Pengembangan Pembelajaran Sastra Lokal u

LAPORAN AKHIR PELAKSANAAN PENELITIAN DESENTRALISASI PROGRAM PENELITIAN HIBAH BERSAING TAHUN ANGGARAN 2013-2014 PENGEMBANGAN PEMBELAJARAN SASTRA LOKAL UNTUK MEMBANGUN KARAKTER POSITIF SISWA SEKOLAH DASAR

Tahun ke 1 dari rencana 3 tahun

TIM PENELITI

Prof. Dr. Patrisius I. Djiwandono

0716036701

Lilis Lestari Wilujeng, S.S., M.Hum

0718087201

FX. Dono Sunardi, M.A. 0726057601

UNIVERSITAS MA CHUNG NOVEMBER 2014

RINGKASAN EKSEKUTIF

Pendidikan karakter sudah mendesak dilakukan untuk membentuk manusia-manusia terdidik Indonesia yang tidak hanya sekedar pintar secara akademis namun juga berkarakter baik. Selama ini, pentingnya pendidikan karakter hanya sebatas retorika, sementara penerapannya belum mewujud menjadi praksis pembelajaran dan pendidikan secara sistematis dan berkesinambungan dari tingkat sekolah dasar sampai pendidikan tinggi. Di tengah makin berkembangnya jaman dan makin rumitnya dimensi sosial yang melibas semua manusia tak terkecuali generasi muda, sudah saatnya ada pendidikan karakter yang lebih mantap di sekolah. Maka diperlukan suatu rintisan yang secara empiris menghadirkan bukti konkret dampak pendidikan karakter di tingkat sekolah dasar. Penelitian ini akan merintis upaya tersebut.

Tujuan penelitian ini adalah (1) mengembangkan sebuah rancangan pembelajaran pengembangan karakter positif yang berdasarkan sastra lokal, (2) menentukan dampak dari rancangan pembelajaran tersebut pada perkembangan karakter anak-anak usia SD, (3) membangun sebuah model pembelajaran karakter yang meliputi kurikulum, materi, dan pendekatan pembelajaran.

Pada akhir tahun pertama ini, ada tiga tujuan yang ingin dicapai: (1) menggali data awal dari sekolah dasar; (2) mengumpulkan koleksi sastra lokal Malang, dan (3) menggali pendapat pakar sastra tentang sastra lokal Malang. Melalui penyebaran angket dan wawancara ketiga tujuan tersebut sudah dicapai. Adapun bukti fisik yang bisa disajikan adalah kumpulan cerita lokal Malang sebagai materi ajar yang didampingi silabus dan rencana pembelajaran. Yang kedua adalah profil pendidikan karakter di sekolah dasar. Yang ketiga adalah pendapat para pakar tentang sastra lokal dan kaitannya dengan pengembangan karakter di bangku sekolah dasar.

RINGKASAN

Pendidikan karakter sudah mendesak dilakukan untuk membentuk manusia-manusia terdidik Indonesia yang tidak hanya sekedar pintar secara akademis namun juga berkarakter baik. Selama ini, pentingnya pendidikan karakter hanya sebatas retorika, sementara penerapannya belum mewujud menjadi praksis pembelajaran dan pendidikan secara sistematis dan berkesinambungan dari tingkat sekolah dasar sampai pendidikan tinggi. Di tengah makin berkembangnya jaman dan makin rumitnya dimensi sosial yang melibas semua manusia tak terkecuali generasi muda, sudah saatnya ada pendidikan karakter yang lebih mantap di sekolah. Maka diperlukan suatu rintisan yang secara empiris menghadirkan bukti konkret dampak pendidikan karakter di tingkat sekolah dasar. Proposal penelitian ini akan merintis upaya tersebut.

Tujuan penelitian ini adalah (1) mengembangkan sebuah rancangan pembelajaran pengembangan karakter positif yang berdasarkan sastra lokal, (2) menentukan dampak dari rancangan pembelajaran tersebut pada perkembangan karakter anak-anak usia SD, (3) membangun sebuah model pembelajaran karakter yang meliputi kurikulum, materi, dan pendekatan pembelajaran.

Pada akhir tahun pertama ini, ada tiga tujuan yang ingin dicapai: (1) menggali data awal dari sekolah dasar; (2) mengumpulkan koleksi sastra lokal Malang, dan (3) menggali pendapat pakar sastra tentang sastra lokal Malang. Melalui penyebaran angket dan wawancara ketiga tujuan tersebut sudah dicapai. Adapun bukti fisik yang bisa disajikan adalah kumpulan cerita lokal Malang sebagai materi ajar yang didampingi silabus dan rencana pembelajaran. Yang kedua adalah profil pendidikan karakter di sekolah dasar. Yang ketiga adalah pendapat para pakar tentang sastra lokal dan kaitannya dengan pengembangan karakter di bangku sekolah dasar.

Kata-kata kunci: Pendidikan karakter tingkat sekolah dasar, karakter positif, sastra lokal,

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pendidikan karakter sudah dicanangkan sebagai salah satu agenda penting dalam pendidikan nasional. Dunia pun semakin menyadari bahwa keunggulan akal dan rasio harus diimbangi dengan kepribadian yang baik sehingga peradaban manusia tidak menggelinding ke arah yang salah. Pendidikan karakter sendiri lazimnya dimulai dan dikembangkan tidak hanya di tengah keluarga dan lingkungan sosial, namun juga diperkuat oleh pendidikan di sekolah. Lebih jauh lagi, pendidikan karakter itu harus ditanamkan sejak usia dini sehingga generasi muda berkembang dengan pondasi karakter positif yang membuatnya kokoh mengarungi gejolak kehidupan di masa-masa berikutnya.

Tentunya sudah banyak upaya yang dirintis untuk memantapkan pendidikan karakter di usia dini. Dalam pada itu, jika dicermati lebih dalam, ternyata karya-karya sastra di berbagai daerah mempunyai kandungan nilai-nilai moral yang sangat potensial untuk ditanamkan sebagai bagian dari karakter anak didik. Melalui suatu upaya pengintegrasian sastra lokal dengan kurikulum, dapat diupayakan pengembangan karakter positif melalui sastra lokal. Sayangnya, sejauh ini belum ada upaya yang cukup sistematis untuk menentukan seberapa besar dampak efektif dari pengembangan peran sastra lokal dalam pendidikan karakter ini. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan pengembangan upaya pendidikan karakter melalui sastra lokal yang terentang mulai dari perancangannya, dampaknya, dan akhirnya model pembelajaran dan materi belajar untuk mencapai tujuan tersebut.

Dari uraian di atas, dapat dirumuskan beberapa pertanyaan penelitian, yakni bagaimanakah rancangan pembelajaran pengembangan karakter positif berbasis muatan sastra lokal harus dirancang, (2) apakah dampak dari rancangan pembelajaran tersebut pada perkembangan karakter anak-anak SD, dan (3) bagaimanakah model pembelajaran karakter berbasis muatan sastra lokal itu.

1.2 Tujuan Penelitian

Dari rumusan pertanyaan di atas, dapat dirumuskan tujuan penelitian. Tujuan penelitian adalah (1) mengembangkan sebuah rancangan pembelajaran pengembangan karakter positif yang berdasarkan sastra lokal, (2) menentukan dampak dari rancangan pembelajaran tersebut pada perkembangan karakter anak-anak usia SD, (3) membangun sebuah model pembelajaran karakter yang meliputi kurikulum, materi, dan pendekatan pembelajaran.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Pendidikan karakter belakangan ini menjadi topik hangat di kalangan pendidik karena menawarkan alternatif penanaman nilai-nilai moral pada diri anak didik, mulai dari sekolah tingkat dasar, menengah, hingga tinggi. Banyak cara bisa dilakukan untuk mengembangkan karakter positif anak didik di pendidikan formal. Berbagai tindakan instruksional seperti memeriksa jawaban ujian oleh murid sendiri atau bekerja kelompok bisa merupakan perwujudan pendidikan karakter (Djiwandono 2014). Salah satu cara dalam pendidikan karakter adalah melalui media karya sastra, khususnya sastra lisan.

Teeuw (1994) menulis bahwa kelisanan (baca: sastra lisan) dalam budaya tradisional membangun rasa kolektivitas dan nilai sosial yang kuat di antara para anggotanya. Dalam masyarakat semacam itu, tukang cerita (sastrawan lisan) punya peran mahapenting sebab di dalam ceritanya tersimpan informasi dan sistem nilai yang relevan bagi kelangsungan dan keunikan suatu masyarakat. Membawa sastra lisan ke tataran tertulis dan mengajarkannya kepada generasi muda, meminjam penalaran Walter Ong (1992) adalah sebuah langkah ke arah modernisme, yang ditandai dengan keberaksaraan dalam rupa kamus, ensiklopedia, indeks, dan sarana-sarana pengajaran lain dari karya sastra lisan.

Saat ini, sudah cukup banyak penelitian maupun publikasi mengenai bidang ini, baik di dalam maupun di luar negeri.

2.1 Penelitian di Luar Negeri

Di lingkup internasional, hasil penelitian dari beberapa akademisi layak disoroti di sini. Lennard (2007), misalnya, mendalami novel-novel Harry Potter karya J.K Rowling sebagai upaya pencarian nilai-nilai yang bisa diperkenalkan kepada kalangan muda, terutama anak-anak, sebagaimana direpresentasikan oleh seorang bocah penyihir bernama Harry Potter.

Dalam penelitiannya di Australia, Lennard (2007: iii) menemukan bahwa buku seri Harry Potter merupakan aset pengajaran yang sangat berharga untuk menginternalisasi Dalam penelitiannya di Australia, Lennard (2007: iii) menemukan bahwa buku seri Harry Potter merupakan aset pengajaran yang sangat berharga untuk menginternalisasi

tepat, buku Harry Potter akan membantu pembacanya memiliki ―higher-order thinking skills‖ (secara umum dapat didefinisikan sebagai kemampuan berpikir secara logis, koheren, dan

dengan abstraksi yang baik). Selain Lennard, seorang peneliti dari University of Ado-Ekiti Nigeria, Oyinloye (2008), mengkaji pengaruh pengajaran sastra berbahasa Inggris terhadap nilai-nilai kebenaran dan kapasitas menghadapi krisis di Nigeria. Dengan memberikan dua perlakuan berbeda terhadap dua kelompok siswa tingkat menengah di institusinya, Oyinloye berusaha untuk mengetahui perbedaan perilaku kelompok yang diberi materi kesusastraan dan yang tidak. Oyinloye juga menginvestigasi apakah siswa yang memperoleh materi kesusastraan akan memiliki kemampuan yang lebih baik dalam mengidentifikasi karakter positif dan nilai-nilai kebenaran sebagai kontribusi positif terhadap perkembangan Nigeria bila dibandingkan dengan kelompok siswa yang tidak dipapar pada materi sastra. Tujuan utama penelitian ini adalah penanggulangan dampak negatif dari berbagai krisis yang terjadi di Nigeria.

Penelitian Oyinloye menemukan bahwa para siswa yang memperoleh materi sastra bisa lebih memberi kontribusi terhadap perkembangan Nigeria secara umum. Ini dikarenakan karya-karya sastra yang diberikan menawarkan banyak nilai moral. Ditulis oleh para penulis terkenal dan pemenang Nobel seperti Wole Soyinka dan Chinua Achebe, karya sastra yang diajarkan kepada siswa tersebut mengandung begitu banyak hal positif, seperti budaya, kehidupan sosial, kehidupan politik dan berbagai konsekuensi dari interaksi antarmanusia. Dengan demikian, mereka akan selalu terekspos pada kebutuhan untuk senantiasa berperilaku positif, mempertahankan nilai-nilai kebenaran, serta rasa hormat kepada yang lebih senior.

Penelitian lain tentang pemanfaatan karya sastra lokal sebagai materi ajar penanaman nilai-nilai tradisional dilaksanakan di Korea oleh Guang Lea Lee. Lee (2011) mengemukakan bahwa upaya penanaman nilai-nilai moral dan nilai-nilai religius pada anak-anak usia prasekolah dapat dilakukan melalui budaya dan sastra lokal Korea. Dengan menerapkan berbagai metode, semisal membaca dan berpikir reflektif, diskusi, membandingkan dongeng atau cerita rakyat yang hampir sama, narasi lisan, dramatisasi, kegiatan berbasis multimedia, Penelitian lain tentang pemanfaatan karya sastra lokal sebagai materi ajar penanaman nilai-nilai tradisional dilaksanakan di Korea oleh Guang Lea Lee. Lee (2011) mengemukakan bahwa upaya penanaman nilai-nilai moral dan nilai-nilai religius pada anak-anak usia prasekolah dapat dilakukan melalui budaya dan sastra lokal Korea. Dengan menerapkan berbagai metode, semisal membaca dan berpikir reflektif, diskusi, membandingkan dongeng atau cerita rakyat yang hampir sama, narasi lisan, dramatisasi, kegiatan berbasis multimedia,

2.2 Penelitian di Dalam Negeri

Di lingkup nasional, ada beberapa peneliti yang juga berupaya mencari model-model pembelajaran yang tepat untuk mengembangkan karakter positif bagi siswa-siswanya. Sauri dan Rahmat (2007) telah mengeksplorasi pengembangan model santun berbahasa sebagai strategi penanggulangan kemerosotan moral di kalangan pelajar perkotaan. Kedua peneliti tersebut berangkat dari asumsi bahwa dinamika dan lingkungan berpengaruh pada perkembangan perilaku remaja dan lembaga pendidikan di perkotaan. Dengan menggunakan pendekatan naturalistik, penelitian tersebut menemukan bahwa sikap berbahasa siswa dipengaruhi oleh lawan bicara. Dengan kata lain, kesantunan berbahasa hanya dilaksanakan ketika mereka berbicara dengan kepala sekolah, guru atau orang yang lebih tua.

Sauri dan Nurdin (2008) juga meneliti tentang pengembangan model pendidikan nilai berbasis sekolah, keluarga, dan masyarakat. Menggunakan dua jenis pendekatan ( statistic inferensial sebagai prosedur kuantitatif, serta teknik angket dan wawancara mendalam untuk prosedur kualitatif), mereka menghasilkan luaran yang mencakup (1) model pendidikan nilai dan personalisasi nilai berbasis lingkungan pendidikan formal (sekolah), pendidikan informal (keluarga), dan pendidikan nonformal (masyarakat), (2) metodologi pengembangan pendidikan nilai yang dapat digunakan guru di lingkungan sekolah, orang tua dalam lingkungan keluarga, dan tokoh masyarakat dalam lingkungan masyarakat, serta (3) model konseptual pendidikan nilai yang efektif untuk pendidikan dalam lingkungan sekolah, keluarga, dan masyarakat.

Meyakini bahwa kekuatan global telah merasuki gaya hidup masyarakat Indonesia, termasuk para siswa SMP, Mimi Mulyani (2010) menelaah pengembangan model pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia menggunakan media audio visual berbasis kearifan lokal yang berorientasi pada pembentukan kepribadian anak SMP. Masalah sentral penelitian ini adalah seberapa efektif pengembangan model pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia Meyakini bahwa kekuatan global telah merasuki gaya hidup masyarakat Indonesia, termasuk para siswa SMP, Mimi Mulyani (2010) menelaah pengembangan model pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia menggunakan media audio visual berbasis kearifan lokal yang berorientasi pada pembentukan kepribadian anak SMP. Masalah sentral penelitian ini adalah seberapa efektif pengembangan model pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia

Pentingnya pemanfaatan budaya lokal, dalam hal ini sastra lisan Jawa, dalam penanaman nilai dan pendidikan karakter anak didik, juga diteliti oleh Dwi Sulistyarini (2011). Dalam makalahnya yang disampaikan di Kongres Bahasa Jawa V, Sulistyarini

menyatakan bahwa cerita rakyat, sebagai bagian dari budaya lisan, ―menyimpan sejumlah sistem informasi sistem buday a seperti filosofi, nilai, norma dan perilaku masyarakat.‖ Karena alasan itu, cerita rakyat memiliki kedudukan dan fungsi yang sangat penting dalam masyarakat pendukungnya. Masyarakat yang tidak memiliki sistem budaya yang kuat akan tergerus dalam arus globalisasi, menjadi masyarakat yang kalah dan selalu merasa inferior. Pada akhirnya, masyarakat tersebut akan kehilangan karakternya dan menjadi kelompok yang tidak berbeda dan tidak unik. Demikian pentingnya posisi cerita rakyat —dan tradisi lisannya —hingga ia bisa menjadi salah satu penanda bila ada tanda perubahan dalam suatu masyarakat. Di sisi lain, cerita rakyat, sebagaimana dikutip Sulistyarini dari Danandjaja (1986), memiliki kegunaan kolektif, yakni sebagai alat pendidikan, penglipur lara, protes sosial, dan proyeksi keinginan terpendam. Sulistyarini, karenanya, berkesimpulan bahwa untuk menanamkan nilai-nilai luhur dan membangun serta mempertahankan karakter suatu masyarakat, cerita rakyat atau sastra lisan merupakan sebuah alat yang baik.

Wurianto (2011) menulis bahwa karakter manusia dibentuk melalui penanaman nilai melalui berbagai media dan metode. Salah satu metode yang potensial untuk membangun karakter adalah melalui sastra. Sastra adalah wahana menuangkan kearifan suatu masyarakat, yang diperoleh melalui proses yang panjang dan menyakitkan, dan karenanya bisa dijadikan pedoman tingkah laku generasi muda. Wurianto menyebut tentang Sastra Jawa klasik sebagai puncak kearifan lokal masyarakat Jawa. Tetapi, di luar sastra klasik, diakui ada banyak ragam budaya yang turut membantu mengembangkan karakter. Salah satunya adalah sastra lisan

( folklore ). Sarana yang disebut terakhir ini selain efektif juga terkesan tidak menggurui sehingga bisa dimanfaatkan untuk menanamkan nilai kepada anak-anak secara tidak disadari.

2.3 Implikasi

Dari beberapa penelitian yang disebut di atas bisa ditarik satu kesimpulan, yakni bahwa pemanfaatan sastra, baik tertulis maupun lisan, baik sastra klasik dan aras utama maupun sastra populer, untuk pengembangan karakter siswa sekolah, baik di tingkat dasar maupun menengah, bukanlah barang baru. Model pembelajaran siswa SMP yang dikembangkan oleh Mimi Mulyani melalui pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia menggunakan media audio visual berbasis kearifan lokal yang berorientasi pada pembentukan kepribadian anak SMP adalah contohnya. Akan tetapi untuk tingkat siswa Sekolah Dasar, model serupa sejauh ini belum dikembangkan dengan serius. Siswa Sekolah Dasar tentunya memiliki kebutuhan dan taraf perkembangan yang berbeda dari siswa SMP atau SMA. Mereka perlu pendekatan yang khas. Usia Sekolah Dasar juga merupakan usia yang paling baik untuk pengembangan karakter, sehingga tidak salah jika pendidik sekaligus sastrawan besar Indonesia, mendiang Y.B. Mangunwijaya memandang bahwa pendidikan dasar adalah tahap pendidikan terpenting dalam perkembagan anak. Pemanfaatan media sastra, khususnya sastra lisan yang selama ini belum banyak digali, untuk pengembangan karakter perlu diteliti, dikembangkan dan diujicobakan secara serius. Inilah yang mendasari usaha penelitian ini.

BAB III TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

3.1 Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakukan untuk mencapai tujuan sebagai berikut:

1. Mengembangkan sebuah rancangan pembelajaran pengembangan karakter positif yang berdasarkan sastra lokal;

2. Menentukan dampak dari rancangan pembelajaran tersebut pada perkembangan karakter anak-anak usia SD,

3. Membangun sebuah model pembelajaran karakter yang meliputi kurikulum, materi, dan pendekatan pembelajaran.

3.2 Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Menawarkan sebuah model pengembangan karakter anak didik di usia sekolah Dasar yang berbasis sastra lokal;

2. Memberikan fungsi penyadaran kepada para pendidik di tingkat Sekolah Dasar pada khususnya dan pendidik di berbagai jenjang pendidikan pada umumnya tentang potensi sastra lokal dalam mengembangkan pendidikan karakter;

3. Sebagai rujukan untuk pola-pola pengembangan karakter anak didik yang dilakukan secara kreatif, selaras dengan minat dan tahap usia anak didik, dan menonjolkan potensi budaya lokal.

3.3 Luaran Penelitian

Luaran penelitian berupa:

1. Koleksi cerita lokal Malang yang berfungsi sebagai materi ajar.

2. Silabus pembelajaran yang disertai juga dengan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang siap diujicobakan pada tahun kedua.

3. Artikel untuk jurnal ilmiah terakreditasi nasional, yakni jurnal LITERA dari Universitas Negeri Yogyakarta, dan satu makalah untuk seminar Paramasastra di Unesa tanggal 1 November 2014. Sampai saat laporan ini dibuat sudah tersusun draft artikel tersebut.

BAB IV METODE PENELITIAN

4.1 Desain Penelitian

Desain penelitian adalah developmental research (Ellis dan Levy, 2010) dengan sebagian porsi kegiatan menggunakan pendekatan Fenomenologi (Bogdan dan Biklen, 1982; Lofland dan Lofland, 1984). Desain ini terdiri dari empat tahap utama yang bisa bergulir dalam sebuah siklus, yakni pengembangan, tahap uji coba, evaluasi, dan penetapan model akhir.

Pada sebagian besar dari tahun pertama ini (Februari – September 2014) kegiatan utama yang dilakukan adalah menggali baseline data dari sekolah yang menjadi responden. Selain itu, dilakukan juga wawancara dengan para pakar atau pemerhati sastra dan penyusunan silabus dan RPP.

4.2 Responden Penelitian

Populasi penelitian adalah semua Sekolah Dasar di wilayah Kabupaten Malang. Dari semua sekolah itu, dilakukan random sampling untuk mendapatkan 3 sekolah, yakni SDN Pagentan di Singosari, SDN Karangwidoro II, dan SD Berita Hidup yang semuanya berlokasi di Kabupaten dan Kota Malang. Responden penelitian adalah 4 orang guru kelas dari SDN Pagentan, dan murid-murid kelas 4 – 6 dari SD tersebut. Angket disebarkan kepada mereka disusul dengan wawancara semi terstruktur. Pada bulan Juli ini juga dilakukan wawancara dan penyebaran angket kepada guru dan murid di dua SDN yang lainnya.

Responden dari kategori pakar sastra ada 3 orang, yang semuanya adalah dosen Universitas Negeri Malang.

4.3 Penggalian Data

Tahap pengembangan meliputi beberapa langkah yang sifatnya adalah mengetahui kondisi awal komunitas sebelum pembelajaran karakter ini dilakukan. Penggalian baseline data ini mencakup informasi tentang pengartian karakter positif menurut para responden, Tahap pengembangan meliputi beberapa langkah yang sifatnya adalah mengetahui kondisi awal komunitas sebelum pembelajaran karakter ini dilakukan. Penggalian baseline data ini mencakup informasi tentang pengartian karakter positif menurut para responden,

Termasuk dalam tahap ini adalah mengumpulkan beberapa cerita rakyat daerah Malang yang nantinya akan berakumulasi menjadi materi cerita sebagai basis materi ajar. Penggalian data baseline dilakukan di SDN Pagentan 2, Singosari, Malang. Tujuan kedatangan pertama adalah meminta ijin kepada Kepala Sekolah sekaligus menitipkan angket untuk para guru. Angket menanyakan kepada mereka (1) bagaimanakah profil anak yang berkarakter positif; (2) apakah yang dilakukan oleh pihak sekolah dalam mengembangkan karakter anak didik, dan (3) apakah ada cerita lokal yang pernah disampaikan kepada anak- anak dalam upaya mengembangkan karakter positif mereka.

Kedatangan kedua di sekolah ini adalah mewawancarai para guru tentang hal-hal yang sama yang telah ditanyakan dalam angket, sekaligus menitipkan angket-angket yang ditujukan untuk para murid dari kelas 4 – 6.

Dalam pada itu, penggalian data juga dilakukan melalui wawancara dengan 3 orang pakar sastra dari Universitas Negeri Malang. Tujuan wawancara adalah menggali definisi sastra dan khususnya potensi sastra lokal Malang sebagai bahan dasar pengembangan karakter murid SD. Dari salah seorang di antaranya didapat pula koleksi cerita lokal Malang yang kemudian diolah menjadi materi pembelajaran.

4.4. Analisis

Pada tahap ini sebagian besar data yang diperoleh berupa data kualitatif, yaitu berupa data verbal yang terekam dalam wawancara maupun angket. Koding dilakukan untuk menganalisis data verbal tersebut. Ada tiga jenis coding yang dilakukan sebagaimana yang digagas oleh Miles dan Huberman (1994): (1) open coding , (2) axial coding , dan (3) thematic coding.

Untuk menjamin keterandalan analisis data, dilakukan triangulasi peneliti. Di tahap ini dipakai rumus Keajegan Antar Pengkode (Interrater Reliability) yang dibuat oleh Murphy (1985) dan Scholfield (1994), yaitu seperti ini:

(Jumlah data yang dikode sama oleh A & E + jumlah data yang dikode sama oleh A & N / 2) / jumlah data yang dikode sama oleh A

Dimana A, E, dan N adalah ketiga pengkode/peneliti (si A biasanya adalah pengkode utama atau yang dianggap paling cakap atau berpengalaman). Koefisien hasilnya berkisar dari 0 sampai 1. Semakin mendekati angka 1, semakin tinggi kesepakatan antar peneliti/pengkode, sehingga dapat disimpulkan semakin ajeg (reliable) hasil pengkodean tersebut. Umumnya koefisien 0.7 ke atas dapat digolongkan tinggi.

Keajegan antar peneliti untuk pengkodean cerita yang digunakan oleh guru dan murid adalah 0.882, dan untuk pengkodean cara pengembangan karakter di sekolah adalah 0.910. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hasil analisis ini sangat dapat diandalkan. Ketiga peneliti mempunyai tingkat kesepakatan yang tinggi dalam melakukan analisis data.

BAB V HASIL YANG DICAPAI

Sampai pada pertengahan tahun pertama ini, ada setidaknya 3 hasil utama yang telah dicapai. Yang pertama adalah koleksi cerita yang berhasil dikumpulkan lewat studi dokumen; yang kedua adalah gambaran umum tentang pendidikan karakter di sekolah; yang ketiga adalah silabus dan RPP.

5.1 Koleksi Cerita

Melalui studi dokumen lewat penjelajahan di Internet dan penelusuran sumber- sumber lainnya serta wawancara dengan seorang pakar dan penulis sastra, dapat dikumpulkan beberapa cerita sebagai berikut yang dapat dianggap sebagai muatan sastra lokal Malang:

Tabel 5.1 Cerita Lokal Malang

No

Judul Cerita

1 Coban Rondo

2 Ken Arok

3 Melawan Buto Ijo

4 Asal Usul Nama Malang

5 Aji Saka

6 Legenda Gunung Arjuna

7 Jaka Unthuk

8 Empu Supa

9 Bagus Setya dan Bagus Tuhu

10 Bambang Durjana

Adapun cerita lengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 1.

5.2 Profil Pendidikan Karakter di Sekolah

Melalui wawancara dan angket dengan para guru SDN Pagentan, Singosari, diperoleh gambaran umum tentang pendidikan karakter di sekolah tersebut. Setelah melalui pengkodean transkrip wawancara dan angket open-ended, didapat beberapa cara yang umumnya dilakukan pihak sekolah dalam melakukan pembentukan karakter positif. Tabel di bawah ini meringkas cara tersebut dan jumlah guru yang mengatakan telah melakukannya:

Tabel 5.2 Pengembangan Karakter Positif di Sekolah

No

Cara pembinaan karakter

Jumlah responden (%)

1. Guru sebagai model

2. Penanaman nilai lewat agama

3. Menunjukkan perilaku baik

4. Menceritakan dongeng

6. Menghadapkan ke Kepala Sekolah

7. Langsung menindak

8. Meminta pendapat anak

9. Lewat kegiatan bersama (senam, sholat, 16.67 menyanyi, memberishkan halaman)

10. Memakai kelembutan

11. Kerja kelompok

Tampak dari hasil di atas bahwa sebagian besar guru memilih untuk menunjukkan perilaku baik sebagai teladan untuk para muridnya. Adapun cerita/dongeng ternyata tidak banyak dipakai, sekalipun dari pengakuan mereka yang memakai ditemukan cukup beragam jenis cerita.

Pada tanggal 8 Mei 2014 dilakukan wawancara dengan 4 orang guru SDN Pagentan 2. Wawancara semi-terstruktur ini bertujuan menggali pendapat mereka tentang bagaimana sekolah mendidik karakter para murid, cerita-cerita apa yang sudah pernah disampaikan kepada para murid sebagai upaya pengembangan karakter positifnya, dan apa yang harus dilakukan untuk menjadikan cerita-cerita tersebut sebagai materi pengembangan karakter.

Inti sari dari wawancara dengan ketiga guru tersebut dapat diringkas sebagai berikut:

1. Pendidikan karakter diajarkan melalui beberapa kebiasaan, seperti menyapu halaman, senam, atau upacara.

2. Pendidikan karakter juga dilakukan melalui keteladanan guru dan teguran langsung.

3. Beberapa cerita yang bisa digunakan sebagai materi pendidikan karakter: Malin Kundang, Thomas Alva Edison, Ken Arok dan Ken Dedes, Coban Rondo.

4. Dalam kaitannya dengan cerita-cerita, pendidikan karakter sebaiknya ditanamkan melalui pementasan-pementasan, atau bermain peran.

5. Karakter baik yang ditanamkan meliputi menjaga kebersihan, hormat pada orang tua, tanggung jawab, teladan dari pemimpin, dan kerukunan sesama keluarga.

Adapun transkrip yang sudah diolah seperlunya disajikan sebagai Lampiran 2.

5.3 Cerita-cerita yang Digunakan di Sekolah

Temuan berikutnya yang didapat dari hasil wawancara dan angket adalah cerita-cerita yang disampaikan oleh para guru dalam upaya mereka mengembangkan karakter positif anak didiknya. Berikut ini disajikan tabel yang memuat cerita-cerita yang biasanya mereka pakai, dan jumlah responden yang mengaku menggunakannya:

Tabel 5.3 Cerita-Cerita yang Digunakan di Sekolah

No

Cerita

Jumlah responden (%)

1. Malin Kundang

2. Si Kancil

No

Cerita

Jumlah responden (%)

4. Bawang Merah Bawang Putih

5. Sangkuriang/Tangkuban Prahu

6. Raden Ajeng Kartini

7. Roro Jonggrang

8. Sunan Kalijaga

9. Putri Cinderella

10. Kejujuran Pak Lurus

11. Nabi Muhammad

12. Terjadinya Banyuwangi

13. Thomas A. Edison

Tabel di atas menunjukkan bahwa cerita yang paling sering dipakai adalah bukan yang berlatar budaya Malang, namun merupakan cerita yang umum dikenal di Nusantara. Cerita Singosari cukup banyak dipakai (separuh dari jumlah responden) untuk mengembangkan karakter positif.

Tabel 5.4 berikut ini meringkas cerita-cerita yang menurut para murid SD sering diceritakan di sekolah oleh guru-gurunya:

Tabel 5.4 Cerita-cerita yang Diketahui Para Murid (N = 22) No

Cerita

Jumlah responden (%)

2 Ken Dedes dan Ken Arok

4 Candi Songgoriti

5 Candi Sumberawan

6 Malin Kundang

Tabel di atas menunjukkan popularitas cerita Singosari dan Ken Dedes di kalangan anak-anak SD. Namun menarik untuk mengetahui bahwa jarang sekali kepada mereka ditunjukkan pesan moral dari cerita-cerita tersebut. Bahkan, hampir sebagian besar responden ini mengingat bahwa cerita tentang Ken Dedes adalah hal Ken Arok merebut istri Tunggul Ametung dengan cara membunuhnya.

5.4 Muatan Sastra Lokal dan Potensinya

Dari para pakar sastra didapat sebuah gambaran lebih komprehensif tentang sastra, khususnya sastra lokal Malang. Wawancara dengan Drs. Amri mengungkapkan beberapa aspek kesusastraan. Pertama, yang disebut sastra sebenarnya harus dimaknai sebagai sebuah karya tutur (lisan). Kedua, karya sastra ditentukan dari bahasa yang dipakainya. Jika sebuah karya diceritakan dalam bahasa Indonesia, maka karya itu disebut karya sastra Indonesia. Maka karya sastra Malang,apapun bentuknya, jika diceritakan dalam bahasa Jawa dialek Malang maka dia menjadi karya sastra lokal Malang.

Dalam hubungannya dengan teknik pembelajaran yang tepat untuk mendidik karakter, pakar yang diwawancarai ini menyebutkan teknik pembelajaran berupa permainan yang cocok untuk anak-anak usia Sekolah Dasar. Muatan sastra lokal dapat dikemas dalam bentuk permainan atau main peran yang kemudian bisa dimainkan oleh anak-anak, sedemikian sehingga terjadi internalisasi karakter positif ke dalam diri mereka.

Inti sari dari hasil wawancara dengan Bapak Drs. Amri adalah sebagai berikut:

1. Cerita-cerita lokal baik sekali untuk dijadikan materi pendidikan karakter karena bersumber dari budaya Indonesia.

2. Cerita di sekitar kawasan Malang yang bisa diangkat sebagai materi penddikan karakter adalah cerita-cerita di kawasan Singosari, Tengger, dan Coban Rondo yang berkaitan dg Sedudo, Nganjuk. Juga cerita-cerita tentang Gajayana.

3. Ekspresi sastra khas Malang muncul dalam bentuk cerita Panji dalam bentuk wayang Topeng atau Wayang Gandrung.

4. Sastra per definisi adalah karya tulis, padahal bisa berakar dari tradisi lisan. Jenis karya sastra ditentukan oleh bahasanya.

5. Pada dasarnya sebagian besar sastra lokal memungkinkan untuk dijadikan materi pengembangan karakter, apalagi untuk anak usia sekolah dasar. Tidak terikat pada 5. Pada dasarnya sebagian besar sastra lokal memungkinkan untuk dijadikan materi pengembangan karakter, apalagi untuk anak usia sekolah dasar. Tidak terikat pada

6. Penyajian muatan sastra lokal lebih baik dibuat bervariasi; bisa berupa permainan/games atau nembang bersama, mengingat dunia anak-anak erat sekali dengan bermain-main. Mereka akan lebih mudah menerima karakter positif melalui aktivitas seperti itu karena tidak membosankan, tidak harus berpikir terlalu berat untuk mencernanya, sehingga akan lebih menyenangkan.

7. Cerita yang memuat sisi positif dan sisi negatif bisa digunakan sebagai materi, dengan penekanan pada karakter positif yang ingin ditonjolkan.

Transkrip wawancara dapat dilihat pada Lampiran 3.

5.5 Perancangan Silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran

Tahap berikutnya setelah data awal terkumpul dan konsep sastra lokal sudah terdefinisikan adalah merancang materi ajar, silabus, dan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP). Tahap yang dilakukan sebelum merancang sebuah silabus adalah mengkaji literatur tentang perancangan sebuah silabus. Nunan (1988) mengartikan penyusunan silabus sebagai tindakan memilih dan mengurutkan isi pembelajaran. Ini berbeda dengan metode, yang merupakan seleksi dan pengorganisasian kegiatan belajar. Pada dasarnya, sebuah silabus dianggap baik jika pembuatannya mempertimbangkan tiga aspek utama, yakni kebutuhan pemelajar, proses belajar, dan apa yang mereka akan lakukan di dunia sesungguhnya. Dalam hal ini dibedakan pula apa yang disebut kegiatan pedagogis dan kegiatan aktual. Yang pertama adalah kegiatan dalam konteks pendidikan dan pembelajaran formal di sekolah, sementara kegiatan aktual adalah kegiatan yang dilakukan di dunia nyata. Menurut Widdowson (1987), kegiatan pedagogis mempunyai potensi membentuk kegiatan aktual, atau setidaknya menjadi bekal mental yang bisa dirujuk kembali ketika terlibat dalam kegiatan aktual.

Nunan (1988) membagi silabus menjadi dua jenis besar: silabus berorientasi produk, dan silabus berorientasi proses. Silabus berorientasi produk meliputi silabus analitis dan sintetis, sementara silabus berorientasi proses meliputi silabus prosedural, silabus task-based , dan silabus isi pembelajaran.

Dalam sebuah silabus prosedural, isi ditentukan oleh apa yang harus dilakukan siswa di dunia sesungguhnya. Misalnya, jika siswa sedang diarahkan untuk menunjukkan perilaku sopan di dunia sehari-hari, maka silabus ini akan melibatkan mereka dalam beberapa kegiatan yang bertujuan mengarahkan atau membentuk perilaku sopan sang siswa.

Dalam aspek kegiatan pembelajaran ( task ), Candlin (1987) memberikan rambu-rambu tentang kriteria kegiatan yang baik:

1. Kegiatan itu berpijak pada kebutuhan atau perilaku yang dikehendaki di dunia sesungguhnya.

2. Kegiatan tersebut cukup luwes untuk mengakomodasi cara, tingkat partisipasi, dan sarana yang dipakai dalam pembelajaran.

3. Kegiatan tersebut mempertimbangkan juga karakteristik dan kontribusi peserta didik.

4. Kegiatan tersebut cukup menantang, namun tidak mengancam.

5. Kegiatan tersebut terbuka terhadap monitoring dan evaluasi.

Silabus yang dirancang dalam studi ini adalah silabus prosedural dengan menekankan pada aspek isi pembelajaran dan kegiatan belajar. Kedua aspek ini ditentukan dengan berpijak pada kebutuhan belajar siswa (termasuk gaya belajar mereka) dan tujuan akhir pembelajaran, yakni melekatnya karakter positif pada siswa.

Pijakan dasar dari keseluruhan upaya dalam studi ini adalah bahwa muatan sastra atau cerita dapat digunakan untuk mengembangkan karakter positif siswa. Sarumpaet (2009) menyatakan bahwa terdapat banyak ragam sastra anak, salah satunya adalah cerita tradisional. Pernyataan ini sungguh tepat dengan studi pengembangan kami yang memang bertumpu pada muatan sastra lokal. Hoyt (2002) menegaskan bahwa dinamika sebuah cerita dan jatuh bangunnya tokoh-tokoh didalamnya akan meresap ke dalam batin sang siswa yang membacanya. Dengan bantuan guru dan orang tua, siswa dapat merefeleksikan pengalaman para tokoh dan meniru teladannya.

Penyusunan silabus juga didasarkan pada taksonomi belajar yang digagas oleh Bloom (2001). Kegiatan belajar akan bergerak dari tingkat pemahaman sampai setidaknya tingkat penerapan. Sementara itu juga sangat disadari bahwa pembentukan karakter bukan merupakan hal yang seketika; karakter positif akan terbentuk dalam kurun waktu yang cukup lama, sehingga pengukurannya juga tidak akan bersifat jangka pendek namun lebih pada Penyusunan silabus juga didasarkan pada taksonomi belajar yang digagas oleh Bloom (2001). Kegiatan belajar akan bergerak dari tingkat pemahaman sampai setidaknya tingkat penerapan. Sementara itu juga sangat disadari bahwa pembentukan karakter bukan merupakan hal yang seketika; karakter positif akan terbentuk dalam kurun waktu yang cukup lama, sehingga pengukurannya juga tidak akan bersifat jangka pendek namun lebih pada

Silabus yang dirancang dalam penelitian ini menggabungkan ciri silabus dengan metode, dalam arti silabus tersebut memuat bukan hanya urutan materi belajar namun juga bentuk-bentuk kegiatannya. Karena sasaran pembelajaran adalah siswa-siswa SD kelas 4 –6 yang masih bisa dikategorikan sebagai anak-anak, maka silabus akan memuat kegiatan pembelajaran yang sesuai dengan hakikat pribadi seorang anak. Menurut Winarni (2014), pembelajaran untuk usia ini bisa meliputi deklamasi, pementasan drama, dan apresiasi drama. Unsur-unsur inilah yang juga disajikan dalam silabus pembelajaran.

Sebagai perwujudan dari maksud untuk membangun sebuah pembelajaran dengan memasukkan unsur permainan dan drama, silabus dirancang dengan mengandung ciri-ciri yang disebutkan oleh Karen dan Ackerman (2007, hal 1) sebagai berikut:

1. Identifikasi. Siswa diajak untuk mengidentifikasikan dirinya seperti karakter utama dalam cerita.

2. Keterlibatan. Siswa mengaitkan perasaannya dengan situasi dan tokoh-tokoh utama dalam cerita.

3. Wawasan ke dalam (insight). Siswa menganalisis tokoh utama dan situasinya serta mengeksplorasi perilaku-perilaku terpuji untuk menggantikan perilaku-perilaku yang kurang terpuji.

Silabus yang disusun memberi penekanan pada beberapa aspek tertentu untuk setiap tahap pembelajaran, yakni (1) memahami cerita, (2) menemukan karakter baik dalam cerita, (3) memilah tokoh sesuai karakternya, (4) menyusun skrip drama dengan penekanan pada karakter baik, dan (5) mewujudkan karakter dalam perilaku sehari-hari. Maka dapat dilihat pada Lampiran 4 dan 5 bagaimana kegiatan belajar yang disusun senantiasa menekankan pada berulangnya kelima aspek tersebut di atas.

Tapi harus diakui bahwa pendidikan karakter tidak bisa memunculkan hasil yang seketika. Terlalu berlebihan nampaknya mengharapkan anak didik bisa seketika mengubah karakternya menjadi lebih baik setelah melakukan semua kegiatan pembelajaran yang tertuang dalam silabus. Jadi, buah yang maksimum bisa dihasilkan adalah sebuah rancangan pembelajaran pengembangan karakter yang didalamnya memuat silabus dan materi muatan sastra lokal.

DAFTAR PUSTAKA

Anderson, L. W. & Krathwohl, D. R. (2001). A Taxonomy for learning, teaching and assessing: a revision of Bloom’s Taxonomy. New York. Longman Publishing.

Bogdan , R. C., & Biklen, S. K. (1982). Qualitative research for education: Introduction to theory and methods.

Candlin, C. 1987. Towards taks-based language learning. Dalam Candlin, C. dan Murphy, D (editor).

Djiwandono, P. I. (2014) Membentuk karakter positif melalui praksis pembelajaran . Dalam Sunardi, F. X. Pendidikan karakter di perguruan tinggi. Ma Chung Press. hal 102 – 110.

Ellis, T. J., dan Levy, Y. (2010 ). A guide for novice researchers: design and development research. Proceeding of Informing Science & IT Education Conference 2010 . Diunduh

5 Februari 2013 dari http://proceedings.informingscience.org/InSITE2010/ InSITE10p107-118Ellis725.pdf

Hoyt, E. 2002. Developing character through literature: A teacher resource book. ERIC Clearinghouse on Reading, English and Communication. Diunduh 12 Juli 2014 dari www.gpo.gov/fdsys/pkg/ERIC-ED464362/pdf/ERIC-ED464362.pdf

Krathwohl, D.R., Bloom, B.S., and Masia, B.B. (1964). Taxonomy of educational objectives: Handbook II: Affective domain . New York: David McKay Co.

Lee, G.L. (2011). Best practices of teaching traditional beliefs using Korean folk literature . Diunduh 30 Januari 2013. Procedia: Social and Behavioral Sciences, http://www.elsevier.com/locate/procedia .

Lennard, A. (2007). Harry Potter & the Quest for Values: How the boy wizard can assist young people in making choices . A thesis. http://dlibrary.acu.edu.au/ digitaltheses/public/adtacuvp.149.26072007/02whole.pdf .

Lofland, J., & Lofland, L. H. (1984) Analyzing social settings: a guide to qualitative observation and analysis . Woordsowrth Publishing.

Miles, M. B. & Huberman, A . M. (1994). Qualitative data analysis . SAGE Publications.

Mulyani, M. (2010). Pengembangan Model P embelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia Menggunakan Media Audio Visual Berbasis Kearifan Lokal Yang beroriantasi Pada Pembentukan Kepribadian Anak SMP . Laporan Penelitian. Diunduh 10

Januari 2013. http://elib.pdii.lipi.go.id/katalog/index.php/searchkatalog /byld/269992 .

Nugrahani, F. (2011). Penanaman nilai-nilai kearifan lokal melalui pembelajaran unggah- ungguhing basa dalam upaya pembentukan karakter generasi muda . Makalah dalam seminar nasional Pengembangan Pendidikan Karakter Bangsa Berbasis Kearifan Lokal di Universitas Muhammadiyah Malang 30 April 2011. Diunduh 26 Juli 2012 dari http://www.mpbi-pascaunivet.ac.id/nilaikearifan.pdf .

Nunan, D. 1988. Syllabus design . Oxford University Press.

Oyinloye, G.O. (2008). The Influence of the Teaching of Literature in English on the Values, Virtues and Development of Crisis in Nigeria . The Social Sciences 3 (5): 351-358, 2008. Medwel Journals.

Parker, K. L. dan Ackerman, B. 2007. Character education in literature-based instruction. Faculty Publications and Presentations Liberty University. Diunduh 11 Juli 2014 dari http://digitalcommons.liberty.edu/educ_fac_pubs/33

Sarumpaet, R. K. T. 2009. Pedoman penelitian sastra anak. Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Sauri, S. & Nurdin, D. (2008) Pengembangan Model Pendidikan Nilai Berbasis Sekolah,

Keluarga, dan Masyarakat . Laporan Penelitian. Diunduh 9 Februari 2013. http://penelitian.lppm.upi.edu/detil/26/pengembangan-model-pendidikan-nilai- berbasis-sekolah,keluarga,-dan-masyarakat .

Sauri, S. & Rahmat, A.S. (2007). Pengembangan Model Santun Berbahasa Sebagai Strategi

Penanggulangan Dekadensi Moral di Kalangan Pelajar Perkotaan . Laporan Penelitian. Diunduh 14 Januari 2013 http://penelitian.lppm.upi.edu/detil/244 /pengembangan-model-santun berbahasa-sebagai-strategi-penanggulangan- dekadensi-moral-di-kalangan-pelajar-perkotaan.

Sulistyarini, D. (2011). Nilai Moral dalam Cerita Rakyat sebagai Sarana P endidikan Budi Pekerti . Makalah dalam Kongres Bahasa Jawa V di Surabaya. Diunduh 21 Februari 2013. http://www.adjisaka.com/kbj5/index.php/03-makalah-komisi-b/642-13-nilai- moral-dalam-cerita-rakyat-sebagai-sarana-pendidikan-budi-pekerti

Widdowson (1987). Aspects of syllabus design. Dalam Tickoo, M (editor). Syllabus design : the state of the art . Regional English Language Centre.

Winarni, R. (2014). Kajian sastra anak. Graha Ilmu.

Wurianto, A.B. (2011). Transformasi Nilai - Nilai Luhur Sastra Jawa Klasik sebagai

Pengembang "Content" Pendidikan Karakter Berkearifan Lokal Di Sekolah . Makalah dalam Kongres Bahasa Jawa V di Surabaya. Diunduh 21 Februari 2013. http://www.adjisaka.com/kbj5/index.php/02-makalah-komisi-a/631-02-transformasi- nilai-nilai-luhur-sastra-jawa-klasik

LAMPIRAN 1. Koleksi Cerita Lokal Malang COBAN RONDO

[LAGENDA COBAN RONDO] - Kisah dibalik Air Terjun Coban Rondo, bermula dari sepasang pengantin yang baru saja melangsungkan pernikahan. Mempelai wanita bernama Dewi Anjarwati dari Gunung Kawi, sedangkan mempelai pria bernama Raden Baron Kusumo dari Gunung Anjasmoro. Setelah usia pernikahan mereka menginjak usia 36 hari atau disebut dengan Selapan (bahasa jawa). Dewi Anjarwati mengajak suaminya berkunjung ke Gunung Anjasmoro, yang merupakan asal dari suami. Namun orang tua Anjarwati melarang kedua mempelai pergi karena usia pernikahan mereka baru berusia 36 hari atau disebut selapan. Namun kedua mempelai tersebut bersikeras pergi dengan resiko apapun yang terjadi di perjalanan.

Ketika di tengah perjalanan keduanya dikejutkan dengan hadirnya Joko Lelono, yang tidak jelas asal-usulnya. Nampaknya Joko Lelono terpikat dengan kecantikan Dewi Anjarwati, dan berusaha merebutnya. Akibatnya perkelahian antara Joko Lelono dengan Raden Baron Kusumo tidak terhindarkan. Kepada para pembantunya atau disebut juga puno kawan yang menyertai kedua mempelai tersebut, Raden Baron Kusumo berpesan agar Dewi Anjarwati disembunyikan di suatu tempat yang terdapat di Coban atau air terjun. Perkelahian antara Raden Baron Kusumo dengan Joko Lelono berlangsung seru dan mereka berdua gugur. Akibatnya Dewi Anjarwati menjadi seorang janda yang dalam bahasa jawa disebut Rondo. Sejak saat itulah Coban atau air terjun tempat bersembunyi Dewi Anjarwati dikenal dengan COBAN RONDO. Konon batu besar di bawah air terjun merupakan tempat duduk sang putri yang merenungi nasibnya.

KEN AROK

Sejarah kota Malang dimulai pada abad VIII, pada jaman ketika kerajaan-kerajaan masih lestari dan Malang adalah salah satu teritorial yang diperebutkan oleh beberapa kerajaan seperti kerajaan Medaeng yang didirikan oleh Empu Sendok. Wilayah Malang juga pernah berada di wilayah kerajaan Kediri dibawah kekuasaan Sri Baginda Kretajaya antara 1188- 1222.

Salah satu cerita paling terkenal adalah tentang kekuasaan teritorial yang dipegang oleh Akuwu Tunggul Ametung yang ditunjuk langsung oleh Kertajaya dari kerajaan Kediri.

Pada masa tersebut, Tunggul Ametung yang banyak memerintah dengan kurang baik, mengambil putri seorang Brahmana yang bernama Ken Dedes, yang menimbulkan ketidak setujuan dari kalangan Hindu, sehingga banyak muncul perlawanan. Ken Arok adalah salah seorang yang tidak menyukai kenyataan tersebut, dan dia sendiri adalah seorang pemuda yang berani meskipun tidak memiliki banyak kekuasaan. Sifatnya yang ksatria dibina oleh seseorang yang bernama Bango Samparan. Dengan sifat ini pula dia mendapatkan banyak pengikut.

Pada suatu saat yang dirasa tepat, Ken Arok melakukan perlawanan dan kudeta terhadap Tunggul Ametung. Salah satu alasan mengapa dia melakukan kudeta adalah karena juga tertarik dengan Ken Dedes.

Dengan dibantu oleh pengikutnya yang setia, Ken Arok berhasil membunuh Tunggul Ametung dengan keris Empu Gandring. Kudeta ini membebaskan rakyat dari pemerintahan Tunggul ametung yang menindas. Ini adalah salah satu cerita kudeta pertama kali terjadi di Nusantara dan merupakan salah satu cerita terhebat.

Ken Arok langsung naik tahta menggantikan Tunggul Ametung dengan kerajaan baru yaitu Tumapel, serta mengambil Ken Dedes sebagai permaisurinya. Tumapel berusaha melepaskan diri dari kerajaan Kediri dan kemudian berperang melawan kerajaan yang sebelumnya menguasai teritorial Malang ini. Hebatnya, perlawanan ini berhasil sehingga Ken Arok berhasil mengalahkan Kediri dan menjadi kekuatan baru kerajaan Tumapel dengan pusat di Singosari.

Ken Arok dan Ken Dedes memiliki anak yaitu Mahisa Wong Ateleng, yang memiliki cicit bernama Raden Wijaya, yang membangun kerajaan baru yaitu kerajaan Majapahit.

Majapahit adalah kerajaan yang sangat besar dan memiliki armada maritim yang sangat tangguh dan kerajaan tersebut bisa dibandingkan dengan kerajaan Romawi di Eropa.

Diambil dari : http://nawakewed.wordpress.com/berita-seputar-kota-malang/

MELAWAN BUTO IJO

Desa itu sejuk dan elok dipandang. Sawah menghampar luas berhektar-hektar nampak hijau melambai ditiup angin. Rumah-rumah penduduk tersusun dari anyaman bambu yang banyak tumbuh liar disitu. Barongan yang dulunya terlihat angker itu , sekarang jadi tidak menakutkan jadinya, karena tiap hari ada keluar masuk penduduk untuk memotong bambu. Sehari-hari mayoritas yang dilakukan penduduk desa itu adalah bercocok tanam sebagai petani. Semua tercukupi dengan hasil tanam sendiri dan untuk kebutuhan hidup sehari-hari. Hal itu berlangsung telah lama tanpa ada suatu musibah yang menimpanya. Hingga suatu waktu bencana itu muncul.

Disubuh yang masih larut itu, keheningan menyelimuti para penghuni rumah gedeg. Tiba-tiba tanah bergetar dengan keras sekali.

BRRRR,…..BrRRRRR…BRRRRR! ―GEMPA……A…A.A.A.A….! GEMPA……A…A.A.A.A….! ―GEMPA!‖

Teriakan itu bersayup-sayup dengan lalu-lalang orang-orang yang berlarian ketakutan. Semua yang berada didalam rumah berhamburan keluar menuju ke tanah lapang. Bergumul dengan semak-semak, tiarap dan bersembunyi.

BUM! BUM! BUM! Dentuman suara berdentum keras laksana bumi tertimpa pecahan meteor. Semuanya tambah

ketakutan, sedikit memberanikan diri mengintip dari balik semak-semak ada apa gerangan? Apakah memang ada gempa bumi…?

BUM! Dentumannya semakin keras menjadi-jadi dan berulang-ulang. Tidaklah mungkin ini