Internet Sebagai Kebangkitan Public Sphe

Mata Kuliah : Isu-Isu Komunikasi Terkini
Nama
: Herlina Kusumaningrum
NIM
: 13/350815/PSP/04649

Komunikasi, Demokrasi dan Kewarganegaraan
Internet Sebagai Kebangkitan Public Sphere Ke Arah Masyarakat Demokrasi
Yang Lebih Baik, Benarkah?

Pendahuluan
Pasca Perang Dunia Ke-II bentuk negara demokrasi diadaptasi oleh banyak
negara, penelitian UNESCO pada tahun 1949 menyimpulkan bahwa sistem
pemerintahan negara demokrasi dianggap sebagai bentuk sistem pemerintahan yang
paling baik dan layak untuk diperjuangkan.1 Hingga memasuki abad 21, pandangan
ini juga masih belum berubah. Secara sederhana konsep demokrasi merupakan suatu
bentuk pemerintahan yang kekuasaan tertinggi dipegang oleh rakyat atau lebih
dikenal dengan kedaulatan rakyat. Kedaulatan rakyat yang dimaksud disini adalah
kebijakan pemerintah harus bersandar pada kehendak umum atau general will.
Konsep ini diperkenalkan oleh J.J. Rosseau dalam traktat yang ditulisnya, istilah ini
seringkali dipertukarkannya dengan istilah L’opinion publique atau opini publik. Inti

dari gagasan Rosseau adalah sebuah pemerintahan secara etis dianggap sah jika
penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan atas kehendak umum. Oleh karena itu
rakyat secara terus-menerus mengaktualisasikan kedaulatan rakyat dengan cara
membangun relasi antara warganegara dengan pemerintah. Pertanyaan yang
kemudian muncul adalah bagaimana pemerintah dapat menangkap kehendak umum
tersebut?.

1 Miriam Budiharjo, Dasar-daasar Ilmu politik (Jakarta: PT. Gramedia, 1977), hal. 50.

1

Dalam bentuk demokrasi langsung sangat dimungkinkan untuk menangkap
kehendak umum. Yakni dengan cara langsung menanyakan satu-per satu apa yang
menjadi kehendak rakyat, seperti pada praktek demokrasi langsung yang berkembang
di negara kota (city state) Yunani Kuno (abad ke-6 sampai abad ke-3 SM). Ketika itu
demokrasi dapat dilakukan dengan efektif karena berlangsung dalam kondisi yang
sederhana (wilayah yang terbatas, penduduk yang terbatas yakni sekitar 300.000 jiwa,
serta hanya berlaku untuk warganegara yang resmi2). Dalam bentuk negara modern
tentu saja hal ini sangat sulit untuk dilakukan. Faktor luasnya wilayah serta
banyaknya jumlah penduduk3membuat demokrasi secara langsung tidak mungkin

untuk dilakukan.
Kemudian ditemukan inovasi untuk mewakili kelompok pemilih melalui
partai politik. Partai politik adalah sekumpulan besar individu pemilih yang memiliki
kepentingan serupa, terbentuk pada dua revolusi besar yakni revolusi industri di
Inggris dan revolusi nasional di Prancis. Adanya lembaga ini menyelesaikan
permasalahan dalam menangkap kehendak umum, lembaga ini memiliki kemampuan
untuk mengekstrasi berbagai kepentingan kolektif masyarakat sehingga diketahui
kehendak umum. Bentuk perwakilan seperti ini disebut juga sebagai demokrasi tidak
langsung atau kita kenal dengan demokrasi perwakilan. Tetapi kemudian dalam
kenyataannya partai politik sebagai perantara antara warganegara dengan pemerintah
sering kali tidak menyampaikan kehendak umum yang murni dari warganegara.
Partai politik cenderung hanya menyuarakan kepentingan segelintir orang.4

2 Hak memilih (bersuara) tidak diberikan kepada mayoritas budak belian serta pedagang
asing.
3 Kita ambil contoh negara Indonesia. Indonesia memiliki jumlah penduduk sekitar 250 juta
jiwa, jika setiap orang diberikan hak untuk mengutarakan suaranya maka bisa dibayangkan berapa
ratus tahun yang dibutuhkan untuk memutuskan satu kebijakan saja.
4 Dodi Ambardi, “Opini Publik Teori Apliksi dan Kontroversi”, (Makalah ini disampaikan
dalam diskusi di yayasan Salihara, Jakarta, Mei, 2010). Diakses pada tanggal 1 Juni 2014 melalui

http://www.scribd.com/doc/75698917/Opini-Publik-Teori-Aplikasi-dan-Kontroversi-oleh-Dodi
Ambardi.

2

Oleh karena itu dalam demokrasi perwakilan media massa dianggap memiliki
fungsi yang amat penting, yakni sebagai kontrol sosial kepada pemerintah dalam
melaksanakan kebijakan yang telah ditentukan, sehingga media massa juga dikenal
dengan sebutan the watch dog of public interest.5 Namun dalam perkembangannya
media massa juga dianggap memiliki kekurangan karena hanya pendapat sedikit
orang yang mampu tersalurkan (hanya pendapat tokoh masyarakat, elite politik),
selain itu interaktivitas pada media massa juga rendah karena sifatnya yang satu arah.
Selanjutnya

dengan

adanya

perkembangan


teknologi

informasi

dan

komunikasi, internet muncul sebagai salah satu media baru yang dinilai memberikan
kemudahan warganegara dalam berkomunikasi (aksesibilitas informasi) serta biaya
penggunaan yang relatif rendah. Penggunaan internet diberbagai wilayah terus
mengalami peningkatan. Hal ini tidak mengherankan karena internet menyimpan
informasi sangat lengkap dan tidak terbatas yang mana kemampuan ini tidak dimiliki
oleh media massa. Karena karakteristik internet yang demikian, banyak para
akademisi mengaitkan internet dengan kebangkitan publik sphere.
Berdasarkan latar belakang tersebut, tulisan ini akan membahas asumsi
mengenai

janji

internet


sebagai

bentuk

kebangkitan

public

sphere

yang

memungkinkan terciptanya masyarakat yang lebih demokratis, yakni melalui
pendapat dan penelitian akademisi yang terkait dengan topik tersebut.
Internet
Internet berkembang dengan sangat pesat dan menjadi bagian penting dalam
hidup kita. Berdasarkan data yang dilansir Gobal Web Index pada tahun 2013,
pengguna Internet di dunia terus mengalami pertumbuhan dalam 5 tahun terakhir.
Pertumbuhan yang sangat signifikan terutama terjadi di negara-negara berkembang,
seperti Filipina yang mana mengalami pertumbuhan hingga 531 persen, di susul

5 F. Rachmadi. Perbandingn Sistem Pers: Analisis Deskriptif Sistem Pers di Berbagai Negara
(Jakarta: Gramedia, 1990), hal. 22.

3

Indonesia dengan pertumbuhan sebesar 430 persen, kemudian diikuti oleh Afrika
Selatan, India dan negara-negara berkembang lainnya.6 Berdasarkan data Asosiasi
Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) jumlah pengguna internet pada tahun
2013 mencapa 71,19 juta, meningkat 13 persen dibanding tahun 2012 yang mencapai
sekitar 63 juta pengguna. Sesuai dengan MDGs (Millenium Development Goal) pada
tahun 2015 setengah penduduk Indonesia yakni sekitar 139 juta ditargetkan telah
memiliki akses terhadap internet.7
Secara definisi internet pada dasarnya merupakan sebuah jaringan antarkomputer yang saling berkaitan. Jaringan ini tersedia. Secara terus-menerus sebagai
pesan-pesan elektronik, termasuk email, transmisi file, dan komunikasi dua arah
antar-individu atau komputer. Demikian ketika individu mengakses internet
sebenarnya dia mengakes sebuah jaringan bersar yang dibentuk interkoneksi jaringan
komputer di seluruh dunia. Sehingga melalui media ini berbagai jenis interaksi antar
individu dengan individu, individu dengan kelompok relatif mudah untuk dilakukan
atau bahkan dapat dikatakan sangat mudah. Internet memiliki tiga fitur utama,
diantaranya adalah :

1. Email. jutaan orang dapat berkomunikasi dengan pesan elektronik (email).
Penggunaanpun relatif mudah.
2. Newsgroups dan mailing list. Merupakan sistem berbagi pesan secara
elektronik yang memungkinkan seseorang untuk bertukar informasi dan opini
antar sesama anggota kelompok.

6 Yasser Paragian, “Dalam 5 Tahun Terakhir Jumlah Pengguna Internet Indonesia Naik
430 Persen” http://id.techinasia.com/dalam-5-tahun-terakhir-jumlah-pengguna-internet-indonesia-naik430-persen-grafik/.( Diakses pada taanggal 1 Juni 2014).
7Toyke
Sinaga,
“Pengguna
Internet
di
Indonesia
terus
meningkat”
http://www.antaranews.com/berita/414167/apjii-penguna-internet-di-indonesia-terus-meningkat.
(Diakses tanggal 1 Juni 2014).
4


3. World Wide Web: dikenal juga dengan istilah www atau web, merupakan
sebuah sistem inforrmasi yang dapat diakses melalui komputerr lain secara
cepat dan tepat.8
Melalui tiga fitur utama ini pengguna internet mengalami revolusi dalam
komunikasi, melalui email pengguna mampu berkirim pesan dengan pengguna lain
yang berada di benua berbeda sekalipun, dalam hitungan detik, bahkan juga dapat
digunakan untuk berkomunikasi dengan banyak orang sekaligus, melalui mailing list.
Melalui newsgroups dan mailing list pengguna dapat berbagi informasi dengan
kelompok yang memiliki ketertarikan yang sama, saling berkomentar tanpa terhalang
ruang dan waktu, melalui world wide web (web) setiap individu mampu untuk
mengakses informasi (mencari data) hanya dengan mengetikan kata-kata kunci yang
berhubungan dengan data yang akan dicari. Bahkan banyak orang mengatakan sebuah
lelucon bahwa tidak ada hal di dunia ini yang tidak dapat dicari jawabannya pada
fitur web.
Untuk dapat memahami bagaimana media internet itu bekerja, maka harus
dipahami terlebih dahulu bagaimana sifat-sifat yang melekat pada internet. Jenkins
(2006) mengidentifikasi delapan sifat media baru (dalam hal ini juga merupakan sifat
yang dimiliki internet sebagai salah satu bentuk media baru). Delapan sifat tersebut
diantaranya :9
Pertama, Inovative, Kita berada dalam era perubahan teknologi yang sangat

panjang dan sangat luas. Media baru diciptakan, disebarkan, diadopsi dan diadaptasi
serta menyerap kedalam budaya secara dramatis, dampaknya pada budaya tidak
terprediksi karena setiap teknologi menyebabkan tingkatan pengguna yang berbeda
dan respon yang berbeda pula. Hal ini seperti yang kita dapatkan dan disebarkan oleh

8 Werner J. severin, James W. Tankard, Jr. Teori Komunikasi Massa: Sejarah, Metode, dan
Terapan di dalam Media Massa.(Jakarta: Kencana, 2011)
9 Nunung Prajanto, Mufti Nurlatifah, Fungsi, Malfungsi dan Disfungsi Media Baru
(Yogyakarta: Penerbit Fisipol UGM, 2012), hal. 49-51.

5

komunitas yang berbeda. Sehingga dalam hal ini makna individu dan kelompok
menjadi penting.
Kedua, Convergent, Keberagaman dibentuk bottom-up

oleh dorongan

partisipasi dari konsumen, yang ingin memiliki kemampuan untuk mengontrol dan
membentuk arus dari media kedalam hidup mereka. Konsumen yang seperti ini

mengambil keuntungan dari adanya teknologi media baru untuk merespon,
mencampur kembali dan memperbarui tujuan isi media, mereka menggunakkan web
untuk berbicara kembali pada produsen media.
Ketiga, Everyday, teknologi media sudah tidak dapat lagi dipisahkan dalam
kehidupaan interaksi keseharian kita. Dimanapun, kapanpun kita berada kita selalu
membawa teknologi media. Sehingga teknologi media dapat mencabut diri kita dari
lingkungan dan mengisolasi kita dari orang di sekeliling kita.
Keempat, Appropriative, Teknologi baru memberikan kemudahan manusia
unttuk mengekspresikan diri melalui media, praktek (rewriting) karya tertentu
semakin meningkat. Tetapi kemudian kita tidak memiliki kesadaran etika yang
“pantas” dalam penulisannya. Sehingga kita tidak memiliki kemampuan untuk
merefleksikan apa yang telah kita ciptakan.
Kelima, Networked, Teknologi media mrupakan media yang terinterkoneksi,
arus pesan degan sangat mudah mengalir dari satu tempat ketempat lainnnya, dari
satu orang ke orang yang lain. “Network” dianggap sebagai sebuah hal yang penting
dan merupakan kemampuan profesional.
Keenam, Global, Konten media mengalir melintassi batasan negara,
masyarakat menyebarkan jaringan komunikasi baru untuk berinteraksi dengan orang
lain di luruh dunia. Media baru mengubah cara kita memandang diri kita dan tempat
kita hidup di dunia.

Ketujuh, Generation, Berdasarkan penelitian generasi muda dan generasi tua
hidup didalam lingkungan media yang berbeda, menggunakan teknologi komunikasi
dengan cara yang berbeda dan membentuk interpretasi yang kontradiktif pada
pengalaman mereka.
6

Kedelapan, Unequal, budaya media baru harus didefinisikan sebagai
“elective” yakni posisi sesuai dengan pilihan yang ditentukan, yang mensugestikan
bahwa orang dapat memilih masuk atau pun keluar dalam level partisipasi yang
berbeda. Akses terhadap cyerspace potensial menciptakan segmen publik baru
sehingga penuh dengan partisipasi dalam budaya dan kehidupan warganegara,
Namun teknologi eletronik ini juga memiliki untuk membuat seseorang tidak terlihat
(yang tidak memiliki kemampuan untuk berpartisipasi).
Demikian sifat-sifat yang melekat pada media internet tersebut, merupakan
sebagai bahan diskusi utama mengenai asumsi bahwa internet menjanjikan
kebangkitan public sphere.
Konsep Public Sphere Jurgen Habermas
Public Sphere merupakan konsep yang diperkenalkan

Jurgen Habermas

dalam karya habilitasinya yang berjudul Strukturwandel der Offentlichkeit;
Untersuchungen zu einer

Kategorie

der

Burgerlichen

Gesellschaft

(Transformasi Struktural Ruang publik: Suatu Penyelidikan ke dalam Kategori
Masyarakat Borjuis). Dalam karya tersebut secara garis besar terdapat dua pokok
utama kajian Habermas yakni pertama mengenai sejarah kemunculan public sphere di
pertengahan abad ke 17 dan mencapai puncaknya pada abad ke 18, serta kedua
mengenai runtuhnya public sphere pada abad ke 20.
Pada era feodalisme realitas apa yang disebut ‘publik’ hanya berdasarkan
representasi dari aristokrasi untuk menjaga kehormatan mereka sendiri (pakaian
yang bagus, tata krama ala bangsawan, pesta-pesta nan megah). Kemudian pada abad
ke 16 perdagangan kapitalis dan relasi kompleksnya dengan negara menyebabkan
kekuasaan negara tererosi. Demikian kondisi ini menimbulkan kritik rasional atau
‘critical reasoning’ dari kaum borjuis menanggapi kebijakan negara perihal urusan
perdagangan pada saat itu. Selanjutnya pada abad ke 17 kritik tersebut muncul pada

7

pemberitaan pers dengan lebih luas, bukan hanya masalah privat namun
permasalahan umum. Periode ini juga banyak memunculkan jurnal politik yang berisi
informasi pajak, harga komoditi, perang, perdagagan luar negeri dan sebagainya.
Pada awal abad ke 18 jurnal tidak hanya berisi kepentingan ekonomi dan propaganda
negara melainkan juga berisi kritik terbuka. Kritik rasional ini menyebar di Kedai
Kopi (Belanda), Salon (sebelum Revolusi Prancis) dan masyarakat literasi di wilayah
Eropa.
Ruang publik borjuis dibayangkan Habermas sebagai individu privat yang
datang bersama sebagai sebuah publik, terbuka bagi semua individu untuk
perpartisipasi (accessible) di dalamnya. Secara prinsip dibentuk oleh nilai dialog
egalitarian. Sehingga kebenaran tidak tertutup, yang mana nilai dialog kritis berguna
untuk mengikis dogmatisme. Demikian dengan adanya public sphere (yang ideal)
membuat

warganegara

secara

bebas

mengutarakan

pendapatnya

sepanjang

argumentasinya dapat dipertanggungjawabkan secara rasional. Sehingga akan
diperoleh kehendak umum (opini publik) yang tidak terdistorsi oleh kalangan elit
politik (gereja, raja dan bangsawan) serta berlandaskan rasionalitas.
Selain itu Habermas menganalisa mengenai jatuhnya public sphere, pada
abad ke 19 nasib ruang publik politik dibawah pengaturan kapitalisme memiliki
karakter yang disebutnya sebagai proses “refeudalisation”, yakni ketika perbedaan
antara wilayah ‘publik’ dan ‘privat’ sudah tidak ada lagi dalam praktek. Transisi
akibat pengaturan yang dilakukan kapitalisme membuat keterpautan antara negara
dan masyarakaat mengalami perubahan. Yakni munculnya kepentingan beragam
antara civil society dan negara, pertalian civil society itu sendiri dalam
perkembangannya tererosi sebagai pasar yang ’cacat’, menciptakan sebuah krisis.
Wilayah aktifitas ini tidak dapat dibedakan lagi apakah itu wilayah privat atau
publik, sesuatu urusan akan disebut sebagai ‘sektor publik’ hanya jika berelasi dengan
client (individu atau korporasi) dan pekerja yang mengoperasikan atas nama
‘kepentingan publik’. Kemudian masyarakat postborjuis hanya berfokus pada waktu
8

senggang (leisure) sebagai suatu untuk melepaskan diri dari paksaan hidup. Gaya
urban dan suburban mengerosi

integritas privasi dan publik, dan mengucilkan

aktifitas membaca, kemampuan sosial dari debat publik, kedalam televisi yang
mendominasi ruang tamu. Media massa dan industri budaya pada abad 20
diidentikkan dengan media provokatif dan tidak masuk akal. Kompleksitas produk
budaya terus diminimalkan harganya, untuk membuatnya patut untuk dijual:
Kesadaran dan refleksi individu tidak muncul dari level mereka sendiri untuk dapat
memenuhi bekal budaya. Kaum intelektual, kritik dan avant-garde menjadi
teralienasi dan menjauhkan diri dari massa yang terhomogenisasi.10
Internet, Public Sphere dan Masyarakat Demokratis
Pertumbuhan pengguna internet di dunia terus mengalami peningkatan,
bahkan pertumbuhan lima tahun terakhir yang signifikan justru berada pada wilayah
negara-negara berkembang seperti Filipina, Indonesia, India, Afrika Selatan dan
sebagainya. Sehingga kedepan dapat diproyeksikan pengguna internet di dunia
semakin bertambah jumlahnya. Internet

dan beberapa

aplikasi yang berbeda

didalamnya seringkali dianggap memiliki potensi untuk memungkinkan individu
untuk bersuara.
Demikian terdapat tiga aspek demokrasi yang dapat digunakan untuk melihat
relasinya dengan perkembangan internet, ketiga aspek tersebut adalah pertama, aspek
transparansi dan informasi, kedua, kualitas pembentukan opini publik serta ketiga,
partisipasi politik dan pengambilan kebijakan.11 Adapun penjelasannya sebagai
berikut:

10 Luke Goode. Jurgen habermas: Democracy and The Public Sphere (London:Pluto Press,
2005), hal. 3-24.
11 Ana Maria Moreira et. Al . 2009. E-Society and E-Democracy, (e-Governent Symposium,
Amazee and IDEHAP, Berne, Swizerland, 2009). terarsip dalam http://science.amazee.com/edemocrac
y.pdf. (Diakses pada tanggal 1 April 2014).

9

1. Aspek Transparansi dan Informasi
Keterbukaan informasi merupakan prekondisi adanya trasparansi.
Informasi harus dapat dimengerti, mudah diakses dan cepat. Kemampuan
untuk mengakses informasi merupakan hal yang penting dalam pemerintahan
demikian juga untuk demokrasi. Beberapa pendapat akademisi memandang
bahwa, informasi mengenai isu-isu politik dapat menambah pengetahuan
politik. Sehingga dengan adanya pengetahuan politik yang dimiliki
warganegara membuat evaluasi yang lebih baik terhadap isu-isu politik.12
Demikian dalam kondisi ini mengindikasikan bahwa subjek memiliki
ekspektasi yang tinggi

terhadap media, yakni media dipandang sebagai

pembawa pengetahuan (knowledge trasmitters). Sehingga bagaimanapun
banyaknya informasi yang disuguhkan tanpa melibatkan warganegara ambil
bagian pada proses politik, informasi tidak akan meningkatkan partisipasi
warga negara.
Dengan adanya internet, informasi sangat mudah untuk didapatkan.
Alasan kecepatan maupun kemudahan

aksesnya secara teoritis mampu

meningkatkan demokrasi. Di dalam media internet, warganegara dapat
mengakses berbagai informasi yang menyangkut kepentingan publik dan
kepentingan pribadi, seperti penelusuran mengenai kebijakan negara,
kejadian-kejadian aktual mengenai politik, masuk kedalam forum diskusi
dengan pilihan yang tak terbatas hanya dengan menuliskan kata kunci dalam
search engine yang tersedia. Selain itu melalui internet publikasi oleh kaum
minoritas atau warganegara yang tidak memiliki akses dalam publik offline
dapat dilakukan.
Banyaknya informasi yang dapat diakses oleh warganegara atau dapat
dikatakan memiliki akses informasi yang tak terbatas. Informasi dari satu
tahun silam, dua tahun silam, tidaklah menjadi suatu persoalan. Dapat
dibayangkan aliran informasi yang sangat banyak di pihak lain dapat
12 Yana Breindl dan Pascal Francq. 2008. “Can Web 2.0 Applications Save e-Democracy?A
Study of How Internet Applications May Enhance Citizen Participation in the Political Process online.
International Journal of Electronic Democracy No. 1, Vol. 1

10

membuat warganegara banjir informasi ‘overload’. Akibatnya warganegara
tidak mampu lagi untuk menampung begitu banyaknya informasi dan
tengggelam di dalamnya.
Selain itu dalam kenyataannya meskipun biaya internet relatif murah,
masih banyak masyarakat yang tidak memiliki akses terhadapnya (digital
divide), entah itu karena persoalan faktor letak geografis, kemiskinan,
pendidikan atau faktor yang lainnya.
2. Kualitas Pembentukan Opini Publik
Seperti yang dikemukakan pada bagian sebelumnya, akses terhadap
informasi merupakan hal yang sangat penting untuk dapat melakukan
klarifikasi alternatif (sebuah pemberitaan) dan pembentukan preferensi.
Dalam kondisi yang ideal, pengambilan keputusan politik harus berdasarkan
pada sebuah diskusi yang delibratif.13 Fungsi dari institusi demokrasi (negara)
adalah menyediakan wadah pemecahan masalah kolektif pada kepentingan
yang nyata melalui proses yang terbuka, diskusi delibratif tanpa kekerasaan.
Konsep delibratif sangat berkaitan dengan konsep public sphere yang telah
dikemukakan Habermas.
Demikian dia mengusulkan empat keadaan yang sangat esensial bagi
demokrasi delibratif untuk dapat muncul yakni pertama, setiap orang harus
mampu untuk mengutarakan gagasannya secara terbuka dan melakukan kritisi
pada gagasan orang lain. Kedua, konsep dorongan dan kekuatan diasosiasikan
dengan status sosial harus dihilangkan. Ketiga argumentasi berdasarkan
dogma harus diarahkan (rasionalitas). Keempat, kebenaran harus dilihat
dengan mengedepankan konsensus.14
13 Delibrasi adalah sebuah proses diskusi yang mengedepankan rasionalitas untuk
menyelesaikan situasi yang problematis, yang mana masalah tersebut tidak bisa diputuskan tanpa
adanya koordinasi dan kerjasama antar perseorangan (menyangkut orang banyak).
14 Stephen Colemen, Jay G. Blumer, the Internet and Democratic Citizenship (Cambrige:
Cambrige University Press, 2009) hal. 18.

11

Dengan

adanya

diskusi

delibratif

tersebut,

secara

normatif

melegitimasi pengambilan kebijakan politik dan menyatukan seluruh warga
negara kedalam proses pengambilan kebijakan. Hal yang harus diperhatikan
adalah fakta dari demokrasi dan aktor politik berasal dari masukan kelompok
yang berbeda, tidak dibawa langsung oleh opinion leader dan pembuat
keputusan tetapi harus terlebih dahulu ditransmisikan kepada aktor-aktor
politik. Sehingga proses delibrasi memberikan kesempatan pada kaum
minoritas untuk berdiskusi dan menyuarakan kepentingan mereka.
Proses politik didefinisikan sebagai “mutual deliberation and public
political judgement”15 oleh warganegara pada demokrasi perwakilan
fungsinya sama seperti pada demokrasi langsung. Dalam demokrasi
perwakilan delibrasi sepertinya dipercayakan kepada wakil rakyat.
Bagi masyarakat modern media massa menjadi hal yag paling penting
dalam pembentukan public sphere

yakni menggantikan arena diskusi

tradisional. Aktor pada masyarakat tergantung pada media massa untuk
mempublikasikan kepentingan mereka. Yakni dengan cara mengeksploitasi
media massa dengan cara yang tidak langsung.
Dengan

berkembang

internet

memberikan

kesempatan

pada

warganegara untuk menyuarakan opininya. Terdapat dua pandangan mengenai
hal ini yakni pandangan kaum optimistik dan kritis. Bagi kelompok
optimistik, memandang ruang cyberspace memuat new public sphere yang
mana memungkinkan pertukaran melampaui geografi, sosial dan batasan
budaya, yakni sebuah tempat tanpa adanya kontrol, sehingga setiap individu
bebas untuk mengekspresikan pendapat dan pemikirannya.16Namun jika
didasarkan pada pandangan kritis, internet menciptakan segmentasi publik
15 Mark Button, Kevin Matttson, “Delibrative Democracy in Pratice: Challenges and
Prospects for Civic Delibrationn”, Palgrave Macmillan Journals Vol 31, Issue 4 (1999), hal.1.
16 Yana Breindl dan Pascal Francq, Op.Cit, hal.18.

12

yang berbeda (echo chambers), perbedaan segmentasi publik ini membuat
kelompok yang berbeda mendiskusikan topik yang berbeda, sehingga internet
tidak lagi dipandang sebagai ruang publik terbuka, yang memungkinkan
setiap orang ambil bagian dalam sebuah diskusi.17
3. Partisipasi Politik dan Pengambilan Kebijakan
Partisipasi politik warganegara merupakan hal yang paling krusial
dalam demokrasi. Karena hal ini menghasilkan keputusan yang mengikat dan
melegitimasi

struktur

demokratis.

Partisipasi

politik

terdiri

dari

penggumpulan informasi politik, diskusi relevan mengenai isu-isu politik,
voting dan aktifitas seperti demonstrasi, partisipasi dalam kegiatan partai dan
sebagainya. Partisipasi dalam proses politik bergantung sumber daya
warganegara dan motivasi seperti halnya pada struktur politik (Pemilihan
berkala terhadap wakil rakyat). Kompetensi politik, pendidikan dan kebebasan
memperoleh informasi merupakan prekondisi yang dibutuhkan untuk
terciptanya partisipasi politik yang efektif. 18
Namun kenyataan prilaku politik semakin menurun, yakni rendahnya
voting merupakan sebuah bukti menyebarnya disafeksi institusi-institusi resmi
demokrasi khususnya pada generasi muda dalam demokrasi dunia
barat.19Adanya internet dalam hal ini mengurangi penghalang dalam
memperoleh informasi sehingga memungkinkan diskusi dengan aktor politik
yang berbeda. Web. 2.0 seperti facebook, twitter, wordpress, dan lain-lain
menawarkan beragam kemungkinan untuk memfasilitasi partisipasi.
Namun beberapa studi mengenai hubungan internet dan partisipasi
politik membuktikan bahwa tidak ada hubungan langsung di antara
keduannya. Seperti studi mengenai hubungan internet dan partisipasi politik
yang dilakukan oleh Polat pada tahun 2005. Studi tersebut menguji asumsi
17Ana Maria Moreira et. al, Op.Cit, hal.28.
18 S. Verba. 1967. Democratic Participation. The Annal of the American Academy of
Political and Social Science and Political Vol. 37, Issue. 1
19 Luke Goode, Op.Cit, hal.3.

13

mengenai kemampuan internet dalam meningkatkan partisipasi politik.
Dengan mengeksplorasi tiga dimensi di dalam internet yakni internet sebagai
sumber informasi, sebagai media komunikasi dan sebagai virtual public
sphere. Hasil penelitian terhadap tiga dimensi tersebut adalah pertama,
internet sebagai sumber informasi, internet memungkinkan warganegara
untuk mengetahui kebijakan-kebijakan pemerintah dengan mudah. Meski
berkontribusi pada masyarakat sehingga lebih terinformasi. Namun dari sudut
pandang politik hal ini tidak berkaitan langsung antara informasi dan
Partisipasi. Kedua, internet sebagai media komunikasi, internet meningkatkan
kapasitas komunikasi dengan cara yang tidak berrimbang karena terdapat
beberapa bentuk komunikasi yang lebih didukung sedangkan yang lainnya
tidak. Ketiga, Internet sebagai virtual Public sphere, internet memiliki
potensi public sphere yang dibatasi karena distribusi yang tidak seimbang dan
terfragmentasi dan juga meningkatkan komersialisasi. Namun dengan ‘design’
yang baik, kekurangan pada internet sebagai virtual publik sphere dapat
terwujud.
Studi lain yang lebih spesifik melihat asumsi internet sebagi sebuah public
sphere dilakukan Papacharissi, dalam jurnal yang di tulisnya dengan judul The
Virtual Sphere: The Internet as A Public Sphere, berargumen bahwa daripada
menciptakan sebuah new public sphere, internet dipandangnya masih dalam taraf
penciptaan new public space, dua konsep ini memiliki perbedaan yang mendasar.
Internet sebagai new public space memungkinkan terciptannya forum diskusi politik
yang delibratif. sedangkan internet sebagai new public sphere memfasilitasi diskusi
yang mendorong pertukaran ide dan opini yang demokratis. Atau dengan kata lain
internet memungkinkan terjadinya diskusi politik tetapi tidak mencitpakan budaya
public sphere. Selain itu biaya yang murah, kecepatan, akses yang mudah terhadap

14

informasi tidak membuat warganegara lebih terinformasi dan memunculkan
keinginan untuk berpartisipasi dalam diskusi politik.20
Demikian halnya studi yang dilakukan Jurgen Gerhards, bertujuan untuk
menguji kebenaran asumsi bahwa internet menciptakan public sphere yang lebih
baik, dengan mengkomparasi media lama (media cetak) dan media baru (web) di dua
negara yakni Amerika dann Jerman dalam tiga level (syarat struktural, keterbukaan
partisipasi dan pengaruhnya terhadap masyarakat yang lebih luas). Hasilnya,
komunikasi melalui internet tidak berbeda secara signifikan pada debat offline yang
terjadi di media cetak.21
Penutup
Perkembangan internet sebagai media baru memunculkan asumsi bahwa
media ini merupakan kebangkitan public sphere (ideal), bahkan juga diasumsikan
menyediakan public sphere yang lebih baik ketimbang media sebelumnya (media
massa dan media penyiaran). Konsep public sphere sebagai ruang terbuka bagi
individu untuk berpartisipasi yang mengedepankan kesamaan derajat di dalamnya,
melandaskan diskusi dengan argumentasi rasional dan kritis pada akhirnya
diasumsikan akan menciptakan masyarakat yang lebih demokratis karena opini publik
(general will) berasal langsung dari warganegara.
Namun, berdasarkan tinjauan tiga aspek demokrasi dan relasinya dengan
perkembangan internet serta beberapa studi mengenai hubungan internet dengan
20 Zizi Papacharissi ,The Virtual Sphere: The Internet As A Public Sphere,New Media &
Society, February 2002; vol. 4, 1: pp. 9-27. http://nms.sagepub.com/content/4/11/9 (Diakses pada
tanggal 1 Juni 2014).
21Jürgen Gerhards and Mike S. Schäfer . Is the Internet a Beter Public Sphere? Comparing
Old and New Media in the USA and Germany. New Media & Society, February 2010; vol. 12, 1: pp.
143-160., first published on January 19, 2010. http://nms.sagepub.com/content/5/10/7 (Diakses pada
tanggal 27 Juni 2014)

15

public sphere dapat disimpulkan bahwa sejauh ini internet memang memungkinkan
warganegara untuk dapat memperoleh informasi yang lebih luas mengenai isu-isu
politik. Tetapi warganegara yang terinformasi tidak serta merta akan berpartisipasi
dalam kehidupan politik. Meminjam istilah yang digunakan Papacharisi untuk
melihat internet, bahwa internet saat ini adalah sebuah public space yang berfungsi
memungkinkan delibrasi politik, yang dalam posisinya belum sampai pada tahapan
public sphere yang mampu menciptakan masyarakat yang lebih demokratis.
Lebih dari itu, studi mengenai hubungan internet dan public sphere tetap
memiliki potensi yang besar, mengingat pertumbuhan pengguna internet yang terus
meningkat dari tahun ketahun. Serta belum ada pandangaan final mengenai internet
sebagai sebuah public sphere. Sehingga studi dalam bidang ini bersifat dinamis dan
nampaknya akan menjadi tren dalam abad ini.

DAFTAR PUSTAKA
Buku
Goode, Luke. (2005). Jurgen Habermas: Democracy and the Public Sphere. London:
Pluto Press.
16

Budiharjo, Miriam. (1977). Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Graamedia.
Rachmadi, F. (1990). Perbandingn Sistem Pers: Analisis Deskriptif Sistem Pers di
Berbagai Negara. Jakarta: Gramedia.
Colemen, Stephen, & Jay G. Blumer. (2009). the Internet and Democratic
Citizenship. Cambrige: Cambrige University Press.
J. Severin,Werner, & James W. Tankard, Jr. (2011). Teori Komunikasi Massa: Sejarah,
Metode, dan Terapan di dalam Media Massa. Jakarta: Kencana.
Prajanto, Nunung, & Mufti Nurlatifah. (2012). Fungsi, Malfungsi dan Disfungsi
Media Dalam Wisnu Martha Adipura (ed). Media Baru: Studi Teoritis &
Telaah dari Perspektif Politik dan Sosiokultural. Yogyakarta: Penerbit Fisipol
UGM. hal. 49-51.s

Jurnal
Moreira, et al. 2009. “E-Society and E-Democracy”, Makalah ini disampaikan dalam
simposium e-Government di Berne, Swizerland. Diakses pada tanggal 1 April
2014, melalui http://science.amazee.com/edemocracy.pdf.
Ambardi, Dodi. 2010,“Opini Publik Teori Apliksi dan Kontroversi”, Makalah ini
disampaikan dalam diskusi di yayasan Salihara, Jakarta, Mei, 2010. Diakses
pada tanggal 1 Juni 2014, melalui http://www.scribd.com/doc/75698917/Opini
-Publik-Teori-Aplikasi-dan-Kontroversi-oleh-Dodi Ambardi.
Breindl, Yana dan Pascal Francq. 2008. “Can Web 2.0 Applications Save eDemocracy? A Study of How Internet Applications May Enhance Citizen
Participation in the Political Process online. International Journal of
Electronic Democracy No. 1, Vol. 1.
Papacharissi, Zizi. 2002. “The Virtual Sphere: The Internet As A Public Sphere”, New
Media & Society, February 2002; vol. 4, 1: pp. 9-27. Diakses pada tanggal 1
Juni 2014 melaui http://nms.sagepub.com/content/4/11/9
Gerhards, Jürgen and Mike S. Schäfer. Is the Internet a Beter Public Sphere?
Comparing Old and New Media in the USA and Germany. New Media &
Society, February 2010; vol. 12, 1: pp. 143-160., first published on January
17

19,
2010.
Diakses
pada
tanggal
http://nms.sagepub.com/content/5/10/7.

27

Juni

2014

melalui

Internet
Yasser Paragian, Dalam 5 Tahun Terakhir Jumlah Pengguna Internet Indonesia Naik
430 Persen, http://id.techinasia.com/dalam-5-tahun-terakhir-jumlahpengguna-internet-indonesia-naik-430-persen-grafik/.Diakses pada taanggal 1
Juni 2014.
Toyke

Sinaga, “Pengguna Internet di Indonesia terus meningkat”
http://www.antaranews.com/berita/414167/apjii-penguna-internet-diindonesia-terus-meningkat. Diakses tanggal 1 Juni 2014.

18