Kemiskinan di Indonesia dan upaya pengen

PERAN PEMERINTAH DALAM UPAYA PENEGENTASAN
KEMISKINAN DI INDONESIA
Diajukan sebagai Ujian Akhir Semester
Matakuliah Ilmu Sosial Budaya Dasar
Kelas SBD.02

Oleh :
Nurlita
NIM

: 130810201221

UNIVERSITAS JEMBER
Mei, 2014

1

KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum wr. Wb.
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa yang
telah memberikan rahmat serta hidayah-Nya sehingga penyusunan makalah ini

dapat diselesaikan sesuai waktu yang telah ditetapkan.
Makalah ini saya susun sebagai tugas dari mata kuliah Ilmu Sosial Budaya Dasar
dengan judul “Peran Pemerintah Dalam Upaya Pengentasan Kemiskinan Di
Indonesia ”.
Dalam makalah ini, saya akan membahas tentang kemiskinan dan karakteristikkarakteristiknya serta penyebab timbulnya kemiskinan serta upaya pemerintah
dalam usaha pengentasan kemiskinan tersebut.
Akhir kata, saya mengucapakan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada pihakpihak yang turut membantu dalam penyusunan makalah ini.
Wassalamu’alaikum wr.wb.

Jember, 10 Mei 2014

Nurlita

2

DAFTAR ISI
Halaman Judul………………………………………………………………… i
Kata pengantar………………………………………………………………... ii
Identitas pribadi………………………………………………………………. iii
Daftar Isi……………………………………………………………………… iv

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang masalah……………………………………….…. 1
1.2 Rumusan masalah……………………………………………….…2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian kemiskinan…………..……………………………….. 3
2.2 Penyebab kemiskinan…………………………………………..….4
2.3 Kriteria kemiskinan……………………………………………….5
2.4 Ukuran kemiskinan……………………………………………….6
BAB III PEMBAHASAN
3.1 Potret kemiskinan di Indonesia…….…………………………......10
3.2 Karakteristik kemiskinan di Indonesia……………………….…..12
3.3 Dampak kemiskinan………………………………………………16
3.4 Peran pemerintah dalam usaha pengentasan kemiskinan ……..….17
BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan………………………………….…………………...24
4.2 Saran…………………………………………………………..…24
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………… 25

3


BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sebagaimana diketahui, kehidupan yang menjadi dambaan masyarakat adalah
kondisi sejahtera. Dengan demikian, kondisi yang menunjukkan taraf hidup yang
rendah merupakan sasaran utama usaha perbaikan dalam rangka perwujudan
kondisi yang sejahtera tersebut. Kondisi kemiskinan dengan berbagai dimensi dan
implikasinya, merupakan salah satu bentuk masalah sosial yang menggambarkan
kondisi kesejahteraan yang rendah. Oleh sebab itu wajar apabila kemiskinan dapat
menjadi inspirasi bagi tindakan perubahan untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat.
Untuk dapat melakukan serangkaian aktivitas perubahan dan perbaikan di dalam
masyarakat yang mengalami masalah sosial tersebut perlu dipahami berbagai hal
yang berkaitan dengan seluk beluk permasalahannya. Bagi masalah kemiskinan
yang akan ditampilkan sebagai contoh kasus, semestinya perlu dipahami paling
tidak kondisi, intensitas dan komplikasi yang terjadi disamping tentu saja faktorfaktor yang melatarbelakangi masalah tersebut.
Tidak ada satupun Negara di dunia ini yang kebal dengan masalah kemiskinan.
Bukan hanya Negara-negara berkembang saja yang menghadapi masalah sosial
tersebut, Negara-negara maju seperti Amerika serikat, Inggris dan lain-lainnya
juga menghadapi masalah yang serupa. Dan mereka mengakui bahwa masalah

kemiskinan itu memang sulit untuk dicabut sampai ke akar-akarnya. Untuk itu
diperlukan upaya yang lebih serius dalam menangani permasalahan tersebut dari
semua kalangan.
Menurut laporan Badan Pusat Statistik (BPS) pada bulan September 2013 angka
kemiskinan di Indonesia mencapai 28,55 juta jiwa yaitu sekitar 11,47 persen. Angka ini
menunjukkan betapa kemiskinan masih menjadi suatu tantangan terbesar bagi Indonesia
dan secepatnya harus diadakan upaya yang lebih serius lagi untuk menanggulangi
masalah kemiskinan tersebut.
4

1.2 Rumusan masalah
1.
2.
3.
4.

Bagaimana potret kemiskinan di Indonesia?
Apa saja karakteristik kemiskinan di Indonesia?
Apa saja dampak dari masalah kemiskinan tersebut?
Bagaimana peran pemerintah dalam menangani masalah kemiskinan di

Indonesia dan apa saja program-program kerjanya?

BAB II

5

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian kemiskinan
Kemiskinan pada hakikatnya menunjuk pada situasi kesengsaraan dan
ketidakberdayaan yang dialami seseorang, baik akibat ketidakmampuan
memenuhi kebutuhan hidup, maupun akibat ketidakmampuan Negara atau
masyarakat memberikan perlindungan sosial kepada warganya.
Dalam The End of Poverty (2005), Jeffrey D, Sach mengklasifikasikan kaum
miskin kedalam tiga bagian. Pertama, mereka yang hidup dalam extreme poverty,
yang satuan rumah tangganya tidak dapat memenuhi kebutuhan dasar, kelaparan,
tidak mempunyai akses atas layanan kesehatan, tidak mendapt air bersih dan
sanitasi, tidak dapat mengusahakan pendidikan bagi anak-anaknya, tidak
mempunyai fasilitas tempat tinggal yang sederhana dan tidak mempunyai
kelengkapan harian. Situasi ini banyak terjadi di Negara berkembang.
Kedua, moderate poverty, mereka yang dapat memenuhi kebutuhan dasarnya

(seperti dijelaskan pada bagian pertama), tetapi sangat minim dan tidak selalu
mampu. Ketiga, relative poverty, mereka yang dapat memenuhi kebutuhan
dasarnya, tetapi berada dibawah rata-rata cara hidup di Negara yang bersangkutan.
Kemiskinan dapat juga dibedakan menjadi tiga pengertian, yaitu kemiskinan
absolut, relatif, dan kultural. Seseorang termasuk golongan miskin absolut apabila
pendapatannya berada dibawah garis kemiskinan. Mereka tidak mampu
memenuhi kebutuhan hidup minimum, seperti pangan, sandang, kesehatan, papan
dan pendidikan.
Seseorang tergolong miskin relatif sebenarnya telah hidup di atas garis
kemiskinan, tetapi masih berada di bawah kemampuan masyarakat sekitarnya.
Kemiskinan kultural berkaitan erat dengan sikap seseorang atau sekelompok
masyarakat yang tidak mau berusaha memperbaiki tingkatan kehidupan sekalipun
ada usaha dari pihak lain yang membantunya.

6

2.2 Penyebab kemiskinan
1. Penyebab individual, atau patologis, yang melihat kemiskinan sebagai
akibat dari perilaku, pilihan, atau kemampuan dari si miskin.
2. Penyebab keluarga, yang menghubungkan kemiskinan dengan pendidikan

keluarga.
3. Penyebab sub-budaya (subcultural), yang menghubungkan kemiskinan
dengan kehidupan sehari-hari, dipelajari atau dijalankan dalam lingkungan
sekitar.
4. Penyebab agensi, yang melihat kemiskinan sebagai akibat dari aksi orang
lain, termasuk perang, pemerintah, dan ekonomi.
5. Penyebab struktural, yang memberikan alasan bahwa kemiskinan
merupakan hasil dari struktur sosial.
Dengan menggunakan persepektif yang lebih luas lagi, David Cox (2004:1-6)
membagi kemiskinan kedalam beberapa dimensi (lihat Suharto, 2008b):
1. Kemiskinan yang diakibatkan globalisasi. Globalisasi melahirkan Negara
pemenang dan Negara kalah. Pemenang umumnya adalah Negara-negara
maju.

Sedangkan

Negara-negara

berkembang


seringkali

semakin

terpinggirkan oleh persaingan dan pasar bebas yang merupakan prasyarat
globalisasi.
2. Kemiskinan yang berkaitan dengan pembangunan. Kemiskinan subsisten
(kemiskinan akibat rendahnya pembangunan), kemiskinan perdesaan
(kemiskinan akibat peminggiran perdesaan dalam proses pembangunan),
kemiskinan perkotaan (kemiskinan yang disebabkan oleh hakekat dan
kecepatan pertumbuhan perkotaan).
3. Kemiskinan sosial. Kemiskinan yang dialami oleh perempuan, anak-anak
dan kelompok minoritas akibat kondisi sosial yang tidak menguntungkan
mereka, seperti bias jender, diskriminasi atau eksploitasi ekonomi.
Kemiskinan konskuensial. Kemiskinan yang terjadi akibat kejadian-kejadian lain
atau faktor-faktor eksternal diluar si miskin, seperti konflik, bencana alam,
kerusakan lingkungan dan tingginya jumlah penduduk.
2.3 Kriteria kemiskinan

7


Berdasarkan studi SMERU, Suharto (2006:132) menunjukkan Sembilan kriteria
yang menandai kemiskinan :
1. Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar (pangan,
sandang, papan;
2. Ketidakmampuan untuk berusaha karena cacat fisik maupun mental;
3. Ketidakmampuan dan ketidakberuntungan sosial (anak terlantar, wanita
korban tindak kekerasan rumah tangga, janda miskin, kelompok marjinal
dan terpencil);
4. Rendahnya kualitas sumberdaya manusia (buta huruf, rendahnya
pendidikan dan keterampilan, sakit-sakitan) dan keterbatasan sumberdaya
alam (tanah tidak subur, lokasi terpencil, ketiadaan infrastruktur jalan,
listrik, air);
5. Kerentanan terhadap goncangan yang bersifat individual (rendahnya
pendapatan dan asset), maupun missal (rendahnya modal sosial, ketiadaan
fasilitas umum);
6. Ketiadaan akses terhadap lapangan kerja dan mata pencaharian yang
memadai dan berkesinambungan;
7. Ketiadaan akses terhadap kebutuhan hidup dasar lainnya (kesehatan,
pendidikan, sanitasi air bersih dan transportasi);

8. Ketiadaan jaminan masa depan (karena tiadanya investasi untuk
pendidikan dan keluarga atau tidak adanya perlindungan sosial dari
Negara dan masyarakat);
9. Ketidakterlibatan dalam kegiatan sosial masyarakat.
Tinggi rendahnya tingkat kemiskinan di suatu negara tergantung pada 2 (dua)
faktor utama yaitu
(1) Tingkat pendapatan nasional rata-rata dan
(2) Lebar sempitnya kesenjangan dalam distribusi pendapatan. Setinggi apapun
tingkat pendapatan nasional perkapita yang dicapai oleh suatu negara, selama
distribusi pendapatan yang tidak merata maka tingkat kemiskinan di negara
tersebut pasti akan tetap parah (Daulay, 2009).
2.4 Ukuran kemiskinan
1. Kemiskinan Agregat

8

Kemiskinan agregat menunjukkan proporsi dan jumlah penduduk miskin yang
hidup dibawah garis kemiskinan. Angka kemiskinan agregat atau yang sering
disebut angka kemiskinan makro digunakan untuk mengukur kemajuan
pembangunan suatu bangsa.

Perhitungan kemiskinan yang digunakan adalah pendekatan kemampuan untuk
memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Dengan pendekatan ini,
kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk
memenuhi

kebutuhan

dasar

makanan

dan

bukan

makanan.

Dalam

implementasinya dihitunglah garis kemiskinan berdasarkan kebutuhan makanan
dan bukan makanan. Penduduk yang memiliki rata-rata penegeluaran/pendapatan
per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan disebut penduduk miskin
Angka jumlah penduduk miskin seperti yang dijelaskan di atas, disebut juga
sebagai Poverty Headcount Index atau P0. Jumlah penduduk yang memiliki
tingkat konsumsi di bawah garis kemiskinan ini sering disebut juga sebagai
Poverty Incidence. Mengapa digunakan konsumsi dalam menghitung jumlah
penduduk miskin? Setidaknya ada 3 (tiga) alasan utama : pertama, dalam
pelaksanaan survey, terutama bagi masyarakat miskin yang mempunyai
pendapatan tidak tetap, lebih mudah menanyakan jenis barang (termasuk
makanan) dan jasa yang telah dikonsumsi atau dibelanjakannya. Kedua, dengan
diketahuinya jenis makanan yang dikonsumsi maka akan menjadi jauh lebih
mudah untuk mengkonversinya menjadi tingkat kalori yang dikonsumsi.
Informasi mengenai tingkat kalori yang dikonsumsi menjadi penting karena
tingkat kemiskinan dihubungkan dengan seberapa besar kalori yang dikonsumsi.
Untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan ditetapkan 2100 kilo kalori per orang
per hari sebagai batas kemiskinan. Ketiga, dalam kenyataannya, terutama bagi
penduduk miskin yang tidak mempunyai tabungan, dalam jangka menengah
tingkat pendapatan akan sama sengan tingkat konsumsi (belanja).
2. Rumah Tangga Sasaran

9

Data kemiskinan agregat hanya menggambarkan persentase dan jumlah penduduk
miskin. Walaupun sangat berguna untuk mengetahui kemajuan pembangunan
suatu bangsa, namun tidak dapat digunakan sebagai penetapan sasaran program
penanggulangan kemiskinan. Program penanggulangan kemiskinan seperti
Program Keluarga Harapan (PKH), Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas),
dan Program Bantuan Pendidikan membutuhkan informasi tentang siapa dan
dimana penduduk miskin itu berada (by name and by address).
Penyaluran program penanggulangan kemiskinan memerlukan nama dan alamat
rumah tangga sasaran. Data rumah tangga sasaran (RTS) ini sering disebut data
kemiskinan mikro. Pengumpulan datanya harus dilakukan secara sensus.
Pengumpulan data rumah tangga sasaran didasarkan pada ciri-ciri rumah tangga
miskin yang diperoleh dari survei kemiskinan agregat.
Table 1. Ciri-ciri Rumah Tangga Sasaran (RTS)
N
o
1
2
3
4
5
6
7
8
9

Variabel

Kriteria

Luas lantai per anggota rumah tangga/ keluarga
Jenis lantai rumah
Jenis dinding rumah
Fasilitas tempat buang air besar (jamban)
Sumber air minum
Penerangan yang digunakan
Bahan bakar yang digunkan
Frekuensi makan dalam sehari
Kemampuan membeli daging/ayam/susu dalam seminggu

< 8 m2
Tanah/papan/kualitas rendah
Bambu, papan kualitas rendah
Tidak punya
Bukan air bersih
Bukan listrik
Kayu/arang
Kurang dari 2 kali sehari
Tidak

10
11
12

Kemampuan membeli pakaian baru bagi setiap ART
Kemampuan berobat ke puskesmas/poliklinik
Lapangan pekerjaan kepala rumah tangga

13
14

Pendidikan kepala rumah tangga
Kepemilikan asset/barang berharga minimal Rp.500.000

Tidak
Tidak
Petani
gurem,
pekebun
Tidak ada

nelayan,

Sumber : BPS, 2010
3. Ukuran kemiskinan lain
Ukuran kemiskinan lain yang sering digunakan adalah Poverty Gap Index atau P1.
Indeks ini menggambarkan selisih (dalam persen terhadap garis kemiskinan) ratarata antara pengeluaran penduduk miskin dengan garis kemiskinan. Jumlah
seluruh populasi digunakan untuk menghitung rata-rata dengan menganggap

10

selisih sama dengan 0 (nol) bagi penduduk yang berada di atas garis kemiskinan.
Indeks ini menggambarkan kedalaman kemiskinan (the depth of poverty).
Ukuran kemiskinan lain adalah Poverty Severity Index atau P2. Indeks keparahan
kemiskinan ini adalah jumlah dari kuadrat selisih (dalam persen terhadap garis
kemiskinan) rata-rata antara pengeluaran penduduk miskin dengan garis
kemiskinan. Jumlah seluruh populasi digunakan untuk menghitung rata-rata
dengan mengganggap selisih sama dengan 0 (nol) bagi penduduk yang berada di
atas kemiskinan. Dengan melakukan pengkuadratan, indeks ini memberi bobot
yang lebih besar bagi penduduk miskin yang memiliki pengeluaran jauh di bawah
garis kemiskinan.
Ukuran kemiskinan lain yang sering digunakan adalah menggunakan batas
kemiskinan 1 (satu) US$ dan 2 (dua) US$ per kapita per hari. Batas kemiskinan
menggunakan US$ ini sering disalah artikan dengan menggunakan nili tukar
rupiah biasa (exchange rate) untuk mendapatkan garis kemiskinan. Sehingga
kalau nilai tukar adalah Rp.8.500 per satu dolar maka garis kemiskinan 1 (satu)
US$ per kapita per hari menjadi Rp.255.000 per kapita per bulan. Bila
perhitungan ini benar maka angka kemiskinan menjadi lebih tinggi dari garis
kemiskinan nasional yang sebesar Rp.233.740 per kapita per bulan, kenyataanya
tidak begitu. Nilai tukar yang digunakan dalam perhitungan garis kemiskinan 1
(satu) US$ dan 2 (dua) US$ adalah nilai tukar dolar PPP (Purchasing Power
Parity). Nilai tukar PPP menunjukkan daya beli mata uang suatu Negara dalam
hal ini US$, untuk membeli barang atau jasa yang “sama” di Negara lain. Ilustrasi
sederhana adalah sebagai berikut , bila seseorang membeli beras seharga Rp.5000
per liter, sementara di Amerika satu liter beras dengan kualitas yang sama
harganya adalah 1 (satu) US$ dengan nilai tukar biasa artinya Rp.8500, dengan
pengertian nilai tukar PPP, maka orang Indonesia yang membeli beras tadi
dianggap membelanjakan 1 (satu) US$, walaupun pada kenyataan dia hanya
mengeluarkan Rp.5000. Dalam realitanya tidak sesederhana ilustrasi di atas,
barang dan jasa yang tersedia tidak hanya beras melainkan ratusan barang dan jasa
lainnya.

11

BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Fenomena kemiskinan di Indonesia
Setelah indonesia dilanda krisis multidimensional yang memuncak pada periode
1997-1999 dan setelah dalam kurun waktu 1976-1996 tingkat kemiskinan
menurun secara spektakuler dari 40,1% menjadi 11,3%, jumlah orang miskin
meningkat kembali dengan tajam, terutama selama krisis ekonomi. Studi yang
dilakukan BPS, UNDP dan UNSFIR menunjukkan bahwa jumlah penduduk

12

miskin pada periode 1996-1998, meningkat dengan tajam dari 22,5 juta jiwa
(11,3%) menjadi 49,5 juta jiwa (24,2%) atau bertambah sebanyak 27,0 juta jiwa
(BPS,1999).

Sementara

itu,

International

Labour

Organization

(ILO)

memperkirakan jumlah orang miskin di Indonesia pada akhir tahun 1999
mencapai 129,6 juta jiwa atau sekitar 66,3% dari seluruh jumlah penduduk (BPS,
1999).
Data dari BPS (1999) juga memperlihatkan bahwa selama periode 1996-1998
telah terjadi peningkatan jumlah penduduk miskin hampir sama di wilayah
pedesaan dan perkotaan. Di wilayah pedesaan angka kemiskinan meningkat
menjadi 67,72%, sementara di perkotaan meningkat menjadi 61,1%. Secara
agregat, persentase peningkatan penduduk miskin terhadap total populasi memang
lebih besar di wilayah pedesaan (7,78%) dibandingkan dengan perkotaan (4,72%).
Akan tetapi, selama dua tahun terakhir ini secara absolut jumlah orang miskin
meningkat sekitar 140% atau 10,4 juta jiwa di wilayah perkotaan, sedangkan di
pedesaan sekitar 105% atau 16,6 juta jiwa (lihat Remi dan Tjiptoherijanto, 2002).
Data di atas mengindikasikan bahwa krisis telah membuat penderitaan penduduk
perkotaan lebih parah daripada penduduk pedesaan. Menurut Thorbecke (1999),
setidaknya ada dua penjelasan atas hal ini. Pertama, krisis cenderung memberi
pengaruh lebih buruk pada beberapa sektor ekonomi utama di perkotaan, seperti
perdagangan, perbankan dan konstruksi. Sektor-sektor ini membawa dampak
negatif dan memperparah pengangguran di perkotaan. Kedua, pertambahan harga
bahan makanan kurang berpengaruh terhadap penduduk pedesaan karena mereka
masih dapat memenuhi kebutuhan dasarnya melalui sistem produksi subsistem
yang dihasilkan dan dikonsumsi sendiri. Hal ini tidak terjadi pada masyarakat
perkotaan yang sistem produksi subsistemnya khususnya yang terkait dengan
pemenuhan kebutuhan makanan tidak terlalu dominan pada masyarakat perkotaan.
Angka kemiskinan ini jauh lebih besar jika dalam kategori kemiskinan
dimasukkan penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) yang kini
jumlahnya mencapai lebih dari 21 juta jiwa. PMKS meliputi gelandangan,

13

pengemis, anak jalanan, yatim piatu, jompo terlantar, dan penyandang cacat yang
tidak memiliki pekerjaan atau memiliki pekerjaan tetapi tidak cukup untuk
memenuhi

kebutuhan

hidupnya.

Secara

umum

kondisi

PMKS

lebih

memprihatinkan daripada orang miskin. Selain memiliki kekurangan pangan,
sandang dan papan, kelompok rentan (vulnerable group) ini mengalami
ketelantaran psikologis, sosial dan politik terutama menghinggapi para pemuda di
negeri ini.
Selain kelompok di atas, krisis ekonomi yang terjadi meningkatkan jumlah orang
yang

bekerja

di

sektor

informal.

Merosotnya

pertumbuhan

ekonomi,

dilikuidasinya sejumlah kantor swasta dan pemerintah, serta dirampingkannya
struktur industri formal yang lebih fleksibel. Studi ILO (1998) memperkirakan
bahwa selama periode krisis antara tahun 1997 dan 1998, pemutusan hubungan
kerja terhdap 5,4 juta pekerja pada sektor industri modern menurunkan jumlah
pekerja formal (terutama para pemuda) dari 35% menjadi 30%.
Menurut Tambunan (2000), sedikitnya setengahnya dari penganggur baru tersebut
diserap oleh sektor informal serta industri kecil dan rumah tangga lainnya. Pada
sektor informal perkotaan khususnya pedagang kaki lima mengalami peningkatan
yang sangat dramatis. Misalnya di Jakarta dan Bandung pada periode akhir tahun
1996-1999 pertumbuhan pedagang kaki lima mencapai 300% (Kompas, 1998).
Dilihat dari jumlah dan potensinya, pekerja sektor informal ini sangat besar.
Namun demikian, seperti halnya dua kelompok masyarakat di atas, kondisi sosial
ekonomi pekerja sektor informal masih berada dalam keadaan miskin dan rentan.
Departmen Sosial tidak pernah absen dalam mengkaji masalah kemiskinan ini,
termasuk

melaksanakan

PROKESOS

yang

Program-Program

dilaksanakan,

baik

Kesejahteraan
secara

Sosial

intradepartmen

dikenal
maupun

antardepartmen bekerja sama dengan department-departmen lain secara lintas
sektoral. Dalm garis besar pendekatan Depsos dalam menelaah dan menangani
kemsikinan sangat dipengaruhi oleh persefektif pekerjaan sosial (social work).
Pekerjaan sosial dimaksud, bukanlah kegiatan-kegiatan sukarela atau pekerjaan –

14

pekerjaan amal begitu saja, melainkan profesi pertolongan kemanusiaan yang
memiliki dasar-dasar keilmuan (body knowledge), nilai-nilai (body value), dan
keterampilan (body of skills) professional yang umumnya diperoleh melalui
pendidikan tinggi pekerjaan sosial (S1, S2, dan S3).
3.2 Karakteristik kemiskinan di Indonesia
Kemiskinan adalah persoalan yang dihadapi oleh seluruh Negara di dunia akan
tetapi karakteristik kemiskinan pada masing-masing Negara berbeda. Menurut
Kemal A. Stamboel, sedikitnya terdapat tujuh karakteristik kemiskinan di
Indonesia, yaitu :
1. Mayoritas rumah tangga miskin menggantungkan hidupnya di sektor
pertanian.
Secara sektoral, jumlah penduduk miskin Indonesia terkonsentrasi di sektor
pertanian. Menurut data BPS (2010), sekitar 63% rumah tangga miskin
yang bekerja di sektor pertanian merupakan buruh tani, sekitar 6% bekerja
di sektor industri, sekitar 10% belum atau tidak memiliki pekerjaan dan
sisanya 21% bekerja di sektor-sektor lainnya. Besarnya ketergantungan
masyarakat miskin terhadap sektor pertanian menjadikan sektor ini penting
untuk mendapatkan prioritas dalam upaya pengentasan kemiskinan.
Meski demikian, kita melihat pertumbuhan sektor pertanian terus menurun
dari tahun ke tahun yang secara tidak langsung menunjukkan produktivitas
yang sangat rendah. Produktivitas yang rendah ini menyebabkan nilai
pendapatan per kapita sektor pertanian paling rendah jika dibandingkan
sektor lainnnya. Rendahnya produktivitas ini disebabkan oleh banyak hal.
Salah satu penyebab utamanya adalah rendahnya kepemilikan dan
penguasaan lahan petani.
2. Mayoritas rumah tangga miskin adalah petani gurem/subsisten
Jumlah petani meningkat sekitar 5 juta dalam kurun waktu 1993-2003 dari
20,87 juta menjadi 25,4 juta atau dengan kata lain meningkat rata-rata
2,2% per tahun. Namun peningkatan ini juga diikuti dengan peningkatan
jumlah petani gurem/subsisten yang pada tahun 1993 hanya berjumlah
10,8 juta jiwa menjadi 13,7 juta jiwa pada tahun 2003 atau meningkat

15

sekitar 2,6% per tahunnya. Dengan demikian persentase rata-rata
peningkatan jumlah petani gurem lebih tinggi 0,3% dari peningkatan ratarata jumlah rumah tangga petani.
Kondisi gurem/subsisten ini meyebabkan petani di Indonesia memiliki
produktivitas yang rendah. Produktivitas pertanian yang mereka lakukan
hanya mampu untuk memenuhi kebutuhan makan namun belum mampu
untuk

mendapatkan

keuntungan

sehingga

memperoleh

tambahan

pendapatan yang mencukupi untuk memenuhi kebutuhan non-makanan.
3. Disparitas tingkat kemiskinan yang tinggi antara kota dan desa
Secara kuantitas, jumlah penduduk miskin yang tinggal di perdesaan jauh
lebih tinggi dibandingkan dengan yang tinggal di perkotaan dengan ratarata hamper mencapai dua kali lipat. Dengan kata lain, setiap satu
penduduk miskin yang ada di kota, terdapat sekitar 2 penduduk miskin
yang berda di desa. Lebih dalam lagi bila kita perhatikan, keberdaan
penduduk miskin di kota tak lain merupakan akibat dari proses urbanisasi
yang cukup masif dari penduduk miskin desa yang pindah ke kota untuk
mencari pekerjaan.
Urbanisasi menyebabkan terjadinya perpindahan tenaga kerja dari
penduduk miskin perdesaan yang memiliki keterbatasan pendidikan,
keterampilan, dan keahlian beralih ke kota. Proses perpindahan ini secara
tidak langsung menjadi sebuah proses pemindahan penduduk miskin yang
awalnya tinggal di perdesaan menjadi tinggal di daerah perkotaan. Dengan
kata lain, meskipun terdapat penduduk miskin di kota, sumber kemiskinan
tetap muncul dari wilayah perdesaan.
4. Disparitas tingkat kemiskinan yang sangat tinggi antar provinsi
Secara geospasial, Indonesia memiliki angka sebaran kemiskinan yang
tidak merata antar provinsi dan terdapat kesenjangan yang sangat besar
antar satu provinsi dengan provinsi yang lain. Ada provinsi yang tingkat
kemiskinannya cukup rendah namun di daerah lain sangat tinggi, bahkan
perbedaannya bisa mencapai 1 banding 12. Ambil contoh Jakarta dan
Papua, dimana tingkat kemiskinan Jakarta hanya sekitar 3,84%, sedangkan
di Papua bisa mencapai angka 36,8%. Ini adalah sebuah potret disparitas
yang sangat ekstrem. Jika kita lihat lebih mendalam potret kegiatan

16

ekonominya, maka provinsi-provinsi yang kegiatan ekonominya banyak
bergerak di sektor pertanian cenderung memiliki tingkat yang jauh lebih
tinggi dibandinkan provinsi-provinsi yang mengandalakan

sektor

perindustrian atau jasa.
5. Dominasi belanja belanja makanan terhadap garis kemiskinan
Pendekatan perhitungan kemiskinan di Indonesia yang menggunakan
pengeluaran minimum kebutuhan dasar makanan dan non-makanan
menyebabkan tingkat kemiskinan di Indonesia sangat elastis terhadap
perubahan harga kedua jenis komoditas tersebut. Dari dua jenis komoditas,
makanan dan non-makanan terhitung bahwa mayoritas pengeluaran
masyarakat miskin

yaitu 74% digunakan untuk pembelian komoditas

makanan sedangkan komoditas non-makanan hanya menyumbang sekitar
26%. Dari total pengeluaran makanan tersebut, beras adalah penyumbang
terbesar dengan proporsi sebesar 25,2% untuk rumah tangga miskin yang
tinggal di perkotaan dan sekitar 34,11% untuk rumah tinggi miskin di
perdesaan.
Selanjutnya, fenomena yang cukup menarik adalah pengeluaran rumah
tangga miskin terhadap rokok ternyata cukup tinggi yakni sekitar 7,93%
untuk rumah tangga miskin di perkotaan dan sekitar 5,9% untuk rumah
tinggi miskin perdesaan. Pengeluaran untuk konsumsi rokok ini
menduduki peringkat kedua terbesar setelah beras untuk jenis komoditas
makanan. Lebih miris lagi, pengeluaran

rumah tangga miskin untuk

konsumsi rokok lebih besar daripada penegeluaran untuk biaya pendidikan
anak-anak mereka.
6. Berkumpul di sekitar garis kemiskinan.
Menurut data BPS, per Maret 2011 jumlah penduduk miskin tercatat
sebesar 30,02 juta jiwa atau 12,49% dari total seluruh penduduk Indonesia,
jika dibandingkan dengan data per Maret 2010, dimana penduduk miskin
berjumlah 31,02 juta jiwa atau 13,33% maka terjadi penurun 1 juta jiwa
dalam setahun terakhir. Namun penurunan tersebut melambat jika
dibandingka dengan pencapaian tahun sebelumnya yang berhasil
mengentaskan kemiskinan hingga 1,5 juta jiwa sementara pertumbuhan
ekonomi nasional tahun 2011 meningkat drastis mencapai 6,5% dari tahun

17

2010 yang hanya 6,1%. Dengan kata lain, laju pengurangan kemiskinan
tidak sebanding dengan laju pertumbuhan ekonomi.
Angka ini pun belum menambahkan jumlah penduduk yang sedikit di atas
garis kemiskinan atau near poor. Tahun sebelumnya jumlah near poor
mencapai 29,38 juta jiwa yang didapat dengan melihat jumlah populasi
yang hidup dikisaran 1,2 kali dari garis kemiskinan. Dengan demikian,
jika rata-rata garis kemiskinan pada Maret 2011 adalah Rp.233.740,pengeluaran per kapita per bulan atau Rp.7.791,- per kapita per hari (BPS,
2011), maka ukuran untuk near poor adalah penduduk yang pengeluaran
per kapita per bulannya di bawah Rp.280.488 atau Rp,9,350,- per kapita
per hari. Dengan ukuran tersebut berarti jumlah penduduk yang
pengeluaran di bawah Rp.10.000,- per hari masih sekitar 60 juta jiwa yang
terdiri dari 30,02 juta jiwa di kategorikan miskin dan 29,38 juta jiwa yang
dikategorikan hampir miskin.
7. Kemiskinan bersifat multidimensi.
Jika kita kembali membaca data Susenas 2009 BPS, hati kita akan semakin
gelisah karena kemiskinan multidimensi masih merupakan fenomena
umum yang terjadi di masyarakat kita dari sisi kesehatan, jumlah kematian
balita per 1.000 kelahiran mencapai 60,1% di daerah perdesaan dan 37,8%
di perkotaan. Persentase penduduk yang tinggal di rumah yang tidak layak
tinggal , kurang akses sanitasi, dan tidak memiliki MCK yang baik
mencapai angka 50,42% untuk daerah perdesaan dan 15,05% untuk
perkotaan.
Dari segi pendidikan, masyarakat Indonesia masih mengalami nasib yang
mengenaskan. Angka persentase penduduk yang hidup dalam rumah tangga
dengan kepala keluarga yang tidak menyelesaikan pendidikan dasar Sembilan
tahun mencapai angka 83,65% untuk perdesaan dan 50,47% untuk perkotaan.
Yang paling memprihatikan adalah rendahnya tingkat pendidikan generasi muda
yang bisa dilihat dari persentase penduduk yang berusia 18-24 tahun yang tidak
menyelesaikan pendidikan dasar Sembilan tahun berjumlah 40,70% untuk daerah
perdesaan dan 15,97% untuk perkotaan.
3.3 Dampak kemiskinan
18

Dampak dari kemiskinan terhadap masyarakat umumnya begitu banyak dan
kompleks, diantaranya :
1. Pengangguran.
Dengan banyaknya pengangguran berarti banyak masyarakat tidak memiliki
penghasilan karena tidak bekerja. Karena tidak bekerja dan tidak memiliki
penghasilan mereka tidak mampu memenuhi kebutuhan pangannya. Secara
otomatis pengangguran telah menurunkan daya saing dan beli masyarakat.
Sehingga, akan memberikan dampak secara langsung terhadap tingkat
pendapatan, nutrisi, dan tingkat pengeluaran rata-rata.
2. Kekerasan.
Kekerasan-kekerasan yang marak terjadi akhir-akhir ini merupakan efek dari
pengangguran. Karena seseorang tidak mampu lagi mencari nafkah melalui jalan
yang benar dan halal. Ketika tak ada lagi jaminan bagi seseorang dapat bertahan
dan menjaga keberlangsungan hidupnya maka jalan pintas pun dilakukan.
Misalnya, merampok, menodong, mencuri, atau menipu. belakangan banyak
oknum-oknum yang menggunakan modus penipuan melalui sms.
3. Pendidikan
Tingkat putus sekolah yang tinggi merupakan fenomena yang terjadi dewasa ini.
Mahalnya biaya pendidikan membuat masyarakat miskin tidak dapat lagi
menjangkau dunia sekolah atau pendidikan. Karena untuk makan satu kali sehari
saja mereka sudah kesulitan.
Kondisi seperti ini membuat masyarakat miskin semakin terpuruk lebih dalam.
Tingginya tingkat putus sekola berdampak pada rendahya tingkat pendidikan
seseorang. Dengan begitu akan mengurangi kesempatan seseorang mendapatkan
pekerjaan yang lebih layak. Ini akan menyebabkan bertambahnya pengangguran
akibat tidak mampu bersaing di era globalisasi yang menuntut keterampilan di
segala bidang

19

4. Kesehatan
Seperti kita ketahui, biaya pengobatan sekarang sangat mahal. Hampir setiap
klinik pengobatan apalagi rumah sakit swasta besar menerapkan tarif atau ongkos
pengobatanyang biayanya melangit. Sehingga, biayanya tak terjangkau oleh
kalangan miskin.
3.4 Peran pemerintah dalam usaha pengentasan kemiskinan
Agenda besar pembangunan Indonesia termuat dalam Rencana Pembangunan
Jangka Menengah (RPJMN) 2010-2014 yang kemudian dijabarkan ke dalam
Rencana Kerja Pemerintah (RKP) tahunan. Tema RKP 2010 adalah “Pemulihan
Perekonomian Nasional dan Pemeliharaan Kesejahteraan Rakyat, sedangkan tema
RKP tahun 2011 adalah “Percepatan Pertumbuhan Ekonomi yang Berkeadilan
Didukung oleh Pemantapan Tata kelola dan Sinergi Pusat Daerah”. RPJMN 20102014 juga telah menetapkan sasaran pembangunan ekonomi dan peningkatan
kesejahteraan rakyat, antara lain : (1) Pertumbuhan ekonomi, dengan proyeksi
7,0-7,7% pada tahun 2014; (2) Penurunan tingkat pengangguran dengan target 56% pada akhir tahun 2014; (3) penurunan angka kemiskinan dengan target 8-10%
pada akhir tahun 2014.
RPJMN dan RKP ini berkaitan dengan sepuluh direktif presiden yangdisampaikan
pada rapat kerja dengan menteri, gubernur, serta ahli ekonomi dan tekhnologi, di
istana Tampak Siring 2010, yakni : (1) Ekonomi harus tumbuh lebih tinggi; (2)
Pengangguran harus menurub dengan menciptakan lapangan kerja yang lebih
banyak; (3) Kemiskinan harus semakin menurun; (4) Pendapatan perkapita harus
meningkat; (5) Stabilitas ekonomi harus terjaga; (6) Pembiayaan (financing)
dalam negeri makin kuat dan meningkat; (7) Ketahanan pangan dan air
meningkat; (8) Ketahanan energi meningkat; (9) Daya saing ekonomi nasional
menguat dan meningkat; (10) Memperkuat “Green economy” atau ekonomi
ramah lingkungan.

20

Terkait

hal

tersebut,

pemerintah

telah

menetapkan

tiga

jalur

strategi

pembangunan, yaitu (1) Pro-pertumbuhan (pro growth), untuk meningkatkan dan
mempercepat pertumbuhan ekonomi melalui investasi, sehingga diperlukan
perbaikan iklim investasi, melalui peningkatan kualitas pengeluaran pemerintah,
melalui ekspor, dan peningkatan konsumsi; (2) Pro-Lapangan Kerja (pro-job),
agar pertumbuhan ekonomi dapt menciptakan lapangan pekerjaan yang seluasluasnya dengan menekankan pada investasi padat pekerja; (3) Pro Masyarakat
Miskin (pro poor), agar pertumbuhan ekonomi dapat mengurangi jumlah
penduduk miskin sebesar-besarnya dengan penyempurnaan sisitem perlindungan
sosial,

meningkatkan

akses

kepada

pelayanan

dasar,

dan

melakukan

pemberdayaan masyarakat.
Untuk meningkatkan koordinasi penanggulangan kemiskinan, pemerintah
menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 15 Tahun 2010, tentang Percepatan
Penenggulangan Kemiskinan yang merupakan penyempurnaan dar Peraturan
Pemerintah Nomor 13 taun 2009 tentang Koordinasi Penanggulangan
Kemiskinan. Dalam Perpres tersebut diamanatkan untuk membentuk Tim
Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) di tingkat pusat yang
keanggotaannya terdiri dari unsur pemerintah, masyarakat, dunia usaha, dan
pemangku kepentingan lainnya. Sedangkan di provinsi dan kabupaten/kota
dibentuk Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (TKPK) Provinsi dan
Kabupaten/Kota.
Selain tiga instrumen utama penanggulangan kemiskinan di atas, pemerintah
menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 10 Tahun 2011 Temtang Tim Koordinasi
Peningkatan Perluasan program Pro Rakyat. Upaya peningkatan dan perluasan
program Pro Rakyat (Kluster IV) dilakukan melalui :
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Program Rumah Sangat Murah
Program Kendaraan Angkatan Umum Murah
Program Air Bersih Untuk Rakyat
Program Listrik Murah dan Hemat
Program Peningkatan Kehidupan Nelayan
Program Peningkatan Kehidupan Masyarakat Miskin Perkotaan

a. Program-Program Penanggulangan Kemiskinan Kluster I
21

1. Program Keluarga Harapan (PKH)
PKH adalah program perlindungan sosial yang memberikan bantuan tunai
kepada Rumah Tangga Sangat Miskin (RTSM) dan bagi anggota keluarga
RTS diwajibkan melaksakan persyaratan dan ketentuan yang telah
ditetapkan. Program ini, dalam jangka pendek bertujuan mengurangi
beban RTSM dan dalam jangka panjang diharapkan dapat memutus mata
rantai kemiskinan antar generasi, sehingga generasi berikutnya dapat
keluar dari perangkap kemiskinan.
Pelaksanaan PKH juga mendukung upaya pencapaian Tujuan Pembagunan
Milenium. Lima komponen tujuan MDG’s yang akan terbantu oleh PKH
yaitu: pengurangan penduduk miskin dan kelaparan; pendidikan dasar;
kesetaraan gender; pengurangan angka kematian bayi dan balita;
pengurangan kematian ibu melahirkan.
2. Bantuan Operasional Sekolah (BOS)
BOS adalah program pemerintah untuk peneyediaan pendanaan biaya non
personalia bagi satuan pendidikan dasar dan menengah pertama sebagai
wujud pelaksanaan program wajib belajar 9 tahun. BOS diprioritaskan
untuk biaya operasional nonpersonal, meskipun dimungkinkan untuk
membiayai beberapa kegiatan lain yang tergolong dalam biaya personil
dan biaya investasi. Tujuan umum program BOS untuk meringkan beban
masyarakat terhadap pembiayaan pendidikan dalam rangka wajib belajar
Sembilan tahun yang bermutu. Sasaran program BOS adalah semua siswa
(peserta didik) di jenjang Sekolah Dasar (SD)/Madrasah Ibtidaiyah (MI)
dan Sekolah Menengah Pertama (SMP)/Madrasah Tsanawiyah (MTs),
termasuk Sekolah Menengah Terbuka (SMPT) dan Pusat Kegiataan
Belajar Mandiri (PKBM) yang diselenggarakan masyarakat, baik negeri
maupun swasta di seluruh provinsi di Indonesia.
3. Program Bantuan Siswa Miskin (BSM)
Meskipun BOS diharapkan dapat meniingkatkan jumlah keikutserataan
peserta didik, tapi faktanya, masih tetap saja ada siswa yang putus sekolah
dan tidak melanjutkan. Penyebabnya, para orangtua kesulitan memnuhi
kebutuhan pendidikan seperti baju, seragam, buku tulis dan buku cetak,
sepatu, biaya transportasi, dan biaya lain-lain yang tidak ditanggung oleh
dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah).

22

Kebijakan Bantuan Siswa Miskin (BSM) bertujuan agar siswa dari
kalangan tidak mampu

dapat terus melanjutkan pendidikan sekolah.

Program ini bersifat bantuan bukan beasiswa, karena jika beasiswa bukan
berdasrkan kemiskinan melainkan prestasi.
Dana sebesar Rp.360.000 per tahun diberikan kepada siswa tingkat SD,
dipergunakan untuk keperluan sekolah, seperti pembelian buku pelajaran,
seragam sekolah, alat-alat olahraga dan keterampilan, pembayaran
transportasi ke sekolah, serta keperluan lain yang berkaitan dengan proses
pembelajaran di sekolah.
4. Program Jaminan Kesehatan Masyarakat (JAMKESMAS)
Jamkesmas adalah program bantuan sosial untuk pelayanan kesehatan bagi
masyarakat miskin dan hampir miskin. Tujuan Jamkesmas adalah
meningkatkan akses terhadap masyarakat miskin dan hampir miskin agar
dapat memperoleh pelayanan kesehatan. Pada saat ini Jamkesmas
melayani 76,4 juta jiwa.
5. Program Beras Untuk Keluarga Miskin (RASKIN)
Raskin merupakan subsisdi pangan yang diperuntukkan bagi ke;uarga
miskin sebagai upaya dari pemerintah untuk meningkatkan ketahanan
pangan

dan

memberikan

perlindungan

pada

keluarga

miskin.

Pendistribusian beras ini diharapkan mampu menjangkau keluarga miskin
dimana masing-masing keluarga akan menerima beras minimal 10 kg/KK
tiap bulan dan maksimal 20 kg/KK tiap bulan dengan harga bersih
Rp.1000/kg di titik-titik distribusi. Keberhasilan program Raskin diukur
berdasarkan tingkat pencapaian indikator 6T, yaitu : tepat sasaran, tepat
jumlah, tepat harga, tepat waktu, tepat kualitas dan tepat administrasi.
b. Program-program penanggulangan kemiskinan kluster II
1. Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM)
PNPM adalah program nasional dalam wujud kerangka kebijakan
sebagai

dasar

dan

acuan

pelaksanaan

program-program

penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan masyarakat.
PNPM dilaksanakan melalui harmonisasi dan pengembangan sistem
serta mekanisme dan prosedur program, penyediaan pendampingan,
dan pendanaan stimulant untuk mendorong prakarsa dan inovasi
masyarakat

dalam

upaya

penanggulangan

kemiskinan

yang

berkelanjutan.

23

Program penanggulangan kemiskinan yang berbasis pemberdayaan
masyarakat dapat dikategorikan menjadi dua yakni : (1) PNPM-inti
terdiri dari program/proyek pemberdayaan masyarakat berbasis
kewilayahan, yang mencakup PNPM Mandiri Perdesaan, PNPM
Mandiri Perkotaan, Program Pengembangan Infrastruktur Sosial
Ekonomi Wilayah (PISEW), dan Percepatan Pembangunan Daerah
Tertinggal dan Khusus (P2DTK). (2) PNPM-Penguatan terdiri dari
program-program pemberdayaan masyarakat berbasis sektor untuk
mendukung penanggulangan kemiskina yang pelaksanaannya terkait
pencapaian target sektor tertentu. Pelaksanaan program-program ini di
tingkat komunitas mengacu pada kerangka kebijakan PNPM Mandiri.
c. Program-program penanggulangan kemiskinan Kluster III
1. Kredit Usaha Rakyat (KUR)
Kredit Usaha Rakyat (KUR) adalah dana pinjaman dalam bentuk
Kredit Modal Kerja (KMK) dan atau Kredit Investasi (KI) dengan
plafon kredit dari Rp.5 juta sampai dengan Rp.500 juta. Agunan pokok
KUR adalah proyek/usaha yang dibiayai, namun pemerintah
membantu menanggung melaui program penjaminan hingga maksimal
70% dari plafon kredit.
Bantuan berupa fasilitas

pinjaman

modal

ini

ada;ah

untuk

meningkatkan akses pembiayaan perbankan yang sebelumnya hanya
terbtas pada usaha berskala besar dan kurang menjangkau pelaku usaha
mikro kecil dan menengah seperti usaha rumah tangga dan jenis usaha
miko lain yang bersifat informal, mempercepat pengembangan sektor
riil dan pemberdayan UMKM.
2. Kredit Usaha Bersama (KUBE)
KUBE adalah program yang bertujuan meningkatkan kemampuan
anggota KUBE didalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup seharihari,

ditandai

dengan

:

meningkatnya

pendapatan

keluarga;

meningkatnya kualitas pangan, sandang, papan, kesehatn, tingkat
pendidikan; meningkatnya kemampuanan anggota KUBE dalam
mengatasi maslah-maslah yang mungkin terjadi dalam keluarganya
maupun dengan lingkungan sosialnya; Meningkatnya kemampuan

24

anggota KUBE dalam menampilkan peran-peranan sosialnya, baik
dalam keluarga maupun lingkungan sosialnya.
Sasaran program KUBE adalah keluarga miskin produktif yaitu orang
yang sama sekali tidak mempunyai sumber mata pencaharian dan tidak
mempunyai kemampuan memenuhi kebutuhab pokok yang layak bagi
kemanusiaan atau orang yang mempunyai sumber mata pencaharian,
tetapi tidak dapat memnuhi kebutuhan pokokyang layak bagi
kemanusiaan; keluarga miskin yang mengalami penurunan pendapatan
dan kesejahteraannya atau mengalami penghentian penghasilan.

BAB IV
PENUTUP
25

4.1 Kesimpulan
Kemiskinan pada hakikatnya menunjuk pada situasi kesengsaraan dan
ketidakberdayaan yang dialami seseorang, baik akibat ketidakmampuan
memenuhi kebutuhan hidup, maupun akibat ketidakmampuan Negara atau
masyarakat memberikan perlindungan sosial kepada warganya.
Sebagai upaya pengentasan kemiskinan, pemerintah Indonesia dalam hal ini
pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu jilid dua telah menetapkan beberapa
program-progam yang diharapkan dapat menanggulangi masalah kemiskinan
tersebut yang terdiri dari Program penanggulangan kemiskinan kluster I sampai
dengan kluster IV. Hal itu merupakan bentuk dari keseriusan pemerintah
Indonesia untuk menanggulangi masalah kemiskinan dan sebagai warganegara
yang baik kita berkewajiban untuk mengawal pelaksanaan program-program
tersebut agar program-program ini berjalan sesuai dengan yang diharapkan.
4.2 Saran
Dalam upaya penanggulangan kemiskinan di Indonesia masih diperlukan upaya
yang serius dan matang. Upaya dari pemerintah melalui program-programnya
tersebut memang sudah cukup bagus akan tetapi diperlukan pengawasan yang
lebih ketat dalam pelaksanaannya. Juga, diharapkan partisipasi dari semua
kalangan untuk turut serta membantu pelaksanaan program tersebut agar program
ini berjalan dengan tepat sasaran.

DAFTAR PUSTAKA

26

A Stamboel, Kemal. 2012. Panggilan keberpihakan : Strategi mengakhiri
kemiskinan di Indonesia. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
Kementrian Komunikasi Dan Informatika RI. 2011. Program Penanggulangan
Kemiskinan Kabinet Indonesia Bersatu. Jakarta : Kominfo
Soetomo. 2010. Masalah Sosial dan Upaya Pemecahannnya. Yogyakarta :
Pustaka Pelajar
Syaifullah, Chavchay. 2008. Generasi Muda Menolak Kemiskinan. Klaten :
Cempaka Putih
Suharto, Edi . 2009. Kemiskinan dan perlindungan sosial di Indonesia :
Menggagas model jaminan sosial universal bidang kesehatan. Bandung :
Alfabeta.

27

Dokumen yang terkait

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

DEKONSTRUKSI HOST DALAM TALK SHOW DI TELEVISI (Analisis Semiotik Talk Show Empat Mata di Trans 7)

21 290 1

MANAJEMEN PEMROGRAMAN PADA STASIUN RADIO SWASTA (Studi Deskriptif Program Acara Garus di Radio VIS FM Banyuwangi)

29 282 2

MOTIF MAHASISWA BANYUMASAN MENYAKSIKAN TAYANGAN POJOK KAMPUNG DI JAWA POS TELEVISI (JTV)Studi Pada Anggota Paguyuban Mahasiswa Banyumasan di Malang

20 244 2

PERANAN ELIT INFORMAL DALAM PENGEMBANGAN HOME INDUSTRI TAPE (Studi di Desa Sumber Kalong Kecamatan Wonosari Kabupaten Bondowoso)

38 240 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

Representasi Nasionalisme Melalui Karya Fotografi (Analisis Semiotik pada Buku "Ketika Indonesia Dipertanyakan")

53 338 50

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24