BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengembangan Model Diklat Guru Sosiologi SMA Tentang Pembelajaran Inkuiri Berbasis Budaya Lokal

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Manajemen Sumber Daya Manusia

  Manajemen sumber daya manusia atau sering disebut manajemen personalia diartikan sebagai: Personal administration is the art acquiring, developing and maintaining a competent work force in such a manner as to accomplish with maximum efficiency and economy the functions and objectives of organization (Pigor & Mayer dalam Manullang, 2006: 7).

  Flipo dalam Manulang (2006: 8) mendefinisikan bahwa personal management is the planning, organizing, directing and controlling of procurement, development, compensation, integration dan maintenance of human resources and that organizational and sosial objectives may be accomplished.

  Pendapat tersebut memberikan makna bahwa manajemen personalia merupakan suatu seni untuk menggunakan, mengembangkan dan memelihara sumber tenaga kerja secara efisien dan ekonomis untuk mencapai tujuan dan fungsi organisasi. Di dalam proses manajemen tersebut memuat perencanaan, pengaturan, pengarahan dan pengawasan.

  Sekolah merupakan suatu organisasi yang memiliki sumber daya manusia tenaga pendidikan dan kependidikan. Guru sebagai pendidik merupakan kunci utama keberlangsungan proses pendidikan, karena keberadaannya tidak bisa tergantikan oleh yang lain. kualitas pendidikan tergantung dari kualitas guru dalam melakukan proses pendidikan. Oleh karena itu, sumber daya ini perlu diatur sehingga dapat melaksanakan kegiatan proses pendidikan secara efektif dan efisien untuk mencapai tujuan pendidikan.

  Menurut UUSPN/20/2003 pasal 3 menyatakan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung-jawab. Tujuan tersebut tidak akan terwujud apabila tidak dilakukan manajemen sumber daya manusia yaitu guru sebagai pendidik.

2.2 Manajemen Pelatihan

  Manajemen pada hakikatnya merupakan seni mengelola berbagai kegiatan oleh sekelompok orang dalam suatu organisasi dengan menggunakan kemampuan manajerial dan keterampilan teknis pada kegiatannya untuk mencapai tujuan yang efektif dan efisien (Siagian, 2007: 1).Dikatakan seni mengelola karena merupakan aktivitas bagaimana mengkolaborasi pengetahuan, pengalaman dan kreativitas dalam wadah manajemen. Manajemen berarti pula sebagai suatu proses atau kerangka kerja, yang melibatkan bimbingan, pengarahan pada sekelompok orang kearah tujuan organisasional atau tujuan yang nyata (Terry dan Rue, 2009: 1).

  Seorang guru yang profesional yang ditugaskan untuk melaksanakan tugasnya sebagai pendidikan sudah memiliki latar belakang pendidikan formal sesuai spesifikasi yang dipersyaratkan, namun dalam melaksanakan tugasnya perlu diberikan pelatihan-pelatihan agar dapat bekerja mengikuti perkembangan yang ada.

  Dalam manajemen pelatihan lebih dikenal 6M (man, aktivitas utama manajemen yaitu: merencanakan, melaksanakan dan mengevaluasi pelatihan (Sugiyono: 2002).Pada manajemen pelatihan untuk guru sosiologi, terdapat tiga fungsi manajemen dalam pelaksanaan pelatihan yaitu planning, actuating dan controlling (PAC) artinya dalam setiap action pada pelatihan, fungsi organizing merupakan komando yang mensinergikan komponen dalam penyelenggaraan pelatihan, sehingga kerjasama antara sumber daya manusia yang terlibat secara aktif di dalam manajemen pelatihan mengetahui tugas dan tanggung jawabnya masing-masing.

  Sumber daya manusia dalam penyelenggaraan pelatihan guru sosiologi meliputi instruktur, panitia, dan pihak lain yang membantu pelaksanaan pelatihan. Sumber daya manusia dalam pelatihan ini harus diorganisir agar mampu menggerakkan semua komponen pelatihan sesuai tugas dan fungsinya masing-masing. Selanjutnya dalam pelatihan guru sosiologi ini tidak terlepas dengan masalah pembiayaan. Biaya merupakan faktor penting dalam pelaksanaan pelatihan karena pelaksanaan akan berjalan sesuai rencana apabila didukung dengan dana yang memadai.

  Materi pelatihan ditetapkan berdasarkan need assesment yang dituangkan dalam perencanaan pelatihan berupa kurikulum pelatihan, buku panduan pelatihan, dan materi pelatihan. Selanjutnya ditetapkan instruktur yang memiliki kepakaran di bidang sosiologi yang terkait dengan budaya lokal, waktu pelaksanaan, tempat pelaksanaan dan metode pelatihan serta sarana prasarana pendukung pelatihan.

  Evaluasi pelatihan diawali dengan pre-tes, yaitu untuk mengukur kemampuan guru sebelum dilakukan tindakan menentukan jenis, materi dan teknik pelatihan. Selama pelatihan, evaluasi dilakukan dengan mengamati reaksi peserta atau penilaian proses, dan post-tes (penilaian kinerja) untuk mengukur kompetensi guru tentang pembelajaran inkuri berbasis budaya lokal, pembuatan perangkat pembelajaran sosiologi dengan metode inkuiri berbasis budaya lokal setelah diberikan tindakan pelatihan.

  2.2.1 Perencanaan Perencanaan merupakan suatu kegiatan untuk menetapkan tujuan yang ingin dicapai beserta menetapkan strategi untuk mencapai tujuan tersebut, dengan kata lain perencanaan merupakan usaha konkret berupa langkah- langkah yang harus dilajukan yang dasar-dasarnya telah ditetapkan dalam strategi organisasi (Siagian, 2007: 35)

  Perencanaan pelatihan dapat dibedakan berdasarkan orientasi pengelolaannya yaitu; (1) model manajemen pelatihan berpusat pada kepentingan lembaga penyelenggara pendidikan yang mencakup langkah-langkah: (a) menentukan kebutuhan pelatihan dengan menganalisa kebutuhan organisasi, analisa tugas, analisa kebutuhan individual para pelaksana tugas, dan menetapkan tujuan pelatihan, (b) menyusun kriteria keberhasilan pelatihan; (2) model manajemen berpusat pada peserta pelatihan, fungsi perencanaannya yaitu; (a) mengidentifikasi kebutuhan; (b) sumber-sumber dan kemungkinan hambatan pelatihan; (c) merumuskan tujuan pelatihan; (d) menyusun program pelatihan; (e) menetapkan seleksi peserta; (f) menyusun alat penilaian awal dan akhir; dan (g) Menyiapkan pelatih yang berkompeten (Sudjana, 2007: 12).

  2.2.2 Pengorganisasian Pengorganisasian merupakan keseluruhan suatu proses tanggung jawab yang bergerak secara bersama untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dengan kata lain pengorganisasian dilakukan untuk menghimpun dan mengatur semua sumber-sumber yang diperlukan, sehingga pekerjaan yang dikehendaki berhasil dilaksanakan. Handoko (2008: 167), menjelaskan pengorganisasian merupakan proses penyusunan struktur organisasi yang sesuai dengan tujuan organisasi, sumber-sumber daya yang dimilikinya, dan lingkungan yang melingkupinya. Hal senada dikemukan oleh Terry dan Rue (2010: 82), bahwa pengorganisasian adalah proses pengelompokan kegiatan-kegiatan untuk mencapai tujuan-tujuan dan penugasan setiap kelompok pada seorang manajer yang mempunyai kekuasaan, yang perlu mengawasi anggota kelompoknya.

  Pengorganisasian merupakan kegiatan yang sangat penting untuk memberdayakan sumber-sumber yang ada dalam suatu organisasi untuk mewujudkan kerjasama antara manusia yang terlibat secara aktif di dalamnya melalui pembidangan dan pembagian tugas.Hal ini dimaksudkan agar setiap orang yang terlibat di dalamnya mengetahui tugas dan tanggung jawabnya masing-masing. Faktor penting dalam pembagian tugas dalam organisasi akan membantu koordinasi, memperlancar pengawasan, menghemat biaya, dan memperlancar komunikasi (Terry, 2009: 96-97). Fungsi pengorganisasian dalam manajemen pelatihan adalah untuk mengetahui prinsip-prinsip pengorganisasian yang berkaitan dengan kebermaknaan, keluwesan dan kedinamisan organisasi/lembaga.

  Pengorganisasian merupakan kegiatan yang sangat penting untuk pemberdayaan sumber-sumber yang ada melalui kerjasama antara manusia yang terlibat di dalamnya dan pembagian tugas. Pembidangan dan pembagian tugas ini akan bermanfaat agar orang-orang terlibat di dalamnya mengetahui tugas dan tanggung jawabnya masing-masing. Pelaksanaan pengorganisasian yang sukses akan membuat suatu organisasi mencapai tujuannya. Proses ini tercermin pada struktur organisasi yang mencakup: (1) pembagian kerja; (2) departementalisasi; (3) bagan organisasi formal; (4) rantai perintah dan kesatuan perintah, (5) tingkat-tingkat hikarki manjemen; (5) saluran komunikasi, (6) penggunaan komite; dan (7) rentang manajemen dan kelompok informal yang tak dapat dihindari (Handoko, 2008: 169).

2.2.3 Pelaksanaan / Penggerakan

  Pelaksanaan program pelatihan mencakup program penggerakkan dan pembinaan (Sudjana, 2007: 12).Pelaksanaan (actuating) merupakan fungsi manajemen yang utama.Fungsi actuating lebih menekankan pada kegiatan.Actuating merupakan usaha untuk menggerakkan sekelompok orang dengan terencana sehingga mencapai tujuan organisasi yang diinginkan (Terry & Rue, 2010: 168).Pada pelatihan, actuating merupakan upaya menjadikan perencanaan menjadi kenyataan, melalui kegiatan dalam bentuk pengarahan, transfer pengetahuan, keterampilan dan motivasi agar peserta pelatihan dapat melaksanakan kegiatan secara optimal.

  Pelatihan akan menghasilkan suatu perubahan perilaku pada peserta pelatihan. Secara nyata perubahan perilaku itu berbentuk peningkatan mutu kemampuan dari peserta pelatihan.Menurut Sudjana (2007: 198) pelatihan dilakukan melalui tahapan yaitu: (1) pembinaan keakraban sebelum kegiatan pembelajaran, hal ini dimaksudkan agar hambatan psikologis peserta pelatihan dapat diminimalisir; (2) kebutuhan dan memenuhi kebutuhan peserta pelatihan; (3) kontrak pembelajaran, yaitu perjanjian tertulis yang dibuat oleh peserta pelatihan. Isi format kontrak mencakup komitmen peserta pelatihan untuk mengikuti semua kegiatan pelatihan yang diberikan; (4) tes awal (pre test), berfungsi untuk mengetahui kompetensi awal peserta; (5) proses pembelajaran dalam pelatihan yang meliputi: materi, metode dan tehnik; (6) test akhir (post test), berfungsi untuk membandingkan antara perubahan kompetensi awal sebelum mengikuti pelatihan dan sesudah mengikuti pelatihan.

  Metode pelatihan merupakan faktor yang penting dalam pelatihan. Metode merupakan cara yang digunakan dalam interaksi belajar. Metode pembelajran pelatihan dijelaskan Rifa’i (2009: 99), suatu cara mengorganisasikan peserta pelatihan untuk mencapai tujuan pelatihan yang efektif. Metode pembelajaran perlu memperhatikan karateristik orang dewasa yaitu: (1) orang dewasa mandiri, sehingga pembelajaran membutuhkan kebebasan yang bersifat pengarahan diri; (2) orang dewasa mempunyai kesiapan belajar sesuai dengan peran sosialnya, sehingga program pembelajaran dalam pelatihan disusun dan disesuaikan dengan kebutuhan peserta pelatihan yang relevan dengan tugas yang diembannya; (3) orang dewasa berharap segera dapat menerapkan perolehan belajarnya, sehingga muatan materi pelatihan didasarkan pada kebutuhan peserta yang dapat diimplementasikan (Rifa’i, 2009: 24).

  Selain itu komunikasi harus efektif agar instruktur dan peserta pelatihan mampu menyampaikan dan menerima pesan denga baik. Dalam kegiatan pelatihan ini juga perlu menggunakan pendekatan pembinaan keakraban dengan pembentukan kelompok kerja kecil, demonstrasi pembelajaran pada pelatihan berupa LCD, video tentang pembelajaran inkuiri berbasis budaya lokal.

2.2.4 Pengawasan

  Pengawasan merupakan proses pengamatan dari seluruh kegiatan organisasi guna lebih menjamin bahwa semua pekerjaan yang sedang dilakukan sesuai dengan rencana yang telah ditentukan sebelumnya (Siagian, 2007: 125). Sedangkan menurut Handoko (2008: 360),pengawasan dapat juga berarti menetapkan standar pelaksanaan dengan tujuan-tujuan perencanaan, merancang sistem informasi umpan balik, membandingkan kegiatan nyata dengan standart yang telah ditetapkan sebelumnya, menetapkan dan mengukur penyimpangan-penyimpangan, serta mengambil tindakan koreksi yang diperlukan untuk menjamin bahwa semua sumber daya perusahaan dipergunakan dengan cara efektif dan efisien dalam pencapaian perusahaan.

  Sebagai fungsi organik, pengawasan (controlling) merupakan salah satu tugas yang mutlak diselenggarakan. Pengawasan berkaitan dengan tujuan yang ingin dicapai, dilaksanakan berdasarkan strategi dasar organisasi yang telah dirumuskan dan ditetapkan, serta dirinci menjadi program dan rencana kerja. Pengawasan ditujukan untuk usaha mencegah timbulnya berbagai jenis dan bentuk penyimpangan atau penyelewengan baik disengaja maupun tidak. Kegiatan pengawasan dapat meliputi; (1) penetapan ukuran-ukuran; (2) memantau hasil-hasil, (3) perbandingan hasil-hasil pemantauan dengan ukuran-ukuran, (4) perbaikan penyimpangan-penyimpangan; (5) pengubahan dan penyesuaian cara-cara pengawasan dan perubahan kondisi- kondisi; dan (6) berhubungan selalu selama proses pengawasan.

2.3 Model – Model Pelatihan

  Gaffar dan Nurdin (2007: 569)menyatakan bahwa” kelemahan dari sistem pelatihan selama ini disebabkan oleh lemahnya manajemen pelatihan baik pada tingkatan mikro, mezzo dan makro. Di bawah ini adalah beberapa model pelatihan yang sering dilakukan dalam mengelola pelatihan diantaranya model ADDIE, Siklus Lima Tahap oleh Goad, model pelatihan deduktif dan pelatihan induktif.

2.3.1 Model ADDIE

  Model ADDIE (Analyse, Design, Development, Implementation, Evaluation) digambarkan dalam tahap seperti pada diagram berikut.

  revision revision

  Analyse Implemen t

  Evaluation Design

  revision revision

  Development Gambar 2.1

  Model Lima Fase diadaptasi dari Molenda (2003: 34-35) Pada tahap analisis (analyse), melakukan identifikasi kebutuhan pelatihan, pengetahuan dan keterampilan peserta, perumusan tujuan dan lingkungan belajar.Tahap desain (design), meliputi merumuskan isi pelatihan, analisis materi pelajaran, perencanaan pelajaran, pemilihan media dan instrument pelatihan. Langkah dalam tahap desain yaitu: (1) dokumen proyek instruksional, visual dan teknis desain strategi; (2) terapkan strategi pembelajaran sesuai domain kognitif, afektif, dan psikomotor; (3) desain pengalaman pengguna pelatihan; (4) buat protitipe; (5) terapkan desain visual (grafis).Tahap pengembangan (development), merupakan tahapan pengembangan instruksional.Proyek pelatihan ini ditinjau dan direvisi sesuai dengan umpan balik yang diterima.

  Tahap implementasi (implementation), pada tahap ini dikembangkan prosedur untuk pelatihan fasilitator dan peserta didik.Tahap ini mencakup kurikulum.Metode pembelajaran, prosedur evaluasi, sapras pelatiha, mengevaluasi desain dan hasil belajar.Pada tahap ini, persiapan peserta didahului dengan pendaftaran seleksi peserta pelatihan.Tahap evaluasi (evaluation) terdiri dari dua bagian yaitu formatif dan sumatif. Evaluasi formatif dilakukan disetiap langkah atau proses ADDIE.

2.3.2 Model Pelatihan Siklus Lima tahap oleh Goad

  Model pelatihan siklus lima tahap oleh Goad dalam Nedler (1982: 11) terdiri dari siklus pelatihannya terdiri dari: (a) analisis kebutuhan pelatihan (analisyze to determine training reqruitmens). (b)desain pendekatan pelatihan (design the training approach). (c) pengembangan materi pelatihan (depelov the training materials). (d) pelaksanaan pelatihan (conduct the training) dan (e) evaluasi dan pemutakhiran pelatihan(evaluate and update the training). Langkah tersebut dapat dilihat pada gambar berikut ini.

  Analyze Evaluate Design

  Conduct Develop

  Gambar 2.2 Siklus Pelatihan Lima Tahap Goad dalam Nedler

  (1982: 11) Pelatihan yang ditujukan bagi orang dewasa sebagai sasaran perlu memperhatikan aspek: (1) orang dewasa belajar dengan melakukan (orang dewasa ingin dilibatkan); (2) masalah dan contoh relevan dan realistis; (3) lingkungan belajar terbaik adalah lingkungan informal; (4) tidak menerapkan sistem peringkat apapun; (5) fasilitator berperan sebagai agen pembaharuan: (6) fasilitator bertanggung jawab memfasilitasi pembelajaran; (7) variasi metode yang melahirkan gairah peserta pelatihan; (8) dampak pelatihan langsung bisa dirasakan peserta (Nedler, 1982: 41).

2.3.3 Model Pelatihan Induktif

  Pendekatan yang digunakan dalam model Induktif menekankan pada usaha yang dilakukan dari pihak yang terdekat, langsung, dan bagian-bagian ke arah pihak yang luas, dan menyeluruh. Oleh karena itu, melalui pendekatan ini diusahakan secara langsung pada kemampuan yang telah dimiliki setiap Sasaran didik (pelatihan), kemudian membandingkannya dengan kemampuan yang diharapkan atau harus dimiliki sesuai dengan tuntutan yang datang kepada dirinya.

  Gambar 2.3 Langkah-langkah Model Pelatihan Induktif (Kamil, 2010)

  Model ini digunakan untuk mengidentifikasi jenis kebutuhan belajar yang bersifat kebutuhan terasa (felt needs) atau kebutuhan belajar dalam pelatihan yang dirasakan langsung oleh peserta pelatihan. Pelaksanaan identifikasinya pun harus dilakukan secara langsung kepada peserta pelatihan itu sendiri.Keuntungan model induktif ini adalah dapat diperoleh informasi yang langsung, dan tepat mengenai jenis kebutuhan peserta pelatihan, sehingga memudahkan kepada tutor (pelatih) untuk memilih materi pelatihan (belajar) yang sesuai dengan kebutuhan tersebut. Namun kerugiannya, dalam menetapkan materi pendidikan yang bersifat menyeluruh, dan umum untuk peserta pelatihan yang banyak dan luas akan membutuhkan waktu, dana, dan tenaga yang banyak. Karena setiap peserta pelatihan yang mempunyai kecenderungan ingin atau harus belajar dimintai informasinya mengenai kebutuhan pelatihan (belajar) yang diinginkan.

2.3.4 Model Pelatihan Deduktif

  Pendekatan model deduktif merupakan model pelatihan yang menggenaralisasi secara umum dari identifikasi kebutuhan pelatihan dilakukan, dengan sasaran yang luas. Hasil identifikasi dibutuhkan untuk keseluruhan peserta pelatihan (sasaran) yang mempunyai ciri-ciri yang sama. Hasil identifikasi macam ini digunakan dalam menyusun materi pelatihan (belajar) yang bersifat massal dan menyeluruh. Hal ini sebagaimana telah dilakukan dalam menetapkan kebutuhan pelatihan minimal untuk peserta pelatihan dengan sasaran tertentu seperti melihat latar belakang pendidikan, usia, atau jabatan dan lainnya. Kemudian dikembangkan ke proses pembelajaran dalam pelatihan yang lebih khusus (Kamil, 2010).

  Keuntungan dari tipe ini adalah bahwa hasil identifikasi dapat diperoleh dari sasaran yang luas, sehingga ada kecenderungan penyelesaiannya menggunakan harga yang murah, dan relatif lebih efesien dibanding dengan tipe induktif karena informasi kebutuhan belajar yang diperoleh dapat digunakan untuk penyelenggaraan proses belajar dalam pelatihan secara umum. Namun demikian, model ini mempunyai kelemahan dari segi efektifitasnya, karena belum tentu semua peserta pelatihan (sasaran) diduga memiliki karakteristik yang sama akan memanfaatkan, dan membutuhkan hasil identifikasi tersebut. Hal ini didasarkan atas kenyataan bahwa keanekaragaman peserta pelatihan

  (sasaran) cenderung memiliki minat dan kebutuhan belajar yang berbeda (Kamil, 2010).

  Kebutuhan belajar hasil identifikasi model deduktif termasuk jenis kebutuhan terduga (expected needs), dalam pengertian bahwa peserta pelatihan (sasaran) pada umumnya diduga membutuhkan jenis kebutuhan belajar tersebut. Hal menarik bahwa, pernyataan jenis kebutuhan bisa tidak diungkapkan oleh diri peserta pelatihan (sasaran) secara langsung, akan tetapi oleh pihak lain yang diduga memahami tentang kondisi peserta pelatihan (sasaran). Oleh karena itu, mengapa banyak terjadi "Drop out dalam pelatihan", atau kebosanan belajar, tidak adanya motivasi, malas, karena ada kecenderungan bahan belajar yang dipelajarinya dalam pelatihan kurang sesuai dengan kebutuhan belajar yang dirasakannya (Kamil, 2010).

  2.4 Materi Pelatihan Pembelajaran Sosiologi dengan metode Inkuiri berbasis Budaya Lokal Pembelajaran inkuiri menurut Sumantri (1999:164), merupakan cara penyajian pelajaran yang memberi kesempatan kepada siswa untuk menemukan informasi dengan atau tanpa bantuan guru. Dengan melalui metode ini dapat membantu siswa untuk belajar mandiri. Hal ini sesuai dengan pendapat Suchman (1996 : 3), pembelajaran inkuiri adalah suatu pola untuk membantu para siswa belajar merumuskan dan menguji pendapatnya sendiri dan memiliki kesadaran akan kemampuannya. Konsep dasar lain juga disampaikan Widja (2005), metode pembelajaran inkuiri adalah suatu metode yang menekankan pengalaman- pengalaman belajar yang mendorong siswa dapat menemukan konsep-konsep dan prinsip. Konsep tersebut juga didukung oleh Nasution (2002), menyatakan bahwa metode pembelajaran inkuiri adalah merupakan proses belajar yang memberikan kesempatan pada siswa untuk menguji dan menafsirkan problema secara sistematika yang memberikan konklusi berdasarkan pembuktian.

  Dengan demikian konsep pembelajaran inkuiri menitikberatkan pada pemberian kesempatan pada siswa untuk berperan aktif peserta didik dalam menyelesaikan masalah melalui pembuktian yang dilakukan oleh siswa. Hal ini juga dipertegas oleh Trowbridge dan Bybee ( 1973 : 210) menyatakan bahwa, dengan pendekatan inkuiri maka pembelajaran menjadi lebih berpusat pada anak, proses belajar melalui inkuiri dapat membentuk dan mengembangkan konsep diri pada diri siswa, mengembangkan bakat, menghindari siswa dari cara-cara belajar dengan menghafal, dan memberikan waktu pada siswa untuk mengasimilasi dan mengakomodasi informasi.

  Sehingga dapat disimpulkan bahwa pembelajaran model inkuiri merupakan model pembelajaran yang berupaya menanamkan dasar-dasar berpikir ilmiah pada diri siswa, sehingga dalam proses pembelajaran ini siswa lebih banyak belajar sendiri, mengembangkan kreativitas dalam memecahkan masalah, sehingga siswa benar-benar ditempatkan sebagai subjek yang belajar. Dalam pelaksanaan pembelajaran inkuiri memiliki tujuan iringan (nurturant effect) yaitu: (1) memperoleh keterampilan untuk memproses secara ilmiah (mengamati, mengumpulkan, mengorganisasi-kan data, mengidentifikasikan variabel, merumuskan, dan menguji hipotesis, serta mengambil kesimpulan); (2) lebih berkembangnya daya kreativitas anak; (3) belajar secara mandiri; (4) perolehan sikap ilmiah terhadap ilmu pengetahuan yang menerimanya secara tentatif (Gulo,

  Dalam perkembangan dunia pendidikan sekarang ini, metode pembelajaran inkuiri mempunyai peranan penting yaitu: (1) menekankan kepada proses perolehan informasi oleh siswa, (2) membuat konsep diri siswa bertambah dengan penemuan-penemuan yang diperolehnya, (3) memiliki kemampuan untuk memperbaiki dan memperluas penguasaan keterampilan dalam proses memperoleh kognitif para siswa, (4) penemuan-penemuan yang diperoleh siswa dapat menjadi kepemilikannya dan sangat sulit melupakannya,(5) tidak menjadikannya guru sebagai satu- satunya sumber belajar, karena siswa belajar dengan memanfaatkan berbagai jenis sumber belajar (Sumantri, 1999:166).

  Agar pelaksanaan pembelajaran inkuiri dapat mencapai hasil yang optimal maka diperlukan syarat–syarat. Adapun syarat pembelajaran inkuiri adalah : (1) suasana terbuka yang mengundang siswa berdiskusi atau tidak ada hambatan untuk mengemukakan pendapatnya; (2) inkuiri berfokus pada hipotesis, siswa perlu menyadari bahwa pada dasarnya semua pengetahuan bersifat tentatif artinya tidak ada kebenaran yang bersifat mutlak atau kebenarannya selalu bersifat sementara; (3) penggunaan fakta sebagai evidensi, di dalam kelas dibicarakan validitas dan reliabilitas tentang fakta sebagaimana dituntut dalam pengujian hipotesis pada umumnya (Gulo, 2002:85).

  Sehubungan dengan tujuan dan syarat pembelajaran inkuiri maka peranan utama guru sebagai berikut: (1) motivator, yang memberi rangsangan supaya siswa aktif dan gairah berpikir; (2) fasilitator, yang menunjukkan jalan keluar jika ada hambatan dalam proses berpikir siswa; (3) administrator, yang bertanggungjawab terhadap seluruh kegiatan berpikir siswa pada tujuan yang diharapkan; (5) manajer, yang mengelola sumber belajar, waktu, dan organisasi kelas; (6) rewarder, yang memberi penghargaan pada prestasi yang dicapai dalam rangka peningkatan semangat heuristik pada siswa (Gulo, 2002: 86).

  Manfaat lain yang didapat dari penerapan pembelajaran inkuiri yaitu dapat mengembangkan kemampuan intelektual, pengembangan emosional dan pengembangan keterampilannya. Langkah pembelajar-an inkuiri meliputi (1) merumuskan masalah; (2) merumuskan hipotesa; (3) mengumpulkan bukti ; (4) menguji hipotesa, dan; (5) menarik kesimpulan (Gulo,2004 : 94)

  Adapun langkah pembelajaran inkuiri tersebut dapat digambarkan sebagai berikut : Gambar 2.4

  Proses Inkuiri ( Gulo, 2004 : 94) Pembelajaran inkuiri diawali dari sebuah permasalahan yang perlu dikaji oleh siswa. Sebelum melakukan pengamatan untuk mengambil data, siswa perlu merumuskan hipotesis yaitu dugaan sementara atas jawaban berdasarkan literatur- literatur. Setelah melakukan pengamatan di lapangan maka hasil data informasi melalui wawancara dan pengamatan dapat digunakan untuk menguji dugaan dan ditarik kesimpulan.

  Model pembelajaran yang dapat diadaptasi dalam pembelajaran sosiologi antropologi untuk mengembangkan wawasan pengetahuan peserta didik dengan penekanan proses pengamatan secara langsung dengan budaya lokal. Pembelajaran model inkuiri berbasis budaya lokal adalah pendekatan pembelajaran pada masalah autentik terkait budaya lokal sehingga siswa dapat menyusun pengetahuannya, menumbuhkembangkan kemandirian, serta meningkatkan percaya diri pada siswa (Abbas. 2000:12). Model pembelajaran tersebut memiliki kelebihan sebagai berikut :(1) dengan metode pembelajaran inkuiri akan melatih siswa berani mengemukakan pendapat dan menemukan sendiri pengetahuannya berdasarkan hasil pengamatan langsung,(2) model pembelajaran ini dikemas menjadi proses membangun bukan menerima pengetahuan artinya siswa membangun pengetahuan secara mandiri melalui keterlibatan aktif dalam proses belajar mengajar dengan memanfaatkan berbagai sumber, dengan demikian pembelajaran berpusat pada siswa. Penerapan pembelajaran model inkuiri terdiri dari 5 langkah sebagai berikut :

  Tabel 2.1 Langkah-langkah Pembelajaran Model Inkuiri

  Langkah Pembelajaran Kegiatan guru

  Berbasis Masalah Orientasi siswa Guru menjelaskan tujuan pada masalah dan pembela- mampu jaran, menjelaskan logistik yang merumuskan dibutuhkan dan memotivasi masalah siswa terlibat dalam aktifitas Mengorganisir Guru membagi siswa dalam siswa dalam kelompok belajar Guru membantu siswa dalam mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas–tugas belajar yang berhubungan dengan masalah yang akan dikaji

  Membimbing Guru mendorong siswa untuk penyelidikan mengumpulkan informasi yang individual sesuai, maupun melaksanakan eksperimen dan kelompok penyelidikan untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah yang dikaji

  Mengembangkan Guru membantu siswa dalam dan menyajikan merencanakan dan menyiapkan hasil karya karya yang sesuai dengan laporan, video, dan model, membantu mereka membagi tugas dengan temannya

  Menganalisis dan Guru membantu siswa untuk mengevaluasi melakukan refleksi atau evaluasi proses pemecahan terhadap penyelidikan mereka masalah dan proses yang digunakan

  Sumber : Abbas, 2000:14–15

2.5 Keefektifan Pembelajaran Inkuiri

  Pembelajaran model inkuiri adalah pendekatan pembelajaran pada masalah autentik sehingga siswa dapat menyusun pengetahuannya, menumbuh kembangkan kemandirian, serta meningkatkan percaya diri pada siswa (Abbas. 2000:12). Menurut Slavin (1994: 310) untuk mengetahui tingkat keefektifan pembelajaran model ditentukan empat indikator yaitu: kualitas pembelajaran (quality of instruction), kesesuaian tingkat pembelajaran (appropriate level of instruction ), insentif ( incentive ), dan waktu ( time ).

  Kualitas pembelajaran adalah banyaknya informasi atau keterampilan yang disajikan sehingga siswa dapat mempelajarinya dengan mudah. Dengan kata lain, makin kecil tingkat kesalahan yang diperoleh makin efektiflah tingkat pembelajaran. Penentuan tingkat efektivitas pembelajaran tergantung pada pencapaian tujuan pembelajaran, biasanya disebut ketuntasan belajar. Kesesuaian tingkat belajar adalah sejauh mana guru memastikan kesiapan siswa untuk mempelajari pengetahuan baru (siswa mempunyai pengetahuan dan keterampilan yang berkaitan dengan pengetahuan baru tersebut). Dengan kata lain materi pelajaran yang diberikan tidak terlalu sulit dan tidak terlalu mudah. Insentif adalah seberapa besar seorang guru memotivasi siswa untuk mengerjakan tugas-tugas belajar. Semakin besar motivasi yang diberikan guru kepada siswa maka keaktifan siswa semakin besar pula. Dengan demikian pembelajaran akan lebih efektif.

  Pembelajaran akan efektif apabila siswa dapat menyelesaikan pembelajaran sesuai dengan waktu yang telah ditentukan.Konsekuensinya bahwa dalam pembelajaran sangat perlu diperhatikan bagaimana keterlibatan siswa Semakin aktif siswa maka ketercapaian ketuntasan pembelajaran semakin besar, sehingga semakin efektiflah pembelajaran.

  Berdasarkan pendapat di atas, dapat dikatakan bahwa pembelajaran model inkuiri dikatakan efektif apabila memenuhi paling sedikit dua dari tiga persyaratan adalah (1) belajar siswa secara klasikal sudah tuntas; (2) tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan tercapai;(3) respon siswa terhadap pembeajaran positif.

2.6 Konstruktivisme

  Pembelajaran inkuiri merupakan salah satu pembelajaran yang menganut kontruktivisme. Menurut kaum konstruktivis, belajar merupakan proses aktif siswa mengkonstruksi arti teks, dialog, pengalaman fisis, dan lain- lain. Hal tersebut juga dipertegas lagi oleh Suparno (1997:61), bahwa belajar merupakan proses asimiliasi dan akomodasiyaitu menghubungkan pengalaman atau bahan yang dipelajari dengan pengertian yang sudah dipunyai seseorang sehingga pengertian dikembangkan. Menurut Court dalam Suparno (1997:65) mengajar berarti partisipasi dengan pembelajar dalam membentuk pengetahuan, membuat makna, mencari kejelasan, bersikap kritis, dan mengadakan justifikasi.Hal ini sejalan dengan pendapat kaum konstruktivis bahwa mengajar bukanlah kegiatan memindahkan pengetahuan dari guru ke murid, melainkan suatu kegiatan yang memungkinkan siswa membangun sendiri pengetahuannya.

  Salah satu model pembelajaran yang memberikan peluang kepada siswa untuk mengkonstruksi pengetahuannya sendiri dan menumbuh kembangkan sikap ilmiah adalah tersebut adalah Bruner dalam Dahar ( 1989:103) yang menyatakan selama kegiatan belajar berlangsung hendaknya siswa dibiarkan mencari atau menemukan sendiri makna segala sesuatu yang dipelajari. Adapun manfaat pembelajaran model inkuiri berbasis masalah juga disampaikan oleh Trowbridge dan Bybee (1973:210-212), yang menyatakan bahwa dalam pendekatan inkuiri , pembelajaran lebih berpusat pada siswa , proses belajar melalui inkuiri dapat membentuk dan mengembangkan konsep diri pada diri siswa, tingkat pengharapan bertambah, pendekatan inkuiri dapat mengembangkan bakat pendekatan inkuiri dapat menghindari siswa dari cara-cara belajar dengan menghafal, dan pendekatan inkuiri memberikan waktu pada siswa untuk mengasimilasi dan mengakomodasi informasi.

  Beberapa teori belajar konstruktivis yang mendasari pembelajaran model inkuiri berbasis masalah diantaranya : 1) Teori Piaget

  Menurut Piaget dalam Suherman (2003: 37) tentang aspek aspek perkembangan kognitif yaitu tahap (1) sensory motor; (2) pre operational; (3) concrete operational dan (4) formal operational. Menurut Piaget, bahwa belajar akan lebih berhasil apabila disesuaikan dengan tahap perkembangan kognitif peserta didik. Sebagai contoh dalam pembelajaran sosiologi, peserta didik perlu diberikan contoh-contoh secara konkrit, melakukan observasi ke masyarakat, karena dalam tahap perkembangannya remaja SMA masih berada pada tahap conrete operational.

  Peserta didik hendaknya diberi kesempatan untuk melakukan eksperimen dengan obyek fisik, yang ditunjang oleh interaksi dengan teman sebaya dan dibantu oleh pertanyaan pilihan dari guru. Guru hendaknya banyak berinteraksi dengan lingkungan secara aktif, mencari dan menemukan berbagai hal dari lingkungan.

  Implikasi teori perkembangan kognitif Piaget dalam pembelajaran adalah: (a) bahasa dan cara berfikir anak berbeda dengan orang dewasa. Oleh karena itu guru mengajar dengan menggunakan bahasa yang sesuai dengan cara berfikir anak; (b) anak-anak akan belajar lebih baik apabila dapat menghadapi lingkungan dengan baik. Guru harus membantu anak agar dapat berinteraksi dengan lingkungan sebaik-baiknya; (c) bahan yang harus dipelajari anak hendaknya dirasakan baru tetapi tidak asing; (d) berikan peluang agar anak belajar sesuai tahap perkembangannya;(e) di dalam kelas, anak-anak hendaknya diberi peluang untuk saling berbicara dan diskusi dengan teman-temanya.

  2). Teori Vygotsky Menurut Vygotsky dalam Nur (1996:25) menekankan pada hakekat sosiokultural pembelajaran, yaitu siswa belajar melalui interaksi dengan orang dewasa dan teman sebaya. Lebih lanjut Vygotsky yakin bahwa fungsi mental yang lebih tinggi umumnya muncul dalam percakapan atau kerjasama antar indinvidu (interaksi dengan orang dewasa dan teman sebaya ) sebelum fungsi mental yang lebih tinggi itu terserap ke dalam individu tersebut.

  Vygotsky mendifinisikan zona of proximal development (ZPD) sebagai jarak antara tingkat perkembangan sesungguhnya yang didefinisikan sebagai kemampuan pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa atau melalui kerjasama dengan teman sejawat yang lebih mampu (Nur, 1996: 29). Vygotsky yakin bahwa pembelajaran terjadi dipelajarai namun tugas itu masih berada dalam jangkauan atau masih dalam zona of proximal development mereka. Fungsi mental yang lebih tinggi pada munculnya dalam percakapan atau kerjasama antar individu sebelum fungsi mental.

  Teori lain dari Vygotsky adalah scaffolding yaitu pemberian sejumlah besar bantuan kepada seseorang peserta didik selama tahap awal pembelajaran dan kemudian peserta didik tersebut mengambil alih tanggungjawab yang semakin besar segera ia dapat melakukannya. Bantuan tersebut dapat berupa petunjuk peringatan atau dorongan yang memungkinkan peserta didik tumbuh sendiri. 3). Teori J. Bruner.

  Salah satu model intruksional kognitif yang sangat berpengaruh ialah model dari Jerome Bruner yang dikenal dengan belajar penemuan (Discovery learning). Bruner dalam Dahar (1998:125) menganggap, bahwa belajar penemuan sesuai dengan pencarian pengetahuan secara aktif oleh manusia, dan dengan sendirinya memberi hasil yang paling baik. Berusaha sendiri untuk mencari pemecahan masalah serta pengetahuan yang menyertai, menghasilkan pengetahuan yang benar–benar bermakna.

  Bruner dalam Trianto (2007: 26) menyarankan agar siswa–siswa hendaknya belajar melalui partisipasi secara aktif dengan konsep – konsep dan prinsisp – prinsip, agar melakukan eksperimen - eksperimen yang mengizinkan mereka untuk menemukan prinsip- prinsip itu sendiri.

2.7 Pembelajaran Inkuiri Berbasis Budaya Lokal pada

  Mata Pelajaran Sosiologi Pembelajaran inkuiri berbasis budaya lokal merupakan proses pembelajaran yang memadukan metode inkuiri yaitu menekankan pengalaman-pengalaman belajar yang mendorong siswa dapat menemukan konsep-konsep dan prinsip melalui pengamatan yang melibatkan budaya lokal. Yang dimaksud budaya menurut Koentjoroningrat adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan segala hasil karya manusia dalam rangka khidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan cara belajar (Gering Supriyadi 2003). Pembelajaran inkuiri berbasis budaya merupakan pembelajaran yang melibatkan lingkungan belajar dan perancangan pengalaman belajar yang mengintegrasikan budaya lokal sebagai bagian dari proses pembelajaran. Pendekatan ini didasarkan pada pengakuan terhadap budaya sebagai bagian yang fundamental dalam pendidikan.

  Pelajaran sosiologi lebih banyak berhubungan dengan masalah dan gejala yang muncul di masyarakat. Pembelajaran sosiologi yang selama ini diterapkan lebih didominasi di dalam kelas dengan pembahasan dan informasi dari guru cenderung berjalan satu arah yaitu proses transfer knowledge. Dengan berlakunya kurikulum 2013, paradigma pembelajaran sudah berubah pada pembelajaran berpusat pada siswa, bahkan guru sifatnya sebagai salah satu sumber belajar, bukan satu- satunya sumber belajar. Belajar dalam konteks kurikulum 2013 sudah menuntut penggunaan berbagai sumber belajar, termasuk lingkungan masyarakat sekitar sebagai wadah melakukan pengamatan. Terkait dengan hal tersebut, peserta didik dapat melakukan proses pengamatan terhadap budaya- budaya lokal di sekitar peserta didik, melakukan wawancara dengan narasumber yang relevan. Dari proses pengamatan, perserta didik juga berlatih berkomunikasi, melalui kegiatan baik dalam bentuk informasi lesan, tertulis maupun rekaman dalam bentuk video. Informasi-informasi tersebut dijadikan peserta didik sebagai bahan melakukan asosiasi atau pengolahan informasi dalam bentuk diskusi di dalam kelas. Hasil diskusi secara kelompok digunakan sebagai bahan peserta didik melakukan proses presentasi kelas. Kegiatan ini sebagai bentuk melatih diri bagaimana peserta didik mengkomunikasikan hasil pengamatan pada orang lain.

  Objek-objek pengamatan yang dapat diamati dalam proses pembelajaran inkuiri berbasis budaya lokal adalah objek multikultur masyarakat di sekitar peserta didik. Secara khusus di wilayah Kecamatan Singorojo Kabupaten Kendal, terdapat objek-objek budaya lokal seperti kesenian Kuda Lumping, Sintren (Laes), kegiatan Nyadran (sedekah bumi) dan Merti Desa melalui wayang kulit. Peserta didik dapat melakukan pengamatan, perekaman, wawancara dan akhirnya menganalisis bagaimana sejarahnya, fungsi-fungsi dan tujuan kegiatan, nilai-nilai yang terkandung dalam kegiatan dan nilai ekonomis. Peserta didik dapat menggali potensi-potensi budaya lokal sebagai aset wilayah sebagai desa wisata.

  Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa pembelajaran inkuri berbasis budaya lokal merupakan proses pembelajaran yang melibatkan peserta didik melakukan pengamatan dengan objek-objek budaya lokal.

2.8 Penelitian Terdahulu

  Beberapa hasil penelitian lain yang terkait dengan penelitian ini antara lain dilakukan oleh Wardani dan Abubakar. Penelitian Wardani (2012:50), The Effectiveness Of Inkuiri Learning Approach In The Sosial Laboratory The Towards The Enhancement Of Learning Creativity Of 5 Th” School, menyimpulkan bahwa guru diharapkan merubah pembelajaran yang berpusat pada guru ke pembelajaran berpusat pada siswa dengan mendasain pembelajaran inovatif terutama menggunakan pendekatan inkuiri yang mendorong kreativitas siwa. Pelaksanaan pembelajaran inkuiri dilaksanakan di laboratorium sosial misalnya didekatkan langsung ke masyarakat atau pembelajaran di luar kelas.Penelitian Abubakar (2012:61-125), Prinsip dan Problema Pembelajaran Sosiologi, Lembaga Pendidikan di Banda Aceh,mengatakan bahwa karakteristik, prinsip sifat- sifat dan paradigma sosiologi dapat mempengaruhi strategi pembelajaran dan penyusunan silabus dan tujuan yang diharapkan. Dengan sifat hierarkis, maka materi pembelajaran sosiologi perlu disusun secara logis dan sistimatis dengan tekanan kajian adalah struktur masyarakat, pengalaman yang tersedia dalam buku ajarnya adalah gambaran fakta masyarakat yang dicermati dengan berbagai metode.

  Dari kedua penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa pembelajaran sosiologi diperlukan model pembelajaran yang inovatif dan kreatif terutama menggunakan pendekatan inkuiri dan juga diperlukan strategi pembelajaran sosiologi yang disusun secara logis dan sistimatis. Dengan demikian maka diperlukan suatu pelatihan guru sosiologi, dengan tujuan agar guru sosiologi dapat membuat dan menyusun perangkat pembelajaran sosiologi dengan pembelajaran inkuiri berbasis budaya lokal.

2.9 Kerangka Pikir

  Budaya lokal perlu digali dan ditanamkan kepada peserta didik melalui sebuah pembelajaran sosiologi yang konstruktif, artinya peserta didik perlu menggali sendiri potensi-potensi daerah melalui terjun langsung ke lapangan, melakukan pengamatan, wawancara dengan nara sumber dan mengambil makna dari sebuah pembelajaran tersebut. Harapannya akan tumbuh kesadaran dan kepekaan tentang pentingnya pelestarian budaya lokal. Pembelajaran inkuri berbasis budaya lokal merupakan suatu alternatif pembelajaran yang secara langsung memberikan peluang besar bagi peserta didik untuk aktif menemukan sendiri melalui eksplorasi secara kelompok di luar kelas. Pembelajaran berbeda jauh dengan pembelajaran yang hanya monoton di dalam kelas, mendengarkan penjelasan guru, peserta didik tidak mengalami secara langsung dan tidak bersentuhan langsung dengan budaya lokal yang ada.

  Pembelajaran inkuiri berbasis budaya lokal ini perlu disebarluaskan pada guru-guru sosiologi melalui pelatihan yang tepat. Menjadi hal yang penting untuk dilakukan, karena berdasarkan hasil wawancara pelaksanaan pembelajaran yang dilakukan oleh guru sosiologi anggota MGMP Sosiologi Kabupaten Kendal masih terpusat di kelas dan belum banyak memberikan keleluasaan pada keaktifan peserta didik. Pengembangan pelatihan guru sosiologi tentang pembelajaran model inkuiri berbasis budaya lokal merupakan kerangka konseptual dari pelatihan guru sosiologi yang mengacu pada indikator kompetensi pedagogik. Pelatihan ini bertujuan untuk meningkatkan kompetensi pedagogik guru sosiologi SMA tentang model pembelajaran inkuiri berbasis budaya lokal dilaksanakan dengan menggunakan pedoman prinsip-prinsip dasar, unsur manajemen dan tahap pelatihan, yaitu: (1) perencanaan pelatihan; (2) pelaksanaan pelatihan; dan (3) evaluasi pelatihan.

  Pelatihan manajemen pelatihan dilaksanakan dengan pelatihan; (2) model pelatihan, silabus, RPP dan (3) modul pelatihan. Pelatihan ini untuk meningkatkan kompetensi pedagogik guru sosiologi, dengan menggunakan model pelatihan yang dilaksanakan dengan menggunakan prinsip manajemen yang melalui tahapan pelatihan yaitu: (1) perencanaan pelatihan; (2) pelaksanaan pelatihan; dan (3) evaluasi pelatihan.

  Manajemen pelatihan sosiologi ini dirancang dengan menggunakan model manajemen pelatihan dengan menggunakan paket pelatihan berupa buku panduan yang berisi cara penggunaan model, manajemen pelatihan (tugas pengelola, instruktur dan peserta pelatihan, materi, silabus,dan RPP. Adapun modul pelatihan terdiri dari materi pembelajaran inkuiri berbasis budaya lokal, contoh-contoh RPP, contoh pelaksanaan pembelajaran berupa video dan evaluasi. Model pelatihan ini dirancang untuk meningkatkan kompetensi pedagogik bagi guru sebagai pedoman dalam melaksanakan pembelajaran inkuiri berbasis inkuiri.

  Model Pelatihan Prosedur Pelatihan

  Perencanaan Materi Pelatihan

  Pelatihan Guru

  Budaya Lokal Perangkat

  Pembelajaran Pembelajarann

  Sosiologi Evaluasi

Dokumen yang terkait

BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Respon Siswa tentang Tes Literasi Sains - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Hubungan Kemampuan Literasi Sains Dengan Sikap Ilmiah Siswa Kelas XI MIPA SMA Kristen 1 Salatiga Pada Materi Sistem Ge

0 0 11

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Hubungan Kemampuan Literasi Sains Dengan Sikap Ilmiah Siswa Kelas XI MIPA SMA Kristen 1 Salatiga Pada Materi Sistem Gerak Yang Diuji Menggunakan Problem Based Learning

0 0 39

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perancangan Algoritma Kriptografi Block Cipher Berbasis Pola Cabang dan Ranting Pohon

0 0 28

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perancangan dan Implementasi Aplikasi Deteksi Kemiripan Dokumen Menggunakan Algoritma Shingling dan MD5 Fingerprint

0 0 20

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Penerapan Teknologi Workflow Pada Sistem Penerbitan Surat Keputusan Pengangkatan Pegawai UKSW

0 0 21

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perancangan dan Implementasi Sistem Informasi Kepegawaian pada Gereja Protestan Maluku menggunakan RESTful Web Service dan Node.Js

0 1 29

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perancangan dan Implementasi Sistem Informasi Pendataan Pemohon SIUP Online (Studi Kasus : Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Ambon)

0 0 20

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Analisis Gangguan Listrik di PLN Kalimantan Barat dengan Fitting Sinusoids

0 0 28

BAB II KAJIAN TEORI - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengembangan Model Pelatihan Guru PPKn Berwawasan Pluralisme

0 0 30

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengembangan Model Pelatihan Guru PPKn Berwawasan Pluralisme

0 0 38