LAPORAN OBSERVASI HUKUM ADAT MASYARAKAT

LAPORAN OBSERVASI HUKUM ADAT
SUKU BATAK (PATRINILINEAL)
Dosen Pengampu: Puji Wulandari Kuncorowati, S.H.,M.Kn dan
Setiati Widihastuti, S.H.,M.Hum

Disusun Oleh
Devita Lili Oktaviana

15401244004

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN DAN HUKUM
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2017

DAFTAR ISI
Halaman Sampul.................................................................................................i
Daftar Isi...............................................................................................................ii
Kata Pengantar....................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
A.

B.
C.
D.
E.

Latar Belakang............................................................................................1
Rumusan Masalah.......................................................................................2
Tujuan.........................................................................................................2
Waktu dan Tempat .....................................................................................3
Narasumber.................................................................................................3

BAB II PEMBAHASAN
A. Sistem Kekerabatan Dalam Suku Batak....................................................4
B. Sistem Perkawinan Dalam Suku Batak.....................................................8
C. Sistem Pewarisan Dalam Suku Batak........................................................10
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan................................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................15
Lampiran................................................................................................................16


ii

Kata Pengantar
Puji Syukur kehadirat Tuhan YME, atas kemudahan dan kelancaran yang
diberikan oleh-Nya, kami dapat menyelesaikan laporan “Observasi Hukum Adat
Suku Batak (Patrilineal)” yang diampu oleh Dosen kami yaitu Ibu Setiati
Widihastuti, S.H.,M.Hum dan Ibu Puji Wulandari Kuncorowati, S.H.,M.Kn,
laporan ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Hukum Adat
Ucapan terimakasih kami berikan kepada Dosen Pengampu Mata Kuliah
Hukum Adat Ibu Setiati Widihastuti, S.H.,M.Hum dan Ibu Puji Wulandari
Kuncorowati, S.H.,M.Kn yang telah memberikan bimbingan serta rambu-rambu
dalam penyusunan laporan observasi Hukum Adat. Ucapan terimakasih tidak lupa
kami berikan kepada teman-teman PKnH B 2015 yang telah memberikan
masukan, serta saran demi terselesaikannya laporan ini.
Laporan Observasi Hukum Adat pada suku Batak ini, disusun berdasarkan
hasil observasi, beberapa buku maupun Jurnal yang berkaitan dengan suku Batak
yang kami jadikan pembahasan dalam laporan ini.
Kritik dan saran sangat kami harapkan, dari teman-teman, Ibu/Bapak Dosen,
serta para pembaca laporan ini. Semoga laporan hasil observasi Hukum Adat Suk
Batak ini dapat menjadi bahan referensi, maupun kajian akademik. Mohon maaf

apabila dalam penyampaian hasil laporan masih terdapat banyak kekurangan,
semoga laporan kami dapat lebih baik lagi dihari selanjutnya.

Penyusun,

Yogyakarta, 11 Mei 2017

iii

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia adalah negara kepulauan yang memiliki gugusan pulau-pulau
yang tersebar dari ujung barat hingga ujung timur. Pulau-pulau

tersebut

merupakan wilayah kesatuan Negara Republik Indonesia (NKRI). Dengan
adanya pulau-pulau tersebut Indonesia lebih dikenal dengan negara maritim,
dimana wilayah Indonesia sebagian besar adalah perairan.

Salah satu pulau yang menjadi pusat perhatian Kolonial pada masa
penjajahan dahulu adalah pulau Sumatera, dimana dipulau tersebut banyak
ditemukan rempah-rempah serta hasil bumi yang digunakan para penjajah
untuk memenuhi kebutuhan dinegaranya. Selain itu dipulau Sumatera juga
memiliki berbagai macam kebudayaan. Kebudayaan tersebut hingga kini masih
dipertahankan dan dijaga kelestariannya.
Kebudayaan yang masih terlihat dipulau Sumatera salah satunya adalah
sistem kekerabatan yang mereka anut atau gunakan hingga sampai saat ini.
Dimana sistem kekerabatan tersebut termasuk dalam sistem kekerabatan yang
ditarik dari garis ketutrunan laki-laki atau ayah, sering disebut dengan sistem
kekerabatan Patrilineal.
Sistem kekerabatan Patrilineal dianut oleh salah satu suku di Sumatera,
salah satunya adalah suku Batak. Suku batak menganut sistem kekerabatan
yang ditarik dari garis keturunan Ayah atau Bapak. Kebudayaan masyarakat
yang menganut sistem patrilineal di era modern saat ini, menjadi salah satu
topik yang menarik untuk diperbincangkan, dimana adat-adat yang mereka
gunakan masih memiliki norma-norma yang sesuai dengan adat istiadat yang
dijaga hingga turun temurun.
Namun ada permasalahan yang terjadi dalam sistem kekerabatan Patrilineal
menyangkut dengan beberapa bidang kehidupan, seperti dalam perkawinan dan

pewarisan. Hal itu terjadi karena mereka memiliki syarat-syarat tersendiri
dimana mereka diwajibkan untuk menjalankan syarat-syarat adat yang telah
berlaku pada sistem kekerabatan mereka yaitu Patrilineal.
Permasalahan tersebut terjadi karena adanya benturan kebudayaan.
Kebudayaan yang berkembang saat ini adalah kebudayaan yang sudah
1

terpengaruh oleh kebudayaan baru diluar dari kebudayaan lokal. Selain itu
kebudayaan saat ini juga dipengaruhi dengan kebutuhan zaman yang kian
kompleks serta menuntut seseorang untuk berubah.
Bagaimana posisi seorang laki-laki dalam sistem kekerabatan Patrilineal
dalam masyarakat modern memang menjadi pertanyaan. Masyarakat modern
berpandangan bahwa setiap individu tanpa mamandang gender, berhak untuk
mendapatkan perlakuan yang sama baik kewajiban dan maupun hak-hak dalam
setiap bidang kehidupan. Hal itulah yang menjadi pertanyaan, apakah sistem
kekerabatan patrilineal pada masyarakat modern ini masih memegang teguh
adat istiadat mereka dalam memberikan hak yang `istimewa` kepada laki-laki.
Berdasarkan keingintahuan tersebut kami melakukan observasi pada
masyarakat garis keturunan patrilineal, dengan mengambil salah satu contoh
yaitu suku Batak. Dalam suku Batak sesuatu dapat dikatakan ideal apabila

sesuai dengan adat yang telah mereka tetapkan sebelumnya, baik perkawinan,
pewarisan, hak dan kewajiban serta hal-hal yang berkenaan dengan hubungan
kekeluargaan. Laporan Hukum Adat dalam Suku Batak akan membahas
bagaimana kebudayaan suku Batak yang menganut sistem kekerabatan
Patrilineal.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, rumusan masalah yang dapat dirumuskan
antara lain adalah:
D. Bagaimana sistem kekerabatan dalam Suku Batak?
E. Bagaimana sistem perkawinan dalam suku Batak?
F. Bagaimana sistem pewarisan dalam suku Batak?
C. Tujuan Laporan
Berdasarkan rumusan masalah diatas dapat ditarik tujuan dari pembuatan
laporan ini antara lain:
1. Mengetahui bagaimana sistem kekerabatan dalam suku Batak
2. Mengetahui bagaimana sistem perkawinan dalam suku Batak
3. Mengetahui bagaimana sistem pewarisan dalam suku Batak

2


D. Waktu dan Tempat
Wawancara lapangan yang kami lakukan pada:
Hari

: Jumat, 28 April 2017

Tempat :di Kebon Laras, Jalan Sorowajan Baru, Banguntapan, Bantul, DIY,
Pukul : 19.00-21.00 WIB
E. Narasumber
Semua narasumber yang kami wawancarai berasal dari Batak Mandailing yang
tergabung dalam Komunitas Batak Mandailing di Yogyakarta. Berikut adalah
narasumber yang kami wawancarai :
1. Nur Aminah Nasution : Batak Mandailing, Universitas Islam Indonesia
Yogyakarta
2. Umar Pulungan : UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
3. Nikmah Lubis : Batak Mandailing, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
F. Metode Observasi
Metode observasi yang kami gunakan adalah Direct Interview atau wawancara
langsung kepada narasumber yang kami jadikan sebagai objek informasi.


3

BAB II
PEMBAHASAN
A. Sistem Kekerabatan Suku Batak
Kekerabatan adalah Istilah untuk menyebut atau menyapa orang yang
terikat kepada diri sendiri karena hubungan keturunan, darah, atau
perkawinan1. Pada masyarakat adat Batak menganut sistem kekerabatan
Patrilineal dimana anak melanjutkan garis keturunan dari satu pihak yaitu
ayah saja. Pada masyarakat Batak yang menganut sistem kekerabatan
Patrilineal memiliki ciri khas yang menandai bahwa mereka menganut sistem
Patrilineal yaitu dengan adanya marga. Pada masyarakat Batak terdapat
banyak marga tetapi yang kami wawancarai adalah masyarakat Batak
Mandailing terdiri dari marga Lubis, Pulungan, Batu Bara, Nasution, dan
Rangkuti.

Pada masyarakat Batak penurunan nama marga akan secara

otomatis diberikan oleh ayahnya secara turun temurun. Marga ini memiliki
fungsi sebagai identitas masyarakat Batak.

Dalam prekteknya nama marga tidak akan terputus jika masih memiliki
anak laki-laki yang dapat meneruskan marga tetapi jika dalam sebuah
keluarga tidak terdapat anak laki-laki maka marga tersebut akan berhenti pada
anak perempuan yang terakhir karena tidak dapat meneruskan marga. Dalam
hal ini apabila masih ingin meneruskan marga maka dapat ditempuh dengan
cara membeli marga. Pada dahulu membeli marga harus dilakukan dengan
cara meminum darah kambing atau kerbau akan tetapi pada saat ini membeli
marga dilakukan hanya dengan perjanjian hitam di atas putih di saksikan satu
marga. Selain itu seseorang yang membeli marga harus taat pada aturanaturan yang berlaku pada marga tersebut.
Bentuk kekerabatan berdasarkan garis keturunan (genealogi) terlihat dari
silsilah marga mulai dari Si Raja Batak, dimana semua suku bangsa Batak
memiliki marga. Sedangkan kekerabatan berdasarkan sosiologis terjadi
melalui perjanjian (padan antar marga tertentu) maupun karena perkawinan.
Dalam tradisi Batak, yang menjadi kesatuan Adat adalah ikatan sedarah
dalam marga, kemudian Marga. Artinya misalnya Harahap, kesatuan adatnya
adalah Marga Harahap vs Marga lainnya. Berhubung bahwa Adat

1

KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia)


4

Batak/Tradisi Batak sifatnya dinamis yang seringkali disesuaikan dengan
waktu dan tempat berpengaruh terhadap perbedaan corak tradisi antar daerah.
Adanya falsafah dalam perumpamaan dalam bahasa Batak Toba yang
berbunyi: Jonok dongan partubu jonokan do dongan parhundul. merupakan
suatu filosofi agar kita senantiasa menjaga hubungan baik dengan tetangga,
karena merekalah teman terdekat. Namun dalam pelaksanaan adat, yang
pertama dicari adalah yang satu marga, walaupun pada dasarnya tetangga
tidak boleh dilupakan dalam pelaksanaan Adat.
Dalam tradisi Batak, yang menjadi kesatuan Adat adalah ikatan sedarah
yang disebut dengan marga. Suku bangsa Batak terbagi ke dalam enam
kategori atau puak, yaitu Batak Toba, Batak Karo, Batak Pakpak, Batak
Simalungun, Batak Angkola, dan Batak Mandailing. Masing-masing puak
memiliki ciri khas nama marganya. Marga ini berfungsi sebagai tanda adanya
tali persaudaraan di antara mereka.Satu puak bisa memiliki banyak marga.
Marga pada Batak Karo terdapat 5 marga, yaitu marga Karo-karo,
Ginting, Sembiring, Tarigan, dan Parangin-angin. Dari lima marga tersebut
terdapat submarga lagi. Total submarganya ada 84. Adapun Batak Toba,

dikatakan sebagai marga ialah marga-marga pada suku bangsa Batak yang
berkampung halaman (marbona pasogit) di daerah Toba. Salah satu cotoh
marga pada suku bangsa Batak Toba yaitu Simangunsong, Marpaung,
Napitupulu, dan Pardede.
Pada suku Batak Pakpak, mereka diikat oleh struktur sosial yang dalam
istilah setempat dinamakan sulang silima yang terdiri dari lima unsur, yaitu
Sinina tertua (Perisang-isang, keturunan atau generasi tertua), Sinina
penengah (Pertulan tengah, keturunan atau generasi yang di tengah), Sinina
terbungsu (perekur-ekur, keturunan terbungsu), Berru yakni kerabat penerima
gadis, dan Puang yakni kerabat pemberi gadis2.
Lalu pada Batak Simalungun terdapat empat marga asli suku Simalungun
yang populer dengan akronim SISADAPUR, yaitu Sinaga, Saragih, Damanik,
dan Purba.Keempat marga ini merupakan hasil dari Harungguan Bolon
(permusyawaratan besar) antara empat raja besar dari masing-masing raja
tersebut, untuk tidak saling menyerang dan tidak saling bermusuhan.

2

Jurnal Unnes Sistem Kekerabatan Suku Batak, Diakses pada 11 Mei 2017, Pukul 14.12

5

Untuk menentukan seorang bangsa Batak berasal garis keturunan mana,
mereka menggunakan Torombo.Dengan tarombo seorang Batak mengetahui
posisinya dalam sebuah marga.Orang Batak meyakini, bahwa kekerabatan
menggunakan Torombo ini dapat diketahui asal-usulnya yang berujung pada
Si Raja Batak.
Menurut Narasumber kami, sulit untuk menemukan asal usul dalam
sebuah marga, karena untuk menemukan asal-usul tersebut memerlukan
waktu yang panjang walaupun dapat menggunakan Torombo, seperti yang
dijelaskan diatas, hal itu karena pada era modern saat ini beberapa marga
suku batak sudah bercampur dengan marga lain, karena adanya perkawinan
campuran akibat pengaruh dari luar.
Bagi Batak Toba, Si Raja Batak adalah anak perempuan dari keturunan
Debata Muljadi Nabolon, Tuhan pencipta bumi dan isinya. Tuhan ini
memerintah ibu Si Raja Batak untuk menciptakan bumi, dan ibunya tinggal di
daerah bernama Siandjurmulamula. Daerah tersebut menjadi tempat tinggal
Si Raja Batak dan keturunannya.Daerah ini adalah tanah Batak, dimana
tempat seluruh orang Batak berasal.
Selanjutnya dalam masyarakat Batak hubungan berdasarkan satu ayah
disebut sada bapa (bahasa Karo) atau saama (bahasa Toba). Adapun
kelompok kekerabatan terkecil adalah keluarga batih (keluarga inti, terdiri
atas ayah, ibu, dan anak-anak) yang disebut jabu, dan ripe dipakai untuk
keluarga luas yang virilokal (tinggal di rumah keluarga pihak laki-laki).
Dalam masyarakat Batak, banyak pasangan yang sudah kawin tetap tinggal
bersama orang tuanya. Adapun perhitungan hubungan berdasarkan satu kakek
atau satu nenek moyang disebut sada nini (pada masyarakat Karo) dan
saompu (pada masyarakat Toba). Keluarga sada nini atau saompu merupakan
klen kecil. Adapun klen besar dalam masyarakat Batak adalah merga (dalam
bahasa Karo) atau marga(dalambahasaToba).
Masyarakat Batak memiliki falsafah, asas sekaligus sebagai struktur dan
sistem dalam kemasyarakatannya yakni yang dalam Bahasa Batak Toba
disebut Dalihan na Tolu. Berikut penyebutan Dalihan Natolu menurut
keenam puak Batak
1. Dalihan Na Tolu (Toba) -Somba Marhula-hula-Manat Mardongan Tubu Elek Marboru
6

2. Dalian Na Tolu (Mandailing dan Angkola) - Hormat Marmora - Manat
Markahanggi - Elek Maranak Boru
3. Tolu Sahundulan (Simalungun) - Martondong Ningon Hormat, Sombah Marsanina Ningon Pakkei, Manat - Marboru Ningon Elek, Pakkei
4. Rakut Sitelu (Karo) - Nembah Man Kalimbubu - Mehamat Man
Sembuyak - Nami-nami Man Anak Beru
5. Daliken Sitelu (Pakpak) -Sembah Merkula-kula - Manat Merdengan
Tubuh - Elek Marberru
Hulahula/Mora adalah pihak keluarga dari isteri. Hula-hula ini
menempati posisi yang paling dihormati dalam pergaulan dan adat-istiadat
Batak (semua sub-suku Batak) sehingga kepada semua orang Batak
dipesankan harus hormat kepada Hulahula (Somba marhula-hula).
Dongan Tubu/Hahanggi disebut juga Dongan Sabutuha adalah saudara
laki-laki satu marga. Arti harfiahnya lahir dari perut yang sama. Mereka ini
seperti batang pohon yang saling berdekatan, saling menopang, walaupun
karena saking dekatnya kadang-kadang saling gesek. Namun, pertikaian tidak
membuat hubungan satu marga bisa terpisah. Diumpamakan seperti air yang
dibelah dengan pisau, kendati dibelah tetapi tetap bersatu. Namun kepada
semua orang Batak (berbudaya Batak) dipesankan harus bijaksana kepada
saudara semarga. Diistilahkan, manat mardongan tubu.
Boru/Anak Boru adalah pihak keluarga yang mengambil isteri dari suatu
marga (keluarga lain). Boru ini menempati posisi paling rendah sebagai
'parhobas' atau pelayan, baik dalam pergaulan sehari-hari maupun (terutama)
dalam setiap upacara adat. Namun walaupun berfungsi sebagai pelayan bukan
berarti bisa diperlakukan dengan semena-mena. Melainkan pihak boru harus
diambil hatinya, dibujuk, diistilahkan: Elek marboru.
Namun bukan berarti ada kasta dalam sistem kekerabatan Batak. Sistem
kekerabatan Dalihan na Tolu adalah bersifat kontekstual. Sesuai konteksnya,
semua masyarakat Batak pasti pernah menjadi Hulahula, juga sebagai
Dongan Tubu, juga sebagai Boru. Jadi setiap orang harus menempatkan
posisinya secara kontekstual.
Sehingga dalam tata kekerabatan, semua orang Batak harus berperilaku
'raja'. Raja dalam tata kekerabatan Batak bukan berarti orang yang berkuasa,
tetapi orang yang berperilaku baik sesuai dengan tata krama dalam sistem
7

kekerabatan Batak. Maka dalam setiap pembicaraan adat selalu disebut Raja
ni Hulahula, Raja ni Dongan Tubu dan Raja ni Boru3.
B. Sistem Perkawinan Adat Suku Batak
Pada masyarakat Batak khususnya Batak Mandailing yang kami
wawancarai sudah terbuka tidak harus menikah dengan sesama marga
ataupun sesama dengan Batak. Dalam prakteknya banyak masyarakat Batak
yang kawin dengan orang diluar marga. Batak Mandailing sendiri tidak
memiliki aturan-aturan yang sangat ketat dalam hal perkawinan. Karena
penerusan marga tetap dapat dilakukan dengan membeli marga. Tetapi
menurut responden kami ada daerah yang bernama Padang Bolak yang
mengharuskan perkawinan hanya dilakukan oleh dua marga saja yaitu marga
Harahap dan marga Siregar karena mereka hanya akan melangsungkan
perkawinan dengan marga tersebut tidak dengan marga yang lain ataupun
masyarakat diluar Batak.
Hukum perkawinan yang ada di Batak lebih didominasi oleh hukum
Islam karena sebagain besar masyarakat Batak terutama Batak Mandailing
yang mayoritas menganut agama Islam maka menggunakan hukum
perkawinan menurut agama Islam.
Bagi suku Batak, khusunya Batak Toba, sesama satu marga dilarang
saling mengawini. Jika melanggar ketetapan ini, maka si pelanggar akan
mendapatkan sanksi adat. Hal ini ditujukan untuk menghormati marga
seseorang. Juga supaya keturunan marga tersebut dapat berkembang.Ini
menunjukan bahwa mereka sangat menjunjung tinggi nilai-nilai adat dan
marga memiliki kedudukan yang tinggi.
Bagi suku Batak, perkawinan mengandung nilai sakral.Oleh karenya
kesakralan tersebut harus disertai dengan sebuah adat perkawinan.Dikatakan
sakral karena bermakna pengorbanan bagi pihak pengantin perempuan.Ia
“berkorban” memberikan satu nyawa manusia yang hidup yaitu anak
perempuan kepada orang lain pihak paranak, pihak penganten pria. Pihak pria
juga harus menghargainya dengan mengorbankan atau mempersembahkan
satu nyawa juga berupa penyembelihan seekor sapi atau kerbau. Hewan

3

"Kewarganegaraan, Suku Bangsa, Agama, dan Bahasa Sehari-hari Penduduk Indonesia 2011"
(PDF). 2011-01-01. Diakses tanggal 14 Mei 2017.

8

tersebut akan menjadi santapan atau makanan adat dalam ulaon unjuk (adat
perkawinan Batak).
Terdapat beberapa rangkaian upacara adat perkawinan bangsa Batak.
Rangkaian pertama sebagai pembuka adalah Mangariksa dan Pabangkit
Hata. Mangariksa adalah kunjungan dari pihak mempelai laki-laki kepada
pihak wanita, lalu dilanjutkan dengan proses Pabangkit Hata atau lamara.
Rangkaian kedua adalah Marhori-Hori Dinding, yaitu membicarakan lebih
lanjut mengenai rencana perkawinan serta pestanya.Ketiga adalah Patua Hata,
yakni para orang tua memberikan petuah atau nasihat sebagai bekal kepada
kedua mempelainya nanti. Proses ini merupakan proses yang amat serius.
Perkawianan adat batak memiliki aturan-aturan yang sampai saat ini
masih diataati. Masyarakat Batak menganggap bahwa perkawinan ideal
adalah perkawinan antara orang-orang rumpal (Toba: marpariban) ialah
antara seorang anak laki-laki dengan anak perempuan saudara laki-laki
ibunya. Dengan demikian, seorang pria batak sangat pantang kawin dengan
seorang wanita dari marganya sendiri dan juga anak perempuan ayah4.
Idealnya perkawinan adat batak dapat dilakukan oleh wanita batak
dengan laki-laki batak. Dalam perkembangannya, perkawinan adat batak
dapat pula dilakukan oleh wanita batak dengan laki-laki diluar batak atau
laki-laki batak dengan wanita diluar batak. Menurut hukum adat Batak,
apabila akan diselenggarakan perkawinan campuran antarsuku, adat dan
agama yang berbeda, maka dilaksanakan dengan “Marsileban” yaitu laki-laki
atau perempuan yang bukan warga adat Batak harus diangkat dan
dimasukkan terlebih dahulu sebagai warga adat batak dalam ruang lingkup
“dalihan natolu”. Jika calon suami merupakan orang luar maka ia harus
diangkat masuk ke dalam warga adat “hula-hula”, dan apabila calon isri
berasal dari luar, maka ia harus diangkat kedalam warga adat “namboru”.
Dengan solusi adat tersebut perkawinan adat tetap dalam jalur “asymmetrisch
connubium”. Apabila perkawinan tersebut terjadi antara wanita batak dengan
laki-laki diluar batak, maka laki-laki tersebut diberikan marga agar dapat
diterima oleh masyarakat adat dan dapat ikut upacara adat batak. Pemberian
marga dalam pelaksanaan perkawinan merupakan bagian yang tidak

4

Soerjono Soekanto, 2011. Hukum Adat Indonesia. Jakarta: PT. RajaGrafindo Hlm.217

9

terpisahkan dari aturan adat perkawinan itu sendiri. Penyatuan acara adat ini
dilakukan untuk menghemat biaya, tenaga, dan waktu.
Perkawinan yang telah dilangsungkan antara kedua belah pihak membawa
akibat-akibat tertentu baik terhadap pihak kerabat maupun terhadap para
pihak yang merupakan pihak kodrati. Suku batak menganut sistem
kekeluargaan

patrilineal.

Awalnya

perkawinan

didefinisikan

sebagai

pembelian seorang wanita, di mana perempuan dibebaskan dari keluarga
mereka setelah transaksi pembayarannya telah disepakati sebelumnya.
Transaksi dapat berupa pembayaran dengan barang-barang berharga, hewan
(babi, kerbau, sapi) atau sejumlah uang untuk diberikan pada pihak
perempuan. Corak utama dari perkawinan pada sistem kekeluargaan
patrilineal ini adalah disertai dengan pembayaran perkawinan (uang jujur).
Uang jujur tersebut diberikan dari pihak laki-laki kepada keluarga pihak
perempuan yang merupakan pertanda bahwa hubungan kekeluargaan si istri
dengan orang tuanya dan saudara-saudaranya bahwa masyarakatnya telah
diputuskan5.
C. Sistem Pewarisan Suku Batak
Pada masyarakat batak Mandailing yang kami wawancarai hukum
perwarisan yang ada didasarkan pada hukum Islam. Semua pembagian warisan
sama seperti masyarakat yang menganut agama Islam yaitu menggunakan
hukum Islam yang telah ada.
Akan tetapi dalam sistem kekerabatan Patrilineal anak laki-laki dianggap
sebagai pembawa keturunan ataupun penerus yang membawa marga dari orang
tuanya, sehingga anak laki-laki saja yang berhak mewaris karena anak laki-laki
dianggap sebagai generasi penerus marga/clan. Terhadap anak perempuan,
adanya hambatan dalam mewaris dari harta peninggalan orang tuanya karena
adanya perkawinan jujur yang berarti perkawinan dimana anak perempuan
dilepaskan dari marganya dan dimasukkan ke dalam marga suaminya, dengan
membayar jujur. Dengan dibayarnya jujur maka status si anak perempuan

5

Relinda Meisa & Ririn Putri, 20xx. Kedudukan Wanita Suku Batak Toba Yang Melakukan
Perkawinan Dengan Pria Suku Diluar Suku Batak Toba Dalam Hukum Adat Batak Toba. Jurnal
Hukum

10

dilepaskan dari paguyuban hidup kerabatnya (bapaknya) ke dalam marga
suaminya, sehingga anak perempuan tidak dapat menuntut hak waris
Ada beberapa alasan atau argumentasi yang melandasi sistem Hukum
Waris Adat pada masyarakat Batak Toba dengan sistem kekerabatan
Patrilineal, sehingga keturunan laki-laki saja yang berhak mewaris harta
peninggalan orangtuanya yang meninggal, sedangkan anak perempuan sama
sekali tidak mewaris. Hal ini didasarkan pada anggapan kuno yang
memandang rendah kedudukan wanita dalam masyarakat Batak. Titik tolak
anggapan tersebut adalah6
1. Emas kawin, yang membuktikan bahwa perempuan dijual.
2. Adat levirat yaitu yang membuktikan bahwa perempuan diwarisi oleh
saudara dari suaminya yang meninggal.
3. Perempuan tidak mendapat warisan.
Pada dasarnya menurut hukum adat hak dan kewajiban antara laki-laki
dan perempuan dalam perorangan adalah sama, hak dari seorang istri sama
saja dengan suaminya, isteri dapat bertindak sendiri dalam bidang hukum
tanpa bantuan ataupun pemberian kuasa dari suaminya. Artinya isteri dapat
mengikatkan sendiri dalam perbuatan hukum tanpa bantuan ataupun kuasa
suaminya7.
Namun dalam sistem kekerabatan Patrilineal masyarakat Batak Toba,
anak laki-laki dan anak perempuan memilki tanggung jawab yang berbeda
terhadap clannya. Anak laki-laki sepanjang hidupnya hanya mengenal clan
ayahnya sedangkan anak perempuan mengenal dua clan yaitu clan ayahnya
dan clan suaminya. Dengan demikian dalam rangka hubungannya dengan
kedua clan tersebut maka posisi perempuan adalah ambigu atau tidak jelas
karena meskipun berhubungan dengan keduanya tetapi tidak pernah menjadi
anggota penuh dari kedua clan tersebut8.
Di dalam masyarakat adat Batak Toba dikenal ada beberapa istilah yang
merendahkan martabat anak perempuan antara lain9 :
6

Tamakiran, S, Asas-Asas Hukum Waris Menurut Tiga Sistem Hukum (Bandung: Pionir Jaya,
1992), hal 68
7
Syafera Mairita Achmad, Tinjauan Yuridis Mengenai Hak dan Kedudukan Janda dan Anak
Perempuan di Bidang Kewarisan Menurut Hukum Adat dan Hukum Perdata, Tesis Mahasiswa
Magister keotariatan Universitas Indonesia, 2003, hal 25
8
Sulistyowati Irianto, Perempuan Diantara Berbagai Pilihan Hukum, Disertasi Antropologi
Universitas Indonesia, 2000, hal 9
9
J.C.Vergouwen, Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba, (Jakarta:PustakaAzet, 1986), hal 485

11

1. Sigoki jabu ni halak do ianggo boru (anak perempuan adalah untuk
mengisi rumah orang),
2. Mangan tuhor niboru (anak perempuan dianggap barang dagangan
yang diperjualbelikan),
3. Holan anak do sijalo teanteanan (zaman dahulu ada tuntutan untuk
mendahulukan anak laki-laki dalam melestarikan marga, sehingga
anak lakilaki berhak memiliki serta berbicara mengenai ikatan adat
secara hukum.
Jadi yang dapat dianggap sebagai ahli waris dan yang berhak atas harta
warisan berdasarkan urutan-urutan penerima warisan adalah10 :
1. Anak laki-laki dari pewaris
2. Bapak dari pewaris
3. Saudara laki-laki dari pewaris
4. Anak dari nomor 3
5. Saudara laki-laki ayah dari pewaris
6. Anak dari nomor 5
7. Bapak dari bapak pewaris
8. Saudara laki-laki dari nomor 7
9. Seseorang yang satu nenek dengan pewaris/satu marga
10. Kasta/kesain
Perjuangan untuk mendapatkan kedudukan yang sama khususnya dalam hal
pewarisan banyak dilakukan wanita, bahkan telah ada dalam berbagai putusan
hakim di berbagai tingkat pengadilan, yang telah menjadi yurisprudensi, yang
memberikan hak mewaris kepada anak perempuan Batak. Hukum adat selalu
menyesuaikan dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakat yang
senantiasa terus berubah yang dapat dilihat dari substansinya melalui sumbersumber hukum yang tersedia yang dapat tercermin dalam doktrin, perundangundangan, kebiasaan, dan perumusan dalam hukum positif dilakukan melalui
yurisprudensi. Yurisprudensi11.
10

Rehngena Purba, Perkembangan Hukum Waris Adat Pada Masyarakat Karo (Medan, 1977), hal

3
11

Soerjono Soekanto, Masalah Kedudukan Dan Peranan Hukum Adat, (Jakarta: Academica,
1979), hal 24, Yurisprudensi adalah putusan hakim yang diikuti hakim lain dalam perkara yang
serupa (azas similis similibus) kemudian putusan hakim itu menjadi sumber hukum

12

Salah satu sifat hukum adat termasuk hukum waris adat adalah dinamis
artinya selalu mengalami perubahan seiring dengan perkembangan pewarisan
pada masyarakat sebagai suatu peristiwa yang sangat penting dalam kehidupan
manusia. Istilah ini dipakai untuk menyatakan perbuatan meneruskan harta
kekayaan yang akan ditinggalkan pewaris atau perbuatan melakukan
pembagian harta warisan kepada para warisnya, jadi ketika pewaris masih
hidup, pewarisan berarti penerusan atau penunjukan dan setelah pewaris wafat
pewarisan berarti pembagian harta warisan.

BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
13

1. Dalam prekteknya nama marga tidak akan terputus jika masih memiliki
anak laki-laki yang dapat meneruskan marga tetapi jika dalam sebuah
keluarga tidak terdapat anak laki-laki maka marga tersebut akan berhenti
pada anak perempuan yang terakhir karena tidak dapat meneruskan marga.
Dalam hal ini apabila masih ingin meneruskan marga maka dapat
ditempuh dengan cara membeli marga.
2. Pada masyarakat Batak khususnya Batak Mandailing yang kami
wawancarai sudah terbuka tidak harus menikah dengan sesama marga
ataupun sesama dengan Batak. Dalam prakteknya banyak masyarakat
Batak yang kawin dengan orang diluar marga. Batak Mandailing sendiri
tidak memiliki aturan-aturan yang sangat ketat dalam hal perkawinan.
Karena penerusan marga tetap dapat dilakukan dengan membeli marga.
3. Pada masyarakat batak Mandailing yang kami wawancarai hukum
perwarisan yang ada didasarkan pada hukum Islam. Semua pembagian
warisan sama seperti masyarakat yang menganut agama Islam yaitu
menggunakan hukum Islam yang telah ada.

DAFTAR PUSTAKA
Achmad, Maireta Safira.2003.Tinjauan Yuridis Mengenai Hak dan Kedudukan
Janda dan Anak Perempuan di Bidang Kewarisan Menurut Hukum Adat dan
Hukum Perdata, Tesis Mahasiswa Magister keotariatan:Universitas Indonesia
Irianto, Sulistiyanto.2000.Pempuan Diantara Berbagai Pilihan Hukum.Disertasi
Antropologi:Universitas Indonesia
14

Jurnal Unnes “Sistem Kekerabatan Suku Batak”
J.C.Vergouwen.1986.Masyarakat

dan

Hukum

Adat

Batak

Toba.Jakarta:PustakaAzet
KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia)
"Kewarganegaraan, Suku Bangsa, Agama, dan Bahasa Sehari-hari Penduduk
Indonesia 2011" (PDF)
Putri, Ririn dan Relinda. 20xx. Kedudukan Wanita Suku Batak Toba Yang
Melakukan Perkawinan Dengan Pria Suku Diluar Suku Batak Toba Dalam
Hukum Adat Batak Toba. Jurnal Hukum
Purba, Rahenga.1977.Perkembangan Hukum Waris Adat Pada Masyarakat Karo
(Medan).
Soerjono Soekanto, 2011. Hukum Adat Indonesia. Jakarta: PT. RajaGrafindo
Soerjono Soekanto, Masalah Kedudukan Dan Peranan Hukum Adat, (Jakarta:
Academica, 1979)
Tamakiran, S, Asas-Asas Hukum Waris Menurut Tiga Sistem Hukum (Bandung:
Pionir Jaya,
1992)

Lampiran

15

Organisasi Mahasiswa Batak Mandailing di Yogyaka

r
Wawancara bersama narasumber Nur Siti Aminah Nasution

16

17

18