SOCIAL ADJUSTMENT ON STREET CHILDREN Winnie Putri Pratiwi Sigit Nugroho Fakultas Psikologi Universitas Islam Riau Jl. Kaharudin Nasution No, 113 Perhentian Marpoyan Pekanbaru ABSTRACT - Social Adjustment On Street Children

  

Winnie Putri Pratiwi

Sigit Nugroho

Fakultas Psikologi

Universitas Islam Riau

  

Jl. Kaharudin Nasution No, 113 Perhentian Marpoyan Pekanbaru

ABSTRACT

The phenomenon of street children has increased, included in the city

of Pekanbaru. Street children should be able to adjust themselves in social

environment to get satisfaction of the need, but away from social deviation. The

aims of this study was to describe street children’s ability to socialize with

effective the social environment and healthy so as to obtain satisfaction in

getting their needs. The approach used in this study was a phenomenological

qualitative study using interviews (in- depth interview) and observation

(participant) as data collection technique. The finding of this study indicated

that the street children who become informant, through many stages was able

to make adjustment in social environment around them. It could be seen from

the acceptance of school environment, growing confidence in him and informant

was able to establish a relationship and work together although sometimes

happen misunderstanding between them. Satisfaction of self and job made the

informant felt good with what they faced. Social adjustment of street children

influenced by acceptance of social environment of family, friends at work,

friends at school, community itself and themselves related to the status of street

children and jobs. Keywords : Social adjustment, street children, late childhood.

  Latar Belakang Masalah

  Saat ini dan tahun-tahun mendatang diperkirakan anak jalanan masih menjadi permasalahan dan fenomena sosial krusial terutama untuk daerah atau wilayah perkotaan. Berdasarkan data BPS tahun 2009, tercatat sebanyak 7,4 juta anak berasal dari Rumah Tangga Sangat Miskin, termasuk diantaranya 1,2 juta anak balita terlantar; 3,2 juta anak terlantar; 230.000 anak jalanan, 5.952 anak yang berhadapan dengan hukum dan ribuan anak-anak yang sampai saat ini hak-hak dasarnya masih belum terpenuhi…..”. Di Kota Pekanbaru dari 597.971 jiwa jumlah penduduk sampai akhir tahun 2001, ternyata terdapat 3108 anak terlantar. Jumlah anak terlantar ini akan menjadi salah satu akar permasalahan yang dihadapi oleh banyak kota besar, termasuk Pekanbaru, yaitu munculnya fenomena anak jalanan. Anak-anak jalanan dapat ditemui di tempat-tempat keramaian di Pekanbaru, yaitu tempat-tempat dimana mereka melakukan aktivitasnya. Anak terlantar di Pekanbaru tersebar di delapan kecamatan, dan prosentase terbesar terdapat di Kecamatan Tampan (39,70%), menyusul Rumbai dan Pekanbaru Kota, masing-masing 15,41% dan 12,16% (Asriwandari, 2003). Dari data Dinsos Kota Pekanbaru (Dinas Sosial, 2010) anak jalanan Kota Pekanbaru pada Desember 2009, tercatat 222 anak yang berada di jalanan, dan pada bulan april 2010, tercatat 250 anak, dari berbagai kelurahan dan kecamatan yang ada di Pekanbaru.

  Fenomena anak jalanan sebetulnya sudah berkembang lama, tetapi pada saat ini semakin menjadi perhatian dunia, seiring dengan meningkatnya jumlah anak jalanan di berbagai sudut kota besar. Di Indonesia saja saat ini diperkirakan terdapat 50.000 anak lebih, yang menghabiskan waktu produktifnya di jalan. Akibat terjadi masalah kemiskinan dinegara kita, jumlah keluarga miskin di Indonesia semakin bertambah. Strategi bertahan hidup sangatlah penting bagi keluarga miskin, hal ini menyebabkan orangtua memanfaatkan anak mereka untuk mengerjakan pekerjaan yang tidak memerlukan keahlian tertentu seperti menjadi pemulung, pengamen, pengemis, penjual koran dan sebagainya. Ada alasan anak turun ke jalanan diantara lain, menopang kehidupan ekonomi keluarga, mencari kompensasi dari kurangnya perhatian keluarga dan sekedar mencari uang tambahan.

  Anak jalanan adalah anak yang menghabiskan sebagian besar waktunya untuk melakukan kegiatan hidup sehari-hari baik untuk mencari nafkah atau berkeliaran di jalan atau tempat umum lainnya (Huraerah, 2006). Anak jalanan hidup dalam lingkungan yang tidak kondusif karena anak jalanan rentan terhadap berbagai bentuk perlakuan keras seperti penindasan. Keberadaan mereka di jalanan yang ramai dengan hiruk-pikuk aktivitas kota dan pengguna jalan tentu sangat membahayakan mereka sendiri. Ditambah lagi dengan rentannya kejahatan-kejahatan di jalanan yang setiap kali mengancam anak-anak yang belakangan ini terjadi. Ancaman kekerasan terkadang dialami dan terpaksa dirasakan anak jalanan. Sudah banyak terjadi, anak jalanan yang tertangkap petugas, mereka dibotaki, dipukul, dan kalau perlu ditahan di kantor polisi. Jika di jalanan, anak-anak itu dapat lari dari ancaman tindak kekerasan oleh orangtua, tetapi di jalanan mereka harus menerima nasib merupakan titik rawan keluarga untuk menerima perlakuan sewenang-wenang dan salah.

  Adapun aktivitas-aktivitas anak-anak di jalan diantaranya sebagai pengamen jalanan, penyemir sepatu, pengemis dan lain-lain. Mereka pun tak kenal rasa takut atau lelah di jalan meskipun nyawa mereka menjadi taruhan. Jika dilihat sudut positifnya, mereka bisa mandiri bahkan menjadi tulang punggung bagi keluarganya, akan tetapi masa kanak-kanak yang semestinya bermain dan memperoleh pendidikan, dikorbankan untuk mencari uang. Adanya aktivitas seperti ini akan berpengaruh terhadap penyesuaian sosial pada diri anak jalanan, yang setiap harinya mereka akan menemukan situasi yang berbeda. Namun tidak sedikit pula anak-anak yang melakukan perbuatan menyimpang, yaitu kenakalan hingga mengarah pada bentuk tindakan kriminal seperti: minuman keras, perkelahian, pengerusakan, pencurian bahkan bisa sampai pada melakukan tindakan pembunuhan. Anak-anak jalanan yang memiliki perasaan tidak mampu, ketidakamanan, penyesuaian sosial yang buruk yang membuat mereka tidak bahagia dan berhasil dalam kehidupan. Hal inilah yang membuat anak jalanan memiliki kecenderungan untuk diabaikan oleh masyarakat yang membuat mereka berpotensi untuk melakukan penyimpangan sosial. Dari hasil penelitian self-

  

acceptance of street children (Kusuma, 2013), penerimaan diri disertai dengan keamanan

  pribadi dan penerimaan orang lain, yang mungkin rendah pada anak-anak jalanan. Ketika peneriman diri anak positif, anak-anak jalanan akan mengembangkan sifat-sifat seperti kepercayaan diri, harga diri, dan kemampuan untuk melihat diri mereka secara realitas. Ketika penerimaan diri negatif, anak-anak jalanan ini cenderung memiliki perasaan ketidakmampuan dan rendah diri.

  Munro (dalam Pandu & Ike, 2012) membeberkan fakta yang didapatkan dari data laporan UNICEF. Berdasarkan laporan tersebut diketahui bahwa dari 100 juta anak yang hidup di negara berkembang dan harus bekerja di jalanan, maka 75% dari jumlah anak tersebut kembali ke rumahnya setiap malam hari, namun 25% sisanya tidak dapat kembali ke rumahnya dengan berbagai alasan, dan mereka hidup, tidur serta bekerja di jalan. Anak-anak jalanan tersebut tinggal di suatu tempat yang mempunyai potensi yang cukup besar untuk mengalami berbagai berbagai macam hal, diantaranya adalah problem seksual, seperti menjadi korban pelecehan seksual, mengalami eksploitasi secara seksual, dan mengomsumsi narkotika, hingga kondisi yang buruk dalam hal kesehatan, nutrisi, serta kebersihan. Beberapa anak jalanan yang mengomsumsi narkoba dikarenakan pengaruh teman, ingin melupakan masalah, terjerumus, dan ingin merasa lebih berani. Pengaruh teman sebaya lebih dominan pada gaya hidup anak jalanan.

  Dari hasil wawancara kepada dua orang anak jalanan yang menjual koran di Jalan Diponegoro pada tanggal 6 desember 2013 sekitar pukul 16.25 WIB, bahwa mereka yang masih berumur 11 dan 8 tahun berjualan koran sepulang sekolah, hanya untuk mendapatkan uang sebagai tambahan untuk membeli buku. Anak-anak ini berkeliaran di jalanan tanpa rasa takut, mereka yang masih memiliki orangtua, tetapi telah bekerja walaupun sebenarnya masih dalam tanggungan orangtua. Anak jalanan ini sering mengalami perkelahian akibat merebut pembeli untuk membeli koran-koran yang mereka bawa. Tanpa pantauan orangtua terkadang mereka susah untuk menyesuaikan diri ketika berpindah tempat, karena bertemu dengan rekan-rekan yang sesama penjual koran dan umurnya lebih tua, mereka sering diusir dan mereka pun akan mencari tempat yang lain akibat mengambil lahan penjual yang lainnya.

  Penyesuaian sosial merupakan suatu istilah yang banyak merujuk pada proses penyesuaian diri seseorang dalam konteks interaksi dengan lingkungan sekitar. Menurut Gerungan (2010) penyesuaian diri merupakan penyesuaian diri yang “pasif”, dimana kegiatan kita ditentukan oleh lingkungan, dan ada artinya yang “aktif”, dimana kita mempengaruhi lingkungan. Setiap perubahan dalam lingkungan kehidupan orang dalam arti yang luas itu menyebabkan ia harus menyesuaikan dirinya dengan lingkungan tersebut, baik dalam arti pasif maupun dalam arti yang aktif.

  Menurut seorang sarjana psikologi, Woodworth (Gerungan, 2010), pada dasarnya terdapat empat jenis hubungan antara individu dengan lingkungannya. Individu dapat bertentangan dengan lingkungannya, individu dapat menggunakan lingkungannya, individu dapat berpartisipasi (ikut serta) dengan lingkungannya, dan individu dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan. Menyesuaikan diri itupun dapat diartikan dalam arti yang luas dan dapat berarti mengubah diri sesuai dengan keadaan (keinginan) diri.

  Gerungan (2010) mengemukakan faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian sosial adalah sebagai berikut: (1) peran keluarga yang meliputi status sosial ekonomi, kebutuhan keluarga, sikap dan kebiasaan orang tua dan status anak, (2) peranan sekolah meliputi struktural dan organisasi sekolah, peranan guru dalam kegiatan belajar mengajar (KBM), (3) peranan lingkungan kerja misalnya lingkungan pekerjaan industri atau pertanian di daerah, (4) peranan media massa, besarnya pengaruh alat komunikasi seperti perpustakaan, televisi, film, radio dan sebagainya.

  Penyesuaian sosial anak jalanan dalam penelitian ini diartikan sebagai kemampuan anak jalanan untuk berinteraksi dan bersosialisasi dengan orang lain dan situasi-situasi tertentu yang ada di lingkungan sosialnya secara efektif dan sehat sehingga anak jalanan ini memperoleh kepuasan dalam upaya memenuhi kebutuhannya namun jauh dari penyimpangan sosial yang dapat dirasakan oleh dirinya dan orang lain atau lingkungannya. serta melakukan interaksi sosial, dengan gambaran keadaan yang seperti itu anak jalanan mampu melakukan penyesuaian diri baik dengan diri sendiri maupun lingkungan sosial dengan baik serta dapat di terima dan dipandang positif oleh masyarakat. Berdasarkan realita-realita tersebut peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan tema “Penyesuaian sosial pada anak jalanan”.

  Fokus Penelitian

  Dengan melihat latar belakang diatas, maka penulis memfokuskan penelitian ini mengenai :

  1. Bagaimana kemampuan anak jalanan untuk bersosialisasi dengan orang lain dalam

  2. Bagaimana anak jalanan dapat memperoleh kepuasan dalam upaya memenuhi kebutuhannya yang dapat dirasakan oleh dirinya dan orang lain atau lingkungannya ?

  3. Upaya apa yang dilakukan anak jalanan dalam mengatasi permasalaan yang dihadapinya ketika berinteraksi dan bersosialisasi dengan orang lain?

  Tujuan Penelitian

  Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran kemampuan anak jalanan ini bersosialisasi dengan lingkungan sosialnya secara efektif dan sehat sehingga anak jalanan tersebut dapat memperoleh kepuasan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.

  Manfaat Penelitian

  Berdasarkan tujuan penelitian, dapat diambil beberapa manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

  1. Manfaat Teoritis Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi positif pada pengembangan ilmu psikologi dalam bidang psikologi sosial, perkembangan dan masalah-masalah yang ada pada lingkungan masyarakat, termasuk mengenai anak jalanan dan memberikan pemahaman pada pembaca tentang bagaimana penyesuaian sosial yang dilakukan anak jalanan, sehingga mereka mampu bertahan dengan perubahan kondisi masyarakat dan segala fenomena yang terjadi.

  2. Manfaat Praktis Dengan adanya penelitian ini diharapkan mampu memberikan wawasan bagi masyarakat tentang anak jalanan, dan cara mereka bersosialisasi dengan lingkungan masyarakat luas. Serta menjadi acuan kita sebagai pemahaman dan gambaran perkembangan mulai dari penyesuaian sosial hingga permasalahan yang dihadapi oleh anak jalanan.

  

KAJIAN PUSTAKA

Penyesuaian Sosial Anak jalanan

  Penyesuaian sosial menurut Nurdin (2009) merupakan suatu proses penyesuaian diri terhadap lingkungan sosial dalam hubungan manusia. Melalui proses tersebut manusia memperoleh pemuasan akan kebutuhan-kebutuhannya. Saat individu berinteraksi dengan lingkungan sosialnya, individu tersebut harus memperhatikan tuntutan dan harapan sosial yang ada terhadap perilakunya. Menurut Harlock (dalam Setianingsih, Uyun, Zahrotul & Yuwono 2006) jika individu tidak mampu melakukan penyesuaian sosial, maka akan menimbulkan permasalahan yang semakin kompleks. Keseluruhan proses hidup dan kehidupan individu akan selalu diwarnai oleh hubungan dengan orang lain, baik dalam selalu membutuhkan pergaulan dalam hidupnya dengan orang lain, pengakuan dan penerimaan terhadap dirinya dari orang lain.

  Penyesuaian sosial sebagai salah satu aspek dari penyesuaian diri individu yang menuju kepada kesesuaian antara kebutuhan dirinya dengan keadaan lingkungan tempat ia berada dan berinteraksi secara efektif dan efisien. Penyesuaian sosial akan terasa menjadi penting, manakala individu dihadapkan pada kesenjangan-kesenjangan yang timbul dalam hubungan sosial dengan orang lain. Berapa pun kesenjangan-kesenjangan itu dirasakan sebagai hal yang menghambat, akan tetapi sebagai makhluk sosial, kebutuhan individu akan pergaulan, penerimaan, dan pengakuan orang lain atas dirinya tidak dapat dielakkan dalam situasi tersebut.

  Percaya diri pada anak jalanan dapat berpengaruh terhadap penyesuaian mereka terhadap lingkungan, sehingga anak jalanan dapat menerima dirinya sebagai anak jalanan dan mudah untuk menerima apapun yang mereka hadapi ketika berada di jalan. Adanya pandangan masyarakat yang menganggap anak jalanan sebagai sampah masyarakat dan sebagai pengganggu di jalanan, mengakibatkan rendahnya harga diri anak jalanan, sehingga mereka cenderung memandang negatif terhadap dirinya, hal ini berpengaruh terhadap penyesuaian diri terhadap masyarakat. Dari hasil penelitian mengenai harga diri anak jalanan (Nasution, Marina & Nashori, 2007) kebanyakan anak jalanan menilai dirinya secara negatif karena pandangan masyarakat yang menganggap anak jalanan sebagai gembel dan tidak berguna.

  Walau begitu anak jalanan tidak pernah menyesal mereka telah menjadi anak jalanan, karena tidak ada pilihan lain untuk mereka mencari sesuap nasi dan membantu orangtuanya. Fawzie & Sandy (2012) mengatakan anak jalanan telah memiliki tanggung jawab yang tinggi terhadap keluarga. Makna keluarga bagi mereka adalah sekelompok orang di mana dia harus ikut ambil bagian dalam menjaga keberlangsungan hidup mereka. Selain mereka memiliki tanggung jawab terhadap keluarga, anak jalanan juga sudah memiliki tanggung jawab terhadap dirinya sendiri, misalnya membayar uang sekolah dengan biaya yang didapatkan dari hasil keringat mereka.

  Ketidakmampuan menyesuaiakan diri terhadap lingkungan sosial terlihat dari ketidakpuasan terhadap diri sendiri dan lingkungan sosial serta memiliki sikap-sikap menolak realitas dan lingkungan sosial. Anak yang mengalami perasaan seperti ini akan merasa terasing dari lingkungannya, akibat mereka tidak mengalami kebahagiaan dalam berinteraksi dengan teman-teman sebaya dan keluarganya. Sullivan (dalam Oktaria, 2008) menjelaskan bahwa jika individu diterima orang lain, disenangi karena keadaannya, maka individu akan bersikap menghormati dan menerima dirinya sendiri. Sebaliknya jika orang lain selalu meremehkan, menyalahkan dan menolak, maka individu tidak akan menerima dirinya sendiri. Dengan begitu penerimaan dari lingkungan, percaya diri, dan interaksi sosial yang baik dapat memudahkan anak jalanan untuk dapat menyesuaikan dirinya dengan ligkungan sosial dimana tempat mereka tinggal, bermain dan berkeja untuk mencari nafkah melanjutkan hidup, serta untuk bertahan berada di lingkungan yang keras yaitu dijalanan.

  Anak Jalanan

  Anasiru (2011) Anak jalanan merupakan bagian dai komunitas kota, mereka menyatu dengan kehidupan jalanan kota, dimana jalanan menjadi lapangan hidup, tempat memperoleh pengalaman hidup dan sarana untuk mencari penyelesaian masalah ekonomi dan sosial. Mereka mencari kebutuhan hidupnya di tempat-tempat umum sebagai pengemis, penjual koran, dan mencari barang-barang bekas untuk dijual sebagai mata pencarian menreka dalam menghidupi diri mereka dan keluarganya. Mereka mengabaikan hak-haknya untuk memperoleh pendidikan dan pembinaan mental, padahal mereka adalah anak-anak bangsa yang telah dijamin oleh negara sebagai aset bangsa dan sumber daya manusia masa depan. Akan tetapi, karena mereka aset keluarga mau tidak mau harus ikut bekerja pada sektor informal demi untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka.

  Di berbagai sudut kota, sering terjadi, anak jalanan harus bertahan hidup dengan cara-cara yang secara sosial kurang atau bahkan tidak dapat diterima masyarakat umum, sekedar untuk menghilangkan rasa lapar dan keterpaksaan untuk membantu keluarganya. Hal ini dibuktikan karena kebanyakan dalam usia yang relatif dini, mereka sudah harus berhadapan dengan lingkungan kota yang tidak kondusif dan bahkan sangat tidak bersahabat. Jika dilihat anak jalanan adalah anak yang dalam keseharian hidupnya penuh dengan permasalahan, baik dengan keluarga, orang di sekitar mereka, maupun dengan aparat pemerintah terutama dengan para pamong yang berusaha menertibkan mereka. Mereka merelakan sebagian besar waktunya untuk bekerja di jalanan agar memperoleh penghasilan sebagai bekal hidup mereka (Rizzana, Soeaidy & Hadi 2013).

  Anak jalanan, umumnya berasal dari keluarga yang pekerjaannya berat dan ekonominya lemah. Anak jalanan tumbuh dan berkembang dengan latar belakang kehidupan jalanan dan akrab dengan kemiskinan, penganiayaan, dan hilangnya kasih sayang, sehingga memberatkan jiwa dan membuatnya berperilaku negatif.

  Perspektif Teoritis

  Perspektif menurut Adler ini mendasari bahwa manusia dimotivasikan oleh dorongan- dorongan sosial, sehingga dengan minat sosial menyebabkan individu menempatkan kepentingan umum diatas kepentingan pribadi. Individu yang dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya, mereka mampu menjalin hubungan dengan masyarakat untuk mencapai keberhasilan dalam mengejar superioritas. Mereka yang gagal dalam penyesuaian sosialnya, dikarenakan minat sosial yang kurang. Mereka lebih cenderung melakukan kegiatan atau pekerjaan untuk kepentingannya sendiri. Anak-anak jalanan yang memiliki perasaan tidak mampu, ketidakamanan, penyesuaian sosial yang buruk yang membuat mereka tidak bahagia dan tidak berhasil dalam kehidupan. Anak jalanan ini kurang diterima oleh masyarakat dan cenderung melakukan penyimpangan sosial.

  Menurut Adler, minat sosial yang tidak berkembang menjadi faktor yang melatarbelakangi semua jenis ketidakmampuan menyesuaikan diri. Disamping minat sosial gaya hidup yang kaku, dan hidup dalam dunianya sendiri. Ada tiga faktor yang membuat orang mengalami ketidakmampuan dalam menyesuaikan diri, antara lain: cacat fisik yang buruk, gaya hidup manja, dan gaya hidup terabaikan (Alwisol, 2006).

  Pada gaya hidup anak terabaikan, mereka yang diperlakukan salah dan disiksa mengembangkan minat sosial yang kecil, cenderung menciptakan gaya hidup manja. Mereka hanya mempunyai sedikit rasa percaya diri dan mengharapkan masyarakat bersikap dingin karena dia biasa diperlakukan dengan dingin. Anak-anak dengan gaya hidup terabaikan ini, cenderung menutup diri, hal ini justru membuat anak susah dalam berkomunikasi dengan orang lain atau lingkungannya. Anak-anak yang seperti ini juga cenderung untuk melindungi dirinya.

  Adler (Alwisol, 2006) percaya bahwa manusia menciptakan pola perilaku untuk melindungi perasaan berlebihan akan harga diri mereka terhadap rasa malu dimuka umum. Ada tiga kecenderungan pelindungan yang umum yang dipakai, yakni: sesalan (excuses), agresi, dan menarik diri (withdrawal). Bagi orang neurotik juga orang normal, biasa memakai sesalan; ”ya, tetapi” dan “sesungguhnya kalau”. Sesalan ini digunakan untuk mengurangi bahaya harga diri yang jatuh karena melakukan hal yang berbeda dengan orang lain dan menipu orang lain untuk percaya bahwa mereka ssesungguhnya lebih superior dari kenyataan yang ada sekarang. Perlindungan dengan memakai agresi untuk pengamanan kompleks superior yang berlebihan, melindungi harga diri yang rentan. Sebagian orang juga menggunakan cara menarik diri dari kesulitan, semua ini dimaksudkan untuk pengamanan agar harga diri tidak mengalami inflasi.

  Dari teori psikososial Adler mengenai kecenderungan pengamanan, agresi merupakan salah satu cara yang dilakukan anak jalanan untuk melindungi diri dari beberapa kejahatan yang dihadapi mereka ketika berada di jalan. Pekerjaan di jalan bagi mereka bukanlah hal yang mudah, anak-anak jalanan ini sering kali mengalami kekerasan dari pihak-pihak yang menindas mereka, seperti pengompasan dan anak-anak ini juga nekat bunuh diri akibat depresi akan kehidupan yang dialaminya. Bagi anak jalanan yang lemah, mereka lebih memilih untuk menarik diri, dan cenderung tidak melawan ketika mendapatkan kekerasan dari orang lain.

  

METODE PENELITIAN

Tipe Analisis

  Menurut Moleong (2007) penelitian kualitatif adalah penelitian ilmiah yang bertujuan untuk memahami suatu fenomena dalam konteks sosial secara alamiah, misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan dan sebagainya dengan mengedepankan proses interaksi komunikasi yang mendalam antara peneliti dengan fenomena yang diteliti.

  Pada penelitian kualitatif lebih menekankan pada analisis proses penyimpulan serta ilmiah. Penelitian kualitatif sendiri tidak menggunakan model matematik maupun statistik dengan menyusun asumsi dasar dan aturan berpikir yang akan digunakan dalam penelitian dengan menggunakan argumentasi dan penjelasan. Penelitian kualitatif juga terbagi dalam lima tipe pokok, yaitu: biografi, fenomenologi, grounded theory, etnografi, dan studi kasus.

  Menurut Herdiansyah (2010) penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi lebih ditunjukan untuk mendapatkan kejelasan dari fenomena dalam situasi natural yang dialami oleh individu setiap harinya daripada melakukan reduksi dari suatu fenomena dengan mencari keterkaitan atau hubungan sebab akibat dari variabel. Penelitian fenomenologi berusaha untuk mencari arti secara psikologis dari suatu pengalaman individu terhadap suatu fenomena melalui penelitian yang mendalam dalam konteks kehidupan sehari-hari subjek yang diteliti.

  Unit Analisis

  Penyesuaian sosial merupakan suatu proses penyesuaian diri terhadap lingkungan sosial dalam hubungan manusia. Melalui proses tersebut manusia memperoleh pemuasan akan kebutuhan-kebutuhannya. Keseluruhan proses hidup dan kehidupan individu akan selalu diwarnai oleh hubungan dengan orang lain, baik dalam lingkup keluarga, sekolah, maupun masyarakat luas, dan sebagai mahluk sosial, individu selalu membutuhkan pergaulan dalam hidupnya dengan orang lain, pengakuan dan penerimaan terhadap dirinya dari orang lain (Nurdin, 2009).

  Informan Penelitian

  Pengambilan informan dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan teknik

  

Purposive sampling. Purposive sampling adalah salah satu strategi menemukan informan

  yang paling umum dalam penelitian kualitatif, yaitu menentukan kelompok peserta yang menjadi informan sesuai dengan kriteria terpilih yang relevan dalam penelitian tertentu (Bungin, 2009).

  Teknik Pengumpulan Data

  Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode pengumpulan data dengan observasi serta wawancara semi terstruktur (in-depth interview) agar mendapatkan informasi dan data yang akurat.

  1. Observasi Observasi yang digunakan yaitu, observasi partisipatif, pengumpulan data melalui observasi terhadap objek pengamatan dengan langsung, peneliti dapat berkomunikasi secara akrab dan leluasa dengan peneliti (Bungin, 2010). Dalam observasi ini, peneliti terlibat dengan kegiatan sehari-hari orang yang sedang diamati atau yang digunakan sebagai sumber data penelitian. Metode observasi yang digunakan yaitu, Anecdotal

  Record. Anecdotal Record merupakan salah satu metode dalam observasi yang hanya membawa kertas kosong untuk mencatat perilaku yang khas.

  Stainback (dalam Sugiyono, 2008) mengemukakan bahwa dengan wawancara, maka peneliti akan mengetahui hal-hal yang lebih mendalam tentang partisipasi dalam menginterpretasikan situasi dan fenomena yang terjadi, dimana hal ini tidak bisa ditemukan melalui observasi. Penulis menggunakan teknik wawancara semiterstruktur (in-depth interview) dimana dalam pelaksanaannya lebih bebas bila dibandingkan dengan wawancara terstruktur.

  Teknik Analisis Data

  Analisis data kualitatif dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber, yaitu dari wawancara, pengamatan, yang sudah dituliskan dalam catatan lapangan, dokumen pribadi, dokumen resmi, gambar foto, dan sebagainya (Moleong, 2007). Dalam Poerwandari (2005) menjelaskan koding dan analisis. Langkah pertama sebelum analisis dilakukan adalah membutuhkan kode-kode pada materi yang diperoleh. Koding dimaksudkan untuk dapat mengorganisasi dan mensistematisasi data secara lengkap dan mendetail sehingga data dapat memunculkan gambaran tentang topik yang dipelajari.

  Dengan demikian pada gilirannya peneliti akan dapat menemukan makna dari data yang dikumpulkannya. Semua peneliti kualitatif menganggap tahap koding sebagai tahap yang penting, meskipun peneliti yang satu dan yang lain memberikan usulan prosedur yang tidak sepenuhnya sama. Secara praktis dan efektif, langkah awal koding dapat dilakukan melalui:

  a) Peneliti menyusun transripsi verbatim (kata demi kata) atau catatan lapangannya sedemikian rupa sehingga ada kolom kosong yang cukup besar disebelah kiri dan kanan transkrip. Hal ini akan memudahkannya membubuh kode-kode atau catatan-catatan tertentu diatas transkrip tersebut.

  b) Peneliti secara urut dan kontinyu melakukan penomoran pada baris-baris transkrip dan atau catatan lapangan tersebut. Sebagian peneliti mengusulkan pemberian nomor secara urut dari satu baris kebaris lain, sementara peneliti lain mengusulkan penomoran baru untuk tiap paragraf baru.

  c) Peneliti memberikan nama untuk masing-masing berkas dengan kode tertentu. Kode yang dipilih haruslah kode yang mudah diingat dan dianggap paling tepat mewakili berkas tersebut. Jangan lupa untuk memberikan tanggal pada setiap berkas.

  Pengujian Kredibilitas Data

  Kredibilitas pada penelitian kualitatif terletak pada keberhasilannya mencapai maksud mengeksplorasi masalah atau mendeskripsikan setting, proses, kelompok sosial atau pola interaksi yang kompleks. Deskripsi yang mendalam yang menjelaskan kemajemukan (kompleksitas) aspek–aspek yang terkait dan interaksi dari berbagai aspek menjadi salah satu ukuran kredibilitas penelitian kualitatif (Poerwandari, 2005). Hal penting pada kredibilitas penelitian kualitatif adalah Triangulasi. Triangulasi terdiri dari empat macam, yaitu: 1.

  Triangulasi Data, yaitu peneliti melakukan penelitian dengan cara menggunakan

  2. Triangulasi Investigator, yaitu pengumpulan data sejenis yang dilakukan oleh beberapa peneliti dalam rangka validasi.

  3. Triangulasi Metode, yaitu penelitian yang dilakukan dengan menggunakan teknik pengumpulan data yang berbeda.

  4. Triangulasi Teori, yaitu melakukan penelitian tentang topik yang sama dan data dianalisis menggunakan beberapa perspektif teoritis yang berbeda.

  Pada penelitian ini, penulis menggunakan teknik triangulasi sumber data. Triangulasi sumber data dilakukan dengan cara mengecek kembali data yang telah diperoleh melalui beberapa sumber lain yaitu pada ibu informan, sedangkan metode yang dilakukan penulis dengan menggunakan metode observasi dan wawancara mendalam (in- depth interview).

  

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Hasil Analisis Data

  Hasil wawancara dengan informan tentang penyesuaian sosial pada anak jalanan, informan dapat menyesuaikan diri pada lingkungan sosialnya terlihat dari informan yang mampu menjalin komunikasi dan hubungan dengan orang-orang di lingkungannya saat bekerja maupun saat informan di sekolah. Kesediaan informan menerima dirinya sebagai anak jalanan yang bekerja menyemir sepatu dan penjual koran. Walau awalnya informan pernah merasa malu bekerja dijalanan dan jadi bahan ejekan ketika disekolah, tetapi tidak membuat informan patah semangat untuk membantu orangtuanya. Ketika ejekan teman- temannya membuat emosi, informan tidak lantas langsung berbuat kasar kepada teman- temannya, namun saat informan tidak bisa menahan emosinya barulah sikap pembelaannya diperlihatkan informan, tatkala informan melakukan perlawanan dengan berkelahi.

  Selama lebih kurang 6 tahun informan mengikuti ibunya bekerja di jalan setiap hari, membuat dirinya sudah terbiasa dan percaya diri dengan lingkungannya, kini informan tidak merasa malu lagi. walau informan pernah merasakan putus asa atas pekerjaannya. Hubungan informan dengan keluarga termasuk ayah, ibu dan adik-adiknya baik. Informan lebih merasa dekat dengan ayahnya walau begitu dengan ibu juga, tetapi bagi informan ayahnya lebih baik dan ibunya pemarah dan informan merasa ibunya kurang perhatian lagi terhadap dirinya. Tidak hanya lingkungan fisik saja yang harus diperhatikan, namun lingkungan psikologis juga harus dijaga. Hubungan dengan keluarga yang baik, sekolah yang memadai dan lingkungan masyarakat yang sehat juga dapat membuat psikologis anak jalanan menjadi sehat.

  Dalam hubungan interpesonal informan, informan dapat bekerja sama dengan teman-teman ketika belajar maupun bekerja, walau informan pernah berseteru dengan temannya akibat merebut pembeli tapi hal itu biasa bagi informan, dan menginginkan teman-teman yang dapat menerima dirinya apa adanya. Informan punya rasa tanggung jawab sebagai anak untuk membantu orangtuanya, dan bersekolah untuk membahagiakan orang tuanya kelak. Dalam berteman informan merasa baik walau informan merupakan merasa tidak dijauhi oleh temannya dan masih berhubungan baik, walau lingkungan terkadang memojokkannya karena status pekerjaan sebagai anaka jalanan.

  Rasa sosial yang tinggi terdapat pada diri informan tercermin dari perhatiannya terhadap lingkungan, punya empati ketika melihat temannya berkelahi atau menolong saat orang-orang disekitarnya membutuhkan bantuan informan. informan juga aktif mengikuti acara-acara yang diadakan oleh pemerintah atau pun kantor koran tempat ibunya bekerja, baginya ketika mengikuti acara tersebut, untuk hiburan kita dan mengenal dengan loper koran yang lain. Penerimaan lingkungan kerjanya membuat dirinya merasa senang bekerja, baginya mencari uang sendiri untuk membantu orangtua itu tidak masalah, selagi pekerjaannya halal.

  Namun bekerja di jalanan setiap harinya menjadi tantangan sendiri bagi informan, mulai dari lokasi yang sering berpindah-pindah hingga sikap masyarakat terhadap dirinya. Bagi informan kesan dan suka duka yang didapat ketika ia bekerja banyak, mulai dari diusir oleh satpam hingga dianggap remeh oleh pengguna jalan. Semua rasa sulit itu bagi informan dibawa senang. Namun selama informan bekerja, ia tidak pernah merasa dijahatin oleh sesama anak jalanan. Baginya ketika penghasilan kita berbeda-beda sesama penyemir sepatu atau loper koran, tidak ada rasa cemburu, karena itu merupakan rezeki masing-masing.

  Informan mampu menerima dirinya sebagai anak jalanan yang orangtua dan dirinya menghabiskan pekerjaannya di jalan sebagai penjual koran dan penyemir sepatu. Informan merasa puas karena dapat menabung dari hasil kerjanya sendiri dan bisa membantu orangtuanya. Walaupun informan bekerja, ia tetap disiplin terhadap waktu, pagi informan sekolah setelah pulang sekolah ia melanjutkan bekerja menyemir sepatu hingga sore, dan malamlah waktunya untuk mengerjakan tugas, dan beristirahat kembali. Semangat yang tinggi dalam diri informan membuatnya tidak ingin putus sekolah, baginya sekolah agar kelak esok ia dapat menjadi bangaan orangtua juga membahagiakan orangtuanya. Dorongan informan bekerja pun datang dari dalam dirinya, sehingga orangtuanya hanya mendukung apa yang ingin dilakukan informan, selain itu informan juga mendapatkan dukungan dari nenek dan kakaknya.

  Pembahasan

  Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran kemampuan anak jalanan bersosialisasi dengan lingkungan sosialnya secara efektif dan sehat sehingga anak jalanan tersebut dapat memperoleh kepuasan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Seorang individu didalam kehidupannya akan dihadapi pada dua realitas yakni diri dan lingkungan sekitarnya yang berlangsung secara berkelanjutan didalam kehidupan yang disebut dengan penyesuaian sosial.

  Penyesuaian sosial sebagai kemampuan individu untuk beraksi secara efektif dan bermanfaat terhadap realitas sosial, situasi, dan hubungan sehingga tuntutan atau kebutuhan dalam kehidupan sosial terpenuhi dengan cara yang dapat diterima dan memuaskan. Dengan demikian jika individu ingin mengembangkan kemampuan dalam mampu menciptakan suatu relasi yang sehat dengan orang lain, mengembangkan persahabatan, berperan aktif dalam kegiatan sosial, menghargai nilai-nilai dari hukum-hukum sosial budaya yang ada dilingkungan masyarakat (Maslihah, 2011).

  Menurut Papalia, Old dan Feldman (2009) Masa remaja awal sekitar usia 10 atau 11 sampai 14 tahun, peralihan dari masa kanak-kanak, memberikan kesempatan untuk tumbuh, tidak hanya Dalam dimensi fisik tetapi juga dalam kompetensi kognitif dan sosial, otonomi, harga diri, dan keintiman. Remaja menghabiskan waktu yang makin banyak dengan teman sebaya, tetapi hubungan dengan orangtua terus berpengaruh. Salah satu tugas perkembangan remaja yang tersulit adalah yang berhubungan dengan penyesuaian sosialnya. Pada masa ini juga status remaja tidaklah jelas dan menimbulkan keraguan akan peran yang dilakukan. Dalam masa tersebut banyak perubahan yang terjadi diantaranya adalah perubahan fisik, perubahan sosial, dan perubahan emosi.

  Penyesuaian sosial dilingkungan masyarakat maupun di lingkungan sekolah dan keluarga sangat diperlukan oleh setiap orang, terutama dalam usia remaja. Kemampuan dalam melakukan penyesuaian sosial dilingkungan masyarakat akan menciptakan hubungan yang harmonis. Apabila remaja tidak mampu akan mengakibatkan ketidakpuasan pada diri sendiri akibat merasa dikucilkan dan mempunyai sikap-sikap menolak diri. Akibatnya remaja tidak mengalami saat-saat yang mengembirakan seperti yang dinikmati oleh teman-teman sebayanya (Maslihah, 2011). Pada masa ini seluruh aspek kehidupan berkembang pesat, mulai dari lingkungan orangtua, teman bermain, sampai kelompok sosial yang berpengaruh pada sifat, sikap, minat dan penyesuaian diri (Papalia, Old dan Feldman, 2009).

  Hasil penelitian yang diperoleh peneliti dilapangan Informan merasa memiliki tanggung jawab untuk bekerja agar dapat membantu keluarga terutama ibunya. Penyesuaian yang dialaminya dari awal bekerja ketika sebelum sekolah hingga informan memasuki dunia sekolah, yang awalnya tidak percaya diri dan adanya perasaan malu ketika bertemu teman saat bekerja. Setiap harinya informan berada dijalanan untuk bekerja membuat ia tidak merasa takut dengan lingkungan dijalanan, informan membangun hubungan yang baik dengan orang-orang yang berada dilingkungan tempat ia bekerja, mulai dari anak-anak hingga orang dewasa. Informan juga mampu bekerja sama ketika bekerja dengan anak-anak jalanan yang lain. Walau terkadang adanya perkelahian dalam merebut pembeli.

  Penyesuaian anak jalanan juga dipengaruhi oleh penerimaan lingkungan sosialnya baik keluarga, teman ditempat kerja, teman disekolah dan masyarakat sekitar, serta penerimaan terhadap dirinya sendiri baik menyangkut statusnya sebagai anak jalanan. Informan merasa lingkungannya menerima dirinya, sekolah maupun dilingkungan teman bermainnya dirumah. Informan tidak merasa dijauhi oleh teman-temannya, namun walau begitu informan pernah mendapatkan ejekan dari temannya, dan tidak membuatnya merasa minder. Informan juga mampu menerima diri sebagai anak jalanan yang bekerja setiap hari sebagai penyemir sepatu dan memiliki orangtua yang menjadi loper koran.

  Adler mengatakan individu yang menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya, mereka mampu menjalin hubungan masyarakat untuk mencapai keberhasilan dalam termotivasi oleh minat sosial dan keberhasilan (Alwisol, 2006). Seseorang yang dapat menerima dirinya akan merasa cukup aman untuk menaruh minat pada orang lain dan menunjukan empati, sehingga ia akan merasa puas dengan menjadi dirinya sendiri. Berdasarkan hasil data dilapangan Informan juga anak yang perhatian terhadap lingkungannya dan informan merasa puas dengan apa yang dijalaninya sebagai anak jalanan, bekerja membuatnya senang, bisa menghasilkan uang sendiri tanpa meminta lagi kepada orangtuanya.

  Menurut adler (dalam Jess & Gregory, 2010) anak-anak yang secara psikologis merasa aman, berjuang meraih superioritas yang didefiisikan sebagai keberhasilan dan minat sosial. Manusia dimotivasikan oleh dorongan-dorongan sosial, sehingga dengan minat sosial menyebabkan individu menempatkan kepentingan umum diatas kepentingan pribadi. Individu yang dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya, mereka mampu menjalin hubungan dengan masyarakat untuk mencapai keberhasilan dalam mengejar superioritas. Mereka yang gagal dalam penyesuaian sosialnya, dikarenakan minat sosial yang kurang. Mereka lebih cenderung melakukan kegiatan atau pekerjaan untuk kepentingannya sendiri. Dari hasil dilapangan Interaksi sosial yang tercipta antara informan dengan lingkungannya terlihat dari pengakuan informan yang senang berteman dengan siapa saja, tidak ada membeda-bedakan dalam beteman, baginya semua sama maupun yang berbeda agama. Dan informan juga sangat akrab dengan sesama penjual yang ada di lingkungan kerjanya yang muda maupun orang dewasa. Kepedulian informan terhadap lingkungannya terlihat ketika informan melerai ketika temannya ada yang berkelahi saat merebut pembeli. Informan sebagai anak yang senang menolong dan ramah membuat lingkungan menerimanya dengan sangat baik, sehingga membuat informan merasa senang ketika bekerja. Walau terkadang informan juga pernah mengalami kekerasan dari lingkungannya.

  Menurut Adler, minat sosial yang tidak berkembang menjadi faktor yang melatarbelakangi semua jenis ketidakmampuan menyesuaikan diri. Disamping minat sosial yang buruk, penderita neurotik cenderung membuat tujuan yang terlalu tinggi, memakai gaya hidup yang kaku, dan hidup dalam dunianya sendiri. Ada tiga faktor yang membuat orang mengalami ketidakmampuan dalam menyesuaikan diri, antara lain: cacat fisik yang buruk, gaya hidup manja, dan gaya hidup terabaikan (Alwisol, 2006). Informan mmiliki minat sosial yang baik, dari caranya berinteraksi dengan teman-teman sebaya maupun orang dewasa dilingkungannya membuat dirinya dapat diterima oleh lingkungan dan penerimaan diri informan sebagai anak jalanan mengakibatkan informan memiliki rasa percaya diri dan dapat menyesuaikan dirinya dilingkungan sosial. Gaya hidup yang dijalani informan masih dalam gaya yang normal, informan jauh dari sikap manja karna ia mampu bekerja sendiri untuk membantu kedua orangtuanya. Informan juga masih merasakan kasih sayang dan perhatian dari orangtua. Oleh karna itu informan memiliki semangat yang tinggi untuk dapat bekerja selain membantu orangtua, ia ingin dapat menggapai apa yang diinginkannya.

  Hasil Data Temuan Terbaru

  informan membantu keluarga dan harapan dalam mencapai keinginannya membahagiakan orangtua. Widia (2014) mengatakan motivasi sebagai kekuatan seseorang dalam melaksanakan suatu kegiatan, baik yang bersumber dari dalam diri individu itu sendiri (motivasi instrinsik) maupun dari luar individu (motivasi ekstrinsik).

  Analisa motivasi teori sosial-kognitif menekankan pada pengaruh pemikiran motivasional orang-orang terhadap diri mereka sendiri. Kemampuan untuk melakukan tugas yang relevan dengan situasi, pengaruh mereka dalam rangka memilih tujuan, dalam upaya dan kegigihan terhadap pencapaian tujuan (Pervin, 2010). Ketika seseorang termotivasi mencapai sesuatu yang diinginkan, akan ada harapan yang sejalan dengan motivasi tersebut. Salah satu faktor harapan terbesar informan bekerja adalah untuk menaikan orangtua haji.

  Sehingga teori harapan mengatakan bahwa individu akan termotivasi untuk mengeluarkan tingkat usaha yang tinggi ketika mereka yakin bahwa usaha tersebut akan menghasilkan penilaian kerja yang baik (Putri, Pujangkoro dan Ishak 2013). Jadi jika seseorang menginginkan sesuatu dan harapan untuk memperoleh sesuatu itu cukup besar, yang bersangkutan akan sangat terdorong untuk memperoleh hal yang diinginkannya itu. Sebaliknya jika harapan memperoleh hal yang diinginkannya itu kecil, motivasinya untuk berupayah akan menjadi rendah.

  Dari hasil wawancara informan mengatakan harapannya selama ini ia bekerja agar bisa menabungkan uang dari hasil kerjanya untuk menaikkan haji orangtua dan keinginan informan juga agar dapat menamatkan sekolah hingga ia mendapat gelar S3 suatu saat nanti.

  

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

  Informan mampu bersosialisasi dengan orang lain dan situasi-situasi tertentu mulai dari lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat luas tempat informan bekerja. Secara efektif dan sehat informan menjalin hubungan yang akrab dengan temannya di sekolah, informan juga sering diejek karena pekerjaannya, tidak ada teman-teman yang menjauhi dirinya dan sesekali informan pun pernah mengalami perkelahian dengan temannya. Di lingkungan sekolah, informan menghabiskan waktu untuk bermain dan belajar bersama teman-teman. Informan anak yang jahil Di lingkungan informan bekerja tidak hanya dengan orang-orang yang menyemir sepatu yang mengenalnya tetapi seluruh orang-orang yang ada disekitar tempatnya bekerja sudah menjadi teman baginya. Kemampuan informan menjalin kerja sama dengan teman-temannya dalam bekerja membuat informan merasa diterima di lingkungannya. Rasa tanggung jawab informan akan membantu orangtuanya, membuat informan mampu mengambil keputusan.

  Informan juga mampu menerima diri sebagai anak jalanan yang bekerja setiap hari sebagai penyemir sepatu dan memiliki orangtua yang menjadi loper koran. Informan juga dijalaninya sebagai anak jalanan, bekerja membuatnya senang, bisa menghasilkan uang sendiri tanpa meminta lagi kepada orangtuanya. Aktif dalam kegiatan sosial dan memiliki perhatian yang tinggi terhadap teman-temannya, membuat informan merasa memiliki banyak teman dari pada musuh.

  Semangat yang tinggi dalam diri informan membuatnya tidak ingin putus sekolah, baginya sekolah agar kelak ia dapat menjadi kebanggaan orangtua juga membahagiakan orangtuanya. Pekerjaan di jalan bagi informan bukanlah hal yang mudah, selain mendapat kekerasan dari orang dewasa juga penilaian rendah oleh pengguna jalan raya.

  Saran