Peran Dan Posisi Media Dalam Pemeberanta

1

Peran Dan Posisi Media
Dalam Pemeberantasan Terorisme
Meka Ediyanto
Asymmetric Warfare
Indonesian Defense University
Jl. Salemba Raya, No.14. Jakarta Pusat
faeyza151008@yahoo.com

Abstract
: Media to be one of the means that can influence policy, strategy, and
tactics in counter-terrorism program. State actors and non-state actors is dependent
upon the function of the media in achieving their own interests. For terrorists, the
media is one important factor in supporting the implementation of its actions, while the
use of the media by the government is used to gain legitimacy, mobilize support,
disseminate information about the measures taken; and means of communication
between the leaders of the country.
Keywords

: Media, Information, Counter-Terrorism.


1. Pendahuluan
Terorisme tidak selalu menentang globalisasi, namun, terorisme juga
memanfaatkan

globalisasi

untuk

kepentingannya.

Jaringan

terorisme

memanfaatkan teknologi dan komunikasi untuk menyebarkan ideologi dan
aksinya. Penyampaian pesan dan pemberitaan dapat dengan cepat terkirim
ke masyarakat global maupun kelompoknya melalui media massa, baik media
elektronika maupun media cetak. Salah satu tujuan dari kelompok teroris
dalam pemanfaatan media massa adalah dampak secara luas dalam

penyebaran pesan atas rasa takut, ancaman, ideologi, perekrutan dan
mengembangkan sel-sel terornya.
Peran media menjadi hal yang penting sebagai respon dalam
mengahadapi ancaman asimetris, oleh karena opinion leadernya yang sangat
strategis dan efektif yang dapat mempengaruhi, baik situasi nasional, regional
maupun internasional diberbagai bidang. Kekuatan media dapat dijadikan alat
untuk merubah persepsi, opini dan kontrol sosial yang mengarah kepada

Universitas Pertahanan Indonesia

2

kebijakan publik. Persepsi dan nilai-nilai yang disampaikan oleh media massa
sering kali dianggap sebagai persepsi masyarakat keseluruhan. Semakin
sering berita tersebut munculkan, maka akan semakin besar pengaruh yang
akan didapatkan. Melalui berita-berita yang disiarkan, secara tidak langsung
telah memberikan referensi kepada masyarakat untuk mempengaruhi
keputusan politik, termasuk dalam hal pemberantasan terorisme.
Tulisan ini akan membahas dan menganalisis bagaimana peran dan
posisi media dalam pemberantasan terorisme. Tujuan penulisan ini adalah

menganalisis peran dan posisi media dalam pemberantasan terorisme.
Pembahasan dalam tulisan ini terfokus pada; (1) Pengertian; (2) Landasan
Teori; (3) Peran media dalam aktivitas terorisme; dan (4) Peran dan Posisi
media dalam pemeberantasan terorisme di Amerika Serikat (bahan
perbandingan) ; serta (5) Peran dan Posisi media dalam pemeberantasan
terorisme.
2. Pembahasan
Mengatasi akar terorisme yang bermotif ideologis, doktrinal, serta
penyebarannya yang bervariasi, memerlukan berbagai macam cara dengan
melibatkan banyak peran dari berbagai pihak elemen kekuatan nasional
terkait. Elemen-Elemen kekuatan nasional itu, harus saling bersinergi dalam
menginterpretasikan teks-teks, percetakan, penerbit, media, baik cetak
maupun online dan lain-lain. Masing-masing bergerak di medan ahlinya
sehingga terbentuk kekuatan integral secara komprehensif, tanpa hal
tersebut, maka, pemberantasan terorisme baik dari dalam maupun dari luar
negeri sulit terwujud dalam konsep peperangan asismetris

1

, seperti


penggunaan kekuatan media. Oleh karena itu, dalam menganalisis
bagaimana peran dan posisi media dalam pemberantasan teroris, maka perlu

1

Rod Thornton. 2007. Asymmetric Warfare. UK: Polity Press. Hal. 1.

Universitas Pertahanan Indonesia

3

memahami bagaimana peran dan posisi media bagi aktivitas teroris itu sendiri
dan perbandingannya dengan negara lain.
2.1 Pengertian
Berikut penulis menguraikan beberapa pengertian terkait peran dan posisi
media dalam pemberantasan terorisme, yaitu terorisme, media massa, dan
informasi.
2.1.1


Terorisme

Defenisi tentang terorisme yang diungkapkan oleh A.M. Hendropriyono
terkait tentang kecemasan yang ekstrim di masyarakat yang pada gilirannya
dapat mengancam ketahanan nasional suatu bangsa 2 . Hendropriyono 3
menambahkan bahwa dalam pengembangan jejaringnya yang menggunakan
pendekatan network theory of organization (teori jaringan organisasi) teroris
berfokus pada interaksi links, nodes, key nodes dan cluster sebagaimana
diuraikan di atas, yang memiliki pondasi kuat pada bahasa perlokusi,
modernisasi

dan

sekularisasi

dalam

konsep

pencerahan,


dinamika

organizationally networked yang lebih berorientasi pada goal oriented dari
pada role oriented, tidak selalu top down dalam pengambilan keputusan, dan
keleluasaan pada jaringan.
2.1.2

Media Massa

Media massa merupakan elemen integral dan penting dari masyarakat
lokal, nasional, regional, maupun global untuk menyediakan berbagai
kebutuhan informasi bagi masyarakat dan merupakan hak asasi manusia
yang harus dijunjung tinggi oleh semua bangsa. Dalam mengantisipasi
ancaman asimetris yang dilancarkan melalui media massa dapat mengacu
kepada bahasan mengenai Kebijakan Strategis Penyelenggaraan Pertahanan
2

Hendropriyono A.M.Terorisme, Fundamentalis Kristen, Yahudi, Islam. Jakarta: PT Kompas
Media Nusantara. Hal 341. 2009.

3
ibid.

Universitas Pertahanan Indonesia

4

Negara khususnya pada sub bahasan menghadapi ancaman nirmiliter
berdimensi Ideologi, Politik, Ekonomi, Sosial Budaya, Teknologi dan
Informasi, serta Keselamatan Umum. Hal dimaksud menuntut adanya
sinergitas antara Lembaga Pemerintah, Dewan media, dan Media Nasional
serta masyarakat dalam rangka pertahanan dan keamanan negara.
2.1.3

Informasi

Menurut Kementerian Pertahanan RI, Informasi adalah suatu atau
sekumpulan data, termasuk namun tidak terbatas pada angka, huruf, tanda,
rancangan, sketsa, gambar, tulisan, kode, kode akses, simbol, peta, foto,
pertukaran data elektronik (electronic data interchange), surat electronik

(electronic mail), pesan text (texting messages), telegram teleks, telecopy dan
yang sejenisnya, suara, video, atau perforasi yang telah diolah, sehingga
memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya, baik
dalam wujud elektronik maupun non elektronik. 4 Sedangkan keberadaan
Informasi itu sendiri dapat menjadi sasaran ancaman berdasarkan lingkungan
Informasi.5
Arus informasi ini menyebabkan sistem informasi dapat mempengaruhi
situasi

dalam

pengambilan

keputusan,

dan

kemampuan

ini


dapat

dimanfaatkan dan digunakan secara agresif. Ledakan informasi dan
kecepatan sistem komunikasi yang dapat, menyimpan, memodifikasi, dan
menyebarkannya dapat mempengaruhi berbagai bidang. Oleh karena itu,
pemerintah dapat mengambil tindakan untuk mengontrol, memanfaatkan dan
menggunakan kemampuan sistem informasi dengan baik didalam bentuk
pemberantasan terorisme. Informasi yang lengkap, akurat, dan cepat menjadi
dasar pembuatan kebijakan atau untuk menyusun strategi dan taktik dalam
pemberantasan terorisme.

4

Kemenhan RI. Kajian Organisasi Pertahanan Siber. Jakarta : Dirjen Pothan. 2013.
Sumari, Arwin. Sumari. Konsep Pengembangan Organisasi TNI AU Dalam Era Perang
Informasi Ditinjau Dari perspektif Operasi Informasi. 2006.

5


Universitas Pertahanan Indonesia

5

2.2 Landasan Teori
Berdasarkan resolusi majelis umum PBB

6

mengungkapkan bahwa

penanggulangan terorisme dilakukan dengan berbagai strategi antara lain
adalah

pencegahan

kondisi

kondusif


dalam

penyebaran

terorisme,

langkah-langkah mencegah dan memberantas terorisme, pengembangan
kapasitas negara dan memperkuat peran sistem pertahanan dalam mencegah
serta pemberantasan terorisme. Penjelasan dimaksud diatas dapat dijadikan
pedoman bagaimana upaya pemberantasan terorisme dilakukan melalui
peran dan posisi media. Sejalan dengan hal tersebut, Counter Terrorism
Implementation Task Force (CTITF) menyatakan bahwa tindakan (dapat
berupa kebijakan dan program) yang bertujuan untuk mengatasi beberapa
kondisi yang dapat mendorong beberapa orang ke jalan dengan terorisme.
Hal tersebut berarti membutuhkan adanya program secara nasional tentang
upaya counter terrorism.
Pepatah terkenal Alvin Toffler mengatakan barang siapa menguasai
informasi maka akan menguasai dunia dengan faktor mind (pikiran,
pengetahuan) dalam terra incognita (daerah yang tidak dikenal). Pepatah
tersebut diperkuat oleh kemajuan teknologi yang semakin krusial dan
berdampak luas serta digunakan sebagai kekuatan.7 Mengamati pentingnya
informasi, seperti melalui media, Lorenzo Vidino dan James Brandon terkait
pemberantasan terorisme mengungkapkan upaya pencegahannya, sebagai
berikut: (1) melaksanakan pencegahan secara umum pada masyarakat
terhadap ide-ide dan pengaruh teroris, mempromosikan prinsip-prinsip
toleran, moderat dan demokratis, serta mencegah meningkatnya kerawanan
radikalisme. (2) mengintervensi individu yang telah mengadopsi ideologi
teroris, atau yang sudah melakukan aksi terorisme.
Dalam

konteks

Indonesia,

pembahasan

media

massa

terkait

6

Resolusi majelis umum PBB No.60/288 tahun 2008 tentang Global Counter Terrorisme
Strategy.
7
Arreguin-Toft, Ivan. 2001. How the Weak Win Wars, dalam Jurnal International Security.
Vol.26, No 1.

Universitas Pertahanan Indonesia

6

pemberantasan terorisme dapat digunakan beberapa Undang-Undang
Republik Indonesia sebagai dasar, antara lain adalah UUD 1945 Pasal 27
ayat (3) yang menyatakan kewajiban warga negara dalam upaya bela negara,
dan pasal 30 ayat 1 tentang kewajiban warga negara dalam upaya
pertahanan dan keamanan

negara.

Selain

itu, juga terdapat pada

Undang-Undang Dasar tahun 1945 pasal 28 (F) tentang hak warga negara,
Undang-Undang No.34 tentang TNI, Pasal 7 ayat (1) dan (2), Undang-Undang
No.11 tentang ITE Pasal 2, dan Peraturan Dewan Media Nomor 6 Tahun 2008
Pasal 3 dan 6, UU No. 40 Tahun 1999 pasal 15 ayat (2c) dan (2d), Pasal 5
ayat (1) dan (2), Pasal 4 ayat (1-5), UU No 32 Pasal 5 (i), dan Pasal 36 (4)
serta UU No. 11 Pasal 28 Ayat (1) dan Pasal 38 Ayat (2). Beberapa
penjelasan diatas dapat dijadikan landasan dalam menganalisis peran dan
posisi media dalam pemberantasan terorisme.
2.3 Peran Media Dalam Aktivitas Terorisme
Perlu diingat bahwa bagaimana teroris mampu bertahan dalam jangka
waktu yang sangat lama. Hal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, salah
satunya adalah pemanfaatan netwar atau jaringan perang sebagai strategi
yang tepat dan melalui rekrutmen yang mampu meningkatkan kemampuan
teknologi informasi dan potensi radikal. Media bagi teroris adalah
simbiosis-mutualisme (hubungan yang saling menguntungkan antara dua
organisme). 8 Media massa dan teroris memiliki kepentingan yang sama,
teroris menyusun dan memanfaatkan strategi media mereka, sementara di
lain pihak, media menempatkan kepentingannya pada aktivitas kelompok
teroris. Hubungan teroris dan media merupakan bagian dari konsepsi umum
operasi informasi yang meliputi : agitasi, propaganda, Indoktrinasi, dan fokus
secara internal maupun eksternal operasi informasi teroris. Melalui penjelasan
diatas, maka, penulis menganalisa peran media dalam aktivitas terorisme
8

Hendropriyono, A.M. Terorisme, Fundamentalis Kristen, Yahudi, Islam. Jakarta: PT Kompas
Media Nusantara. Hal 218. 2009.

Universitas Pertahanan Indonesia

7

terkait bidang informasi, sumber daya manusia, pendanaan (financing), politik,
diplomasi, dan legitimasi, serta militer.
2.3.1

Informasi

Kelompok teroris menyadari bahwa peran media terkait informasi sangat
penting dalam perjuangannya melawan hegemoni dan universalisasi.9 Oleh
karena, banyak hal yang dapat dilakukan melalui media, antara lain tindakan
atau gangguan atau serangan yang mampu merusak atau segala sesuatu
yang

merugikan,

sehingga

mengancam

kerahasiaan

(confidentiality),

integritas (integrity) dan ketersedian (availability) sistem dan informasi 10
melalui propaganda dan bentuk lainnya. Propaganda melalui media massa
telah disadari sebagai kekuatan yang efektif dan dapat dimanfaatkan oleh
kelompok teroris sebagai kekuatan dalam menyebarkan pesan paham
perjuangan politiknya.
Muwaffaq Al-Jamal, Kepala Pusat Informasi Hizbullah mengatakan bahwa
informasi adalah salah satu senjata yang paling penting dan bagian tidak
terpisahkan dari setiap perang atau pertempuran dengan musuh. Hal tersebut
diperkuat oleh pernyataan Abd. Al-Rahman Al-Rasyid, Juru Bicara Al-qaeda
bahwa kelompoknya telah berhasil menyebarluaskan makna penting dari
kejadian serangan 911 kesluruh dunia. Alasan kuat pemanfaatan media
massa dalam mencapai tujuan dan kepentingan bagi kelompok teroris adalah
mengelola penafsiran serangan mereka, makna, dan simbolisme, baik dalam
menyebarkan informasi, pemberitaan tentang kebijakan dan strategi, maupun
langkah-langkah yang diambil oleh pimpinan kelompok teroris serta
memperkenalkan tujuan dan motif yang mereka lakukan.
Strategi dan taktik yang digunakan oleh teroris melalui peran media
digunakan untuk menyampaikan pesan ketidakadilan dan ancaman psikologis
dalam penyebaran ketakutan kepada masyarakat secara luas. Dalam
A. Safril Mubah, “Teroris Versus Globalisasi, Perlawanan Jaringan Jamaah Islamiyah
terhadap Hegemoni Amerika”, (Surabaya: PT. Revka Petra Media), 9. 2012.
10
Hutchinson,B and Warren, M. Information Warfare. Oxford : Butterworth-Heinemann. 2001.
9

Universitas Pertahanan Indonesia

8

menyebarkan

pesan

radikal

orang-orang

yang

dipilih

tidak

harus

meninggalkan negara asal mereka, namun dapat dilakukan dengan bantuan
orang lain yang telah bepergian ke luar negeri untuk melaksanakan pelatihan
dan indoktrinasi. Disamping itu, media juga merupakan salah satu sarana
komunikasi antara pimpinan kelompok teoris yang tersebar diberbagai daerah
atau negara dilakukan melalui media massa.11
Peranan yang sangat vital didalam menjalankan organisasi terorisme
yang bekerja pada tataran psikologi untuk menghasilkan pengaruh yang
bersifat negatif terhadap pihak lawan dalam skala strategis. Oleh karena itu,
kelompok teroris sangat berhati-hati dan sangat selektif dalam menentukan
siapa yang akan memegang kepercayaaan penting sebagai Juru Bicara.
Dalam hal ini, terdapat beberapa alasan dan pertimbangan dalam memilih
Juru bicaranya secara sangat selektif, sebagai contoh dilakukan oleh
kelompok Al-qaeda pimpinan Osama bin Laden, sebagai berikut ; (1) Sebagai
jabatan strategis dan sebagian besar pernah hidup dan besar di negara yang
menjadi target serangan serta mengetahui dan memahami wilayah sasaran
yang akan dituju; (2) Sebagai jabatan penting dan biasanya dipilih dari kerabat
atau teman dekat Osama bin Laden untuk menjadikan media massa sebagai
ajang propoganda ideologi dan politik mereka; (3) Sebagai jabatan yang
krusial dan diseleksi dengan ketat dengan memilih orang-orang tertentu
dengan tingkat pendidikan dan intelijensia yang tinggi, ahli dalam hal
komunikasi massa yang bertujuan untuk menjadi salah satu tokoh yang
mengatur strategi perang media.
2.3.2

Sumber Daya Manusia

Dalam perkembangan sejarah terorisme dipahami adanya sponsorship
untuk melancarkan dan mengatasi keterbatasan sumberdaya yang dimiliki
oleh organisasi teror seiring dengan keinginannya untuk tetap eksis
melaksanakan aksinya. Mickolus mengatakan bahwa secara teori dukungan
11

Manullang A.C. Terorisme dan Perang Intelijen . Jakarta: Manna Zaitun. Hal .240. 2006.

Universitas Pertahanan Indonesia

9

eksternal diperlukan untuk menjamin kelangsungan hidup sebuah organisasi
teroris karena keterbatasan sumberdaya yang dihasilkannya 12 , termasuk
sumber daya manusia. Salah satu cara mengatasi keterbatasan sumber daya
manusia dimaksud, organisasi teroris memanfaatkan media massa dalam
pemenuhan kebutuhan bagi organisasi teroris, termasuk

dalam

hal

perektrutan anggota.
Kesadaran kelompok teroris akan strategi penggunaan media massa
sangat menentukan keberhasilannya didalam melaksanakan misi, selain
untuk meningkatkan moral dalam kelompok, juga merupakan strategi dalam
berbagai

tingkatan

multi-audiance

untuk

secara

menangani

bersamaan

dan

dengan

Perekrutan anggota teroris diarahkan pada

mendapatkan

tujuan

merektut

simpatisan dan

khalayak
anggota.
potensi

radikalisme melalui proses indoktrinasi dan juga dilakukan terhadap ahli-ahli
IT (Information Technology) 13 yang berperan dalam cyberterrorism 14 ,
hacktivism, dan propaganda untuk mengantisipasi dan menangkal ancaman
dan serangan informasi. Propaganda yang dilakukan oleh teroris melalui
media massa membuahkan hasil, terbukti munculnya paham-paham
radikalisme yang sentimen terhadap kebijakan-kebijakan Amerika Serikat
(AS) dan sekutunya diseluruh dunia. Pengikut-pengikut teroris terus tumbuh
dan berkembang, yang membuat perlawanan terus berlansung pasca
serangan WTC, maka dari itu, dapat dikatakan bahwa kelompok teroris
dimaksud dapat mewakili tren baru dalam privatisasi terorisme dengan adanya
media massa.

David B. Carter, “A Blessing or a Curse? State Support for Terrorist Groups”, (Princenton:
Department of Politics Princeton University, 2011), 5.
13
Dorothy E. Denning. Activism, Hactivism, And Cyberterrorim : The Internet AS A Tool For
Influencing Foreign Poplicy. 2001.
14
Gabriel Weimann. Cyberterrorism, How Real Is the Threat?. Wasington, DC. 2004.
12

Universitas Pertahanan Indonesia

10

2.3.3

Pendanaan (Financing)

Keuntungan bagi teroris dalam memanfatkan media adalah karena biaya
yang rendah, risiko yang rendah dan mempermudah promosi dalam
menunjukkan diri dan gerakan mereka, serta tujuan mereka dalam hal
pendanaan. Penekanan terhadap sumber dana teroris telah memunculkan
pemikiran teroris akan sumber pendanaan yang baru di era globalisasi yang
menciptidakan peluang bagi kegiatan terlarang mereka. PBB mengatakan
bahwa teroris memiliki pendapatan tahunan sampai triliunan dollar dari
berbagai kegiatan kriminal15, termasuk melalui media massa.
Dalam konteks Indonesia, persoalan pendanaan terorisme seperti
pembelian senjata, pelatihan militer, dan lain-lain kelompok teroris juga
dilakukan dengan salah satu metode melalui media massa, yaitu media
internet yang dikenal dengan cyber fa’i (perampokan melalui dunia maya)
dengan meretas situs investasi online speedline yang berhasil mengumpulkan
dana sebesar Rp. 7 Miliar16 oleh salah satu anggota kelompok terorisme yang
bernama Rizki untuk kepentingan kelompok teroris yang ada di Poso,
meskipun berhasil di gagalkan oleh aparat keamanan. Hal ini, membuktikan
bahwa dalam pendanaan terorisme, kelompok teroris juga sangat tergantung
pada media.
2.3.4

Politik, Diplomasi, dan Legitimasi

Berdasarkan kajian psikologi, norma dan pengaruh interpersonal
memberikan pengaruh terhadap sikap seseorang.17 Oleh karena itu, banyak
aktor politik radikal yang memanfaatkan peluang media untuk melakukan
propaganda kepada masyarakat untuk mempromosikan dan mengaktifkan
terorrisme. Strategi penggunaan media massa oleh teroris dimaksudkan untuk

15

David Larivee. 2005. Bulletin Intelijen. Asosiasi Professor Ekonomi Amerika Serikat. USA ;
Akademi Angkatan Udara.
16
Mbai, Ansyaad. Dinamika Baru Jejaring Teror di Indonesia. 2014.
17
Walter Reich (editor), “Origins of Terrorism, Tinjauan Psikologi, Ideologi, Teologi dan Sikap
Mental”, (Jakarta: PT Rajagrafindo persada). Hal 9. 2003

Universitas Pertahanan Indonesia

11

mencari perhatian internasional dan membangkitkan kesadaran lingkungan
masyarakat yang menjadi target maupun yang bukan target mereka serta
mengintimidasi komunitas yang menjadi target.

Hal ini, juga telah

memperbesar dampak isolasi tindakan kekerasan politik pada sekelompok
kecil orang pasca perang dingin18 yang bertujuan memperoleh pengakuan,
legitimasi, dukungan politik dalam kelompok mereka. Dari luar kelompok
teroris, media dapat memberikan pengaruh dan Implikasi bagi kekuasaan,
menggalang dukungan dari berbagai pihak, dan menarik simpati dan respek,
baik simpatisan maupun masyarakat yang mendukung aksi yang mereka
lakukan.
2.3.5

Militer

Teroris sangat mengandalkan militansi dari anggota kelompoknya dalam
melakukan setiap aksinya. Pendidikan, pelatihan, dan pembinaan terus
dilakukan di berbagai wilayah belahan dunia, termasuk di berbagai wilayah
yang ada di Indonesia. Dengan hadirnya media sebagai alat dan ruang yang
mempermudah berbagai kelompok orang di dunia dalam melakukan
aktivitasnya, maka kelompok terorispun memanfaatkan fasilitas ini dalam
memenuhi kepentingannya. Hal tersebut, mempermudah kelompok teroris
dalam mendapatkan dan mengadopsi strategi asimetris di bidang konflik
militer

dalam

pelaksanaan

tingkat

lapangan.

Disamping

itu,

teroris

berkepentingan untuk memberikan pelatihan militansi dari kelompoknya
melalui media massa dengan memberikan informasi tentang pelatihan,
pendidikan, dan pembinaan bagi kelompoknya. Pemahaman hal dimaksud
berdampak pada pola serangan berbasis teknologi yang sedang dipersiapkan
sebagai strategi baru dalam mengatasi pola keamanan yang semakin ketat
bagi kelompok teroris baik dilingkungan nasional maupun dikawasan.
Dari penjelasan diatas tentang peran media dalam aktivitas terorisme
terkait bidang informasi, sumber daya manusia, pendanaan (financing), politik,
18

Grant Wardlaw, Political Terrorism. New York: Cambridge University Press, 14-15.1986,

Universitas Pertahanan Indonesia

12

diplomasi, dan legitimasi, serta militer, maka penulis mengambil beberapa
kesimpulan bahwa peran media bagi teroris dapat dijabarkan, sebagai berikut
;
a. Penciptaan kondisi terorganisir sebagai publikasi kekuatan dan
kemampuan kelompok teroris untuk memperbesar dampak isolasi
tindakan kekerasan politik pasca perang dingin.
b. Salah satu senjata yang paling penting dan bagian tidak terpisahkan
dari setiap perang untuk mendapatkan dan mengadopsi strategi asimetris
di bidang konflik militer dalam pelaksanaan tingkat lapangan.
c. Media merupakan peluang baru bagi aktor politik radikal untuk
mempromosikan dan mengaktifkan terorrisme.
d. Keuntungan bagi teroris dalam memanfatkan media adalah karena
biaya yang rendah, risiko yang rendah, dan dapat mengelola penafsiran
serangan mereka, makna, simbolisme.
e. Sebagai strategi informasi untuk menangani khalayak yang berbeda
dan mendapatkan tingkat multi-audiance secara bersamaan, serta
mempermudah promosi dalam menunjukkan diri dan gerakan mereka.
f.

Menarik simpatisan, perekrutan, meningkatkan moral, mendapatkan

legitimasi atau dukungan politik dalam kelompok dan menggalang
dukungan dari berbagai pihak di luar, serta memberikan pengaruh dan
Implikasi bagi kekuasaan.
g. Menyebarkan informasi dan pemberitaan tentang kebijakan, strategi,
langkah-langkah dan salah satu sarana komunikasi antara pimpinan
kelompok yang tersebar diberbagai daerah atau negara.

Universitas Pertahanan Indonesia

13

2.4 Peran dan Posisi Media Dalam Pemeberantasan Terorisme di
Amerika Serikat (Bahan Perbandingan).
Terjadinya serangan terhadap gedung World Trade Center (WTC) di New
York, Amerika Serikat (AS) pada tanggal 11 September 2001 yang dikenal
dengan tragedi 911, merupakan keberhasilan misi kelompok teroris melalui
strategi media, mampu merubah pandangan dunia mengenai Strategi
Keamanan Nasional. Hal ini, telah membuka pemikiran berbagai negara atas
pentingnya melakukan upaya pemberantasan terorisme. Hampir setiap
negara memiliki kebijakan, strategi, dan taktik dalam upaya pemberantasan
terorisme, termasuk unsur pelibatan media sesuai dengan regulasi yang
berlaku,

baik

secara

internasional,

regional,

maupin

nasional.

Serangan-serangan melalui media yang telah dilakukan terhadap AS juga
telah membuka pemikiran tentang sebuah paradigma sistem pertahanan bagi
AS. Kebijakan AS melalui The U.S. by the Code of Federal Regulations19,
terkait peran dan posisi media dalam pemberantasan terorisme dapat dimbil
beberapa intisari, sebagai berikut ;
(1) Mencari simpati dunia internasional dalam kampanye pemberantasan
jaringan terorisme dalm program global war on terror.

(2) Melindungi

dan

menciptakan

rasa

aman

seluruh

warga

dan

kepentingan di dalam dan di luar negeri sesuai politik luar negeri AS.
(3) Mengantisipasi keamanan di dunia media terkait serangan yang
berdampak pada ancaman besar teradap core value security AS.

19

The U.S. by the Code of Federal Regulations. 2011. Definition of Terrorism, http://www.
terrorismfiles.org diakses 20 Januari 2011

Universitas Pertahanan Indonesia

14

(4) Memanfaatkan media massa sebagai sarana dan unsur sumber daya
nasional

untuk

melakukan

perang

informasi

dalam

program

pemberantasan terorisme.
(5) Menjadikan media sebagai komunikasi strategis dalam Struktur Dewan
Keamanan Nasional dan sebagai elemen kekuatan nasional.
(6) Kerjasama pemerintah federal dan organisasi media dalam melakukan
seminar pelatihan, keterampilan teknis, meningkatkan pemahaman
langkah-langkah dan kesiapan atas serangan teroris.
(7) Meningkatkan kerjasama antara media dan manajemen darurat internal
dengan mengintegrasikan perwakilan media dengan keamanan dalam
negeri untuk meningkatkan kesiapan respon keamanan.
(8) Memperbaiki sistem operasi informasi yang ada dengan mengalami
adaptasi terhadap perkembangan lingkungan yang terjadi.
(9) Mendirikan Badan Informasi Amerika Serikat (USIA) dan diperkuat oleh
organisasi yang terfokus pada komunikasi publik di bawah Departemen
Luar Negeri untuk melakukan dan melancarkan program pemberantasan
terorisme.
(10) Departemen Pertahanan AS membentuk Komando Cyber Amerika
Serikat20 untuk mengantisipasi ancaman melalui dunia maya.

Pengaruh media dalam kebijakan, seperti yang dideskripsikan diatas dapat
digolongkan, sebagai berikut ; (1) Pada tingkat kebijakan, media massa dapat
20

International Strategy For Cyberspace. Prosperity, Security, And Openness In a Networked
World . Washington, DC. s2011.

Universitas Pertahanan Indonesia

15

mempengaruhi agenda nasional. ; (2) Media memiliki kekuatan untuk
menentukan tindakan yang harus dilakukan warga dan pemerintah.
Sedangkan, pendekatan yang digunakan AS terkait ancaman terhadap sistem
teknologi informasi menjadi dua hal, yaitu; (1) Unintentional threats, dan
(2) Intentional threats. Penjelasan diatas membuktikan bahwa AS sebagai
salah satu negara korban terorisme internasional yang sangat reaksioner dan
cepat merespon dalam sikapnya dalam pemberantasan. Upaya-upaya yang
dilakukan menggambarkan bahwa AS memiliki perhatian yang besar terhadap
kemajuan teknologi informasi beserta dampaknya yang disesuaikan dengan
kepentingan nasional AS. Hal ini menjadikan apresiasi tersendiri bagi AS
terkait keseriusan dan intensitas perhatian AS dalam mengelola operasi
informasi terkait media melalui kebijakan yang diambil secara nasional dalam
hal pemberantasan terorisme.
2.5 Peran dan Posisi Media Dalam Pemeberantasan Terorisme.
Pemberantasan terorisme merupakan salah satu ujian yang harus dilalui
oleh masyarakat dan negara saat ini baik di skala nasional maupun
internasional dengan sebuah komitmen dalam kerangka berbangsa dan
bernegara, seperti yang diungkapkan oleh O’Connor :
“ It is during our most challenging and uncertain moments that our nation’s commitment
to due process is most severely tested; and it is in those times that we must preserve our
commitment at home to the principles for which we fight abroad (Hal yang paling
menantang kita dan saat ketidakpastian adalah proses komitmen bangsa kita yang
sedang diuji dan disaat kita harus mempertahankan komitmen kita dirumah dengan
prinsip-prinsip kita melawan di luar negeri)." Justice Sandra Day O’Connor, Hamdi v.
Rumsfeld, 2004)

Penggalan tulisan diatas menggambarkan bahwa di dalam upaya
memerangi dan memberantas terorisme membutuhkan sebuah komitmen
suatu bangsa untuk saling bersinergi dan bekerjasama di dalam menghadapi

Universitas Pertahanan Indonesia

16

suatu permasalahan. Permasalahn yang muncul di tengah-tengah masyarakat
tersebut akan menguji soliditas masyarakat didalam kerangka bernegara dan
berbangsa dihadapkan diantara kepentingan pribadi dan kepentingan nasional
dalam pemberantasan terorisme. Pemberantasan terrorisme bukanlah
merupakan hal yang mudah, akan tetapi terdapat beberapa pilihan didalam
upaya pemberantasan terorisme. Salah satu upaya tersebut adalah
bagaimana membentuk dan menguatkan ketahanan publik terhadap potensi
ancaman terorisme melalui media massa, karena media sebagai komponen
penting bagi keamanan nasional dalam sistem infrastruktur informasi nasional
modern yang efisien dan juga menciptakan kerentanan baru.
Pemerintah dan civil society sudah seharusnya menciptakan lingkungan
yang kondusif dan berperan penting untuk berkontribusi terhadap media
massa dan transformasi sosial yang berorientasi pada kepentingan publik.
Dengan kata lain, media massa juga harus mampu menjalankan fungsi
penyebaran informasi yang objektif dan berimbang di tengah tekanan yang
diterima. Hal tersebut, dilakukan juga untuk mengantisipasi kemungkinan
terjadinya bentuk ancaman asimetris yang berdampak pada terbentuknya
opini publik yang mengarah kepada sentimen negatif, seperti yang dilakukan
oleh kelompok teroris, sehingga dapat melunturkan atau menghancurkan
legitimasi pemerintah dan dapat mengganggu stabilitas nasional.
Perlu dinamisasi kekuatan dan kemampuan teknologi nasional untuk
mengimbangi tekanan pihak lain yang dapat melemahkan daya tangkal
bangsa dengan menggunakan faktor teknologi. Media sudah teruji dan
memiliki peran sangat strategis dalam pengawasan semua tahapan dan
fenomena

yang

terjadi

di

tengah

masyarakat

termasuk

didalam

pemberantasan terorisme. Kemampuan dalam mengemas pemberitaan,
media bersama pemerintah dapat mengambil langkah-langkah aktif untuk
membangun pertahanan dan keamanan nasional dengan komunikasi yang
efektif

bagi

semua

stidakeholders

terkait

pemberantasan

terorisme.

Langkah-langkah pro-aktif dalam pemberdayaan media bertujuan untuk

Universitas Pertahanan Indonesia

17

merespon tuntutan, mengedukasi, dan mendapatkan dukungan masyarakat
atas kebijakan-kebijakan yang diambil pemerintah.
Melihat besarnya peran media yang dapat dilakukan terhadap reaksi
masyarakat dan berbagai elemen negara lainnya, maka kolaborasi yang baik
antar pemerintah dan media dalam pemberantasan terorisme dapat dilakukan
dengan tetap memperhatikan aturan-aturan yang berlaku. Dari berbagai
literasi yang ada, maka, peran media dalam pemberantasan terorisme, dapat
diuraikan sebagai berikut ;
a. Mempengaruhi kebijakan, pada tingkat kebijakan, pemberitaan
media dapat mempengaruhi agenda nasional. Hal tersebut, dapat dilihat
pada kesiapan Amerika Serikat dalam 911 yang membuat media di AS
terkonsentrasi pada ancaman dari teroris, seperti memperketat keamanan
seluruh bandara yang ada di AS. Hal ini, membuktikan bahwa media
memiliki kekuatan untuk menentukan kebijakan, karena cakupan media
memiliki dampak langsung terhadap risiko yang ada.
b. Alat Terorisme, serangan teroris untuk mempengaruhi pihak lain
memerlukan partisipasi aktif dari pemberitaan media dalam membuat
keberhasilan strategi yang di terapkan. Mantan Presiden AS, Bush
mengatakan bawa media adalah oksigen bagi terorisme, hal ini menjadi
alasan utama Pejabat AS mengeluarkan seruan untuk menahan diri
dalam pernyataan pasca serangan 911.
c. Pesan sebagai senjata, tidak hanya media menawarkan kesempatan
bagi cakupan teroris untuk menyebarkan pesan mereka kepada sejumlah
besar orang, akan tapi media elektronik modern dapat mengubah berita
menjadi senjata aktual yang menciptidakan bahaya nyata di kalangan
konsumen teroris yang mencoba untuk mengeksploitasi media melalui
perang psikologis atau kecerdasan, seperti Hoax. Hoax (penyebaran

Universitas Pertahanan Indonesia

18

berita tidak riil) terencana dapat mendorong reaksi spontan, menaikan
tingkat darurat, mendorong potensi untuk membunuh, dan dapat
menyelamatkan nyawa.
d. Alat

untuk

menimbulkan

otoritas

kepanikan,

kemanan,
akan

tetapi

media
juga

bukan

hanya

berfungsi

dapat

dalam

hal

pencegahan dan pemulihan dengan memberikan informasi secara luas
dan cepat bagi warga dan pemerintah terkait terorisme. Peringatan dan
informasi melalui media yang diperoleh dapat dijadikan informasi penting
sebagai alat bagi otoritas kemanan untuk mengetaui pemberitaan terkait
aktivitas

terorisme.

Hal

tersebut,

mempermudah

respon

otoritas

keamanan dalam mengambil langkah-langkah, meningkatkan kesiapan,
dan tindakan yang dilakukan dalam mengantisipasi kejadian dan
pemulihan keadaan.
2.5.1

Peran

dan

Posisi

Media

dengan

Tokoh

Agama,

Tokoh

Masyarakat, dan Tokoh Politik Dalam Pemberantasan Terorisme.
Dalam pemberantasan terorisme pihak media saja tidak cukup untuk
menyeimbangkan dan memurnikan media dari paham radikalisme. Sinergitas
peran dengan berbagai pihak juga sangat diperlukan, termasuk tokoh
masyarakat, tokoh politik, dan tokoh ulama. Peran ulama sangat dibutuhkan
dalam pemberantasan terorisme, yakni untuk menghambat arus radikalisme
agar tidak terlalu deras mengalir ke media, seperti contoh melalui fatwa
kolektif yang dikeluarkan oleh para tokoh agama. Namun, upaya para ulama
tidak akan berdampak signifikan tanpa bantuan media, karena tanpa media
fatwa dan pemikiran moderat dan toleran dimaksud akan terisolasi dan
terbatas. Media sebagai alat penyampaian pesan bagi para ulama dalam
menyebarkan dan menyampaikan fatwa-fatwa yang ada. Media dimaksud
tidak hanya terbatas pada media online, televisi, atau radio saja, akan tetapi
juga dengan media cetak, seperti buku dan lain-lain, oleh sebab buku adalah

Universitas Pertahanan Indonesia

19

salah satu jalur utama yang dilintasi paham radikalisme untuk mencari
korbannya. Untuk mendapatkan hasil yang maksimal, maka harus terdapat
sinergitas antara pihak-pihak terkait dan menghimpun seluruh ulama untuk
menggelar konferensi bersekala internasional atau nasional.
Khusus untuk konteks Indonesia, harus melibatkan semua pihak mulai
dari pelosok desa hingga kota, baik dari kalangan Nahdlatul Ulama (NU)
Muhammadiyah, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Majelis Ulama Indonesia
(MUI), FPI (Front Pembela Islam) dan lainnya. Sedangkan terkait dengan
bagaimana teknis penghimpunan dan mekanisme konferensinya dapat
dikonsultasikan dengan para pakarnya secara akademisi, analis, pengamat,
tokoh politik BNPT, POLRI, BIN, Lemsaneg, dan TNI dalam kerangka
bernegara. Dengan menghimpun ulama secara holistik maka kesepakatan
atau fatwa yang diputuskan bersama memiliki kekuatan super dahsyat untuk
menggempur radikalisme, terorisme dan kroni-kroni dari akarnya.
Pada hakikatnya fatwa-fatwa kolektif tersebut harus diimplementasikan
sesuai realitas yang lebih kongkrit. Oleh sebab itu, harus ada tim sukses yang
akan membantu untuk mengimplementasikanya dengan menggunakan peran
media, seperti tokoh masyarakat dan tokoh politik. Dapat dikatakan bahwa
mereka yang terlibat sebagai tim pelaksana di lapangan atau sebagai alat
penyuara yang digunakan oleh para ulama. Dengan demikian implementasi
dari hal dimaksud diatas yang harus dilakukan pihak media di antaranya
adalah ; (1) Menggelar konferensi media; (2) Mempublikasikan secara holistik;
dan (3) Mengimbangi arus radikalisme dan terorisme dengan pemberitaan.
2.5.2

Peran dan Posisi Media dengan Pemerintah dan Aparat

Keamanan Dalam Pemberantasan Terorisme.
Peran media didalam pemberantasan terorisme memiliki dua pengaruh
yang saling bertolak belakang yaitu keberhasilan dan kegagalan didalam
pemberantasan terorisme. Informasi positif dapat membuahkan keberhasilan
didalam sebuah pemberantasan terorisme yang berdampak terhadap

Universitas Pertahanan Indonesia

20

pengakuan keberhasilan kemampuan negara dalam pemberantasan terorisme
oleh masyarakat regional dan internasional. Sedangkan, informasi yang tidak
tepat dapat menyebabkan kegagalan, persepsi negatif regional dan
internasional serta berkembangnya situasi yang tidak kondusif yang
berdampak terhadap stabilitas nasional. Selain itu, sifat dual-use dunia media,
dapat memberikan keuntungan maupun kerugian baik dari pihak aparat
kemanan maupun pihak lawan. Sifat ini, juga dapat mencegah ancaman
propaganda, disinformasi, dan pemberitaan tidak berimbang

dengan

menggunakan white propaganda dalam pemberantasan terorisme. Dengan
penguasaan informasi potensial dapat meninggikan moril dan kewaspadaan
aparat keamanan serta melemahkan moril kelompok teroris.
Dalam hal ini, pemerintah dapat mengambil langkah-langkah pro-aktif
pemberdayaan media untuk merespon kebutuhan, tuntutan, edukasi, dan
dukungan masyarakat, karena media merupakan bagian integral dari setiap
kebijakan untuk mencapai keunggulan informasi. Kemampuan media untuk
mengemas pemberitaan sudah teruji dan memiliki peran sangat strategis
dalam pengawasan semua tahapan dan fenomena yang terjadi di tengah
masyarakat. Namum, akses media didalam pemberantasan terorisme harus
sejalan dengan pertimbangan terhadap resiko, pedoman dan pemahaman
khusus terhadap perkembangan situasi untuk mengimbangi tekanan pihak lain
yang dapat melemahkan daya tangkal bangsa. Untuk itu, diperlukan
dinamisasi

kekuatan

dan

kemampuan

teknologi

nasional

tanpa

mengenyampingkan hak media dalam memperoleh dan menyampaikan
informasi kepada publik, sehingga dapat menjadi pembelajaran dan
terciptanya

jaminan

kondisi

keamaman

masyarakat.

Disamping

itu,

transparansi media didalam pemberitaan dan penyampaian informasi juga
harus memperhatikan rambu-rambu, kebijakan, dan regulasi yang berlaku,
terutama dalam operasi intelijen karena dilakukan secara tertutup dan terkait

Universitas Pertahanan Indonesia

21

sistem pertahanan dan keamanan 21 dalam pemberantasan teroris. Oleh
karena itu, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan, agar tidak
mengganggu program pemberantasan terorisme, sebagai berikut ; (1)
Infrastruktur pertahanan; (2) Perencanaan, komando dan kendali; dan (3)
Sistem persenjataan.

3. Penutup
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan yang di bahas dalam penulisan sebelumnya,
maka penulis mengambil beberapa intisari dalam menganalisa tentang peran
dan posisi media dalam pemberantasan terorisme, yaitu peran media bagi
pemerintah menjadi sebuah sarana dan alat yang dapat digunakan untuk
memperoleh keuntungan di dalam program pemberantasan terorisme, seperti
dalam beberapa hal sebagai berikut ; (1) Memperoleh pengakuan atau
legitimasi dalam program pemberantasan; (2) Menggalang dukungan dari
berbagai pihak melalui media massa di berbagai wilayah dibelahan dunia; (3)
Menyebarkan informasi dan pemberitaan tentang kebijakan dan strategi serta
langkah-langkah yang diambil; dan (4) Sebagai sarana komunikasi antara
pemimpin negara yang tersebar diberbagai daerah melalui media massa.
3.2 Saran
Dimasa yang akan datang, dalam konteks Indonesia, dalam penulisan ini
terdapat beberapa saran tentang beberapa hal yang dapat kita bangun terkait
peran dan posisi media dalam pemberantasan terorisme yang di bahas diatas,
sebagai berikut ; (1) Menyesuaikan doktrin pertahanan dan kemanan terhadap
ancaman melalui media informasi; (2) Merubah persepsi dan paradigma
bangsa terhadap ancaman terorisme terkait pemberantasan terorisme; (3)
21

Buku Strategi Pertahanan Nasional Tahun 2007.

Universitas Pertahanan Indonesia

22

Memperkuat peran soft power dalam mendukung hardpower dalam
pemberantasan terorisme; (4) Meningkatkan kemampuan sumber daya
manusia dalam menghadapi ancaman melalui media informasi; dan (5)
Menyesuaikan grand strategi terhadap perkembangan ancaman melalui
media informasi; serta (6) Mengesahkan RUU Keamanan Nasional.

Universitas Pertahanan Indonesia

23

DAFTAR PUSTAKA :
Arreguin-Toft, Ivan. 2001. How the Weak Win Wars, dalam Jurnal
International Security. Vol.26, No 1.
Buku Doktrin Pertahanan Negara tahun 2008.
Dorothy E. Denning. 2001. Activism, Hactivism, And Cyberterrorim : The
Internet AS A Tool For Influencing Foreign Poplicy.
Gabriel Weimann. Cyberterrorism. 2004. How Real Is the Threat?. Wasingon,
DC.
Grant Wardlaw. 1986. Political Terrorism, New York: Cambridge University
Press. Hal. 14-15.
Hendropriyono, A.M. 2009. Terorisme, Fundamentalis Kristen, Yahudi, Islam.
Jakarta : PT Kompas Media Nusantara. Hal 218, 341.
International Strategy For Cyberspace. 2011. Prosperity, Security, And
Openness In a Networked World. Washington, DC.
Jeffrey Carr. 2012. Inside Cyber Warfare. Amerika Serikat : O’Reilly Media Inc.
Hal 264.
Kemenhan RI. 2013. Kajian Organisasi Pertahanan Siber. Jakarta : Dirjen
Pothan Kemhan RI.
Mbai, Ansyaad. 2014. Dinamika Baru Jejaring Teror di Indonesia.
Resolusi majelis umum PBB No.60/288 tahun 2008 tentang Global Counter
Terrorisme Strategy.
Rod Thornton. 2007. Asymmetric Warfare. UK: Polity Press. Hal. 1.
Sumari, Arwin. 2006. Konsep Pengembangan Organisasi TNI AU Dalam Era
Perang Informasi Ditinjau Dari Perspektif Operasi Informasi.
Walter Reich (editor). 2003. Origins of Terrorism, Tinjauan Psikologi, Ideologi,
Teologi dan Sikap Mental. Jakarta: PT Rajagrafindo mediaada. Hal 9.

Universitas Pertahanan Indonesia