BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Kejadian Dalam Bahasa Batak Toba: Kajian Metabahasa Semantik Alami

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Verba proses merupakan bagian dari verba secara semantis. Tipe verba itu
mewajibkan hadirnya sebuah argumen subjek yang mengalami kejadian atau
perubahan dari suatu keadaan ke keaadaan lain.

Mulyadi (dalam Subiyanto

2008:265) menandai verba proses sebagai verba yang kurang stabil waktunya karena
mengekspresikan peristiwa yang bergerak dari suatu keadaan menuju keadaan lain”.
Selanjutnya, Mulyadi (2000: 47) memilah verba ini atas dua tipe semantis,sesuai
dengan elemen makna yang membentuknya yaitu TERJADI dan BERGERAK. Tipe
TERJADI mengacu pada verba kejadian dan verba proses badaniah, sementara tipe
BERGERAK meliputi verba gerakan bukan agentif.
Lebih jauh, Mulyadi(2000:47) mengatatakan verba proses kejadian ditandai
dengan elemen TERJADI dan MELAKUKAN. Hal ini terlihat pada komponen
‘sesuatu terjadi pada sesuatu/seseorang karena seseorang yang lain melakukan
sesuatu’. Dalam bahasa Indonesia komponen semantis itu mengacu pada

retak,


patah, hancur, layu, dan mekar.
Dalam bahasa Batak Toba, verba kejadian dapat ditandai dengan perubahan
suatu entitas dari suatu keadaan menjadi keadaan yang lain. Misalnya verba possa
‘pecah’, mabola ‘terbelah membuka’, hassur ‘hancur’, ruppak ‘runtuh’ , ribak

1
Universitas Sumatera Utara

‘robek’, masasar ‘ pecah berkeping-keping ’, malala ‘meleleh’, esser ‘mencair;
ponggol ‘patah, dan rotap ‘ putus’.
Verba

kejadian tergolong unik karena ada kata-kata yang dianggap

bersinonim terletak pada ranah yang berbeda. Contohnya, dalam bahasa Batak Toba
terdapata kata rotap ‘putus’ dan ribak ‘robek’ yang dipahami sebagai dua kata yang
bersinonim. Akan tetapi, rotap ‘putus’mempunyai ciri khusus, yaitu berobjek tali atau
benang, sedangkan ribak ‘robek’ berobjek kertas atau kain.
(1a) Tali palastik pangikat bunga i

tali plastik pengikat bunga Dem

rotap/?ribak.
putus/ ?robek.

‘Tali plastik pengikat bunga putus/? robek.’
(1b) Ribak/? rotap baju ni tulang na bottar i.
robek/?putus
T paman T putih dem
‘Baju paman yang putih itu robek /?putus’.
Pada contoh (1a) terlihat bahwa verba rotap ‘putus’ berobjek tali, sedangkan pada
contoh (1b) verba ribak ‘robek’ berobjek kain.
Dalam kaitan ini, Mulyadi (2012) menyatakan bahwa “setiap kategori verba
emosi terdiri dari verba-verba yang berhubungan erat dan jika kategorisasinya
dikerjakan dengan rapi, relasi semantis verba-verba itu akan terungkap dengan jelas”.
Pernyataan itu dapat dihubungkan dengan verba kejadian yang memiliki relasi
semantis yang sangat rumit dan berputar-putar. Hal itu terlihat pada Kamus Bahasa
Batak Toba (Warnicke, 2011). Misalnya,kata ribak ‘robek’ bertalian dengan rotap
‘putus dan kata rotap dengan ribak; kata


ponggol ‘patah’ dihubungkan dengan

2
Universitas Sumatera Utara

‘patah’ dan tipul ‘dengan ponggol ; kemudian kata ponggol mengacu pada ruppak
‘patah’ dan kata ruppak dengan ponggol. Relasi semantisnya tampak pada ilustrasi
berikut:

rotap

ribak

tipul

ponggol

ruppak
Gambar 1.1: Relasi Semantis Verba Proses Kejadian dalam Bahasa Batak Toba
Keberputaran makna butir leksikal dalam kamus tidak membantu pembaca

dalam mengkategorikannya. Untuk itu perlu dilakukan pengkategorian untuk
mengetahui persamaan dari setiap komponen butir leksial verba kejadian.
Dalam bahasa Batak Toba tipul , ponggol , suak dan ruppak memiliki makna
dasar yang sama, yaitu patah. Akan tetapi, kata-kata itu tentu mengandung ciri
semantis khusus yang membedakan maknanya dengan makna kata lain. Ciri semantis
itu dapat diungkapkapkan dengan melihat perilaku kata itu dalam kalimat.
Semua anggota verba kejadian dapat ditempatkan ke dalam satu kategori
karena verba memiliki ciri-ciri makna yang berhubungan. Tidak ada satu verba
kejadian yang dapat berdiri sendiri dari verba kejadian yang lain dalam satu ranah

3
Universitas Sumatera Utara

semantis. Misalnya, verba karena tindakan orang lain yang hasilnya menjadi dua
bagian adalah gotap ‘ putus’, ponggol ‘ patah’, ribak ‘robek’.
Selanjutnya, verba kejadian dalam bahasa Batak Toba dalam satu ranah
mengandung konfigurasi makna yang berbeda. Hal ini tampak apabila verba yang
berkerabat secara semantik ditempatkan pada sebuah kalimat. Verba rotap ‘putus’
mensyaratkan bahwa objeknya adalah tali yang terpisah menjadi dua bagian. Verba
ribak ‘robek’ mensyaratkan objeknya adalah kain yang terpisah menjadi dua bagian.

(2a)

Gotap/?Ribak
tali kalabbu dibahen si Tiur.
putus/?robek
kelambu dibuat
Tiur
‘Tali kelambu dibuat si Tiur putus /? robek’.

2b)
Nunga
nattari.
sudah
kemarin

?gotap/ ribak
?putus/?robek

calana


sikkola

na

baru

celana

sekolah KONJ

baru

i
Prep

tuhor
beli

‘Celana sekolah yang baru dibeli kemarin sudah robek/? putus’.
Hal yang sama juga terjadi pada verba ponggol dan tipul ‘patah’. Perhatikan

contoh di bawah ini:
(3a)

Nunga
Sudah

tipul/? ponggol
patah/? patah

pitolot ni anggi dibahen donganna.
pensil Pos adek PAS,buat temannya.

‘Pensil adek sudah patah dibuat temannya’.
(3b)

Ponggol/?tipul
Patah/?patah

boroti
na

balok KONJ

gajjang
i
Panjang DEM.

4
Universitas Sumatera Utara

‘Balok yang panjang itu patah’.
Pada kalimat (3) di atas terlihat bahwa verba tipul ‘patah’ objeknya berupa
pensil sedangkan verba ponggol ‘patah’ objeknya berupa balok.
Penelitian tentang verba berdasarkan teori MSA sudah pernah dilakukan oleh
beberapa ahli. Misalnya, Subiyanto mengkaji verba kejadian dalam bahasa Jawa
(2011) dan verba gerakan bukan agentif dalam bahasa Jawa (2008), Sutjiati Bertha
(2000) meneliti verba ujaran dalam bahasa Bali, Sinaga (2014) meneliti verba ujaran
dalam bahasa Simalungun, Lumban Gaol (2014) meneliti verba potong dalam bahasa
Batak Toba,

Mulyadi ( 2000) meneliti struktur semantis verba dalam bahasa


Indonesia , kategori semantis verba dalam bahasa Indonesia (2009), verba emosi
statif dalam bahasa Melayu Asahan (2010), dan verba emosi dalam bahasa Indonesia
(2012).
Dari penjelasan di atas terlihat bahwa kajian semantik verba kejadian pada
bahasa Batak Toba belum pernah dilakukan. Dalam penelitian ini diperlihatkan
bahwa semantik verba kejadian pada bahasa Batak Toba mencakup kategorisasi dan
maknanya.
1.2 Rumusan masalah
1. Bagaimanakah kategorisasi verba kejadian dalam bahasa Batak Toba?
2. Bagaimanakah makna verba kejadian dalam bahasa Batak Toba?
1.3 Tujuan penelitian
Berdasarkan masalah yang dibahas ,tujuan penelitian ini adalah:

5
Universitas Sumatera Utara

1. Mendeskripsikan kategorisasi verba kejadian dalam bahasa Batak Toba.
2. Mendeskripsikan makna verba kejadian dalam bahasa Batak Toba.
1.4. Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Teoretis
1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan pada
bidang ilmu linguistik dan memberi manfaat bagi kelestarian bahasa
dan kebudayaan Batak Toba.
2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya penelitian semantik
tentang kategorisasi dan struktur semantis verba proses kejadian
dalam bahasa Batak Toba dengan teori MSA.
1.4.2 Manfaat Praktis
1. Penelitian ini dapat dijadikan sumber acuan bagi peneliti selanjutnya
tentang verba proses kejadian dalam bahasa daerah lainnya.
2. Hasil penelitian ini dijadikan sebagai bahan informasi bagi pemerintah
daerah dalam bidang semantik dalam bahasa Batak Toba.

6
Universitas Sumatera Utara

BAB II
KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep
Ada beberapa konsep yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu verba

kejadian, komponen semantis, kategorisasi, dan makna.
Verba kejadian merupakan bagian dari verba yang mendeskripsikan
perubahan suatu entitas dari suatu keadaan menjadi keadaan yang lain. Ini terjadi
karena batas keadaan yang lama telah dilampaui. Entitas yang dimaksud adalah
entitas non insani misalnya, tanaman pada tumbuhan itu tumbuh. Ciri dari verba ini
adalah [+dinamis], [+/-perfektif] dan [+/- pungtual] (Mulyadi 2009:59).
Komponen semantis adalah perangkat makna yang dimiliki oleh sebuah
butir leksikon (Mulyadi, 2000:40). Mulyadi ( 2000:40) mengatakan bahwa komponen
semantis mencakup kombinasi dari perangkat makna seperti ‘sesuatu terjadi pada
sesuatu’.
Kategorisasi adalah pengelompokan butir leksikal berdasarkan kesamaan
komponen

semantisnya

(

Mulyadi

2010:

169).

Misalnya,



komponen

TERJADI/MELAKUKAN’ memuat anggota patah, putus,dan retak yang terdapat
dalam satu ranah semantik yang sama.
Makna sebuah kata adalah konfigurasi dari makna asali untuk setiap kata
(Wierzbicka, 1996: 170). Konfigurasi yang dimaksud adalah kombinasi antara satu

7
Universitas Sumatera Utara

makna asali dengan makna asali yang lain yang membentuk sintaksis makna
universal.

1.4 Landasan Teori
Kajian semantik verba kejadian Batak Toba ini menggunakan teori MSA
(Metabahasa Semantik Alami). Teori MSA yang dikembangkan oleh Wierzbicka ini
dirancang untuk mengeksplikasi semua makna, baik makna leksikal, makna
gramatikal maupun makna ilokusi. Asumsi dasar teori MSA menyatakan bahwa
analisis makna akan menjadi tuntas, dalam arti makna kompleks apapun dapat
dijelaskan tanpa perlu berputar-putar dan residu dalam kombinasi makna yang lain (
Wierzbicka, 1996: 10).
Terkait dengan hal itu, MSA tidak terlepas dari sejumlah konsep teoretis
penting seperti makna asali, polisemi dan sintaksis makna universal. Makna asali
adalah seperangkat makna yang tidak berubah yang telah diwarisi manusia sejak
lahir. Dengan kata lain, makna asali merupakan makna pertama dari sebuah kata yang
tidak mudah berubah walaupun ada perubahan kebudayaan (Goddard, 1994:2).
Makna asali dapat diuraikan dengan tuntas dari bahasa alamiah yang merupakan satusatunya cara menyajikan makna (Wierzbicka, 1996:31). Uraian makna itu harus
meliputi makna kata yang secara intuitif memiliki medan makna yang sama.
Berdasarkan hasil penelitian Wierzbicka ( 1996 dalam Mulyadi 2000:41)
ditemukan makna asali sejumlah bahasa di dunia, seperti bahasa Cina, Jepang,

8
Universitas Sumatera Utara

Inggris, dan bahasa Aborigin di Australia. Pada tahun 1972, dia menemukan 14 buah
makna asali, kemudian pada tahun 1980 menjadi 15 buah makna asali. Kemudian,
Wierzbicka (1996) dan Goddard (2006) mengusulkan 63 buah makna asali seperti di
bawah ini:
Tabel 2.1
Perangkat Makna Asali Bahasa Indonesia
KOMPONEN
Substantif
Subtantif relasional
Pewatas

ELEMEN
AKU, KAMU, SESEORANG, ORANG, SESUATU/HAL,
TUBUH
JENIS, BAGIAN
INI, SAMA, LAIN

Penjumlah
Evaluator
Deskriptor
Predikat Mental
Ujaran
Tindakan,
peristiwa,
gerakan, perkenaan
Tempat,
keberadaan,
milik, dan spesifikasi

SATU, DUA, BANYAK, BEBERAPA, SEMUA
BAIK, BURUK
BESAR, KECIL
PIKIR, TAHU, INGIN, RASA, LIHAT, DENGAR
UJAR, KATA, BENAR
LAKU, TERJADI, GERAK, SENTUH

Hidup dan Mati

HIDUP, MATI

Waktu

Konsep Logis

BILA/WAKTU, SEKARANG, SEBELUM, SETELAH,
LAMA, SINGKAT, SEBENTAR, SAAT
(DI) MANA/TEMPAT, (DI) SINI, ( DI) ATAS, (DI)
BAWAH, JAUH, DEKAT, SISI, (DI) DALAM
TIDAK, MUNGKIN, DAPAT

Augmentor Intensifier

SANGAT, LEBIH

Kesamaan

SEPERTI

Ruang

ADA, PUNYA, ADALAH, ( SESEORANG/ SESUATU)

Sumber : Mulyadi (2012: 38)

9
Universitas Sumatera Utara

Konsep dasar lain dalam MSA adalah polisemi. Polisemi adalah leksikon
tunggal yang dapat mengekspresikan dua makna asali yang berbeda. Ini terjadi karena
adanya hubungan komposisi antara satu eksponen dengan eksponen yang lainnya
karena memiliki kerangka gramatikal yang berbedaWierzbicka (dalam Mulyadi
2006:71). Ada dua hubungan nonkomposisi, yaitu hubungan yang ‘menyerupai
pengartian’ dan ‘hubungan implikasi’

Wierzbicka(dalam Mulyadi 2006:71).

Hubungan yang menyerupai pengartian tampak pada MELAKUKAN /TERJADI dan
MELAKUKAN PADA/TERJADI. Contoh: jika X MELAKUKAN SESUATU
PADA Y. SESUATU TERJADI PADA Y. hubungan implikasi terdapat pada
eksponen TERJADI dan MERASAKAN. Contoh: jika X MERASAKAN SESUATU,
SESUATU TERJADI PADA X.
Konsep dasar selanjutnya adalah sintaksis makna universal. Sintaksis makna
universal dikembangkan oleh Wierzbicka pada akhir tahun 1980-an. Sintaksis makna
universal terdiri atas kombinasi leksikon butir makna asali yang membentuk preposisi
sederhana sesuai dengan perangkat morfosintaksis bahasa yang bersangkutan.
Misalnya, INGIN memiliki kaidah universal tertentu dalam konteks: saya ingin
melakukan sesuatu. Selanjutnya, unit dasar sintaksis makna universal ini dapat
disamakan dengan klausa yang dibentuk oleh subtantif, predikat, dan elemen-elemen
lain. Kombinasi elemen tersebut akan membentuk kalimat kanonis (Indrawati, 2006:
148). Kalimat kanonis adalah kalimat sederhana berbentuk parafrasa yang dibentuk
oleh kombinasi elemen-elemen makna asali.
Unit dasar sintaksis universal dapat disamakan dengan ‘klausa’, dibentuk
oleh subtantif dan predikat, serta beberapa elemen tambahan sesuai dengan cirri
predikatnya (Mulyadi, 2006:71). Contoh pola sintaksis universal antara lain:
(4) aku melihat sesuatu ditempat ini.
10
Universitas Sumatera Utara

(5) sesuatu yang buruk terjadi padaku.
(6) jika aku melakukan ini , orang akan mengatakan sesuatu yang buruk
tentang aku.
(7) aku tahu bahwa kamu orang yang baik
Pola kombinasi yang berbeda dalam sintaksis universal mengimplikasikan
gagasan

pilihan

valensi.

Contohnya,

elemen

MENGATAKAN,

disamping

memerlukan ‘Subjek’ dan ‘Komplemen’ wajib (seperti ‘ seseorang mengatakan
sesuatu’), juga ‘pesapa’ (seperti ‘ seseorang mengatakan sesuatu pada seseorang’)
atau ‘topik’ (seperti ‘seseorang mengatakan sesuatu tentang sesuatu’) atau ‘pesapa
dan topik’ (seseorang mengatakan sesuatu pada seseorang tentang sesuatu’) (Mulyadi
dan Siregar, 2006:71). Hubungan ketiga konsep tersebut dapat diringkas dengan
skema di bawah ini:
Makna Asali
Sintaksis Makna
Polisemi
Universal

Makna Asali

Makna

Gambar 2.1: Hubungan Makna Asali, Polisemi, Sintaksis Makna Universal, dan
Makna.
(Sumber: Mulyadi dan Rumnasari, 2006:71)
Bagan di atas menunjukkan bahwa gabungan dari dua makna asali
berkombinasi untuk membentuk polisemi. Polisemi merupakan kunci untuk
mengetahui makna dan dasar pembentukan sintaksis makna universal yang melalui

11
Universitas Sumatera Utara

skenario pada sintaksis makna universal persamaan dan perbedaan makna dapat
diungkapkan dengan tuntas dan tidak berputar-putar.
Verba kejadian memiliki tipe semantis TERJADI. Struktur semantis verba
kejadian merupakan relasi dua peristiwa, dalam arti peristiwa yang menggambarkan
perubahan entitas terjadi akibat peristiwa sebelumya. Kedua, peristiwa itu dalam
struktur semantik yang dihubungkan oleh elemen KARENA. Makna verba kejadian
dimarkahi TERJADI/MELAKUKAN. Peristiwa dipicu oleh karena seseorang
melakukan sesuatu, seperti retak ‘retak’, possa ‘pecah’. Entitas bernyawa dan tidak
bernyawa juga memodifikasi makna verba ini. Perubahan yang terjadi pada verba ini
adalah perubahan fisik (tubu ‘tumbuh’, mengge ‘larut’, lomak ‘mekar’).
Perlu diketahui bahwa verba kejadian dalam bahasa Batak Toba memiliki fitur
semantis khusus untuk membedakan satu butir leksikal dengan butir leksikal lain.
Perbedaan di antara butir-butir leksikal tersebut dapat ditujukan dengan menggunakan
komponen semantis. Dalam teori MSA komponen itu disebut perangkat makna asali
(Wierzbicka).
Makna verba kejadian dapat diparafrase seperti contoh di bawah ini:
Model parafrase
(a) pada waktu itu, sesuatu terjadi pada seseorang/sesuatu(X) karena seseorang
(Y) melakukan sesuatu pada sesuatu (X)
(b) sebelum ini, X keadaan yang sama (keaadaan awal)
(c) setelah ini, X keaadaan yang berbeda ( keadaan akhir)
(d) sesuatu terjadi pada X seperti ini
12
Universitas Sumatera Utara

1.5 Tinjauan Pustaka
Penelitian terhadap verba sudah banyak dilakukan oleh beberapa ahli.
Selanjutnya akan menjelaskan penelitian- penelitian sebelumnya yang mirip atau
relevan dengan penelitian ini.
Mulyadi (2000) dalam artikel yang berjudul “ Struktur Semantis Verba
dalam bahasa Indonesia” membahas dua masalah pokok, yakni kategorisasi semantis
dan peran semantis.

Penelitian ini menggunakan metode simak yang didukung

dengan teknik catat. Data dianalisis dengan mrnggunakan metode padan dan metode
agih dan teori yang digunakan adalah Metabahasa Semantik Alami

Dari hasil

penelitiannya disimpulkan bahwa VBI dibagi tiga, yaitu verba keaadaan, verba
proses, dan verba tindakan. Verba keadaan mempunyai kelas kognisi, pengetahuan,
emosi, dan persepsi. Verba proses mempunyai kelas kejadian dan proses badaniah,
dan gerakan bukan agentif. Verba tindakan mempunyai kelas gerakan agentif, dan
perpindahan. Kemudian, struktur semantis verba bahasa Indonesia diformulasikan
dari sejumlah polisemi dan dari kombinasi makna asali ini terlihat persamaan dan
perbedaan struktur semantisnya.
Penelitian Mulyadi memberi banyak masukan dari segi teori dan cara
menganalis verba dalam bahasa Batak Toba. Masukan dari segi teori terlihat pada
fitur-fitur pembeda dan pola sintaksis yang digunakan dalam penelitian tersebut.
Kemudian, masukan dari segi cara menganalisis verba tampak pada penggunaan
parafrase yang bersumber dari makna asali. Kontribusi Mulyadi ini akan
dikembangkan pada penelitian verba kejadian dalam bahasa Batak Toba.

13
Universitas Sumatera Utara

Beratha (2000) dalam artikelnya yang berjudul “ Struktur dan

Peran

Semantis Verba Ujaran dalam Bahasa Bali” menguraikan semantik verba ujaran
denga menggunakan teori MSA. Metode yang digunakan dalam menganalisis datanya
adalah metode padan dan metode agih, sedangkan penyajian hasil analisis data
menggunakan metode formal dan informal. Hasil kajian Beratha menunjukkan bahwa
ada sejumlah verba tindakan yang bertipe ujaran dalam bahasa Bali seperti ngidih dan
nunas ‘meminta’, nunden dan nikain ‘memerintah’, nombang ‘melarang’, majanji
‘berjanji’, nyadad ‘mengkritik’, nesek dan matakon ‘bertanya’. Struktur semantis
verba tindakan tipe ujaran ini diformulasikan dalam komponen ‘X mengatakan
sesuatu kepada Y’.
Penelitian Beratha memberi banyak masukan dari segi teori yang digunakan
dan juga cara menganalisis verba. Dari segi teori dapat diketahui pola sintaksis makna
universal yang digunakan dalam penelitian tersebut dan juga dari cara menganalis
verba ujaran tampak pada penggunaan parafrasa yang bersumber dari perangkat
makna asali.
Mulyadi (2003) dalam artikelnya yang berjudul “Struktur Semantis Verba
Tindakan Bahasa Indonesia” mengkaji kategorisasi dan peran semantis verba
tindakan dengan menggunakan teori Metabahasa Semantik Alami (MSA). Teori
MSA digunakan untuk mengetahui makna asali verba tindakan bahasa Indonesia dan
memetakan struktur semantis verba tindakan bahasa Indonesia. Beliau membatasi
lingkup kajian hanya pada enam verba, yaitu menangkap, menendang, membeli,
menangis, pergi, dan bertemu. Pada kategorisasi itu verba bahasa Indonesia

14
Universitas Sumatera Utara

digolongkan menjadi tiga kelas yaitu tindakan, proses dan keadaaan. Dalam
kajiannya Mulyadi mengemukakan bahwa kajian semantis terhadap verba tindakan
bahasa Indonesia memperlihatkan beberapa implikasi yang menarik. Pertama, ada
korelasi antara valensi verba tindakan dan komponen yang inheren pada verba
tersebut, terutama pada eksponen pertama. Komponen untuk verba bervalensi satu
ialah 'X melakukan sesuatu', sedangkan komponen untuk verba bervalensi dua adalah
'X melakukan sesuatu pada Y'. Kedua, struktur semantis verba tindakan tidak
bersesuaian dengan tipe verbanya. Verba bervalensi dua, seperti menangkap,
menendang, dan membeli dengan verba bervalensi satu, seperti pergi pada
kenyataannya bertumpang tindih pada komponen kedua. Komponen yang dimaksud
ialah 'sesuatu terjadi karena X menginginkan sesuatu'. Ketiga, dari eksplikasi yang
dilakukan terlihat bahwa struktur semantis verba tindakan bahasa Indonesia tidak
memperlihatkan adanya keteraturan dalam jaringan elemennya.
Penelitian Mulyadi menjadi acuan untuk menerapkan teori MSA pada verba
proses kejadian bahasa Batak Toba. Komponen semantisnya ialah (1) predikat mental
[ PIKIR, TAHU, INGIN, RASA, LIHAT, DENGAR], (2) ujaran (UJAR, KATA),
tindakan, peristiwa, pergerakan, perkenaan [LAKU,TERJADI, GERAK ,SENTUH],
(4) keberadaan dan milik [ADA dan PUNYA], dan (5) hidup dan mati [HIDUP dan
MATI].
Subiyanto (2008) mengkaji verba gerakan bukan agentif dalam bahasa Jawa.
Teori MSA digunakan untuk menganalisis komponen semantis dan struktur semantis
verba tersebut. Data yang terkumpul dianalisis dengan metode padan dan metode
agih. Berdasarkan hasil penelitiannya, komponen semantik verba gerakan bukan
15
Universitas Sumatera Utara

agentif bahasa Jawa memiliki ciri [+dinamis], [-kesengajaan], [+/-kepungtualan], [+/telik],dan[ -kinesis]. Selanjutnya, struktur semantik verba gerakan bukan agentif
bahasa Jawa ditentukan oleh berdasarkan arah gerakan, yakni BERGERAK dan
MELAKUKAN dan

berdasarkan kualitas gerakan, yaitu MELAKUKAN dan

TERJADI.
Penelitian Subiyanto memberikan kontribusi dalam penerapan teori MSA
dalam menetapkan kategorisasi dan makna. Penelitian ini memberikan gambaran
yang mudah dipahami. Masukan dari segi teori terlihat pada fitur-fitur pembedadan
pola sintaksis yang digunakan. Kemudian, masukan dari segi menganalisis verba
pada penggunaan parafrase yang bersumber dari perangkat makna asali.
Lumban Gaol (2014) mengkaji kategorisasi dan makna verba potong dalam
bahasa Batak Toba. Teori MSA digunakan untuk mengetahui makna asali dari verba
POTONG dan mengategorisasikan serta menentukan makna verba tersebur dalam
bahasa Batak Toba. Data dianalisis dengan menggunakan metode agih dan hasilnya
disajikan dengan metode formal dan informal. Kategorisasi verba POTONG dalam
bahasa Batak Toba terdiri atas alat yang digunakan ( ‘X melakukan sesuatu dengan
sesuatu’) dan

(‘ X melakukan sesuatu pada seseorang/ sesuatu’). Makna verba

POTONG bahasa Batak Toba dibentuk oleh

makna asali

MELAKUKAN dan

TERJADI yang berpolisemi membentuk sintaksis makna universal ‘X melakukan
sesuatu pada Y karena ini sesuatu terjadi pada Y’.

16
Universitas Sumatera Utara

Penelitian Lumban Gaol memperluas wawasan peneliti tentang penerapan
teori MSA dalam bahasa Batak Toba dengan menggunakan teori MSA. Penelitian ini
juga memberikan masukan cara menganalisis verba kejadian pada penggunaan
parafrase yang bersumber dari perangkat makna asali. Penelitian ini juga
berkontribusi dalam mendeskripsikan kategorisasi semantis verba kejadian dalam
bahasa Batak Toba. Penelitian ini juga mendorong peneliti untuk meneliti verba
kejadian dalam bahasa Batak Toba.

17
Universitas Sumatera Utara