Parlemen atau Soviet Mozaik Pemikiran Po

Parlemen atau Soviet : Mozaik Pemikiran Politik Tan Malaka
Oleh: Rolliv Sapta Atmadja*
Pengantar
Membaca buku “Parlemen atau Soviet” karya Tan Malaka membawa kita pada suasana
pergerakan pra kemerdekaan lengkap dengan seluruh dinamika pemikiran politik di
masa itu. Dalam buku tersebut Tan Malaka menunjukkan konsistensinya pada
pandangan materialism historis yang menjadi filosofi dasar bagi kaum Marxis di seluruh
dunia. Melalui materialism historis, Tan Malaka tak hanya menyajikan sebuah konsep
yang melangit atau jauh dari angan namun juga menjelaskan bagaimana konteks
masyarakat lengkap dengan kontradiksinya yang melahirkan konsep-konsep politik di
masa pra kemerdekaan.
Buku ini merupakan serpihan awal mozaik pemikiran politik Tan Malaka. Sebelumnya,
karya Tan Malaka ini diterbitkan berseri dalam surat kabar “Soeara Ra’jat” hingga pada
tahun yang sama, 1921, karya ini dicetak dalam bentuk buku oleh Perserikaten
Komunis Hindia. Buku yang kembali dicetak untuk ketiga kalinya pada tahun 2012 ini
terlihat sangat sederhana belum lagi tebalnya yang tidak seberapa. Namun begitu, buku
ini mampu menampilkan perdebatan yang tidak sederhana terutama di masa demokrasi
anti-kiri sekarang ini dimana faham-faham kiri masih dianggap berbahaya bagi negara.
Siapakah Tan Malaka?
Tan Malaka (1894-1949) adalah tokoh yang cukup kontroversial baik di kalangan
akademisi, pergerakan maupun elit politik di Indonesia dan bahkan di beberapa negara

yang pernah dikunjunginya. Tan Malaka yang memiliki nama asli Ibrahim lahir di
Pandan Gadang, sebuah daerah pedalaman di minangkabau. Ia juga merupakan salah
satu orang Indonesia pertama yang melanjutka studinya ke Belanda.
Selama studi di Belanda, Tan Malaka dikejutkan oleh perbedaan mencolok dalam hal
politik yang terjadi di Belanda dengan yang terjadi di Indonesia. Selain itu, pergolakan
politik di eropa melalui perang dunia pertama dan kemenangan Revolusi Bolshevik di
Russia membuatnya tertarik pada bacaan dan diskusi politik menganai ideology yang
menentang penjajahan kolonialisme terutama Sosialisme dan Komunisme.
Sekembalinya dari Belanda, Tan Malaka sempat bekerja di Sanembah Maatsphij di Deli
sebelum ia pindah ke Semarang. Karir politiknya dimulai dari menjadi anggota
Perserikatan Komunis Hindia (PKI) dan membangun sekolah-sekolah rakyat di
semarang. Ia juga sempat menjadi Ketua PKI menggantikan Semaoen yang sedang
berada di Russia juga pernah menghadiri Komintern mewakili Hindia sebelum
ditangkap oleh penguasa kolonial pada tahun 1922. Namun hubungannya dengan PKI
tidak berlangsung mulus ketika ia menentang rencana revolusi rakyat di tahun 1926.
1

Sejak itu PKI menganggapnya sebagai pengkhianat dengan berbagai macam sebutan
peyoratif terhadapnya. Namun Ia tak patah arang, meskipun hidup dalam pengasingan
dipisahkan dari negeri yang ia perjuangkan. Tan memutuskan hubungannya dengan

PKI dan Komintern dan membangun PARI di Bangkok pada tahun 1927 setelah
sebelumnya merumuskan kemerdekaan Indonesia dalam bentuk Negara Republik
melalui karyanya Naar de Republiken. Di masa kemerdekaan Tan yang telah berada di
Indonesia sejak 1945 setelah bertahun-tahun hidup di pengasingan tetap menyuarakan
pandangan politiknya. Pandangan politik Tan adalah Merdeka 100%, anti kolaborasi
dan anti Imperialisme. Ia menjadi oposisi kuat di masa perdana menteri Sjahrir menolak
persetujuan Linggarjati melalui Persatuan Perjuangan.
Menjelajahi Parlemen dan Soviet?
Parlemen atau soviet merupakan pertanyaan krusial yang sempat menjadi perdebatan
luas di kalangan gerakan pra kemerdekaan. Konteks yang melahirkan karya ini adalah
konsekuansi politik etis Belanda yang memaksa Belanda membagun Dewan Rakyat
(Volksraad) bagi pribumi. Dalam tulisan ini, Tan Malaka menolak konsep Volksraad
dengan tegas dan memilih bentuk Soviet sebagai alternatif. Konsep ini tidak diambil dari
ketiadaan tidak juga lahir dari ide semata namun juga mendasarkan pada konteks
kontradiksi material yang nyata pada masa itu. bagi Tan Malaka, dibentuknya parlemen
oleh pemerintah Belanda di daerah jajahannya bukanlah semata-mata politik balas budi
namun juga adalah distraksi yang mengelabui kepentingan sejati rakyat Hindia Belanda
yaitu kemerdekaan dan membentuk negara mandiri. Menurutnya, mana mungkin
muncul lembaga perwakilan sementara kekuasaan berada di tangan penjajah, jika itu
terjadi maka lembaga perwakilan tersebut hanyalah bualan belaka karena tak ada

kedaulatan yang ia kelola.
Dalam buku ini, Tan menjelaskan mengenai gerak sejarah yang melahirkan konsep
parlemen juga gerak sejarah yang melahirkan soviet. Secara general juga, Tan
menjelaskan mengenai sejarah parlemen di Belanda. Disini Tan mengulas konsep
historis yang tidak kongruen dengan konteks Indonesia dan mengungkap bahwa apa
yang terjadi di belanda sama sekali berbeda dengan yang terjadi di Indonesia. Lebih
jauh lagi Tan juga melakukan klasifikasi watak kelas partai dan organisasi rakyat di
Indonesia pra kemerdekaan seperti Budi Utomo, Sarekat Islam dan Indische Partij
untuk menegaskan konsep perwakilan kelas dan membantak konsep perwakilan partai.
Baik Soviet maupun Parlemen, keduanya merupakan bentuk perwakilan politik untuk
mengelola kekuasaan dengan tujuan menghindari atau meminimalisir konflik antar
masyarakat, menciptakan perdamaian dan kesejahteraan bersama. Dalam buku
Parlemen atau Soviet, Tan Malaka dengan jeli menjelaskan konteks historis yang
melahirkan kedua konsep tersebut kemudian ia intepretasikan kembali sesuai dengan
kepentingan sejati rakyat Indonesia.
2

Bagi Tan Malaka, Negara yang menganut prinsip Trias Politika (Montesqieu) yang ada
dalam sisterm parlementer adalah kekonyolan dan hanya menguntungkan sebagian
kecil rakyat. Terutama dalam konteks negara yang baru merdeka (jika tercapai

kemerdekaan), pemisahan antara lembaga kenegaraan akan menghasilkan
kesenjangan dalam memahami realitas sehingga akan memunculkan kontradiksi antara
aturan dan realitas. Negara dalam pandangan Tan Malaka adalah sebuah negara yang
berjalan secara efektif dan efisien. Bentuk ini hanya dapat diwujudkan dalam bentuk
Soviet yang tidak memisahkan kekuasaan melainkan melakukan fusi kekuasaan.
Tan Malaka memulai pembahasan menganai Parlemen dengan mempermasalahakan
semantic peristilahan parlemen yang di hindia belanda ataupun Indonesia sekarang
sebagai dewan. Tan Malaka membedakan istilah dewan dengan parlemen melalui
perbedaan sejarah terbentuknya. Sebagai seorang Marxis, Tan Malaka menggunakan
Materialisme historis untuk menjelaskan sebuah fenomena termasuk pada kemunculan
peristilahan. Dewan adalah sebutan bagai para pembantu sultan memerintah pada
masa kerajaan. Dewan sebagaimana Sultan tidak dipilih langsung oleh rakyat pleh
karena itu tidak ada kewajiban bagi dewan untuk menyampaikan aspirasi rakyat
begitupun juga rakyat tidak memiliki kuasa apapun untuk memecat dewan sedangkan
parlemen memiliki akar historis yang berbeda. Parlemen dipilih oleh rakyat banyak dan
terdapat lembaga lain dalam pemerintahan untuk memeriksanya. Melalui semantic
tersebut jelas istilah dewan tidak sejajar dengan istilah parlemen.
Parlemen muncul dari perlawanan terus menerus kaum borjuasi terhadap kekuasaan
absolute Raja di Eropa. Perlawanan kaum borjuasi eropa muncul ketika kaum borjuasi
mulai menemukan alat produksi yang lebih efisien dan perluasan koloni sehingga

mereka mampu mengakumulasi modal. Sejarah kemunculan parlemen di inggris yang
dimotori oleh kaum borjuasi merupakan perjuangan kelas kaum borjuasi yang tidak
selesai dalam satu malam.
Kaum borjuasi inggris menuntut untuk menurunkan tarif pajak negara dan dapat ikut
serta dalam perumusan kebijakan di negara tersebut. Kaum borjuasi tidak hanya
melakukan usulan tapi juga melakukan pemboikotan dan aksi-aksi pemogokan. Setelah
kompromi antara pemerintah dan kaum borjuasi selesai perwakilan menghasilkan
permasalahan baru yaitu bagaimana memilih wakil yang duduk di parlemen. Untuk itu
setiap orang yang ingin duduk di parlemen membangun kepanitiaan pemilihan yang
nantinya menjadi asal muasal munculnya partai politik.
Parlemen, sejak masa awal terbentuknya sudah dipilih oleh rakyat namun hak memilih
itu bergantung pada pajak/belasting, oleh karena itu tidak semua orang berhak memilih.
Kelas yang mampu membayar pajaklah yang memiliki perwakilan di parlemen dan
dapat terpilih menjadi anggota parlemen. Jika kita perhatikan Amerika yang mengklaim
sebagai praktisi montesqieu dan pelopor demokrasi meskipun sudah merdekasejak 4
3

juli 1776 baru meloloskan hak pilih perempuan pada 1919 karena gencarnya
perjuangan politik perempuan di Amerika. Parlemen dan demokrasinya sejak awal tidak
dibangun untuk semua namun masih kental dengan diskriminasi ras, kelas dan gender

untuk menentukan siapa saja orang yang berhak memilih dan dipilih.
Parlemen diklaim muncul sebagai perwakilan rakyat dalam urusan politik dan
merupakan wujud dari kekuasaan rakyat dalam suatu negara. Untuk membatasi
kekuasaan absolute tersebut, parlemen memiliki empat hak yaitu hak inisiatif
(mengajukan pertimbangan), hak interpelasi (mempertanyakan kebijakan pemerintah),
hak angket (bertanya kepada pemerintah) dan hak amandemen untuk merubah
peraturan. Namun, sesuai dengan blok historisnya, parlemen yang muncul dari kaum
borjuasi (kelas pemodal) hanya berisi kaum borjuasi yang jika dibandingkan dengan
jumlah kaum proletariat (kelas pekerja) sangat jauh jumlahnya. Parlemen sebagai
perwakilan kaum borjuasi tentu akan terlebih dahulu membela kepentingan kaumnya
dan melanggengkan kuasa kaum modal juga.
Kekuasaan parlemen inipun tidak sama di semua praktek negara. Jika di Inggris
parlemen lebih kuat ketimbang eksekutif lain halnya di Jerman parlemen tidak berdaya
di depan eksekutif. Parlemen Inggris mampu untuk mengeluarkan mosi tidak percaya
terhadap eksekutif untuk memberhentikan menteri ataupun perdana menteri karena
mereka dipilih oleh parlemen. Berbeda hal dengan Jerman yang presidensil, kanselir
tidak dipilih oleh parlemen begitupun juga pera menteri sehingga mosi tidak percaya
tidak lagi berguna. Kekuatan parlemen tidak hanya bergantung pada system politik
negara namun juga dukungan public dan dukungan militer.
Berbeda dengan system parlemen yang mengekalkan kaum modal, system soviet

berlaku kebalukannya untuk menghilangkan kaum modal. Ide awal soviet sebelum
resolusi Komintern dibawah Stalin yang memutuskan dibangunnya sosialisme satu
negara yang kemudian menguatkan kelompok teknokrat dan birokrasi adalah ide
tentang fusi kekuasaan dari bawah ke atas. Pemerintah dalam system soviet tidak
dipisah pisahkan (separasi) melainkan fusi, menghilangkan sifat birokratis dan
menyelenggarakannya bersama sesuai dengan kebutuhan kelas buruh dan tani.
Ide bentuk soviet berakar pada corak produksi dan bertujuan untuk melakukan
pemeratan kesejahteraan dengan jalur distribusi yang terpimpin atau dengan kata lain
dalam ekonomi adalah perencanaan ekonomi terpusat sehingga perwakilan di dalam
soviet selain perwakila distrik juga terdapat perwakilan kelas. Namun pusat disini tidak
diartikan sebagai segelintir orang eksekutif tetapi kongres rakyat.proses pemilihan
dalam system soviet berlangsung dari desa-desa kemudian berjenjang ke kota-kota dan
akhirnya kongres nasional. Russia pada masa soviet sebelum Stalin memiliki 2500
anggota perwakilan dengan kongres dua kali setahun dan tidak melepaskan kerja-kerja
indivisual sehari-hari para anggota kongres. Berbeda dengan system parlemen borjuis
4

seorang anggota parlemen seringkali terisolasi dari rakyat karena jabatannya, anggota
perwakilan soviet tetap tinggal di rumahnya masing-masing dan bekerja sesuai dengan
pekerjaannya seperti menjadi buruh pabrik, administratur ataupun petani.

Dalam system soviet sederhananya merupakan sebuah organisasi tunggal yang
membagi kewenangan sebagai pelaksana, pengawas dan badan peradilan sementara
perturan dibuat bersama. Soviet mengenal pembagian kekuasaan namun tidak dalam
lembaga yang terpisah. Untuk meghindari tirani kekuasaan, soviet melakukan pemilihan
perwakilan dalam selang waktu yang tidak terlalu lama dan melakukan system kritik dan
otokritik dalam kongres organisasi.
Tan Malaka menganalogikan system soviet ini pada system Nagari di Minangkabau
sebelum injeksi kapitalisme. Ia juga yakin bahwa system fusi seperti soviet akan
menjadikan negara yang mampu bergerak secara efektif dan efisien sekaligus
membangun system yang adil tanpa diskriminasi dan eksploitasi. Ia juga berpandangan
bahwa suatu parlemen kaum borjuis adalah alat digunakan untuk mengekalkan
perburuhan dan kapitalisme sementara soviet adalah alat sementara untuk
menghilangkan kapitalisme dan mendatangkan sosialisme.
Untuk memahami cara berpikir Tan Malaka, perlu bagi kita untuk mengetahui bahwa
sebagai seorang Marxis yang konsisten secara ideologis ia menempatkan pandangan
terhadap realitas dengan pisau analisa materialism dialektika historis yang ia revisi
menjadi materialism dialektika dan logika karena menurutnya historisisme sudah
tercantum dalam konsep materialism dialektika. Berikut gambaran cara berpikir Tan
Malaka mengenai konsep perwakilan kekuasaan dalam suatu negara:
Model pemikiran politik Tan Malaka


manusia
Pemenuhan kebutuhan /
corak Produksi
masyarakat
Surplus produksi
System sosial

System distribusi surplus

Politik/kekuasaan
System politik

Fusi
Separasi
5

Simpulan
Perdebatan mengenai parlemen atau soviet sekarang ini mungkin sudah tidak lagi
populer dan bukan lagi pilihan seperti pada masa pra kemerdekaan. Parlemen atau

soviet merupakan wacana yang pernah populer di masa pra kemerdekaan terutama di
kalangan gerakan anti kolonialisme. Kajian ini berguna untuk mengenali sejarah
pemikiran politik yang pernah tumbuh berkembang di Indonesia dan memperkaya
khazanah pemikiran politik di Indonesia. Sehingga kita tidak cupet dalam berpikir dan
terombang ambing oleh ideology mayoritas yang berkata bahwa satu-satunya bentuk
demokrasi perwakilan adalah parlemen dan satu-satunya cara pengaturan negara
adalah pemisahan kekuasaan ala Trias Politika.
Pembacaan dan pemahaman pemikiran politik Tan Malaka tidak dapat dilepas dari
konteks dialektika material yang berlangsung dalam proses historis peradaban
manusia. Penting bagi kita untuk menempatkan pandangan politik sebagai hasil dari
dialektika peradaban manusia karena teks muncul untuk menerjemahkan konteks.
Memahami pemikiran Tan Malaka haruslah dibekali dengan pemahaman filosofi yang
dianut oleh Tan Malaka begitupun dengan penulis lainnya sehingga sebuah karya
ilmiah tidak ditempatkan sebagai dogma dan membawa kita terlarut di dalamnya tanpa
perduli dengan dialektika material yang terus berlangsung melalui kontradiksinya.
Sebuah pemikiran masa lalu dapat kita jadikan lensa untuk melakukan refleksi terhadap
konteks realitas yang berlangsung .

*) Disampaikan pada Launching Buku Tan Malaka “Parlemen atau Soviet” di UIN Sunan
Gunung Djati dalam rangkaian acara Aqidah Filsafat Fair 2012, 28 mei 2012.


6