Moralitas dan Pendidikan Politik di Indo

Moralitas dan Pendidikan Politik di Indonesia
Oleh :
Imam Afandi, S.Psi
Pendidikan politik merupakan penanaman nilai-nilai kebaikan
pengetahuan dan ketrampilan yang merupakan keniscayaan
untuk dapat melakukan partisipasi politik
menjadi kewajiban moral utama
dari berbagai tujuan pendidikan publik
dalam masyarakat demokratis

Banyaknya politisi yang terjebak pada masalah hukum maupun berperilaku tak sesuai etika
empat pilar kebangsaan, seperti tersangkut kasus korupsi, penyalahgunaan narkoba dan berbagai
jenis perilaku lainnya semakin mengurangi kepercayaan masyarakat kepada institusi politik
menjelang pemilu 2014. Sebagaimana diberitakan dalam harian Antara Jateng (11 Desember
2013) disebutkan Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) Partai Gerakan Indonesia Raya Jawa
Tengah segera menindak tegas I Nyoman Saryana (40), calon anggota legislatif dari Partai
Gerindra yang diduga terlibat kasus penculikan, perampasan hak, dan penganiayaan di
Kabupaten Karanganyar. Kemudian, kasus caleg nyabu terjadi di Kalimantan dan Sulawesi yang
terjadi pada tanggal 8 November 22013 lalu dengan barang bukti dan alat isap narkoba
ditemukan tepat di atas meja kerja konsultan konstruksinya dan satu masih terisi, dan satunya
lagi sudah terpakai, saat itu tersangka sedang duduk di kursi (http://www.sindonews.com).

kemudian salah satu Caleg dari Golkar yang juga mantan Ketua Komite Nasional Pemuda
Indonesia, (KNPI) Kabupaten Purwakarta, Munawar Holil, Rabu, (31/7) diperiksa oleh Unit tiga
Polres Purwakarta, terkait dugaan penipuan (Metrotvnews.com). Komisi Pemilihan Umum
(KPU) mengaku telah menerima 75 laporan masyarakat. Dari laporan itu, paling banyak
menyangkut moralitas dan etika Caleg (http://www.dutaonline.com). Terbongkarnya sejumlah
kasus yang melibatkan beberapa caleg, memperlihatkan kepada kita betapa mereka
sesungguhnya belum siap menjadi orang-orang pilihan. Pada level caleg saja, mereka ini sudah
terganjal untuk menjadi orang-orang pilihan. Masih banyak caleg kita, yang terlibat dalam kasus
narkoba, kasus ijazah palsu maupun persoalan amoral.
Kasus-kasus di atas pasti banyak mengundang pertanyaan. Apakah para caleg itu
benar-benar memahami etika politik sebelum mereka memutuskan terjun ke dunia politik?
Ataukah memang hanya bertujuan untuk mencari popularitas semata? Dan, setelah terpilih,
apakah masih memerdulikan nilai-nilai etis dari politik? Pertanyaan inilah sering menghantui
kita pada proses penetapan caleg setiap penyelenggaraan pemilihan umum.
Sebenarnya esensi terpenting dari pendidikan politik (political education) adalah pendidikan
kewarganegaraan (civic education) untuk mengetahui tugas dan tanggung jawab sebagai warga
negara atau lebih tepat lagi disebut pendidikan politik adalah pendidikan demokrasi (
democracy education), pendidikan yang mewujudkan masyarakat demokratis, yaitu masyarakat
yang bebas (free society) yang hanya dibatasi oleh kebebasan itu sendiri, bukan masyarakat
kolektivisme yang “terpasung” oleh atribut-atribut agama atau norma-norma budaya. Dalam

kontek inilah diharapkan pendidikan politik mampu melahirkan budaya politik yang sehat, yang
hingga pada akhirnya berhasil mewujudkan masyarakat demokratis yang bebas dari bias apapun.
Politik yang sehat tentu menjadi syarat utama dalam menghasilkan masyarakat demokratis
tersebut. Sebab, tanpa berjalannya politik yang sehat maka tentu masyarakat demokratis atau
demokrasi itu sendiri kehilangan arahnya sehingga muncullah kebebasan yang tidak terkontrol,

yang pada akhirnya mencederai demokrasi itu sendiri. Di sini lah sebenarnya relevansinya
pendidikan politik sebagai upaya penguatan terwujudnya masyarakat demokratis, tentu melihat
ini dalam konteks demokrasi kita yang berjalan merupakan sebuah keniscayaan dalam upaya
mereorientasi pendidikan politik yang telah atau sedang berlangsung.
Pendidikan politik memiliki peran yang vital dan strategis bagi kelangsungan hidup serta
regenerasi suatu organisasi politik. Melalui proses pendidikan politik anggota suatu organisasi
dan warga negara pada umumnya kemungkinan memiliki sikap yang idealis di satu sisi bersikap
mendukung negara-pemerintah yang sesuai dengan aspirasi rakyat serta pada waktu yang sama
juga memungkinkan memiliki sikap kritis kepada kebijakan pemerintah yang tidak sesuai dengan
aspirasi rakyat. Penegasan tentang urgensi pendidikan politik (political education) dapat ditarik
kesimpulan bahwa pendidikan politik merupakan penanaman nilai-nilai kebaikan, pengetahuan
dan ketrampilan yang merupakan keniscayaan untuk dapat melakukan partisipasi politik menjadi
kewajiban moral utama dari berbagai tujuan pendidikan publik dalam masyarakat demokratis.
Pendidikan politik menyiapkan warga negara untuk terlibat menghasilkan kesadaran

masyarakat mereka dan kesadaran untuk reproduksi sosial yang ideal bukan hanya sekedar
pendidikan demokrasi tetapi juga demokrasi politik. Sosialisasi politik berkaitan dengan suatu
proses dengan cara itu sesungguhnya rakyat belajar mengambil norma-norma, nilai-nilai, sikap
dan menerima tingkalaku dan prakteknya melalui sistem yang sedang berlaku, sosialisasi politik
merujuk pada penguasaan individu-individu tentang budaya politik atau norma-norma untuk
mengelola kewenangan mendistribusikan keuntungan dan kerugian. Dari sisi politik yang
demokratis tentu fenomena ini menarik perhatian yang tidak kita temukan masa orde baru
dahulu. Namun, sayangnya, masyarakat kita sangat mudah terhipnotis dengan pesona gaya dari
pada kualitas sang calon yang digadang-gadang itu.
Dalam situasi seperti ini apabila ada pejabat kita yang "menang gaya" dan diliput luas media
massa maka dengan mudah beliau ini mendapat simpati rakyat serta dengan sangat mudahnya
sang pejabat ini akan didapuk oleh publik untuk dijadikan calon pemimpin berikutnya. Situasi
seperti ini sungguh "berbahaya" bagi bangsa ini dalam memperoleh calon pemimpin bangsa yang
berkualitas. Kita menyaksikan sendiri betapa mudahnya rakyat gumunan dan tertambat hatinya
pada pejabat yang "beraksi" hanya dengan verbalistis penuh gaya, lantas serta merta yang
bersangkutan dianggap sebagian warga (dengan bantuan media massa tentunya) di
gadang-gadang sebagai calon Pemimpin. Padahal, sosok pemimpin bangsa itu mesti tokoh yang
dapat dijadikan panutan, tidak hanya berkualitas dalam menunjukkan hasil kerjanya yang
mewujud (the what) dan proses meraihnya (the how) tetapi lebih penting dari itu adalah kualitas
pribadi sang tokoh.

Seorang caleg sesungguhnya mempunyai kewajiban dan tanggung jawab untuk memberikan
pendidikan politik kepada masyarakat. Dalam pendidikan yang berkelanjutan itu, ditanamkan
nilai-nilai moral dan etika. Dengan demikian terbentuklah karakter yang menjadi kepribadian
bangsa. Namun fenomena yang terjadi saat ini adalah caleg kurang dapat memberi pendidikan
moral dan etika kepada masyarakat, ini sebuah keprihatinan. Pendidikan moral dan etika penting
agar pada gilirannya, kita punya ciri politik yang khas dan elegan, yang berbeda dengan
negara-negara lain. Mengapa demikian? Tidak sedikit media baik televise maupun media masa
mementaskan drama politik yang kurang baik, bertengkarnya eklit politik di DPR saat bersidang,
aksi pemortalan oleh caleg tertentu, perbuatan asusila, sabu dan sebagainya. Pentasan politik
tersebut menampilkan politik Indonesia lebih dekat dengan budaya kekerasan dan elit politik
maupun caleg ternyata tidak pernah bisa menjadi panutan bagi rakyat. Politik kita juga menjadi
tercerai berai akhirnya. Distau sisi disebabkan parpol tidak serius dalam membangun kesadaran

kebangsaan, cinta tanah air, dan kebersamaan dikalangan masyarakat.
Meminjam istilah Theodore Roosevelt dikatakan bahwa, “Mendidik akal seseorang tanpa
mendidik moralnya bagaikan menciptakan monster dalam masyarakat”. pendidikan moral
merupakan keharusan dalam sebuah negara demokrasi. Negara demokrasi meletakkan
kedaulatandan kekuasaan di tangan rakyat. Rakyat memiliki hak untuk menentukan arah
negaramaupun hukum yang berlaku. Rakyat yang bermoral akan membawa negara padaarah
yang benar dan hukum yang adil. Rakyat tidak bermoral akan membawa. Moral adalah

perbuatan/tingkah laku/ucapan seseorang dalam ber interaksi dengan manusia. apabila yang
dilakukan seseorang itu sesuai dengan nilai rasa yang berlaku di masyarakat tersebut dan dapat
diterima serta menyenangkan lingkungan masyarakatnya, maka orang itu dinilai mempunyai
moral yang baik, begitu juga sebaliknya.Moral adalah produk dari budaya dan Agama.
Senada dengan Theodore Wielenberg menegaskan, “ finding a reliable way of producing
virtuouscitizens would be one of the greatest breakthroughs in the history of humankind”
(menemukan metode terbaik untuk mendidik rakyat agar menjadi bermoral merupakan salah satu
kesuksesan terbesar dalam sejarah peradaban manusia). Artinya bahwa kualitas kehidupan
politik dalam demokrasi sangat ditentukan oleh kualitas dan karakterorang-orangnya.
Terkait dengan hal ini, maka seharusnya semua elemen bangsa ini harus melakukan
revitalisasi moralitas, sehingga ke depan akan didapatkan keadaan yang lebih baik dibandingkan
dengan keadaan sekarang. Oleh karena itu, pendidikan karakter bangsa bagi generasi muda tentu
sangat diperlukan, sehingga ke depan para pemuda memiliki tanggungjawab moral untuk
membela dan membangun Indonesia yang lebih baik. Keadaan politik di Indonesia saat ini tidak
seperti yang kita inginkan. Banyak rakyat beranggapan bahwa politik di Indonesia adalah sesuatu
yang hanya mementingkan dan merebut kekuasaan dengan menghalalkan segala cara.
Pemerintah Indonesia pun tidak mampu menjalankan fungsinya sebagai wakil rakyat. Hal ini
ditunjukkan oleh sebagian rakyat yang mengeluh, karena hidup mereka belum dapat
disejahterakan oleh negara. Pandangan masyarakat terhadap politik itu sendiri menjadi buruk,
dikarenakan pemerintah Indonesia yang tidak menjalankan kewajibannya sebagai wakil rakyat

dengan baik.bagi mereka politik hanyalah sesuatu yang buruk dalam mencapai kekuasaan.
Hal ini dikuatkan dari hasil penelitian Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Rully Akbar
mengatakan, sebanyak 51,5 persen publik tidak percaya dengan para politikus yang berada di
legislatif, yudikatif maupun eksekutif. Kepercayaan masyarakat terus menurun seiring dengan
banyaknya perilaku elit politik yang menyimpang. Dari riset yang dilakukan, LSI menyimpulkan
ada tiga faktor utama yang menyebabkan tingkat kepercayaan publik terhadap politisi rendah.
Yang pertama kata Rully adalah penilaian publik terhadap politisi tak bisa dijadikan teladan.
"Hanya sebesar 37,5 persen publik menyatakan bahwa mereka percaya dengan komitmen
moralitas publik para elite politik. Elite politik di sini, yakni para pejabat publik yang duduk di
legislatif, eksekutif dan yudikatif.
Kepercayaan publik kepada politikus dari tahun ke tahun terus merosot. Hal ini tak lepas
dari banyaknya kasus korupsi yang terbongkar. "Yang tidak percaya pada 2005 sebanyak 34,6
persen, tahun 2009 39,6 persen. Sementara Juli tahun ini 51,5 persen," ujarnya.Rully
menjelaskan banyaknya elite politik yang perilakunya bertentangan dengan etika normatif
sehari-hari ataupun agama, membuat publik mengalami krisis tokoh yang patut diteladani.
"Banyaknya politisi yang terlibat kasus korupsi dan kasus moral (perselingkuhan dan lain-lain)
membuat publik ragu terhadap komitmen moral politisi tersebut," katanya. Penyebab kedua, kata
dia, publik menilai elite cenderung melakukan sikap dan tindakan hipokrit atau munafik.
Hipokrit yang dimaksud ucapan tidak sesuai dengan perbuatan.


"Sebesar 65,30 persen publik menyatakan apa yang biasanya diucapkan elite berbeda
dengan perbuatannya. Sedangkan yang percaya hanya 26,70 persen. Yang tidak tahu atau tidak
menjawab 8 persen," katanya. Dan ketiga adalah disparitas antara klaim agama dan perilaku para
elite. Publik menilai semakin ada jarak antara klaim ajaran agama elit dan praktek politiknya.
Hanya 36,5 persen publik yang menilai politisi bertindak sesuai dengan keyakinan dan ajaran
agama. Sebesar 37,5 persen menyatakan lebih banyak politisi yang bertindak bertentangan
dengan ajaran agamanya. Dan 26 persen tidak tahu atau tidak menjawab. Riset LSI dilakukan
sejak 3 Juli sampai 5 Juli 2013. Metode pengambilan sampel yang dilakukan yakni multistage
random sampling. Jumlah responden yang dikumpulkan yaitu sebanyak 1200 responden.
Sementara margin of error dalam penelitian ini sebesar 2,9 persen.
Saya setuju dengan pemikiran yang disampaikan oleh Ardian Saptawan (Linggau Post, 13
Desember 2013) yang mengemukakan bahwa caleg harus memahami politik, sehingga
tindakanya tidak menjadi boomerang karena dinilai bermasalah melakukan tindakan yang
dianggap melanggar norma atau aturan hukum yang berlaku.Pentingnya moral politik untuk
dimiliki para caleg. Menurutnya, etika politik amat diperlukan dan penting utnuk dipahami dan
dijalankan bagi anggota legislatif. Para caleg tidak boleh lepas dari etika, moral dan akhlak
dalam melaksanakan tugasnya sebagai penyambung lidah masyarakat. Sehingga, apa yang
dilakukannya tidak melenceng dari jalur yang benar dan telah ditentukan sebelumnya
Dari data di atas, ternyata begitu banyak caleg yang seharusnya menjadi guru politik di
bangsa ini. UU No 8 Tahun 2012 tentang Pemilu DPR, DPD dan DPRD mengamanahkan bahwa

kampanye pemilu merupakan bagian dari pendidikan politik masyarakat dan dilaksanakan secara
bertanggung jawab. Artinya, pemeran utama untuk mendidik masyarakat tentang politik yang
baik adalah para calegnya. Jika kita kalkulasi total parpol beserta pengurus dan calegnya, maka
ada ribuan pendidik politik yang bertugas penuh memberi pengetahuan tentang politik, mulai
tentang etika, moralitas, budaya ataupun hakikat politik menjadi tugas para politisi.
Banyaknya masalah yang melanda demokrasi kita hari ini seakan menjadi tantangan buat
parpol dan calegnya untuk melakukan transformasi. Pemilu 2014 ini menjadi momentum yang
tepat memberi ruang kepada masyarakat untuk memberi reward dan punishment bagi parpol
beserta calegnya. Bukan lagi dengan menyalahkan sistem maupun perilaku pribadi para politisi
selama ini, walau tak cukup banyak waktu untuk menilai secara komprehensif mereka.
Kedaulatan ditangan rakyat harus dimamfaakan dengan baik oleh para pemilih, walau stigma
masyrakat kita yang masih sangat permisif diantara kepungan politik marketing yang memaksa
lahirnya budaya politik dinasti, money politic serta berbagai budaya yang mencedarai demokrasi
kita. Setelah parpol dan calegnya melakukan pendidikan politik yang baik, maka tugas
selanjutnya ada ditangan rakyat. Merekalah yang harus melakukan seleksi atas hak politiknya
dalam berpartisipasi aktif pada semua tahapan penyelenggaraan pemilu walau golput adalah
pilihan terakhir bagi yang tak punya pilihan, asalkan bukan golput administrasi. Mulai
melakukan pengawasan dan menjadi pemilih cerdas menjadi bagian meningkatkan kualitas
demokrasi kita tanpa
*********** Penulis adalah Mantan Direktur Lembaga Ekonomi Islam (LEMI) PB HMI periode 2009-2011. dan Dept

Head of HRGA PT. Triaryani Jakarta Periode 2012 - 2014

Dokumen yang terkait

ANALISIS KOMPARATIF PENDAPATAN DAN EFISIENSI ANTARA BERAS POLES MEDIUM DENGAN BERAS POLES SUPER DI UD. PUTRA TEMU REJEKI (Studi Kasus di Desa Belung Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang)

23 307 16

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

DEKONSTRUKSI HOST DALAM TALK SHOW DI TELEVISI (Analisis Semiotik Talk Show Empat Mata di Trans 7)

21 290 1

MANAJEMEN PEMROGRAMAN PADA STASIUN RADIO SWASTA (Studi Deskriptif Program Acara Garus di Radio VIS FM Banyuwangi)

29 282 2

MOTIF MAHASISWA BANYUMASAN MENYAKSIKAN TAYANGAN POJOK KAMPUNG DI JAWA POS TELEVISI (JTV)Studi Pada Anggota Paguyuban Mahasiswa Banyumasan di Malang

20 244 2

PERANAN ELIT INFORMAL DALAM PENGEMBANGAN HOME INDUSTRI TAPE (Studi di Desa Sumber Kalong Kecamatan Wonosari Kabupaten Bondowoso)

38 240 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24