NURCHOLISH MADJID PERJALANAN dari TIMUR
NURCHOLISH MADJID: PERJALANAN dari TIMUR ke BARAT
Oleh
Akhmad Fakhrurroji
Email : [email protected]
Mahasiswa Pendidikan Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Yogyakarta
Abstrak
Nurcholish Madjid atau Cak Nur merupakan sosok pemikir islam yang
kontroversional. Pemahaman tentang pembaharuan Islam, sekulerisasi, Islam yes partai
Islam no, tidak ada negara islam, hingga pluralisme, membuat resah banyak kalangan.
Modernisasi islam dinilai menjadi pemicu untuk mengahancurkan budaya tradisional.
Sekulerisme dikhawatirkan masuk dan memporak-porandakan budaya luhur islam.
Pemikiran ‘pembaharuan’ Cak Nur tidak lepas dari hasil pendidikan yang
diperolehnya. Seperti yang dikatakan Yudi Latif, dalam pengantar buku Api Islam
“Pembaharuan pemikirannya merupakan berkah atas kunjungannya secara langsung ke
Amerika Serikat dan Timur Tengah”.
A. Pendahuluan
Nurcholish Madjid lahir di Mojoanyar Jombang pada tanggal 7 Maret 1939 M
bertepatan pada 26 Muharram 1358 H. Ayahnya bernama H. Abdul Madjid, seorang kyai
lulusan pondok pesantren Tebuireng, Jombang. Ayah Nurcholish Madjid memiliki hubungan
yang erat dengan pengasuh pondoknya, yaitu KH. Hasyim Asy’ari, pendiri organisasi
Nahdlatul Ulama (NU). Ayah Nurcholish Madjid merupakan menantu dari keponakan KH.
Hasyim Asy’ari, Halimah. Namun hubungannya kandas karena tidak dikarunai keturunan.
Kemudian KH. Hasyim Asy’ri mencari penggantinya yaitu Hj. Fathonah, seorang putri dari
KH. Abdullah Sadjad, yang juga teman akrab KH. Hasyim Asy’ari.
Nama pertama yang diberikan oleh ayahnya adalah Abdul Malik yang berarti “hamba
Allah (nama Malik merupakan Asmaul Husna, nama-nama yang Indah untuk Allah SWT).
Perubahan nama menjadi Nurcholish Madjid terjadi pada usia 6 tahun karena Abdul Malik
kecil sering sakit-sakitan. Menurut tradisi Jawa, jika anak sering sakit-sakitan dianggap
kaboten jeneng (keberatan nama).
Nurcholish Madjid lahir di lingkungan keluarga terdidik (Pesantren). Ayahnya seorang
santri Tebuireng yang diasuh oleh KH. Hasyim Asy’ari. Ibunya adalah putri dari KH.
Abdullah Sajad, pendiri ponpes Gringgring, Kediri, Jawa Timur. Pada tahun 1946, Ayah
Nurcholish Madjid mendirikan Madrasah Diniyah Al-wathoniyah, sekaligus memdidik
Nurcholish Madjid di sekolahnya.
Nurcholish Madjid mengenyam pendidikan ganda, pagi hari dia sekolah di SR
(Sekolah Rakyat) dan sore hari belajar di Madrasah Al-wathoniyah, milik Ayahnya. Paman
1
Nurcholish, sempat melarangnya untuk belajar di SR, karena guru-guru di sekolah itu
semuanya beragama Kristen. Atas pertimbangan Ayahnya, akhirnya Madjid boleh belajar di
SR sebagai penyeimbang antara ilmu dunia dan akhirat.
Setelah lulus dari SR (Sekolah Rakyat) pada 1953, Nurcholish Madjid melanjutkan
pendidikan di pondok pesantren Rejoso. Pengasuhnya ialah KH. Romli Tamin, temat karib
KH. Abdul Madjid semasa menuntut ilmu di Tebuireng, Jombang. Berarti Sebenarnya,
Nurcholish Madjid dipindahkan oleh ayahnya kepada temannya sendiri, Kyai Romli.
Menginjak tahun ketiga belajar di pesantren Rejoso, Nurcholish Madjid merasa tidak
betah lagi. Madjid sering diolok-olok sebagai “anak Masyumi kesasar”. Pasalnya, Ayah
Nurcholish merupakan pendukung Masyumi yang setia, sedangkan pesantren Rejoso berbasis
NU. Pertentangan NU-Masyumi diawali dengan suasana politik menjelang pemilu 1955 yang
mencekam, sehingga NU keluar dari Masyumi dalam Muktamar Palembang (1952). Oleh
sebab itulah, Madjid merasa dikucilkan dan meminta pindah sekolah.
Melihat anaknya yang diperlakukan tidak adil, KH. Abdul Madjid menariknya dari
pesantren Rejoso dan memindahkan ke pesantren Gontor, Jawa Timur. Keputusan KH. Abdul
Madjid membuat heran banyak kalangan, sebab pesantren Gontor dianggap sebagai “setengah
kafir”, karena bermula dari pengajaran bahasa Belanda dan Inggris yang masih dianggap
sebagai bahasa orang kafir. Setidaknya, pesantren Gontor setidaknya tidak ada pertentangan
NU-Masyumi.
B. Gontor, awal Nurcholish bermimpi
Pada tahun 1955, Nurcholish Madjid pindah sekolah di pondok modern Gontor,
Ponorogo, Jawa Timur. Ketika masuk Gontor, Nurcholish tertarik dengan bahasa Arab dan
Inggris. Pelajaran yang tidak disukainya adalah pelajaran mengarang (al-insya’), karena
pelajaran mengarang hanyalah mengkhayal belaka. Sehingga nurcholish malas-malasan dalam
mengerjakan tugas mengarang. Dia hanya menterjemahkan beberapa buku bahasa Inggris,
Namun karena itulah nilai Nurcholish tinggi. Gurunya sempat menegur apabila Nurcholish
tetap menterjemahkan dari bahasa Inggris, Namun lagi-lagi nilai Nurcholish tetap tinggi.
Sejak saat itu, Nurcholish sangat menyukai pelajaran mengarang.
Salah satu kesukaan Nurcholish ketika belajar di Gontor ialah mengirim surat kepada
kedutaan-kedutaan asing di Jakarta. Kedutaan besar asing di Jakarta mengirim banyak sekali
buku berbahasa Inggris kepada Nurcholish, seperti Hero with the Thousand Thesis dan
Mysticism: East and West. Perpustakaan di Gontor bukan berarti tidak ada, namun entah
2
mengapa, perpustakaan Gontor tidak boleh dimasuki oleh para santri. Inilah yang menyulitkan
bagi Nurcholish untuk menyalurkan hobi membacanya.
Semasa di Gontor, Nurcholish menjadi anggota PII (Pelajar Islam Indonesia), cabang
Gontor. Aktivitasnya di PII tidak terlalu banyak menyita waktu, sehingga dia tetap menekuni
tugas utamanya, yaitu belajar. Prestasi Nurcholish Madjid semasa di Gontor sangat
membanggakan. Nurcholish hanya perlu menyelesaikan studinya selama lima tahun (harusnya
enam tahun). Ketika kelas satu, dia diizinkan langsung kelas tiga, karena berhasil menunjukan
kemampuannya menguasai semua pelajaran kelas dua. Di Gontor inilah, Nurcholish mulai
bermimpi besar.
Nurcholish menunjukan bakatnya, terutama dalam bidang bahasa Arab dan bahasa
Inggris. Sejak saat itulah, KH. Zarkasyi (Pengasuh Pesantren Gontor) melihat bahwa Cak
Nur1 memiliki potensi yang luar biasa. KH. Zarkasyi berjanji akan memberangkatkan Cak
Nur ke Kairo-Mesir (jika ada kesempatan) untuk melanjutkan studinya. Namun waktu itu,
Mesir terjadi krisis politik, sehingga membuat Cak Nur tidak bisa diberangkatkan kesana.
Akhirnya, KH. Zarkasyi mengirim surat ke IAIN Jakarta agar menerima muridnya
(Cak Nur). Dengan bantuan alumni Gontor di IAIN Jakarta, akhirnya Nurcholish Madjid
berangkat ke Jakarta dan menempuh pendidikannya di IAIN Jakarta, jurusan Sejarah dan
Kebudayaan Islam.
C. Aktivis cerdas keliling dunia
Nurcholish Madjid ketika kuliah di IAIN Jakarta, sembari tinggal di Masjid Agung Alazhar, Kebayoran Baru, Jakarta. Disini Cak Nur bertemu dan bergaul akrab dengan Buya
Hamka. Cak Nur sangat kagum kepada Buya Hamka, yang mampu mempertemukan
pandangan kesufian, wawasan budaya, dan semangat Al-Qur’an sehingga paham yang
ditawarkan Buya Hamka sangat sesuai dengan Masyarakat perkotaan.
Minat Nurcholish Madjid terhadap kajian Islam semakin mengkristal dengan
keterlibatannya di HMI (Himpunan Mahasiswa Islam). Dia terpilih menjadi Ketua Umum PB
HMI (Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam) selama dua periode berturut-turut tahun
1966-1969 dan 1969-1971. Seperti yang dilukiskan kalimat berikut “As a student, Madjid was
active in the Association of Muslim Students (Himpunan Mahasiswa Islam) – a modernist,
urban Muslim student Organization, known as HMI – and held the very prestigious position
of General Chairman during two periods: 1966-1969 and 1969-1971.2
1 Panggilan akrab Nurcholish Madjid
2 Mun’in Sirry (2007), “Secularization in the Mind of Muslim Reformists: A Case Study of Nurcholish
Madjid and Fouad Zakaria”, Journal of Indonesian Islam, Vol. 01, No. 02, p. 326.
3
Kecerdasannya memimpin sekaligus faseh dalam berbahasa Arab dan Inggris,
menjadikannya Presiden Kesatuan Mahasiswa Islam Asia Tenggara (PEMIAT) periode 19671971. Pada masa bakti 1969-1971, Nurcholish menjadi Wakil Sekretaris Umum International
Islamic Federation of Students Organization (IIFSO).
Selama Oktober-November 1968, Nurcholish berkesempatan mengunjungi Amerika
Serikat selama satu setengah bulan, bertemu dan berdiskusi dengan berbagai kalangan di
hampir semua negata bagian. Atas kunjungannya ke berbagai negara di Amerika, dimulailah
perkembangan pandangan-pandangan progresif Nurcholish Madjid. Akan tetapi, Nurcholish
Madjid membantah atas statement tersebut. Nurcholish berpendapat bahwa kunjungan ke
Timur Tengah lah yang membuat perubahan pandangannya.
Setelah berkunjung ke Amerika Serikat, Nurcholish Madjid juga berkesempatan
berkeliling ke negara Timur Tengah. Dengan uang seadaya, Nurcholis mula-mula berangkat
dari New York ke Parancis, melihat menara Eiffel. Nurcholish di Perancis hanya satu hari, dan
menginap di hotel yang murah.
Sehari setalahnya, Nurcholish Madjid berangkat keliling Timur Tengah. Tempat
pertama yang dikunjunginya ialah Turki. Perjalanan yang jauh, membuatnya letih dan lekas
tertidur. Pagi hari, Nurcholish terkaget-kaget ketika mendengar adzan menggunakan bahasa
Arab, bukan dalam bahasa Turki. Pengaruh sekularisme Turki dibawah Kemal Attaturk
rupanya sudah tidak berlaku lagi. Salah satu Sekulerismenya yaitu pelarangan menyuarakan
adzan dalam bahasa Arab.
Selama di Turki, Nurcholish bertemu dengan Dokter Jawad. Walaupun seorang
Dokter, namun Jawad mempunyai persahabatan yang luas di kalangan aktivis Islam. Dokter
Jawab membawa Nurcholish Madjid ke sebuah perkumpulan organisasi untuk kebangkitan
kembali Islam . Nurcholish diminta untuk berbicara Islam di Indonesia, dalam bahasa Arab.
Keesokan harinya, foto Nurcholish terpampang di surat kabar. Namun, Nurcholish tidak
paham, karena surat kabar tersebut menggunakan bahasa Turki.
Setelah seminggu di Turki, Nurcholish melanjutkan perjalannya ke Libanon. Dimata
Nurcholish, Libanon tidak kalah hebat dengan Paris, bahkan menjadi semacam Paris-nya
Timur Tengah, sebelum terjadinya perang saudara tahun (1975-1990). Dominasi Kristen
sangat nampak di Libanon, sebagai negara bekas kolonialisasi Perancis, walaupun mayoritas
penduduk Libanon beragama Islam.
Setelah tiga hari di Libanon, Nurcholish melanjutkan perjalanan ke Suriah. Selama di
Suriah, Nurcholish dibawa oleh orang-orang kedutaan Indonesia untuk menghadiri pertemuan
orang-orang Indonesia di Suriah. Nurcholish juga diajak melihat-lihat penduduk asli Suriah
4
yang tinggal di lereng pegunungan. Mereka semua menganut agama Kristen Suriah.
Nurcholish menganggap, inilah bukti toleransi yang sebenarnya. Mereka dibiarkan untuk
tetap memeluk agama Kristen selama berabad-abad.
Negara selanjutnya adalah Baghdad, Irak. Nurcholish menempuh perjalanan dengan
jalur darat dan menembus padang pasir selama dua hari lamanya. Ketika di Badhdad,
Nurcholish disambut oleh Abdurrohman Wahid (Gus Dur) dan kawan-kawan. Gus Dur dan
kawan-kawan mengatur acara Nurcholish selama di Irak. Mempertemukan dengan mahasiswa
Baghdad untuk berdiskusi. Gus Dur juga mengajak Nurcholish jalan-jalan sekaligus berziarah
ke makan Syekh Abdul Qadir Jailani.
Perjalanan Nurcholish dilanjurkan lagi ke Kuwait untuk menemui Muhammad Agil,
seorang teman yang dikenalnya di Washington bulan sebelumnya. Aqil sangat simpati dengan
Nurcholish, ketika Nurcholish berbicara tentang gerakan mahasiswa Islam di Indonesia. Aqil
mempertemukan Nurcholish dengan pengusaha Kuwait yang kemudian memberinya uang
cukup banyak.
Setelah dari Kuwait, Nurcholish melanjutkan perjalanan ke Arab Saudi. Di Arab
Saudi, Nurcholish bertemu dengan Farid Mustafa, seorang dosen Universitas Riyadh, Arab
Saudi. Farid mengenal Nurcholish ketika di Washington, Amerika Serikat. Nurcholish Madjid
dipertemukan oleh Menteri Pendidikan Arab Saudi, Syeikh Hassan bin Abdullah Ali, pada
wisuda mahasiswa Fakultas Farmasi Universitas Riyadh. Secara tiba-tiba Menteri Pendidikan
Arab Saudi meminta Nurcholish untuk menyampaikan pidato dalam bahasa Arab. Menteri
Pendidikan Arab Saudi sangat terpesona dengan Nurcholish, dan memberikan bonus naik Haji
beserta sepuluh temannya di Indonesia. Tak lama berselang, foto-foto Nurcholish Madjid
tersebar dimana-mana, di koran, majalah dan Televisi.
Setelah dari Riyadh, Nurcholish Madjid melanjutkan perjalanan ke Sudan, Kairo dan
Pakistan. Pakistan adalah rute terakhir sebelum pulang kembali ke Indonesia. Sekembalinya
ke Tanah Air, ia merumuskan ideologi Islam versinya sendiri, yang diberi nama Nilai-nilai
Dasar Perjuangan (NDP), sebuah buku pedoman yang menjadi pegangan resmi dalam
pelatihan kader-kader HMI di seluruh Indonesia. Saat ini, nama NDP diganti menjadi Nilai
Identitas Kader (NIK).
D. Pergi ke Universitas Chicago, Amerika Serikat
Pada tahun 1973, Fazlurrohman dan Leonard Binder berkunjung ke Indonesia dengan
tujuan mencari peserta untuk progam seminar di Universitas Chicago Amerika Serikat, yang
5
didanai oleh Ford Foundation. Nurcholish Madjid tertarik dan mendaftar. Akhirnya,
pilihannya jatuh kepada Nurcholish Madjid.
Namun, salah satu syarat memperoleh beasiswa tersebut adalah harus seorang pegawai
negeri. Karena itu, atas kebaikan dari Dr. Harsya Bactiar dan Dr. Taufik Abdullah, dari
LEKNAS LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indoensia) pada tahun 1976, Nurcholish dilantik
menjadi peneliti LIPI dan sejak saat itulah Nurcholish tercatat sebagai Pegawai Negeri Sipil.
Pada tahun 1978 Cak Nur baru berangkat ke Universitas Chicago dan disana ia
menempuh jurusan penelitian bidang kajian Keislaman. Dibawah bimbingan Prof. Fazlur
Rahman, Seorang ahli Islam Pakistan yang hijarh ke Amerika. Nurcholish Madjid lebih
nyaman dibawah bimbingannya, karena Fazlur Rohman seorang profesor muslim yang diakui
secara Internasional dengan gagasan yang inovatif tentang Islam. Tahun 1984, Nurcholish
Madjid lulus dengan nilai cum laude dengan judul Desetasi Ibn Taymiya on Kalam and
Falsafah: A Problem of Reason and Revelation in Islam. Seperti teruang dalam kalimat
berikut:
In the late 1970s he want to the United States to pursue this graduate studies in
Chicago with Fazlur Rahman, a Pakistani-born scholar who decided to reside in the
U.S. as his life was threatened in his own country. Madjid completed his Ph.D in 1984
with a dissertation on the theological thought of Ibn Taymiya, sepecially on the
relation between reason and reveliation.3
Setelah mendapatkan gelar Doktornya, Nurcholish Madjid pulang ke Tanah Air dan
membangun yayasan Paramadiana, sebagai tonggak pemikirannya terhadap dunia Islam yang
lebih Modernis.
E. Paramadina
Yayasan Paramadina dibentuk pada tahun 1986 oleh Nurcholish dkk. Nama
Paramadina memiliki dua arti. Pertama, Paramadina diambil dari parama dalam bahasa
Sansekerta yang berarti prima atau utama dan dina dalam bahasa Arab yang berarti agama.
Kerena itu pada mulanya ditulis secara terpisah: Parama Dina (Agama Utama). Kedua,
diambil dari para dalam bahasa Spayol yang berarti untuk, dan madina dalam bahasa Arab
berarti peradaban. Kedua pengertian tersebut benar semua, sampai sekarang masih
dipertahankan.
Pada tanggal 28 Oktober 1986, Yayasan Paramadia resmi dibuka. Paramadina resmi
diluncurkan melalui sebuah acara di Hotel Sari Pan Pacific, Jakarta Pusat, dengan ceramah
umum Prof. Dr. Emil Salim. Nurcholish Madjid juga berpidato dengan judul “Integrasi
Keislaman dan Keindonesiaan: Manatap Masa Depan Bangsa”. Menurut Madjid, para pendiri
3 Mun’in Sirry (2007), op. cit., p. 327.
6
Paramadina menyadari keterpaduan antara keislaman dan keindonesiaan sebagai perwujudan
nilai-nilai Islam yang universal, menyatu dengan tradisi lokal Indonesia.
Paramadina dibangun dengan pusat kegiatan keagamaan yang memadukan tradisi dan
modernitas. Sejalan dengan pandangan Nurcholish Madjid yaitu “memelihara yang lama yang
baik dan mengambil yang baru yang lebih baik”. Sambil memeluk tradisi dan merangkul
modernitas, Paramadina berkembang sangat pesat sampai saat ini.
F. Karya Nurcholish Madjid
Sudah tidak bisa dipungkiri lagi bahwa tokoh Nurcholish Madjid merupakan
intelektual yang sangat hebat. Mengenyam pendidikan Pesantren, pendidikan barat
(Amerika), dan juga pendidikan Islam (Timur Tengah). Pemikiran progresif tentang Islam,
membuat berbagai terobosan bagi perkembangan Islam yang lebih maju. Tolong cermati
kalimat berikut:
Nurcholish Madjid undisputedly ranks as the leading Muslim intellectual of Indonesia.
He was educated in a “modern” Pesantren (Islamic boarding school), attended a
national university, and did hisgraduate work in the United States. His work, clearly
within the neo-modernist Muslim pattern, reflects that found elsewhere in the Muslim
world, bur relates clearly to the Indonesian context.4
Karya-karya Nurcholish Madjid banyak sekali, diantaranya Khazanah Intelektual
Islam, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah
Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan, Pintu-pintu Menuju
Tuhan, Masyarakat Religius, dan lain sebagainya.
Nurcholish Madjid wafat pada usia 66 tahun, bertepatan pada hari Senin, 29 Agustus
2005, pukul 14.05 WIB, setelah berjuang melawan penyakit hati yang menyerangnya. Beliau
meninggalkan istri bernama Omi Komaria dan dua orang anak, Nadia Madjid dan Ahmad
Mikail.
Sampai dengan meninggalnya, Nurcholish Madjid tetap dianggap sebagai sosok yang
kontroversional. Pemikiran yang berbau liberal dan progresif tertuang dalam setiap gagasangagsannya. Diawali dengan slogan, “Islam Yes, Partai Islam No” merupakan salah satu dari
beribu-ribu ide yang dikeluarkannya. Madjid was the other scholar who played a critical role
in promoting liberal thought in Indonesia. He became an icon of Islamic thought Indonesia
when he introduced the phrase: “Islam Yes, Partai Islam No!” (Islam Yes, Islamic Parties
No!)”.5
4 Johan Meuleman (2001), Islam in the era of globalization: muslim attitudes towards modernity and
identity, Jakarta: INIS, p. 344.
5 Kamaruzzman Bustamam-Ahmad (2011), “Contemporary Islamic Thought in Indonesia and Malay
World”, Journal Of Indonesian Islam, vol. 05, no. 01, p.102
7
Daftar Pustaka
Ahmad Gaus AF (2010), Api Islam Nurcholish Madjid, Jakarta: Kompas.
Budly Munawar (2004), Islam Pluralis wacana Kesetaraan Kaum Beriman, Jakarta:
RajaGrafinfo Persada.
Edi Santoko dll (2007), Pendidikan Agama Islam Multikultural, Surabaya: ELKAF.
Johan Meuleman (2001), Islam in the era of globalization: muslim attitudes towards modernity
and identity, Jakarta: INIS,
Kamaruzzman Bustamam-Ahmad (2011), “Contemporary Islamic Thought in Indonesia and Malay
World”, Journal Of Indonesian Islam, vol. 05, no. 01
Mun’in Sirry (2007), “Secularization in the Mind of Muslim Reformists: A Case Study of
Nurcholish Madjid and Fouad Zakaria”, Journal of Indonesian Islam, Vol. 01, No.
02.
Nurchilish Madjid (1992), Islam Kemodernan dan Keindonesiaan. Bandung: Mizan.
8
Oleh
Akhmad Fakhrurroji
Email : [email protected]
Mahasiswa Pendidikan Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Yogyakarta
Abstrak
Nurcholish Madjid atau Cak Nur merupakan sosok pemikir islam yang
kontroversional. Pemahaman tentang pembaharuan Islam, sekulerisasi, Islam yes partai
Islam no, tidak ada negara islam, hingga pluralisme, membuat resah banyak kalangan.
Modernisasi islam dinilai menjadi pemicu untuk mengahancurkan budaya tradisional.
Sekulerisme dikhawatirkan masuk dan memporak-porandakan budaya luhur islam.
Pemikiran ‘pembaharuan’ Cak Nur tidak lepas dari hasil pendidikan yang
diperolehnya. Seperti yang dikatakan Yudi Latif, dalam pengantar buku Api Islam
“Pembaharuan pemikirannya merupakan berkah atas kunjungannya secara langsung ke
Amerika Serikat dan Timur Tengah”.
A. Pendahuluan
Nurcholish Madjid lahir di Mojoanyar Jombang pada tanggal 7 Maret 1939 M
bertepatan pada 26 Muharram 1358 H. Ayahnya bernama H. Abdul Madjid, seorang kyai
lulusan pondok pesantren Tebuireng, Jombang. Ayah Nurcholish Madjid memiliki hubungan
yang erat dengan pengasuh pondoknya, yaitu KH. Hasyim Asy’ari, pendiri organisasi
Nahdlatul Ulama (NU). Ayah Nurcholish Madjid merupakan menantu dari keponakan KH.
Hasyim Asy’ari, Halimah. Namun hubungannya kandas karena tidak dikarunai keturunan.
Kemudian KH. Hasyim Asy’ri mencari penggantinya yaitu Hj. Fathonah, seorang putri dari
KH. Abdullah Sadjad, yang juga teman akrab KH. Hasyim Asy’ari.
Nama pertama yang diberikan oleh ayahnya adalah Abdul Malik yang berarti “hamba
Allah (nama Malik merupakan Asmaul Husna, nama-nama yang Indah untuk Allah SWT).
Perubahan nama menjadi Nurcholish Madjid terjadi pada usia 6 tahun karena Abdul Malik
kecil sering sakit-sakitan. Menurut tradisi Jawa, jika anak sering sakit-sakitan dianggap
kaboten jeneng (keberatan nama).
Nurcholish Madjid lahir di lingkungan keluarga terdidik (Pesantren). Ayahnya seorang
santri Tebuireng yang diasuh oleh KH. Hasyim Asy’ari. Ibunya adalah putri dari KH.
Abdullah Sajad, pendiri ponpes Gringgring, Kediri, Jawa Timur. Pada tahun 1946, Ayah
Nurcholish Madjid mendirikan Madrasah Diniyah Al-wathoniyah, sekaligus memdidik
Nurcholish Madjid di sekolahnya.
Nurcholish Madjid mengenyam pendidikan ganda, pagi hari dia sekolah di SR
(Sekolah Rakyat) dan sore hari belajar di Madrasah Al-wathoniyah, milik Ayahnya. Paman
1
Nurcholish, sempat melarangnya untuk belajar di SR, karena guru-guru di sekolah itu
semuanya beragama Kristen. Atas pertimbangan Ayahnya, akhirnya Madjid boleh belajar di
SR sebagai penyeimbang antara ilmu dunia dan akhirat.
Setelah lulus dari SR (Sekolah Rakyat) pada 1953, Nurcholish Madjid melanjutkan
pendidikan di pondok pesantren Rejoso. Pengasuhnya ialah KH. Romli Tamin, temat karib
KH. Abdul Madjid semasa menuntut ilmu di Tebuireng, Jombang. Berarti Sebenarnya,
Nurcholish Madjid dipindahkan oleh ayahnya kepada temannya sendiri, Kyai Romli.
Menginjak tahun ketiga belajar di pesantren Rejoso, Nurcholish Madjid merasa tidak
betah lagi. Madjid sering diolok-olok sebagai “anak Masyumi kesasar”. Pasalnya, Ayah
Nurcholish merupakan pendukung Masyumi yang setia, sedangkan pesantren Rejoso berbasis
NU. Pertentangan NU-Masyumi diawali dengan suasana politik menjelang pemilu 1955 yang
mencekam, sehingga NU keluar dari Masyumi dalam Muktamar Palembang (1952). Oleh
sebab itulah, Madjid merasa dikucilkan dan meminta pindah sekolah.
Melihat anaknya yang diperlakukan tidak adil, KH. Abdul Madjid menariknya dari
pesantren Rejoso dan memindahkan ke pesantren Gontor, Jawa Timur. Keputusan KH. Abdul
Madjid membuat heran banyak kalangan, sebab pesantren Gontor dianggap sebagai “setengah
kafir”, karena bermula dari pengajaran bahasa Belanda dan Inggris yang masih dianggap
sebagai bahasa orang kafir. Setidaknya, pesantren Gontor setidaknya tidak ada pertentangan
NU-Masyumi.
B. Gontor, awal Nurcholish bermimpi
Pada tahun 1955, Nurcholish Madjid pindah sekolah di pondok modern Gontor,
Ponorogo, Jawa Timur. Ketika masuk Gontor, Nurcholish tertarik dengan bahasa Arab dan
Inggris. Pelajaran yang tidak disukainya adalah pelajaran mengarang (al-insya’), karena
pelajaran mengarang hanyalah mengkhayal belaka. Sehingga nurcholish malas-malasan dalam
mengerjakan tugas mengarang. Dia hanya menterjemahkan beberapa buku bahasa Inggris,
Namun karena itulah nilai Nurcholish tinggi. Gurunya sempat menegur apabila Nurcholish
tetap menterjemahkan dari bahasa Inggris, Namun lagi-lagi nilai Nurcholish tetap tinggi.
Sejak saat itu, Nurcholish sangat menyukai pelajaran mengarang.
Salah satu kesukaan Nurcholish ketika belajar di Gontor ialah mengirim surat kepada
kedutaan-kedutaan asing di Jakarta. Kedutaan besar asing di Jakarta mengirim banyak sekali
buku berbahasa Inggris kepada Nurcholish, seperti Hero with the Thousand Thesis dan
Mysticism: East and West. Perpustakaan di Gontor bukan berarti tidak ada, namun entah
2
mengapa, perpustakaan Gontor tidak boleh dimasuki oleh para santri. Inilah yang menyulitkan
bagi Nurcholish untuk menyalurkan hobi membacanya.
Semasa di Gontor, Nurcholish menjadi anggota PII (Pelajar Islam Indonesia), cabang
Gontor. Aktivitasnya di PII tidak terlalu banyak menyita waktu, sehingga dia tetap menekuni
tugas utamanya, yaitu belajar. Prestasi Nurcholish Madjid semasa di Gontor sangat
membanggakan. Nurcholish hanya perlu menyelesaikan studinya selama lima tahun (harusnya
enam tahun). Ketika kelas satu, dia diizinkan langsung kelas tiga, karena berhasil menunjukan
kemampuannya menguasai semua pelajaran kelas dua. Di Gontor inilah, Nurcholish mulai
bermimpi besar.
Nurcholish menunjukan bakatnya, terutama dalam bidang bahasa Arab dan bahasa
Inggris. Sejak saat itulah, KH. Zarkasyi (Pengasuh Pesantren Gontor) melihat bahwa Cak
Nur1 memiliki potensi yang luar biasa. KH. Zarkasyi berjanji akan memberangkatkan Cak
Nur ke Kairo-Mesir (jika ada kesempatan) untuk melanjutkan studinya. Namun waktu itu,
Mesir terjadi krisis politik, sehingga membuat Cak Nur tidak bisa diberangkatkan kesana.
Akhirnya, KH. Zarkasyi mengirim surat ke IAIN Jakarta agar menerima muridnya
(Cak Nur). Dengan bantuan alumni Gontor di IAIN Jakarta, akhirnya Nurcholish Madjid
berangkat ke Jakarta dan menempuh pendidikannya di IAIN Jakarta, jurusan Sejarah dan
Kebudayaan Islam.
C. Aktivis cerdas keliling dunia
Nurcholish Madjid ketika kuliah di IAIN Jakarta, sembari tinggal di Masjid Agung Alazhar, Kebayoran Baru, Jakarta. Disini Cak Nur bertemu dan bergaul akrab dengan Buya
Hamka. Cak Nur sangat kagum kepada Buya Hamka, yang mampu mempertemukan
pandangan kesufian, wawasan budaya, dan semangat Al-Qur’an sehingga paham yang
ditawarkan Buya Hamka sangat sesuai dengan Masyarakat perkotaan.
Minat Nurcholish Madjid terhadap kajian Islam semakin mengkristal dengan
keterlibatannya di HMI (Himpunan Mahasiswa Islam). Dia terpilih menjadi Ketua Umum PB
HMI (Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam) selama dua periode berturut-turut tahun
1966-1969 dan 1969-1971. Seperti yang dilukiskan kalimat berikut “As a student, Madjid was
active in the Association of Muslim Students (Himpunan Mahasiswa Islam) – a modernist,
urban Muslim student Organization, known as HMI – and held the very prestigious position
of General Chairman during two periods: 1966-1969 and 1969-1971.2
1 Panggilan akrab Nurcholish Madjid
2 Mun’in Sirry (2007), “Secularization in the Mind of Muslim Reformists: A Case Study of Nurcholish
Madjid and Fouad Zakaria”, Journal of Indonesian Islam, Vol. 01, No. 02, p. 326.
3
Kecerdasannya memimpin sekaligus faseh dalam berbahasa Arab dan Inggris,
menjadikannya Presiden Kesatuan Mahasiswa Islam Asia Tenggara (PEMIAT) periode 19671971. Pada masa bakti 1969-1971, Nurcholish menjadi Wakil Sekretaris Umum International
Islamic Federation of Students Organization (IIFSO).
Selama Oktober-November 1968, Nurcholish berkesempatan mengunjungi Amerika
Serikat selama satu setengah bulan, bertemu dan berdiskusi dengan berbagai kalangan di
hampir semua negata bagian. Atas kunjungannya ke berbagai negara di Amerika, dimulailah
perkembangan pandangan-pandangan progresif Nurcholish Madjid. Akan tetapi, Nurcholish
Madjid membantah atas statement tersebut. Nurcholish berpendapat bahwa kunjungan ke
Timur Tengah lah yang membuat perubahan pandangannya.
Setelah berkunjung ke Amerika Serikat, Nurcholish Madjid juga berkesempatan
berkeliling ke negara Timur Tengah. Dengan uang seadaya, Nurcholis mula-mula berangkat
dari New York ke Parancis, melihat menara Eiffel. Nurcholish di Perancis hanya satu hari, dan
menginap di hotel yang murah.
Sehari setalahnya, Nurcholish Madjid berangkat keliling Timur Tengah. Tempat
pertama yang dikunjunginya ialah Turki. Perjalanan yang jauh, membuatnya letih dan lekas
tertidur. Pagi hari, Nurcholish terkaget-kaget ketika mendengar adzan menggunakan bahasa
Arab, bukan dalam bahasa Turki. Pengaruh sekularisme Turki dibawah Kemal Attaturk
rupanya sudah tidak berlaku lagi. Salah satu Sekulerismenya yaitu pelarangan menyuarakan
adzan dalam bahasa Arab.
Selama di Turki, Nurcholish bertemu dengan Dokter Jawad. Walaupun seorang
Dokter, namun Jawad mempunyai persahabatan yang luas di kalangan aktivis Islam. Dokter
Jawab membawa Nurcholish Madjid ke sebuah perkumpulan organisasi untuk kebangkitan
kembali Islam . Nurcholish diminta untuk berbicara Islam di Indonesia, dalam bahasa Arab.
Keesokan harinya, foto Nurcholish terpampang di surat kabar. Namun, Nurcholish tidak
paham, karena surat kabar tersebut menggunakan bahasa Turki.
Setelah seminggu di Turki, Nurcholish melanjutkan perjalannya ke Libanon. Dimata
Nurcholish, Libanon tidak kalah hebat dengan Paris, bahkan menjadi semacam Paris-nya
Timur Tengah, sebelum terjadinya perang saudara tahun (1975-1990). Dominasi Kristen
sangat nampak di Libanon, sebagai negara bekas kolonialisasi Perancis, walaupun mayoritas
penduduk Libanon beragama Islam.
Setelah tiga hari di Libanon, Nurcholish melanjutkan perjalanan ke Suriah. Selama di
Suriah, Nurcholish dibawa oleh orang-orang kedutaan Indonesia untuk menghadiri pertemuan
orang-orang Indonesia di Suriah. Nurcholish juga diajak melihat-lihat penduduk asli Suriah
4
yang tinggal di lereng pegunungan. Mereka semua menganut agama Kristen Suriah.
Nurcholish menganggap, inilah bukti toleransi yang sebenarnya. Mereka dibiarkan untuk
tetap memeluk agama Kristen selama berabad-abad.
Negara selanjutnya adalah Baghdad, Irak. Nurcholish menempuh perjalanan dengan
jalur darat dan menembus padang pasir selama dua hari lamanya. Ketika di Badhdad,
Nurcholish disambut oleh Abdurrohman Wahid (Gus Dur) dan kawan-kawan. Gus Dur dan
kawan-kawan mengatur acara Nurcholish selama di Irak. Mempertemukan dengan mahasiswa
Baghdad untuk berdiskusi. Gus Dur juga mengajak Nurcholish jalan-jalan sekaligus berziarah
ke makan Syekh Abdul Qadir Jailani.
Perjalanan Nurcholish dilanjurkan lagi ke Kuwait untuk menemui Muhammad Agil,
seorang teman yang dikenalnya di Washington bulan sebelumnya. Aqil sangat simpati dengan
Nurcholish, ketika Nurcholish berbicara tentang gerakan mahasiswa Islam di Indonesia. Aqil
mempertemukan Nurcholish dengan pengusaha Kuwait yang kemudian memberinya uang
cukup banyak.
Setelah dari Kuwait, Nurcholish melanjutkan perjalanan ke Arab Saudi. Di Arab
Saudi, Nurcholish bertemu dengan Farid Mustafa, seorang dosen Universitas Riyadh, Arab
Saudi. Farid mengenal Nurcholish ketika di Washington, Amerika Serikat. Nurcholish Madjid
dipertemukan oleh Menteri Pendidikan Arab Saudi, Syeikh Hassan bin Abdullah Ali, pada
wisuda mahasiswa Fakultas Farmasi Universitas Riyadh. Secara tiba-tiba Menteri Pendidikan
Arab Saudi meminta Nurcholish untuk menyampaikan pidato dalam bahasa Arab. Menteri
Pendidikan Arab Saudi sangat terpesona dengan Nurcholish, dan memberikan bonus naik Haji
beserta sepuluh temannya di Indonesia. Tak lama berselang, foto-foto Nurcholish Madjid
tersebar dimana-mana, di koran, majalah dan Televisi.
Setelah dari Riyadh, Nurcholish Madjid melanjutkan perjalanan ke Sudan, Kairo dan
Pakistan. Pakistan adalah rute terakhir sebelum pulang kembali ke Indonesia. Sekembalinya
ke Tanah Air, ia merumuskan ideologi Islam versinya sendiri, yang diberi nama Nilai-nilai
Dasar Perjuangan (NDP), sebuah buku pedoman yang menjadi pegangan resmi dalam
pelatihan kader-kader HMI di seluruh Indonesia. Saat ini, nama NDP diganti menjadi Nilai
Identitas Kader (NIK).
D. Pergi ke Universitas Chicago, Amerika Serikat
Pada tahun 1973, Fazlurrohman dan Leonard Binder berkunjung ke Indonesia dengan
tujuan mencari peserta untuk progam seminar di Universitas Chicago Amerika Serikat, yang
5
didanai oleh Ford Foundation. Nurcholish Madjid tertarik dan mendaftar. Akhirnya,
pilihannya jatuh kepada Nurcholish Madjid.
Namun, salah satu syarat memperoleh beasiswa tersebut adalah harus seorang pegawai
negeri. Karena itu, atas kebaikan dari Dr. Harsya Bactiar dan Dr. Taufik Abdullah, dari
LEKNAS LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indoensia) pada tahun 1976, Nurcholish dilantik
menjadi peneliti LIPI dan sejak saat itulah Nurcholish tercatat sebagai Pegawai Negeri Sipil.
Pada tahun 1978 Cak Nur baru berangkat ke Universitas Chicago dan disana ia
menempuh jurusan penelitian bidang kajian Keislaman. Dibawah bimbingan Prof. Fazlur
Rahman, Seorang ahli Islam Pakistan yang hijarh ke Amerika. Nurcholish Madjid lebih
nyaman dibawah bimbingannya, karena Fazlur Rohman seorang profesor muslim yang diakui
secara Internasional dengan gagasan yang inovatif tentang Islam. Tahun 1984, Nurcholish
Madjid lulus dengan nilai cum laude dengan judul Desetasi Ibn Taymiya on Kalam and
Falsafah: A Problem of Reason and Revelation in Islam. Seperti teruang dalam kalimat
berikut:
In the late 1970s he want to the United States to pursue this graduate studies in
Chicago with Fazlur Rahman, a Pakistani-born scholar who decided to reside in the
U.S. as his life was threatened in his own country. Madjid completed his Ph.D in 1984
with a dissertation on the theological thought of Ibn Taymiya, sepecially on the
relation between reason and reveliation.3
Setelah mendapatkan gelar Doktornya, Nurcholish Madjid pulang ke Tanah Air dan
membangun yayasan Paramadiana, sebagai tonggak pemikirannya terhadap dunia Islam yang
lebih Modernis.
E. Paramadina
Yayasan Paramadina dibentuk pada tahun 1986 oleh Nurcholish dkk. Nama
Paramadina memiliki dua arti. Pertama, Paramadina diambil dari parama dalam bahasa
Sansekerta yang berarti prima atau utama dan dina dalam bahasa Arab yang berarti agama.
Kerena itu pada mulanya ditulis secara terpisah: Parama Dina (Agama Utama). Kedua,
diambil dari para dalam bahasa Spayol yang berarti untuk, dan madina dalam bahasa Arab
berarti peradaban. Kedua pengertian tersebut benar semua, sampai sekarang masih
dipertahankan.
Pada tanggal 28 Oktober 1986, Yayasan Paramadia resmi dibuka. Paramadina resmi
diluncurkan melalui sebuah acara di Hotel Sari Pan Pacific, Jakarta Pusat, dengan ceramah
umum Prof. Dr. Emil Salim. Nurcholish Madjid juga berpidato dengan judul “Integrasi
Keislaman dan Keindonesiaan: Manatap Masa Depan Bangsa”. Menurut Madjid, para pendiri
3 Mun’in Sirry (2007), op. cit., p. 327.
6
Paramadina menyadari keterpaduan antara keislaman dan keindonesiaan sebagai perwujudan
nilai-nilai Islam yang universal, menyatu dengan tradisi lokal Indonesia.
Paramadina dibangun dengan pusat kegiatan keagamaan yang memadukan tradisi dan
modernitas. Sejalan dengan pandangan Nurcholish Madjid yaitu “memelihara yang lama yang
baik dan mengambil yang baru yang lebih baik”. Sambil memeluk tradisi dan merangkul
modernitas, Paramadina berkembang sangat pesat sampai saat ini.
F. Karya Nurcholish Madjid
Sudah tidak bisa dipungkiri lagi bahwa tokoh Nurcholish Madjid merupakan
intelektual yang sangat hebat. Mengenyam pendidikan Pesantren, pendidikan barat
(Amerika), dan juga pendidikan Islam (Timur Tengah). Pemikiran progresif tentang Islam,
membuat berbagai terobosan bagi perkembangan Islam yang lebih maju. Tolong cermati
kalimat berikut:
Nurcholish Madjid undisputedly ranks as the leading Muslim intellectual of Indonesia.
He was educated in a “modern” Pesantren (Islamic boarding school), attended a
national university, and did hisgraduate work in the United States. His work, clearly
within the neo-modernist Muslim pattern, reflects that found elsewhere in the Muslim
world, bur relates clearly to the Indonesian context.4
Karya-karya Nurcholish Madjid banyak sekali, diantaranya Khazanah Intelektual
Islam, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah
Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan, Pintu-pintu Menuju
Tuhan, Masyarakat Religius, dan lain sebagainya.
Nurcholish Madjid wafat pada usia 66 tahun, bertepatan pada hari Senin, 29 Agustus
2005, pukul 14.05 WIB, setelah berjuang melawan penyakit hati yang menyerangnya. Beliau
meninggalkan istri bernama Omi Komaria dan dua orang anak, Nadia Madjid dan Ahmad
Mikail.
Sampai dengan meninggalnya, Nurcholish Madjid tetap dianggap sebagai sosok yang
kontroversional. Pemikiran yang berbau liberal dan progresif tertuang dalam setiap gagasangagsannya. Diawali dengan slogan, “Islam Yes, Partai Islam No” merupakan salah satu dari
beribu-ribu ide yang dikeluarkannya. Madjid was the other scholar who played a critical role
in promoting liberal thought in Indonesia. He became an icon of Islamic thought Indonesia
when he introduced the phrase: “Islam Yes, Partai Islam No!” (Islam Yes, Islamic Parties
No!)”.5
4 Johan Meuleman (2001), Islam in the era of globalization: muslim attitudes towards modernity and
identity, Jakarta: INIS, p. 344.
5 Kamaruzzman Bustamam-Ahmad (2011), “Contemporary Islamic Thought in Indonesia and Malay
World”, Journal Of Indonesian Islam, vol. 05, no. 01, p.102
7
Daftar Pustaka
Ahmad Gaus AF (2010), Api Islam Nurcholish Madjid, Jakarta: Kompas.
Budly Munawar (2004), Islam Pluralis wacana Kesetaraan Kaum Beriman, Jakarta:
RajaGrafinfo Persada.
Edi Santoko dll (2007), Pendidikan Agama Islam Multikultural, Surabaya: ELKAF.
Johan Meuleman (2001), Islam in the era of globalization: muslim attitudes towards modernity
and identity, Jakarta: INIS,
Kamaruzzman Bustamam-Ahmad (2011), “Contemporary Islamic Thought in Indonesia and Malay
World”, Journal Of Indonesian Islam, vol. 05, no. 01
Mun’in Sirry (2007), “Secularization in the Mind of Muslim Reformists: A Case Study of
Nurcholish Madjid and Fouad Zakaria”, Journal of Indonesian Islam, Vol. 01, No.
02.
Nurchilish Madjid (1992), Islam Kemodernan dan Keindonesiaan. Bandung: Mizan.
8