Kajian Yuridis Dan Filosofis Perubahan K

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Reformasi yang dimulai pada permulaan tahun 1997 oleh para mahasiswa
dengan slogan “Reformasi Oleh Rakyat” harus melalui berbagai hambatan dan
reaksi keras dari pemerintah. Meskipun demikian kemenangan berpihak pada
rakyat yang puncaknya ditandai dengan lengsernya mantan Presiden Soeharto
setelah 32 tahun membangun pengaruh dan mengokohkan kekuasaannya.
Reformasi yang berkomitmen pada upaya perubahan menuju perbaikan
melatarbelakangi lahirnya tuntutan reformasi total yang meliputi: reformasi
politik, reformasi ekonomi, reformasi hukum, reformasi budaya, reformasi
pendidikan dan reformasi keamanan. 1)
Reformasi konstitusional - dikonkritkan dengan perubahan Undang-Undang
Dasar atau konstitusi - sebagai salah satu agenda reformasi merupakan langkah
yang membawa perubahan signifikan dalam sejarah ketatanegaraan Republik
Indonesia. Semula dalam rangka melanggengkan kekuasaan penyelenggara negara
maka Undang-Undang Dasar 1945 (UUD) mengalami proses “sakralisasi” atau
tidak boleh “disentuh” dengan berbagai ancaman dan stigma subversive yang

dituduhkan bagi yang akan menyentuhnya.2)

1) Laporan Senat ITB, Krisis Nasional, Reformasi Total, dan ITB, Bandung: Penerbit ITB,
1998, hlm. 5.
2) Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo, 2005, hlm. 137.

2

Proses pengkultusan tersebut memolakan masyarakat menjadi bangsa yang
tidak dinamis, hidup dalam ketakutan dan terkungkung doktrin pemerintah,
sehingga tidak berani untuk mengemukakan pendapatnya. Nyata, bahwa
kerancuan yang terdapat dalam UUD 1945 menimbulkan multi tafsir tanpa bisa
dikritisi demi perbaikan. Bahkan, hanya pemerintah Orde Baru (Soeharto) yang
boleh menafsirkan makna yang terkandung dalam UUD 1945, sementara Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) tinggal mengesahkan saja.3) Keadaan demikian
tentu telah membungkam aspirasi masyarakat untuk waktu yang cukup lama.
Kondisi tersebut tidak berbeda jauh dengan kondisi pada saat perubahan
konstitusi berlangsung. MPR sebagai lembaga negara yang memiliki kewenangan
mengubah UUD sebagaimana diamanatkan Pasal 3 UUD 1945, dinilai tidak
memahami isi dari konstitusi serta kerangka konseptual negara yang akan

dibangun (state and nation buildings conceptual framework). 4) Tekad bulat MPR
mengeluarkan TAP MPR Nomor VIII/MPR/1998 yang isinya mencabut Ketetapan
MPR tentang Referendum sekali lagi mereduksi peranan masyarakat untuk
berpartisipasi secara langsung menentukan muatan perubahan konstitusi.
Hasil perubahan konstitusi menuai kontroversi yang terus berkembang di
masyarakat. Beberapa di antaranya mengenai anggapan tidak adanya landasan
filosofis yang kuat dan landasan yuridis yang tidak patuh pada jenjang perundangundangan yang berlaku, karena faktor ketergesaan MPR dalam memenuhi
tuntutan reformasi dalam waktu singkat. Tidak adanya naskah akademik yang
3) Ibid., hlm. 137.
4) Dwi S. Nugroho, Problem Amandemen UUD’45 dan Gagasan Dibentuknya Komisi
Konstitusi, www. UI.or.id. dikutip oleh Satria Adiguna, Kedudukan dan Kewenangan Komisi
Konstitusi Terhadap Perubahan Undang-undang Dasar 1945, (Skripsi Sarjana Fakultas Hukum
Universitas Parahyangan, Bandung: 2002), hlm.2.

3

menjadi persyaratan pembentukan perundang-undangan semakin memperjelas
berbagai kekurangan dari sisi prosedural dan substansial perubahan konstitusi itu
sendiri.
Indonesia sebagai negara hukum seharusnya tidak membiarkan muatan

konstitusi yang menjadi fundamental law dan grundnorm bagi kehidupan
bernegaranya sebagai produk yang asal jadi. Sebagaimana diketahui, bahwa UUD
1945 mengatur seruan paham konstitusi, yaitu anatomi kekuasaan tunduk kepada
hukum (supremasi hukum). Dihubungkan dengan pendapat Wheare, dengan
menempatkan konstitusi pada kedudukan yang tinggi (supreme) ada semacam
jaminan bahwa:
“Konstitusi itu akan diperhatikan dan ditaati dan menjamin agar konstitusi
tidak akan dirusak dan diubah begitu saja secara sembarangan.
Perubahannya harus dilakukan secara hikmat, penuh kesungguhan dan
pertimbangan yang mendalam. Agar maksud ini dapat dilaksanakan dengan
baik maka perubahannya pada umumnya mensyaratkan adanya suatu proses
dan prosedur yang khusus atau istimewa.” 5)
Sebagaimana diketahui, menurut Sri Soemantri dalam konstitusi sekurangkurangnya berisi tiga kelompok materi muatan: 6)
1. pengaturan tentang perlindungan hak-hak asasi manusia:
2. pengaturan tentang susunan ketatanegaraan negara yang bersifat
mendasar;
3. pengaturan

tentang


pembagian

dan

pembatasan

tugas-tugas

ketatanegaraan yang juga bersifat mendasar.

5) Wheare dalam Dahlan Thaib, dkk., Teori dan Hukum Konstitusi, Jakarta: Raja Grafindo,
2005, hlm 65.
6) Krisna Harahap, Konstitusi Republik Indonesia : Sejak Proklamasi hingga Reformasi,
Bandung: Grafitri, 2004, hlm. ix.

4

Dengan demikian, perubahan konstitusi haruslah memiliki dasar filosofis,
yuridis, sosiologis dan teknik pembuatan perundang-undangan yang baik
sebagaimana mestinya. Hal tersebut dikarenakan konstitusi memuat hal-hal yang

sangat mendasar dalam kehidupan bernegara, maka perubahan terhadapnya akan
berdampak secara langsung terhadap susunan ketatanegaraan suatu negara.
Mengingat perubahan konstitusi dipengaruhi oleh adanya gejolak reformasi
maka tentu tidak hanya dipengaruhi oleh aspek hukum saja melainkan sosial,
politik, budaya, terutama ekonomi. Konstitusi sebagai Grundnorm merupakan
kaidah tertinggi yang apabila dihubungkan dengan teori murni tentang hukum
maka aspek tersebut di atas bukanlah merupakan faktor yang dapat dibenarkan
dalam memproduksinya. Salah satu alasannya karena bagaimanapun juga
konstitusi diakui sebagai produk politik dan hukum sekaligus. Mengusung aliran
hukum positif, Hans Kelsen dengan grundnorm dan teori murninya yang secara
tegas dinyatakan, bahwa hukum harus bebas dari anasir-anasir non legal. Di sisi
lain yang bertentangan terdapat aliran sosiological jurisprudence yang
menyatakan, bahwa hukum yang baik adalah hukum yang mencerminkan atau
sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat atau living law. Pengertian
hukum yang hidup tersebut termasuk di dalamnya faktor-faktor non legal yang
oleh Hans Kelsen seolah-olah merupakan faktor cacat dalam pembuatan hukum.
Paparan kedua aliran yang sekilas nampak bertentangan inilah yang menarik
untuk dipelajari sehingga dapat diketahui landasan filosofis apakah yang
digunakan para pelaku perubahan konstitusi.


5

Menyadari eratnya kaitan antara era reformasi sebagai situasi dan kondisi
yang melatarbelakangi perubahan konstitusi tersebut, maka perhatian penelitian
dipusatkan pada hasil perubahan konstitusi tahap pertama sebagai preseden yang
baik bagi perubahan berikutnya. Hal ini dikarenakan perubahan tahap pertama
dititikberatkan pada hal-hal yang bersifat substansial dan awal dari 4 (empat)
tahap perubahan konstitusi.
Perubahan konstitusi sebagai salah satu bagian dari teori konstitusi memiliki
kedudukan yang penting dalam pembelajaran mata kuliah Hukum Tata Negara.
Adapun sifat kajian dalam penulisan karya ilmiah ini dimaksudkan sebagai suatu
pembelajaran, penyelidikan dan penelaahan mengenai baik buruknya suatu
peristiwa hukum yang menjadi objek kajian dan kesesuaian antara das sollen,
yaitu sistem dan prosedur perubahan konstitusi sebagai suatu kaidah yang
seharusnya dengan das sein yaitu proses dan hasil dari perubahan tahap pertama
itu sendiri.
Ketidaksesuaian antara das sollen dan das sein menghadirkan permasalahan
yang memerlukan suatu penelitian untuk mengkaji fakta secara yuridis, filosofis
dan sosiologis secara garis besar untuk mendapatkan hasil yang objektif dan dapat
dipertanggungjawabkan. Dengan latar belakang masalah yang telah diuraikan

tersebut, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang kemudian
menuangkannya ke dalam bentuk Skripsi dengan judul :
“ KAJIAN YURIDIS DAN FILOSOFIS PERUBAHAN KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA TAHAP PERTAMA PASCA REFORMASI
DIHUBUNGKAN
DENGAN
SISTEM
DAN
PROSEDUR
PERUBAHAN KONSTITUSI DAN PASAL 37 UNDANG-UNDANG
DASAR 1945 ”

6

B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas, dapat dirumuskan
beberapa masalah sebagai berikut :
1. Apa yang melatarbelakangi terjadinya perubahan konstitusi Republik
Indonesia ?
2. Bagaimanakah proses dilakukannya perubahan konstitusi Republik

Indonesia tahap pertama pasca reformasi ?
3. Apakah perubahan konstitusi Republik Indonesia tahap pertama
tersebut sudah dilakukan sesuai dengan sistem dan prosedur perubahan
konstitusi ?
C. Maksud dan Tujuan Penelitian
Maksud dilakukannya penelitian ini adalah untuk mempelajari kelebihan
dan kekurangan perubahan konstitusi tahap pertama.
Penelitian ini bertujuan untuk :
1. Mengetahui faktor-faktor yang melatarbelakangi terjadinya perubahan
konstitusi Republik Indonesia.
2. Memperoleh

deskripsi

lengkap

dan

jelas


mengenai

proses

dilakukannya perubahan konstitusi Republik Indonesia tahap pertama
pasca reformasi.
3. Mengetahui kesesuaian perubahan konstitusi Republik Indonesia tahap
pertama tersebut dengan sistem dan prosedur perubahan konstitusi.

7

D. Kegunaan Penelitian
Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat :
1. Memperkaya wacana dan khasanah keilmuan di bidang hukum pada
umumnya dan hukum tata negara pada khususnya.
2. Menjadi referensi dalam membahas, menelaah kembali atau mengkaji
perubahan-perubahan konstitusi yang telah, sedang dan akan
dilakukan.
Adapun kegunaan secara praktis antara lain :
1. Bagi pemerintah dan instansi yang berkompeten, diharapkan dapat

menjadi bahan informasi dan pertimbangan dalam pengambilan dan
penentuan

kebijaksanaan

pengembangan

pembuatan,

perundang-undangan,

perubahan

khususnya

termasuk

Konstutisi

di


Indonesia.
2. Bagi peneliti lain, sebagai pemicu semangat dalam mengkaji berbagai
kebijakan yang berdampak langsung terhadap khalayak ramai maupun
bahan referensi untuk mengadakan penelitian lebih lanjut mengenai
objek kajian yang sama.
E.

Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
1. Spefikasi Penelitian
Penelitian ini bersifat Deskriptif Analitis, yaitu suatu metode yang
menggambarkan atau melukiskan permasalahan yang berkaitan dengan objek
penelitian kemudian dianalisis secara sistematis, jelas dan lengkap.

8

2. Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis
normatif dan filosofis yang dimaksudkan sebagai pengkajian bahan-bahan
hukum khususnya hasil perubahan konstitusi tahap pertama dari pandangan
filsafat hukum.
Pendekatan yuridis normatif dititikberatkan pada data sekunder yaitu data
yang diperoleh melalui bahan-bahan kepustakaan dengan berpegang pada
segi-segi yuridis dan asas-asas hukum.
Pendekatan filosofis dibatasi pada filsafat khusus mengenai hukum atau
filsafat hukum dengan menggunakan pokok pemikiran para filsuf dari
beberapa aliran filsafat hukum yang relevan untuk mengupas permasalahan.
Berkaitan dengan hal ini Sunaryati Hartono menyatakan bahwa ;
“ .............. dalam menemukan asas-asas hukum, kaidah-kaidah hukum dan
teori-teori hukum baru (basic research), penggunaan metode penelitian
sosial, di samping metode penelitian normatif memberi bobot lebih pada
penelitian yang bersangkutan.
Namun demikian, supaya penulisan atau penelitian yang dilakukan benarbenar dinilai sebagai suatu penelitian hukum, penelitian itu bagaimanapun
juga harus menggunakan metode penelitian yang normatif.” 7)
3. Teknik Pengumpulan Data
Studi Kepustakaan : teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara studi
dokumen terhadap berbagai sumber data sekunder, yaitu:
1) Bahan hukum primer yang digunakan : Undang-Undang Dasar 1945
dan perundang-undangan di bawahnya.
7) Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad ke-20, Bandung:
Alumni, 1994, hlm.142.

9

2) Bahan hukum sekunder yang digunakan : buku literatur hukum, jurnal
penelitian hukum, laporan penelitian hukum, laporan hukum media
cetak atau media elektronik.
3) Bahan hukum tertier yang digunakan : kamus hukum, kamus filsafat
dan kamus umum bahasa Indonesia.
4. Metode Analisis Data
Dalam memilih metode analisis data penulis tidak hanya menggunakan
metode analisis kualitatif melainkan dilengkapi dengan analisis komprehensif
dan lengkap. Analisis data dilakukan secara kualitatif, komprehensif, dan
lengkap. Sebagaimana dinyatakan oleh Abdulkadir Muhammad bahwa :
“ Analisis kualitatif artinya menguraikan data secara bermutu dalam
bentuk kalimat yang teratur, runtun, logis, dan tidak tumpang tindih, dan
efektif, sehingga memudahkan interpretasi data dan pemahaman hasil
analisis. Komprehensif artinya analisis data secara mendalam dari
berbagai aspek sesuai dengan lingkup penelitian. Lengkap artinya tidak
ada bagian yang terlupakan, semuanya sudah masuk dalam analisis.” 8)
F. Kerangka Pemikiran
Secara singkat kronologis pembentukan UUD 1945 merupakan suatu hasil
perjuangan dalam mewujudkan suatu negara yang merdeka dan berdaulat oleh
pendiri negara Indonesia.

Mereka memahami bahwa konstitusi dapat

dipersamakan dengan piagam kelahiran suatu negara baru (a birth certificate).
Maka pada tanggal 16 Juli 1945 Putera Indonesia berkumpul di Jakarta
dalam Rapat persiapan Undang-Undang Dasar sebagai bagian dari Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai). Hasilnya
8) Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti,
2004, hlm.127.

10

ditinjau kembali oleh Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan
(Dokuritsu Zyunbi Iin Kai) tanggal 18 Agustus 1945. Dalam rapat persiapan
Undang-Undang Dasar tersebut dibentuk suatu Panitia Perancang UndangUndang Dasar yang diketuai oleh Ir. Soekarno beserta 18 anggota lainnya.
Kemudian dalam rapat besar (sidang pleno) dibentuk pula Panitia Kecil Perancang
Undang-Undang Dasar dengan Supomo sebagai ketua.9)
Indonesia sebagai negara hukum menempatkan Undang-Undang Dasar
1945 atau konstitusi sebagai dasar dari segala hukum yang kedudukannya
merupakan peraturan tertinggi dalam negara dengan muatan dasar-dasar seluruh
sistem hukum dalam negara itu. Dengan demikian, Undang-Undang Dasar
memuat peraturan-pokok mengenai sendi-sendi pertama untuk menegakkan
bangunan besar yang bernama “negara”.10)
Kelestarian suatu konstitusi merupakan hal yang didambakan beberapa
pihak dengan tuntutan stabilitas tinggi. Bagi sebagian pihak tersebut, perubahan
hanya akan mengganggu kemapanan yang selama ini didapat. Meskipun
demikian, waktu terus menuntut perkembangan yang secara konstan membuka
peluang untuk diadakan perubahan menuju perbaikan di segala bidang, salah
satunya konstitusi negara.
Perkembangan zaman menjadi alasan untuk menyesuaikan konstitusi
dengan masanya, dan moment reformasi adalah saat yang tepat. Lembaga negara
berwenang yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat bergegas untuk melakukan
persidangan dalam rangka persiapan perubahan konstitusi. Sebagai syarat
9) Krisna Harahap, Konstitusi Republik..., Op. Cit., hlm.32.
10) Abu Daud Busro dan Abubakar Busro, Asas-Asas Hukum Tata Negara, Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1991, hlm. 49.

11

dilakukannya perubahan konstitusi secara formal harus dipenuhi syarat filosofis,
yuridis, dan sosiologis untuk memperoleh produk legislatif yang baik.
Syarat tersebut tidak semata-mata dibebankan pada perubahan konstitusi
melainkan secara umum merupakan syarat pembentukan perundang-undangan
yang baik. Bahkan, dengan menempatkan konstitusi sebagai kaidah hukum
tertinggi maka persyaratan untuk mengubahnya secara umum memiliki
persyaratan yang lebih sulit. Pernyataan tersebut didasari oleh sifat konstitusi
yang dibedakan dari tingkat kesulitan untuk mengubahnya. Semakin sulit persyaratannya maka konstitusi tersebut dikategorikan sebagai konstitusi yang rigid
(kaku), sebaliknya apabila persyaratannya tidak sulit maka termasuk konstitusi
yang flexible (luwes).
Indonesia sendiri memiliki persyaratan yang cukup sulit dengan
mempersyaratkan upaya referendum terlebih dahulu sebelum dilakukan perubahan
konstitusi. Referendum yang dianggap menghambat reformasi konstitusional itu
dicabut dengan dikeluarkannya Ketetapan MPR Nomor VIII/MPR/1998. Secara
prosedural apakah pencabutan TAP MPR tentang Referendum tersebut dapat
dibenarkan atau tidak menjadi permasalahan yuridis.
Perubahan konstitusi yang dilakukan Majelis Permusyawaratan Rakyat
pada tahun 1999-2002 secara 4 tahap dilatarbelakangi tuntutan reformasi dan
demokratisasi di segala bidang. Tuntutan reformasi konstitusional dilakukan
sesegera mungkin setelah para anggota dan pimpinan setuju merealisasikan hal
tersebut dengan persidangan MPR-RI secara terus-menerus untuk mengubah
konstitusi yang mengalami sakralisasi.

12

Sifat penelitian ini adalah kajian filosofis yang berarti suatu penyelidikan
secara filosofi digunakan berdasarkan pada beberapa teori yang beberapa aliran
atau mazhab yang dianggap relevan untuk mengupas permasalahan. Menurut
pandangan Theo Huijbers :
“Filosofi adalah kegiatan intelektual yang metodis dan sistematis, secara
refleksi menangkap makna yang hakiki dari keseluruhan yang ada. Objek
filosofi bersifat universal mencakup segala yang dialami manusia ( d.h.i.
perubahan konstitusi, penulis). Berpikir filosofi adalah mencari arti yang
sebenarnya dari segala hal yang ada melalui pandangan cakrawala yang
paling luas. Metode pemikiran filosofi adalah refleksi atas pengalaman dan
pengertian tentang suatu hal dalam cakrawala yang universal. Pengolahan
pikirannya secara metodis dan sistematis. Tujuannya adalah kebenaran yang
membahagiakan manusia. 11)
Karya tulis ini menggunakan pendekatan konsep negara hukum sebagai
grand theory, dengan didukung oleh teori grundnorm dari Hans Kelsen aliran
positivisme hukum dan Living law dari aliran sosiological jurisprudence sebagai
middle range theory serta teori perubahan Formal UUD sebagai applied theory.

GRAND THEORY
Konsep Negara Hukum
Penggunaan konsep negara hukum sebagai grand theory adalah untuk
menegaskan bahwa negara Indonesia yang merupakan salah satu negara modern
yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat) tidak berdasarkan kekuasaan
(machtstaat), dan pemerintahan sistem konstitutional yaitu berdasarkan sistem
konstitusi (hukum dasar) bukan absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas).

11) Abdulkadir Muhammad, Op. Cit., hlm.1.
12) Penjelasan Undang-undang Dasar 1945

12)

.

13

Dengan demikian, penelitian ini berpijak pada norma yang telah ditetapkan secara
konstitusional yaitu tercantum pada Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 setelah perubahan.
Sebelum mengalami perubahan, konsep negara hukum Republik Indonesia
tidak secara tersurat dimasukkan ke dalam batang tubuh melainkan diuraikan
dalam penjelasan UUD 1945. Kemudian pada perubahan konstitusi tahap ketiga,
konsep negara hukum ditegaskan ke dalam Pasal 1 ayat (3) yaitu “Negara
Indonesia adalah Negara Hukum”. Konsekuensi yang mengikutinya adalah
munculnya 3 (tiga) prinsip dasar wajib dijunjung oleh setiap warga negara yaitu
supremasi hukum; kesetaraan di hadapan hukum; dan penegakan hukum dengan
cara-cara yang tidak bertentangan dengan hukum.13)
Menurut FJ. Stahl sebagaimana dikutip oleh Oemar Senoadji kemudian
dikutip kembali oleh S.F. Marbun, merumuskan unsur-unsur Rechtsstaat dalam
arti klasik sebagai berikut : 14)
a. perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia,
b. pemisahan atau pembagian kekuasaan negara untuk menjamin hak-hak
asasi manusia,
c. pemerintahan berdasarkan peraturan,
d. adanya peradilan administratif.
Diberlakukannya negara hukum di Indonesia memberi harapan tercapainya
perlindungan hak-hak warga negara dari kesewenangan pemerintahan yang besar
kemungkinannya untuk terjadi. Meskipun demikian, realitas di lapangan

13) Redaksi,RPJMN Tahun 2004-2009,Jakarta: Sinar Grafika, 2005, hlm. 85.
14) SF. Marbun, Peradilan Administrasi Negara dan upaya Administratif di Indonesia,
Yogyakarta: Liberty, 1997, hlm. 9.

14

membuktikan sebaliknya. Kesadaran warga negara maupun birokrat negara bahwa
Indonesia memang Negara Hukum hampir tidak tampak ke permukaan.
Selanjutnya, negara hukum sebagai grand theory digunakan juga untuk
menggarisbawahi keberlakuan hukum itu sendiri yaitu hukum berlaku untuk
semua tanpa kecuali. Hal yang harus dipahami sebagai “tanpa kecuali” adalah
bahwa dalam pembuatan, perubahan konstitusi yang dilakukan oleh para ahli dan
pejabat negara sekalipun tetap harus sesuai dengan hukum yang berlaku.
Acuannya adalah sistem dan prosedur perubahan konstitusi yang disepakati.
MIDDLE RANGE THEORY
Dengan tetap bertumpu pada konsep negara hukum sebagai grand theory
maka dipergunakan dua teori sebagai middle range theory yang dianggap paling
memiliki keterkaitan. Kedua teori tersebut merupakan teori yang lahir dari
penggolongan aliran/mazhab filsafat hukum. Sebagai salah satu cabang dari
filsafat, yaitu filsafat etika atau moral maka filsafat hukum memiliki tujuan yang
sama dengan filsafat pada umumnya yakni mencari hakekat terdalam yang
menjadi pokok penyelidikan.
Sedangkan penggunaan teori grundnorm dan living law sebagai middle
range theory diilhami dari pemikiran bahwa suatu grundnorm atau kaidah
tertinggi haruslah digali dari kaidah-kaidah hukum yang hidup dan berkembang
dalam masyarakat itu sendiri atau living law.

1. Teori Grundnorm

15

Di Indonesia, grundnorm diwujudkan dalam Pancasila yang sekaligus
merupakan landasan ideal negara Indonesia. Keberlakuan Pancasila melingkupi
kehidupan bernegara secara umum. Dengan adanya asas lex superior derogat legi
inferiori maka kaidah yang termuat dalam Pancasila seharusnya menjadi acuan
bagi peraturan-peraturan di bawahnya.
Adapun kaidah dasar yang disebut grundnorm dinyatakan dalam suatu
konsep yaitu Pancasila yang bersarikan aliran pikiran kekeluargaan dan
merupakan dasar filsafat bangsa Indonesia yang menjadi dasar Pembukaan UUD
1945.
Pancasila yang dikemukakan pertama kali oleh Ir. Soekarno bukan hasil
dari keinginan pribadi semata tetapi perwujudan dari jiwa bangsa yang sarat
nuansa kekeluargaan dan gotong-royong. Jiwa bangsa terpancar dari kebiasaankebiasaan kemudian melahirkan hukum yang senantiasa tumbuh dan berkembang
dalam masyarakat, hukum yang demikian disebut living law. Artinya suatu
grundnorm harus mendasarkan pada living law.
2. Teori Living Law
Sedangkan yang dimaksud dengan teori living law sebagai teori yang
dikembangkan oleh mazhab sociological jurisprudence adalah suatu pemikiran
bahwa : “ Hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup
dalam masyarakat.”
Pokok pikiran yang berusaha disampaikan adalah bahwa faktor pembentuk
hukum tidak semata-mata ditentukan oleh faktor legal saja, melainkan faktorfaktor lainnya. Sebagai aliran yang menggunakan cara pendekatan dari hukum ke

16

masyarakat, maka ia mengakui adanya faktor politik dan faktor non legal lainnya
yang dapat mempengaruhi suatu hukum.
Asas yang erat dengan teori living law adalah asas kedaulatan rakyat yang
sebelum perubahan konstitusi diwujudkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat
sebagai pemegang sepenuhnya kedaulatan rakyat. Diubah atau tidaknya hal
tersebut tentu tidak mengurangi peranan rakyat untuk berperan aktif menentukan
kebijakan yang secara langsung maupun tidak langsung terhadap kehidupannya
maupun demi kepentingan negara secara luas. Dengan demikian, suatu peraturan
yang baik adalah yang dapat mengakomodir dan menengahi keinginan rakyat
yang beragam.
APPLIED THEORY
Abstraksi teori-teori tersebut memiliki teori turunan atau derivasi dalam
bentuk Perubahan Formal Konstitusi atau Formal Amendment sebagai applied
theory yang sekaligus menjadi objek penelitian. Karena jaman terus berkembang
tersebut maka diperlukan suatu instrumen untuk memperbaharui Undang-Undang
Dasar sebagai penyesuaian. Pembahasan perubahan konstitusi tersebut dibatasi
pada hasil perubahan tahap pertama.
Konstitusi dapat diartikan secara luas maupun sempit. Menurut Krisna
Harahap : 15)
“ Konstitusi dalam arti luas diartikan sebagai dokumen hukum (legal
document) resmi dengan kedudukan yang sangat istimewa, baik bentuk
tertulis (written) maupun tidak tertulis (unwritten). Sedangkan dalam
pengertian sempit, nama yang diberikan, yakni Undang-Undang Dasar
15) Krisna Harahap, Konstitusi Republik..., Op. Cit., hlm.1.

17

(UUD) kepada dokumen hukum, dokumen politik yang berisi antara lain
susunan organisasi negara dan cara kerjanya.”
Sedangkan menurut A.A.H. Struycken, konstitusi adalah Undang-Undang
yang memuat garis-garis besar dan asas-asas tentang organisasi daripada negara.
Oleh karena itu Struycken digolongkan sebagai penganut paham bahwa konstitusi
sama dengan Undang-Undang Dasar. 16) Dalam karya ilmiah ini istilah konstitusi
yang dimaksud adalah konstitusi dalam pengertian sempit. Oleh karena itu
konstitusi dipersamakan dengan Undang-Undang Dasar. Syarat pembentukan
maupun perubahan peraturan perundang-undangan yang baik harus memenuhi
atau memiliki landasan yang kuat. Syarat tersebut adalah:
1.

landasan filosofis

2.

landasan yuridis

3.

landasan sosiologis

Mengenai kewenangan mengubah Undang-Undang Dasar/ konstitusi, di dalam
UUD 1945 sendiri telah disediakan diktum yang dapat digunakan MPR untuk
mengubah ketentuan konstitusi lama dengan konstitusi yang baru, yakni melalui
Pasal 3 UUD 1945, bahwa “ Majelis Permusyawaratan Rakyat menetapkan
Undang-Undang Dasar dan garis-garis besar daripada haluan negara”.

16) Abu Daud Busro dan Abubakar Busro, Op. Cit., hlm.74.

18

Bagan Kerangka Pemikiran :

19

G. Sistematika Penulisan
Negaraini,
Hukum
Pada bagian sistematika penulisan
untuk mempermudah penelitian penulis
Grand
Theory)
membagi ke dalam Bab-bab dan( Sub
bab
sebagai berikut :
Bab I

merupakan Bab Pendahuluan yang di dalamnya membahas mengenai
Grundnorm& Living Law
Latar Belakang Masalah, Identifikasi Masalah, Maksud dan Tujuan Penelitian,
( Middle Range Theory)
Metode Penelitian, Kerangka Pemikiran, dan Sistematika Penulisan.
Bab II menguraikan berbagai
teori/UUD
yang 1945
digunakan sebagai tinjauan pustaka
Konstitusi
mengenai Negara Hukum dan Konstitusi Serta Landasan Filosofisnya ini
diuraikan Negara Hukum dengan Berbagai Pengertian, Ciri dan Tujuan Negara
UUD 1945
UUD 1945
SYARAT
Pasca
Perubahan
Sebelum
Perubahan
Hukum
serta Teori-teori Negara Hukum; Kajian Teoritis Tentang Konstitusi
1. FILOSOFIS
2. YURIDIS
meliputi Tinjauan Secara Umum dan Teori Perubahan Konstitusi; Dasar Filosofis
3.
SOSIOLOGIS
Syarat Pembentukan
Sistem dan Prosedur
Perundang-undangan
Perubahan
Negara memuat Filsafat Hukum dan Negara serta Pancasila Sebagai Kostitusi
Dasar
Applied theory
yang baik
Legal Amendment
Filosofis Negara Republik Indonesia.
Founding
RI
BabFathers
III memaparkan data faktual dan objektif yang antara lainMPR
mengenai
( Era Kemerdekaan)
(Era Reformasi )
Perubahan Konstitusi Republik Indonesia Tahap Pertama dengan menggambarkan
Situasi dan Kondisi Objektif Terjadinya Perubahan Konstitusi, Notulensi Panitia
Latar Belakang Historis
Ad-Hoc I Badan Pekerja MPR RI dan hasilnya berupa Perubahan Tahap Pertama
Undang-Undang Dasar 1945.
Bab IV menjadi inti dari penelitian yaitu merupakan bab pembahasan melalui
pengkajian Mengenai Perubahan Konstitusi Republik Indonesia Tahap Pertama
Pasca Reformasi yang meliputi Latar Belakang, Proses Perubahan Konstitusi
Republik Indonesia Tahap Pertama Pasca Reformasi serta Kajian Mengenai
Perubahan dari Sudut Filosofis, Yuridis dan Sosiologis.

20

Bab V sebagai bab terakhir dalam penulisan skripsi ini adalah Kesimpulan dan
Saran yang merupakan kristalisasi dari pembahasan-pembahasan sebelumnya dan
saran yang diharapkan dapat bermanfaat bagi para pihak yang terkait.

21

BAB II
NEGARA HUKUM DAN KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA SERTA
LANDASAN FILOSOFISNYA

A. Negara Hukum
Negara berasal dari kata statum (bahasa Latin) yang artinya menempatkan
dalam keadaan berdiri, kemudian berkembang menjadi staat (bahasa Belanda dan
Jerman). Menurut Logeman, Negara adalah organisasi kekuasaan yang bertujuan
mengatur masyarakat dengan kekuasaannya itu.17)
Secara umum, suatu negara biasanya memiliki tiga unsur pokok yaitu :
rakyat atau sejumlah orang ; wilayah tertentu ; pemerintahan yang berwibawa dan
berdaulat. Sebagai unsur pelengkap ditambahkan pengakuan oleh masyarakat
internasional atau negara-negara lain.18)
Hukum memiliki banyak definisi yang berbeda, oleh karena itu Immanuel
Kant menyatakan doktrinnya yang terkenal “Noch suchen Die Juristen eine
Devinition zu ihrem Begriffe von Recht” yang menggambarkan hukum memiliki
banyak segi dan meliputi segala macam hal, maka tidak mungkin orang dapat
membuat definisi apa sebenarnya hukum itu.19)

17) Ande Akhmad, Kumpulan Catatan Kuliah,(catatan kuliah Fakultas Hukum Universitas
Padjajaran): Bandung, 2003, hlm. 93.

18

)

Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum : Suatu Studi tentang Prinsip-Prinsipnya
Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini,
Jakarta: Kencana, 2003, hlm. 17.
19) M.L. Tobing, Sekitar Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Erlangga, 2005, hlm. 6.

22

Namun, secara sederhana Sri Soemantri menyatakan hukum dapat
dirumuskan sebagai seperangkat aturan tingkah laku yang dapat tertulis dan tidak
tertulis dan dibedakan sebagai hukum publik dan hukum privat.20)
Konsep bernegara Indonesia adalah konsep negara hukum yang juga dianut
oleh hampir semua negara modern saat ini. Seperti halnya sistem pemerintahan
dan bentuk negara yang dirumuskan pada pertama kali negara ini dibentuk, maka
konsep bernegara pun dirumuskan bersamaan dengan momen tersebut. Secara
lahiriah konsep bernegara tidak tampak dalam setiap batang tubuh konstitusi RI,
namun Pembukaan UUD 1945 telah menyiratkan prinsip-prinsip dasar yang
merupakan ciri-ciri negara hukum formal dan negara hukum material. Untuk lebih
memahami beberapa konsep negara hukum berdasarkan sistem hukum dunia,
berikut ini dipaparkan beberapa konsep negara hukum yang dianggap mewakili
sistem hukum terbesar di berbagai belahan dunia serta konsep negara hukum
Indonesia :

1. Rechtsstaat
Istilah rechtsstaat mulai populer sejak abad 19 di Eropa yang saat itu tengah
menganut paham negara hukum dalam arti sempit, yakni negara yang segala
sesuatunya didasarkan pada hukum tertulis yang diwujudkan dalam bentuk
undang-undang. Kebutuhan masyarakat pada waktu itu masih sangat sederhana
maka peraturan yang tertuang dalam undang-undang dianggap telah memenuhi
segala kebutuhan masyarakat.

20) Krisna Harahap, Konstitusi Republik, Op.cit.,hlm.10.

23

Kebutuhan tersebut utamanya menyangkut soal ketenteraman, keamanan
dan ketertiban, sedangkan soal-soal lainnya, penyelenggaraannya diserahkan
sepenuhnya pada warga. Negara dalam posisi seperti ini disebut negara penjaga
malam (nachtwakerstaat). Pada masa itu peranan negara tidak begitu besar dan
hukum administrasi belum berkembang. Demikian pula kehadiran peradilan
administrasi belum merupakan kebutuhan yang sangat urgen.21)
Dengan terjadinya perkembangan jaman yang pesat dan disertai tuntutan
kebutuhan hidup yang semakin meningkat, peranan negara menjadi sangat
diperlukan untuk memenuhi kebutuhan dan kesejahteraan warganya. Sejak
memasuki negara modern pada abad 20, konsep negara hukum formal
ditinggalkan dan diganti dengan konsep negara hukum dalam arti material.
Berkembangnya konsep negara hukum material sejalan dengan perkembangan
peranan negara yang semakin besar dan luas, yakni menyelenggarakan
kesejahteraan umum yang disebut welfare state atau menurut istilah Lemaire
disebut bestuurzoorg.22)
Konsep rechtsstaat lahir dari suatu perjuangan menentang absolutisme
ketika masyarakat merasa tidak adanya perlindungan terhadap hak asasi manusia
dan penguasa yang bertindak sewenang-wenang, sehingga sifatnya revolusioner.
Konsep rechtsstaat ini bertumpu pada sistem hukum kontinental yang disebut
civil law, dengan demikian istilah rechtsstaat banyak dianut di negara-negara
Eropa

Kontinental.

Civil

law

21) S.F. Marbun, Op.cit., hlm.11.
22) Ibid., hlm. 12.

menitikberatkan

pengoperasiannya

pada

24

administrasi. Hal tersebut merupakan alasan mengapa negara Eropa Kontinental
memasukkan unsur peradilan administrasi sebagai salah satu unsur rechtsstaat.
Dimasukannya unsur peradilan administrasi ke dalam unsur rechtsstaat,
dimaksudkan untuk memberikan perlindungan hukum bagi warga masyarakat
terhadap sikap tindak pemerintah yang melanggar hak asasi dalam lapangan
administrasi negara. Konsekuensi logis yang lahir dari hal tersebut adalah bahwa
perlindungan hukum tidak bersifat sepihak, melainkan perlindungan hukum bagi
administasi negara yang telah bertindak benar dan sesuai dengan hukum juga
diberikan dengan porsi yang sama. Timbal balik tersebut menegaskan bahwa
dalam suatu negara hukum perlindungan yang diberikan kepada warga dan
pejabat administrasi negara adalah sama.
Pemaparan konsep rechtsstaat di atas dipadatkan ke dalam ciri-ciri dari
seorang ahli dari kalangan ahli Hukum Eropa Kontinental, Friedrich Julius Stahl
yang memberikan ciri-ciri rechtsstaat sebagai berikut : 23)
1. Pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia.
2. Negara didasarkan pada teori trias politica.
3. Pemerintahan didasarkan pada undang-undang.
4. Ada peradilan administrasi negara yang bertugas menangani kasus
perbuatan melanggar hukum oleh pemerintah ( onrechtmatige
overheidsdaad ).
Selanjutnya Philipus M. Hadjon mengemukakan ciri-ciri rechtsstaat
sebagai berikut: 24)
1. adanya undang-undang dasar atau konstitusi yang memuat ketentuan
tertulis tentang hubungan antara penguasa dan rakyat;
23) F.J. Stahl dalam Marojahan Pandjaitan, Kerangka Teoritik Tentang Konsep Negara
Hukum, Teori Demokrasi, dan Teori Perundang-undangan, Makalah, hlm.1.
24) Ibid. ,hlm.4.

25

2. adanya pembagian kekuasaan negara, yang meliputi : kekuasaan
pembuatan undang-undang yang ada pada parlemen, kekuasaan
kehakiman yang bebas yang tidak hanya menangani sengketa antara
individu rakyat tetapi juga antara penguasa dan rakyat, dan pemerintah
yang mendasarkan tindakannya atas undang-undang (wetmatig bestuur);
3. diakui dan dilindunginya hak-hak kebebasan rakyat (vrijgeidsrechten
van de burger).
2. Rule of law
Istilah the rule of law mulai populer dengan terbitnya sebuah buku dari
Albert Venn Dicey tahun 1885 dengan judul Introduction to the study of the law
of the constitution. Konsep the rule of law berkembang secara evolusioner yang
bertumpu pada sistem hukum yang disebut common law dengan menitikberatkan
pengoperasiannya pada judicial. The rule of law banyak dikembangkan di negaranegara dengan tradisi Anglo Saxon. 25)
Berbeda dengan konsep rechtsstaat yang memiliki peradilan administrasi,
maka rule of law dengan prinsip persamaan di hadapan hukumnya tidak mengenal
dan ditemukan adanya unsur peradilan administrasi. Argumentasi yang
diketengahkan Dicey untuk hal itu adalah bahwa persamaan dihadapan hukum
atau penundukan yang sama dari semua golongan kepada ordinary law of the land
yang dilaksanakan oleh ordinary court, ini berarti bahwa tidak ada orang yang
berada di atas hukum, baik pejabat maupun warga negara biasa berkewajiban
untuk menaati hukum yang sama; tidak ada peradilan administrasi negara. 26))
Penekanan atas prinsip persamaan di hadapan hukum (equality before the law)
membuat arti peradilan administrasi dianggap tidak signifikan.
25) Ibid.,hlm. 2.
26) Suharizal dan Firdaus Arifin, Refleksi Reformasi Konstitusi 1999-2002, Bandung: Citra
Aditya Bakti,2007,hlm.61.

26

Pada dasarnya Prinsip equality before the law menghendaki agar prinsip
persamaan antara rakyat dengan pejabat administrasi negara harus juga tercermin
dalam lapangan peradilan. Pejabat administrasi atau Pemerintah atau rakyat harus
sama-sama tunduk kepada hukum dan bersamaan kedudukannya di hadapan
hukum.27) Prinsip equality before the law hanya salah satu ciri rule of law yang
dikemukakan oleh A.V. Dicey sebagai berikut : 28)
1. Supremasi hukum, dalam arti tidak boleh ada kesewenang-wenangan
sehingga seseorang hanya dapat dihukum jika melanggar hukum.
2. Kedudukan yang sama di depan hukum baik bagi rakyat biasa maupun
bagi pejabat.
3. Terjaminnya hak-hak asasi manusia oleh undang-undang dan keputusankeputusan pengadilan.
Masih menurut Dicey, arti ciri pertama dari the rule of law di atas adalah
supremasi absolut atau predominasi dari reguler law, untuk menentang pengaruh
dari arbitary power dan meniadakan kesewenang-wenangan, prerogatif

atau

discretionary authority yang luas dari pemerintah; kedua, konstitusi adalah hasil
the ordinary law of the land bahwa hukum konstitusi bukanlah sumber melainkan
merupakan konsekuensi dari hak-hak individu yang dirumuskan dan ditegaskan
oleh peradilan.29)
Demikian juga E.C.S. Wade mengetengahkan 3 ciri rule of law, yakni : 30)
1. Mendahulukan hukum dan ketertiban dalam masyarakat daripada anarki.
2. Pemerintahan harus dilaksanakan sesuai dengan hukum.
3. Ada peraturan perundang-undangan yang dijadikan dasar melaksanakan
perbuatan.
27) S.F. Marbun, Op.cit., hlm.12.
28) Marojahan, Loc.cit.,hlm. 4.
29) Suharizal dan Firdaus Arifin, Op.cit., hlm. 61.
30) Marojahan, Loc.cit.,hlm. 4.

27

3. Negara Hukum di Indonesia
Tanpa dicantumkannya konsep negara hukum dalam batang tubuh UUD
1945 sekalipun, dengan sendirinya dapat disimpulkan dan disepakati bersama
bahwa prinsip-prinsip dan ciri negara hukum yang termuat di pembukaan menjadi
isyarat nyata untuk menentukan Indonesia memang menganut konsep negara
hukum. Ketentuan yang menyatakan bahwa Indonesia adalah negara yang
berdasarkan atas hukum (rechtsstaat) dan tidak berdasarkan kekuasaan semata
(machtstaat) ditemukan pada Penjelasan UUD 1945, demikian pula ketentuan
mengenai sistem pemerintahan Indonesia. Dalam Penjelasan disebutkan bahwa
sistem Pemerintahan Indonesia menganut sistem konstitusional. Artinya
Pemerintah berdasarkan atas sistem Konstitusi (Hukum Dasar), tidak berdasarkan
absolutisme.
Di Indonesia, istilah negara hukum sering diterjemahkan rechtsstaats atau
the rule of law. Paham rechtsstaats, pada dasarnya bertumpu pada sistem hukum
Eropa Kontinental.31) Apabila dimaknai sesuai dengan Pembukaan UUD 1945
tersebut maka negara hukum yang dimaksudkan di Indonesia adalah negara
hukum yang dijiwai oleh nilai-nilai religius, nilai-nilai kemanusiaan, nilai-nilai
kerakyatan dan nilai-nilai keadilan.32)

Tidak ingin tertinggal dengan konsep

negara hukum lainnya, Indonesia memiliki suatu unsur pembeda yang menjiwai

31) Suharizal dan Firdaus Arifin, Op.cit., hlm. 61.
32) Naskah Akademik Kajian Komperehensif Komisi Konstitusi tentang Perubahan
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 kajian komprehensif, Jakarta:
Sekretariat Jenderal MPR RI,2004, hlm. 39.

28

seluruh aktivitas negara hukumnya. Unsur yang dimaksud adalah lima sila hasil
rumusan filosofis founding fathers yang dikenal dengan Pancasila.
Pancasila yang menjiwai kehidupan bernegara mendorong lahirnya istilah
Negara Hukum Pancasila. Sederhananya, Negara Hukum Pancasila adalah negara
yang berdasarkan Pancasila

yang menjunjung tinggi faham kekeluargaan.

Pancasila dan faham atau asas kekeluargaan bukan merupakan satu konteks
pengertian, namun keduanya saling berhubungan erat. Hubungan tersebut
dinyatakan Sri Soemantri dalam Bunga Rampai Hukum Tata Negara bahwa
keduanya tidak dapat dibedakan apalagi dipisahkan antara Negara Pancasila
(negara yang berdasarkan filsafat Pancasila) dan Negara Kekeluargaan. Dengan
perkataan lain, Negara Kekeluargaan hanya terdapat dalam negara berdasarkan
Pancasila sedangkan negara yang berdasarkan Pancasila selalu merupakan Negara
kekeluargaan.33) Ciri lainnya dari Negara Hukum Pancasila yang dipaparkan
Senoadji ialah adanya jaminan terhadap freedom of religion atau kebebasan
beragama. Tetapi, kebebasan beragama di Negara Hukum Pancasila selalu dalam
konotasi yang positif, artinya tiada tempat bagi ateisme atau propaganda anti
agama di Bumi Indonesia. Ciri berikutnya adalah tiada pemisahan yang rigid dan
mutlak antara agama dan negara.34)
Untuk mendapatkan pandangan yang menyeluruh mengenai negara hukum
Pancasila di Indonesia, berikut ini dipaparkan hal-hal yang mengindikasikan
Negara Republik Indonesia sebagai Negara Hukum. Ketentuan-ketentuan tersebut

33) Marojahan, Loc.cit.,hlm. 24.
34) Muhammad Tahir Azhary, Op.cit.,hlm. 93.

29

tersebar di dalam Undang-undang Dasar 1945 baik dalam Pembukaan, Batang
Tubuh maupun Penjelasan sebagai berikut :35)
1. dalam Penjelasan UUD mengenai Sistem Pemerintahan Negara
Indonesia, ditemukan penekanan pada hukum (rechts) yang dihadapkan
dengan kekuasaan (macht). Artinya UUD 1945 menempatkan penolakan
terhadap hak-hak kemanusiaan. Rumusan yang terdapat pada Penjelasan
UUD 1945 tersebut, sesungguhnya merupakan penjabaran dari Pokokpokok Pikiran yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 yang
memuat cita hukum (rechtssidee).
2. penegasan penolakan terhadap kekuasaan yang bersifat absolutisme itu,
kemudian dipagar dan dikunci secara ketat perumusan sistem
pemerintahan yang berdasarkan atas konstitusi (hukum dasar). Dengan
demikian negara hukum menurut UUD 1945 adalah negara hukum
dengan sistem konstitusional.
3. negara hukum yang dimaksud dalam Penjelasan UUD 1945, bukanlah
negara hukum dalam arti formal atau negara penjaga malam, tetapi
negara hukum dalam arti luas yakni negara hukum dalam arti material.
Sebab dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945, disebutkan negara
bukan saja melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia, tetapi juga harus memajukan kesejahteraan umum dan
mencerdaskan kehidupan bangsa.
4. negara hukum yang dimaksud dalam Penjelasan UUD 1945 harus
sejalan dengan negara demokrasi, sehingga keduanya merupakan dua
pilar yang tegak lurus dan saling menopang. Karena itu MPR sebagai
pemegang kedaulatan rakyat harus benar-benar tercermin sebagai
penjelmaan seluruh rakyat Indonesia, sehingga benar-benar terjamin sifat
demokratisnya.
5. dalam negara hukum Indonesia menurut UUD 1945, kekuasaan Kepala
Negara harus terbatas dan bukan tak terbatas. Artinya Kepala Negara
bukan diktator. Meskipun Kepala Negara tidak bertanggung jawab
kepada Dewan Perwakilan Rakyat, tetapi Kepala Negara harus
memperhatikan sungguh-sungguh suara Dewan Perwakilan Rakyat.
Untuk menghindari Presiden bersifat absolut, kedudukan dan peranan
DPR diletakkan pada posisi yang kuat, sehingga DPR tidak dapat
dibubarkan oleh Presiden. DPR melakukan pengawasan terhadap
Presiden dan bahkan memegang wewenang memberikan persetujuan
kepada Presiden dalam menetapkan undang-undang dan APBN. Hal ini
mencerminkan kuatnya kedudukan rakyat dalam sistem Pemerintahan
Negara Indonesia.
6. dalam Batang Tubuh UUD 1945 ditemukan juga beberapa ketentuan
mengenai rumusan hak-hak kemanusiaan yang dijelmakan dalam
rumusan “hak-hak warganegara” dan kedudukan penduduk.
35) S.F. Marbun, Op.cit., hlm.15-16.

30

Mengingat bahwa konsep negara hukum Republik Indonesia tidak secara
tegas tercantum dalam batang tubuh melainkan dalam penjelasan maka pada
perkembangannya konsep Negara Hukum memiliki tempat tersendiri dalam
batang tubuh UUD 1945 setelah amandemen tahap ke-3 (tiga). Ketentuan tersebut
ditetapkan secara konstitusional di Pasal 1 ayat (3) yaitu “Negara Indonesia adalah
Negara Hukum”.
Persamaan pokok antara rechtsstaat dengan rule of law adalah adanya
keinginan untuk memberikan jaminan terhadap hak-hak asasi manusia. Dengan
demikian, dapat ditarik benang merah bahwa inti konsep negara hukum adalah
negara yang segala tindak tanduk pelaksanaannya tunduk pada peraturan hukum
yang berlaku. Sedangkan tujuan negara hukum pada intinya memiliki tujuan yang
sama dengan hakikat konstitusi tidak lain dari perwujudan paham tentang
konstitusi atau konstitusionalisme yaitu pembatasan terhadap kekuasaan
pemerintah di satu pihak dan jaminan terhadap kekuasaan pemerintahan di satu
pihak dan jaminan terhadap hak-hak warga negara manapun setiap penduduk di
pihak lain.36)
B. Kajian Teoritis Tentang Konstitusi
1. Tinjauan Umum Konstitusi
Konstitusi bagi suatu negara hukum merupakan harga mati yang tidak bisa
ditawar lagi. Seperti yang telah disinggung sebelumnya, negara hukum
memerlukan konstitusi untuk memuat aturan dasar yang menjadi sumber berbagai

36) Bagir Manan, Pertumbuhan dan Perkembangan Konstitusi Suatu Negara, Bandung:
Mandar Maju,1995, hlm. 6.

31

peraturan di bawahnya. Bahkan menurut Sri Soemantri, tidak ada satu Negara
pun di dunia sekarang ini yang tidak mempunyai konstitusi atau Undang-Undang
Dasar. Negara dan konstitusi merupakan dua lembaga yang tidak dapat dipisahkan
satu dengan yang lainnya, demikian Sri Soemantri.37)
Berbicara konstitusi berarti berbicara mengenai hukum, dan untuk
pengertian hukum dapat dilihat dalam penjelasan Undang-undang Dasar 1945,
Bab Umum No. IV yang dirumuskan sebagai berikut :38)
“ Undang-Undang Dasar hanya memuat aturan-aturan pokok, menurut garisgaris besar sebagai instruksi kepada pemerintah pusat dan lain-lain
penyelenggara negara untuk menyelenggarakan kehidupan negara dan
kesejahteraan sosial.”
Dari penjelasan tersebut undang-undang dapat diartikan hukum sebagai alat
atau sarana dalam penyelenggaraan negara dan kesejahteraan sosial. Mengenai
sumber hukum dapat dilihat dalam penjelasan UUD 1945, Bab Umum No. III
yang dirumuskan sebagai berikut :
“ Pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam pembukaan meliputi suasana
kebatinan dari UUD negara Indonesia, pokok-pokok pikiran ini mewujudkan
cita-cita hukum negara, baik hukum tertulis (UUD) maupun tidak tertulis. 39)
Sedang fungsi hukum menurut UUD 1945 lebih diperluas di dalam
penjelasan pada Pasal 28,29 ayat 1 dan Pasal 34, sebagai berikut :
“ Pasal-pasal baik yang hanya mengenai warga negara maupun yang
mengenai seluruh penduduk memuat hasrat bangsa Indonesia untuk
membangun negara yang bersifat demokratis dan yang hendak
menyelenggarakan keadilan sosial dan perikemanusiaan” 40)
37) Sri Soemantri, Op.cit., hlm. 2.
38) Toga Hutagalung, Hukum dan Keadilan dalam Pemahaman Filsafat Pancasila dan
UUD 1945, (Disertasi Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, Bandung), hlm. 24.
39) Ibid., hlm.25.
40) Ibid.

32

1.1 Pengertian Konstitusi
Konstitusi secara etimologis berasal dari bahasa Latin yaitu constituo
(tunggal), constituones (jamak). Istilah konstitusi berasal dari bahasa Perancis
(constituer) yang berarti membentuk. Pemakaian istilah konstitusi yang
dimaksudkan ialah pembentukan suatu negara atau menyusun dan menyatakan
suatu negara.41) Konstitusi merupakan segala ketentuan dan aturan mengenai
ketatanegaraan (Undang-Undang Dasar, dan sebagainya, atau Undang-Undang
Dasar suatu negara).42) Berbeda halnya dengan konstitusionalisme, yaitu suatu
paham mengenai pembatasan kekuasaan dan jaminan hak-hak rakyat melalui
konstitusi.43) Pembatasan ini dilatarbelakangi suatu pemikiran bahwa kekuasaan
yang terpusat pada satu tangan akan sulit mewujudkan cita-cita bangsa yang
mendambakan keadilan dan kesejahteraan. Penyebabnya, menurut Lord Acton,
power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely.44)
Undang-Undang Dasar sering disebut dengan istilah “konstitusi”. Sri
Soemantri dalam disertasinya dan Struycken merupakan beberapa ahli yang
menganggap konstitusi sama dengan Undang-Undang Dasar. Tetapi pengertian
konstitusi yang disamakan dengan Undang-Undang Dasar, adalah suatu
kekeliruan pandangan.45) Sebab jika ditelusuri lebih jauh dalam kepustakaan,
ternyata ada perbedaan pengertian antara Undang-Undang Dasar dan konstitusi.
Argumentasi tersebut dapat terlihat dari perbandingan pengertian konstitusi
dalam arti luas dan sempit. Berikut menurut Krisna Harahap, konstitusi dapat
41) Dahlan Thaib, dkk., Teori dan Hukum Konstitusi, Jakarta: RajaGrafindo, 2005, hlm.1.
42) Ibid., hlm 1.
43) Ibid.
44) Krisna Harahap, Konstitusi Republik, Op.cit., hlm.7.
45) Abu Daud Busroh dan Abu Bakar Busroh, Op.cit., hlm. 41.

33

diartikan secara luas maupun sempit. Konstitusi dalam arti luas diartikan sebagai
dokumen hukum (legal document) resmi dengan kedudukan yang sangat
istimewa, baik

bentuk tertulis (written) maupun tidak tertulis (unwritten).

Sedangkan dalam pengertian sempit, nama yang diberikan, yakni Undang-Undang
Dasar (UUD) kepada dokumen hukum, dokumen politik yang berisi antara lain
susunan organisasi negara dan cara kerjanya. 46)
Menurut Herman Heller, bahwa konstitusi mempunyai arti yang lebih luas
daripada Undang-Undang Dasar. Konstitusi, sesungguhnya tidak hanya bersifat
yuridis semata-mata, melainkan juga sosiologis dan politis. Sedangkan UndangUndang Dasar, hanya merupakan sebagian dari pengertian konstitusi, yakni die
geschreiben verfassung atau konstitusi yang ditulis.47) Sedangkan istilah Undang –
Undang Dasar merupakan terjemahan istilah yang dalam bahasa Belandanya
disebut Gronwet. Perkataan wet diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia undang
– undang dan grond berarti tanah/dasar.48)
K.C. Wheare dalam buku Modern Constitution : 1966 mengartikan
konstitusi sebagai keseluruhan sistem ketatanegaraan dari suatu negara berupa
kumpulan peraturan-peraturan yang

membentuk, mengatur atau memerintah

dalam pemerintahan”. 49)
C.F. Strong dalam buku Modern Political Constitution : 1966
mendefinisikan konstitusi sebagai “A constitution is a collection of principles
according to which the powers of government, the right of the government and the
46) Krisna Harahap, Konstitusi Republik Op. Cit., hlm.1.
47) Dikutip oleh Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim dan dikutip kembali oleh Abu
Daud Busroh dan Abubakar Busro, Op.cit.,hlm.41.
48) Dahlan Thaib, dkk., Op.cit., hlm.7.
49) Ibid., hlm. 13.

34

relation between the two are adjusted.”

50)

Dari rumusan tersebut menunjukkan

bahwa Strong telah menafsirkan konstitusi dalam arti sempit, yakni berupa
sebuah naskah ataupun sekumpulan peraturan-peraturan yang mengandung
otoritas sebagai Hukum Tata Negara.51)
1.2 Materi Muatan Konstitusi
Struycken dalam bukunya Het Staatsrecht van Het Koninkrijk der
Nederlanden menyatakan bahwa Undang-Undang Dasar sebagai Konstitusi
tertulis merupakan sebuah dokumen formal yang berisi:52)
1. Hasil perjuangan politik bangsa di waktu yang lampau.
2. Tingkat-tingkat tertinggi perkembangan ketatanegaraan bangsa.
3. Pandangan tokoh-tokoh bangsa yang hendak diwujudkan, baik untuk
waktu sekarang maupun untuk masa yang