MERESPON GLOBALISASI DENGAN ALIANSI STRA (1)

MERESPON GLOBALISASI DENGAN ALIANSI STRATEGIS:
SUATU KEHARUSAN
Wahyuningsih Santosa
Universitas Trisakti
Abstract
Alliances between organizations have become an increasingly popular method of
development. Dynamic markets, coupled with the increasing costs of doing business,
have resulted in a significant increase in the use of strategic alliances. Firms in many
industries must develop new capabilities in many areas, ranging from tecnologically
development to manufacturing process, from plant economies to marketing and
distributin, and they must do so quickly. Developing such competitive capabilities with
limited resources is the core of strategic alliances, which allow firms to recast their
competitive strategies in response to globalization.
Keywords:

strategci alliances, resources, capabilities, globalization, joint learning, value creation,
competitive advantages.

A. Introduksi
Dalam bukunya ‘Global Operations Management’, Flaherty (1996) menjabarkan
tentang berbagai perkembangan atau inovasi dalam teknologi komunikasi dan informasi

yang secara komersial telah dimulai sejak tahun 1950-an. Berawal dari penemuan
commercial computers, kemudian diikuti antara lain satelit komunikasi, transmisi digital,
fax, telepon seluler, private networks, sampai internet dan juga multimedia, telah
membuka peluang besar bagi bisnis global dan bahkan kini telah membawa dampak besar
pada transformasi ekonomi dunia.
Berbagai inovasi ini pula yang kemudian juga mampu menekan atau
menghilangkan hambatan-hambatan masuk antar negara. Jarak geografis dan kultural
telah menciut, dan selanjutnya memudahkan perusahaan-perusahaan di dunia untuk
memperluas pasar atau jaringan pasokannya. Bahkan setelah perjanjian Bretton Woods
tahun 1971, dimana nilai tukar lebih ditentukan oleh pasar daripada oleh keputusan
pemerintah, juga ketika berbagai negara membentuk kesepakatan-kesepakatan semacam

1

NAFTA, Masyarakat Eropa, GATT, AFTA dan sebagainya, semakin memperkuat
pernyataan akan hilangnya berbagai hambatan masuk di atas.
Perusahaan-perusahaan di berbagai industri di dunia pun mengembangkan
produknya dengan menggunakan jaringan pasokan global. Chrysler misalnya, perusahaan
Amerika ini sebelumnya hanya mengembangkan produk mobil dengan menggunakan
komponen dari Amerika dan dipasarkan untuk Amerika juga. Tetapi kini Chrysler juga

membeli komponen-komponen untuk pengembangan produknya dari suplier-suplier di
Jepang, Korea, Jerman dan beberapa negara lain, dan juga menjual produknya ke
berbagai negara di dunia. Begitupun General Motors, kini ia juga mendapatkan pasokan
komponen-komponen untuk perakitan mobilnya dari perusahaan-perusahaan seperti
Suzuki, Isuzu, dan juga Toyota (Grant, 1995).
Saat inipun dengan mudah kita dapat menjumpai berbagai perusahaan yang
bahkan memindahkan lokasi manufakturnya ke negara-negara lain untuk lebih cepat
menjangkau pasar di seluruh dunia. Sebutlah beberapa nama perusahaan untuk contoh,
seperti Toyota Motors, Hyundai, Ford, Hitachi dan sebagainya.
Selanjutnya, Zaman dan Mavondo (2002) mengutip hasil studi yang dilakukan
oleh Allen & Hamilton, mengindikasikan bahwa antara tahun 1987 dan 1992 telah
dibentuk lebih dari 20.000 aliansi baru di Amerika dengan pertumbuhan 25% per
tahunnya. Hasil studi yang dilakukan oleh Day pada 1995 bahkan mengindikasikan
bahwa IBM saja membentuk lebih dari 400 aliansi didalam dan luar negeri. Lebih jauh
lagi, studi yang dilakukan oleh Coopers dan Lybrand pada 1996 pada 400 perusahaan
menunjukkan bahwa 55% dari perusahaan-perusahaan tersebut melakukan rata-rata 3
aliansi strategis dalam pengembangan bisnisnya.
Sedikit contoh diatas menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan di dunia tidak
hanya memiliki peluang untuk menjual produk-produk ke luar negaranya, tetapi juga
peluang untuk mendapatkan sumber pasokan dari luar negaranya. Namun demikian,

mereka menyadari bahwa untuk mencapai sukses hal tersebut, mereka tidak mungkin
melakukannya sendirian. Maka kemudian mereka membentuk apa yang disebut sebagai
aliansi strategis dengan perusahaan lain, seperti dengan pemasok, distributor, atau bahkan
dengan perusahaan pesaingnya. Pesaing tidak perlu harus selalu dipandang sebagai

2

ancaman, karena dalam kondisi saat ini sangatlah mungkin justru meraih kesuksesan
bisnis melalui kerjasama dengan pesaing.

B. Referensi Teoritis
Konsep Aliansi Strategis
Hubungan antar perusahaan sebenarnya telah mulai terjalin sejak awal tahun
1970-an, tetapi istilah aliansi strategis relatif “baru” dan bahkan sering digunakan dengan
konsep yang bersifat ambiguitas (Bimono, 1999). Bahkan Yoshino & Rangan, seperti
dikutip Bimono, menyatakan bahwa ‘Strategic Alliance is just a buzzword used by
corporate hipsters for what used to be called joint ventures’.
Aliansi strategis tidak sama dengan joint ventures. Pearce & Robinson (2000)
menegaskan hal tersebut dengan menyatakan: strategic alliances are distinguished from
joint ventures because the companies involved do not take an equity position in one

another; strategic alliances are partnerships that exist for a defined period during which
partners contribute their skills and expertise to a cooperative project. Sebagai contoh,
salah satu partner dalam aliansi strategis memiliki kemampuan manufaktur yang unggul
sementara partner yang lain memiliki keunggulan dalam pemasarannya.
Menurut Yoshino & Rangan (1995), aliansi adalah perjanjian antar perusahaan
yang meliputi fungsi-fungsi yang luas, dari pengadaan sumber daya-sumber daya melalui
riset dan pengembangan sampai dengan produksi dan bahkan pemasaran. Dengan
demikian aliansi strategis menghubungkan sisi-sisi bisnis dari satu perusahaan dengan
perusahaan yang lain, yang akan mampu memberikan atau menciptakan mutual benefit
bagi kedua belah pihak yang berpartisipasi.
Yoshino & Rangan selanjutnya menyatakan bahwa aliansi strategis merupakan
proses simultan yang memiliki 3 karakteristik penting:


Dua atau lebih perusahaan yang bergabung untuk melaksanakan tujuan-tujuan
yang telah disepakati, masing-masing tetap independen terhadap formasi aliansi,



Perusahaan-perusahaan partner saling berbagi atas benefit aliansi dan juga

mengontrol kinerja bersama,

3



Perusahaan-perusahaan partner saling memberi kontribusi dalam satu atau lebih
bidang strategis secara kontinyu, seperti teknologi, proses dan sebagainya.
Parise & Henderson (2001), dalam artikelnya yang berjudul “Knowledge

Resource Exchange in Strategic Alliances” mengindikasikan bahwa aliansi dapat
dipandang sebagai mekanisme untuk mendapatkan ‘know-how’ dan belajar dari
perusahaan-perusahaan lain. Ada pertukaran sumber daya pengetahuan (knowledge
resource) dalam suatu aliansi strategis. Adapun jenis sumber daya pengetahuan yang
dapat dipertukarkan dalam aliansi strategis dapat berkisar dari sumber daya tidak berujud
(intangible/tacit resources), seperti merk atau keahlian pekerja, sampai sumber daya
berujud (tangible/physical resources), seperti mesin dan peralatan, komponen atau
produk. Manajemen dan implikasi untuk penciptaan nilai dari aliansi strategis tersebut
akan bergantung pada sifat pertukaran sumberdaya pengetahuan dari para partner dalam
aliansi.

Tipe-tipe Aliansi Strategis
Dibutuhkan suatu kerangka yang komprehensif untuk menganalisis aliansi
strategis. Yoshino & Rangan (1995) mengidentifikasi 4 jenis aliansi strategis dengan
memperhatikan dua dimensi manajerial, yaitu persaingan dan kerjasama. Yoshino &
Rangan kemudian mendasarkan pada potensi konflik dan derajat interaksi antar sekutu
untuk mengklasifikasikan aliansi tersebut, yaitu:
1.

Aliansi Prokompetitif (Procompetitive Alliances)
Aliansi ini biasanya dilakukan antar industri yang tidak saling berkompetisi dengan
tujuan membentuk suatu hubungan vertical value chain. Jadi dapat dilakukan antara
perusahaan manufaktur dengan para pemasok serta distributornya. Walaupun
perusahaan-perusahaan

yang

berpartner

bekerjasama


dengan

erat

dalam

pengembangan produk atau proses produksi, tetapi dalam aliansi tipe ini derajat
interaksi antar organisasi rendah sehingga potensi konflik pun rendah. Orientasi
utamanya adalah untuk meningkatkan nilai tambah dan mempertahankan fleksibilitas.
2.

Aliansi Nonkompetitif (Noncompetitive Alliances)
Aliansi ini pada umumnya terbentuk antar perusahaan dalam industri yang sama
tetapi tidak saling bersaing, misalnya General Motor dan Isuzu bersama

4

mengembangkan mobil jenis kecil yang akan mereka jual bersama juga. Level
interaksi antar organisasi pada aliansi ini tinggi tetapi potensi konfliknya rendah
karena tidak ada pihak yang menganggap partnernya sebagai rival utama. Tujuan

aliansi tipe ini adalah pada learning, bukan pada fleksibilitas atau proteksi
kompetensi inti.
3.

Aliansi Kompetitif (Competitive Alliances)
Aliansi ini sama dengan aliansi nonkompetitif dalam hal tingginya derajat interaksi
organisasi, tetapi berbeda dalam hal bahwa partner adalah perusahaan yang dapat
merupakan pesaing langsung dalam pemasaran produk akhir. Dalam aliansi ini derajat
interaksi organisasi maupun potensi konfliknya sama-sama tinggi. Prioritas utamya
adalah pada learning, fleksibilitas strategi, dan juga proteksi kompetensi inti karena
tingginya persaingan. Contoh yang dapat diberikan disini adalah aliansi yang
dilakukan antara Motorolla dan Toshiba yang secara bersama-sama memproduksi
mikroprosesor di Jepang.

4.

Aliansi Prekompetitif (Precompetitive Alliances)
Aliansi ini terbentuk antara perusahaan yang berbeda dan bahkan dari industri yang
tidak saling berhubungan. Tetapi walaupun pada saat ini anggota aliansi bukan
kompetitor, terdapat kemungkinan menjadi kompetitor untuk masa yang akan datang.

Derajat interaksi organisasi pada aliansi ini tentu saja rendah, tetapi memiliki potensi
konflik yang tinggi. Adapun orientasi utamanya adalah pada fleksibilitas strategi dan
juga proteksi kompetensi inti. Aktivitas yang dapat dilakukan bersama dalam hal ini
misalnya adalah pengembangan teknologi baru.
Sementara Parise & Henderson (2001) mengembangkan model konseptual yang

disebut PREM (Partner Resource Exchange Model). Model ini menganalisis sifat
pertukaran sumberdaya pengetahuan dalam aliansi yang didasarkan pada tiga dimensi
pengetahuan, yaitu tacitness, specificity dan complexity, dan juga peran partner dalam
konteks industri, yaitu sebagai komplementer, pesaing, pemasok, pelanggan, atau lainnya.
Dilihat dari dimensi pengetahuan, pertama, adalah aliansi dimana kedua partner
mengkontribusikan sumberdaya dengan dimensi tacitness, specificity dan complexity
yang rendah, ditekankan pada upaya untuk memperbaiki operasi sehingga menghasilkan

5

efisiensi, penurunan risiko, dan pengurangan biaya-biaya. Tujuan aliansi yang bersifat
‘operation based’ ini adalah untuk integrasi yang lebih baik diantara para partner,
misalnya aliansi antara perusahaan dengan suplier dengan tujuan tercapainya deliveri
yang tepat waktu, atau untuk meningkatkan kualitas material atau komponen. Aliansi ini

bisa berupa ‘manufacturing agreement’ atau ’ joint manufacturing alliance’.
Aliansi kedua adalah aliansi dimana salah satu partner menyediakan sumberdaya
strategis sementara partner yang lain menyediakan sumberdaya dengan level yang lebih
rendah. Disini bentuk aliansinya dapat berupa suatu ‘marketing agreement’, dimana
partner pertama menyediakan akses pasar, informasi tentang konsumen, atau merk,
sementara partner yang lain menyediakan produk yang akan dipasarkan. Dimensi detail
dan kompleksitas pada aliansi ini biasanya rendah, sementara dimensi tacitness dapat
tinggi atau rendah. Bentuk lain dari aliansi ini adalah ‘technology licencing agreement’
dimana salah satu partner membayar royalti untuk mendapatkan akses teknologi dari
partner yang lain. Tidak ada pengembangan teknologi atau produk baru dalam aliansi ini,
dan hanya ada sedikit integrasi diantara para partner, tidak ada sharing knowledge yang
signifikan sehingga proses belajar diantara para partner pun sangat minim.
Aliansi ketiga dari dimensi pengetahuan adalah aliansi dimana kedua partner
menyediakan sumberdaya strategis dengan dimensi tacitness, specificity dan complexity
yang tinggi. Hasilnya adalah penciptaan nilai yng menghasilkan kapabilitas strategis atau
kapabilitas yang unik. Aliansi ini pada umumnya melibatkan para partner untuk
mengintegrasikan pengetahuan mereka dalam mengembangkan teknologi atau produk
baru bersama. Karena pengetahuan dibagi diantara para partner yang terintegrasi secara
lintas fungsi atau bahkan berasal dari industri yang berbeda, dengan demikian maka
proses belajar terjadi secara lebih intensif diantara para partner tersebut.

Masih menurut Parise & Henderson (2001), jika dilihat dari peran para partner,
aliansi dapat diklasifikasikan menjadi:
1.

Aliansi Komplementer (Complementor Alliances)
Motivasi yang mendasari aliansi dengan perusahaan komplementer adalah untuk
meningkatkan produk perusahaan yang berorientasi pelanggan. Contohnya adalah
aliansi antara perusahaan perangkat keras komputer dengan komplementernya, yaitu
perusahaan perangkat lunak komputer atau perusahaan jaringan. Aliansi ini akan

6

menguntungkan kedua belah pihak. Bentuknya dapat berupa kerjasama dalam R&D,
atau aliansi pemasaran bersama dimana perusahaan akan memasarkan produk
komplementer sebagai paket yang tidak terpisahkan dari produknya sendiri. Aliansi
Pentium dan Intel adalah contoh yang baik disini. Contoh lainnya adalah aliansi
antara ASK Group Inc., perusahaan software bisnis strategis besar di dunia, dengan
Sun Microsystems, perusahaan hardware yang sangat besar di dunia, untuk
menyediakan solusi perhitungan bisnis kelas dunia.
2.

Aliansi Pemasok (Supplier Alliances)
Aliansi dengan pemasok ditujukan untuk mencapai integrasi yang ketat yang akan
menghasilkan

pengurangan

biaya-biaya,

meningkatkan

efisiensi,

dan

juga

meningkatkan kualitas. Baik perusahaan ataupun si pemasok tentu akan mendapatkan
benefit dari aliansi ini. Perusahaan mendapatkan jaminan kelancaran pasokan material
ataupun produk lainnya sehingga proses produksi tidak terganggu, dan pemasok pun
mendapat keuntungan apalagi jika perusahaan yang akan dipasoknya merupakan
pemimpin pasar. Contoh yang dapat diberikan disini adalah aliansi antara Compaq
Computer dengan Storage Technology Corp., salah satu pemasok Compaq, dalam
proyek R&D yang ditujukan untuk meningkatkan kemampuan emerging storage
networks untuk Windows NT Enterprise Computing.
3.

Aliansi Pelanggan (Customer Alliances)
Aliansi dengan pelanggan akan memberikan benefit kedua belah pihak yang
bekerjasama karena pelanggan adalah sumber penting untuk inovasi produk ataupun
pengembangan produk baru, kustomisasi rancangan, perbaikan layanan pelanggan,
dan juga pengurangan biaya melalui integrasi saluran distribusi. Aliansi pelanggan,
yang sering pula disebut sebagai ‘relationship marketing’, lebih difokuskan pada
retensi pelanggan melalui keterlibatan pelanggan yang mendalam dalam desain dan
pengembangan produk atau jasa yang ditawarkan perusahaan. Tahun 1998 Compaq
Computer Corp. dan Radio Shack, salah satu unit dari Tandy Corp., melakukan
aliansi strategis untuk memasarkan salah satu lini Compaq yaitu Compaq Presario
Computers dan aksesorinya. Compaq juga memberikan lisensi pada Radio Shack
untuk memberikan layanan pada seluruh lini Compaq Computers.

4.

Aliansi Pesaing (Competitor Alliances)

7

Aliansi dengan pesaing dapat berbentuk perjanjian lisensi, joint ventures, atau
konsortia. Lisensi dapat dilakukan karena ketidakmampuan perusahaan dalam
kapitalisasi atas teknologinya secara maksimal, keinginan untuk menetapkan standar
industri dalam daur hidup produk lebih awal, atau sebagai mekanisme defensif untuk
melindungi terhadap proses yang berhubungan dengan hukum atau pengadilan. Joint
ventures dapat dilakukan dengan alasana: biaya rendah untuk risiko yang tinggi,
proyek pengembangan teknologi intensif, pencapaian skala dan skop ekonomis,
belajar dari partner melalui akses pada teknologi partner dan juga akses pada
pengetahuan partner, dan juga membentuk basis bagi persaingan inmdustri di masa
yang

akan

datang.

Hitachi

dan

Hewlett-Packard,

yang

saling

bersaing,

mengembangkan dan memproduksi bersama model lanjutan HP’s Precision
Architecture RISC MPU.
5.

Aliansi “Lainnya” (“Other” Alliances)
Aliansi lainnya ini dapat dilakukan antara sebuah perusahaan dalam industri tertentu,
komputer misalnya, dengan perusahaan diluar industri tersebut untuk tujuan
memperoleh aliran pendapatan yang baru. Setiap perusahaan dalam aliansi akan
membawa kapabilitas atau pengetahuan yang berbeda, yang kemudian diintegrasikan
untuk memproduksi suatu produk atau jasa baru yang akan ditawarkan kepada
konsumen. Sun Microsystems, sekali lagi adalah perusahaan komputer besar dunia,
beraliansi dengan Eastman Kodak Company mengembangkan bersama solusi
fotografi untuk komputer yang mereka sebut sebagai Digital Photo Management. Sun
menyediakan keahlian dalam teknologi komputer, sementara Kodak menyediakan
keahlian dalam fotografi.

C. Logika Strategis dari Aliansi Strategis
Persaingan bisnis yang ketat tidak bisa tidak harus dihadapi oleh setiap pelaku
bisnis saat ini. Banyak sekali tuntutan dan tantangan didepan mata yang harus
dipecahkannya, kecuali dia akan terpinggirkan dari arena pertandingan. Keunggulankeunggulan kompetitif haruslah dapat diciptakan secara cerdas dan terus-menerus.

8

Aliansi strategis kemudian menjadi pilihan dari banyak perusahaan di seluruh dunia
sebagai strategi bisnis untuk menjawab tantangan persaingan tersebut.
Mengapa aliansi menjadi pilihan? Tantangan yang besar sementara sumberdaya
terbatas, merupakan alasan paling penting dalam setiap aliansi. Untuk menghadapi
masalah tersebut dibutuhkan suatu mekanisme yang memungkinkan sebuah perusahaan
tetap berada didepan dalam persaingan. Mekanisme ini harus memberikan peluang bagi
perusahaan untuk mempelajari metode kerja organisasi yang baru, memberikan akses
pada pengembangan teknologi baru, dan juga mempertahankan distribusi nilai (Yoshino
& Rangan, 1995). Jadi disini terdapat logika strategis dari aliansi, yaitu bahwa
mendapatkan keunggulan secara tradisional untuk pengembangan internal melalui
jaringan eksternal.
Tantangan di arena pertandingan kini telah bergeser dari sekedar persaingan atau
kerjasama, melainkan lebih pada orientasi keseimbangan antara keduanya. Itu yang
dikemukakan oleh Brandenburger & Nalebuff (Bimono, 1999). Saat ini anda harus
bersaing dan bekerjasama pada saat yang bersamaan. Jadi, “You have to listen to
customers, work with suppliers, create teams, and establish strategic partnership – even
with competitors”.
Michael E. Porter (1985) menyatakan pula bahwa perusahaan multinasional
ataupun nasional dapat bersaing secara global melalui aliansi atau koalisi dengan
perusahaan-perusahaan lain. Aliansi atau koalisi menurutnya merupakan cara untuk
memperluas skop tanpa memperluas perusahaan melalui kontrak dengan perusahaan lain
untuk melaksanakan aktivitas (penciptaan) nilai atau membentuk tim dengan perusahaan
lain untuk berbagi dalam aktivitas (penciptaan) nilai. Porter menyatakan: ”Coalitions
thus permit a firm with narrow scope to gain the benefit of broader scope without
entering new industry segments, geographic areas, or related industries. Coalitions are
also a way for a national firm to reconfigure its value activities around the globe to
achieve the necessary cost and differentiation advantages vital to meeting the challenges
pose by global competition”.
Parise & Henderson (2001), sebagaimana telah disinggung pada sub bab
sebelumnya, mengindikasikan bahwa aliansi dapat dilakukan dengan tujuan masingmasing partner dapat saling belajar satu sama lain sehingga dapat meningkatkan

9

kapabilitasnya sendiri dan selanjutnya meningkatkan keunggulan kompetitifnya. Dengan
demikian juga terjadi proses penciptaan nilai dalam suatu aliansi. Parise & Henderson
dengan model PREM menyimpulkan adanya pertukaran sumberdaya pengetahuan
sebagai alasan strategis setiap aliansi.
Senada dengan Parise & Henderson, Dyer, Kale & Singh (Ahmad Fuad Afdal,
2001), juga menyatakan bahwa aliansi strategis merupakan suatu cara yang cepat dan
luwes untuk mendapatkan akses pelengkap sumber daya dan keterampilan yang terdapat
pada perusahaan-perusahaan lain. Mereka meyakini bahwa aliansi strategis adalah alat
untuk penciptaan nilai dan mencapai keunggulan bersaing yang terus-menerus. Mereka
juga mengungkapkan hasil penelitian terhadap 200 korporasi dan 1.572 aliansi di US
yang menunjukkan adanya peningkatan harga saham sebesar 1% setiap kali aliansi
diumumkan.
Sementara itu, logika strategis dari aliansi yang dikemukakan oleh Thompson &
Strickland (2003) terletak pada tiga benefit strategis paling penting, yaitu: mencapai skala
ekonomis dalam produksi dan/atau pemasaran, mengisi kesenjangan dalam keunggulan
teknis dan manufaktur, serta untuk mendapatkan akses pasar yang lebih luas. Dengan
memadukan kekuatan dalam memproduksi komponen, perakitan dan juga pemasaran,
perusahaan dapat mencapai penghematan biaya yang tidak mungkin dilakukannya karena
volume produksi mereka yang kecil. Bagi perusahaan asing, aliansi dilakukan dengan
tujuan untuk dapat memenuhi persyaratan pemerintah sehingga mempermudah dalam
kepemilikan lokal, berbagi dalam fasilitas serta jaringan distribusi, dan juga memperkuat
akses ke pembeli.
Aliansi strategis telah menjadi pilihan strategis bagi perusahaan untuk tetap
menjadi yang terdepan dalam persaingan, karena dengan aliansi perusahaan dapat secara
terus-menerus mempertahankan dan bahkan meningkatkan keunggulan-keunggulan
kompetitifnya. Melalui aliansi terjadi proses belajar antar partner, sehingga kesenjangankesenjangan internal dapat tertutupi, bahkan menjadi lebih baik.
Aliansi strategis dapat dimulai dengan satu atau dua aktivitas nilai pada satu atau
dua bisnis. Para manajer perlu merubah cara pandang untuk selalu menemukan berbagai
peluang atau pendekatan bagi improvisasi bisnisnya. Pelajaran sederhana bahwa kita
tidak mungkin melakukan segala sesuatunya sendirian, jangan sekali-kali dilupakan. Para

10

manajer perlu pula mengkaitkan atau menyusun kembali bagian-bagian dari rantai nilai
perusahaannya dengan perusahaan lain, sehingga proses penciptaan nilai pun akan lebih
maksimal.

D. Elemen-elemen Aliansi Strategis
Tidaklah selalu mudah membentuk aliansi yang baik apalagi ideal, namun
demikian tidak berarti bahwa lebih baik tidak beraliansi. Lalu elemen apa sajakah yang
penting dalam sebuah aliansi yang baik? Gomes-Casseres (1998) mengidentifikasi 4
(empat) elemen penting dalam aliansi strategis, yaitu:
1. Strategi bisnis utama
Setiap manajer tentu akan sepakat bahwa suatu aliansi harus dilandasi dengan strategi
bisnis utama yang baik. Strategi ini yang akan menuntun mengapa partner tertentu
yang harus dipilih, mengapa struktur tertentu yang akan digunakan, apa hasil yang
diharapkan dari aliansi, bagaimana risiko akan dikelola, dan beberapa pertanyaan
lainnya yang penting. Kegagalan yang pernah terjadi pada aliansi-aliansi di masa
lampau adalah cara pandang bahwa aliansi itu sendiri merupakan tujuan yang akan
dicapai.
2. Pendekatan dinamis
Pendekatan dinamis menjadi elemen yang sangat penting dalam aliansi strategis,
karena sebuah aliansi akan bersifat open-ended dan ever-changing. Para partner tidak
dapat hanya terpaku pada satu kondisi tertentu, melainkan harus lebih fleksibel
terhadap berbagai kemungkinan perubahan di masa yang akan datang. Tendensi
perubahan dari waktu ke waktu ini tidak perlu diinterpretasikan sebagai sebuah
kelemahan atau ancaman, oleh karena itu suksesnya aliansi akan sangat bergantung
pada struktur tata kelola atau hubungan yang berjalan diantara para partner.
3. Manajemen portfolio
Pendekatan manajemen portfolio terhadap keseluruhan aliansi perusahaan juga
menjadi keharusan yang tidak mungkin diabaikan untuk keberhasilan aliansi dalam
menciptakan nilai. Pengembangan produk, proses atau teknologi dengan aliansi yang
mengintegrasikan berbagai komponen dari berbagai perusahaan dan kemudian

11

menjualnya melalui berbagai saluran distribusi dapat saling menguatkan jika gaya
manajemen portfolio dapat diterapkan secara lebih efektif. Apalagi jika perusahaan
bergerak dalam bisnis yang selalu dituntut inovatif, seperti perusahaan-perusahaan
pada industri farmasi, otomotif, elektronik atau teknologi informasi dan komunikasi.
Pendekatan individual atau terfragmentasi terhadap aliansi dapat menurunkan peluang
keberhasilan suatu proyek.
4. Infrastruktur internal
Keberhasilan mengelola aliansi tidak akan dapat dicapai tanpa peningkatan
kapabilitas internal perusahaan. Dari banyak contoh yang diberikan, nampak jelas
betapa kritisnya faktor organisasi internal atau infrastruktur internal pendukung bagi
pengelolaan persekutuan eksternal yang dibentuk. Tanpa itu, aliansi akan gagal
betapapun cerdasnya sebuah aliansi telah dirancang sebelumnya. Infratruktur internal
yang baik dapat juga mengidentifikasi atau menjadi mediasi adanya konflik internal
yang dapat mempengaruhi aliansi.

E. Faktor-faktor Sukses Aliansi
Tidak semua aliansi berhasil. Ada beberapa contoh aliansi yang tidak berhasil
menciptakan nilai sekalipun dilakukan oleh perusahaan besar. IBM dan Apple yang
membentuk aliansi strategis di tahun 1990 dalam menghadapi persaingan dengan Intel
dan Microsoft tidak menghasilkan apa-apa, begitu pula Mitsubishi dan Daimler-Benz di
tahun 1988 juga pernah gagal melahirkan proyek yang secara konkrit memberikan benefit
bagi keduanya (Gomes-Casseres, 1998).
Aliansi tanpa disertai strategi yang mendasari hanya sekedar omong kosong.
Gomes-Casseres selanjutnya mengidentifikasi sepuluh faktor sukses kunci bagi aliansi,
yaitu:
1.

Memiliki tujuan strategis yang jelas
Aliansi bukanlah merupakan tujuan akhir, melainkan hanya suatu mekanisme atau
alat strategi bisnis. Oleh karenanya tujuan strategis haruslah jelas sehingga
manajemen terhadap aliansi itu sendiri akan lebih fokus.

2.

Memilih partner yang tepat
12

Menentukan partner yang tepat adalah suatu keharusan, ini berarti bahwa partner
yang dipilih adalah yang memiliki tujuan-tujuan yang selaras dan juga memiliki
kapabilitas yang bersifat komplementer.
3.

Spesialisasi
Spesialisasi penting karena pengalokasian tugas-tugas atau tanggung jawab dalam
aliansi merupakan cara yang memungkinkan setiap pihak menunjukkan kemampuan
terbaiknya.

4.

Menciptakan insentif kerjasama
Melaksanakan pekerjaan bersama tidak akan terjadi secara otomatis, melainkan
membutuhkan insentif, terlebih jika pihak-pihak yang berpartner sebelumnya adalah
merupakan rival.

5.

Meminimisasi konflik antar partner
Lingkup dalam aliansi dan juga peran-peran setiap partner harus dirancang sehingga
terhindar dari terjadinya pertentangan satu sama lain di pasar.

6.

Berbagi informasi
Berbagai informasi tentu saja penting untuk tujuan bersama. Sistem komunikasi yang
kondusif dan kontinyu akan dapat membangun kepercayaan sehingga memungkinkan
pencapaian target-target proyek bersama.

7.

Pertukaran personel
Dalam setiap bentuk aliansi, kontak atau pertukaran personel serta saling
mengunjungi lokasi partner adalah penting untuk tetap menjaga komunikasi dan juga
kepercayaan.

8.

Operasi dalam jangka panjang
Konflik sangat mungkin muncul dalam suatu aliansi, namun upaya bersama yang
dilakukan dalam menyelesaikan konflik-konflik jangka pendek dapat termotivasi oleh
harapan-harapan pencapaian masa depan. Jadi aliansi sebaiknya dirancang untuk
jangka waktu yang panjang, bukan jangka pendek.

9.

Mengembangkan multi proyek bersama
Kegagalan proyek pun tetap mungkin terjadi, tetapi dengan multi proyek maka
kesuksesan kerjasama dalam satu proyek dapat membantu para pihak dalam
menghadapi proyek lain yang kurang berhasil.

13

10.

Fleksibel
Aliansi haruslah bersifat terbuka dan merupakan hubungan yang dinamis karena
mereka menghadapi lingkungan yang dinamis pula sehingga memungkinkan untuk
menangkap berbagai peluang yang ada.
Johnson & Scholes (1999) juga mengungkapkan bahwa kesuksesan dari aliansi

lebih tergantung pada bagaimana aliansi tersebut dikelola dan bagaimana para partner
menjaga perkembangan atau perubahan-perubahan yang menyertai persekutuan yang
telah mereka bentuk. Menurut Johnson & Scholes, berikut adalah beberapa hal yang
dapat ditemukan pada aliansi yang berhasil:
1. Sikap proaktif pada komitmen, kepercayaan dan kepedulian kultural.
2. Pengaturan organisasi yang jelas, khususnya menyangkut aktivitas-aktivitas yang
berhubungan dengan partner atau yang bersifat lintas partner.
3. Keinginan dari semua partner untuk organizational learning dari aliansi daripada
sekedar menggunakan partner untuk menggantikan kesenjangan kompetensi mereka.
Jadi proses inovasi dalam organisasi terdorong oleh karena adanya aliansi.
4. Usaha-usaha dari para partner untuk mencapai hubungan interpersonal yang kuat,
menghormati

kesepakatan-kesepakatan,

termasuk

fleksibilitas

menghadapi

perubahan.
Tidak jauh berbeda dengan Gomes-Casseres dan juga Johnson & Scholes,
Anslinger & Jenk (2004) juga mengemukakan beberapa panduan bagi suksesnya aliansi
strategis, yaitu:
1.

Pengembangan tujuan-tujuan yang baik dan jelas serta definisi sukses yang jelas
pula,

2.

Pilih bentuk aliansi yang tepat,

3.

Tentukan model tata kelola yang memadai dengan mekanisme pengambilan
keputusan yang jelas,

4.

Antisipasi terhadap munculnya konflik,

5.

Rencanakan langkah-langkah evaluasi, dan

6.

Tetapkan ukuran-ukuran yang jelas panduan serta pengukuran suksesnya aliansi.

14

Dari beberapa pendapat diatas, jelas sekali bahwa aliansi yang sukses hanya akan
dapat dicapai jika aliansi tersebut dikelola secara memadai. Sebagai salah satu tindakan
yang strategis, aliansi tidak bisa tidak harus mendapatkan perhatian dalam porsi yang
besar dari para pihak yang berkolaborasi secara strategis pula.

F. Kesimpulan
Aliansi strategis bukan lagi sekedar merupakan suatu pilihan pada kondisi pasar
dan persaingan saat ini, melainkan suatu keharusan. Dari pembahasan dapat disimpulkan
beberapa faktor atau kondisi yang mendorong dilakukannya aliansi, yaitu keterbatasan
sumberdaya-sumberdaya internal perusahaan, dinamika pasar global baik untuk produk
akhir atau teknologi, intensitas persaingan global serta peningkatan biaya yang signifikan
dalam menjalankan bisnis. Dengan aliansi, beberapa hambatan dalam menciptakan nilai
atau keunggulan-keunggulan kompetitif dapat diatasi sehingga peluang untuk tetap
berada di barisan depan dalam menghadapi persaingan tetaplah besar.
Belajar bersama diantara para partner (joint learning) merupakan salah satu
orientasi utama dilakukannya aliansi strategis, karena dari aliansi dapat terjadi pertukaran
sumberdaya pengetahuan yang dibutuhkan untuk mengembangkan kompetensi para
partner yang terlibat. Secara umum, aliansi dilakukan sebagai upaya untuk
mempertahankan diri dari persaingan global yang menghadapkan perusahaan pada
banyak tuntutan-tuntutan yang sulit diatasi oleh perusahaan seorang diri.
Aliansi atrategis dapat dilakukan dalam beberapa bentuk, bahkan aliansi dapat
dilakukan pula dengan kompetitor untuk bekerjasama meraih pasar, tidak hanya dengan
suplier, komplementer atau pelanggannya.
Keberhasilan aliansi strategis dalam menciptakan nilai atau keunggulankeunggulan kompetitif bagi perusahaan dan para partnernya, namun demikian, bukan
sebuah kepastian. Banyak kondisi yang dibutuhkan bagi suksesnya sebuah aliansi. Adalah
keliru cara pandang bahwa aliansi itu merupakan tujuan. Aliansi strategis bukan tujuan
akhir, melainkan suatu mekanisme atau alat untuk mencapai tujuan strategis, oleh karena
itu dibutuhkan strategi bisnis yang mendasari dan juga pengelolaan yang efektif. Struktur
15

organisasi yang dibentuk haruslah memadai, dan para manajer perlu memperbaharui
rantai nilai perusahaannya dengan memperhitumgkan hubungan persekutuan sebagai
bagian dari aktivitas nilai. Sikap positif, sharing vision, proaktif dan fleksibel para
partner dalam mengelola dan mengembangkan persekutuan juga dibutuhkan karena
dinamika lingkungan ada didepan mata dan tidak mungkin dihindari. Dengan sikap
tersebut, potensi konflik yang ada juga dapat ditekan.

G. Masukan Untuk Riset Aliansi Strategis di Indonesia
Telah dinyatakan sebelumnya bahwa aliansi strategis menjadi salah satu strategi
yang banyak dilakukan dalam bisnis saat ini sebagai upaya untuk menciptakan
keunggulan-keunggulan kompetitif yang dibutuhkan dalam menghadapi globalisasi, yang
tidak mudah dilakukan suatu bisnis secara individual. Namun benarkah bahwa aliansialiansi yang bermunculan mampu mencapai tujuan tersebut, atau dengan kata lain aliansi
telah berjalan dengan sukses, utamanya di Indonesia, masih perlu dilakukan studi lebih
lanjut.
Reseach Questions yang dapat dimunculkan dalam penelitian dan dicari
jawabannya, utamanya menyangkut penilaian kinerja aliansi, berdasarkan pada sejumlah
uraian diatas antara lain:
1.

Apa sajakah faktor organisasi yang mempengaruhi suksesnya aliansi?

2.

Apa sajakah faktor lingkungan yang mempengaruhi suksesnya aliansi?

3.

Apa sajakah faktor yang dipertimbangkan perusahaan dalam menilai partner yang
prospektif untuk membentuk aliansi?

4.

Apa sajakah atribut-atribut hubungan aliansi yang bertanggung jawab atas
suksesnya aliansi?

5.

Bagaimanakah dampak aliansi terhadap pencapaian keunggulan kompetitif
organisasi di pasar?

6.

Apa sajakah tipe-tipe aliansi yang ada di Indonesia?

16

REFERENSI
Ahmad Fuad Afdal. (2001). Melancarkan Kerja Aliansi Bisnis. Harian Suara Merdeka.
Tanggal 29 Oktober 2001. Jakarta.
American City Business Journal Inc. (2000). CoverageCorp forms strategic alliance. 2
Oktober 2000.
American City Business Journal Inc. (2000). Surrey forms  strategic   alliance.   29
September 2000.
Anslinger, Patricia & Jenk, Justine. (2004). Creating Successful Alliances. The Journal of
Business Strategy. Vol. 25, 2, ABI/INFORM Reasearch, pg. 18.
Bimono Josiadhi. (1999). Ford’s Strategic Alliances: Strategic Response to the Challenge
of Globalization. Kelola. No. 20/VIII/1999. MM Universitas Gadjah Mada.
Yogyakarta.
David, Fred R. (2001). Concepts of Strategic Management. 8th edition. Prentice Hall. Inc
Flaherty, M. Therese. (1996). Global Operations Management. The McGraw-Hill Co.,
Inc.
Gomes-Casseres, Benjamin. (1998). Strategy and Leadership. September/October 1998,
pp. 6-11.
Grant, Robert M. (1995). Contemporary Strategy Analysis: Concept, Techniques and
Applications. 2nd edition. Blackwell Publisher, Inc.
Johnson, Gerry & Scholes, Kevan. (1999). Exploring Corporate Strategy. 5 th edition.
Prentice Hall Europe.
Kompas Cyber. (2003). Aliansi Strategis PT Bank Niaga Tbk, AIG Lippo dan Citigroup
untuk Pembayaran Premi Asuransi. Tanggal 23 Oktober 2003.
Kompas Cyber. (2003). Bank Danamon Jalin Aliansi Strategis dengan Telkomsel, dalam
Pembayaran, Tagihan Bulanan Serta Pembelian Voucher isi Ulang Melalui
Jaringan ATM-nya. Tanggal 17 April 2003.
Parise, S. & Henderson, J. C. (2001). Knowledge Resource Exchange in Strategic
Alliance. Strategic Alliances Journal.
Pearce II, John A. & Robinson, Jr., Richard B. (2000). Strategic Management:
Formulation, Implementation and Control. 7th edition. The McGraw-Hill Co., Inc.

17

Porter, Michael E. (1985). Competitive Advantage: Creating and Sustaining Superior
Performance. The Free Press. New York.
Susanto, A.B. (2000). Manajemen Aliansi Strategis. The Jakarta Consulting Group.
Thompson & Strickland. (2003). Strategic Management. 13 th edition. McGraw-Hill Co.,
Inc.
Wood, Andrew. (2000). Forming Strategic Alliances to Boost Your Business! iBoost
Journal.
Yoshino, Michael Y. & Rangan, Srivinasa U. (1995). Strategic Alliances, An
Entrepreneurial Approach to Globalization. Harvard Business School Press.
Boston.
Zaman, Manir & Mavondo, Felix. (2002). Measuring Strategic Alliance Success: A
Conceptual Framework. Monash University.

(ning2004)

18