BAB II PENGATURAN PENDIDIKAN TINGGI SEBAGAI SUBSISTEM DARI SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL INDONESIA A. Sistem Pendidikan Nasional - Liberalisasi Pendidikan Dalam Kerangka GATS : Kajian Hukum Terhadap Pendirian Perguruan Tinggi Asing Di Indonesia

BAB II PENGATURAN PENDIDIKAN TINGGI SEBAGAI SUBSISTEM DARI SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL INDONESIA A. Sistem Pendidikan Nasional Sistem Pendidikan Nasional (SPN) merupakan keseluruhan komponen pendidikan

  

  yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional. Di dalam UU No.20 tahun 2003 tentang SPN tidak ditemukan penjelasan apa saja yang dimaksud dengan komponen-komponen tersebut. Namun dari beberapa pendapat dibawah ini dapat dipahami apa saja yang dimaksud dengan komponen-komponen tersebut.

  Winch mengatakan “ The aims of any system of education tells us what it is for.

  

Since they embody the fundamental purposes of education, they determine the character

  

of everything else; institutions, curriculum, pedagogy and assesment “. Pendapat

  tersebut mengindikasikan bahwa komponen yang dimaksud diantaranya adalah tujuan pendidikan, lembaga pendidikan, kurikulum, pengajaran, dan penilaian. bagian besar, yaitu 1) orientation yang mencakup philosofi, hukum, pembiayaan, organization yang mencakup struktur umum, pendidikan dasar, pendidikan menengah, pendidikan tinggi, media massa, 3) Operation yang terdiri dari peserta didik, pendidik, 44 Pasal 1 ayat (3) UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

  Tujuan pendidikan nasional yang dimaksud adalah berkembangnya potensi peserta didik agar

menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,

berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (Pasal 3 UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional) kurikulum, metode pengajaran, materi ajar, evaluasi dan ujian, bimbingan, supervisi,

   dan administrasi.

  Rochmat Wahab juga mengatakan “ hakekat, tujuan, prinsip-prinsip, subjek , dan penyelenggaraan pendidikan nasional, disamping ketenagaan, kurikulum, kelembagaan, evaluasi, dan partisipasi masyarakat merupakan hal penting diketahui dalam dalam

  

  memahami Sistem Pendidikan Nasional. “ Sesuai dengan pemaparan di atas maka komponen-komponen SPN yang dimaksud adalah semua unsur dari SPN tersebut antara lain organisasi, kurikulum, pendidik, peserta didik, landasan hukum, landasan philosofis, pendanaan, dan lain sebagainya dimana keseluruhannya saling terkait dalam mencapai tujuan pendidikan nasional.

  Santosh Kumar Madugula dari Research Scholar, Law Faculty, National University

  of Singapore mengatakan bahwa: Every country has a unique higher education scenario and have experienced different historical and contemporary developments that have lead the current governments to lay education policies that would best suit the ‘development’ or other such macro level objectives. However, there are certain similarities among

   countries that have put them in similar state of affairs.

  nasional suatu negara dibentuk berdasarkan kebijakan (politik) suatu negara khususya dalam bidang pendidikan yang disesuaikan dengan perkembangan negara tersebut untuk 46 47 Promila Sharma. Education Administration. (Darya Gan.SB.Nangia.2007) Hal. 317 Rochmat Wahab. Mengkritisi Sistem Pendidikan Nasional, Aktualisasi Otonomi Pendidikan dan

  

Alokasi Anggaran Pendidikan. Diakses dari

Rochmat%20Wahab,%20M.Pd.,MA.%20Dr.%20,%20Prof.%20/SISTEM%20PENDIDIKAN%20NASIO NAL%20-%20IAI%20Al-Ghazali.pdf pada tanggal 13 Agustus 2012 48 Santosh Kumar Madugula. Foreign University under WTO – GATS mechanism: Should WTO

  mencapai tujuan pendidikan nasional. Dengan demikian, SPN suatu negara dapat dikatakan sebagai identitas nasional negara yang bersangkutan yang menjadikannya berbeda dari sistim pendidikan negara lain.

1. Landasan filosofis, konstitusional dan teknis operasional SPN

  Landasan filosofis pendidikan adalah asumsi filosofis yang dijadikan titik tolak dalam rangka studi dan praktek pendidikan, sedangkan landasan hukum/yuridis pendidikan adalah asumsi-asumsi yang bersumber dari peraturan perundangan yang

   berlaku yang dijadikan titik tolak dalam pendidikan.

  Asumsi-asumsi yang menjadi titik tolak dalam rangka pendidikan berasal dari berbagai sumber, dapat bersumber dari agama, filsafat, ilmu, dan hukum atau yuridis.

  Berdasarkan sumbernya, jenis landasan pendidikan dapat diidentifikasi dan dikelompokkan menjadi: 1) landasan religius pendidikan, 2) landasan filosofis

   pendidikan, 3) landasan ilmiah pendidikan, dan 4) landasan konstitusional pendidikan.

  Pancasila adalah dasar dan ideologi negara sekaligus dasar filosofis negara sehingga Pancasila merupakan rujukan dari setiap materi muatan peraturan perundang-

  

  pada Pancasila sebagai dasar filosofi negara dan itu berarti bahwa landasan filosofis pendidikan nasional adalah Pancasila.

49 Y. Suyitno. Landasan filosofis pendidikan. Universitas pendidikan indonesia.2009 Diakses dari

  ANDASAN_ FILOSOFIS_PENDIDIKAN_DASAR.pdfY.

  Pancasila sebagai landasan filosofis negara mengandung arti bahwa pendidikan nasional Indonesia mencerminkan nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila tersebut. Dengan demikian, pendidikan nasional Indonesia adalah:

  1. Pendidikan yang berdasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa

  2. Pendidikan yang berperikemanusiaan

  3. Pendidikan yang mencerinkan persatuan Indonesia

  4. Pendidikan yang berdasarkan pada kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam persmusyawaratan dan perwakilan (demokratis)

  5. Pendidikan yang berkadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

  Pendidikan nasional yang pancasilais di atas harus tercermin dalam setiap komponen pendidikan nasional lainnya, seperti kurikulum, pengelolaan, pendanaan, dan lain sebagainya yang merupakan karaktristik atau ciri khas pendidikan nasional Indonesia dan membedakannya dari sistem pendidikan negara lain.

  Pasal 3 UU No. 12 tahun 2011 mengamanatkan bahwa “ Undang-Undang Dasar

  

  

   Perundang-undangan”. Sebagai hukum dasar, maka UUD 1945 menjadi acuan atau 52 Norma dasar digunakan oleh Hans Kelsen untuk konstitusi yang merupakan norma tertinggi dalam

sebuah negara. Segala norma khusus (perundang-undangan) yang diciptakan harus sesuai dengan norma

dasar tersebut. Lihat : Pengantar Teori Hukum oleh Hans Kelsen terjemah Siwi Purwandari terbitan Penerbit Nusa Mediaan, Hal..97. 53 54 Penjelasan Pasal 3 ayat (1) UU No. 12 tahun 2011 Bahwa yang dimaksud dengan UUD 1945 tidak semata pada pemahaman pasal-pasal di dalamnya,

tetapi menurut Soepomo, UUD 1945 terdiri atas Pembukaan dan Batang Tubuh. Pembukaan menjelaskan

pokok pikiran atau filosofi berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Batang tubuh berisikan rujukan dari segala aturan perundang-undangan yang mengatur pendidikan (landasan konstitusional) .

  Ketentuan-ketentuan yang merupakan kerangka dasar pendidikan di Indonesia yang tercantum di dalam UUD 1945 adalah BAB XA tentang Hak Asasi Manusia, dan Bab XIII tentang Pendidikan dan Kebudayaan. BAB XA terdiri dari 2 Pasal, yaitu Pasal

  28C Ayat (1) yang menyatakan “ Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia” dan Pasal 28E Ayat (1) yang menyatakan “ Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali. Sedangkan Bab XIII tentang Pendidikan dan Kebudayaan terdiri dari 1 Pasal, yaitu pasal 31 yang menyatakan bahwa :

  

  2. Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.

  3. Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.

  4. Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.

  5. Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.

  Ketentuan Pasal 31 Ayat (3) diatas mengamanatkan bahwa pendidikan diselenggarakan dalam satu SPN yang diatur dalam undang-undang. Ketentuan tersebut menjadi dasar bagi Pemerintah untuk mendesain Sistem SPN, yang saat ini telah ditentukan di dalam UU No. 20 tahun 2003 tentang SPN. Undang-undang ini kemudian berfungsi sebagai landasan operasional penyelenggaraan pendidikan di Indonesia dimana di dalamnya telah ditetapkan dasar, fungsi, tujuan dan prinsip penyelenggaraan nasional sebagai berikut :

  Dasar, fungsi dan tujuan 1.

  Pendidikan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara

   Republik Indonesia Tahun 1945.

  2. Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga

   negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

58 Prinsip penyenggaraan :

  1. Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.

  2. Pendidikan diselenggarakan sebagai satu kesatuan yang sistemik dengan sistem terbuka dan multimakna.

  3. Pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan 56 pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat.

Pasal 2 UU No. 20 tahun 2003 tentang SPN

  4. Pendidikan diselenggarakan dengan memberi keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran.

  5. Pendidikan diselenggarakan dengan mengembangkan budaya membaca, menulis, dan berhitung bagi segenap warga masyarakat.

  6. Pendidikan diselenggarakan dengan memberdayakan semua komponen masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan.

  Hubungan antara Pancasila sebagai landasan philosofis, UUD 1945 sebagai landasan konstitusional, dan UU No. 20 tahun 2003 tentang SPN sebagai landasan operasional pendidikan di Indonesia dapat digambarkan sebagai berikut:

  Gbr 2. Hubungan Pancasila dan UUD 1945 dengan Pendidikan Nasional PANCASILA

  UUD 1945 UU No.20 thn 2003 Ttg SPN

  Sumber : Diolah dari UU No.20 tahun 2003

  Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa UUD 1945 mengatur pendidikan dalam 2 konteks, yaitu pendidikan sebagai hak asasi manusia yang bersifat universal, dan pendidikan nasional yang berkaitan dengan dengan hak dan kewajiban Pemerintah dan warga negara yang diseleggarakan dalam SPN. Maka yang dimaksud dengan pendidikan nasional Indonesia adalah pendidikan yang diselenggarakan dalam SPN sebagaimana diamanatkan di dalam Pasal 31 Ayat 3 UUD 1945 dan telah diatur di dalam UU No.20 tahun 2003 tentang SPN.

2. Struktur Pendidikan Nasional

  Untuk mencapai tujuan pendidikan nasional sebagaimana disebutkan di atas,

  

  pendidikan nasional disusun ke dalam beberapa jalur, jenjang, dan jenis. Jalur pendidikan dikelompokkan ke dalam tiga kategori, yaitu jalur pendidikan nonformal,

   informal, dan formal.

  Pendidikan nonformal berfungsi sebagai sebagai pengganti, penambah, dan/atau

  

  pelengkap pendidikan formal bagi warga masyarakat. Sesuai dengan fungsi tersebut, maka hasil proses pendidikan nonformal bak yang diselenggarakan oleh lembaga kursus atau dan pelatihan dapat dihargai setara dengan hasil program pendidikan formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah dengan mengacu pada SNP. Program paket A yang diperoleh dari pendidikan nonformal, diakui setara dengan pendidikan dasar (SD) pada jalur formal, Program paket B pendidikan nonformal, diakui setara dengan SMP pada jalur formal, dan Program paket C pendidikan nonformal, diakui setara dengan pendidikan menengah

  

  

  dilakukan oleh keluarga dan lingkungan dalam berbentuk kegiatan belajar secara 59 60 Pasal 12 UU No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional 61 Pasal 15 UU No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

  Pasal 26 ayat ( 1) UU No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pendidikan Nonformal meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan

kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan, pendidikan keterampilan dan

pelatihan kerja, pendidikan kesetaraan, serta pendidikan lain yang dilaksanakan dalam bentuk lembaga

kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat, dan majelis taklim, serta satuan pendidikan yang sejenis. mandiri. Sebagaimana pendidikan formal, hasil pendidikan informal juga dapat diakui sama dengan pendidikan formal dan nonformal setelah peserta didik lulus ujian sesuai

   dengan standar nasional pendidikan.

  Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang

  

  terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Pendidikan dasar merupakan jenjang pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan menengah dan diselenggarakan dalam bentuk SD dan MI atau bentuk lain yang sederajat, serta SMP

  

  Pendidikan dasar merupakan prioritas di Indonesia karena selain sebagai hak

  

  warga negara, juga merupakan kewajiban bagi Pemerintah untuk membiayainya , serta

  

  kewajiban bagi orangtua untuk memberikannya kepada anaknya. Kewajiban ini ditegaskan kembali melalui Pasal 12 PP No. 47 Tahun 2008 Tentang Wajib Belajar :

  1. Setiap warga negara Indonesia usia wajib belajar wajib mengikuti program wajib belajar.

  2. Setiap warga negara Indonesia yang memiliki anak usia wajib belajar bertanggung jawab memberikan pendidikan wajib belajar kepada anaknya. bahwa pendidikan dasar tersebut murni sebagai layanan publik dimana pendanaannya ditanggung oleh Pemerintah. Dengan demikian, pendidikan dasar yang gratis bukan 64 65 Pasal 27 UU No.20 tahun 2003 tentang SPN

  Pasal 1 ayat (11) UU No.20 tahun 2003 tentang SPN Selain berdsarkan jenjang, Pendidikan formal juga dikelompokkan berdasarkan jenisnya, yaitu

pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan, dan khusus (Pasal 15 UU No.20 tahun 2003) 66 Pasal 17 UU No.20 tahun 2003 tentang SPN merupakan kebaikan atau prestasi pemerintah daerah tetapi hanya sebagai bentuk konsistensi pelaksanaan konstitusi; justru kalau ada lembaga pendidikan dasar yang memungut biaya atau pemerintah daerah yang membiarkan hal tersebut terjadi merupakan pelanggaran terhadap konstitusi dan harus diberi sanksi, termasuk orangtua yang tidak memberikan pendidikan dasar kepada anaknya.

  Pendidikan menengah sebagai lanjutan pendidikan dasar terdiri dari pendidikan menengah umum dan menengah kejuruan yang diselenggarakan dalam bentuk SMA, MA, SMK, dan MAK, atau bentuk lain yang sederajat. UUD 1945 tidak mewajibkan Pemerintah atau pemerintah daerah untuk membiayai pendidikan menengah ini sebagaimana halnya dengan pendidikan dasar. Namun demikian Pemerintah berusaha

   meningkatkan akses pendidikan menengah ini melalui pemberian dana BOS.

  Tidak adanya kewajiban konstitusional Pemda untuk mendanai atau memberikan pendidikan menengah secara gratis telah mengakibatkan issu ini menjadi bahan kampanye calon kepala daerah. Dirjen Pendidikan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Hamid Muhammad mengatakan bahwa hal tersebut merupakan

   Pendidikan Tinggi adalah jenjang pendidikan yang tertinggi setelah pendidikan

  menengah yang mencakup program diploma, sarjana, magister, doktor, dan profesi,

  

  serta spesialis, yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi Berdasarkan jenisnya, 69 Menguatkan Pendidikan Menengah. Diakses dari Pada tanggal 20 Nop.2012. 70 Kampanye Sekolah Gratis tidak Mendidik. Diakses dari

  pendidikan tinggi dikelompokkan ke dalam tiga kelompok, yaitu pendidikan akademik, vokasi, dan profesi.

  Pendidikan akademik diarahkan pada penguasaan dan pengembangan cabang ilmu pengetahuan dan teknologi, sementara pendidikan vokasi diarahkan untuk menyiapkan mahasiswa untuk pekerjaan dengan keahlian terapan, dan pendidikan profesi untuk menyiapkan mahasiswa dalam pekerjaan yang memerlukan persyaratan

  

  keahlian khusus. Sama halnya dengan pendidikan menengah, UUD 1945 tidak mewajibkan Pemerintah untuk membiayai pendidikan tinggi ini.

  Masing-masing jenjang dan jalur pendidikan sebagaimana dijelaskan di atas dikelola dan diselenggarakan oleh organ-organ atau struktur tersendiri yang merupakan bagian dari struktur pendidikan yang tanggungjawabnya ada pada Pemerintah yang bertanggungjawab di bidang pendidikan, dalam hal ini Kemendikbud. Walaupun masing-masing jenjang dan jenis pendidikan tersebut di kelola dan diselenggarakan oleh organ-oragan tersendiri, namun semuanya merupakan bagian atau subsistem dari SPN sehingga penyelenggaraanya bermuara pada satu tujuan yaitu tujuan pendidikan

  Prase “berdasarkan kebudayaan bangsa Indonesia” menegaskan bawah penyelenggaraan pendidikan

tinggi di Indonesia harus berkarakter kebudayaan Indonesia, walaupun tidak ada penjelasan atau

pengertian yang lebih luas tentang penyelenggaraan pendidikan tinggi yang “berdasarkan kebudayaan

  Struktur dari keseluruhan pendidikan nasional tersebut diatas dapat digambarkan sebagai berikut : Gbr 3. Struktur Pendidikan Indonesia

  

Gbr.2. Struktur Pendidikan Indonesia

Usia Pendidikan Sekolah Pendidikan Luar Sekolah

Age School Education Out-Off School Education

Nonformal Informal

PERGURUAN TINGGI/PTAI PASCA SARJANA

  Higher Education/Islamic HE Post Graduate Perguruan Tinggi/ PT AI Sarjana/Diploma

  Higher Education / Islamic HE Graduate/Diploma Sekolah Menengeha

  MAGANG Senior Secondary School

  Apremticeship Atas Kejuruan

  Vocational General MA SMA MAK SMK PAKET C

  Islamic General Islamic Vocational Packet C

  General Vocational

SMP

MTs

  PAKET C

Junior

Islamic Junior

  

Secondary School

Packet C

  Secondary School

SD

  Primary School PAKET A Islamic Primary School Packet A

BA/RA TK

  Kelompok Bermain Islamic Kindergarten Kindergarten

  Play Group Taman Penitipan Anak Day Care Center

  Sumber : Ministry of National Education.2007

B. Pengaturan Pendidikan Tinggi Sebagai Subsistem Pendidikan Nasional

1. Perkembangan regulasi pendidikan tinggi di indonesia

  Hukum diperlukan untuk menjaga ketertiban dalam masyarakat karena hukum

  

  merupakan kontrol sosial dari Pemerintah. “Law itself is a sosial control. Dengan demikian, aturan hukum dalam bidang pendidikan tinggi merupakan kontrol sosial Pemerintah terhadap pelaksanaan pendidikan tinggi guna mencapai tujuan pelaksanaa pendidikan tinggi tersebut.

  Permasalahan yang dihadapi suatu negara senantiasa akan berubah seiring dengan perkembangan jaman karena masing-masing zaman memiliki tantangan dan permasalahan sendiri-sendiri, termasuk dalam bidang pendidikan tinggi. Dalam hal demikian, di negara yang berdasarkan hukum seperti Indonesia, hukum hadir sebagai sebagai instrumen untuk beradaptasi terhadap perkembangan tersebut, dan sebagai alat membuat masyarakat berdaptasi terhadap perubahan tersebut (law as a sosial

  engineering ).

  Di awal kemerdekaan Indonesia, khususnya setelah Belanda menyerahkan Darurat (Uudrt) Nomor 7 Tahun 1950 (7/1950) tentang Perguruan Tinggi yang bertujuan untuk menyesuaikan segala aturan yang sudah ada sebelumnya dengan situasi negara pada saat itu dibawah Republik Indonesia Serikat.“ Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan Republik Indonesia Serikat diwajibkan mengambil segala tindakan dalam waktu sependek-pendeknya dengan, jika perlu, menyimpang dari

  

  segenap peraturan-peraturan” Hal ini berarti bahwa konsep pendidikan yang diberlakukan selama masa penjajahan harus segera diganti dengan konsep pendidikan yang sesuai dengan budaya dan kepentingan Indonesia pada saat itu.

  Keterlibatan Masyarakat dalam upaya mencerdaskan bangsa melalui pendirian PTS sudah terjadi sejak dulu. Untuk menciptakan ketertiban dalam pengelolaan PTS tersebut, Pemerintah secara bertahap mulai menata PTS melalui peraturan perundang- undangan, salah satunya melalui PP No. 23 Tahun 1959 Tentang Peraturan Ujian Negara Untuk Memperoleh Gelar Universiter Bagi Mahasiswa Perguruan Tinggi Swasta. Di dalam peraturan tersebut diatur bahwa persyaratan bagi mahasiswa PTS

  

  untuk mengikuti ujian negara adalah:

  

  a. berasal dari Perguruan Tinggi Swasta yang memenuhi syarat;

  b. berijazah negeri Sekolah Menengah Umum tingkat Atas;

  c. telah mengikuti pendidikan dengan teratur pada Perguruan Tinggi Swasta sekurang-kurangnya 4 (empat) tahun untuk ujian universiter sarjana atau sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, untuk.ujian universiter sarjana muda;

  d. dan telah lulus dalam ujian sarjana atau sarjana muda pada Perguruan Tinggi Swasta;

  e. menyampaikan keterangan tentang hasil-hasil yang dicapai bagi tiap jenis ujian pada Perguruan Tinggi Swasta kepada Panitia Ujian.

  f. membayar uang ujian yang jumlahnya ditetapkan oleh Menteri.

  74 75 Pasal 1 UU Darurat (Uudrt) Nomor 7 Tahun 1950 (7/1950) Tentang Perguruan Tinggi

Pasal 7 Ayat (1) PP No. 23 Tahun 1959 Tentang Peraturan Ujian Negara Untuk Memperoleh Gelar Universiter Bagi Mahasiswa Perguruan Tinggi Swasta.

  76 Pasal 8 PP No. 23 Tahun 1959 Tentang Peraturan Ujian Negara Untuk Memperoleh Gelar Universiter Bagi Mahasiswa Perguruan Tinggi Swasta . Perguruan Tinggi Swasta yang memenuhi persyaratan adalah :a). perguruan tinggi tersebut

berbentuk suatu badan hukum, yayasan atau perhimpunan yang telah diakui oleh Pemerintah; b). telah

didaftarkan pendiriannya pada Kementerian dan telah beIjalan sekurang-kurangnya selama 3 tahun; c).

tata pelajaran bagi tiap cabang; ilmu pengetahuan sama dengan tat a pelajaran pada Fakultas Negara; dan

  

d). susunan tenaga pengajar sama dengan susunan tenaga pengajar pada Fakultas Negara dan mutu

  Mahasiswa yang berhak mengikuti ujian negara adalah mereka yang lulus dari universitas yang memenuhi persyaratan, yaitu : a. Perguruan tinggi tersebut berbentuk suatu badan hukum, yayasan atau perhimpunan yang telah diakui oleh Pemerintah; b. Telah terdaftar pada Kementerian dan telah berjalan sekurang-kurangnya selama 3 tahun; c. Mata pelajaran bagi tiap cabang ilmu pengetahuan sama dengan tata pelajaran pada Fakultas Negara; d. Susunan tenaga pengajar sama dengan susunan tenaga pengajar pada Fakultas Negara dan mutu kecakapannya diakui oleh Fakultas Negara.

  Upaya Pemerintah dalam menciptakan ketertiban dalam penyelenggaraan PTS telah melahirkan diskriminasi negara terhadap warga negara. Warga negara yang menempuh pendidikan tinggi pada PTS harus menempuh prosedur yang lebih panjang dimana mereka harus mengikuti ujian negara untuk mendapatkan gelar.

  Tahun 1961, Pemerintah kemudian melakukan penyempurnaan terhadap aturan perguruan tinggi ini melalui UU No. 22 tahun 1961 tentang Perguruan Tinggi.

  Lahirnya undang-undang ini merupakan satu kemajuan dalam sejarah perkembangan pendidikan tinggi di Indonesia karena untuk pertama kalinya tujuan pendidikan tinggi

  

  1. Membentuk manusia susila yang berjiwa Pancasila dan bertanggung jawab akan terwujudnya masyarakat sosialis Indonesia yang adil dan makmur, materiil dan spiritual:

  2. Menyiapkan tenaga yang cakap untuk memangku jabatan yang memerlukan pendidikan tinggi dan yang cakap berdiri sendiri dalam memelihara dan memajukan ilmu pengetahuan;

  3. Melakukan penelitian dan usaha kemajuan dalam lapangan ilmu pengetahuan, kebudayaan dan kehidupan kemasyarakatan.

  Peranan pendidikan tinggi dalam menjaga dan melestarikan kebudayaan bangsa serta sebagai motor pembangunan nasional telah ditegaskan dalam undang-undang pendidikan tinggi ini. Di dalam pertimbangannya disebutkan bahwa pembuatan undang-

  

  undang tersebut:

  1. Untuk kepentingan perkembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan kebudayaan kebangsaan Indonesia umumnya, kemajuan rakyat di bidang pendidikan dan pengajaran khususnya, terutama dalam rangka pelaksanaan pembangunan nasional semesta berencana.

  2. Sebagai aturan hukum bagi pendidikan tinggi dalam melaksanakan manifesto politik Republik Indonesia sebagai garis-garis besar haluan Negara, khususnya di bidang pendidikan.

  Diskriminasi terhadap PTS masih dipertahankan dalam undang-undang ini, dimana PTS masih dianggap sebagai perguruan tinggi yang belum mampu berdiri sendiri. Hal ini terlihat dari adanya kastanisasi terhadap PTS melalui pemberian status

   Terdaftar, Diakui, dan Disamakan, serta dibentuknya Lembaga Perguruan Tinggi

   Swasta (L.P.T.S.) oleh Pemerintah untuk membimbing dan mengawasi PTS dalam

   penyelenggaraan pendidikan. 78 79 Konsideran UU No. 22 tahun 1961 80 Pasal 25 UU Nomor 22 Tahun 1961 tentang Perguruan Tinggi Organ LPTS bertugas antara lain :a). memberikan bimbingan kepada dan pengawasan atas

penyelenggaraan Perguruan Tinggi Swasta, b). Mengusulkan kenaikan status perguruan tinggi swasta, c).

  

Melaporkan dan mengusulkan penutupan Perguruan tinggi Swasta yang menyalahi Dasar dan haluan

Negara atau tidak mempunyai kemampuan materiil/personil/spiritual untuk menyelenggarakan pendidikan

dan pengajaran tinggi.d). Memberi pertimbangan kepada Menteri untuk penggabungan beberapa

Perguruan Tinggi Swasta. 81 Pasal 24 UU Nomor 22 Tahun 1961 tentang Perguruan Tinggi Pada tahun 01 Feb 1968 dengan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 1/PK/1968

dibentuk 5 L.P.T.S. yang diberi nama Koperti. Tanggal 17 April 1975 Koperti diubah menjadi Kopertis

dan jumlahnya menjadi 7 (tujuh). Tgl 19 Feb 1982 dengan Kepmendikbud no. 062/0/1982 diperluas

menjadi 9 (sembilan) Kopertis dan terakhir pada tgl 15 Maret 1990 dengan kepmendikbud No.

0135/0/1990 menjadi 12 Kopertis yang dipertahankan sampai sekarang (Baca :

  PTS akan mendapat status Terdaftar jika Pendiri telah memberitahukan tentang berdirinya PTS tersebut kepada Menteri dengan menyampaikan akte notaris pendirian badan hukum yang menyelenggarakannya, anggaran dasar, harta kekayaan dan/atau sumber pendapatan yang diperuntukkan penyelenggaraan perguruan tinggi tersebut, rencana pelajaran dan daftar tenaga pengajar yang memuat riwayat pendidikan dan pekerjaan masing-masing pengajar serta pelajaran yang diberikannya paling lama enam

  

  bulan terhitung mulai PTS tersebut didirikan. PTS dengan status Terdaftar tidak dapat melakukan ujian secara mandiri. Sedangkan PTS dengan status Diakui telah berhak menyelenggarakan ujian sendiri dengan pedoman dan pengawasan Menteri, dan ijazahnya mempunyai nilai sama dengan ijazah PTN, sedangkan PTS dengan status Disamakan berhak menyelenggarakan ujian dan promosi sendiri dengan akibat yang

  

  sama dengan ujian dan promosi pada PTN . Secara berjenjang, PTS Terdaftar dapat ditetapkan menjadi Diakui, dan PTS Diakui dapat di tetapkan menjadi Disamakan oleh

84 Menteri atas usul LPTS.

  Bentuk perguruan tinggi yang ditetapkan dalan undang-undang ini adalah

  

  peraturan pemerintah . Universitas dan Institut negeri dipimpin oleh presiden universitas/institut yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Menteri setelah mendengar pertimbangan Senat. Sedangkan Sekolah tinggi dan akademi dalam 82 Pasal 26 UU Nomor 22 Tahun 1961 tentang Perguruan Tinggi

  Jika pendiri tidak melaporkan perihal pendirian perguruan tinggi tersebut dalam waktu yang

ditetapkan, maka Pemerintah dapat menetapkan ancaman pidana kepada Pendiri perguruan tinggi tersebut. Kelalaian dalam pelaporan tersebut termasuk pada kategori kejahatan 83 Pasal 26 UU Nomor 22 Tahun 1961 tentang Perguruan Tinggi lingkungan suatu departemen lain dari Departemen Perguruan Tinggi dan Ilmu pengetahuan diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan atas usul Menteri yang bersangkutan. Pendirian PTS pada masa ini lebih gampang karena badan hukum swasta (penyelenggara PTS) dapat menyelenggaran pendidikan tinggi terlebih dahulu baru kemudian dalam waktu paling lama 3 bulan setelah penyelenggaraan pendidikan tinggi tersebut wajib dilaporkan kepada Pemerintah.

  Semakin maraknya kehadiran PTS pada masa itu, maka untuk melindungi warga negara dari penyelenggaraan PTS yang tidak bertanggung jawab, Pemerintah mengeluarkan aturan baru dalam hal pendirian PTS, yaitu Perpres No. 15 Tahun 1965

   Tentang Pendirian Perguruan Tinggi Swasta . Penyelenggaraan pendidikan tinggi

  semakin diperketat dimana masyarakat yang ingin menyelenggarakan pendidikan tinggi harus terlebih dahulu mendapatkan ijin tertulis dari Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan.

   Untuk memenuhi tuntutan revolusi Indonesia pada tahun 1960an, Presiden

  Tentang Pokok-Pokok Sistem Pendidikan Nasional Pancasila. Dinyatakan bahwa pendidikan merupakan bagian integral dalam revolusi sehingga pendidikan harus difungsikan sebagai: 86 Konsideran Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 1965 Tentang Pendirian

  Perguruan Tinggi Swasta 87 Konsideran Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 1965 Tentang Pokok-Pokok

  1. Pembina manusia Indonesia baru yang berakhlak tinggi.

  2. Produsen tenaga kerja dalam semua bidang dan tingkatan.

  3. Lembaga pengembang Kebudayaan Nasional.

  4. Lembaga pengembang ilmu pengetahuan, teknik dan fisik/mental.

  5. Lembaga penggerak seluruh kekuatan rakyat.

  Tujuan pendidikan nasional dimulai dari pendidikan prasekolah sampai dengan pendidikan tinggi yang dimaksudkan untuk melahirkan warganegara-warganegara sosialis Indonesia yang susila, yang bertanggung-jawab atas terselenggaranya masyarakat sosialis Indonesia, adil dan makmur baik spirituil maupun materiil dan yang berjiwa Pancasila.

  Kehidupan berbangsa dan bernegara pada masa itu dimana politik merupakan panglima sangat terasa termasuk dalam bidang pendidikan. Hal ini terlihat dari susunan anggota Majelis Pendidikan Nasional sebagaimana diatur di dalam Kepres No. 14 tahun

  

1965 tentang Majelis Pendidikan Nasional , dimana para anggotanya terdiri dari semua

  unsur, yaitu Menko/Menteri yang mempunyai hubungan dengan Pendidikan dan Wakil Komisi Pendidikan D.P.R.-G.R, partai politik, yaitu wakil-wakil semua Partai Politik yang sah, golongan fungsionil, yaitu wakil-wakil dari Tani, Buruh, Pegawai, Pengusaha Nasional, Angkatan Bersenjata, Alim Ulama, Angkatan 45, Cendekiawan, Guru/Pendidikan, Budayawan/Seniman, Wartawan, Pemuda, Mahasiswa, Pramuka, daerah, yaitu wakil-wakil dari: Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, Irian Barat.

  Untuk meningkatkan penyelenggaraan dan pembinaan pendidikan tinggi sesuai dengan perkembangan universitas/institut negeri, Pemerintah kemudian mengeluarkan PP No. 5 Tahun 1980 tentang Pokok-pokok Organisasi Universitas/Institut Negeri yang mengatur tentang Kedudukan, tugas pokok dan fungsi universitas/institut, susunan organisasi universitas/institut, tatakerja universitas/institut, kedudukan dan tugas rektor dan pembantu rektor, biro, Fakultas, Jurusan, Lembaga Pengabdian pada Masyarakat, dan lain-lain. Pada tahun 1981, Pemerintah mengeluarkan lagi PP No. 27 tahun 1981 tentang Penataan Fakultas Pada Universitas/Institut Negeri.

  Untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam bidang pendidikan tinggi, dan sebagai penghargaan terhadap usaha-usaha positif yang dilakukan oleh PTS dalam melaksanakan Tridharma Perguruan Tinggi, Pemerintah kemudian mengeluarkan PP No. 39 Tahun 1982 Tentang Pemberian Bantuan Kepada Perguruan Tinggi Swasta.

  Untuk mendapatkan bantuan tersebut, PTS harus mengajukan permohonan kepada

  

  

Menteri dan memenuhi persyaratan, yaitu :

  1. Telah memiliki status dari Menteri;

  2. Telah dinilai cukup memiliki potensi dan secara riil telah menunjukkan usaha-usaha pengembangan yang positif;

  3. Mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku;

  4. Jumlah penerimaan uang yang lebih kecil dari biaya minimum perguruan tinggi;

  5. Memiliki sekurang-kurangnya 2 (dua) orang tenaga pengajar biasa yang diangkat oleh Penyelenggara Perguruan Tinggi Swasta serta memiliki Untuk memenuhi kebutuhan dan tuntutan perkembangan pendidikan nasional sebagai satu sistem guna memantapkan ketahanan nasional serta mewujudkan masyarakat maju yang berakar pada kebudayaan bangsa dan persatuan nasional yang berwawasan Bhinneka Tunggal Ika berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, pada tahun

  

  1989, Pemerintah memberlakukan UU No. 2 tahun 1989 tentang SPN. Setelah berlakunya UU No. 2 tahun 1989 ini, beberapa perubahan yang signifikan terjadi, antara lain melalui PP No. 30 tahun 1990 tentang Pendidikan Tinggi. Melalui Peraturan pemerintah ini, proses pengusulan PTN dan PTS sudah diatur bersamaan.

  Proses pengusulan pendirian Perguruan Tinggi yang didirikan oleh Pemerintah

  

  dan Masyarakat meliputi :

  1. Rencana induk pengembangan;

  2. Kurikulum;

  3. Tenaga kependidikan;

  4. Calon mahasiswa;

  5. Sumber pembiayaan;

  6. Sarana dan prasarana; 7. Penyelenggara perguruan tinggi.

  Selain dalam hal pendirian, dalam hal pengawasan juga Pemerintah sudah memperlakukan PTN dan PTS sama. Hal ini terlihat dari Pasal 121 PP No. 30 tahun 1990 yang menyebutkan bahwa :

  1. Menteri menetapkan tata cara pengawasan mutu dan efisiensi semua perguruan tinggi.

  2. Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan kependidikan, keadaan mahasiswa, pelaksanaan pendidikan, sarana dan prasarana, tatalaksana administrasi akademik, kepegawaian, keuangan, dan kerumahtanggaan.

  3. Penilaian sebagaimana dimaksud alam ayat (2) dilakukan oleh badan akreditasi yang diangkat oleh Menteri.

  4. Menteri menetapkan langkah-langkah pembinaan terhadap perguruan tinggi 90 berdasarkan hasil pengawasan mutu dan efisiensi.

  Dengan berlakunya UU No. 2 rathun 1989 ini maka beberapa peraturan mengenai pendidikan

tinggi dinyatakan tidak berlaku lagi, yaitu UU No. 22 Tahun 1961 tentang Perguruan Tinggi, UU Nomor

14 PRPS Tahun 1965 tentang Majelis Pendidikan Nasional dan UU Nomor 19 PNPS Tahun 1965 tentang

  Di dalam peraturan pemerintah ini, pendirian perguruan tinggi asing atau penyelenggaraan pendidikan tinggi oleh pihak asing tidak diizinkan. Di dalam Pasal 120 dikatakan :

  1. Pihak asing dilarang mendirikan perguruan tinggi atau menyelenggarakan pendidikan tinggi di wilayah Republik Indonesia.

  2. Larangan penyelenggaraan pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi penerimaan mahasiswa, proses belajar mengajar, penilaian hasil belajar mengajar, dan upacara pemberian ijazah kepada peserta program yang berhasil yang biasa disebut wisuda.

  Walaupun kehadiran PTA dilarang, namun kerja sama dengan PTA diperbolehkan

  

  dalam bentuk :

  1. Tukar menukar dosen dan mahasiswa dalam penyelenggaraan kegiatan akademik;

  2. Pemanfaatan bersama sumber daya dalam pelaksanaan kegiatan akademik;

  3. Penerbitan bersama karya ilmiah;

  4. Penyelenggaraan bersama seminar atau kegiatan ilmiah lain; 5. Bentuk-bentuk lain yang dianggap perlu.

  Penyempurnaan terhadap PP No. 30 tahun 1990 ini dilakukan dengan mengeluarkan PP No. 57 tahun 1998. Perubahan antara lain menyangkut tentang diberikannya kemungkinan bagi Pemerintah untuk membatalkan pengangkatan rektor/ ketua/direktur pada perguruan tinggi yang diselenggarakan oleh Masyarakat jika dalam pengangkatan tersebut tidak memenuhi persyatatan.

  Perubahan dilakukan kembali tahun 1999 dengan mengeluarkan PP No. 60 Tahun 1999 Tentang Pendidikan Tinggi. Beberapa perubahan antara lain mengenai masa jabatan Dekan dan ketua program studi yang sebelumnya 3 tahun menjadi 4 tahun, jenjang jabatan akademik dosen, dimana pada PP No. 30 tahun 1990 hanya terdiri dari Asisten, Lektor dan Professor menjadi Asisten, Lektor, Lektor Kepala dan Professor.

  Melalui peraturan pemerintah ini, perguruan tinggi asing sudah dapat diselenggarakan di Indonesia melalui pendirian perguruan tinggi baru secara patungan dengan mitra kerja Indonesia, dengan mengikuti sistem pendidikan serta syarat dan tata

   cara pendirian yang berlaku bagi pendidikan tinggi Indonesia.

  Niat Pemerintah untuk memberikan otonomi kepada PTN melalui PP No. 60 tahun 1999 ini mulai muncul. Disebutkan bahwa perguruan tinggi yang diselenggarakan oleh Pemerintah yang telah mampu dan layak untuk dikelola secara mandiri dapat ditetapkan

  

  status hukumnya menjadi Badan Hukum yang mandiri. Hal ini kemudian ditindak lanjuti dengan mengeluarkan PP No. 61 Tahun 1999 tentang Badan Hukum Milik Negera (BHMN).

  Penetapan PTN yang sudah mapan menjadi PT-BHMN dilatar belakangi oleh

  

  pemikiran untuk menciptakan PTN sebagai kekuatan moral yang mandiri dan otonom guna meningkatkan daya saing nasional dalam rangka mengantisipasi proses globalisasi memenuhi persyaratan, yaitu PTN yang efisien dan berkualitas, memenuhi standar minimum kelayakan finansial, serta telah mampu menerapkan prinisp prinsip ekonomis

   dan akuntabilitas.

  93 94 Pasal 125 PP No. 60 tahun 1999 tentang Perguruan Tinggi

Pasal 123 PP No. 60 tahun 1999

  Sejak diberlakukannya PP No. 61 tahun 1999 ini, Pemerintah telah menetapkan tujuah (7) PTN menjadi PT-BHMN, yaitmelalui PP No. 152 Tahun 2000, melalui PP No. 152 Tahun 2000, daberdasarkan PP No. 56 Tahun 2003, ng ditetapkan berdasarkan PP No. 30 Tahun 2006.

  Sebagian kelompok masyarakat menolak status BHMN ini karena adanya kekhawatiran akan terjadinya privatisasi dan komersialiasasi dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi yang berakibat pada mahalnya uang kuliah khususnya pada PTN

  

  favorit. Menurut Perhimpunan Pemuda Indonesia di berbagai bahwa BHMN merupakan trik baru liberalisasi PTN (supaya PTN bisa mencari uang tambahan sendiri

   amun hal tersebut dibantah oleh Sofian Effendi.

  Salah satu dasar pertimbangan dibuatnya UUSPN adalah untuk mampu menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan tersebut khususnya dalam hal

  

  manajemen pendidikan. . Salah satu cara yang dianggap dapat mewujudkan hal tersebut adalah dengan mewajibkan semua satuan pendidikan berbentuk badan hukum 97 Masalah Pendidikan di Indonesia. Diakses dariada tanggal 10 Septemerb 2012. 98 Naskah Kerja. PENDIDIKAN TINGGI DI EROPA:Pengalaman dan Masukan dari PPI Prancis,

PPI Belgia, PPI Jerman dan PPI Swiss untuk Pendidikan Tinggi Di Indonesia. Diakses dari

  

pada tanggal 20 September

2012 99 Sofian Effendi. Meluruskan Makna Pt-BHMN. diakases dari http://Sofian.Staff.Ugm.Ac.Id

   pendidikan sebagaimana diatur di dalam Pasal 53 Ayat (1) UUSPN.

  Pasal ini yang kemudian menjadi dasar dibuatnya UU No 9 tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (UUBHP).

  Walaupun undang-undang ini dilandasi oleh prinsip-prinsip nirlaba, akuntabilitas, transparan, jaminan mutu, dan lain-lain, beberapa kelompok masyarakat tetap

  

  menolaknya dengan kekhawatiran akan terjadinya komersialiasasi pendidikan. Isu lainnya adalah adanya kesan negara hendak melepaskan tanggung jawab konstitusionalnya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana termaktub dalam

  

  Pembukaan UUD 1945. “ UU Badan Hukum Pendidikan memiliki roh kongsi dagang, mengingat lebih banyak mengacu kepada Washington Consensus dan

  

  ditindaklanjut dari persetujuan WTO dan GATS.” Kecurigaan bahwa UUBHP ini mendukung liberalisasi dan komersialisasi pendidikan yang akan menghapus hak masyarakat yang kurang namun memiliki potensi akademik tinggi untuk mendapatkan

  

  pendidikan dibantah oleh Nurdin. Bantahan akan terjadinya komersialialisasi pendidikan tersebut juga dibantah oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia. 101

  Di dalam Penjelasan Pasal 53 UU No. 20 tahun 2003 disebutkan bahwa “ Badan hukum

pendidikan dimaksudkan sebagai landasan hukum bagi penyelenggara dan/atau satuan pendidikan, antara

lain, berbentuk badan hukum milik negara (BHMN).

  Ketentuan ini mensyaratkan bahwa hanya ada satu bentuk badan hukum yang dapat

menyeneggarakan pendidikan formal, yaitu BHMN. Ketentuan ini kemudian dinyatakan tidak mempunyai

kekuatan hukum (dibatalkan) oleh MK dengan nomor putusan 11-14-21-126-136/PUU-VII/2009. 102 UU BHP: Liberalisasi dan Komersialisasi Pendidikan? Diakses dari http://forum.kompas. com/

sekolah-pendidikan/11589-uu-bhp-liberalisasi-dan-komersialisasi-pendidikan.html pada tanggal 10

Oktober 2012 103 Eko Prasojo . Kontroversi UU BHP. Diakses dari

  12/21/kontroversi-uu-bhp/ Tanggal 8 Agustus 2012. 104 Stefanus Hironimus Pita. Perlawanan Serikat Mahasiswa Indonesia terhadap Neo-Liberalisme

  “ UU BHP tidak melegalisasi komersialisasi pendidikan di Indonesia. Perguruan tinggi

  

  dilarang mencari keuntungan sepihak dan merugikan para mahasiswa.“ Pada tanggal

  17 Juli 2009 Pemerintah kemudian mengeluarkan Permendikanas No. 32 Tahun 2009 Tentang Mekanisme Pendirian Badan Hukum Pendidikan, Perubahan Badan Hukum Milik Negara Atau Perguruan Tinggi, Dan Pengakuan Penyelenggara Pendidikan Tinggi.

  Penolakan sebagian kalangan masyarakat terhadap UU BHP ini akhirnya berakhir di Mahkamah Konstitusi yang diputus pada tanggal 31 Maret 2010 dengan putusan Nomor 11-14-21-126-136/PUU-VII/2009 yang menyatakan bahwa UU No. 9 Tahun 2009 tentang BHP bertentangan dengan UUD 1945. Sebagai konsekuensinya, PT- BHMN harus dikembalikan menjadi PTN. Universitas Pendidikan Indonesia dan Institut Teknologi Bandung yang pada saat itu sudah berstatus PT-BHMN ditetapkan kembali

   menjadi perguruan tinggi yang diselenggarakan oleh pemerintah (PTN).

  Salah satu peraturan pelaksana UUSPN adalah PP No. 17 tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan. Di dalam peraturan pemerintah ini tidak BHP. Pasca dibatalkannya UUBHP tersebut, Pemerintah melakukan revisi terhadap PP

  

  No.17 tahun 2010 melalui PP No. 66 tahun 2010 dengan beberapa penyempurnaan 106

  Berita SPMB/PMB/UMPTN/SMPTN/UN. Diakses dari d_menu=berita&&id=4&&judul=UU%20BHP%20Tidak%20Untuk%20Melegalkan%20Komer

sialisasi%20Pendidikan pada tanggal 10 Agustusn 2012 107 Masing-masing berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 43 Tahun 2012 dan Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2012

  

  teramasuk penambahan beberapa ketentuan termasuk tentang akses pendidikan,

  

  beasiswa, bantuan pendidikan bagi WNI dan WNA, dan organ dan tata kelola PTN.

  Untuk menghasilkan pendidikan tinggi yang mampu meningkatkan daya saing bangsa dalam menghadapi globalisasi serta untuk mewujudkan keterjangkauan dan pemerataan, Pemerintah memberlakukan UU Pendidikan Tinggi yang juga menimbulkan kontroversi bagi kalangan akademisi dengan berbagai alasan, khususnya menyangkut pendidikan asing yang dianggap sebagai pintu bagi komersialisasi pendidikan tinggi.