BAB II FUNGSI UANG DAN KEADAAN EKONOMI AWAL KEMERDEKAAN INDONESIA 2.1 Sekilas Peranan Uang Dalam Masyarakat dan Negara - Oeang Republik Indonesia Daerah (ORIDA) di Sumatera Utara 1947-1950

BAB II FUNGSI UANG DAN KEADAAN EKONOMI AWAL KEMERDEKAAN INDONESIA

2.1 Sekilas Peranan Uang Dalam Masyarakat dan Negara

  Kemajuan perekonomian dalam masyarakat mengantarkan pengenalan akan uang sebagai alat tukar yang dapat diterima menjadi pengukur nilai dan sesuai dengan barang yang akan dipertukarkan. Pada perekonomian tingkat awal yang sering ditemukan pada masyarakat yang masih primitif, setiap individu harus berusaha menghasilkan segala kebutuhan pribadi ataupun sebatas kebutuhan keluarga kecilnya. Usaha untuk memproduksi sesuatu yang memuaskan bagi orang lain dapat dikatakan belum ada pada tahapan ini sehingga keberadaan alat tukar masih belum dibutuhkan.

  Namun, suatu kenyataan terutama karena faktor alam yang mengakibatkan suatu jenis barang terdapat banyak pada suatu tempat, namun di tempat lain sangat jarang ditemukan. Misalnya, di suatu daerah pantai yang ditemukan ikan dalam jumlah yang besar, sedangkan di daerah pegunungan banyak ditemukan buah-buahan.

  Di daerah lainnya, akibat kemampuan khusus dari anggota masyarakatnya ditemukan periuk dalam jumlah besar, kemudian ada daerah lainnya juga yang banyak ditemukan pacul. Keadaan yang menunjukkan tidak meratanya barang-barang itu mengakibatkan munculnya pertukaran secara langsung. Artinya, orang yang membutuhkan suatu jenis barang yang tidak ada di daerahnya berusaha untuk mendatangkan barang yang dibutuhkannya dari daerah yang memiliki jenis barang

  13 tersebut dalam jumlah besar. Sebagai ganti dari nilai barang tersebut diberikanlah barang-barang yang banyak terdapat di daerahnya dan yang disukai oleh si pemberi

  13 barang pertama tadi. Sistem pertukaran ini sering kita kenal dengan istilah “barter”.

  Pertukaran barang secara lansung tersebut hanya bisa terjadi bilamana kedapatan dua orang yang satu membutuhkan barang yang dijumpai oleh orang kedua, sedangkan orang ini membutuhkan barang yang dijumpai pada orang pertama. Pertukaran barang secara barter selanjutnya semakin sulit dijalankan bilamana kebutuhan-kebutuhan sudah beranekaragam macamnya, sebab akan sulit kemudian ditemukan pertukaran yang cocok dan saling membutuhkan dalam kondisi demikian. Dengan demikian dapat dipahami, semakin meningkatnya berbagai macam kebutuhan, maka dibutuhkan adanya suatu alat tukar untuk mempermudah melakukan pertukaran tersebut. Alat tukar yang mempermudah pertukaran barang itu kemudian disebut “uang”. Pada mulanya uang dibuat dari barang-barang yang disukai oleh

  14 masyarakat, mungkin karena khasiatnya atau sebab yang lain.

  Uang sebagai alat tukar kemudian berkembang penggunaannya mulai dari kegiatan pertukaran barang dalam satu kelompok, antar kelompok, hingga antar negara. Demikian juga halnya dengan benda yang dipergunakan sebagai uang

  15 semakin beranekaragam, mulai menggunakan logam berharga, hingga kertas.

  Seiring kemajuan ekonomi dunia yang semakin pesat sejak berlangsungnya revolusi 13 14 M. Manullang, Pengantar Teori Ekonomi Moneter, Djakarta: P.D. Aksara, 1969, hlm. 7. 15 Ibid ., hlm. 9.

  Solikin dan Suseno, Uang, Pengertian, Penciptaan, dan Peranannya Dalam Perekonomian , Jakarta: Pusat Pendidikan dan Kesekretariatan Bank Indonesia, 2002, hlm. 5.

  14 industri di Inggris pada abad ke-18, menyebabkan perdagangan berkembang cepat. Perkembangan perdangangan tersebut kemudian diikuti dengan permintaan uang yang semakin tinggi sebagai alat tukar. Kebutuhan akan logam emas dan perak yang pada masa itu berfungsi sebagai benda pembuat uang juga meningkat, namun pemenuhan permintaan akan logam mulia tersebut berjalan lambat. Sulitnya logam mulia sebagai bahan uang logam mengakibatkan semakin banyak negara-negara yang

  16 menggantikan uang logam menjadi uang kertas sebagai alat tukar.

  Fungsi uang selanjutnya bukan hanya sebagai alat tukar namun juga sebagai alat pengukur nilai dan penimbun kekayaan. Dengan keberadaan uang, masyarakat dapat dengan mudah memenuhi kebutuhannya karena dapat menggunakan uang sebagai alat pengukur nilai yang sepadan dengan barang yang dibutuhkan. Uang juga mempermudah masyarakat dalam menimbun kekayaan yang dimiliki, sebab resiko yang ditimbulkan lebih kecil dibanding meminjamkan kepada orang lain atau menginvestasikannya.

  Pada suatu negara, uang memiliki peranan penting dalam menjalankan kegiatan kenegeraan dan proses pembangunan untuk kemakmuran masyarakatnya.

  Negara adalah alat (agency) dari masyarakat yang memiliki kekuasaan untuk

  17

  mengatur hubungan-hubungan manusia dalam masyarakat. Untuk mengurusi hal-

  16 Kristaniarsi, Usaha Pemerintah Republik Indonesia Mengatasi Masalah Moneter Pada Masa Awal Kemerdekaan (1945-1946), Skripsi Sarjana Universitas Indonesia, Jakarta, 1987, hlm. 5. 17 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Edisi Revisi), Jakarta: P.T Gramedia Pustaka Utama, 2008, hlm. 47.

  15 hal tersebut, negara harus mengeluarkan uang sebagaimana kita ketahui bahwa negara memiliki anggaran penerimaan dan pengeluaran.

  Berbeda dengan anggaran rumah tangga (partikulir) yang harus melihat dahulu berapa penerimaannya baru kemudian ditentukan berapa yang akan dikeluarkan. Dalam anggaran penerimaan dan pengeluaran negara justru sebaliknya, negara harus terlebih dahulu menentukan berapa yang akan menjadi pengeluaran agar usaha yang akan dijalankan pemerintah dapat berjalan sesuai rencana. Setelah semua hal tersebut dilaksanakan baru kemudian direncanakan berapa pemasukan dalam kas negara sebagai penerimaannya, supaya penerimaan tersebut dapat menutupi biaya-

  18 biaya pengeluaran pemerintah.

  Dalam perekonomian modern, pada suatu pemerintahan yang struktur pemerintahannya sudah tertata baik, penguasa negara menetapkan lembaga-lembaga yang mempunyai wewenang dalam hal pencetakan uang. Hal ini terjadi tidak lain karena keberadaan uang dianggap mewakili keberadaan negara, sehingga sangatlah wajar apabila ditetapkan lembaga atas nama negara atau pemerintahan yang berwenang dalam hal penciptaan uang. Pada umumnya, lembaga ini dikenal sebagai otoritas moneter atau bank sentral.

  Banyak negara saat ini umumnya mempunyai mata uang yang terbuat dari kertas. Dapat dikatakan juga, uang kertaslah yang lebih banyak dalam peredaran dibandingkan dengan mata uang lainnya. Hal ini disebabkan karena ongkos pembuatan uang kertas lebih murah dibanding mata uang logam, selain itu juga 18 Kristaniarsi, op. cit., hlm. 7.

  16 disebabkan kemudahan dalam memperoleh kertas serta membawa ketas dari satu tempat ke tempat lainnya. Nilai intrinsik pada mata uang kertas selalu lebih rendah dari nilai nominalnya, sesungguhnya mengapa masyarakat mau menerima mata uang kertas ini sebagai alat tukar terletak pada kekuasaan yang dimiliki pemerintah.

  Masyarakat dapat menerima uang kertas sebagai alat tukar sebab masyarakat percaya pada pemerintah yang memiliki otoritas dalam hal alat tukar. Karena atas dasar kepercayaan inilah sehingga ada yang mengatakan bahwa uang kertas sebagai “uang

  19 kepercayaan”.

  Sebagai alat tukar dan “uang kepercayaaan”, tentu pencetakan uang kertas harus disesuaikan dengan jumlah kebutuhan yang ada. Semakin besar jumlah uang

  20

  yang dicetak akan menimbulkan inflasi yang berujung pada penurunan kepercayaan masyarakat akan nilai uang tersebut, dan demikian sebaliknya. Untuk menjaga jumlah uang yang beredar sesuai dengan kebutuhan demi mencegah terjadinya inflasi dan

  

fluktuasi harga, pemerintah kemudian melakukan langkah-langkah moneter dan

kebijakan melalaui bank sentral.

2.2 Kondisi Keuangan dan Ekonomi Indonesia Awal kemerdekaan

  Proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 menjadi langkah baru bagi bangsa ini untuk memulai kehidupan berbangsa dan bernegara 19 20 M. Manullang, op.cit., hlm. 25-26.

  Pengertian Inflasi dapat diartikan sebagai kenaikan tingkat harga umum yang disebabkan karena peningkatan permintaan barang dan jasa, namun pemenuhan barang dan jasa itu tidak dapat meningkat secara seimbang. Lihat Oey Beng To, op.cit., hlm. 48.

  17 yang merdeka. Kemerdekaan yang baru saja diperoleh bangsa ini ternyata harus menerima kenyataan pahit akibat kondisi ekonomi pada awal periode ini begitu buruk, baik secara makro maupun mikro sebagai peninggalan penjajah. Hancurnya sebagian besar aparat produksi, distribusi, dan jaringan perdagangan internasional setelah pendudukan Jepang, mengakibatkan kesulitan-kesulitan yang mendalam di awal periode kemerdekaan.

  Kekacauan ekonomi, khususnya masalah keuangan yang telah berlangsung dari masa perang dunia ke II, semakin parah pada masa pendudukan Jepang dan terus berlanjut hingga masa awal kemerdekaan Indonesia. Pada masa pendudukan Jepang, sistem ekonomi perang yang diterapkan Jepang di Indonesia membutuhkan dana yang tidak sedikit untuk membiayai kegiatan perang di Asia Pasifik. Sebagai upaya menutupi devisit anggaran pengeluaran, Pemerintah Militer Jepang kemudian

  21

  mengeluarkan uang kertas militer di Indonesia. Namun pengeluaran uang ini ternyata tidak berdasarkan pada jaminan logam mulia dan yang paling memprihatinkan, pengeluaran uang Jepang tidak diimbangi dengan banyaknya

  22

  persediaan barang yang diperdagangkan. Pada waktu uang kertas militer tersebut dikeluarkan, mata uang yang berlaku di Indonesia terdiri dari uang De Javasche Bank

  

(DJB) , Uang kertas Pemerintahan Belanda (muntbilyet), serta uang logam yang di

21 Selama 3 tahun pendudukan Jepang di Indonesia, Jepang telah mengeluarkan tiga jenis mata uang yaitu, Japansche Regeering (menggunakan bahasa Belanda dan Gulden sebagai satuan uang) , Dai Nippon Teikoku Seihu (menggunakan Bahasa Indonesia dan Rupiah sebagai satuan uang), dan uang Pemerintah Dai Nippon. Lihat Bank Indonesia, Pameran Koleksi Uang Bank Indonesia, Museum Artha Suaka . Jakarta pusat: Tanpa penerbit dan tahun terbit, hlm. 20. 22 Kristaniarsi, op. cit., hlm. 35.

  18

  23

  keluarkan oleh De Javasche Bank. Uang militer Jepang kemudian membanjiri Indonesia dan mendorong meningkatnya inflasi terutama sejak tahun 1943 hingga 1945. Pada pertengahan tahun 1945 mata uang invasi Jepang bernilai sekitar 2,5%

  24 dari nilai nominalnya.

  Inflasi besar di wilayah Indonesia terbukti dengan perbandingan angka antara jumlah uang yang beredar dengan jumlah produksi makanan yang terus menurun.

  Penurunan produksi makanan itu dipengaruhi secara signifikan oleh kondisi perang yang mulai terjadi di wilayah indonesia memasuki tahun 1940. Produksi makanan semakin menurun pada masa pendudukan Jepang, banyak masyarakat direkrut dalam kepentingan perang dan mengesampingkan masalah pertanian. Jumlah penurunan produksi makanan di Jawa sejak tahun 1941 sampai 1944 dapat dilihat melalui angka penurunan produksi makanan Pulau Jawa di bawah ini:

  Tahun Padi Palawija 1941 89. 939. 807 121.525.781 1942 83. 081. 989 118.054.781 1943 81. 125. 225 107.109.669 1944 68. 115. 550 90.055.664

  25

  (Jumlah dalam kwintal, 1kwintal=100 kilogram) Jumlah produksi makanan di Pulau Jawa tentu membuat keberadaan bahan makanan sangat terbatas keberadaannya di tengah masyarakat. Terbatasnya jumlah 23 24 Oey Beng To, op.cit., hlm. 22.

  Ricklef, M.C., Sejarah Indonesia Modern (terj.), Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1991, hlm. 300. 25 Kristaniarsi, op.cit., hlm. 30.

  19 kebutuhan yang diinginkan mengakibatkan harga kebutuhan tersebut meningkat di Pulau Jawa, keadaan itu semakin parah ketika jumlah uang yang beredar sangat banyak dan memperparah penurunan nilai uang tersebut. Di daerah Jawa, peredaran uang kertas militer hingga bulan Juli 1943 bertambah sekitar kurang dari 5 juta Rupiah setiap bulan, pada akhir tahun 1944 bertambah sekitar 50 juta Rupiah setiap bulan. Pada bulan Maret 1945, jumlah peredaran uang militer Jepang menembus 80 juta Rupiah, dalam bulan Mei bertambah menjadi 117 juta Rupiah, hingga pada bulan Agustus mencapai 369 juta Rupiah. Jika diperhatikan peredaran uang militer ini dibandingkan dengan jumlah produksi pangan di Jawa yang terus menurun sejak tahun 1941 hingga 1944, tentu saja dapat terlihat betapa rendahnya nilai mata uang tersebut di dalam proses perdagangan.

  Keadaaan perekonomian dan keuangan yang sangat kacau kemudian diperparah lagi dengan kedatangan tentara Sekutu bersama tentara NICA (Nederlands-Indische Civiele Administratie) pada tanggal 4 Oktober 1945 di Tanjung Priok, dan pendaratan berikutnya di beberapa daerah pada bulan September 1945.

  Kedatangan pasukan ini bertujuan untuk menerima penyerahan pemerintahan dari Jepang atas wilayah Indonesia. Pendaratan tentara Sekutu ini diikuti dengan pendudukan kota-kota besar di Indonesia dan penguasaan berbagai bank yang

  20 mengakibatkan wilayah Indonesia secara de facto terbagi atas wilayah Republik

  26 Indonesia dan wilayah pendudukan Belanda.

  Melalui Bank-bank yang berhasil dikuasai tersebut, NICA kemudian mengedarkan uang cadangan masa pendudukan Jepang di daerah-daerah yang mereka kuasai dan memicu membengkaknya peredaran uang di Indonesia. Uang Jepang yang berhasil dikuasai NICA sebesar 2 miliar Rupiah, dengan jumlah itu mereka mencoba

  27

  merusak harga pasar dan membayar harga barang jauh lebih tinggi. Kedatangan tentara NICA bukan hanya menghambur-hamburkan uang cadangan masa pendudukan Jepang, namun juga mengacaukan perekonomian Indonesia dengan

  28

  mengeluarkan uang NICA yang sebelumnya telah dipersiapkan sebelum memasuki wilayah Indonesia. Pengeluaran uang NICA terdiri atas 9 pecahan, mulai dari pecahan f. 50 sampai dengan f. 500, pengeluarannya di atur dalam koninlijk Besluit tanggal 2 Maret 1943 dan pencetakannya dilakukan pada American Company di

29 London.

  26 Terbaginya wilayah tersebut mengakibatkan wilayah kekuasaan Republik Indonesia hanya

  meliputi wilayah Pulau Jawa, Madura serta Pulau Sumatera. Dalam perjalalanan selanjutnya Letnan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Van Mook mengusulkan mengenai kemungkinan penerapan sistem federal di Indonesia dimana Indonesia pada gilirannya akan dibagi atas empat negara bagian yaitu, Jawa, Sumatera, Kalimantan dan Indonesia Timur, atau hanya tiga jika Sumatera diakui sebagai bagian dari Republik. L ihat Ba’im, Terbentuk dan Runtuhnya Negara RIS 1945-1950, Tesis Universitas Indonesia: Jakarta, 1996, hlm. 29-30. 27 28 Departemen Penerangan RI, 20 Tahun Indonesia Merdeka, jilid II, Jakarta, 1968, hlm. 662.

  Uang NICA d isebut juga dengan “uang merah”, hal ini didasarkan pada warna kemerah- merahan yang terdapat pada pecahan f. 10 uang NICA yang banyak beredar masa itu. Lihat Oey Beng To, op.cit., hlm. 18. 29 Ibid.

  21 Keadaan ekonomi semakin merosot seiring dengan peredaran berbagai jenis mata uang di Indonesia. Di lain sisi, pemerintah Indonesia tidak bisa menyatakan bahwa uang masa pendudukan Jepang tidak berlaku karena pada awal tahun 1945 negara Indonesia belum memiliki uang yang sah sebagai penggantinya. Untuk mengatasi peredaran berbagai jenis mata uang dan mengurangi dampak inflasi, maka pada tanggal 3 Oktober 1945 pemerintah mengeluarakan kebijakan melalui departemen keuangan tentang macam uang yang berlaku di Indonesia, terdiri dari:

  ”A. uang kertas 1.

  Dari “De Javasche Bank” dikeluarkan tahun 1925 sampai dengan tahun 1941 terdiri dari 8 macm yaitu: f. 1.000-, f. 500-, f. 200-, f. 100-, f. 50-, f. 25-, f. 10-, f. 5-.

  2. Dari pemerintah Belanda dahulu, yang dikeluarkan pada tahun 1940 dan 1941 terdiri dari dua macam, yaitu: f. 250-, dan f. 1-.

  3. Dari Pemerintah Balatentara Dai Nippon dan Djawa dahulu, terdiri dari 8 macam, yaitu: f. 100-. f. 10-, f. 5-. f. 1-, f. 0,50-, f. 0,10-, f. 0,05-, dan f. 0,01-.

  B. Uang logam Yang dikeluarkan oleh pemerintah Hindia Belanda dahulu sebelum tahun 1942:

  1. Dari emas seharga f. 10-, dan f. 5-.

  2. Dari perak seharga f. 2,50-, f. 1-, f. 0,50-, f. 0,25-, dan f. 0,10-.

  3. Dari nikel seharga f. 0,05-.

  4. Dari tembaga atau brons seharga f. 0,025-, f. 0,01-, dan f, 005-.

  22 Macam uang yang dianggap sah didaerah Republik di luar Jawa akan

  30

  ditetapkan dengan undang- undang lain.” Pengeluaran maklumat pemerintah tanggal 3 Oktober 1945 sebelumnya didahului dengan keluarnya maklumat tanggal 2 Oktober 1945 yang menyatakan bahwa pemerintah Republik Indonesia tidak mengakui uang NICA sebagai uang yang sah. Peredaran dan penggunaan uang NICA di wilayah yang dikuasai pemerintah Republik Indonesia kemudian dapat ditekan walau tak bisa dihentikan seluruhnya. Di daerah yang dikuasai pemerintah Republik Indonesia, peredaran uang NICA memang dapat dihentikan, namun di daerah yang telah diduduki tentara NICA penggunaan uang NICA sebagai uang yang sah terus berlanjut, terutama akibat tekanan-tekanan yang dilakukan tentara sekutu dan NICA yang menyatakan uang NICA adalah uang yang sah di kalangan masyarakat.

2.2 Upaya Pencetakan Oeang Republik Indonesia (ORI)

  Peredaran berbagai jenis mata uang yang memicu inflasi besar-besaran di Indonesia juga secara langsung telah mempengaruhi kas Negara Republik Indonesia dimana pada masa awal kemerdekaan berasal dari Fonds Kemerdekaan Indonesia

  31

  (FKI). Pemerintah Republik kemudian memiliki dua jalan terbuka dalam mengatasi siasat licik NICA yang telah mengacaukan perekonomian Indonesia. Adapun jalan pertama dengan mengintensifkan aparat pemungutan pajak dan jalan kedua adalah 30 31 Departemen Penerangan RI, op.cit., hlm. 660-661.

  J.D Parera (ed.), op.cit., hlm. 87.

  23 mencetak uang. Pengintensifan aparat pemungutan pajak di masa awal tahun kemerdekaan begitu sulit terlaksana akibat kondisi keamanan yang tidak terjamin, ditambah hubungan kantor-kantor perpajakan di setiap daerah juga terhalang akibat pendudukan Sekutu.

  Upaya pencetakan uang kemudian menjadi perhatian serius bagi pemerintah untuk menghadapi kekacauan ekonomi. Penjejakan tentang kemungkinan pencetakan uang akhirnya terjadi dalam pertemuan di kementrian keuangan (Lapangan Banteng) pada tanggal 24 Oktober 1945. Usaha ke arah pelaksanaan pencetakan uang selanjutnya segera dilaksanakan oleh Menteri Keuangan yang pada masa itu dijabat oleh Mr. A.A. Maramis. Sebuah tim kemudian dibentuk yang anggotanya berasal dari serikat buruh percetakan G. kolff di Jakarta dan juga wakil buruh dari Surabaya. Tim ini kemudian ditugaskan melakukan peninjauan beberapa percetakan di daerah Surabaya, Malang, Solo, dan Yogyakarta yang dapat dipercaya dalam pelaksanaan

  32 pencetakan uang.

  Pada tanggal 7 November 1945, Menteri Keuangan A.A. Maramis membentuk Panitia Penyelenggara Percetakan Uang R.I. yang bertugas untuk melaksanakan, mengawasi, dan mengamankan proses dan hasil pencetakan uang. Adapun susunan kepanitiaan ini terdiri dari Ir. R.P. Soerachman sebagai pengawas, dan T.R.B Sabarudin sebagai ketua panitia, keduanya berasal dari pegawai Kantor Besar Bank Rakyat Indonesia. Anggota-anggotanya yaitu, H.A. Padelaki (Kementrian 32 Tim Penyusun Penerbitan Naskah Sumber, Penerbitan Naskah Sumber: Oeang Republik Indonesia (ORI), Jakarta: Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), 2003, hlm. 1.

  24 Keuangan), M. Tabrani (Kementian Penerangan), M. Sugiono (Kantor Besar Bank Rakyat Indonesia), E. Koesnadi (Kas Negara Indonesia), R. Abubakar Winangun (Kementrian Keuangan), Osman (Pimpinan Serikat Buruh Percetakan Jakarta), Agoes

33 Soeryatama (Buruh percetakan Jakarta).

  Pada awalnya, Kota Surabaya direncanakan menjadi tempat pencetakan uang RI berdasarkan hasil penelitian tim awal yang telah dibentuk Mentri Keuangan.

  Persiapan kemudian dilaksanakan, bahkan pada tanggal 17 Oktober 1945, Menteri Keuangan telah membubuhkan tanda tangan pada bahan pencetak uang. Pada awal bulan November 1945 Panitia Pencetakan Uang RI telah menyiapkan klise yang dibutuhkan dan direncanakan uang baru akan dikeluarkan pada bulan Januari 1946. Namun semua persiapan yang telah direncanakan harus dibatalkan akibat pertempuran besar yang terjadi di Surabaya pada 10 November 1945.

  Pertempuran yang terjadi di Kota Surabaya mengakibatkan rencana proses pencetakan Uang Republik Indonesia tertunda. Surabaya tidak mungkin lagi dijadikan sebagai tempat pencetakan uang, selanjutnya pilihan jatuh ke Kota Jakarta. Di kota ini bahan-bahan yang diperlukan untuk pencetakan uang diperoleh dari berbagai pabrik melalui bantuan para karyawan yang membantu secara sukarela.

  Selain itu, ada juga yang diperoleh dengan cara mencuri pada malam hari seperti

33 Team Penyusun Sejarah Percetakan Uang RI, Percetakan Uang RI dari Masa ke Masa,

  Cukilan Fakta dan Peristiwa dari Masa Perjuangan Fisik Hingga Tahun 1957 , Jakarta: tanpa penerbit,1984, hlm. 28.

  25 mesin aduk pembuat tinta yang diambil dari Pabrik Pieter Choen, dan kertas yang di

  34 ambil dari Percetakan Kolff & Co.

  Upaya pembuatan desain dan bahan-bahan induk berupa negatif-negatif kaca dilakukan di Percetakan Balai Pustaka serta pembuatan lithoghrafi dilakukan di

35 Percetakan De Unie. Pencetakan Uang Republik Indonesia baru kemudian dimulai

  pada bulan Januari 1946 di Percetakan RI Salemba dengan cetakan pertama pecahan 100 Rupiah. Adapun uang yang direncanakan akan dicetak adalah dengan nilai 100 Rupiah, 10 Rupiah, 5 Rupiah, 1 Rupiah, ½ Rupiah, 10 sen, 5 sen, dan 1 sen.

  Pada awal Desember 1945 semua kegiatan pencetakan uang Republik harus dihentikan akibat kondisi Kota Jakarta yang tidak kondusif setelah aksi-aksi profokasi yang dilakukan tentera NICA. Semua uang hasil cetakan yang belum diberi nomor seri dan segala alat percetakannya dipindahkan ke Yogyakarta dengan menggunakan kereta api. Pemindahan tersebut berlangsung secara tiba-tiba agar tidak diketahui oleh tentera Sekutu. Sesampainya di Yogyakarta, uang hasil cetakan Jakarta yang terdiri atas pecahan 100 Rupiah, 10 Rupiah dan 5 Rupiah diserahkan pada satu bagian Kementrian Keuangan di Jalan Malioboro. Adapun sisa uang pecahan yang direncanakan akan dicetak sebelumnya di Jakarta, belum sempat dilaksanakan akibat kondisi yang tidak memungkinkan. Pada tanggal 3 Januari 1946 Ibukota 34 Upaya dalam memperoleh bahan-bahan yang diperlukan dalam mencetak uang dilakukan

  dengan cara mencuri karena pabrik-pabrik yang memiliki bahan keperluan pencetakan uang tersebut merupakan pabrik milik Belanda. Pabrik-pabrik tersebut telah dikuasai pasukan Sekutu sejak bulan Oktober 1945. 35 Tim Penyusun Penerbitan Naskah Sumber, op.cit., hlm 2-3.

  26 Pemerintahan Republik Indonesia juga turut dipindahkan ke Yogyakarta akibat kondisi kota Jakarta yang semakin tidak aman.

  Pencetakan uang Republik Indonesia kemudian dilanjutkan di Yogyakarta dengan mengandalkan Percetakan Canisius dan Percetakan Kolff Yogyakarta.

  Percetakan Canisius kemudian bertugas melanjutkan pencetakan ORI pecahan 1 Rupiah, 10 sen, 5 sen, 1 sen, dan penyelesaian uang hasil percetakan RI Jakarta yang belum bernomor seri. Sedangkan di percetakan Kolff Yogyakarta dilakukan pencetakan ORI pecahan 100 Rupiah dibawah pimpinan Marsidi. Pencetakan ORI juga dilakukan di Percetakan Gading Surakarta di bawah pimpinan Soedarbo dan

36 Soekijo.

  Akibat keadaan yang semakin genting, pencetakan ORI juga dilaksanakan di percetakan NIMEF (Nederlands-indische Metaalwaren en Emballage Fabriken) Kedalpayak, Malang. Percetakan ORI di daerah ini mendapat bantuan kertas dari Serikat Buruh Kertas Padalarang yang dipimpin Amat Sumadisastra. Kertas ini diperoleh dari Pabrik Kertas Leces di Probolinggo sebelum pabrik tersebut dikuasai tentera Sekutu. Bahan-bahan kimia untuk mencetak uang kemudian didatangkan dari Jakarta, selain itu juga ada yang diperoleh dari dr. Mustafa Zakir yang bekerja sebagai dokter perusahaan gula di Kediri dan dari beberapa pabrik gula di Jawa Timur. Dalam segala kesulitan terkait pencetakan Uang Republik Indonesia, hal-hal yang berkaitan tentang rencana pengeluaran uang tersebut sangat dirahasiakan agar tidak diketahui tentara NICA yang siap menggagalkan upaya pencetakan ORI. 36 Team Penyusun Sejarah Percetakan Uang RI, op.cit., hlm. 28-29.

  27 Demikian juga halnya kepada masyarakat, hal-hal yang berkaitan dengan rencana pengeluaran uang juga dirahasiakan agar tidak terjadi kegaduhan ekonomi akibat kebingungan masyarakat dengan munculnya jenis uang baru.

  Sebelum ORI diedarkan di masyarakat, pemerintah harus menarik semua uang Jepang dan uang Belanda dari peredaran, namun penarikan berbagai jenis uang yang beredar tidak dapat dilakukan secara tiba-tiba dan dengan menyatakan uang tersebut tidak berlaku lagi, hal ini guna menghindari kerugian besar yang akan dialami masyarakat jika kebijakan demikian dilaksanakan. Untuk itu, sebagai kebijakan pertama dari pemerintah, pada tanggal 9 Mei 1946 Presiden Soekarno mengeluarkan Undang-undang No. 4 Tahun 1946 tentang Pinjaman Nasional. Dalam kebijakan ini diharapkan masyarakat mau meminjamkan uang kepada pemerintahan negara yang diakuinya dengan sukarela dan tanpa paksaan, pinjaman ini akan dibayarkan kembali

  37 kepada masyarakat selambat-lambatnya 40 tahun dengan bunga uang 4% per tahun.

  Jumlah pinjaman uang yang diperoleh dari kebijakan Pinjaman Nasional ini berkisar 1 miliar Rupiah, dimana pinjaman pertama dilaksanakan di Pulau Jawa dan Madura sebesar 500 juta Rupiah, dan tahap berikutnya di Pulau Sumatera. Uang hasil pinjaman tersebut akan dipergunakan untuk menutupi anggaran belanja pemerintah pada bulan Juni dan Juli 1946, serta menjadi modal dasar pendirian Pusat Bank Nasional Indonesia yang kemudian berdiri pada tanggal 19 September 1946 dan direncanakan menjadi bank sirkulasi Negara Republik Indonesia. Bank ini baru kemudian resmi dibuka pada tanggal 17 Agustus 1946 melalui peraturan pemerintah 37 Kristaniarsi, op.cit., hlm. 75-76.

  28 pengganti undang-undang No. 2 tanggal 5 Juli 1946 dengan nama Bank Negara Indonesia (BNI). BNI kemudian bersama dengan Bank Rakyat Indonesia (BRI) menjadi ujung tombak penjualan obligasi dalam rangka kebijakan Pinjaman Nasional di setiap daerah. Kebijakan Pinjaman Nasional ini mendapat sambutan hangat dari masyarakat, terbukti setelah kebijakan ini dibuka tanggal 15 Mei 1945 dan ditutup pada 15 Juni 1946, dari dana yang dibutuhkan pada tahap I sebesar 500 juta Rupiah,

  38 telah diperoleh sebesar 70 % dari yang dibutuhkan.

  Langkah selanjutnya, untuk mengurangi jumlah uang yang masih banyak beredar, pemerintah kemudian mengeluarkan maklumat kementrian No. 11 tahun 1946 pada tanggal 12 April 1946. Peraturan itu kemudian dipertegas dengan ditetapkannya undang-undang No. 10 tahun 1946 oleh Presiden Soekarno. Dalam peraturan tersebut menekankan pembatasan pengiriman uang lewat pos atau bank lebih dari f. 1.000,- per hari. Dengan kebijakan ini pemerintah berharap adanya penekanan serbuan uang dari daerah yang dikuasai tentara NICA ke daerah kekuasaan Republik.

  Sebagai tahap akhir dari persiapan pengeluaran ORI, pada tanggal 5 juli 1946 Pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti

  39 Undang-Undang No. 3 tahun 1946 tentang kewajiban menyimpan uang dalam bank.

  Peraturan ini membatasi penggunaan uang di masyarakat yaitu untuk satu kelurga diperkenankan memiliki uang paling banyak f. 3000, bagi orang yang hidup sendiri 38 39 Ibid,. hlm. 76.

  Sekretariat Negara Republik Indonesia No. 376. (ARNAS)

  29

  (tidak dalam keluarga) diperkenankan memiliki uang paling banyak f. 1000,- Jika masyarakat memiliki uang yang lebih dari yang ditetapkan, dianjurkan untuk

  40

  menyimpan uangnya pada bank-bank yang telah disediakan pemerintah. Sementara, untuk perusahaan-perusahaan diadakan peraturan-peraturan tersendiri.

  Dalam upaya untuk menggiatkan masyarakat dalam menyimpan uang dalam bank dan persiapan menyambut peredaran ORI, pada tanggal 1 Oktober 1946 Pemerintah Republik Indonesia kemudian mengeluarkan undang-undang No. 17 tahun 1946 untuk meyakinkan masyarakat bahwa uang Republik Indonesia akan

  41

  segera dikeluarkan. Selanjutnya pada tanggal 26 Oktober 1946, pemerintah kembali mengeluarkan Undang-Undang no. 19 tahun 1946. Di dalam undang-undang ini pemerintah kemudian mentapkan dasar nilai dan dasar penukaran ORI terhadap uang pendudukan Jepang. Sebagai dasar nilai ORI ditentukan 10 Rupiah ORI sama dengan 5 gram emas murni. Untuk dasar penukaran ORI, di daerah Jawa ditentukan 1 Rupiah ORI sama dengan 50 Rupiah uang Jepang, sedangkan untuk daerah di luar Pulau

  42 Jawa dan Madura ditetapkan 1 rupiah ORI sama dengan 100 Rupiah uang Jepang.

  Penukaran uang Jepang dan ORI hanya dilakukan melalui perantara bank dan untuk sementara, uang yang dapat ditukar dengan ORI adalah uang Jepang yang telah disimpan di dalam Bank. 40 Adapun bank yang ditunjuk sebagai penerima simpanan berdasarkan kewajiban menurut

  peraturan tersebut adalah: Bank Negara Indonesia, Bank Rakyat Indonesia, Kantor Tabungan Pos, dan bank-bank lain yang mendapat izin dari Menteri Keuangan. Lihat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 3 tahun 1946. 41 42 Sekretariat Negara Republik Indonesia No. 343. (ARNAS) Sekretariat Negara Republik Indonesia No. 344. (ARNAS)

  30 Langkah peresmian berlakunya ORI kemudian ditandai dengan dikeluarkannya Keputusan Menteri Keuangan No. Ss/1/35 tanggal 29 Oktober 1946 tentang saat berlakunya ORI sebagai alat pembayaran yang sah, yaitu pada tanggal 30 Oktober 1946 tepat pukul 24.00. Selanjutnya mulai jam yang telah ditentukan, maka uang Hindia Belanda dan Uang pendudukan Jepang dinyatakan tidak berlaku lagi.

  43 Sebelum ORI diedarkan, timbul permasalahan tentang jaminan uang yang akan

  diedarkan, namun Wakil Presiden Moh. Hatta pada waktu itu berpendapat bahwa uang yang baru diedarkan tersebut tidak perlu dikeluarkan oleh suatu bank tetapi oleh pemerintah sendiri dengan dasar A-metalisme.

  44 Dalam hal ini kepercayaan rakyat

  kepada pemerintahnya adalah dasar terpenting keabsahan uang tersebut. Melalui RRI (Radio Republik Indonesia) Yogyakarta, wakil presiden Moh. Hatta kemudian menyampaikan pidatonya menyongsong keluarnya ORI pada tanggal 29 Oktober 1946, adapun bunyi pidatonya yaitu:

  “Besok mulai tanggal 30 Oktober 1946 adalah suatu hari yang mengandung sejarah bagi tanah air kita! Rakyat kita menghadapi penghidupan baru. Besok mulai beredar Uang Republik Indonesia sebagai satu-satunya alat pembayaran yang sah. Mulai pukul 12 tengah malam nanti, uang Jepang yang selama ini beredar sebagai uang yang sah, tidak berlaku lagi. Beserta dengan uang Jepang itu, ikut pula tidak laku uang De Javasche Bank. Dengan ini tutuplah suatu masa dalam sejarah keuangan Republik Indonesia . Masa yang penuh dengan penderitaan dan kesukaran bagi rakyat kita…”

  45

  43 Team Penyusun Sejarah Percetakan Uang RI, op.cit., hlm. 30. 44 Tim Penyusun Penerbitan Naskah Sumber, op.cit., hlm. 3. 45 Dikutip dari I Wangsa Widjadja dan Meutia f. Swasono, Mohammad Hatta, Kumpulan Pidato dari Tahun 1942 sampai dengan 1949 , Djakarta: Yayasan I Dayu, 1981, hlm. 105-106.

  31 Dalam pencetakan selanjutnya, ORI diterbitkan lima emisi, ORI emisi pertama bertuliskan “Djakarta 17 Oktober 1945” ditandatangani oleh A.A. Maramis, dalam 8 pecahan yaitu 1 sen, 5 sen, ½ Rupiah, 5 Rupiah, 10 Rupiah, dan 100 Rupiah. Emisi kedua bertuliskan “Djokjakarta 1 Januari 1947” ditandatangani oleh Mr. Sjafruddin Prawiranegara dalam 4 pecahan yaitu 5 Rupiah, 10 Rupiah, 25 Rupiah, dan 100 R upiah. Emisi ketiga bertuliskan “Djokjakarta 26 Djuli 1947” ditandatangi oleh A.A. Maramis dalam pecahan ½ Rupiah, 2 ½ Rupiah, 25 Rupiah, 50 Rupiah,

  100 Rupiah, dan 250 Rupiah. ORI Emisi keempat diterbitkan dengan bertuliskan “Djogjakarta 23 Agustus 1948” ditandatangani oleh Drs. Moh. Hatta dalam pecahan yang unik yaitu 40 Rupiah, 75 Rupiah,100 Rupiah, dan 400 Rupiah, sedangkan pecahan 600 Rupiah yang disiapkan belum sempat diedarkan. Emisi kelima bertuliskan “Djogjakarta 17 Agustus 1949” ditandatangani oleh Mr. Loekman Hakim dan merupakan Rupiah baru dalam pecahan 10 sen baru, ½ Rupiah baru, dan 100

46 Rupiah baru.

  Setelah beredar di Jawa dan Madura, peredaran ORI di Pulau Sumatera tidak sertamerta dapat terlaksana dengan baik. Belanda telah melakukan blokade ekonomi dengan menguasai pelabuhan-pelabuhan penting di Pulau Sumatera. Pengiriman ORI yang direncanakan dilaksanakan lewat jalur laut pun terkendala keamanan sehingga pengiriman uang ke wilayah Pulau Sumatera harus ditunda untuk sementara waktu. Pemerintah Indonesia kemudian mengeluarkan kebijakan bahwa untuk daerah di luar 46 Nani Maesraoh, Peranan Oeang Republik Indonesia (ORI) Dalam Periode Revolusi Kemerdekaan 1946-1950, Jurnal FIS Uiversitas Negeri Malang, Malang: 2013, hlm.18.

  32 Pulau Jawa dan Pulau Madura, untuk sementara waktu tetap menggunakan uang Jepang. Namun seiring berjalannya waktu pengiriman ORI ke Pulau Sumatera tidak dapat terealisasikan. Agresi militer Belanda I pada tahun 1947 justru mempersulit keadaan dan tidak memungkinkan lagi untuk pelaksanaan pengiriman ORI. Di lain sisi, kebutuhan keuangan di Sumatera terus meningkat seiring dengan upaya mempertahankan kemerdekaan Indonesia di Sumatera serta untuk kebutuhan pendaanaan pemerintahan daerah.

  33

Dokumen yang terkait

1. Nama: 2. Umur - Hubungan Pengetahuan dan Sikap Pekerja dengan Tindakan Pekerja dalam Penggunaan Alat Pelindung Pendengaran di Bagian Produksi Pabrik Kelapa Sawit PTPN IV Adolina Tahun 2015

0 0 21

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keselamatan dan Kesehatan Kerja - Hubungan Pengetahuan dan Sikap Pekerja dengan Tindakan Pekerja dalam Penggunaan Alat Pelindung Pendengaran di Bagian Produksi Pabrik Kelapa Sawit PTPN IV Adolina Tahun 2015

0 2 21

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Hubungan Pengetahuan dan Sikap Pekerja dengan Tindakan Pekerja dalam Penggunaan Alat Pelindung Pendengaran di Bagian Produksi Pabrik Kelapa Sawit PTPN IV Adolina Tahun 2015

0 1 8

HUBUNGAN PENGETAHUAN DAN SIKAP PEKERJA DENGAN TINDAKAN PEKERJA DALAM PENGGUNAAN ALAT PELINDUNG PENDENGARAN DI BAGIAN PRODUKSI PABRIK KELAPA SAWIT PTPN IV ADOLINA TAHUN 2015

0 0 13

BAB II GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN - Analisis Program Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Bagian Produksi dengan 5S dalam Konsep Kaizen Sebagai Upaya Pencegahan Kecelakaan Kerja di PT.Apindowaja Ampuh Persada

0 2 20

Analisis Program Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Bagian Produksi dengan 5S dalam Konsep Kaizen Sebagai Upaya Pencegahan Kecelakaan Kerja di PT.Apindowaja Ampuh Persada

0 0 20

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Pembuatan Biodiesel dari Mesokarp Buah Sawit dengan Teknologi Reactive Extraction

0 0 12

BAB I PENDAHULUAN - Pembuatan Biodiesel dari Mesokarp Buah Sawit dengan Teknologi Reactive Extraction

0 3 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Optimasi Pembuatan Biodiesel Dari Mesokarp Sawit dengan Teknologi Reactive Extraction Menggunakan Respone Surface Method (RSM)

0 0 12

BAB I PENDAHULUAN - Optimasi Pembuatan Biodiesel Dari Mesokarp Sawit dengan Teknologi Reactive Extraction Menggunakan Respone Surface Method (RSM)

0 0 7