BAB II PENGATURAN TENTANG TINDAK PIDANA PERIKANAN MENURUT HUKUM POSITIF DI INDONESIA - Peran Polisi Perairan Dalam Menangani Tindak Pidana Perikanan di Perairan Serdang Bedagai (Studi di Satuan Kepolisian Perairan Resort Serdang Bedagai)

BAB II PENGATURAN TENTANG TINDAK PIDANA PERIKANAN MENURUT HUKUM POSITIF DI INDONESIA Tindak pidana perikanan diatur didalam perundang-undangan yaitu Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 45 Tahun

  2009, Undang-undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif, Hayati dan Ekosistemnya, dan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1973 tentang Landas Kontinen Indonesia.

1. Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 Tentang Perikanan.

a) Karekteristik undang-undang tentang Perikanan.

  Tindak pidana perikanan yang diatur menurut undang-undang ini ada 2 macam delik, yaitu : 1) Delik kejahatan ( misdrijven) 2)

  Delik pelanggaran (overtredingen) Kejahatan ini merupakan criminel-onrecht yaitu perbuatan yang bertentangan dengan hukum, dan juga norma-norma menurut kebudayaan dan keadilan yang ditentukan oleh Tuhan. Sedangkan pelanggaran merupakan politie

  onrecht yaitu perbuatan yang pada umumnya dilarang oleh peraturan penguasa

  29 atau negara . Kriteria Delik kejahatan itu ialah delik-delik yang melanggar kepentingan hukum dan juga membahayakan secara konkrit, sedangkan pelanggaran itu hanya

  30 membahayakan secara in abstracto saja .

  Tindak pidana dibidang perikanan yang termasuk delik kejahatan diatur dalam Pasal 84, Pasal 85, Pasal 86, Pasal 88, Pasal 91, Pasal 92, Pasal 94, serta pasal 100A dan Pasal 100b, sedangkan yang termasuk delik pelanggaran diatur 99, Pasal 100 dan Pasal 100c. Tindak pidana perikanan memenuhi unsur -unsur tindak pidana yang digolongkan sebagai konvensional crime. Bagi dari segi pelaku, tempat kejadian, maupun dampak yang ditimbulkan. Berdasarkan rumusan Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 jo Undang-undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan, tindak pidana perikanan secara keseluruhan sebagai berikut :

  1. Menangkap ikan atau memungut ikan yang berasal dari kawasan perikanan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang.

  2. Mengelola dan atau membudidayakan ikan yang berasal dari kawasan perikanan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang.

  3. Mengangkut , memiliki, menguasai hasil perikanan tanpa melengkapi surat keterangan sahnya pelayaran hasil perikanan berupa ikan.

  4. Membawa alat-alat atau bahan-bahan lainnya yang digunakan untuk menangkap dan atau pengelolaan perikanan di kawasan pengelolaan perikanan tanpa izin dari pejabat yang berwenang.

  Selanjutnya pada Pasal 84 ayat (1 sampai 4) Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 jo Undang-undang 45 Tahun 2009 tentang Perikanan, sanksi Tindak pidana perikanan sebagai berikut :

  1) Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan

  Republik Indonesia melakukan penangkapan ikan dan/atau pembudidayaan ikan dengan menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan/ atau lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1), paling banyak Rpl.200.000.000,00 (satu miliar dua ratus juta rupiah).

  2) Nakhoda atau pemimpin kapal perikanan, ahli penangkapan ikan, dan anak buahkapal yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan

  Republik Indonesia melakukan penangkapan ikan dengan menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan/atau lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rpl.200.000.000,00 (satu miliar dua ratus juta rupiah). 3)

  Pemilik kapal perikanan, pemilik perusahaan perikanan, penanggung jawab perusahaan perikanan, dan/atau operator kapal perikanan yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia melakukan usaha penangkapan ikan dengan menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan/atau lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3), dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah). 4)

  Pemilik perusahaan pembudidayaan ikan, kuasa pemilik perusahaan pembudidayaan ikan, dan/atau penanggung jawab perusahaan pembudidayaan ikan yang dengan sengaja melakukan usaha pembudidayaan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, flat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/ atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan/atau lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

  Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (3), ayat (4) adalah merupakan kejahatan dan juga memenuhi unsur pelanggaran. Tindak pidana sebagaimana yang dimaksud pada ayat ini apabila dilakukan oleh dan atau atas nama badan hukum atau badan usaha tuntutan pidananya dijatuhkan pada pengurusnya baik senddiri-sendiri maupun bersama-sama dikenakan sanksi pidana dengan ancaman pidana dari masing-masing dari tuntutan pidana yang alat termasuk alat angkutnya yang dipergunakan untuk melakukan kejahatan atau pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini dirampas oleh negara.

  Sanksi Tindak pidana yang dimaksud dalam Pasal 84 ayat (1 samapi 4) Undang-undang tersebut adalah sebagai berikut :

1) Setiap orang dilarang merusak prasarana dan sarana perlindungan laut.

  2) Setiap orang yang diberi izin usaha penangkapan, pengelolaan serta pembudidayaan perikanan dilarang melakukan kegiatan yang menimbulkan kerusakan lingkungan ekosistem laut.

  3) Setiap orang dilarang : a.

  Mengerjakan dan atau melakukan penangkapan ikan, pengelolaan, serta pembudidayaan dikawasan perairan Indonesia dengan tidak sah.

  b.

  Melakukan penangkapan ikan, pengolaan, serta pembudidayaan di kawasan perairan Indonesia sesuai dengan ketentuan batasan ZEE dengan menggunakan bahan kimia, bahan-bahan peledak.

  c.

  Melakukan kegiatan penyelidikan umum atau ekspoitasi ikan dikawasan perairan Indonesia tanpa Izin. d.

  Membawa alat-alat dan juga bahan peledak kimia yang tidak lazim dan patut diduga akan digunakan untuk melakukan penangkapan, pengelolaan, serta pembudidayaan perikanan tanpa izin.

  e.

  Membuang bahan-bahan kimia atau pun benda-benda yang berbahaya dan dapat menyebabkan kerusakan ekosistem laut serta membahayakan keberadaan dan keberlangsungan fungsi laut di kawasan perairan. dapat dirumuskan unsur pokok subjek dan objeknya adalah : setiap orang dengan sengaja dan karena kelalaiannya ( Pada Pasal 84 ayat 1, ayat 2, ayat 3, ayat 4) melanggar ketentuan ( melawan hukum ).

b) Jenis Hukuman Pidana dan Sistem perumusan Sanksi Pidana.

1. Jenis Hukuman Pidana

  Sebelum menjelaskan tentang jenis hukuman. Penulis ingin menjelaskan tentang penghukuman atau pemidanaan terlebih dahulu. Hukuman berasal dari perkataan wordt gestraft. Hukuman ini istilah yang konvensial , yang

  31

  pengertiannya sangat luas dan berubah-ubah . Salah seorang ahli hukum yaitu Sudarto mengatakan bahwa hukuman ialah penderitaan yang sengaja dibebankan

  32 kepada orang yang melakukan perbuatan yang melanggar hukum .

31 M.Hamdan,Hukuman dan Pengecualian Hukuman menurut KUHP dan RUU

  KUHP, USU Press, Medan,2010,hal.6

  Menurut Satochid Kartanegara dan pendapat-pendapat para ahli hukum terkemuka dalam hukum pidana, mengemukakan teori pemidanaan atau

  33

  penghukuman dalam hukum pidana dikenal ada tiga aliran yaitu : a.

  Absolute atau vergeldings theorieen (vergelden/imbalan) Aliran ini mengajarkan dasar daripada pemidanaan harus dicari pada kejahatan itu sendiri untuk menunjukkan kejahatan itu sebagai dasar hubungan yang dianggap sebagai pembalasan,imbalan terhadap orang yang melakukan perbuatan jahat. Oleh karena kejahatan itu menimbulkan penderitaan bagi si korban. Relative atau doel theorieen (maksud/tujuan)

  Dalam ajaran ini yang dianggap sebagai dasar hukum dari pemidanaan adalah bukan velgelding, akan tetapi tujuan dari pidana itu. Jadi aliran ini menyandarkan hukuman pada maksud dan tujuan pemidanaan itu, artinya teori ini mencari manfaat daripada pemidanaan.

  c.

  Vereningings theorieen (teori gabungan) Teori ini sebagai reaksi dari teori sebelumnya yang kurang dapat memuaskan menjawab mengenai hakikat dari tujuan pemidanaan.

  Menurut ajaran teori ini dasar hukum dari pemidanaan adalah terletak pada kejahatan itu sendiri, yaitu pembalasan atau siksaa, akan tetapi disamping itu diakuinya pula sebagai dasar pemidanaan itu adalah tujuan daripada hukum.

  Dari beberapa definisi diatas dapat kita ketahui : 1. Teori absolut atau teori pembalasan

  Teori ini memberikan statement bahwa penjatuhan pidana semata-mata karena seseorang telah melakukan suatu kejahatan atau tindak pidana. Pidana merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang telah melakukan kejahatan. Adapun yang menjadi dasar pembenaranya dari penjatuhan pidan itu terletak pada adanya kejahatan itu sendiri. Oleh karena itu, pidana mempunyai fungsi untuk menghilangkan kejahatan tersebut.

33 Satochid Kartanegara, Hukum Pidana Bagian Satu, Balai Lektur Mahasiswa, Jakarta,

  Sahetapy mengatakan bahwa teori absolut adalah teori tertua, setua sejarah

  34

  manusia . Menurut Johanes Andenaes, mengatakan bahwa tujuan utama dari pidana adalah untuk memuaskan tuntutan keadilan, sedangkan pengaruh-pengaruh lainnya yang menguntungkan adalah hal sekunder jadi menurutnya bahwa pidanayang dijatuhkan semata-mata untuk mencari keadilan dengan melakukan

  35 pembalasan .

  setiap perbuatan melawan hukum harus dibalas karena merupakan suatu keharusan yang bersifat mutlak yang dibenarkan sebagai pembalasan. Oleh karena itu konsekuensinya adalah setiap pengecualian dalam pemidanaan yang bertujuan untuk mencapai tujuan tertentu selain pembalasan harus dikesampingkan.

  Tokoh lain yang menganut teori absolut adalah hegel, ia berpendapat bahwa pidana merupakan suatu keharusan logis sebagai konsekuensi dari adanya kejahatan. Kejahatan adalah pengingkaran terhadap ketertiban hukum suatu negara yang merupakan perwujudan dari cita-cita susila, maka pidana merupakan

  36 suatu pembalasan .

  Hugo de groot dengan mengikuti pendapat dari Phitagoras, menuliskan bahwa kita tidak seharusnya menjatuhkan suatu pidana karena seseorang telah melakukan kejahatan, akan tetapi untuk mencegah supaya orang jangan

  37 melakukan kejahatan lagi . 34 J.E Sahetapy, Victimologi Sebuah Bunga Rampai, Pustaka sinar Harapan, Jakarta, 1987, hal. 198 35 36 Muladi, Lembaga Pidana bersyarat, Alumni, Bandung, 1985, hal.19 Ibid.

2. Teori Relatif atau teori tujuan.

  Menurut teori ini penjatuhan pidana bukanlah sekedar untuk melakukan pembalsan atau pengimbalan. Pembalasan itu sendiri tidak mempunyai nilai tetapi hanya sebagai sarana melindungi kepentingan masyarakat. Muladi dan Barda Nawawi Arief mengatakan bahwa teori ini menegaskan penjatuhan pidana bukanlah merupakan guna memuaskan tuntutan absolut dari

  38

  39

  adalah sebagai berikut : a.

  Teori menakutkan yaitu tujuan dari pidana itu adalahuntuk menakut- nakuti seseorang, sehingga tidang melakukan tindak pidana baik terhadap pelaku itu sendiri maupun terhadap masyarakat (preventif umum) b.

  Teori memperbaiki yaitu bahwa dengan menjatuhkan pidana akan mendidik para pelaku tindak pidana sehingga menjadi orang yang baik dalam masyarakat (preventif khusus). Sedangkan prevensi khusus, dimaksudkan bahwa pidana adalah pembaharuan yang esensi dari pidana itu sendiri. Sedangkan fungsi perlindungan dalam teori memperbaiki dapat berupa pidana pencabutan kebebasan selama beberapa waktu. Dengan demikian masyarakat terhindar dari kejahatan yang akan terjadi. Oleh karena itu pemidanaan harus memberikan pendidikan dan bekal untuk tujuan kemasyarakatan.

  Menurut pandangan modern, prevensi sebagai tujuan dari pidana adalah merupakan sasaran utama yang akan dicapai sebab itu tujuan pidana dimaksudkan untuk kepembinaan atau perawatan bagi terpidana, artinya dengan penjatuhan 38 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, PT.Alumni,

  Bandung, 1998, hal.11 pidana itu terpidana harus di bina sehingga setelah selesai menjalani pidanany, ia

  40 akan menjadi orang yang lebih baik dari sebelum menjalani pidana .

3. Teori Gabungan

  Selain teori absolut dan teori relatif juga ada teori ketiga yang disebut teori gabungan. Teori muncul sebagai reaksidari teori yang sebelumnya yang kurang memuaskan menjawab mengenai tujuan dari pemidanaan.

  (1787-1848). Teori ini berakar pada pemikiran yang bersifat kontradiktif antara teori absolut dengan teori relatif. Teori gabungan berusaha menjelaskan dan memberikan dasar pembenaran tentang pemidanaan dari berbagai sudut pandang

  41

  yaitu : a.

  Dalam rangka menentukan benar dan atau tidaknya asas pembalasan, mensyaratkan agar setiap kesalahan harus dibalas dengan kesalahan, maka terhadap mereka telah meninjau tentang pentingnya suatu pidana dari sudut kebutuhan masyarakat dan asas kebenaran.

  b.

  Suatu tindak pidana menimbulkan hak bagi negara untuk menjatuhkan pidana dan pemidanaan merupakan suatu kewajiban apabila telah memiliki tujuan yang dikehendaki.

  c. Dasar pembenaran dari pidana terletak pada faktor tujuan yakni mempertahankan tertib hukum.

  Lebih lanjut Rossi berpendapat bahwa pemidanaan merupakan pembalasan terhadap kesalahan yang telah dilakukan, sedangkanberat ringannya pemidanaan harus sesuai dengan justice absolute (keadilan yang mutlak) yang tidak melebihi justice sosial (keadilan yang dikehendaki oleh masyarakat),

  42

  sedangkan tujuan yang hendak diraih berupa : 40 41 Djoko Prakoso, Op.Cit, hal.23.

  Muladi, Op.Cit, hal.19 a.

  Pemulihan ketertiban b.

  Pencegahan terhadap niat untuk melakukan tindak pidana.

  c.

  Perbaikan pribadi terpidana d.

  Memberikan kepuasan moral kepada masyarakat sesuai rasa keadilan, e. Memberikan rasa aman bagi masyarakat.

  Bentuk-bentuk hukuman pada dasarnya diatur dalam buku I KUHP bab sumber utama hukum pidana telah merinci dan merumuskan tentang bentuk- bentuk pidana yang berlaku di Indonesia. Bentuk-bentuk pidana dalam KUHP disebutkan dalam pasal 10 KUHP. Pada pasal 10 KUHP ini dikenal ada dua jenis hukuman pidana yaitu pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana pokok

  43

  merupakan hukuman yang wajib dijatuhkan hakim yang terdiri dari : 1)

  Pidana mati 2)

  Pidana Penjara 3) Pidana Kurungan 4)

  Denda Sedangkan Pidana tambahan yaitu :

  1) Pencabutan hak-hak tertentu

  2) Perampasan barang-barang tertentu

  3) Pengumuman putusan hakim

  Dengan demikian di dalam Pengadilan , Hakim tidak boleh menjatuhkan hukuman pokok kecuali yang telah dirumuskan oleh KUHP. 43 Niniek Suparni, Eksistensi Pidana Denda dalam sistem Pidana Dan Pemidanaan,

  Sedangkan di dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 jo Undang- Undang Nomor 45 Tahun 2009 Tentang Perikanan. Jenis hukuman yang dikenal hanya pidana pokok, yaitu pidana penjara dan pidana denda. Undang-undang ini tidak menggunakan pidana tambahan. Pidana penjara yang dijatuhkan sudah maksimal untuk memberikan hukuman terhadap pelaku tindak Pidana di Bidang Perikanan dan Pidana Denda yang dijatuhkan sudah cukup besar tetapi ada perikanan yang tidak pantas dimana pelakunya adalah nelayan kecil. Denda yang diberikan besar sekali yang pelaku tindak pidana tersebut hanya nelayan kecil.

  2. Sistem Perumusan Sanksi Pidana Ada beberapa sistem perumusan sanksi Pidana adalah sebagai berikut

  44

  : 1)

  Sistem Perumusan Tunggal Sistem perumusan ini bersifat tunggal, dimana jenis pidana dirumuskan sebagai satu-satunya pidana untuk delik yang bersangkutan. Untuk itu sistem perumusan tunggal ini dapat berupa pidana penjara, kurungan saja, atau denda saja. Sehingga sistem ini dapat dikatakan sistem definite sentence. 2)

  Sistem Perumusan Alternatif Sistem perumusan alternatif ini merupakan sistem dimana pidana penjara dirumuskan secara alternatif dengan jenis sanksi pidana lainnya, hal ini berdasarkan urutan-urutan jenis sanksi pidana dari terberat sampai teringan. KUHP mengenal sistem ini berupa 44 Lilik mulyadi, Bunga Rampai Hukum Pidana Prespektif, Teoritis, Dan Praktik, PT. ancaman pidana penjara atau denda, sistem ini cenderung ke arah perumusan tunggal. Sistem perumusan alternatif ini, digunakan relatif lebih tinggi di luar KUHP dibanding di dalam KUHP. 3) Sistem Perumusan Kumulatif.

  Sistem perumusan kumulatif ini tidak ada dijumpai di KUHP. Sistem ini memiliki ancaman pidana dengan adanya kata hubung dalam Peraturan perundang-undangan.

  4) Sitem Perumusan Kumulatif-Alternatif.

  Sistem ini disebut juga dengan sistem perumusan campuran atau gabungan. Sistem ini tidak ada dijumpai di dalam KUHP, hanya dapat dijumpai di Luar KUHP. Sistem perumusan ini banyak menggunakan pidana penjara dan/atau denda. Mengandung sifat imperatif sehingga sistem ini dapat disebut sistem kumulasi tidak murni.

  Sedangkan di dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 jo Undang- Undang Nomor 45 Tahun 2009 Tentang Perikanan. Sistem perumusan yang digunakan adalah Sistem perumusan kumulatif, baik ditujukan terhadap delik kejahatan maupun delik pelanggaran. Dimana dalam sistem perumusan kumulatif diterapkan pidana penjara dan pidana denda. Dalam hal ini, pidana penjara dan pidana denda diterapkan sekaligus. Sehingga hakim harus menerapkan kedua - duanya, tidak boleh salah satu.

2. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif.

  a) Jenis-jenis Tindak Pidana di bidang perikanan

  Adapun jenis-jenis tindak pidana perikanan menurut undang-undang ini adalah :

1) Melakukan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam.

  menyebutkan bahwa setiap orang yang melakukan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam yang bertentangan dengan peraturan yang berlaku dikenakan pidana. Sumber daya alam yang dimaksud disini adalah sumber daya alam hayati dan sumber daya alam non hayati. Sumber daya alam hayati adalah semua jenis binatang dan tumbuhan termasuk bagian-bagiannya yang terdapat di dasar laut dan ruang air Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Sumber daya alam non hayati adalah unsur alam bukan sumber daya alam hayati yang terdapat di dasar laut dan tanah di bawahnya serta ruang air Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Jadi, ikan termasuk dalam kategori sumber daya alam ini. Sedangkan yang dimaksud dengan eksplorasi adalah Eksplorasi, disebut juga penjelajahan atau pencarian, adalah tindakan mencari atau melakukan penjelajahan dengan tujuan menemukan sesuatu; misalnya daerah tak dikenal, termasuk Eksplorasi dapat juga meliputi tindakan pencarian akan

  Sedangkan Eksploitasi yang berarti politik pemanfaatan yang secara sewenang-wenang atau terlalu berlebihan terhadap sesuatu subyek eksploitasi hanya untuk kepentingan serta kompensasi

   .

  46 kegiatan eksploitasi .

  2) Melakukan kegiatan penelitian ilmiah di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia tanpa persetujuan pemerintah Republik Indonesia.

  Tindak pidana ini diatur dalam pasal 7, yang mengatakan bahwa Barangsiapa melakukan kegiatan penelitian ilmiah di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia harus memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari dan dilaksanakan berdasarkan syarat-syarat yang ditetapkan oleh Pemerintah Republik Indonesia dikenakan pidana. Penelitian ilmiah yang dimaksud adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan penelitian mengenai semua aspek kelautan di permukaan air, ruang air, dasar laut, dan tanah di bawahnya di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia .

  45 akses 25 maret 2015, Pukul 14.00 wib

b) Jenis hukuman Pidana dan Sistem Perumusan Sanksi Pidana.

1. Jenis hukuman pidana

  Dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif. Jenis hukuman pidana yang digunakan pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana pokok yang digunakan yaitu pidana denda tetapi berdasarkan Undang-undang Nomor 31 tahun 2004 jo Undang-undang Nomor 45 Tahun 2009 terdapat didalam undang-undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif tidak ada lagi atau tidak berlaku. Sedangkan yang berlaku pidana tambahan yaitu perampasan barang-barang tertentu.

2. Sistem Perumusan Sanksi Pidana.

  Dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif, sifat hukuman pidana bersifat tunggal. Dapat dilihat pada rumusan

  pasal 16 ayat 2 yang hanya mengancamkan pidana tambahan terhadap tindak pidana dalam undang-undang ini. Sifat hukuman pidana bersifat tunggal dikarenakan pidana denda dalam undang-undang ini dinyatakan tidak berlaku bagi tindak pidana di bidang perikanan.

3. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

  a) Jenis-jenis Tindak Pidana dibidang Perikanan.

  Adapun jenis-jenis tindak pidana perikanan menurut undang-undang ini yaitu :

  1) Melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan kawasan suaka alam.

  Tindak Pidana ini diatur dalam Pasal 19 yang mengatakan bahwa setiap orang yang melakukan kegiatan yang mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan kawasan suaka alam berlaku untuk di pidana. Perubahan terhadap keutuhan suaka alam yang dimaksud adalah menambah jenis tumbuhan dan satwa lain yang tidak asli. Dimana kawasan suaka adalah kawasan yang dengan ciri khas tertentu, baik di darat maupun di perairan yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya.

  2) Mengambil, menebang, memiliki, merusak, memusnahkan, memelihara, mengangkut, memperniagakan tumbuhan yang dilindungi atau bagian-bagiannya dalam keadaan hidup atau mati dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain didalam maupun luar Indonesia.

  Tindak pidana ini diatur dalam Pasal 21 ayat 1 butir a dan b yaang mengatakan bahwa setiap orang dilarang untuk melakukan hal-hal yang disebutkan diatas yang melanggar peraturan maka akan dikenakan pidana. Dimana tumbuhan yang dimaksud adalah semua jenis sumber daya alam nabati , baik yang hidup didarat maupun di air.

  3) Menangkap, membunuh, melukai, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup maupun mati dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain ke dalam maupun keluar Indonesia.

  Tindak Pidana ini diatur dalam Pasal 21 ayat 2 butir a,b,c,d,e yang mengatakan bahwa setiap orang dilarang melakukan hal-hal yang sanksi pidana. Dimana satwa yang dimaksud adalah semua jenis sumber daya alam hewani yang hidup di darat, di air dan di udara.

  Dalam hal ini di air yaitu ikan. Dalam hal, melakukan praktek illegal

  fishing mempunyai dampak yang buruk bagi ekositem air, baik

  tumbuhan seperti terumbu karang, maupun satwa seperti ikan. Dalam hal melakukan hal ini illegal fishing sama saja hal nya seperti yang disebutkan diatas yaitu menangkap, membunuh, melukai, menyimpan, memiliki, memperniagakan satwa yang seharusnya dilindungi.

  b) Jenis Hukuman Pidana dan Sistem Perumusan Sanksi Pidana 1.

  Jenis hukuman Pidana Dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Jenis hukuman pidana yang digunakan pidana pokok saja. Pidana pokok yang digunakan yaitu pidana penjara, pidana kurungan dan pidana denda. Dalsam undang-undang ini tidak mengenal pidana tambahan. Pidana penjara yang diterapkan yang paling tinggi yaitu 10 tahun dan denda paling banyak Rp.200.000.000 ( dua ratus juta rupiah) sedangkan untuk pidana kurungan yaitu 1 tahun. Sanksi yang diberikan oleh undang-undang ini sudah cukup tinggi, untuk membuat pelaku tindak pidana jera untuk melakukan tindak pidana.

2. Sistem Perumusan Sanksi Pidana.

  Dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber daya Alam Hayati dan Ekosistemnya , Sistem perumusan sanksi yang digunakan adalah penjara, pidana kurungan, dan pidana denda.

4. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1973 tentang Landas Kontinen Indonesia.

a) Jenis-jenis Tindak Pidana dibidang Perikanan.

  Adapun jenis-jenis tindak pidana perikanan menurut undang-undang ini yaitu : 1)

  Melakukan eksplorasi, eksploitasi dan penyelidikan ilmiah sumber- sumber kekayaan alam di landas kontinen Indonesia dengan tidak mengikuti aturan undang-undang. Hal ini diatur dalam Pasal 8. Yang dimaksud dengan eksplorasi dan eksploitasi di sini adalah usaha pemanfaatan kekayaan alam, sedangkan penyelidikan ilmiah yaitupenelitian ilmiah atas kekayaan alam. Sumber kekayaan alam yang dimaksud disini adalah mineral dan sumber yang tak bernyawa lainnya didasar laut di dalam lapisan tanah dibawahnya bersama-sama dengan organisme hidup yang termasuk dalam jenis sedinter.sedangkan landas kontinen yaitu dasar laut dan tanah dibawahnya.

  b) Jenis Hukuman Pidana dan Sistem Perumusan Sanksi Pidana 1.

  Jenis Hukuman Pidana Dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1973 tentang Landas Kontinen Indonesia, Jenis hukuman pidana yang digunakan pidana pokok saja.

  Pidana pokok yang digunakan yaitu pidana penjara dan/atau pidana denda.

2. Sistem Perumusan Sanksi Pidana

  Dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1973 tentang Landas Kontinen Indonesia, Sistem perumusan sanksi yang digunakan adalah kumulatif- alternatif.

  Dapat dilihat pada rumusan pasal 11 yang mengancamkan pidana penjara dan/atau pidana denda.

Dokumen yang terkait

Analisis Profitabilitas Dalam Pengembangan Usaha (Studi Kasus Pada Dian Aquatik Indonesia)

0 0 9

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - Pengaruh Jus Buah Stroberi (Fragaria X Ananassa) Terhadap Diskolorasi Gigi Yang Disebabkan Oleh Kopi

0 0 18

BAB II TINJAUAN UMUM MASYARAKAT MINANGKABAU DAN SANGGAR TIGO SAPILIN DI KOTA MEDAN 2.1 Asal-Usul Masyarakat Minangkabau - Hubungan Struktur Tari, Musik Iringan, dan Fungsi Sosial Tari Galombang yang Dipertunjukan Sanggar Tigo Sapilin pada Upacara Adat Per

0 1 13

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - Kualitas Pelayanan Publik Di Pt. Pegadaian (Persero) (Studi Pada Kantor Pt. Pegadaian (Persero) Upc Padangmatinggi, Kota Padangsidimpuan)

0 0 22

Kualitas Pelayanan Publik Di Pt. Pegadaian (Persero) (Studi Pada Kantor Pt. Pegadaian (Persero) Upc Padangmatinggi, Kota Padangsidimpuan)

0 1 10

PERLINDUNGAN KONSUMEN ATAS INFORMASI YANG TIDAK BENAR MENGENAI UNDIAN BERHADIAH PADA KEGIATAN PERBANKAN (Studi Pada Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten Cabang Medan) SKRIPSI

0 0 9

BAB II TUJUAN PENERAPAN PIDANA BERSYARAT DALAM TINDAK PIDANA KECELAKAAN LALU LINTAS YANG DILAKUKAN ANAK A. Jenis-Jenis Kecelakaan Lalu Lintas - Tindak Pidana Bersyarat pada Pelaku Kecelakaan Lalu Lintas yang dilakukan oleh Anak Dalam Praktik (Studi Putusa

0 0 23

BAB I PENDAHULUAN B. Latar Belakang - Tindak Pidana Bersyarat pada Pelaku Kecelakaan Lalu Lintas yang dilakukan oleh Anak Dalam Praktik (Studi Putusan Nomor: 217/Pid.Sus/2014/PT.Bdg)

0 0 21

BAB II PENGATURAN TERHADAP PELAKU TANPA IZIN MELAKUKAN KEGIATAN INDUSTRI KECIL A. Pengaturan Terhadap Pelaku Tanpa Izin Melakukan Kegiatan Industri dalam UU No. 5 Tahun 1984 1. Tindak Pidana dalam hal Perizinan - Sanksi Denda Terhadap Pelaku Tanpa Izin Me

0 0 17

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Sanksi Denda Terhadap Pelaku Tanpa Izin Melakukan Kegiatan Industri Kecil berdasarkan Persepktif UU No. 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian (Studi Putusan Pengadilan Negeri Medan No. 974/Pid.B/2014/PN.Mdn)

0 0 23