdasarkan keterangan yang
diperoleh dilapangan, tahun 1980, PT. Putri Hijau membuka lahan ±3000 Ha, dan
sekitar tahun 1985 mulai menanam kelapa sawit. Ada dua tahap pembukaan lahan
di PT. Putri Hijau, tahap pertama pada tahun 1980-1985 dan tahap kedua 19851990. Berdasarkan literatur OIC (2011) luas areal resort Sei Betung saat ini adalah
±6000 Ha (Fransisca, 2013).
Universitas Sumatera Utara
Klasifikasi dan Morfologi Orangutan
Photo dari Google
Orangutan adalah salah satu anggota famili Pongidae. Berdasarkan
persamaan genetis dan biokimia, Pongidae tersebut berkembang dari leluhur yang
sama selama periode waktu kurang dari sepuluh juta tahun (Meijard et all, 2001).
Orangutan jantan memiliki tinggi badan 120–150 cm, sedangkan orangutan
betina: 100–120 cm. Berat badan orangutan pada umumnya 50-90 kg (di alam
liar) sedangkan di karantina dapat mencapai 120 kg atau lebih. Warna tubuh
Orangutan kemerah-merahan hingga coklat kehitam-hitaman, janggut pada
Orangutan Sumatera (jantan) berwarna merah hingga jingga. Secara fisik panjang
Lengan 60 – 90 cm atau 2/3 (dua per tiga) dari tinggi badan. Tampilan wajah
sekitar mata tidak berbulu dan mempunyai telinga yang kecil. Memiliki tubuh
yang tinggi, bulu/rambut yang kusut, dan lengan yang panjang. Bentuk tangan dan
kaki kecil memanjang, sesuai untuk memegang cabang-cabang pohon. Jempol
tangan yang pendek sangat mendukung fungsinya yang seperti gancu untuk
membuka buah. Daging di sekitar pipi orangutan jantan dewasa (cheek pad) akan
berkembang mulai dari umur 8 tahun atau 15 tahun hingga umur 20 tahun.
Klasifikasi ilmiah orangutan Sumatera menurut Groves (2001) adalah
sebagai berikut :
Kerajaan
: Animalia
Filum
: Chordata
Subfilum
: Vertebrata
Kelas
: Mamalia
Bangsa
: Primata
Keluarga
: Homonidae
Universitas Sumatera Utara
Subkeluarga
: Pongoninae
Marga
: Pongo
Jenis
: Pongo abelii
Status Orangutan
Populasi terkini diperkirakan lebih kecil dari 30.000 individu yang tersebar
di dua daerah sebaran (Sumatera dan Kalimantan). Menurut perkiraan, jumlah
orangutan liar yang terdapat di hutan Sumatera hanya sekitar 6.500-7.500 individu
saja. Orangutan liar yang terdapat di hutan Kalimantan sekitar 12.000-13.000
individu. Ini merupakan jumlah yang tersisa dari jumlah yang ada pada 10 tahun
yang lalu (30%-50% terjadi pengurangan jumlah). Dalam dekade 20 tahun ini,
menurut International Union for Conservation of Nature (IUCN), pada tahun
1993 sekitar 80% habitat
mereka telah
hilang atau musnah.
IUCN
memperhitungkan bila keadaan ini dibiarkan, maka dalam 10-20 tahun ke depan
Orangutan akan punah. Sehingga IUCN mengkategorikan Orangutan Sumatera
sebagai satwa yang terancam punah (critically endangered species). Selain itu
ancaman juga datang dari kegiatan perburuan hewan, baik itu untuk
diperdagangkan sebagai binatang peliharaan atau untuk dimakan dagingnya
(IUCN, 2007).
Habitat Orangutan dan Sarang
Pengertian umum habitat menurut Alikodra (1990), adalah sebuah
kawasan yang terdiri dari komponen fisik maupun abiotik yang merupakan satu
kesatuan dan dipergunakan sebagai tempat hidup serta berkembang biaknya satwa
Universitas Sumatera Utara
liar. Satwa liar menempati habitat yang sesuai dengan lingkungan yang diperlukan
untuk mendukung kehidupannya, karena habitat mempunyai fungsi menyediakan
makanan,air dan pelindung. Habitat yang sesuai untuk suatu jenis, belum tentu
sesuai untuk jenis yang lain, karena setiap satwa menghendaki kondisi habitat
yang berbeda
beda. Habitat suatu jenis satwa liar merupakan sistem yang
terbentuk dari interaksi antar komponen fisik dan biotik serta dapat
mengendalikan kehidupan satwaliar yang hidup di dalamnya (Alikodra, 2010).
Orangutan biasanya menggunakan pohon sebagai tempat bersarang. Jenis
pohon yang biasanya digunakan untuk tempat bersarang adalah pohon pakan
Orangutan itu sendiri. Pohon yang biasa digunakan sebagai tempat bersarang
adalah pohon yang memiliki percabangan yang relatife rapat dengan daun yang
tidak berbulu yang tersebar diseluruh cabang pohon dan yang tidak bergetah.
Pohon yang kuat juga menjadi salah satu kriteria pohon yang disukai Orangutan
sebagai tempat bersarang. Ketinggian pohon sarang sangatlah beragam.mulai dari
20-25 m, diameter pohon sarang 20-30 cm, bentuk tajuk bola, tinggi sarang
16-25 m (Rifai, 2013).
Hutan Sekunder
Hutan sekunder adalah fase pertumbuhan hutan dari keadaan tapak gundul,
karena alam ataupun antropogen sampai menjadi klimaks kembali. Sifat-sifat
hutan sekunder :
-
Komposisi dan struktur tidak saja tergantung tapak namun juga tergantung
pada umur.
Universitas Sumatera Utara
-
Tegakan muda berkomposisi dan struktur lebih seragam dibandingkan
hutan aslinya.
-
Tak berisi jenis niagawi. Jenis-jenis yang lunak dan ringan, tidak awet,
kurus, tidak laku.
-
Persaingan ruangan dan sinar yang intensif sering membuat batang
bengkok.
Lamprecht (1986) dalam Irwanto (2006).
Tahap-tahap perkembangan suksesi sekunder
1. Fase permulaan
Setelah penggundulan hutan, dengan sendirinya hampir tidak ada biomasa
yang tersisa yang mampu beregenerasi. Tetapi, tumbuhan herba dan semak-semak
muncul dengan cepat dan menempati tanah yang gundul (Irwanto, 2006).
2. Fase awal
Kurang dari satu tahun, tumbuhan herba dan semak-semak digantikan oleh
jenis-jenis pohon pionir awal yang mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
pertumbuhan tinggi yang cepat, kerapatan kayu yang rendah, pertumbuhan cabang
sedikit, daun-daun berukuran besar yang sederhana, relatif muda/cepat mulai
berbunga, memproduksi banyak benih-benih dorman ukuran kecil yang
disebarkan oleh burung-burung, tikus atau angin, masa hidup yang pendek (7- 25
tahun), berkecambah pada intensitas cahaya tinggi, dan daerah penyebaran yang
luas.
Pertumbuhan
tanaman
dan
penyerapan
unsur
hara
yang
cepat
mengakibatkan terjadinya penumpukan biomasa yang sangat cepat. Dalam waktu
kurang dari lima tahun, indeks permukaan daun dan tingkat produksi primer
Universitas Sumatera Utara
bersih yang dimiliki hutan-hutan primer sudah dapat dicapai. Biomasa daun, akar
dan kayu terakumulasi secara berturut-turut. Begitu biomasa daun dan akar
berkembang penuh, maka akumulasi biomasa kayu akan meningkat secara tajam.
Hanya setelah 5-10 tahun biomasa daun dan akar halus akan meningkat mencapai
nilai seperti di hutan-hutan primer. Selama 20 tahun pertama, produksi primer
bersih mencapai 12-15 t biomasa/ha/tahun, yang demikian melebihi yang yang
dicapai oleh hutan primer yaitu 2-11 t/ha/tahun. Proses-proses biologi akan
berjalan lebih lambat setelah sekitar 20 tahun.Ciri-ciri ini adalah permulaan dari
fase ketiga (fase dewasa) (Irwanto, 2006).
3. Fase Dewasa
Setelah pohon-pohon pionir awal mencapai tinggi maksimumnya, mereka
akan mati satu per satu dan secara berangsur-angsur digantikan oleh pionir-pionir
akhir yang juga akan membentuk lapisan pohon yang homogen. Secara garis
besar, karakteristik-karakteristik pionir-pionir akhir yang relatif beragam dapat
dirangkum sebagai berikut: Walaupun sewaktu muda mereka sangat menyerupai
pionir-pionir awal, pionir-pionir akhir lebih tinggi, hidup lebih lama (50-100
tahun), dan sering mempunyai kayu yang lebih padat Finegan (1992) dalam
Irwanto (2006).
4. Fase Klimaks
Libermann & Liebermann (1987) dalam Irwanto (2006) menyatakan
bahwa pionir-pionir akhir mati satu per satu setelah sekitar 100 tahun dan
berangsur-angsur digantikan oleh jenis-jenis tahan naungan yang telah tumbuh
dibawah tajuk pionir-pionir akhir. Jenis-jenis ini adalah jenis-jenis pohon klimaks
dari hutan primer, yang dapat menunjukkan ciri-ciri yang berbeda. Termasuk
Universitas Sumatera Utara
dalam jenis-jenis ini adalah jenis-jenis kayu tropik komersil yang bernilai tinggi
dan banyak jenis lainnya yang tidak (belum) memiliki nilai komersil.
Fenologi
Fenologi adalah ilmu tentang periode fase-fase yang terjadi secara alami
pada tumbuhan. Berlangsungnya fase – fase tersebut sangat dipengaruhi oleh
keadaan lingkungan sekitar, seperti lamanya penyinaran, suhu dan kelembaban
udara. Seperti fenologi perbungaan pada beberapa jenis anggrek agar bunganya
segera mekar, harus mendapatkan stimulasi udara panas dan atau dingin,
tergantung jenis anggrek tersebut. Fenologi perbungaan suatu jenis tumbuhan
adalah salah satu karakter penting dalam siklus hidup tumbuhan karena pada fase
itu terjadi proses awal bagi suatu tumbuhan untuk berkembang biak. Suatu
tumbuhan akan memiliki perilaku yang berbeda-beda pada pola perbungaan dan
perbuahannya, akan tetapi pada umumnya diawali dengan pemunculan kuncup
bunga dan diakhiri dengan pematangan buah. Pengamatan fenologi tumbuhan
yang seringkali dilakukan adalah perubahan masa vegetatif ke generatif dan
panjang masa generative tumbuhan tersebut. Ini biasanya dilakukan melalui
pendekatan dengan pengamatan umur bunga, pembentukan biji dan saat panen
(Dwi, 2006).
Penelitian Terkait
-
Pemodelan Spasial Kesesuaian Habitat Orangutan Sumatera (Pongo abelii
Lesson, 1872) di Taman Nasional Gunung Leuser. Penelitian dilakukan di
Resort Sei Betung yang merupakan kawasan pelepasliaran orangutan yang
Universitas Sumatera Utara
dikelola oleh Orangutan Information Centre. Data spasial Orangutan
Sumatera di TNGL yang digambarkan dalam bentuk peta sehingga dapat
digunakan sebagai data acuan penelitian lanjutan dan sebagai bahan
pertimbangan dalam pengambilan keputusan penerapan kebijakan bagi
pengelola kawasan tersebut (Gojali, 2014).
-
Studi Ekologi Beringin (Ficus spp.) di TNGL Resort Sei Betung Kecamatan
Besitang Kabupaten Langkat. Penelitian dilakukan terhadap jenis tumbuhan
Ficus spp. yang ada di hutan primer dan sekunder TNGL untuk mengetahui
kerapatan jenis beringin, keanekaragaman jenis beringin, dominasi, pola
sebaran dan indeks kesamaan jenis (Darsimah, 2014).
-
Analisis jenis pohon buah pakan di sekitar sarang Orangutan Sumatera (Pongo
Abelii) di hutan primer dan hutan sekunder TNGL Resort Sei Betung sehingga
didapat
data-data
keanekaragaman
pohon
buah
pakan
Orangutan
(Widiani, 2014).
- Kelimpahan jenis dan estimasi produktivitas ficus spp. Sebagai sumber pakan
alami orangutan sumatera (pongo abelii) di pusat pengamatan orangutan
sumatera (ppos) Taman nasional gunung leuser. Diteliti mengenai ketersediaan
pakan jenis Ficus spp. yang perlu dievaluasi untuk kedepannya. Penulis
melakukan penelitian menggunakan metode perhitungan produktivitas untuk
mengestimasi produktivitas Ficus spp. ( Darma, Santy, 2014).
Universitas Sumatera Utara
Deskripsi Area
Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) merupakan satu kesatuan
kawasan pelestarian alam, seluas 1.094.692 Hektar yang terletak di dua propinsi,
yaitu Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Propinsi Sumatera Utara. Kawasan
TNGL berada pada koordinat 96°35’’-98°30’’ BT dan 2°50’’-4°10’’ LU. Ditinjau dari
segi topografi, kawasan TNGL memiliki topografi mulai dari 0 meter dari
permukaan laut (mdpl) yaitu daerah pantai hingga ketinggian lebih dari 3000
mdpl, namun secara rata-rata hamper 80% kawasan memiliki kemiringan di atas
40%. TNGL membentang di kawasan tersebut dengan ketinggian mencapai 3.404
meter
(m)
diatas
permukaan
laut
(dpl)
(BB Taman Nasional Gunung Leuser, 2011).
Kawasan restorasi, Resort Sei Betung, Taman Nasional Gunung Leuser
(TNGL) merupakan areal bekas perkebunan sawit PT. Putri Hijau dan PT. Rapala,
yang mulai beroperasi pada tahun 1980 dan mulai membuka hutan dan di Desa
Halaban, Dusun Wonosari dan Dusun HKTI. Berdasarkan keterangan yang
diperoleh dilapangan, tahun 1980, PT. Putri Hijau membuka lahan ±3000 Ha, dan
sekitar tahun 1985 mulai menanam kelapa sawit. Ada dua tahap pembukaan lahan
di PT. Putri Hijau, tahap pertama pada tahun 1980-1985 dan tahap kedua 19851990. Berdasarkan literatur OIC (2011) luas areal resort Sei Betung saat ini adalah
±6000 Ha (Fransisca, 2013).
Universitas Sumatera Utara
Klasifikasi dan Morfologi Orangutan
Photo dari Google
Orangutan adalah salah satu anggota famili Pongidae. Berdasarkan
persamaan genetis dan biokimia, Pongidae tersebut berkembang dari leluhur yang
sama selama periode waktu kurang dari sepuluh juta tahun (Meijard et all, 2001).
Orangutan jantan memiliki tinggi badan 120–150 cm, sedangkan orangutan
betina: 100–120 cm. Berat badan orangutan pada umumnya 50-90 kg (di alam
liar) sedangkan di karantina dapat mencapai 120 kg atau lebih. Warna tubuh
Orangutan kemerah-merahan hingga coklat kehitam-hitaman, janggut pada
Orangutan Sumatera (jantan) berwarna merah hingga jingga. Secara fisik panjang
Lengan 60 – 90 cm atau 2/3 (dua per tiga) dari tinggi badan. Tampilan wajah
sekitar mata tidak berbulu dan mempunyai telinga yang kecil. Memiliki tubuh
yang tinggi, bulu/rambut yang kusut, dan lengan yang panjang. Bentuk tangan dan
kaki kecil memanjang, sesuai untuk memegang cabang-cabang pohon. Jempol
tangan yang pendek sangat mendukung fungsinya yang seperti gancu untuk
membuka buah. Daging di sekitar pipi orangutan jantan dewasa (cheek pad) akan
berkembang mulai dari umur 8 tahun atau 15 tahun hingga umur 20 tahun.
Klasifikasi ilmiah orangutan Sumatera menurut Groves (2001) adalah
sebagai berikut :
Kerajaan
: Animalia
Filum
: Chordata
Subfilum
: Vertebrata
Kelas
: Mamalia
Bangsa
: Primata
Keluarga
: Homonidae
Universitas Sumatera Utara
Subkeluarga
: Pongoninae
Marga
: Pongo
Jenis
: Pongo abelii
Status Orangutan
Populasi terkini diperkirakan lebih kecil dari 30.000 individu yang tersebar
di dua daerah sebaran (Sumatera dan Kalimantan). Menurut perkiraan, jumlah
orangutan liar yang terdapat di hutan Sumatera hanya sekitar 6.500-7.500 individu
saja. Orangutan liar yang terdapat di hutan Kalimantan sekitar 12.000-13.000
individu. Ini merupakan jumlah yang tersisa dari jumlah yang ada pada 10 tahun
yang lalu (30%-50% terjadi pengurangan jumlah). Dalam dekade 20 tahun ini,
menurut International Union for Conservation of Nature (IUCN), pada tahun
1993 sekitar 80% habitat
mereka telah
hilang atau musnah.
IUCN
memperhitungkan bila keadaan ini dibiarkan, maka dalam 10-20 tahun ke depan
Orangutan akan punah. Sehingga IUCN mengkategorikan Orangutan Sumatera
sebagai satwa yang terancam punah (critically endangered species). Selain itu
ancaman juga datang dari kegiatan perburuan hewan, baik itu untuk
diperdagangkan sebagai binatang peliharaan atau untuk dimakan dagingnya
(IUCN, 2007).
Habitat Orangutan dan Sarang
Pengertian umum habitat menurut Alikodra (1990), adalah sebuah
kawasan yang terdiri dari komponen fisik maupun abiotik yang merupakan satu
kesatuan dan dipergunakan sebagai tempat hidup serta berkembang biaknya satwa
Universitas Sumatera Utara
liar. Satwa liar menempati habitat yang sesuai dengan lingkungan yang diperlukan
untuk mendukung kehidupannya, karena habitat mempunyai fungsi menyediakan
makanan,air dan pelindung. Habitat yang sesuai untuk suatu jenis, belum tentu
sesuai untuk jenis yang lain, karena setiap satwa menghendaki kondisi habitat
yang berbeda
beda. Habitat suatu jenis satwa liar merupakan sistem yang
terbentuk dari interaksi antar komponen fisik dan biotik serta dapat
mengendalikan kehidupan satwaliar yang hidup di dalamnya (Alikodra, 2010).
Orangutan biasanya menggunakan pohon sebagai tempat bersarang. Jenis
pohon yang biasanya digunakan untuk tempat bersarang adalah pohon pakan
Orangutan itu sendiri. Pohon yang biasa digunakan sebagai tempat bersarang
adalah pohon yang memiliki percabangan yang relatife rapat dengan daun yang
tidak berbulu yang tersebar diseluruh cabang pohon dan yang tidak bergetah.
Pohon yang kuat juga menjadi salah satu kriteria pohon yang disukai Orangutan
sebagai tempat bersarang. Ketinggian pohon sarang sangatlah beragam.mulai dari
20-25 m, diameter pohon sarang 20-30 cm, bentuk tajuk bola, tinggi sarang
16-25 m (Rifai, 2013).
Hutan Sekunder
Hutan sekunder adalah fase pertumbuhan hutan dari keadaan tapak gundul,
karena alam ataupun antropogen sampai menjadi klimaks kembali. Sifat-sifat
hutan sekunder :
-
Komposisi dan struktur tidak saja tergantung tapak namun juga tergantung
pada umur.
Universitas Sumatera Utara
-
Tegakan muda berkomposisi dan struktur lebih seragam dibandingkan
hutan aslinya.
-
Tak berisi jenis niagawi. Jenis-jenis yang lunak dan ringan, tidak awet,
kurus, tidak laku.
-
Persaingan ruangan dan sinar yang intensif sering membuat batang
bengkok.
Lamprecht (1986) dalam Irwanto (2006).
Tahap-tahap perkembangan suksesi sekunder
1. Fase permulaan
Setelah penggundulan hutan, dengan sendirinya hampir tidak ada biomasa
yang tersisa yang mampu beregenerasi. Tetapi, tumbuhan herba dan semak-semak
muncul dengan cepat dan menempati tanah yang gundul (Irwanto, 2006).
2. Fase awal
Kurang dari satu tahun, tumbuhan herba dan semak-semak digantikan oleh
jenis-jenis pohon pionir awal yang mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
pertumbuhan tinggi yang cepat, kerapatan kayu yang rendah, pertumbuhan cabang
sedikit, daun-daun berukuran besar yang sederhana, relatif muda/cepat mulai
berbunga, memproduksi banyak benih-benih dorman ukuran kecil yang
disebarkan oleh burung-burung, tikus atau angin, masa hidup yang pendek (7- 25
tahun), berkecambah pada intensitas cahaya tinggi, dan daerah penyebaran yang
luas.
Pertumbuhan
tanaman
dan
penyerapan
unsur
hara
yang
cepat
mengakibatkan terjadinya penumpukan biomasa yang sangat cepat. Dalam waktu
kurang dari lima tahun, indeks permukaan daun dan tingkat produksi primer
Universitas Sumatera Utara
bersih yang dimiliki hutan-hutan primer sudah dapat dicapai. Biomasa daun, akar
dan kayu terakumulasi secara berturut-turut. Begitu biomasa daun dan akar
berkembang penuh, maka akumulasi biomasa kayu akan meningkat secara tajam.
Hanya setelah 5-10 tahun biomasa daun dan akar halus akan meningkat mencapai
nilai seperti di hutan-hutan primer. Selama 20 tahun pertama, produksi primer
bersih mencapai 12-15 t biomasa/ha/tahun, yang demikian melebihi yang yang
dicapai oleh hutan primer yaitu 2-11 t/ha/tahun. Proses-proses biologi akan
berjalan lebih lambat setelah sekitar 20 tahun.Ciri-ciri ini adalah permulaan dari
fase ketiga (fase dewasa) (Irwanto, 2006).
3. Fase Dewasa
Setelah pohon-pohon pionir awal mencapai tinggi maksimumnya, mereka
akan mati satu per satu dan secara berangsur-angsur digantikan oleh pionir-pionir
akhir yang juga akan membentuk lapisan pohon yang homogen. Secara garis
besar, karakteristik-karakteristik pionir-pionir akhir yang relatif beragam dapat
dirangkum sebagai berikut: Walaupun sewaktu muda mereka sangat menyerupai
pionir-pionir awal, pionir-pionir akhir lebih tinggi, hidup lebih lama (50-100
tahun), dan sering mempunyai kayu yang lebih padat Finegan (1992) dalam
Irwanto (2006).
4. Fase Klimaks
Libermann & Liebermann (1987) dalam Irwanto (2006) menyatakan
bahwa pionir-pionir akhir mati satu per satu setelah sekitar 100 tahun dan
berangsur-angsur digantikan oleh jenis-jenis tahan naungan yang telah tumbuh
dibawah tajuk pionir-pionir akhir. Jenis-jenis ini adalah jenis-jenis pohon klimaks
dari hutan primer, yang dapat menunjukkan ciri-ciri yang berbeda. Termasuk
Universitas Sumatera Utara
dalam jenis-jenis ini adalah jenis-jenis kayu tropik komersil yang bernilai tinggi
dan banyak jenis lainnya yang tidak (belum) memiliki nilai komersil.
Fenologi
Fenologi adalah ilmu tentang periode fase-fase yang terjadi secara alami
pada tumbuhan. Berlangsungnya fase – fase tersebut sangat dipengaruhi oleh
keadaan lingkungan sekitar, seperti lamanya penyinaran, suhu dan kelembaban
udara. Seperti fenologi perbungaan pada beberapa jenis anggrek agar bunganya
segera mekar, harus mendapatkan stimulasi udara panas dan atau dingin,
tergantung jenis anggrek tersebut. Fenologi perbungaan suatu jenis tumbuhan
adalah salah satu karakter penting dalam siklus hidup tumbuhan karena pada fase
itu terjadi proses awal bagi suatu tumbuhan untuk berkembang biak. Suatu
tumbuhan akan memiliki perilaku yang berbeda-beda pada pola perbungaan dan
perbuahannya, akan tetapi pada umumnya diawali dengan pemunculan kuncup
bunga dan diakhiri dengan pematangan buah. Pengamatan fenologi tumbuhan
yang seringkali dilakukan adalah perubahan masa vegetatif ke generatif dan
panjang masa generative tumbuhan tersebut. Ini biasanya dilakukan melalui
pendekatan dengan pengamatan umur bunga, pembentukan biji dan saat panen
(Dwi, 2006).
Penelitian Terkait
-
Pemodelan Spasial Kesesuaian Habitat Orangutan Sumatera (Pongo abelii
Lesson, 1872) di Taman Nasional Gunung Leuser. Penelitian dilakukan di
Resort Sei Betung yang merupakan kawasan pelepasliaran orangutan yang
Universitas Sumatera Utara
dikelola oleh Orangutan Information Centre. Data spasial Orangutan
Sumatera di TNGL yang digambarkan dalam bentuk peta sehingga dapat
digunakan sebagai data acuan penelitian lanjutan dan sebagai bahan
pertimbangan dalam pengambilan keputusan penerapan kebijakan bagi
pengelola kawasan tersebut (Gojali, 2014).
-
Studi Ekologi Beringin (Ficus spp.) di TNGL Resort Sei Betung Kecamatan
Besitang Kabupaten Langkat. Penelitian dilakukan terhadap jenis tumbuhan
Ficus spp. yang ada di hutan primer dan sekunder TNGL untuk mengetahui
kerapatan jenis beringin, keanekaragaman jenis beringin, dominasi, pola
sebaran dan indeks kesamaan jenis (Darsimah, 2014).
-
Analisis jenis pohon buah pakan di sekitar sarang Orangutan Sumatera (Pongo
Abelii) di hutan primer dan hutan sekunder TNGL Resort Sei Betung sehingga
didapat
data-data
keanekaragaman
pohon
buah
pakan
Orangutan
(Widiani, 2014).
- Kelimpahan jenis dan estimasi produktivitas ficus spp. Sebagai sumber pakan
alami orangutan sumatera (pongo abelii) di pusat pengamatan orangutan
sumatera (ppos) Taman nasional gunung leuser. Diteliti mengenai ketersediaan
pakan jenis Ficus spp. yang perlu dievaluasi untuk kedepannya. Penulis
melakukan penelitian menggunakan metode perhitungan produktivitas untuk
mengestimasi produktivitas Ficus spp. ( Darma, Santy, 2014).
Universitas Sumatera Utara