Representasi Kebudayaan Jawa dalam Iklan

Representasi Kebudayaan Jawa dalam Iklan Televisi
(Analisis Semiotika atas Penggambaran Kebudayaan Jawa dalam
Iklan Televisi Kuku Bima Ener-G versi Jogjakarta)

JURNAL SKRIPSI

Oleh:
IKHWANUL M OZON G A
0811220095

JURUSAN ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2015

REPRESENTASI KEBUDAYAAN JAWA DALAM IKLAN TELEVISI
(ANALISIS SEMIOTIKA ATAS PENGGAMBARAN KEBUDAYAAN JAWA
DALAM IKLAN TELEVISI KUKU BIMA ENER-G VERSI YOGYAKARTA)
IKHWANUL M OZON G A
0811220095

UNIVERSITAS BRAWIJAYA
FAKULTASI ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
ILMU KOMUNIKASI
Abstract
Advertisement is one of the promotional media which is used by marketers
either to introduce or sell their products. Marketers have many ways to make the
advertisement interesting. One of the ways is by bringing cultures into the
advertisement. Kuku Bima Ener-G Yogyakarta version is one of the products
which used culture in its advertisement. It mixes the pattern of energy drink
products’ advertisements which are usually show masculinity, men, and muscle
with a culture. Kuku Bima Ener-G Yogyakarta version used Javanese culture in
the advertisement. This research has a purpose to know the representation of
Javanese culture in Yogyakarta used by Kuku Bima Ener-G Yogyakarta version’s
advertisement.
This research used qualitative approach with semiotic analysis method.
Pierce’s semiotic method which is divided the indicator in to sign, object and
interpretant is used by the researcher. Kuku Bima Ener-G Yogyakarta version’s
advertisement is used as the research object. The data collection technique is unit
data analysis documentation that are some captures from the advertisement.
The result of this research shows that Yogyakarta’s culture is portrayed

representing Javanese cultures widely in Kuku Bima Ener-G Yogyakarta version’s
advertisement. In a broad way, there are four theme put in this advertisement.
They are (a) The harmony of modern and traditional life in Yogyakarta; (b) A
confirmation about Yogyakarta Landmark as a local element; (c)
Multiculturalism as the main point of Yogyakarta, and (d) Main commodity in
Yogyakarta. In a further research, it’s found that the majority products show in the
advertisement is from Yogyakarta. In other words, Yogyakarta is portrayed as the
center of Javanese cultures.
Keyword: Advertising, Kuku Bima Ener-G Yogyakarta version, Java culture.
Pendahuluan
Budaya lokal seringkali dilirik
oleh produsen untuk dimasukkan ke
dalam sebuah iklan produk yang
dimiliki, terutama di Indonesia.
Beberapa contoh yang sudah ada

yaitu, iklan Antangin JRG dengan
“Wes-ewes-ewes bablas angin e”
yang dibawakan mulai tahun 1999
hingga 2007 oleh pelawak dan artis

televisi almarhum Basuki. Oskadon

menggandeng dalang terkenal Ki
Manteb Sudarsono dengan tagline
“Pancen Oye” yang telah dimulai
sejak tahun 1996 hingga saat ini.
Satu lagi contoh dari Djarum 76 yang
populer mulai tahun 2000 an hingga
saat ini oleh sesosok Jin dan terkenal
dengan “Wani Piro”. Penayangan
iklan yang berulang-ulang membuat
masyarakat akan mengingat tagline
tersebut
ditambah
dengan
penggunaan bahasa daerah bisa
dimaksudkan untuk mendekatkan
merek tersebut dengan keseharian
masyarakat (Shimp, 2003, h.168).
Tagline tersebut akhirnya tetap

melekat
pada
sebuah
brand,
meskipun pada kasus Antangin JRG
pelawak Basuki sudah meninggal
beberapa
tahun
yang
lalu.
Masyarakat tetap mengingat bahwa
Antangin JRG selalu diidentikkan
dengan wes-ewes-ews bablas angin e
versi almarhum Basuki. Penjelasan
tersebut adalah salah satu contoh
pengggunaan salah satu unsur
budaya lokal, yakni bahasa kedalam
TVC
(Television
Commercial).

Bahasa lokal digunakan untuk
mempermudah penyampaian pesan
kepada audiens.
Langkah yang hampir sama
ditempuh oleh Kuku Bima Ener-G
yang mencoba mengangkat budaya
lokal dalam iklannya untuk audiens
di Indonesia. Iklan dengan tema
konten lokal dimaksudkan untuk
mendekatkan
brand
dengan
keseharian masyarakat
(Iskandar,
2010). Kuku Bima Ener-G sudah
membuat iklan dengan berbagai versi
yang mengangkat budaya lokal,
seperti versi Labuhan Bajo yang
mengangkat tentang pulau Komodo
dan sekitarnya, serta versi Sajojo


yang mengangkat tarian khas dari
Maluku (Anugraheni,2012).
Pada tahun 2007 Kuku Bima
mengangkat tokoh Mbah Marijan
sebagai
salah
satu
brand
ambassador. Strategi ini dirasa
cukup berbeda dengan yang sudah
ditempuh oleh Kuku Bima Ener-G
sebelumnya
maupun
produk
minuman berenergi yang lain dimana
mengangkat brand ambassador yang
diidentikkan dengan otot serta
kelaki-lakian. Mbah Marijan adalah
mantan juru kunci Gunung Merapi

yang wafat disaat Gunung Merapi
meletus. Beliau dianggap mewakili
nilai tanggung jawab, integritas, serta
loyalitas
dalam
menjalani
pekerjaannya. Melalui sosok Mbah
Marijan
Kuku
Bima
Ener-G
mencoba untuk menyisipkan nilainilai diatas, yang berbeda dengan
versi laki-laki yang berotot dan kuat
secara fisik. Mbah Marijan juga
diperkenalkan oleh Kuku Bima EnerG melalui tagline “Rosa”. “Rosa”
dalam bahasa Jawa berarti kuat. Kata
ini seakan menegaskan posisi Kuku
Bima Ener-G sebagai minuman
berenergi melalui konteks budaya
lokal.

Persaingan minuman berenergi di
Indonesia diikuti oleh bermacam
brand. Mulai dari produk impor
seperti Kratingdaeng dan M-150
yang merupakan produksi Thailand,
hingga produk dalam negeri seperti
Extra Joss (Bintang Toedjoe),
Hemaviton Energi (Tempo Scan
Pacific), serta KukuBima Ener-G
(Sidomuncul). Dari data yang
dihimpun dari majalah SWA No.
15/XXVII/18-27 Juli 2011 diketahui
bahwa Extra Joss masih mendominasi

persaingan di sektor ini, dimana
menguasai 29,3% pasar minuman

berenergi di Indonesia. KukuBima
Ener-G berada di posisi ketiga
dibawah

Kratingdaeng
dengan
menguasai 21,7%.
Mayoritas dari hasil observasi
peneliti terhadap teks yang ada di
televisi
nasional
menunjukkan
adanya variasi iklan, tetapi masih
dalam konteks laki-laki maskulin.
Sebuah penelitian yang berjudul
“Hegemoni Maskulinitas dalam
Minuman Berenergi” dilakukan oleh
I Nyoman Winata (2012) dari Undip
Semarang
juga
menegaskan
maskulinitas masih mendominasi
produk minuman benergi. Penegasan
maskulinitas tersebut terlihat dari

sosok pria macho, berotot, serta
berkeringat yang juga di dukung oleh
musik yang mengiringinya. Wanita
sebenarnya sudah dilibatkan dalam
iklan ini, namun perannya hanya
sebagai pembantu dari laki-laki. Hal
ini terlihat dari keluarnya sosok
wanita ketika membagi-bagikan
helm, namun diartikan hanya
membantu laki-laki sebagai aktor
utama dalam iklan ini. Penggunaan
tagline “Laki!” seakan menguatkan
maskulinitas yang sebelumnya sudah
melekat di produk ini melalui ikon
kepalan tangan yang ada di setiap
produknya.
Yogyakarta sudah berulangkali
dijadikan konten iklan komersial
seperti iklan Citilink Indonesia yang
mengambil

gambar
di
candi
Prambanan. Iklan ini menceritakan
tentang keanekaragaman kebudayaan
yang ada di Indonesia. Salah satu
yang diangkat dalam iklan ini yaitu
Yogyakarta
melalui
candi
Prambanan. Karena menceritakan
tentang keanekaragaman kebudayaan
yang ada di Indonesia, maka iklan ini

hanya
menyinggung
sedikit
mengenai Yogyakarta.
Selain berfungsi mempromosikan
produknya,
iklan
juga
bisa
mengkomunikasikan brand dari
sebuah produk. Brand adalah sesuatu
yang
dikomunikasikan
kepada
khalayak dengan harapan khalayak
tersebut mengerti tentang positioning
dari merk yang dikomunikasikan.
Brand menurut AMA (American
Marketing Association) adalah segala
hal yang menempel pada sebuah
merk untuk membedakan merk satu
dengan yang lain (Kotler & Keller,
2008, h. 258). Brand perlu
dikomunikasikan agar konsep yang
dibuat dapat dimengerti oleh
khalayak, salah satu cara dalam
mengkomunikasikan sebuah brand
adalah melalui iklan. Sebuah iklan
memiliki tanda-tanda yang dapat
mewakili produk tersebut maupun
yang diharapkan oleh komunikator
kepada khalayak.
Iklan bisa dikelompokkan dalam
bentuk teks, dimana ilmu yang bisa
membedah teks salah satunya adalah
semiotika. Semiotika adalah salah
satu tradisi dalam ilmu komunikasi
yang memfokuskan pada tanda.
Lebih lanjutnya, Marcel Danesi
(2010, h.36) menjelaskan bahwa
semiotika
adalah
ilmu
yang
mempelajari sederetan luas obyek,
peristiwa serta seluruh kebudayaan
sebagai tanda yang saling berkaitan.
Semiotika berfokus pada cara kerja
komunikasi pada sistem bahasa dan
budaya. Lebih khususnya lagi pada
hubungan struktural dari sistem
semiotika, budaya dan realitas
(Fiske, 2007, h.187).
Salah satu tokoh dalam semiotika
adalah Charles Sanders Pierce

(dalam
Fiske
2004)
yang
mengemukakan teori segitiga makna
dimana terdiri dari tiga elemen
utama, yaitu tanda (sign), objek, serta
interpretant. Pierce beranggapan
bahwa sebuah tanda memiliki
representasi tertentu jika ditujukan
kepada khalayak tertentu, serta
memiliki arti tersendiri (Danesi,
2010, h.36). Tanda bisa digunakan
untuk merepresentasikan objek yang
dirujuk. Tanda bisa memiliki makna
yang berbeda ketika berhadapan
dengan konteks yang berbeda pula.
Semiotika
juga
memandang
bahwa
tanda
dapat
merepresentasikan objek diluar tanda
itu sendiri. Representasi tersebut
diperoleh dari persepsi dan perasaan
manusia (Littlejohn & Foss, 2012,
h.45). Representasi juga bisa
dimaknai dengan semiosis tidak
terbatas dimana manusia sebagai
makhluk sosial tidak bisa dilepaskan
dari latar belakangnya yang beragam,
baik itu suku, agama, ras, maupun
bahasa mampu mengartikan sebuah
tanda
secara
terus
menerus,
tergantung dari budaya yang
melingkupinya.
Persepsi
dan
perasaan manusia dalam memahami
tanda juga tidak bisa dilepaskan dari
konteks sosial budaya yang ada.
Representasi secara garis besar
berarti pengkontruksian dunia serta
di presentasikan secara sosial
khalayak (Barker, 2011, h.9). Proses
dari konstruksi ditelaah dari realitas
yang
ada,
sedangkan
proses
presentasi melalui pemaknaan dari
realitas tersebut.
Masyarakat Jawa akrab dengan
budaya agraris dan mengalami
banyak
pergantian
kekuasaan,
dimulai pada abad ke-9 saat kerajaan

Hindu Kuno berkuasa hingga pada
berkembangnya pengaruh Islam
(Koentjaraningrat, 2005, h.195).
Melihat sejarah panjang akan
peradaban yang pernah berkuasa
disana, maka masyarakat Jawa bisa
disebut memiliki rasa toleransi yang
tinggi. Orang Jawa dikenal dengan
keramahan,
keterbukaan,serta
keharmonisan
dengan
budaya
sekitarnya. Unsur budaya yang
ditonjolkan media di Indonesia
mengenai Jawa sudah banyak dan
bahkan menjadi wajar apabila
Indonesia hanya dilihat melalui Jawa
saja.
Berdasarkan paparan diatas, maka
penulis
mengambil
judul
“Representasi Kebudayaan Jawa
dalam Iklan KukuBima Ener-G Versi
Yogyakarta”. Penulis melakukan
analisis semiotika menurut Charles
Sanders Pierce terhadap iklan
KukuBima Ener-G versi Yogyakarta
untuk
melihat
penggambaran
Yogyakarta dengan budaya Jawanya
setelah melihat iklan tersebut.
Metode Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian
jenis kualitatif dengan metode
semiotik.
Penelitian
kualitatif
bertujuan untuk menjelaskan sebuah
fenomena dengan sejelas-jelasnya
dengan
berpegang
pada
pengumpulan data yang sedalamdalamnya (Kriyantono, 2008, h.56).
Penelitian semiotik bertujuan untuk
mencari makna tersembunyi dari
tanda-tanda yang ada dalam sebuah
teks. Penelitian ini bertujuan untuk
mendapatkan gambaran secara jelas
mengenai tanda-tanda yang ada di
iklan Kuku Bima Ener-G versi
Yogyakarta serta makna yang

berkaitan dengan Yogyakarta dan
budaya Jawa.
Semiotika adalah suatu metode
analisis untuk mengkaji tentang
tanda. Penelitian semiotika berfokus
pada bagaimana tanda tersebut
mampu dikonstruksi melalui sistem,
konvensi, serta aturan yang membuat
tanda mempunyai arti. Analisis
semiotik
berupaya
menemukan
makna tanda termasuk hal yang
tersembunyi dibalik sebuah tanda
baik itu berupa teks, iklan, maupun
berita (Kriyantono, 2008, h.264).
Peneliti
menggunakan
metode
semiotika pemikiran Charles Sanders
Pierce. Pierce mengemukakan bahwa
tanda bisa dibagi menjadi tanda,
objek serta interpretant.
Analisis
semiotika
bersifat
subjektif, dimana peneliti dianggap
memahami pemikiran dari subjek
yang hendak diteliti (Kriyantono
2008, h.267). Oleh karena itu peneliti
harus menyertakan konsep-konsep
yang berkaitan dengan penelitian ini
seperti teori-teori yang berhubungan
serta konteks sosiobudaya yang ada
untuk menjelaskan argumen serta
interpretasinya. Teori-teori yang
peneliti sertakan dianggap mampu
untuk menjelaskan setiap tanda yang
berkaitan dengan Yogyakarta dan
budaya Jawa di dalam iklan
KukuBima Ener-G versi Yogyakarta.

Pembahasan
Iklan
Kuku
Bima
Ener-G
menggambarkan bahwa Yogyakarta
adalah pusat dari budaya Jawa,
khususnya
Jawa
Tengah.
Penggambaran ini terlihat dari
Yogyakarta mengambil ikon-ikon

yang sebenarnya secara geografis
masuk ke dalam wilayah Jawa
Tengah. Ikon-ikon tersebut adalah
candi Prambanan serta candi
Borobudur. Daerah-daerah yang
masih menganut primordialisme
merelakan
ikon-ikon
yang
sebenarnya secara geografis berada
di daerahnya untuk diambil oleh DIY
sebagai ikonnya yang baru. Hal ini
untuk menegaskan bahwa secara
budaya, Jawa Tengah bagian selatan
khususnya terpengaruh oleh budaya
Jawa yang berpusat di Yogyakarta.
Iklan Kuku Bima Ener-G versi
Yogyakarta menggambarkan budaya
Jawa yang ada di Yogyakarta.
Penggambaran ini terlihat dari empat
tema besar yang terdapat di iklan ini,
yakni: (a) Penggambaran terhadap
keseimbangan
modern
dan
tradisional di Yogyakarta; (b)
Penegasan terhadap landmark yang
ada
di
Yogyakarta;
(c)
Multikulturalisme yang ada di
Yogyakarta; (d) Komoditas utama
Yogyakarta.
Penggambaran
terhadap
keseimbangan dunia modern dan
tradisional di Yogyakarta terlihat
dengan kolaborasi yang harmonis
antara kebudayaan tradisional dan
modern.
Kolaborasi
yang
digambarkan dalam iklan ini yakni
kolaborasi dalam hal musik yang
memadukan unsur tradisional dan
modern.
Yogyakarta
juga
digambarkan terbuka terhadap street
culture
seperti
break
dance,
capoeira, serta mural yang mampu
diterima
oleh
masyarakat
Yogyakarta.
Penegasan terhadap landmark
Yogyakarta bisa dilihat dari ikonikon daerah yang ditonjolkan dalam
iklan ini. Di dalam iklan ini

Yogyakarta digambarkan sebagai
pusat dari kebudayaan Jawa melalui
landmark-landmark yang sebenarnya
di luar provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta, seperti candi Borobudur
dan candi Prambanan. Pernyataan
tersebut bisa dimaksudkan bahwa
masyarakat Jawa Tengah bagian
selatan khususnya secara suka rela
mengakui bahwa mereka adalah
bagian dari kebudayaan Jawa yang
berpusat di Yogyakarta.
Multikulturalisme sebagai nilai
utama Yogyakarta terlihat dari
keragaman masyarakat, percampuran
budaya, serta multikulturalime yang
dikaitkan dengan intelektualitas yang
ada di Yogyakarta. Yogyakarta
didominasi oleh suku Jawa, namun
dominasi suku tertentu tidak
membuat menutup diri akan budaya
lainnya.
Dalam
iklan
ini
digambarkan terdapat percampuran
budaya Jawa dengan Bali yang
ditunjukkan dengan adanya tarian
Bali yang dipertunjukkan oleh Didik
Ninik Thowok di kawasan candi
Sewu. Yogyakarta dikenal dengan
sebutan kota pelajar karena terdapat
banyak universitas negeri maupun
swasta.
Banyaknya
universitas
tersebut tidak menutup kemungkinan
adanya mahasiswa yang berasal dari
Yogyakarta untuk menuntut ilmu di
daerah ini. Dalam iklan ini
multikuturalisme dan intelektualitas
digambarkan melalui suasana belajar
mengajar yang berjalan kondusif
meskipun melibatkan beragam suku
dan budaya dalam prosesnya.
Komoditas utama Yogyakarta
diperlihatkan dengan menonjolkan
kerajinan perak dan batik yang ada.
Kerajinan perak memang menjadi
komoditas
utama
yang
diperjualbelikan dan berpusat di Kota

Gede dan menjadi salah satu tujuan
wisatawan yang berkunjung. Batik
tidak diperlihatkan sebagai sesuatu
yang diperjualbelikan, namun lebih
kepada sebuah artefak budaya Jawa.
Dalam iklan Kuku Bima Ener-G
versi Yogyakarta digambarkan bahwa
batik masih berusaha untuk terus
dilestarikan dengan membuka orang
diluar budaya Jawa untuk turut
mempelajari
dan
akhirnya
melestarikan batik sebagai salah satu
artefak budaya Jawa.
Kesimpulan
Iklan Kuku Bima Ener-G versi
Yogyakarta dipilih karena dianggap
mampu mewakili tanda-tanda yang
berkaitan
dengan
kearifan
masyarakat Yogyakarta. Iklan ini
merupakan konstruksi simbolis dari
pengiklan mengenai kearifan lokal
budaya Yogyakarta yang tidak bisa
dilepaskan dari budaya Jawa. Simbol
budaya Jawa ditekankan karena
mewakili ide, nilai dan makna dari
kehidupan masyarakat Yogyakarta.
Hal ini digambarkan secara visual
melalui iklan ini dimana masyakarat
dari luar Yogyakarta yang berbudaya
kontemporer
mampu
membaur
dengan masyarakat setempat yang
masih memegang kearifan lokal
Yogyakarta.
Kesimpulan dari penelitian ini
adalah terdapat empat tema besar
yang diangkat dalam iklan Kuku
Bima Ener-G versi Yogyakarta.
Keempat tema tersebut yaitu: (a)
Penggambaran
terhadap
keseimbangan dunia modern dan
tradisional di Yogyakarta; (b)
Penegasan
terhadap
landmark
Yogyakarta sebagai unsur lokal; (c)
Multikulturalisme
sebagai
nilai

utama Yogyakarta; (d) Komoditas
utama Yogyakarta. Keempat tema
tersebut
menegaskan
bahwa
Yogyakarta sebagai pusat dari
kebudayaan Jawa.
Yogyakarta melalui iklan ini
digambarkan sebagai pusat dari
kebudayaan Jawa, yang ditonjolkan
dengan
penyertaan
beberapa
landmark yang secara geografis
termasuk kedalam wilayah Jawa
Tengah yang ada di iklan ini, seperti
candi Borobudur, candi Prambanan.
Komoditas yang ditonjolkan dalam
iklan ini yaitu perak dan batik.
Yogyakarta memang memiliki sentra
kerajinan perak yang terdapat di kota
gede, namun untuk batik Yogyakarta
bukan menjadi sentranya karena kota
batik di Pekalongan. Batik di dalam
iklan ini diperlihatkan sebagai
sesuatu
yang
dilestraikan
eksistensinya. Hal ini sekali lagi
merupakan
penegasan
dari
Yogyakarta sebagai pusat dari
kebudayaan Jawa.
Saran
1. Lokalitas merupakan unsur
penting
penggambaran
kedekatan antara audiens dan
pengiklan produk, tetapi
sangat disayangkan ketika
pengiklan
menggeneralisasikan wilayah
meskipun terdapat budaya
yang sama. Karena Jawa
tidak hanya Yogyakarta saja,
masih banyak daerah yang
memiliki daya tarik untuk
diangkat menjadi konten
iklan.
2. Pihak pengiklan hendaknya
tidak hanya menjadikan unsur
budaya sebagai konten dalam
iklannya,
namun
juga

membantu masyarakat yang
terlibat di budaya tersebut
untuk melestarikannya.
Daftar Pustaka
Ahmad, M. (2001). Menyimak
Relasi
Kekuasaan
Dalam
Kartun . Jurnal Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik , 127.
Anugraheni, E. (2012, Juli 30).
Sidomuncul
Iklankan
Pariwisata Yogya.
Tribun
Jogja.
Diakses
dari
http://www.tribunjogja.com.
/sidomunculiklankan-pariwisata-yogya
Badan Perancanaan Pembangunan
Daerah DIY. (2009). Database
Profil
Daerah
DIY.
Yogyakarta: Bapeda DIY.
Badan Pusat Statistik. (2012).
Jumlah
Kedatangan
Wisatawan Mancanegara ke
Indonesia
menurut
pintu
masuk. Jakarta: BPS.
Barker, C. (2011). Cultural Studies:
Teori dan Praktek. (Penerjemah:
Nurhadi) Bantul: Kreasi Wacana.
Burton, G. (2008). Yang Tersembunyi
di Balik Media. Jogjakarta:
Jalasutra.
Danesi, M. (2010). Pengantar
Memahami Semiotika Media.
Jogjakarta: Jalasutra.
Fitria, V. (2012). Interpretasi Budaya
Clifford Geertz: Agama sebagai
Sistem
Budaya.
Sosiologi
Reflektif, Volume 7, 58-64.

Diakses dari http://journal.uinsuka.ac.id/media/artikel/SR1207
01-43-46-1-PB.pdf (24 Februari
2015; 23:17)
Fiske, J. (2007). Cultural and
Communication
Studies.
Jogjakarta: Jalasutra.
Hall,S.
(1997).
Representation:
Cultural Representasion and
Signifying Practices. London:
Sage Publications.
Iskandar, M. S. (2010, Februari 1).
Akulturasi Budaya dalam Iklan
Pertelevisian. Jurnal Visualita
DKV Universitas Komputer
Indonesia , hal. 2.

Jogja - The History and
Cultural Heritage. Jakarta:
Jayakarta Agung.
Kriyantono, R. (2008). Teknik
Praktis
Riset
Komunikasi.
Jakarta: Kencana
Littlejohn, S., & Foss, K. (2012).
Teori Komunikasi; Theories of
Human
Communication.
(Penerjemah: M. Y. Hamdan)
Jakarta: Salemba Humanika.
Moleong, L. J. (2000). Metodologi
Penelitian Kulaitatif. Bandung:
Remaja Rosdakarya.

Jefkins, F. (1997). Periklanan.
(Penerjemah: Haris Munandar).
Jakarta: Erlangga.

Shimp, T. A. (2003). Periklanan
Promosi Aspek Tambahan
Komunikasi
Pemasaran
Terpadu (5 ed., Vol. 1).
(Penerjemah: N. Mahanani,
Penyunting., R. Sahrial, & D.
Anikasari.) Jakarta: Erlangga.

KBBI online. Kbbi.web.id/budaya
diakses tanggal 7 November
2014 18:30.

Sobur,

Koentjaraningrat. (2005). Pengantar
Antropologi I. Jakarta: Rineka
Cipta.
Kotler, P., & Armstrong, G. (2008).
Prinsip-prinsip
Pemasaran
Jilid 2 Edisi 12. Jakarta:
Erlangga.
Kotler, P. & Keller, K. L. (2008).
Manajemen Pemasaran Jilid 1
Edisi 13, Jakarta: Erlangga.
Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat;
Indonesia
Marketing
Association. (2008). Kraton

A.
(2009).
Semiotika
Komunikasi.
Bandung:
Remaja Rosdakarya.

Sutherland, M., & Sylvester, A. K.
(2000). Advertising and the
Mind of the Customer. Jakarta:
PPM.
Suryadi, D., (2011), Merek-merek
terbaik dan istimewa, Jakarta:
SWA Sembada Indonesia.

Syam, N., (2005), Islam Pesisir,
Yogyakarta: LKIS.