Kaitan Positivisme Hukum dengan Konsep M

KAITAN PAHAM POSITIVISME HUKUM DENGAN
PRINSIP MALUM PROHIBITUM DALAM PROSES
PEMBENTUKAN ATURAN HUKUM PIDANA
Oleh Refki Saputra

i negara-negara modern, hukum positif dalam bentuk peraturan
perundang-undangan dianggap yang paling legitimate untuk
mengatur tingkah laku masyarakatnya. Dalam wilayah perkotaan
dengan tuntutan hidup yang tinggi, masyarakat membutuhkan suatu nilai
yang dapat diterima sebagai acuan dalam bertingkah laku. Hal tersebut
dibutuhkan agar tidak terjadi kekacauan jika masing-masing pihak menilai
bahwa sikap merekalah yang paling benar diantara yang lain. Dalam hal ini
prinsip kepastian menjadi dominan untk menjaga keamanan dan ketertiban,
karena dengan adanya kepastian maka mereka bisa memprediksi tindakan
masing-masing.

D

Kepastian merupakan hal yang paling esensial dalam aturan yang mengatur
atau memiliki sanksi pidana. Setiap perbuatan yang dilarang serta diancam
dengan sanksi pidana bagi siapa yang melanggarnya harus terlebih dahulu

dirumuskan dalam peraturan negara, dalam hal ini undang-undang. Hal ini
dikenal dengan asas legalitas dalam hukum pidana yang berbunyi, nullum
delictum nulla poena siene previa lege poenali (tiada delik, tiada pidana, tanpa
undang-undang pidana terlebih dahulu). Hal demikian dianggap penting
karena hukum pidana merupakan domain hukum publik, dimana negara
memiliki sejumlah kewenangan untuk memaksakan hukum kepada warga
negaranya.
Dalam perspektif rule of law, adanya ketentuan hukum yang jelas dan
terbuka merupakan salah satu prinsip negara hukum atau rule of law sebagai
suatu formal legalitiy. Dalam hal ini Friedrich Hayek menyatakan pentingnya
kejelasan suatu peraturan adalah untuk allows people to know in advance
which actions will expose them to the risk of sanction by the governmental
apparatus .1 Hal ini menandakan jika terhadap perbuatan yang memiliki
sanksi pidana (tindak pidana), semuanya mengacu kepada peraturan
perundang-undangan yang berlaku dalam suatu negara.
1

Brian Z. Tamanaha, The History And Elements Of The Rule Of Law, Legal Studies Research
Paper Series, Paper No. 12-02-07, Public Lecture, Singapore Academy of Law, February 14,
2012. http://ssrn.com/abstract=2012845, h. 15


pg. 1

Namun sebenarnya, dalam konsep kriminologi, kejahatan dibedakan
kedalam dua kategori umum, yaitu Mala in se dan Mala prohobita (Malum
prohibitum). Mala in se adalah kejahatan dalam arti sosiologis (kejahatan
dalam perspektif masyarakat sekitarnya). Sebuah tingkah laku manusia
dalam pandangan Mala in se sudah dianggap tercela secara umum oleh
pandangan masyarakat, walaupun tidak ditetapkan dalam peraturan
perundang-undangan.
Sementara Malum prohibitum adalah kejahatan dalam perspektif yuridis.
Dalam pandangan ini, suatu tindakan baru dianggap sebagai suatu kejahatan
apabila sudah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Secara a
contrario, suatu perbuatan tidak dapat dikualifikasikan sebagai perbuatan
pidana jika tidak dinyatakan sebagai perbuatan pidana oleh undang-undang
pidana.
Konsep malum prohibitum mengindikasikan suatu perbuatan pidana
(strafbaar) atau dapat dipidana. Konsekuensinya adalah, perbuatan yang
tergolong criminal extra ordinaria (perbuatan pidana yang belum atau tidak
dilarang oleh undang-undang), tidak dapat dituntut, karena belum

dinyatakan sebagai malum prohibitum, walaupun perbuatan tersebut
menimbulkan kerugian yang luar biasa bagi korban dan/atau masyarakat.
Perbuatan yang tergolong crime extra ordinaria dinamakan sebagai
strafwaardig (patut dipidana), tetapi bukan termasuk strafbaar, karena tidak
dilarang oleh undang-undang pidana.2 Sebaliknya, perbuatan yang
senyatanya tidak perlu dipidana menurut masyarakat, maka dapat saja
dituntut bagi siapa saja yang melanggarnya apabila sudah dinyatakan
sebagai malum prohibitum dalam undang-undang.
Kondisi ini memiliki kesamaan konsep dan posisi dengan pandangan
positivisme hukum, yang menganggap hukum hanya sebatas apa yang
dituliskan undang-undang karena memiliki kepastian. Hal-hal yang berada
diluar undang-undang bukanlah hukum karena tidak jelas batasannya yang
lebih mengarah kepada hal-hal yang bersifat metafisis karena tidak dapat
ditangkap oleh panca indera. Tulisan ini hendak mengelaborasi kaitan antara
pandangan positivisme hukum dengan konsep malum prohibitum dalam
konteks perumusan tindak pidana.
2

Deni SB Yuherawan, Kritik Ideologis Terhadap Dasar Kefilsafatan Asas Legalitas Dalam
Hukum Pidana, Jurnal Dinamika Hukum Vol. 12 No. 2 Mei 2012, Universitas Airlangga,

Surabaya, h. 222.

pg. 2

Positivisme Hukum Beserta Asumsi Dasarnya
Paham Positivisme hukum tidaklah suatu konstruksi yang tunggal tentang
karakter dari hukum itu sendiri, melainkan berpangkal pada pengaruhpengaruh pandangan positivisme dalam ilmu pengetahuan. Pada dasarnya
positivisme adalah sebuah filsafat yang meyakini bahwa satu-satunya
pengetahuan yang benar adalah yang didasarkan pada pengalaman aktualfisikal.
Pengetahuan demikian hanya bisa dihasilkan melalui penetapan teori-teori
melalui metode scientific yang ketat, yang karenanya spekulasi metafisis
harus dihindari. Tujuannya adalah untuk menggusur sebagian besar filsafat
dan agama sebagai sesuatu yang tidak bermakna dengan menetapkan
criteria verifikasi, dan untuk menegaskan kembali serta menyelesaikan
persoalan-persoalan yang tersisa dengan menggunakan bahasa formal yang
ketat.3
Adapun ciri-ciri positivisme ilmu anatara lain sebagai beikut:4 (a)
objektif/bebas nilai; hanya melalui fakta-fakta yang teramati dan terukur,
maka pengetahuan kita tersusun dan menjadi cermin realitas
(korespondensi); (b) fenomenalisme, ilmu pengetahuan hanya berbicara

tentang realitas berupa impresi-impresi; (c) nominalisme, hanya konsep
yang mewakili realitas partikularlah yang nyata. Contoh logam dipanaskan
memuai, konsep logam dalam pernyataan ini mengatasi semua bentuk
particular logam seperti; besi, kuningan, timah, dan lain-lain; (d)
reduksionisme, realitas direduksi menjadi fakta-fakta yang dapat diamati; (e)
Naturalisme, tesis tentang keteraturan peristiwa-peristiwa di alam semesta
yang menjelaskan supranatural; (f) Mekanisme, gejala yang dapat dijelaskan
dengan prinsip-prinsip yang dapat digunakan untuk menjeaskan mesinmesin (sistem meakis). Alam semeta dijelaskan sebagai sebuah jam besar (a
giant clock work).
Sedangkan, aliran positivisme dalam hukum (positivisme hukum) muncul
dari buah pikiran seorang matematikawan dan Filusuf Prancis Aguste Comte
(1798-1857). Comte membedakan tiga tahap evolusi (Law of Three Stages)
dalam pemikiran manusia. Tahap pertama adalah tahap teologis, yang
terdapat dalam sistem tubuh manusia, di mana semua fenomena dijelaskan
dengan mengacu pada penyebab supranatural dan intervensi yang terjadi
3

4

Anton F. Susanto, 2010, Ilmu Hukum Non Sistematik : Fondasi Filsafat Pengembangan Ilmu

Hukum Indonsia , Genta Publishing, Yogyakarta, h. xiii.
Ibid., h. 66.

pg. 3

pada diri manusia. Kedua adalah tahap metafisik, di mana pikiran merupakan
jalan lahirnya prinsip-prinsip utama dan ide-ide yang dipahami dan
merupakan kekuatan penggerak yang nyata dalam evolusi manusia. Tahap
ketiga dan terakhir adalah tahap positivistik, yang menolak semua
konstruksi hipotetis dalam filsafat, sejarah, dan ilmu pengetahuan dan
membatasi diri pada pengamatan empiris dan koneksi fakta di bawah
bimbingan metode yang digunakan dalam ilmu alam. Jadi pada intinya tahap
positivistik merupakan pemikiran yang didasarkan pada ilmu alam yang
mengkaji mengenai perkembangan pemikiran manusia.5
Lili Rasjidi dan I. B. Wyasa Putera memandang prinsip-prinsip dari
positivisme hukum adalah sebagai berikut;6 (a) Tata hukum Negara berlaku
bukan karena mempunyai dasar dalam kehidupan social (menurut Comte
dan spenser), bukan juga karena bersumber pada jiwa bangsa (menurut
Savigny), dan bukan juga karena dasar-dasar hukum alam, melainkan karena
mendapatkan bentuk positifnya dari instansi yang berwenang; (b) Hukum

harus dipandang semata-mata dalam bentuk formalnya bentuk hukum
formal dipisahkan dari bentuk hukum material.
1) Positivisme Sosiologis
Menurut pandangan ini, hukum akan selalu dikaitkan dengan struktur sosial
atau pranata sosial sebagai barang sesuatu yang sungguh-sungguh ada dalam
bentuk material utuh. langkah-langkah dalam memahami hukum harus
berdasarkan pengamatan terhadap objek dengan membuat suatu hipotesis
yang merupakan anggapan yang bersifat tentative yang harus dibuktikan
secara empiris.7
Maka dengan demikian, norma-norma kritis yang ada hubungannya dengan
kesadaran akan keadilan didalam tubuh manusia tidak memiliki tempat
dalam positivisme hukum ini. Penyelidikan terhadap hukum semata-mata
sebagai suatu gejala sosial karena positivisme sosiologis tidak mengakui
adannya hukum lain selain dari norma hukum yang telah ditentukan dan
ditetapkan oleh masyarakat.8
2) Positivisme Yuridis
Dalam positivisme yuridis tidak lagi mengaitkan hukum dengan lingkungan
sosialnya seperti positivisme sosiologis yang telah diperbincangkan
5


6
7
8

Edgar Bodenheimer, 1962, Jurisprudence; The Philosophy and Method of the Law, Revised
Edition, Universal Book Traders, New Delhi, h. 91
Ibid., h. 72.
Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitiam Hukum, Kencana, Jakarta, h. 27.
Anton F. Susanto Op. cit., h. 82.

pg. 4

sebelumnya. Pandangan ini melulu berbicara kedayagunaan hukum sebagai
instrumen secara mandiri, tidak terpenaruhi oleh unsur-unsur non hukum,
karena hukum itu harus dianggap sakral dan valid.
John Austin (1790–1859) terkenal dengan pahamnya yang menyatakan
bahwa hukum merupakan perintah dari mereka yang memegang kekuasaan
tertinggi, atau dari yang memegang kedaulatan. Menurut Austin hukum
adalah yang dibebankan untuk mengatur mahluk berpikir, perintah mana
yang dilakukan oleh mahluk berpikir yang memegang dan mempunyai

kekuasaan.9
Selanjutnya menurut Austin, hukum dianggap sebagai suatu sistem yang
logis, tetap dan bersifat tertutup (closed logical system), hukum secara tegas
dipisahkan dari keadilan dan tidak didasarkan pada nilai yang baik dan
buruk.10
Konsep yang mendasar terhadap hukum yang analitik adalah yang memuat
ketentuan perintah, sanksi dan kedaulatan. Pertama, perintah menghendaki
orang lain untuk melakukan kehendaknya. Kedua, pihak yang diperintah
akan
mengalami
penderitaan
(sanksi)
bagi
yang
tidak
melaksanakannya. Ketiga, perintah tersebut adalah pembedaan kewajiban
anatara yang diperintah dengan yang memerintah. Keempat, perintah
tersebut hanya akan terlakasana jika pihak yang memrintah itu adalah pihak
yang berdaulat.11
Berbeda dengan Austin, Hans Kelsen (1881-1973) memberikan ajaran

hukum yang bersifat murni dan yang kedua tentang ajaran stufenbau des
recht yang mengutamakan adannya hierarkis dari pertauran perundangundangan.12 Inti ajaran hukum murni ini adalah hukum harus dibersihkan
dari anasir-anasir non yuridis seperti nilai etis, sosiologis, politis dan
sebagainya.
Menurut E. Sumaryono, kata murni digunakan tidak lain untuk spekulasi
filosofis, dan bertujuan membebaskan gagasan tentang norma hukum positif
dari penyelidikan dari norma hukum dengan perilaku actual manusia yang
didasarkan atas hukum sebab akibat sebagai wujud manifestasi hukum
kodrat.13 Hukum menurut pandangan hukum murni berada
9
10
11
12
13

Edgar Bodenheimer, Op.,cit., h 97.
Lili Rasjidi, 2001, Dasar-dasar Filsafat Dan Teori Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 58
Ibid., h. 59.
Ibid., h. 60
Anthon F. Susanto, Op. cit., h. 87.


pg. 5

pada sollen kategori bukan sebaliknya berada pada sein kategori (kenyataan
sosial). Jadi orang mena’ati hukum karena memang seharusnya ia wajib
untuk mena’atinya sebagai suatu kehendak negara. Persoalan apakah orang
pada kenyataannya menaati atau tidak itu berada diluar hukum yang hanya
merupakan kenyataan sosial.
Kemudian berbicara tentang konsep stufenbau theory yang digunakan dalam
ilmu perundang-undangan, menghendaki adanya suatu hierarkis (tingkatan)
dalam penyusunan produk hukum, dimana peraturan yang ada harus
bersumber pada hukum yang lebih tinggi lainnya.14 Artinya, norma hukum
baru dikatakan valid apabila diperintahkan oleh aturan lain yang lebih
tinggi.15
Kaidah hukum tertentu akan dapat dicari sumbernya pada kaidah hukum
yang lebih tinggi derajatnya. Kaidah yang merupakan puncak dari sistem
pertanggapan tadi dinamakan sebagai kaidah dasar atau Grundnorm, Kaidah
dasar tersebut tak dapat merupakan suatu kaidah hukum positif sebagai
hasil keputusan legislative, oleh karena hal itu hanya merupakan hasil analisa
cara berpikir yuridis.
Kaidah dasar tersebut menurut Kelsen, merupakan dasar dari segenap
penilaian yang bersifat yuridis yang dimungkinkan didalam suatu tertib
hukum dari negara-negara tertentu. Jadi, perumusan kaidah dasar dari suatu
negara dapat berbeda dari negara lainnya, oleh karena hal itu tergantung
dari sifat negara masing-masing. Peraturan yang paling tinggi dalam suatu
tingkatan peraturan hukum bersifat hipotesis, sedangkan ketentuan yang
lebih rendah akan bersifat konkret seperti perda.
Malum Prohibitum Dalam Pendekatan Positivisme Hukum
Dalam pandangan hukum tradisional, untuk membedakan sifat dari suatu
kejahatan, dipergunakan istilah Mala In Se dan Mala Prohibita atau
Malum Prohobitum . Kejahatan dalam artian mala in se adalah perbuatan
yang tercela secara moral (melanggar kaidah moral) dan sekaligus
melanggar hukum. Sedangkan kejahatan yang termasuk malum prohibitu
adalah perbuatan yang dinyatakan melanggar hukum oleh undang-undang.
Biasanya kejahatan ini berkaitan dengan pelanggaran suatu undang-undang

14
15

Lili Rasjidi, op. cit., h. 61
Edgar Bodenheimer, Op.,cit., h 101.

pg. 6

yang menyangkut kepentingan umum (regulatory offences atau public
welfare offences).16
Mala in se pada dasarnya tidak memerlukan otoritasi yang menyatakkan
sebagai perbuatan tercela oleh sebuah undang-undang. Ia dengan sendirinya
sudah mendefiniskan dirinya sebagai suatu kejahatan atau delik, atau dengan
kata lain perbuatan tersebut merupakan kejahatan yang natural. Sementara
malum prohibitum pada umumnya dirumsukan tanpa mensyaratkan niat
jahat (mens rea) pelakunya.
Ia tergolong suatu tindakan yang dapat berubah (not immutable), artinya
dalam ruang dan waktu tertentu yang berbeda, tindakan tersebut dapat saja
tidak lagi dianggap sebagai perbuatan jahat dan dilarang hukum yang
berlaku. Hal ini menurut Hans Kelsen jika suatu perbuatan mungkin
merupakan suatu delik di suatu komunitas masyarakat, namun tidak
demikian dalam komunitas masyarakat yang lain karena perbedaan nilai
moral yang dianut oleh masing-masing komunitas. Jeremy Bentham
membahasakannya tentang suatu kesepakatan yang ada, sebenarnya tidak
hanya berdasrkan prasangka, tetapi bervariasi menurut ruang dan waktu,
adat istiadat, dan opini.17
Sebagai ilustrasi misalnya, perbuatan dapat diajukan dalam kasus
pembunuhan dan gratifikasi (pemberian hadiah). Pembunuhan pada
masyarakat modern merupakan perbuatan yang tercela dan sangat keji.
Akan Tetapi, dibeberapa masyarakat tradisional diberbagai daerah di
Indonesia Perbuatan membunuh orang lain yang menghamili anggota
keluarganya atau kehormatannya bukan merupakan kejahatan sebagaimana
yang dimaksud pada masyarakat modern melainkan pembalasan/penegakan
aturan moral di masyarakat.
Kemudian gratifikasi (pemberian hadiah) kepada penyelenggara negara, di
Indonesia dikategorikan sebagai penyuapan. namun hal itu tidak
berlangsung di Cina. Masyarakat Cina dengan budaya khasnya menganggap
pemberian hadiah berupa Ampao, dan sebagainya kepada pejabat publik
bukan merupakan delik penyuapan melainkan sebagai saran menyarlurkan
16

Hanafi, Kebijakan Legislatif Dalam Menetapkan Sistem Pertanggungjawaban Pidana Sebagai
Upaya Penanggulangan Kejahatan, Jurnal LOGIKA, Volume 3, Nomor 4 Tahun 1999.
http://data.dppm.uii.ac.id/uploads/l0304092-103.pdf

17

Jeremy Bentham, 2010, Teori Perundang-undangan; Prinsip-prinsip Legislasi, Hukum perdata
dan Hukum Pidana , Judul Asli The Theory of Legislation diterjemahkan oleh Nurhadi, Nuansa
dan Nusamedia, Bandung, h. 82

pg. 7

kedermawanan/keikhlasan seseorang berbagi kepada orang lain. Dengan
demikian, tatanan hukum dan budaya yang berbeda-beda pada masyarakat
yang berbeda telah menggolongkan perbuatan tertentu sebagai delik atau
bukan delik yang berbeda pula.
Konsepsi malum prohibitum yang identik dengan peraturan tertulis (undangundang), tak lepas dari pengaruh perjalanan penggunaan asas legalitas
dalam hukum pidana itu sendiri. Terkait dengan hal tersebut, banyak versi
yang mendefinikan tentang asas legalitas. Namun paling tidak secara
sederhana, isi daripada asas legalitas berbicara pada 3 (tiga) hal, yakni
nullum delictum nulla poena siene previa lege poenali (tiada delik, tiada
pidana, tanpa undang-undang pidana terlebih dahulu).
Asas legalitas muncul dari kondisi sosiologis abad pencerahan yang
mengagungkan doktrin perlindungan rakyat dari perlakuan sewenangwenang dari penguasa. Dimana sebelum abad penecerahan, penguasa dapat
menghukum seseorang tanpa adanya aturan tertulis terlebih dahulu. Saat itu,
penguasalah yang dapat menentukan perbuatan mana yang dapat dihukum
atau tidak. Untuk penangkalnya, lahir asas legalitas yang merupakan
instrumen perlindungan individu saat berhadapan dengan kekuasaan.
Dengan demikian, apa yang disebut perbuatan yang dapat dihukum menjadi
otoritas peraturan, bukan kekuasaan.
Pada intinya, asas legalitas menyandarkan operasionalisasinya dalam
penegakan hukum kepada bentuk hukum tertulis. Pemilihan bentuk hukum
tertulis ini dilakukan karena didasarkan pada keyakinan bahwa hanya
dengan bentuk hukum tertulislah maka segala macam norma yang mengatur
masyarakat dapat dirujuk dan dilihat dengan jelas dan pasti sehingga
nantinya diharapkan dapat menjamin kepastian hukum.
Adanya perkembangan pemikiran bahwa segala macam norma atau aturan
yang mengatur perilaku masyarakat harus dituangkan dalam bentuk hukum
tertulis ini membawa konsekuensi munculnya apa yang dinamakan dengan
pemikiran legisme, yakni pemikiran yang menyatakan bahwa apa yang
dapat disebut sebagai hukum hanyalah undang-undang dan oleh karenanya
segala macam norma diluar undang-undang bukanlah hukum yang
merupakan filosofi utama dari aliran positivisme hukum.
Sebagaimana yang sudah disinggung sebelumnya, sebagai proponen utama
aliran positivisme hukum, Hans Kelsen yang mengemukakan pembahasan
utama dalam teori hukum murni yang membebaskan ilmu hukum itu
dipandang dari unsur ideologis. Keadilan menurutnya harus diidentikan
pg. 8

dengan legalitas. Dalam arti tempat keadilan berarti memelihara sebuah
tatanan (hukum) positif melalui aplikasi kesadaran atasnya. Teori hukum
murni mengkonsentrasikan diri pada hukum semata-mata, dan berusaha
membebaskan ilmu pengetahuan hukum dari campur tangan ilmu-ilmu
pengetahuan asing, seperti psikologi dan etika. Menurutnya hukum tidak
bisa dijadikan sebagai obyek penelitian sosial.
Akibatnya, nilai-nilai diluar hukum, seperti moral tidak bisa dijadikan tolak
ukur dalam membentuk suatu produk hukum. Jika dikaitkan dengan
pemahaman tentang jenis kejahatan yang berupa perbuatan yang dianggap
tercela oleh masyarakat secara umum atau mala in se, maka hal demikian
tidaklah mendukung prasyarat dari asas legalitas yang mengutamakan
kepastian.
Moral masyarakat tidak dapat dijadikan ukuran, apa tindakan yang dianggap
jahat dan mana yang tidak.18 Oleh karena itu, dari sudut pandang di atas,
dalam menentukan jenis perbuatan yang tergolong sebagai kejahatan,
konsepsi Mala In Se jelas tidak dapat diterima, yang ada hanyalah Malum
Prohibitum. Sebab suatu perbuatan baru dinyatakan sebagai malum atau
delik jika perbuatan itu Prohibitum atau dilarang.
Maka tepatlah kirannya Kelsen kemudian menyatakan bahwa penetuan
kejahatan berdasarkan undang-undang atau malum prohibitum merupakan
konsekuensi dari azas-azas yang diterima secara umum dalam teori hukum
pidana yaitu asas legalitas.19 Dengan demikian, suatu perbuatan dapat
dikatakan sebagai suatu delik hanya ketika telah dilekati oleh sanksi hukum
oleh peraturan tertulis atau undang-Undang, maka semua delik dapat
dikatakan sebagai mala prohibita.20 Dengan kata lain, suatu perbuatan yang
dianggap sebagai sesuatu yang jahat menurut hati nurani seseorang (mala in
se) tetaplah bukan merupakan delik, jika atasnya tidak dilekati sanksi
(hukuman/pidana).
Pada posisi ini, Kelsen pada dasarnya mengakui fakta bahwa ada tindakantindakan yang diakui oleh budaya manapun didunia yang dianggap sebagai
18

Dengan menggunakan teori positivisme Austin, maka jelas jika negaralah yang kemudian
menentukan perbuatan mana yang harus dituntut karena digolongkan sebagai kejahatan dan
mana yang bukan. Dalam negara demokratis, hal suatu perintah negara sebelumnya
dirumuskan oleh wakil-wakil dari masyarakat yang duduk di lemabaga perwakilan.

19

Hans Kelsen, 2010, Teori Umum tentang Hukum dan Negara , Judul asli General Theory of law
and State, diterjemahkanoleh Raisul Muttaqien, cetakan ke-V, Nusa Media, Bandung, h. 74.
Miftakhul Huda, Majalah Konstitusi No. 37-Februari 2010.

20

pg. 9

tindakan tercela, hanya saja ia tidak setuju jika konsep mala in se dipakai
dalam konteks hukum untuk menentukan adanya delik.21 Pandangan
positivisme Kelsen yang sangat mempengaruhi tentang konstruksi
perbedaan antara mala in se dengan malum prohibitum, yang pada akhirnya
dia menyimpulkan jika semua celaan terhadap suatu tindakan dalam konteks
yuridis adalah bersifat malum prohibitum tersebut. Dalam ajaran positivisme
hukum, membedakan hal demikian tidaklah begitu penting. Posisi ini juga
disampaikan Douglas Husak, yang menyatakan:
Bagaimana kita harus menggambarkan perbedaan antara kedua jenis kejahatan
(mala in se dan mala prohibita)? Aku tidak akan mencoba untuk menggambarkan
dan mengkritik berbagai upaya para ahli yang telah ada untuk menjawab
pertanyaan ini. Karena perbedaan antara malum in se dan malum prohibitum
begitu sulit dipahami, banyak teori tampaknya telah meninggalkan perbedaan ini
sama sekali. 22

Namun, pembedaan tersebut, pada faktanya tetap saja penting, terutama
dalam hukum pidana yang memberlakukan sistem yang tidak mendasarkan
pada peraturan perundang-undangan. Dalam sistem common law yang tidak
berbasis perundang-undangan, suatu perbuatan tindak pidana ditentukan
berdasarkan pembedaan mala in se atau mala prohibita tersebut.
Tidak hanya di negara yang menganut common law, pembedaan Mala in
se atau mala prohibita ini diperlukan dalam sistem berbasis perundangundangan dalam hubungannya dengan kebijakan kriminal (criminal policy)
yakni dalam merumuskan suatu perbuatan pidana atau bukan. Contoh
misalkan kasus yang aktual saat ini di Indonesia, apakah perkawinan siri
atau di bawah tangan lebih tepat sebagai perbuatan pidana dan dengan
sanksi pidana berkaitan dengan kebijakan kriminal yang tepat di Indonesia.

21

T. Suhaimi, 2009, Penentuan Kategori Mala In Se dan Mala In Prohobita Dalam Ketentuan
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas, Tesis, h. 140.

22

Douglas Husak, 2008, Overcriminalization : The Limits Of The Criminal Law, Oxford
University Press, New York, h. 104

pg. 10

Daftar Pustaka
Anton F. Susanto, 2010, Ilmu Hukum Non Sistematik : Fondasi Filsafat
Pengembangan Ilmu Hukum Indonsia, Genta Publishing,
Yogyakarta.
Brian Z. Tamanaha, The History And Elements Of The Rule Of Law, Legal
Studies Research Paper Series, Paper No. 12-02-07, Public
Lecture, Singapore Academy of Law, February 14, 2012.
http://ssrn.com/abstract=2012845.
Deni SB Yuherawan, Kritik Ideologis Terhadap Dasar Kefilsafatan Asas
Legalitas Dalam Hukum Pidana, Jurnal Dinamika Hukum Vol. 12
No. 2 Mei 2012, Universitas Airlangga, Surabaya.
Douglas Husak, 2008, Overcriminalization : The Limits Of The Criminal Law,
Oxford University Press, New York.
Edgar Bodenheimer, 1962, Jurisprudence; The Philosophy and Method of the
Law, Revised Edition, Universal Book Traders, New Delhi.
Hanafi, Kebijakan Legislatif Dalam Menetapkan Sistem Pertanggungjawaban
Pidana Sebagai Upaya Penanggulangan Kejahatan, Jurnal
LOGIKA,
Volume
3,
Nomor
4
Tahun
1999.
http://data.dppm.uii.ac.id/uploads/l0304092-103.pdf
Hans Kelsen, 2010, Teori Umum tentang Hukum dan Negara, Judul asli
General Theory of law and State, diterjemahkanoleh Raisul
Muttaqien, cetakan ke-V, Nusa Media, Bandung.
Jeremy Bentham, 2010, Teori Perundang-undangan; Prinsip-prinsip Legislasi,
Hukum perdata dan Hukum Pidana, Judul Asli The Theory of
Legislation diterjemahkan oleh Nurhadi,
Nuansa dan
Nusamedia, Bandung.
Lili Rasjidi, 2001, Dasar-dasar Filsafat Dan Teori Hukum, Citra Aditya Bakti,
Bandung.
Miftakhul Huda, Majalah Konstitusi No. 37-Februari 2010.
Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitiam Hukum, Kencana, Jakarta.
T. Suhaimi, 2009, Penentuan Kategori Mala In Se dan Mala In Prohobita
Dalam Ketentuan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007
Tentang Perseroan Terbatas, Tesis, Sekolah Pasca Sarjana
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan.

pg. 11