Renewable Energy Penerapan Limbah Minyak

Renewable Energy: Penerapan Limbah Minyak Pangan sebagai Bahan
Bakar Biodiesel di Kyoto, Jepang dan Prospek Pengembangan Biodiesel di
Indonesia
Oleh:
Adelia Anju Asmara/081111039/Ilmu dan Teknologi Lingkungan
Renewable Energy (RE) yang biasa disebut energi terbarukan merupakan isu global
yang mengalami perkembangan pesat dalam dekade belakangan ini seiring dengan isu global
warming yang sudah dahulu berkembang. Penelitian dan pengembangan mengenai RE sudah
banyak dilakukan dan diterapkan baik di negara maju maupun negara berkembang.
Intergovermental Panel on Climate Change (IPCC) menyebutkan penggunaan energi di
dunia saat ini masih didominasi oleh minyak sebesar 34,6%, kemudian disusul dengan batu
bara sebesar 28,4% dan gas alam sebesar 22,1%. Sedangkan penggunaan RE hanya sebesar
12,9% yang terdiri dari beberapa bentuk energi, seperti: solar PV, energi angin, energi laut,
hydropower, panas bumi, dan biomassa.
Salah satu bentuk RE adalah biomassa, yaitu energi yang berasal dari bahan-bahan
organik (benda hidup) dari tumbuhan atau hewan sebagai bentuk konversi energi. Biomassa
merupakan satu-satunya sumber energi terbarukan yang mempunyai rute konversi paling
singkat dalam upaya produksi dan penyediaan bahan bakar. Biomassa di dunia usaha
penyediaan energi dibagi menjadi 2 bentuk penting, yaitu bahan bakar hayati (biofuels) dan
listrik hayati (biomass electricity). Bahan bakar hayati terus dikembangkan menjadi beberapa
bentuk, seperti: biodiesel, bioethanol, bio-oil, biogas, biohidrogen, biobriket, dan sebagainya.

Bahan bakar hayati dalam bentuk biodiesel di dunia dikembangkan dari bahan
mentah yang dapat tumbuh sesuai dengan keadaan dan karakteristik dari negara tersebut.
Misalnya di Eropa menggunakan bahan mentah dari olive oil (minyak zaitun), rapeseed oil
(minyak rapa), dan minyak bunga matahari. Di Amerika didominasi oleh bahan mentah yang
berasal dari kacang kedelai, sedangkan di ASEAN didominasi bahan mentah dari minyak
sawit, minyak kelapa, dan Jarak Pagar.
Tidak semua negara maju mempunyai bahan mentah yang dapat diolah menjadi
biodiesel. Jepang merupakan negara maju yang mempunyai teknologi canggih namun tidak
mempunyai sumber daya alam yang mendukung. Dibalik kekurangan tersebut Jepang pandai
memanfaatkan potensi yang ala kadarnya menjadi salah satu bentuk RE yang dapat
memenuhi kebutuhan bahan bakar penduduknya. Bahan mentah yang digunakan sebagai
bahan baku biodiesel adalah limbah minyak pangan hasil dari penggorengan. Daerah di

Jepang yang menjadi daerah percontohan dan penerapan biodiesel berbahan baku limbah
minyak pangan adalah Kyoto, yang mempunyai Kyoto Biodiesel Production.
Bahan baku limbah minyak pangan ini berasal dari proses penggorengan yang berasal
dari rumah tangga, restoran, dan kafetaria di Kota Kyoto yang dimurnikan untuk
memproduksi bahan bakar yang kemudian diaplikasikan pada mesin kendaraan. Limbah
minyak penggorengan dikumpulkan setiap bulan dari rumah tangga menggunakan tanki
polyethylene yang bekerjasama dengan Regional Waste Reduction Promotion Committee atau

sukarelawan di setiap daerah yang bekerjasama dengan masyarakat setempat. Biodiesel ini
diproduksi dengan tujuan menggunakan kembali limbah minyak penggorengan yang ada,
memurnikan emisi gas, mengurangi emisi karbondioksida, dan menerapkan pendidikan
berbasis lingkungan yang berkelanjutan. Pencapaian ini dapat berkontribusi untuk
mengurangi emisi karbondioksida sekitar 3.200 ton per tahun.
Dimulai dari Juli 1996, Kyoto mempunyai ide untuk menggunakan limbah minyak
pangan sebagai bahan bakar. Penelitian dan percobaan dilakukan rentang 1996-1999. Pada
tahun 1997, protokol Kyoto ditandatangani oleh negara-negara di dunia untuk berkomitmen
mengurangi emisi karbondioksida dan gas rumah kaca lainnya. Sehingga perkembangan
biodiesel berbahan bakar limbah minyak pangan gencar dilakukan dan pada tahun 1999,
biodiesel ini mulai diujicobakan pada 80 bus di Kyoto. Pada tahun 2004, fasilitas produksi
biodiesel di Kyoto telah lengkap, dan sudah beroperasi sampai sekarang.
Proses pengolahan limbah minyak penggorengan meliputi beberapa tahap, yaitu
pengumpulan limbah minyak penggorengan, pretreatment, reaction, separation, methanol
recovery, cleaning with warm water, moisture removal, additive injection, contaminant
removal, dan produk. Sekitar 1,3 juta liter setiap tahun limbah minyak penggorengan
dikumpulkan dan dimurnikan. Dari tahun 1997 sampai sekarang beroperasi belum ada
masalah serius dari penggunaan biodiesel ini, hanya saja ada sedikit masalah di awal
penggunaan dan pergantian mesin dari berbahan bakar minyak bumi menjadi biodiesel
berbahan bakar limbah minyak pangan. Fasilitas produksi biodiesel ini dilakukan secara

otomatis dan menggunakan teknologi pengamanan yang canggih. Setiap hari Kyoto Biodiesel
dapat memproduksi 5000 liter/hari dengan dasar standar kualitas biodiesl US (United States)
dan EU (Europe). Tetapi, beberapa parameter disesuaikan dengan karakteristik negara Jepang
yang mempunyai suhu terendah yang berbeda dengan standar US maupun EU.
Tak hanya berhenti di Kyoto Biodiesel Production saja, penelitian terus dilakukan
untuk memperoleh biodiesel yang mempunyai efisiensi lebih baik dari sebelumnya.
Penelitian yang dilakukan oleh Prof. Shiro Saka dari Universitas Kyoto yang menemukan

teori baru dalam teknologi biodiesel, yaitu Supercritical Fluid Technologies for Biodiesel.
Pada teori ini menyatakan bahwa air yang mempunyai sifat hidrofilik dapat berubah menjadi
hidrofobik seperti minyak pada suhu dan tekanan yang lebih tinggi melampaui titik kritisnya,
sehingga teori ini disebut dengan superkritikal fluida. Selain itu, RITE (Research Institute of
Innovative Technology for the Earth) di Kyoto juga mengembangkan biorefinary sebagai
bahan bakar yang ramah lingkungan. Biorefinary merupakan salah satu pengembangan
bioteknologi industri yang dapat mengubah bahan baku makhluk hidup (tumbuhan/hewan)
menjadi minyak. RITE menemukan Corynebacterium glutanicum (RITE strain) yang dapat
mengubah selulosa kompleks (C-5 dan C-6) menjadi bahan bakar etanol dari limbah tanaman
seperti bongkol jagung, bagas tebu, bathok kelapa, batang padi dan sebagainya.
Bagaimana dengan Indonesia? Menurut METI (Masyarakat Energi Terbarukan
Indonesia), penggunaan energi di Indonesia masih didominasi oleh minyak bumi sebesar

52,9%, kemudian disusul dengan batu bara sebesar 21,5%. Penggunaan RE di Indonesia
masih relatif kecil, yaitu 3,93%. Indonesia mempunyai sumber daya biomassa yang potensial.
Bahan baku dari biodiesel di Indonesia dihasilkan dari minyak kelapa sawit atau CPO (Crude
Palm Oil). Indonesia merupakan negara penghasil kelapa sawit terbesar di dunia yang dapat
memproduksi minyak kelapa sawit sebesar 1.810 juta liter/tahun dan mengalami peningkatan
menjadi 3.455,7 juta liter pada tahun 2009.
Selain itu, Indonesia memiliki potensi biodiesel yang sangat besar dari tanaman selain
kelapa sawit, yaitu sekitar 50 jenis tanaman di Indonesia dapat diekstrak menjadi biodiesel.
Misalnya saja: kelapa, jarak pagar, nimba, jarak pagar, kelor kemiri, dan lain-lain. Indonesia
sangat kaya dengan potensi sumber nabati (tumbuhan) penghasil minyak lemak, baik minyak
lemak pangan (edible fatty oil) maupun non pangan (non edible fatty oil) yang belum maupun
sudah termanfaatkan secara komersial. Fakta bahwa biodiesel dapat dibuat dari aneka minyak
nabati dengan teknologi yang sama dan sederhana seharusnya dapat mendorong wilayahwilayah di Indonesia untuk mengembangkan pembudidayaan tumbuhan penghasil minyak
nabati serta mendirikan pabrik-pabrik biodiesel, paling tidak dapat memenuhi kebutuhan
daerahnya sendiri.
Indonesia merupakan negara tropik yang mempunyai keanekaragaman hayati nomor 2
terbesar setelah negara Brazil. Indonesia mempunyai potensi produksi bioenergi yang relatif
tinggi, terutama biomassa jika dieksploitasi secara arif, cermat, dan kreatif. Produksi dan
penggunaan komersial biodiesel di dalam negeri akan memberikan keuntungan, seperti:
mengurangi ketergantungan terhadap Bahan Bakar Minyak (BBM), mengurangi peningkatan

impor bahan bakar minyak, mengurangi kecenderungan pemanasan global serta pencemaran

udara, memupuk komoditi ekspor baru karena semakin banyak yang menggunakan bahan
bakar berbasis RE, menyediakan lapangan kerja baru, dan lain sebagianya.
Potensi biodiesel di Indonesia yang didominasi oleh bahan baku minyak kelapa sawit
mempunyai sisi yang buruk ke lingkungan disamping manfaat yang diberikan. Pada rentang
tahun 2000-2005, Indonesia menanam 1,6 juta ha kelapa sawit dan sekitar 9,8 juta ha hutan
menjadi hilang akibat ditebang dan ditanami kelapa sawit. Selain itu banyak lahan gambut
dibakar untuk ditanami kelapa sawit. Hal ini menyebabkan pelepasan emisi karbon lebih
besar daripada penanaman kelapa sawit untuk biodiesel yang sebenarnya bertujuan untuk
mengurangi emisi gas karbondioksida. Selain itu, rintangan utama dalam pengembangan
biodiesel di Indonesia adalah kualitas dan keunggulan biodiesel belum disadari oleh
masyarakat luas maupun para pengambil kebijakan kunci disektor energi dan medan
kompetisi dengan produk energi berbasis fosil tidak adil, akibat masih adanya subsidi harga
pada BBM.
Berdasarkan uraian di atas, kita dapat mengambil perbandingan dan pelajaran dari dua
hal antara Kyoto, Jepang dengan Indonesia. Dari Kyoto, Jepang dengan minim sumber daya
hayati dapat memanfaatkan potensi ala kadarnya dari limbah minyak pangan menjadi bahan
bakar yang komersial dan digunakan secara luas oleh masyarakatnya, karena didukung oleh
segenap kebijakan pemerintah dan teknologi yang bagus. Sedangkan Indonesia yang

mempunyai banyak sumber daya hayati untuk bahan bakar biodiesel sebagai salah satu
bentuk RE masih harus banyak berbenah diri. Dari semua sektor harus mengalami perbaikan
dan pengembangan, baik dari kebijakan pemerintah, pengembangan teknologi, dan yang
lebih penting dari itu semua adalah kesadaran masyarakat akan pentingnya penggunaan RE.
Indonesia harus lebih gencar melakukan promosi dan publikasi serta pendidikan tentang
lingkungan sejak dini ke masyarakat luas terhadap pentingnya penggunaan RE saat ini.

Referensi:
Anonim, 2013. RITE Today, Annual Report. Vol. 08. RITE, Kyoto, Japan. 21-27.
Kumar, S., P. Abdul Salam, Ram M. Shrestha, and Manjula S., 2010. Report on Bioenergy
Thematic Studi in Thailand and Indonesia, Prepared for: Global Network on energy
for Sustainble Development (GNESD). AIT (Asian Institute of Technology). 8-14.
Saka, S., 2014. Recent Progress and Prospect in Supercritical Fluid Technologies for
Biodiesel. Materi seminar AUN-KU Seminar Human Development and Energy
Science. Universitas Kyoto, Kyoto, Jepang.
Soerawidjaja, T. H., 2004. Prospek Pengembangan Bioenergi di Indonesia. Prosiding,
Seminar Nasional Mekanisasi Pertanian. 31-40.