BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Intervensi Negara dalam Ranah Hukum Privat: Studi Komparasi Antara Lembaga Jaminan Fidusia dan Gadai

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam rangka pembangunan ekonomi Indonesia, bidang hukum yang minta perhatian

  1

  serius dalam pembinaan di antaranya adalah bidang hukum jaminan. Hukum Jaminan memiliki kaitan yang erat dengan bidang hukum benda. Salah satu jenis jaminan kebendaan yang dikenal dalam hukum positif adalah jaminan fidusia dan gadai. Jaminan fidusia, sebagai lembaga jaminan atas benda bergerak, jaminan fidusia banyak dipergunakan oleh masyarakat bisnis. Pada awalnya fidusia didasarkan kepada yurisprudensi, sekarang jaminan fidusia sudah diatur dalam undang-

  2 undang tersendiri.

  Istilah Fidusia barasal dari bahasa Belanda, yaitu fiducie dan dalam bahasa Inggris disebut

  

fiduciary transfer of ownership , yang artinya kepercayaan. Dalam berbagai literatur, fidusia lazim

  disebut dengan istilah Fiduciare eigendom overdract (FEO) yaitu penyerahan hak milik berdasarkan kepercayaan. Dalam Bahasa Belanda disebut juga dengan Zekerheids eigendom artinya hak milik sebagai kepercayaan.

  Fidusia, menurut asal katanya berasal dari kata

  “fides” yang berarti kepercayaan. Sesuai

  dengan arti kata, maka hubungan hukum antara debitur (pemberi fidusia) dan kreditur (penerima fidusia) merupakan hubungan hukum yang berdasarkan kepercayaan. Pemberi fidusia percaya 1 bahwa penerima fidusia mau mengembalikan hak milik barang yang telah diserahkan, setelah

  

Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-Pokok Hukum Jaminan dan Jaminan

2 Perorangan, Bina Usaha: Yogyakarta, 1980, hal. 1.

  

Jaminan Fidusia diatur dalam UU No. 42 Tahun 1999, sebelumnya diatur dalam UU No. 16 Tahun 1985 dan UU No. 4 dilunasi utangnya. Sebaliknya penerima fidusia percaya bahwa pemberi fidusia tidak akan menyalahgunakan barang jaminan yang berada dalam kekuasaannya.

  Menurut Mahadi “fidusia” berasal dari bahasa latin yang artinya kepercayaan tehadap seseorang atau sesuatu, pengharapan yang besar. Juga ada kata

  “fido” yang merupakan kata kerja

  3

  yang berarti mempercayai seseorang atau sesuatu. Subekti menjelaskan arti kata

  “fiduciair”

  adalah kepercayaan yang diberikan secara bertimbal balik oleh satu pihak kepada yang lain, bahwa apa yang keluar ditampakkan sebagai pemindahan milik, hanya suatu jaminan saja untuk suatu

  4 utang.

  Fidusia adalah suatu istilah yang berasal dari hukum Romawi, yang memiliki dua pengertian yakni sebagai kata kerja dan kata sifat. Sebagai kata benda, istilah fidusia mempunyai arti seorang yang diberi amanah untuk mengurus kepentingan pihak ketiga dengan itikad baik, penuh ketelitian, bersikap hati-hati dan berterus terang. Orang yang diberi kepercayaan dibebani kewajiban melakukan perbuatan untuk kemanfaatan orang lain. Sebagai kata sifat istilah fidusia menunjukkan pengertian tentang hal yang berhubungan dengan kepercayaan (trust).

  Di dalam Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia dijumpai, pengertian fidusia yaitu: “Pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda”.

  Pengertian pengalihan hak kepemilikan adalah pemindahan hak kepemilikan dari pemberi fidusia kepada penerima fidusia atas dasar kepercayaan, dengan syarat bahwa benda yang menjadi objeknya tetap berada di tangan pemberi fidusia. Jadi fidusia itu merupakan suatu cara pemindahan 3 hak milik dari (debitur) berdasarkan adanya perjanjian pokok (perjanjian utang piutang) kepada 4 Mahadi, Hak Milik dalam Hukum Perdata Nasional, Proyek BPHN: 1981, hal. 61.

  kreditur, tetapi yang diserahkan hanya haknya saja secara yuridis levering dan hanya dimiliki oleh kreditur secara kepercayaan saja (sebagai jaminan utang debitur), barangnya tetap dikuasai oleh debitur.

  Bentuk rincian dari constitutum Prossesorium (penyerahan kepemilikan benda tanpa penyerahan fisik benda sama sekali), fidusia ini pada prinsipnya dilakukan melalui proses tiga fase yaitu:

  a. Fase I: Fase perjanjian obligatoir (obligatoir overeenskomst) Yaitu berupa perjanjian pinjam uang dengan jaminan fidusia antara pihak pemberi fidusia dengan pihak penerima fidusia.

  b.

   Fase II: Fase perjanjian kebendaan (zakelijke overeenskomst)

  Yaitu perjanjian berupa penyerahan hak milik dari debitur kepada kreditur, dalam hal ini dilakukan dengan penyerahan hak milik tanpa penyerahan fisik benda (constitutum

  prossessorium).

  c. Fase III: Fase perjanjian pinjam pakai Dalam hal ini benda objek fidusia yang hak miliknya sudah berpindah kepada pihak kreditur dipinjampakaikan kepada pihak debitur, sehingga praktis benda tersebut, setelah

  5 diikat dengan jaminan fidusia tetap saja dikuasai secara fisik oleh pihak debitur.

  Perkembangan fidusia dapat dilihat dari sejak lahirnya fidusia, pengakuan fidusia dalam yurisprudensi sampai diaturnya jaminan fidusia dalam undang-undang. Pada awalnya, lembaga fidusia dikenal dalam hukum Romawi dengan nama Fidusia Cum Creditore dengan nama 5 lengkapnya adalah Fiducia Cum Creditore Contracta yang berarti janji kepercayaan yang dibuat dengan kreditur, dikatakan bahwa debitur akan mengalihkan kepemilikan atas suatu benda kepada kreditur sebagai jaminan atas utangnya dengan kesepakatan bahwa kreditur akan mengalihkan kembali kepemilikan tersebut kepada debitur apabila utangnya sudah dibayar lunas. Dengan

  

fiducia cum creditore ini maka kewenangan yang dimiliki oleh kreditur akan lebih besar yaitu

  sebagai pemilik atas barang yang diserahkan sebagai jaminan. Debitur percaya bahwa kreditur tidak akan menyalahgunakan wewenang yang diberikan itu. Kekuatannya hanya terbatas pada kepercayaan secara moral saja dan bukan kekuatan hukum yang pasti. Debitur tidak akan dapat berbuat apa-apa jika kreditur tidak mau mengembalikan hak milik atas barang yang diserahkan sebagai jaminan.

  Pada putusan Hooge Raad (HR) dalam perkara Aw de Haan V. Heinken Bierbrouwerij

  

Maafschappij tanggal 25 Januari 1929 fidusia telah diakui sebagai lembaga jaminan dengan objek

  benda berupa inventaris perusahaan. Putusan Hooge Raad tersebut merupakan awal bagi perkembangan hukum fidusia di Belanda. Fidusia ini adalah lembaga jaminan yang lahir dari hasil penemuan hukum oleh hakim (recthvinding), sebagai akibat dari sempitnya pengaturan gadai

  6 (pand) dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

  Menurut Sri Soedewi latar belakang timbulnya jaminan fidusia adalah “Karena ketentuan undang-undang yang mengatur tentang lembaga gadai (pand) mengandung banyak kekurangan,

  7 tidak memenuhi kebutuhan masyarakat dan tidak dapat mengikuti perkembangan masyarakat”.

  Dan Menurut Salim HS gadai mempunyai beberapa hambatan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang meliputi:

  1. Adanya asas inbezitstelling

  6 7 Menurut Pasal 1512 KUHPerdata, Dalam Perjanjian Gadai, Objek Gadai Harus Berada Dalam Kekuasaan Kreditur.

  

Sri Soedewi Mascjhoen Sofwan, Beberapa Masalah Pelaksanaan Lembaga Jaminan Khususnya Fidusia di Dalam

  Asas ini mensyaratkan bahwa kekuasaan atas bendanya harus pindah/berada pada pemegang gadai, sebagaimana yang diatur dalam pasal 1152 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Ini merupakan hambatan yang berat bagi gadai atas benda-benda bergerak berujud, karena pemberi gadai tidak dapat menggunakan benda-benda tersebut untuk keperluannya.

  2. Gadai atas surat-surat piutang Kelemahan dalam pelaksanaan gadai atas surat-surat piutang ini karena:

  a. Tidak adanya ketentuan tentang cara penarikan dari piutang-piutang oleh si pemegang gadai.

  b. Tidak adanya ketentuan mengenai bentuk tertentu bagaimana gadai itu harus dilaksanakan, misalnya mengenai cara pemberitahuan tentang adanya gadai piutang- piutang tersebut kepada si debitur surat utang.

  c. Ketiadaan kepastian berkedudukan sebagai kreditur terkuat, sebagaimana tampak dalam hal membagi hasil eksekusi, kreditur lain, yaitu pemegang hak privilege dapat

  8 berkedudukan lebih tinggi dari pada pemegang gadai”.

  Menurut Munir Fuady ada beberapa hal yang mendasari lahirnya jaminan fidusia, antara lain:

  1. Dalam praktek terdapat kasus dimana benda yang menjadi objek jaminan utang adalah tergolong benda bergerak tetapi pihak debitur enggan menyerahkan kekuasaan atas benda tersebut kepada kreditur, sementara kreditur tidak mempunyai kepentingan bahkan kerepotan jika benda tersebut diserahkan kepadanya. Karena itu dibutuhkan suatu bentuk

  8 jaminan utang yang objeknya benda bergerak tetapi tanpa menyerahkan kekuasaan atas benda itu kepada kreditur. Inilah yang disebut dengan jaminan fidusia.

  2. Adanya hak atas tanah tertentu yang tidak dapat dijaminkan dengan hak tanggungan, misalnya hak pakai atas tanah. Sehingga hak pakai atas tanah tersebut diikat dengan jaminan fidusia.

  3. Ada benda-benda yang sebenarnya termasuk benda-benda bergerak tetapi mempunyai sifat-sifat seperti benda tidak bergerak sehingga pengikatannya dengan gadai dirasa tidak cukup, terutama karena adanya kewajiban menyerahkan kekuasaan dari jaminan tersebut. Karena itu jaminan fidusia menjadi pilihan.

  4. Perkembangan kepemilikan atas benda-benda tertentu tidak selamanya dapat diikuti oleh perkembangan hukum jaminan, sehingga ada hak-hak atas benda yang sebenarnya tidak bergerak tetapi tidak dapat diikatkan dengan hipotik.

  5. Adakalanya pihak kreditur dan debitur tidak keberatan agar diikatkan jaminan utang berupa gadai, tetapi benda yang dijaminkan karena sesuatu hal tidak dapat diserahkan kepemilikannya kepada kreditur, misalnya saham yang belum dicetak sertifikatnya. Karena

  9 itu timbul fidusia saham ”.

  Dengan adanya berbagai kelemahan di atas, dalam praktik timbul lembaga baru yaitu fidusia. Selain fakta di atas yang melatar belakangi lahirnya UU No. 42 Tahun 1999 tentang Fidusia berdasarkan keadaan sekarang, tercantum dalam konsiderannya yaitu:

  1. Kebutuhan yang sangat besar dan terus mengikat bagi dunia usaha atas tersedianya dana, perlu diimbangi dengan adanya ketentuan hukum yang jelas dan lengkap yang mengatur 9 mengenai lembaga jaminan.

  2. Pengaturan lembaga jaminan fidusia masih didasarkan pada yurisprudensi.

  3. Dalam rangka memberi kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi pihak yang berkepentingan.

  Di Indonesia, kasus jaminan fidusia untuk pertama kali diputus oleh Mahkamah Agung (MA) dalam perkara Bataafsche Petroleum Maatschappij (BPM) v. Pedro Clignett tanggal 18 Agustus 1932 dengan objek fidusia adalah benda bergerak/mobil. Hooggerechtschof dengan arrestnya tanggal 16 Februari 1933 menetapkan bahwa hak grant (grant recht) dapat dijadikan objek jaminan fidusia.

  Dalam bidang perundang-undangan, perkembangan objek fidusia dapat dilihat setelah berlakunya Undang- Undang Pokok Agraria. “Menurut Undang-Undang Pokok Agraria, hak-hak atas tanah yang dapat dijadikan objek jaminan dengan hak tanggungan adalah hak milik, hak guna

  10 bangunan dan hak guna usaha”.

  Dalam surat Direktur Jenderal Agraria No.D1133/73/3/73 tanggal 26 Maret 1973 dikatakan bahwa hak pakai tidak dapat dibebankan dengan hipotik (sekararang hak tanggungan).

  Sebagai jalan keluarnya dipergunakan lembaga fidusia. Demikian juga fidusia dapat dibebankan

  11 atas bangunan di atas tanah hak sewa.

  Menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 Tentang Undang-Undang Rumah Susun, objek fidusia adalah rumah susun atau satuan rumah susun yang didirikan diatas tanah hak pakai

  12

  atau tanah negara. Dalam UU No. 4 Tahun 1992 Tentang Perumahan dan Pemukiman, objek

  10 11 Lihat Pasal 25, 39, dan Pasal 33 UU No. 5 Tahun 1960.

  

Sumardi Mangunkusumo, Fidusia Bangunan-Bangunan Di Atas Tanah Hak Sewa, (1972) Hukum dan Keadilan No. 3

12 Tahun ke III, Juni: hal. 2.

  fidusia adalah rumah, tidak diatur secara rinci apakah rumah itu didirikan di atas suatu jenis hak

  13 atas tanah tertentu.

  Berbeda halnya dengan Undang-Undang Rumah Susun yang menegaskan objek jaminan fidusia dengan melihat hak atas tanah, dalam Undang-Undang Perumahan dan Pemukiman No. 4 Tahun 1992 yang diutamakan sebagai jaminan utang adalah rumah terlepas dari hak atas tanah. Sejak keluarnya UU No. 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan, ketentuan fidusia dalam Undang-Undang Rumah Susun dicabut dan diganti dengan lembaga hak tanggungan, sedangkan

  14

  fidusia dalam Undang-Undang Perumahan dan Pemukiman masih berlaku. Selanjutnya dalam Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia, tidak dinyatakan secara tegas benda-benda apa saja yang dapat dijadikan jaminan utang dengan pembebanan fidusia. Hanya saja

  15 diberlakukan ruang lingkup berlakunya Undang-Undang Jaminan Fidusia.

  Berdasarkan Pasal 1 angka (2) Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia dinyatakan bahwa:

  “Jaminan fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak, khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang nomor 4 tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan, yang tetap berada dalam penguasaan pemberi fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditur lainnya”.

  Jadi dapat diketahui bahwa benda-benda yang dapat dijadikan jaminan utang dengan 13 pembebanan fidusia meliputi benda bergerak dan benda tidak bergerak. “Benda tidak bergerak” 14 Lihat Pasal 15 dan Penjelasannya UU No. 4 Tahun 1992. 15 Lihat Pasal 27 UU No. 4 Tahun 1992.

  

Lihat Pasal 2 dan 3 UU No. 42 Tahun 1999, Bandingkan dengan Pengaturan Objek Hak Tanggungan dalam Pasal 4 yang dimaksudkan ialah bangunan yang tidak dapat dibebani dengan hak tanggungan yaitu bangunan di atas tanah hak milik orang lain.

  Sebelum berlakunya UU Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia, yang menjadi objek jaminan fidusia adalah benda bergerak yang terdiri dari benda dalam persediaan (inventory), benda dagangan, piutang, peralatan mesin dan kenderaan bermotor. Dengan berlakunya Undang- Undang Jaminan Fidusia, maka objek jaminan fidusia diberikan pengertian yang luas, yang antara lain terdapat dalam ketentuan Pasal 1 angka 4, Pasal 9, Pasal 10 dan Pasal 20. Benda-benda yang menjadi objek jaminan fidusia adalah:

  1. Benda itu harus dapat dimiliki dan dialihkan secara hukum

  2. Benda berwujud dan benda tidak berwujud, termasuk piutang

  3. Benda bergerak dan tidak bergerak yang tidak dapat diikat dengan hak tanggungan

  4. Benda tidak bergerak yang tidak dapat diikat dengan hipotik

  5. Dapat atas satu satuan atau jenis benda dan lebih dari satu jenis atau satuan benda

  6. Termasuk hasil dari benda yang telah menjadi objek fidusia dan juga hasil klaim asuransi objek jaminan fidusia tersebut.

  7. Benda persediaan (inventory). Hukum benda adalah sub sistem dari sistim hukum perdata nasional di satu sisi dan di sisi lain hukum adat adalah salah satu komponen dalam penyusunan hukum perdata nasional. Oleh karena itu penyusunan hukum benda harus memperhatikan prinsip-prinsip hukum adat. Hal ini penting mengingat penjelasan Pasal 3 UU No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia yang isinya adalah: ”Bangunan di atas tanah milik orang lain yang tidak dapat dibebani dengan hak tanggungan berdasarkan UU No. 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan, dapat dijadikan objek jaminan fidusia” dan Pasal 1 angka (4) UU No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia yang isinya: “Benda adalah segala sesuatu yang dapat dimiliki dan dialihkan, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud, yang terdaftar maupun yang tidak terdaftar, yang bergerak maupun yang tak bergerak yang tidak dapat dibebani hak tanggungan atau hipotik”.

  Fidusia memiliki arti penting dalam memenuhi kebutuhan kredit bagi masyarakat, khususnya perusahaan kecil dan menengah sangat membantu usaha debitur. Oleh karena itu, kehadirannya dapat memberikan manfaat ganda.

  Debitur masih dapat menguasai barang jaminan untuk keperluan usaha sehari-hari, pihak perbankan lebih praktis mempergunakan prosedur pengikatan fidusia.

  “Bank tidak perlu

  16

  menyediakan tempat khusus barang jaminan seperti pada lembaga gadai (pand Dalam )”. perjanjian gadai, barang jaminan harus diserahkan kepada kreditur sesuai dengan pasal 1150 ayat

  2 Kitab Undang Undang Hu kum Perdata yang isinya: “Gadai adalah suatu hak yang diperoleh seorang berpiutang atas suatu barang bergerak yang diserahkan kepadanya oleh seorang berutang atau oleh seorang lain atas namanya …”.

  Dengan syarat gadai tersebut barang jaminan tidak dapat lagi menunjang usaha debitur. Dan “Bagi bank dapat menimbulkan masalah mengenai tempat penyimpanan, khususnya bank-

  17 bank di kota besar, karena tidak adanya gudang- gudang yang cukup luas yang mereka miliki”.

  Akibat pengaturan gadai yang terlalu sempit, fidusia lahir untuk mengisi kekosongan hukum jaminan melalui putusan pengadilan atas desakan kebutuhan masyarakat.

  Namun lebih lanjut dalam penelitian ini, penulis akan membahas terkait perbedaan fidusia dan gadai, dimana fidusia harus didaftarkan namun gadai tidak perlu didaftarkan. Maka terlebih dahulu dilihat berkaitan dengan hukum secara umum, pada prinsipnya hukum dibagi dua, yaitu 16 hukum publik (publickrecht) dan hukum privat (privatrecht). Hukum privat mengandung 17 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, op. cit., hal. 75.

  ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur hal-hal yang bersifat keperdataan atau kepentingan

  

18

pribadi (orang perseorangan atau badan hukum).

  Hal-hal esensial yang diatur dalam hukum privat antara lain misalnya kebebasan setiap individu, masalah keluarga, masalah waris, masalah perkawinan, masalah harta kekayaan, jaminan, hak milik, perikatan, perjanjian, dan lain-lain.Sebagaimana dalam KUHPerdata dibagi dalam empat buku, yaitu buku I tentang orang, buku II tentang benda, buku III tentang perikatan,

  19 dan buku IV tentang bukti dan kadaluarsa.

  Hukum publik mengandung ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur hal-hal yang menyangkut kepentingan umum. Hukum publik memberikan jaminan bagi perlindungan hukum atas kenyamanan, keselamatan, keamanan warga negara dari pemerintah atau negara atau

  20

  melindungi kepentingan umum. Sebagaimana dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHPidana) aspek tersebut diatur dalam tiga buku yaitu buku I tentang peraturan umum, buku II

  21

  tentang kejahatan, dan buku III tentang pelanggaran. Hukum publik misalnya hukum pidana,

  22 hukum tata negara, hukum internasional publik, dan lain-lain.

  Ditinjau dari sudut menegakkan atau mempertahankan hukum, maka dalam hukum perdata diserahkan kepada orang-perseorangan yang berkepentingan, apakah ia akan mempertahankan hak dan kewajibannya sesuai dengan ketentuan hukum atau tidak. Maka terdapatlah asas, yaitu asas personalitas atau privity of contract yang berakar dari postulat yang bersifat universal bahwa manusia mengetahui apa terbaik bagi dirinya sendiri dalam mengadakan hubungan kontraktual. Negara tidak turut mencampurinya selama orang tersebut belum mengajukan gugatannya ke

  18 19 Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata Dalam Sistem Hukum Nasional, Jakarta: Kencana, 2008, hlm. 9. 20 J. Satrio (II), Hukum Perikatan, Bandung: Alumni, 1999, hlm. 1. 21 R. Wijono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Perjanjian, Bandung: Mandar Maju, 2011, hlm. 2. 22 R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Bogor: Politeia, 1994, hlm. 7-9. pengadilan. Misalnya apakah seseorang yang berpiutang (kreditur) akan menuntut pembayaran kembali piutangnya dari yang berutang (debitur) melalui peradilan perdata atau tidak, ataukah piutang itu dianggap saja sudah lunas atau dihibahkan, tentu penentuannya diserahkan kepada si

  23 kreditur.

  Sedangkan dalam hukum publik, penguasa wajib menegakkan hukum, walaupun mungkin orang yang dirugikan itu tidak menghendaki penuntutan terhadap subjek yang merugikannya.

  Namun dalam hal ini ada juga pengecualian antara lian apabila yang terjadi itu adalah kejahatan

  24 penghinaan, perzinahan, pencurian dalam keluarga, dan sebagainya.

  Jika ditinjau dari sudut teori yang umum dan teori khusus, maka hukum perdata berlaku secara umum (ius commune, gemeine recht) baik untuk pemerintah maupun untuk rakyat berkedudukan sebagai pribadi-pribadi atau perseorangan. Sedangkan hukum publik merupakan hukum khusus (ius speciale) karena memberikan kekuasaan khusus kepada pemerintah untuk melakukan suatu tindakan kepada pribadi-pribadi, misalnya mengambil (onteigenen) suatu milik

  25 perseorangan atau pribadi tersebut untuk kepentingan umum (ten algemene nutte).

  Dalam fidusia, benda jaminan tidak diserahkan secara nyata oleh debitor kepada kreditor, yang diserahkan hanyalah hak milik secara kepercayaan. Benda jaminan masih tetap dikuasai oleh debitor dan debitor masih tetap dapat mempergunakan untuk keperluan sehari-hari. Jaminan fidusia dituangkan dalam bentuk perjanjian. Biasanya dalam memberikan pinjaman uang, kreditor mencantumkan dalam perjanjian itu bahwa debitor harus menyerahkan barang-barang tertentu

  26 sebagai jaminan pelunasan utangnya.

  23 24 Ibid.

  

E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan. Penerapannya, Jakarta: Storia Grafika,

25 2002, hlm. 10. 26 Ibid.

  Lain halnya dengan gadai, benda jaminan secara fisik berada di bawah penguasaan Kreditur/Penerima Gadai atau pihak ketiga yang telah disetujui kedua belah pihak. Penerima Gadai/Kreditur bertanggung jawab untuk hilangnya atau kemerosotan barangnya sekedar itu telah terjadi karena kelalaiannya dan harus memberitahukan Pemberi Gadai, jika benda gadai dijual

  27 sertra bertanggungjawab terhadap penjualan benda gadai.

  Pemberi Gadai diwajibkan mengganti kepada kreditur segala biaya yang berguna dan perlu, yang telah dikeluarkan oleh pihak yang tersebut belakangan guna keselamatan barang gadainya. Penerima Gadai mempunyai hak penguasaan benda gadai, namun tidak mempunyai hak untuk memiliki benda gadai. Dalam hal debitur wanprestasi, untuk menjual dengan kekuasaan sendiri (parate eksekusi), sehingga hak untuk penjualan benda gadai tidak diperlukan adanya title eksekutorial. Penerima Gadai/ Pemegang Gadai dapat melaksanakan penjualan tanpa adanya penetapan Pengadilan, tanpa perlu adanya juru sita ataupun mendahului dengan penyitaan. Menjual benda gadai dengan perantaraan hakim, dimana kreditur dapat memohon pada hakim untuk menentukan cara penjualan benda gadai. Mendapat ganti rugi berupa biaya yang perlu dan berguna yang telah dikeluarkan guna keselamatan barang gadai dan mempunyai retensi (menahan) benda gadai, bilamana selama hutang pokok, bunga, dan ongkos-ongkos yang menjadi tanggungan belum dilunasi maka si berhutang/debitur maka debitur tidak berkuasa menuntut pengembalian benda gadai.

  Gadai didahulukan (kreditur preferen) pelunasan piutangnya terhadap kreditur lainnya, hal tersebut diwujudkan melalui parate eksekusi ataupun dengan permohonan kepada Hakim dalam cara bentuk penjualan barang gadai. Pemberi Gadai tetap mempunyai hak milik atas Benda Gadai.

27 Mariam DarusBadruzaman, Bab-Bab Tentang Credit Verband Gadai dan Fidulia, Cet, PT Citra Aditya Bakti, 1991,

  Hukum perjanjian yang berlaku di Indonesia mengenal asas kepribadian (privity of

  

contract ) yang maknanya adalah perjanjian hanya berlaku bagi para pihak yang membuatnya. Inti

ketentuan ini bahwa seseorang yang mengadakan perjanjian hanya untuk kepentingan diri sendiri.

  Lebih lanjut Pasal 1350 KUHPer menyebutkan perjanjian hanya berlaku antara pihak yang membuatnya. Ini berarti bahwa perjanjian yang dibuat oleh para pihak hanya berlaku bagi mereka yang membuatnya, namun ketentuan ini ada pengecualian sebagaimana diintrodusir dalam Pasal 1317 KUHPer. Namun dalam perjanjian jaminan fidusia, asas Privity of Contract ini patut untuk dipertanyakan eksistensinya, karena dalam Pasal 11 UUJF mengharuskan setiap perjanjian jaminan fidusia wajib untuk didaftarkan, baik jaminan yang ada di dalam negeri maupun di luar negeri.

  Bertitik tolak dari uraian di atas, maka masalah yang diangkat dalam tulisan ini adalah Hakikat hukum dalam rangka campur tangan pemerintah terhadap warga negaranya terkait dengan konsep ranah hukum publik yang memasuki ranah hukum privat. Sehingga penulis memilih judul

  INTERVENSI NEGARA DALAM RANAH HUKUM PRIVAT : STUDI KOMPARASI ANTARA LEMBAGA JAMINAN FIDUSIA DAN GADAI.

  B. Rumusan Masalah

  Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dalam thesis ini Penulis rumuskan ke dalam rumusan masalah:

  1. Bagaimana perbandingan antara jaminan fidusia dan gadai?

  2. Bagaimanakah intervensi Negara pada jaminan fidusia dan gadai?

  C. Tujuan Penelitian

  Tujuan penelitian ini adalah:

  1. Untuk mengetahui perbandingan antara jaminan fidusia dan gadai.

  2. Untuk mengetahui intervensi Negara pada jaminan fidusia dan gadai.

D. Keaslian Penelitian

  Thesis dengan topik ini adalah merupakan suatu penelitian yang orisinil. Sebab, Penulis belum menemukan penelitian dan penulisan yang benar-benar sama dan serupa dengan topik ini, yang pernah dilakukan sebelumnya oleh mahasiswa Magister Hukum Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga. Penelitian tentang jaminan fidusia dan gadai ini sudah beberapa ditulis dalam bentuk tesis, namun isi dari penelitian tersebut berbeda dengan penelitian ini. Penelitian tersebut antara lain sebagai berikut:

  Tabel. 1. Tabel Perbedaan penelitian Jaminan Fidusia Dan Gadai

  No Nama Judul Hasil Penelitian

  1 Desak Putu Thiarina Akibat Hukum Pendaftaran Hasil penelitian yang diperoleh Mahaswari Agastia Jaminan Fidusia Setelah Debitur mengenai pengaturan pendaftaran Wanprestasi jaminan fidusia dalam sistem hukum indonesia adalah dengan melakukan analisa pada 6 (enam) peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perjanjian kredit dan jaminan fidusia, yang mana ada beberapa peraturan yang mengatur namun belum jelas dan tegas serta ada beberapa peraturan yang tidak mengatur sama sekali mengenai pendaftaran jaminan fidusia dan akibat hukum pendaftaran jaminan fidusia setelah debitur wanprestasi.

  Kemudian hasil penelitian mengenai akibat hukum pendaftaran jaminan fidusia setelah debitur wanprestasi adalah tetap dapat dilakukannya pengeksekusian jaminan fidusia terhadap debitur yang wanprestasi karena kantor pendaftaran fidusia tetap menerima permohonan pendaftaran jaminan fidusia walaupun sudah terlambat dan tetap mengeluarkan sertifikat jaminan fidusia untuk diberikan pada pemohon pendaftaran jaminan fidusia, yang mana hal ini sesuai dengan Pasal 29 UUJF.

  

2 Sobirin Kajian Hukum Terhadap hasil penelitian ini

Pendaftaran Jaminan Fidusia Di disimpulkan hal yang sebenarnya Kantor Pendaftaran Fidusia harus didaftar dalam jaminan fidusia Daerah Khusus Ibukota Jakarta adalah pendaftaran terhadap ikatan jaminannya. Hal tersebut didasarkan pada ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 12, Pasal 13, dan Pasal

  14 UUJF. Di samping itu dengan melakukan pendaftaran ikatan jaminan dalam fidusia, maka perlindungan terhadap kreditur akan lebih aman atau terlindungi jika dibandingkan dengan melakukan pendaftaran terhadap benda. Perlindungan yang diberikan oleh undang-undang terhadap kreditur dengan obyek jaminan fidusia berupa stok barang dagangan telah sangat mencukupi, yaitu jika yang didaftar dalam pendaftaran jaminan fidusia adalah berupa ikatan jaminan. Dengan ikatan jaminan kreditur dapat melakukan pemenuhan haknya dengan mengeksekusi obyek jaminan fidusia sesuai dengan yang terdapat dalam lampiran tentang rincian benda dan jika benda yang dijadikan obyek jaminan tidak ada sesuai dengan lampiran rincian, maka kreditur tetap bisa menuntut pemenuhan haknya sesuai dengan nilai benda yang dijadikan obyek jaminan sebagaimana dicantumkan dalam pernyataan pendaftaran Jaminan Fidusia.

  

3 Murti Sari Dewi (Penulis Intervensi Negara Dalam Ranah membahas masalah dalam penelitian ini) Privat (Studi Komparasi intervensi negara terhadap hukum Lembaga Jaminan Fidusia Dan diranah privat, dimana ranah privat Gadai) yang dimaksud adalah terkait perjanjian fidusia yang akan dibandingkan dengan gadai. Bentuk intervensi itu adalah Kewajiban atau suatu keharusan pihak yang melakukan perjanjian harus didaftarkan, dalam hal ini perjanjian fidusia. Maka dalam hal ini asas Privity of Contract tidak lagi menjadi asas yang pribadi karena intervensi dari UUJF. Maka nampak bahwa perjanjian yang sejatinya merupakan undang-undang bagi yang membuatnya dikalahkan dengan kebijakan pemerintah berupa pengundangan undang-undang a quo beserta peraturan pelaksanaannya. Sedangkan dalam perjanjian gadai tidak memerlukan pendaftaran, sehingga bentuk intervensi negara tidak nampak.

  E. Manfaat Penelitian

  Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik dari segi teoritis maupun praktis.

  a. Segi Teoritis Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan Ilmu Hukum, khususnya hukum jaminan.

  b. Segi Praktis Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi positif sebagai bahan masukan kepada para perumus peraturan perundang-undangan di Dewan Perwakilan

  Rakyat, supaya dalam penyusunannya, serta ketepatan perumusan kaedah-kaedah dan asas- asas hukum dapat melindungi para pihak dalam praktek fidusia dan juga dalam praktek gadai.

  Sehingga bisa tepat dalam menentukan intervensi negara terhadap hukum privat.

  F. Kerangka Teori

  Awal mula dari munculnya teori perlindungan hukum ini bersumber dari teori hukum alam atau aliran hukum alam. Aliran ini dipelopori oleh Plato, Aristoteles (murid Plato), dan Zeno (pendiri aliran Stoic). Menurut aliran hukum alam menyebutkan bahwa hukum itu boleh dipisahkan. Para penganut aliran ini memandang bahwa hukum dan moral adalah cerminan dan aturan secara internal dan eksternal dari kehidupan manusia yang diwujudkan melalui hukum dan moral.

  Menurut Thomas Aquinas mengatakan bahwa hukum alam adalah ketentuan akal yang bersumber dari Tuhan yang bertujuan untuk kebaikan dan dibuat oleh orang yang mengurus masyarakat untuk disebarluaskan.

  Eksistensi dam konsep hukum alam selama ini, masih banyak dipertentangkan dan ditolak oleh sebagian besar filosof hukum, tetapi dalam kanyataann justru tulisan-tulisan pakar yang menolak itu, banyak menggunakan paham hukum alam yang kemungkinan tidak disadarinya. Salah satu alasan yang mendasari penolakkan sejumlah filosof hukum terhadap hukum alam, karena mereka masih mengganggap pencarian terhadap sesuatu yang absolut dari hukum alam, hanya merupakan suatu perbuatan yang sai-sia dan tidak bermanfaat.

  28 Pada dasarnya setiap manusia terlahir sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa

  (YME) yang secara kodrati mendapatkan hak dasar yaitu kebebasan, hak hidup, hak untuk dilindungi, dan hak yang lainnya. Hal ini senada dengan prinsip hukum alam pada abad ke-18 yaitu kebebasan individu dan keutamaan rasio, salah satu penganutnya adalah Locke, menurut Locke teori hukum beranjak dari dua hal di atas yaitu kebebasan individu dan keutamaan rasio.

  Ia juga mengajarkan pada kontrak sosial.

  Menurutnya manusia yang melakukan kontrak sosial adalah manusia yang tertib dan menghargai kebebasan, hak hidup dan pemilikan harta sebagai hak bawaan manusia. Menurut Locke masyarakat yang ideal adalah masyarakat yang tidak melanggar hak-hak dasar manusia.

  28

  Menurut locke, hak-hak tersebut tidak ikut diserahkan kepada penguasa ketika kontrak sosial dilakukan. Oleh karena itu, kekuasaan penguasa yang diberikan lewat kontrak sosial, dengan sendirinya tidak mungkin bersifat mutlak. Kalau begitu, adanya kekuasaan tersebut justru untuk melindungi hak-hak kodrat dimaksud dari bahaya-bahaya yang mungkin mengancam, baik datang dari dalam maupun dair luar. Begitulah, hukum yang dibuat dalam

  29 negara pun bertugas melindungi hak-hak dasar tersebut.

  Pemikiran yang lebih eksplisit tentang hukum sebagai pelindung hak-hak asasi dan kebebasan warganya, dikemukakan oleh Immanuel Kant. Bagi Kant, manusia merupakan makhluk berakal dan berkehendak bebas. Negara bertugas menegakkan hak-hak dan kebebasan warganya. Kemakmuran dan kebahagian rakyat merupakan tujuan negara dan hukum, oleh karena itu, hak-

  

30

hak dasar itu, tidak boleh dihalangi oleh negara.

  Menurut Fitzgerald, dia menjelaskan teori pelindungn hukum Salmond bahwa hukum bertujuan mengintegrasikan dan mengkoordinasikan berbagai kepentingan dalam masyarakat karena dalam suatu lalu lintas kepentingan, perlindungan terhadap kepentingan tertentu hanya

  31

  dapat dilakukan dengan cara membatasi berbagai kepentingan di lain pihak. Kepentingan hukum adalah mengurusi hak dan kepentingan manusia, sehingga hukum memiliki otoritas

  32 tertinggi untuk menentukan kepentingan manusia yang perlu diatur dan dilindungi.

  Perlindungan hukum harus melihat tahapan yakni perlindungan hukum lahir dari suatu ketentuan hukum dan segala peraturan hukum yang diberikan oleh masyarakat yang pada dasarnya merupakan kesepakatan masyarakat tersebut untuk mengatur hubungan prilaku antara anggota-

  29 30 Bernard L. Tanya, Yoan N. Simanjuntak dan MarkusY. Hage, Op. Cit, hal. 72-73. 31 Ibied., 75 Sat 32 ijipto Raharjo, “Ilmu Hukum’, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2000), hal. 53.

  anggota masyarakat dan antara perseoranan dengan pemerintah yang dianggap mewakili kepentingak masyarakat.

  Menurut lili rasjidi dan I.B Wysa Putra berpendapat bahwa hokum dapat difungsikan untuk mewujudkan perlindungan yang sifatnya tidak sekedar adaptif dan fleksibel, melainkan juga

  33 prediktif dan antisipatif.

  Pendapat Sunaryati Hartono mengatakan bahwa hukum dibutuhkan untuk mereka yang

  34 lemah dan belum kuat secara sosial, ekonomi dan politik untuk memperoleh keadilan sosial.

  Menurut pendapat Pjillipus M. Hadjon bahwa perlindungan hukum bagi rakyat sebagai

  35

  tindakan pemerintah yang bersifat preventif dan represif. Perlindungan hukum yang preventif bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa, yang mengarahkan tindakan pemerintah berikap hati-hati dalam pengambilan keputusan bwedasarkan diskresi, dan perlindungan yang represif bertujuan untuk menyelesaikan terjadinya sengketa, termasuk penangananya di lembaga

  36 peradilan.

  Patut dicatat bahwa upaya untuk mendapatkan perlindungan hukum tentunya yang diinginkan oleh manusia adalah ketertiban dan keteraturan antara nilai dasar dari hukum yakni adanya kepastian hukum, kegunaan hukum serta keadilan hukum, meskipun pada umumnya dalam praktek ketiga nilai dasar tersebut bersitegang, namun haruslah diusahakan untuk ketiga nilai dasar tersebut bersamaan.

  33 34 Lili Rasjidi dan I.B Wysa Putra, “Hukum Sebagai Suatu Sistem”, (Bandung, Remaja Rusdakarya, 1993), hal. 118. 35 Sunaryati Hartono, “Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional”, (Bandung: Alumni, 1991), hal. 55. 36 Phillipus M. Hadjon, “perlindungan hukum Bagi Rakyat Indonesia”, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1987), hal.2.

  

Maria Alfons, “Implementasi Perlindungan Indikasi Geografis Atas Produk-produk Masyarakat Lokal Dalam

  Dalam rangka pembangunan ekonomi Indonesia, bidang hukum yang minta perhatian

  37

  serius dalam pembinaan di antaranya adalah bidang hukum jaminan. Istilah jaminan merupakan terjemahan dari bahasa belanda, yaituzakerheid atau cautie. zakerheid atau cautie mencakup secara umum cara-cara kreditur menjamian dipenuhinya tagihannya, di samping pertanggungjawab umum debitur terhadap barang-barangnya.selain istilah jaminan dikenal juga istilah agunan.

  Agunan adalah “ jaminan tambahan disertakan nasabah debitur kepada baik dalam rangka mendapat fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah. Agunan merupakan jaminan tambahan.

  Unsur-unsur agunan yaitu jaminan tambahan, diserahkan oleh debitur kepada bank, untuk mendapat fasilitas kredit atau pembiayaan.

  Menurut Hartono hadisoeprapto jaminan adalah “ sesuatu yang di berikan kepada kreditur untuk menimbulkan keyakinan bahwa debitur akan memenuhi kewajibannya yang dapat di nilai dengan uang yang timbul dari suatu perikatan

  Jaminan dapat dibedakan menjadi 2 macam yaitu, jaminan materiil (kebendaan) dan jaminan imateriil (perorangan). Jaminan kebendaaan mempunyai ciri-ciri kebendaan dalam arti memberikan hak mandahului diatas benda-benda tertentu dan mempunyai sifat melekat dan mengikuti benda yang bersangkutan . Sedangkan jaminan perorangan tidak memberikan hak mendahului atas benda-benda tertentu, tetapi hanya dijamin oleh harta kekayaan seseorang lewat orang yang menjamin pemenuhan perikatan yang bersangkutan.

  Hukum Jaminan memiliki kaitan yang erat dengan bidang hukum hukum perjanjian. Hukum jaminan yang bersumber dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengandung prinsip

  38 bahwa harta kekayaan debitur menjadi jaminan utang untuk segala perikatan yang dibuat .

  37 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-Pokok Hukum Jaminan dan Jaminan 38 Perorangan, Bina Usaha: Yogyakarta, 1980, hal. 1.

  Salah satu jenis jaminan kebendaan yang dikenal dalam hukum positif adalah jaminan fidusia, sebagai lembaga jaminan atas benda bergerak, jaminan fidusia banyak dipergunakan oleh masyarakat bisnis. Pada awalnya fidusia didasarkan kepada yurisprudensi, sekarang jaminan

  39 fidusia sudah diatur dalam undang-undang tersendiri.

  Untuk menutupi kelemahan, perlu diperjanjikan secara khusus benda-benda tertentu dari debitur yang diikat sebagai jaminan utang. Secara teoritis, jika seorang pemberi fidusia wanprestasi, objek jaminan fidusia dapat dieksekusi, kalau harga jual melebihi utang debitur, kreditur fidusia wajib mengembalikan kelebihan uang sisa penjualan kepada debiturnya.

  Sebaliknya apabila hasil eksekusi tidak mencukupi untuk membayar utang, debitur tetap

  40 bertanggungjawab atas sisa utang tersebut.

  Debitur masih dapat menguasai barang jaminan untuk keperluan usaha sehari-hari, lebih praktis mempergunakan prosedur pengikatan fidusia. Tidak perlu menyediakan tempat khusus

  41

  barang jaminan seperti pada lembaga gadai (pand Dalam perjanjian gadai, barang jaminan )”. harus diserahkan kepada kreditur sesuai dengan pasal 1150 ayat 2 Kitab Undang Undang Hukum Perdata yang isinya:

  “Gadai adalah suatu hak yang diperoleh seorang berpiutang atas suatu barang bergerak yang diserahkan kepadanya oleh seorang berutang atau oleh seorang lain atas namanya ”.

  Dengan syarat gadai tersebut barang jaminan tidak dapat lagi menunjang usaha debitur. Dan “Bagi bank dapat menimbulkan masalah mengenai tempat penyimpanan, khususnya bank-

  42

  bank di kota besar, karena tidak adanya gudang- gudang yang cukup luas yang mereka miliki”.

  39 Jaminan Fidusia diatur dalam UU No. 42 Tahun 1999, sebelumnya diatur dalam UU No. 16 Tahun 1985 dan UU No. 4 40 Tahun 1992 . 41 Lihat Pasal 34 UU No. 42 Tahun 1999. 42 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, op. cit., hal. 75.

  Akibat pengaturan gadai yang terlalu sempit, fidusia lahir untuk mengisi kekosongan hukum jaminan melalui putusan pengadilan atas desakan kebutuhan masyarakat.

G. Metode Penelitian

  a. Jenis Penelitian

  43 Ilmu hukum sebagai ilmu normatif memiliki cara kerja yang khas sui generis.

  Penelitian ini merupakan penelitian hukum (penelitian yuridis) yang memiliki suatu metode yang berbeda dengan penelitian lainnya. Metode penelitian hukum merupakan

  44

  suatu cara yang sistematis dalam melakukan sebuah penelitian. Metode penelitian hukm normatif adalah metode atau cara yang dipergunakan didalam penelitian hukum dengan

  45

  cara meneliti bahan pustaka yang ada. Agar tidak terjebak pada kesalahan yang umumnya terjadi dalam sebuah penelitian hukum dengan memaksakan penggunaan format penelitian empiris dalam ilmu sosial terhadap penelitian normatif (penelitian yuridis normatif). Tahapan pertama penelitian hukum normatif adalah penelitian yang ditujukan untuk mendapatkan hukum obyekti (norma hukum), yaitu dengan mengadakan penelitian terhadap masalah hukum. Tahapan kedua penelitian hukum normatif adalah penelitian

  46 yang ditujukan untuk mendapatkan hukum subjektif.

  b. Pendekatan Penelitian

  43 Sui generis dalam peristilahan hukum adalah ilmu hukum merupakan ilmu jenis sendiri dalam hal cara kerja dan 44 sistem ilmiah. Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta 45 Abdulkadir Muhammad, 2004, Hukum Dan Penelitian Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal 57

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Cetakan ke 11 (Jakarta :

46 PT Raja Grafindo Persada, 2009), hal.13-14.

  Hardijan Rusli, “Metode Penelitian Hukum Normatif: Bagaimana?”, Law Review Fakultas Hukum Universitas

  47 Pendekatan penelitian adalah metode atau cara mengadakan penelitian. Dari

  ungkapan konsep tersebut jelas bahwa yang dikehendaki adalah suatu informasi dalam bentuk deskripsi dan menghendaki makna yang berada di balik bahan hukum.

  Sesuai dengan jenis penelitiannya yakni penelitian hukum normatif (yuridis

  48

  normatif), maka dapat digunakan lebih dari satu pendekatan. penelitian ini digunakan pendekatan perundang-undangan (Statute Approach) dan pendekatan konsep (conceptual

  49 approach ).

  Pendekatan perundang-undangan dilakukan untuk meneliti aturan perundang- undangan yang mengatur mengenai wajib daftar jaminan fidusia yakni UUJF dan KUHPer yang memberikan batas waktu pendaftaran jaminan fidusia yakni Peraturan Menteri Keuangan Nomor 130/PMK.010/2012, sedangkan pendekatan konseptual (conceptual approach) beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum dengan mempelajari pandang-pandangan dan doktrin-doktrin di dalam ilmu hukum, peneliti akan menemukan ide-ide yang melahirkan pengertian-pengertian hukum, konsep-konsep hukum, dan asas-asas hukum relevan dengan isu yang dihadapi. Pemahaman akan pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin tersebut merupakan sandaran bagi peneliti dalam membangun suatu argumentasi hukum dalam memecahkan isu yang dihadapi.

  c. Bahan Hukum

  47 48 Suharsimi Arikunto, 2002, Prosedur Penelitian : Suatu Pendekatan Praktek, Rieneka Cipta, Jakarta, hal 23. 49 Jhonny Ibrahim, Op.Cit, hal 300

  Dalam penelitian hukum tidak dikenal adanya data, sebab dalam penelitian hukum khususnya yuridis normatif sumber penelitian hukum diperoleh dari kepustakaan bukan

  50

  dari lapangan, untuk itu istilah yang dikenal adalah bahan hukum. Dalam penelitian hukum normatif bahan pustaka merupakan bahan dasar yang dalam ilmu penelitian

  51

  umumnya disebut bahan hukum sekunder. Dalam bahan hukum sekunder terbagi bahan hukum primer dan sekunder.

Dokumen yang terkait

BAB V PERAN PEMERINTAH DAERAH SUMBA BARAT DALAM PENGENDALIAN PENDUDUK DI ERA OTONOMI DAERAH - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran Pemerintah Daerah Sumba Barat dalam Pengendalian Penduduk di Era Otonomi Daerah

0 0 31

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran Pemerintah Daerah Sumba Barat dalam Pengendalian Penduduk di Era Otonomi Daerah

0 0 14

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran Pemerintah Daerah Sumba Barat dalam Pengendalian Penduduk di Era Otonomi Daerah

0 0 12

BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Perubahan Sosial - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Desa Malinjak Bergerak: Studi Sosiologis tentang Persepsi dan Perubahan Perilaku Masyarakat Desa Malinjak dalam Praksis Tiga Gerakan Moral di Kabup

0 0 9

BAB IV GAMBARAN TIGA GERAKAN MORAL DALAM DESA MALINJAK 4.1 Munculnya Tiga Gerakan Moral di Kabupaten Sumba Tengah Kabupaten Sumba Tengah terletak di Pulau Sumba. Dalam era otonomi daerah, - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Des

0 3 15

BAB V PERSEPSI DAN PERUBAHAN PERILAKU MASYARAKAT DESA MALINJAK DALAM PRAKSIS TIGA GERAKAN MORAL 5.1. Realitas kehidupan kolektif yang malas, boros, dan tidak aman 5.1.1. Dari Rajin Berkebun ke Sifat Jenuh dan Malas - Institutional Repository | Satya Wacan

0 0 13

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Desa Malinjak Bergerak: Studi Sosiologis tentang Persepsi dan Perubahan Perilaku Masyarakat Desa Malinjak dalam Praksis Tiga Gerakan Moral di Kabupaten Sumba Tengah

0 0 13

BAB II LANDASAN TEORITIS 2.1 Wisata Karaoke - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran Aktor dalam Pengendalian Pemanfaatan Ruang Sarirejo, Kecamatan Sidorejo, Kota Salatiga

0 1 9

BAB IV GAMBARAN UMUM PENELITIAN - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran Aktor dalam Pengendalian Pemanfaatan Ruang Sarirejo, Kecamatan Sidorejo, Kota Salatiga

0 1 10

BAB V PERAN AKTOR DALAM PEMANFAATAN RUANG SARIREJO KOTA SALATIGA - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran Aktor dalam Pengendalian Pemanfaatan Ruang Sarirejo, Kecamatan Sidorejo, Kota Salatiga

0 0 26