BAB II KEBEBASAN DEBITUR MEMILIH PERUSAHAAN ASURANSI SEBAGAI TEMPAT MENGASURANSIKAN BARANG AGUNAN YANG TELAH DIBEBANI DENGAN HAK TANGGUNGAN PADA PERJANJIAN KREDIT BANK A. Prosedur Hukum Perjanjian Kredit Pada Bank Dengan Jaminan Hak Tanggungan - Kewajiban

BAB II KEBEBASAN DEBITUR MEMILIH PERUSAHAAN ASURANSI SEBAGAI TEMPAT MENGASURANSIKAN BARANG AGUNAN YANG TELAH DIBEBANI DENGAN HAK TANGGUNGAN PADA PERJANJIAN KREDIT BANK A. Prosedur Hukum Perjanjian Kredit Pada Bank Dengan Jaminan Hak Tanggungan Menurut hukum, perjanjian kredit dapat dilakukan secara lisan atau tertulis

  yang terpenting memenuhi syarat-syarat Pasal 1320 KUH Perdata. Namun dari sudut pembuktian, perjanjian yang dilakukan secara lisan sulit untuk dijadikan sebagai alat bukti, karena hakekat pembuatan perjanjian adalah alat bukti bagi para pihak yang membuatnya. Dalam dunia modern yang kompleks ini perjanjian lisan tentu sudah tidak dapat disarankan untuk digunakan meskipun secara teori diperbolehkan karena perjanjian secara lisan sulit dijadikan sebagai alat pembuktian bila terjadi masalah dikemudian hari. Untuk itu setiap transaksi apapun haruslah dibuat secara tertulis yang digunakan sebagai alat bukti. Kita menyimpan tabungan atau deposito di bank maka akan memperoleh tabungan atau bilyet sebagai alat bukti. Untuk pemberian kredit perlu dibuat perjanjian kredit sebagai alat bukti.

  Dasar hukum yang mengharuskan perjanjian kredit harus tertulis adalah

  1. Instruksi Presidium Kabinet Nomor 155/EK/IN/10/1996 Tangga 10 Oktober 1996, menegaskan bahwa bank dilarang melakukan pemberian kredit dalam berbagai bentuk tanpa perjanjian kredit yang jelas antara bank dengan debitur, nasabah atau bank-bank sentral dan bank-bank lainnya. Dari sini jelaslah bahwa

  34 dalam memberikan kredit dalam berbagai bentuk wajib dibuatkan perjanjian atau akad kreditnya.

  2. Surat keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 27/162/KEP/DIR dan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 27/17/UPB Tanggal 31 Maret 1995 tentang Kewajiban Penyusunan dan Pelaksanaan Kebijakan Perkreditan Bank Bagi Bank Umum, yang menyatakan bahwa setiap kredit yang telah disetujui dan disepakati pemohon kredit dituangkan dalam perjanjian kredit (akad kredit) secara tertulis.

  3. Surat Bank Indonesia yang ditujukan kepada segenap bank devisa No.

  01/1093/UPK/PKD Tanggal 29 Desember 1970, khususnya butir 4 yang berbunyi untuk pemberian kredit harus dibuat surat perjanjian kredit. Dengan keputusan-keputusan tersebut maka pemberian kredit oleh bank kepada debiturnya menjadi pasti bahwa : a) Perjanjian diberi nama perjanjian kredit

  b) Perjanjian kredit harus dibuat secara tertulis Perjanjian kredit termasuk salah satu jenis/bentuk akta yang dibuat sebagai alat bukti.

  Setiap kredit yang diberikan harus dituangkan dalam perjanjian kredit secara tertulis yang sekurang-kurang harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

  1. Memenuhi keabsahan dan persyaratan hukum yang dapat melindungi kepentingan bank;

  2. Memuat jumah, jangka waktu, tata cara pembayaran kembali kredit serta persyaratan-persyaratan kredit lainnya yang sebagaimana ditetapkan dalam keputusan persetujuan kredit dimaksud.

  Dalam praktek bank ada dua bentuk perjanjian kredit yaitu :

  1. Perjanjian kredit yang dibuat di bawah tangan dinamakan akta di bawah tangan. Menurut Pasal 1874 KUH Perdata yang dimaksud akta di bawah tangan adalah surat atau tulisan yang dibuat oleh para pihak tidak melalui perantara pejabat yang berwenang (pejabat umum) untuk dijadikan alat bukti.

  Pengikatan yang dilakukan antara bank dan nasabah tanpa dihadapan

  35

  notaris. Artinya perjanjian yang disiapkan dan dibuat sendiri oleh bank kemudian ditawarkan kepada debitur untuk disepakati. Untuk mempermudah dan mempercepat kerja bank, biasanya bank sudah menyiapkan formulir perjanjian dalam bentuk standard (standaardform) yang isi, syarat-syarat dan ketentuannya disiapkan dahulu secara lengkap, bentuk perjanjian kredit yang dibuat sendiri oleh baik tersebut termasuk jenis akta di bawah tangan. Dalam rangka penandanganan perjanjian kredit, formulir perjanjian kredit yang isinya sudah disiapkan bank dikemudian disodorkan kepada setiap calon debitur untuk dipahami mengenai syarat-syarat dan ketentuan pemberian 35 kredit tersebut yang sebelumnya syarat-syarat tersebut tidak pernah

  Jopie Jusuf, Kriteria Jitu Memperoleh Kredit Bank, PT. Alex Media Komputindo, Jakarta, 2003, hal. 165 dirundingkan atau dinegosiasikan dengan calon debitur. Debitur mau tidak mau harus menerima semua persyaratan yang tercantum dalam formulir perjanjian kredit karena calon debitur dalam posisi lemah karena sangat membutuhkan kredit sehingga apapun persyaratan yang tercantum dalam formulir perjanjian kredit calon debitur dapat menyetujui.

  2. Perjanjian kredit yang dibuat oleh dan dihadapan notaris atau pengikatan yang dilakukan dihadapan notaris yang dinamakan akta otentik atau akta notariil. Pasal 1868 KUH Perdata akta otentik adalah akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang yang dibuat atau dihadapan pegawai yang berkuasa (pegawai umum) untuk itu, ditempat dimana akta dibuatnya. Yang menyiapkan dan membuat perjanjian ini adalah seorang notaris namun dalam praktek semua syarat dan ketentuan perjanjian kredit disiapkan oleh bank kemudian diberikan kepada bank untuk dirumuskan dalam akta noril dimana notaris dalam membuat perjanjian hanyalah merumuskan apa yang diinginkan para pihak yang bersangkutan dalam bentuk akta notaris atau akta otentik. Perjanjian kredit yang dibuat dalam bentuk akta notaril atau akta otentik biasanya untuk pemberian kredit dalam jumlah yang besar dengan jangka waktu menengah atau panjang, seperti kredit investasi, kredit modal kerja, kredit sindikat (kredit yang diberikan lebih dari satu kreditur atau lebih dari

  36 satu bank).

  Dengan demikian Perjanjian Kredit wajib dituangkan dalam perjanjian kredit secara tertulis, baik dengan akta di bawah tangan maupun akta notariil. Perbedaan kekuatan pembuktian perjanjian kredit secara notaril dan secara bawah tangan dapat disarikan sebagai berikut :

  1. Perjanjian bawa tangan

  a) Jika salah satu pihak menyangkal tanda tangannya, maka pihak lain yang harus membuktikan bahwa tanda tangan yang disangkal itu adalah benar adanya.

  b) Salah satu pihak dapat mengajukan alibi bahwa tanda tangan tersebut benar tanda tangannya tetapi pengisiannya diluar pengetahuannya, sehingga dipengadilan perjanjian kredit di bawah tangan tersebut hanya dipakai sebagai permulaan bukti saja, bukan merupakan alat bukti yang sempurna.

  2. Perjanjian notaril

  a) Jika salah satu pihak menyangkal tanda tangannya maka pihak tersebut yang harus membuktikan bahwa tanda tangannya adalah tidak benar atau palsu.

  b) Jika salinan otentiknya hilang, maka bisa dimintakan lagi kepada notaris yang bersangkutan. Bahkan apabila minutnya (akta asli) hilang, maka salinan 36 otentiknya mempunyai kekuatan yang sama dengan minutnya.

  an Pada Bank , Alfabeta CV, Bandung, 2003, hal. 101 Sutamo, Aspek-Aspek Hukum Perkredit c) Membuktikan kebenaran formal, dianggap benar bahwa pada pihak menerangkan apa yang ditulis dalam akta tersebut dan material bahwa apa yang diterangkan dalam akta tersebut adalah benar dan tanggal akta mempunyai kekuatan mengikat terhadap pihak ketiga.

  Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pengikat secara notaril memberikan kepastian yang lebih tinggi kepada bank, karena itu maka bank lebih suka pengikatan dilakukan secara notarial.

  Secara umum prosedur perjanjian kredit pada bank baik bank pemerintah maupun bank swasta dengan jaminan hak tanggungan adalah sama. Pengajuan permohonan kredit oleh calon debitur kepada kreditur, yang dalam hal ini adalah pihak bank, dilakukan dengan melalui tahap-tahap sebagai berikut: a. Calon debitur mengajukan permohonan kredit dan menyerahkan berkas-berkas yang diperlukan dan telah ditentukan oleh pihak bank dalam pengajuan kredit b. Calon debitur mengisi formulir permohonan kredit yang telah disediakan oleh pihak bank. Setelah formulir diisi dengan lengkap dan benar, formulir tersebut kemudian diserahkan kembali pada bank

  c. Pihak bank kemudian melakukan analisis dan evaluasi kredit atas dasar data yang tercantum dalam formulir permohonan kredit tersebut.

  d. Apabila terhadap hasil analisis dan evaluasi kredit calon debitur dinyatakan layak oleh pihak bank untuk memperoleh kredit, maka kemudian dilakukan negosiasi antara kedua belah pihak, yaitu pihak bank dan calon debitur. Negosiasi kredit ini antara lain mengenai batas maksimal pemberian kredit yang akan diberikan pihak bank kepada nasabah tersebut, keperluan kredit, jangka waktu kredit, biaya administrasi, denda, bunga dan sebagainya.

  e. Apabila telah terjadi kesepakatan antara kedua belah pihak maka dilakukan penandatanganan perjanjian kredit yang berupa surat pengakuan hutang dengan pengikatan jaminan, dalam hal ini berupa jaminan hak tanggungan dihadapan PPAT dan pejabat bank yang berwenang

  f. Setelah dilakukan pengikatan jaminan hak tanggungan dan PPAT telah memberikan keterangan bahwa calon debitur dinyatakan telah memenuhi persyaratan, baru kemudian bank merealisasikan pemberian kredit kepada calon

  37 debitur.

  Pengikatan jaminan hak tanggungan yang dilakukan dalam perjanjian kredit yang dimaksud disini adalah melalui proses pembebanan hak tanggungan sebagaimana telah ditentukan oleh Undang-Undang Hak Tanggungan (UUHT) No.4 Tahun 1996, yaitu melalui dua tahap:

  a. Tahap pemberian hak tanggungan yang dilakukan dihadapan PPAT

  b. Tahap pendaftaran hak tanggungan yang dilakukan di kantor pertanahan kabupaten/kota setempat, yang merupakan saat lahirnya hak tanggungan Menurut Pasal 1 angka (4) UUHT No.4 Tahun 1996 disebutkan bahwa PPAT adalah pejabat umumyang diberikan wewenang untuk membuat akta pemindahan hak atas tanah, akta pembebanan hak atas tanah, dan akta pemberian kuasa 37 Thomas Suyatno, Dasar-Dasar Hukum Perkreditan, Gramedia Pustaka Utama Jakarta, 2011, hal.32. pembebanan hak tanggungan. Dalam penjelasan umum angka (7) dijelaskan pula bahwa dalam kedudukan sebagaimana disebut dalam Pasal 1 angka (4), maka akta yang dibuat PPAT adalah akta otentik.

  Sesuai dengan sifat accecoir dari hak Tanggungan, maka pembebanan hak tanggungan didahului dengan perjanjian yang menimbulkan hubungan hukum hutang-piutang yang dijamin pelunasannya, yang merupakan perjanjian pokoknya. Hal ini adalah sesuai dengan yang disebut dalam Pasal 10 ayat (1) UUHT No.4 tahun 1996 yang menyatakan bahwa pemberian hak tanggungan didahului dengan janji untuk memberikan hak tanggungan sebagai jaminan pelunasan hutang tertentu yang dituangkan di dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT), dan merupakan bagian tidak terpisahkan dari perjanjian pokoknya yaitu perjanjian hutang piutang tersebut. Menurut ketentuan Pasal 10 ayat (2) UUHT No.4 Tahun 1996, pemberian hak tanggungan yang wajib dihadiri oleh pemberi hak tanggungan, pemegang hak tanggungan, dan dua orang saksi, dilakukan dengan pembuatan APHT yang dibuat oleh PPAT sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. APHT yang dibuat oleh PPAT tersebut adalah akta otentik sesuai dengan ketentuan dalam penjelasan umum angka 7 UUHT No.4 tahun 1996. Terhadap objek hak tanggungan berupa hak atas tanah yang berasal dari konversi hak lama yang telah memenuhi syarat didaftarkan akan tetapi pendaftarannya belum dilakukan, artinya hak atas tanah tersebut belum bersertipikat, pemberian Hak tanggungan dilakukan bersamaan dengan permohonan pendaftaran hak atas tanah yang bersangkutan. Hak lama yang dimaksud disini adalah hak kepemilikan atas tanah menurut hukum adat yang telah ada, akan tetapi proses administrasi dalam konversinya belum selesai dilaksanakan

  38 menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

  Terhadap objek Hak Tanggungan yang terdiri lebih dari satu bidang tanah dan diantaranya ada letaknya diluar daerah kerjanya, untuk pembuatan pemberian APHT yang bersangkutan PPAT memerlukan ijin dari Kepala kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional (BPN) Propinsi. Dengan ketentuan bahwa bidang-bidang tanah tersebut harus terletak dalam satu daerah kerja Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota (Pasal 3 ayat (2) Peraturan Menetri Agraria No. 15 Tahun 1961 dan Pasal 3

  39 Keputusan Direktur Jendral Agraria No. SK.67/DDA/1968). Hal ini berkaitan pula

  dengan Pasal 5 ayat (1) dan (2) Peraturan Menteri Negara Agraria (PMNA) No.1 Tahun 2006. Pasal 5 ayat (1) PMNA No.1 Tahun 2006 berbunyi, “Daerah kerja PPAT adalah satu wilayah kerja Kantor Pertanahan” Pasal 5 ayat (2) berbunyi, “Daerah kerja PPAT Sementara dan PPAT khusus meliputi wilayah kerjanya sebagai pejabat pemerintah yang menjadi dasar penunjukannya”.

  Selanjutnya Undang-Undang menetapkan isi yang sifatnya wajib untuk sahnya APHT. Dengan tidak mencantumkannya secara lengkap hal-hal yang wajib disebut dalam APHT. Maka mengakibatkan akta yang bersangkutan menjadi batal demi hukum. Dalam Pasal 11 ayat (1) UUHT disebutkan hal-hal yang wajib dicantumkan dalam APHT, yaitu :

  1. Nama dan identitas pemberi dan pemegang Hak Tanggungan; 38 39 Adrian Sutedi, Hukum Hak Tanggungan, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, Hal.17.

  Bambang Setijoprodjo, Persiapan Pelaksanaan Hak Tanggungan di Lingkungan Perbankan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2008, hal 58-59.

  2. Domisili pihak-pihak sebagaiman dimaksud pada angka 1, dan apabila di antara mereka ada yang berdomisili di luar Indonesia, baginya harus pula dicantumkan suatu domisili pilihan di Indonesia. Apabila domisili pilihan itu tidak dicantumkan suatu domisili pilihan di Indonesia. Apabila domisili pilihan itu tidak dicantumkan dalam APHT maka Kantor PPAT tempat pembuatan APHT dianggap sebagai domisili yang dipilih;

  3. Penunjukan secara jelas hutang atau hutang-hutang yang dijamin pelunasannya dengan Hak Tanggungan dan meliputi juga nama dan identitas beditur yang bersangkutan;

  4. Nilai tanggungan;

  5. Uraian yang jelas mengenai objek Hak Tanggungan, yakni meliputi rincian mengenai sertipikat hak atas tanah yang bersangkutan, atau bagi tanah yang belum terdaftar sekurang-kurangnya memuat uraian mengenai pemilikan, letak, batas-batas, dan luas tanah.

  Selain hal tersebut di atas, dalam APHT dapat dicantumkan janji-janji yang sifatnya fakultatif dan tidak mempunyai pengaruh terhada[ sahnya APHT (Pasal 11 ayat (2) UUHT). Dalam hal ini pihak-pihak bebas menentukan untuk menyebutkanb atau tidak menyebutkan janji-janji tersebut dalam APHT. Dalam dimuatnya janji- janji itu dalam APHT yang kemudian di daftar pada Kantor Pertanahan, maka janji-

  40 janji tersebut juga mempunyai kekuatan mengikat terhadap pihak ketiga. 40 Rachmadi Usman, Hukum Hak Tanggungan, Citra Adtya Bakti, Bandung, 2010, hal 110. Adapun janji-janji yang disebutkan dalam APHT sebagaimana tersebut dalam

  Pasal 11 ayat (2), antara lain :

  1. Janji yang membatasi kewenangan pemberi Hak Tanggungan untuk menyewakan objek Hak Tanggungan dan/atau menentukan atau mengubah jangka waktu sewa di muka, kecuali dengan persetujuan tertulis terlebih dahulu dari pemegang Hak Tanggungan

  2. Janji yang membatasi kewenangan pemberi Hak Tanggungan, kecuali dengan persetujuan tertulis lebih dahulu dari pemegang Hak Tanggungan

  3. Janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan berdasarkan penetapan Ketua Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi objek Hak Tanggungan apabila debitur sungguh-sungguh cidera janji

  4. Janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan untuk menyelamatkan objek Hak Tanggungan, jika hal itu diperlukan untuk pelaksanaan eksekusi atau mencegah menjadi hapusnya atau dibatalkannya hak yang menjadi objek Hak Tanggungan karena tidak dipenuhi atau dilanggarnya ketentuan Undang-Undang ;

  5. Janji bahwa pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri objek Hak Tanggungan apabila debitur cidera janji

  6. Janji yang diberikan oleh pemegang Hak Tanggungan pertama bahwa objek Hak Tanggungan tidak akan dibersihkan dari Hak Tanggungan

  7. Janji bahwa pemegang Hak Tanggungan tidak akan melepaskan haknya atas objek Hak Tanggungan tanpa persetujuan tertulis terlebih dahulu dari pemegang Hak Tanggungan

  8. Janji bahwa pemegang Hak Tanggungan akan memperoleh seluruh atau sebagian dari gangi rugi yang diterima pemberi Hak Tanggungan untuk pelunasan piutangnya apabila objek Hak Tanggungan dilepaskan dari haknya oleh pemberi Hak Tanggungan atau dicabut haknya untuk kepentingan umum;

  9. Janji bahwa pemegang Hak Tanggungan akan memperoleh seluruh atau sebagian dari uang asuransi yang diterima pemberi Hak Tanggungan untuk pelunasan piutangnya, jika objek Hak Tanggungan untuk pelunasan piutangnya, jika objek Hak Tanggungan diasuransikan

  10. Janji bahwa pemegang Hak Tanggungan akan mengosongkan objek Hak Tanggung pada waktu eksekusi Hak Tanggungan

  11. Janji bahaw sertifikat Hak atas tanah yang telah dibubuhi catatan pembebaban Hak Tanggungan tetap berada di tangan kreditur sampai seluruh kewajiban debitur dipenuhi sebagaimana mestinya

  Ada janji yang dilarang untuk dilakukan, yaitu janji yang disebutkan dalam

  Pasal 12 UUHT, yaitu dilarang diperjanjikan pemberian kewenangan kepada debitur untuk memiliki objek Hak Tanggungan apabila debitur ciderai janji. Ketentuan tersebut diadakan dalam rangka melindungi kepentingn debitur dan pemberi Hak Tanggungan lainnya, terutama jika nilai objek Hak Tanggungan melebihi besarnya hutang yang dijamin. Oleh karena itu pemegang Hak Tanggungan dilarang untuk serta merta menjadi pemilik objek Hak Tanggungan jika debitur dcidera janji.

  Tahap Pendaftaran Hak Tanggungan Menurut Pasal 13 UUHT, pemberian Hak Tanggungan wajib didaftarkan ke Kantor Pertanahan selambat-lambatnya 7 hari kerja setelah penandatanganan APHT.

  PPAT wajib mengirimkan APHT yang bersangkutan dan berkas lainnya yang diperlukan kepada Kantor Pertanahan.

  Dengan pengiriman oleh PPAT berarti akta dan berkas lain yang diperlukan itu disampaikan ke Kantor Pertanahan melalui petugasnya atau dikirim melalui pos tercatat. PPAT wajib menggunakan cara yang paling baik dan aman dengan memperhatikan kondisi di daerah dan fasilitas yang ada, serta selalu berpedoman pada tujuannya untuk didaftarkannya Hak Tanggungan itu secepat mungkin. Berkas lain yang dimaksud di sini adalah meliputi surat-surat bukti yang berkaitan dengan objek Hak Tanggungan, dan identitas pihak-pihak yang bersangkutan, termasuk di dalamnya sertifikat hak atas tanah dan/atau surat-surat keterangan mengenai objek Hak Tanggungan. PPAT wajib melaksanakan ketentuan tersebut karena jabatannya. Saksi atas pelanggarannya akan ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur jabatan PPAT.

  Pendaftaran Hak Tanggungan dilakukan oleh Kantor Pertanahan atas dasar data di dalam APHT serta berkas pendaftaran yang diterimanya dari PPAT, dengan dibuatkan buku tanah Hak Tanggungan. Bentuk dan isi buku tanah Hak Tanggungan

  41 telah ditetapkan berdasarkan Peraturan Menteri Agraria No. 3 Tahun 1997.

  Dengan dibuatnya buku tanah tersebut, Hak Tanggungan lahir dan kreditur menjadi kreditur pemegang Hak Tanggungan, dengan kedudukan mendahului dari kreditur-kreditur lain.

  Menurut Pasal 13 ayat (4) UUHT tanggal pembuatan buku tanah Hak Tanggungan adalah hari ke -7 setelah penerimaan secara lengkap surat-surat yang diperlukan bagi pendaftaran Hak Tanggungan. Jika hari ke-7 jatuh pada hari libur, buku tanah yang bersangkutan diberi tanggal hari kerja berikutnya. Kepastian tanggal buku tanah itu dimaksudkan agar pembuatan buku tanah Hak Tanggungan tidak berlarut-larut sehingga dapat merugikan pihak-pihak yang berkepentingan dan mengurangi jaminan kepastian hokum.

  Dalam hal hak atas tanah yang dijadikan jaminan belum bersertifikasi terlebih dahulu sebelum dilakukan pendaftaran Hak Tanggungan. Waktu hari ketujuh yang ditetapkan sebagai tanggal buku tanah Hak Tanggungan tersebut dalam hal yang demikian, dihitung sejak selesainya pendaftaran hak atas tanah yang bersangkutan.

  Untuk memberikan kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hokum yang tetap, sertifikat Hak Tanggungan diberi irah-irah dengan membubuhkan pada sampulnya kalimat DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA (Pasal 14 ayat (2) dan (3) 41 J. Satrio, Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan, Buku 2, Citra

  Aditya Bakti, Bandung, 2009, hal. 143

  UUHT). Dengan pencantuman irah-irah tersebut pada sertifikat Hak Tanggungan, maka untuk itu dapat dipergunakan Lembaga Parate Eksekusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 HR dan 258 RBg.

  Setelah sertifikat Hak Tanggungan selesai dibuat, kemudian sertifikat Hak Tanggungan tersebut diserahkan kepada pemegang Hak Tanggungan yang bersangkutan.

B. Manfaat Asuransi Agunan Dalam Suatu Perjanjian Kredit Bank

  Menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992, tentang Perasuransian, asuransi atau pertanggungan didefinisikan sebagai perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung, karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.

  Berdasarkan definisi tersebut, maka dalam asuransi terkandung 4 unsur yaitu:

  a. Pihak tertanggung (insured) yang berjanji untuk membayar uang premi kepada pihak penanggung, sekaligus atau secara berangsur-angsur. b. Pihak penanggung (insure) yang berjanji akan membayar sejumlah uang (santunan) kepada pihak tertanggung, sekaligus atau secara berangsur-angsur apabila terjadi sesuatu yang mengandung unsur tak tertentu.

  c. Suatu peristiwa (accident) yang tak tertentu (tidak diketahui sebelumnya)

  d. Kepentingan (interest) yang mungkin akan mengalami kerugian karena peristiwa yang tak tertentu.

  Institusi yang mengelola asuransi tersebut sebagai perusahaan asuransi, menurut ketentuan Undang-Undang Asuransi Nomor 2 Tahun 1992 dapat mengelola produk asuransi, yaitu asuransi jiwa dan atau asuransi kerugian atau asuransi umum. Keseluruhan dari kegiatan bisnis asuransi adalah menggambarkan keadaan industri perasuransian.

  Industri perasuransian atau industri asuransi merupakan salah satu unsur dari industri keuangan, disamping unsur lainnya. Perbankan, dana pensiun, pembayaran, sekuritas dan pegadaian. Pada keseluruhan pelaku industri inilah bisa terlihat bagaimana kiprah asuransi yang diukur dari sisi peranan berupa bagian sumbangan atau pangsanya.

  Peranan industri asuransi diukur dari pangsa aset Industri Keuangan ternyata belumlah besar. Data per bulan September 2012 komposisi pangsa pasar industri jasa keuangan adalah masih didominasi oleh Perbankan sebesar 83,80%, dimana sebesar 82,59% merupakan pangsa asset bank umum dan BPR hanya sebesar 1,21%.

  Dominasi industri Jasa keuangan dan Perbankan, menyebabkan pelaku industri yang lain seperti, lembaga pembiayaan, asuransi, dana pensiun, perusahaan sekuritas dan pegadaian memperoleh porsi yang kecil. Perusahaan asuransi hanya menyumbang 5,39%, dimana asuransi jiwa sebesar 4,14% dan asuransi umum sebesar 1,25%.

  Para ahli sependapat adanya sikap atau respon manusia di dalam menghadapi risiko, yaitu : menghindar, mengurangi, menahan, membagi, dan mentransfer.

  a. Menghindari risiko Menghindari risiko (risk avoidance) dilakukan dengan cara tidak melakukan hal- hal yang dianggap merugikan. Misalnya, seseorang yang merasa takut mengalami kerugian dari berdagang, harus memutuskan untuk tidak berdagang. Sikap ini memang dapat merugikan perekonomian secara keseluruhan, karena menyebabkan kekurangan pengusaha dan kehilangan semangat untuk menghadapi tantangan.

  b. Mengurangi risiko

  (risk reduction)

  Mengurangi risiko dapat dilakukan misalnya dengan menyediakan obat-obatan untuk pertolongan pertama (P3K) di rumah.

  Penyediaan P3K tidak menghilangkan risiko kecelakaan, tetapi mengurangi bahaya dari kecelakaan dibanding jika tidak ada pertolongan pertama c. Menahan risiko Menahan risiko (risk retention) dapat dilakukan sikap sukarela (voluntary).

  Biasanya risiko yang rela kita tahan adalah risiko-risiko yang nilai kerugiannya atau kemungkinan terjadi sangat kecil. Misalkan, risiko dari meletakkan sepatu sembarangan adalah kehilangan sepatu tersebut. Menahan risiko menjadi beban yang berat bila nilai kerugiannya atau kemungkinan terjadi sangat besar. Misalkan, risiko kecopetan atau penjambretan dalam perjalanan dengan menggunakan jasa transportasi umum.

  d. Membagi risiko Membagi risiko (risksharing) dilakukan bila peluang terjadi kerugian ataupun besarnya kerugian yang dialami relatif besar. Dapat melakukan kerja sama dengan orang lain untuk membagi risiko tersebut. Seorang pengusaha yang ragu menggunakan seluruh modalnya dalam sebuah proyek, dapat mencari mitra usaha. Makin besar dan kompleks proyek yang akan dikelola, mitra yang dibutuhkan makin banyak dan atau beragam.

  e. Mentransfer Risiko Mentransfer risiko (risk transfer) dilakukan dengan cara memindahkan risiko kerugian kepada pihak yang lain. Hal inilah yang dilakukan oleh perusahaan asuransi. Bila sebuah perusahaan di Indonesia mengirimkan sejumlah barang ke negara lain ingin memindahkan risiko kerugian yang disebabkan oleh kecelakaan atau karena hal lainnya, perusahaan tersebut dapat menggunakan jasa asuransi.

  Manfaat asuransi dapat ditilik dari banyak dimensi yang dalam hal ini dapat diuraikan, sebagai berikut :

  1. Asuransi Mengurangi Risiko Suatu Investasi Suatu perusahaan yang berusaha untuk meraih keuntungan maka kehadiran risiko dan ketidakpastian tidak dapat dihindarkan dengan cara pengalihan, bahkan kehilangan/mengurangi risiko, maka para usahawan dimungkinkan dan didorong untuk mengkonsentrasikan kemampuan dalam mengembangkan usaha-usaha yang kreatif.

  Asuransi telah menjadi bagian yang esensial dari setiap perusahaan. Investment banker misalnya, akan merasa lebih yakin penilaiannya terhadap proyek-proyek tertentu apabila semua risiko proyek itu yang mungkin terjadi telah dilindungi oleh asurasni.

  Dengan demikian, perusahaan-perusahaan asuransi yang tugas utamanya adalah memberikan perlindungan kepada perusahaan-perusahaan lain telah menjadi suatu institusi ekonomi yang mempunyai peranan yang tidak kecil. Tanpa asuransi, kemajuan ekonomi yang ada sekarang ini mustahil tercapai.

  2. Asuransi Sebagai Sumber Dana Investasi Usaha perasuransian sebagai salah satu lembaga keuangan non bank yang menghimpun dana masyarakat, semakin penting peranannya sebagai sumber modal untuk investasi di berbagai bidang. Mengingat bahwa akumulasi dana dalam perusahaan-perusahaan asuransi pada umumnya berbentuk cadangan maka Penempatan dana dalam bentuk investasi portofolio, seperti surat berharga jangka panjang seperti obligasi saham dan reksadana dapat dibenarkan, misalkan perkara.

  3. Asuransi untuk melengkapi kewajiban persyaratan kredit Kreditur lebih percaya pada perusahaan yang resiko kegiatan usahanya diasuransikan. Pemberi kredit tidak hanya tertarik dengan keadaan orang/ perusahaan serta kekayaan yang ada saat ini, tetapi juga sejauhmana orang/ perusahaan tersebut telah melindungi diri dari kejadian-kejadian yang tidak terduga dimasa depan. Cara untuk memperoleh perlindungan tersebut adalah dengan memiliki polis asuransi. Dalam hubungannya dengan pinjaman dari bank, seringkali salah satu informasi yang dibutuhkan, selain laporan keuangan perusahaan, adalah berkenaan dengan jumlah penutupan asuransi yang memadai sebelum kredit dapat diberikan.

  4. Asuransi dapat mengurangi kekhawatiran Fungsi primer dari asuransi adalah mengurangi kekhawatiran akibat ketidakpastian. Perusahaan asuransi tidak kuasa mencegah terjadinya kerugian- kerugian tak terduga. Ketetraman hati yang diberikan oleh sauransi inilah salah satu jasa utama yang diterima tertanggung bila ia telah membayar premi asuransi.

  Bila seesorang telah membayar premi asuransi, mereka terbebas dari kekhawatiran kerugian besar dengan memikul suatu kerugian kecil dalam hal ini berupa premi yang telah dibayar). Dengan dapat ditentukannya biaya kerugian, asuransi mengurangi beban risiko yang dihadapi pada pengusaha. Hal ini merangsang kegiatan ekobomi di banyak bidang yang resikonya besar sehingga merangsang tertumbuhan kegatan ekonomi tersebut.

  5. Asuransi Mendorong usaha pencegahan kerugian Saat ini perusahaan-perusahaan asuransi banyak melakukan usaha yang sifatnya mendorong perusahaan tertanggung untuk melindungi diri dari bahaya yang dapat menimbulkan kerugian. Perusahaan-perusahaan yang bergerak dalam berbagai bidang usaha menyadari bahwa keberhasilan yang dicapai sangat tergantung pada kemampuan mereka untuk memberikan perlindungan dengan biaya yang cukup wajar. Oleh karena itu, mereka sendiri secara sadar dan sistematis bekerja sama untuk menghilangkan atau memperoleh kemungkingan yang dapat menimbulkan kerugian

  Menurut Undang-Undang Nomor

  2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian, pada Pasal 3 dijelaskan produk asuransi, yaitu :

  1. Asuransi kerugian Asuransi yang memberikan jasa dalam penanggulangan risiko atau kerugian, kehilangan manfaat dan tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga, yang timbul dari peristiwa yang tidak pasti

  2. Asuransi jiwa Asuransi yang memberikan jasa dalam penanggulangan risiko yang dikaitkan dengan hidup atau meninggalnya seseorang yang dipertanggungkan

  3. Usaha reasuransi Asuransi yang memberikan jasa dalam pertanggungan ulang terhadap risiko yang dihadapi oleh Perasuransian Asuransi kerugian dan atau Perusahaan Asuransi Jiwa.

  Dalam perjanjian kredit bank dimana agunan wajib diasuransikan tujuannya adalah agar apabila terjadi hal-hal diluar kekuasaan manusia (overmacht) terhadap agunan yang telah diberikan oleh debitur kepada kreditur sebagai persyaratan wajib dalam perjanjian kredit pada bank, maka bank akan memperoleh ganti rugi dari perusahaan asuransi dimana agunan tersebut diasuransikan. Hal ini untuk mencegah/ mengurangi resiko pihak bank dalam pelaksanaan perjanjian kredit tersebut apabila agunan yang telah diberikan dikemudian hari ternyata mengalami kerusakan atau bahkan musnah sehingga mengurangi nilai ekonomi atau sama sekali tidak lagi bernilai agunan yang telah diberikan tersebut. Oleh karena itu pihak bank dalam suatu perjanjian kredit mewajibkan debitur untuk mengasuransikan barang agunan yang telah diberikannya berdasarkan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 27/162/KEP/Dir tanggal 31 Maret 1995. Kewajiban untuk mengasuransikan agunan yang telah diberikan oleh debitur kepada bank merupakan suatu prinsip kehati-hatian dari bank untuk mengurangi resiko kerugian dalam suatu perjanjian kredit yang dilakukannya.

  Dengan demikian dapat dikatakan manfaat dari mengasuransikan agunan yang diberikan debitur kepada kreditur dalam suatu perjanjian kredit dapat dirasakan oleh kedua belah pihak yaitu kreditur (bank) dan debitur (nasabah peminjam). Bagi kreditur (bank) manfaat debitur wajib mengasuransikan barang agunan adalah untuk mengurangi resiko kerugian yang ditimbulkan akibat rusak / musnahnya barang agunan tersebut dalam jangka waktu pelaksanaan perjanjian kredit. Sedangkan bagi debitur (nasabah peminjam) manfaat yang dirasakan adalah bahwa debitur juga terlindungi dari resiko kerugian akibat rusaknya / musnahnya agunan yang telah diberikannya kepada pihak bank. Sehingga agunan milik debitur tersebut dilindungi oleh perusahaan asuransi dimana debitur mengasuransikan agunan tersebut. Apabila terjadi kerusakan/musnahnya barang agunan selama dalam jangka waktu asuransi maka kerugian yang ditimbulkan dari rusaknya / musnahnya agunan tersebut adalah merupakan tanggung jawab sepenuhnya dari perusahaan asuransi tersebut.

  

C. Kebebasan Debitur Memilih Perusahaan Asuransi Sebagai Tempat

Mengasuransikan Barang Agunan Dalam Perjanjian Kredit Bank

  Dalam Undang-Undang Hak Tanggungan No. 4 Tahun 1996 tidak terdapat ketentuan yang mewajibkan pemberian hak tanggungan untuk mengasuransikan barang agunan yang dibebani hak tanggungan. Namun UUHT No.4 Tahun 1996 masih memberikan kemungkinan kepada para pihak untuk menentukan janji asuransi atas benda jaminan yang diikat dengan hak tanggungan tersebut. Hal ini terdapat dalam ketentuan Pasal 11 ayat (2) huruf b UUHT No. 4 Tahun 1996 yang menyebutkan bahwa “Dalam akte pemberian hak tanggungan, dapat dicantumkan janji-janji, antara lain janji bahwa pemegang hak tanggungan akan memperoleh seluruh atau sebagian dari uang asuransi yang diterima pemberi hak tanggungan untuk pelunasan piutangnya, jika objek hak tanggungan diasuransikan.”

  Berdasarkan Pasal 297 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang kedudukan pemegang hipotik atas penggantian kerugian dalam suatu perjanjian asuransi tidaklah secara otomatis didahulukan pada setiap kejadian, melainkan harus diperjanjikan lebih dulu antara debitur dengan kreditur. Janji tersebut harus diberitahukan secara resmi kepada penanggung supaya penanggung berkewajiban untuk memperhitungkan ganti kerugian yang terhutang itu dengan penagih yang dijamin

  42 dengan hipotik.

  Selanjutnya Pasal 298 KUHD menyebutkan bahwa, “janji yang disebutkan dalam Pasal 297 KUHD tersebut tidak mempunyai akibat kecuali bilamana dan sekedar penagih yang dijamin dengan hipotik akan ditentukan beruntun bilamana kerugian itu tidak terjadi. Adanya ketentuan seperti tersebut dalam Pasal 297 dan Pasal 298 KUHD tersebut diatas dimaksudkan agar penagih hutang atau pemegang hipotik tidak mempunyai tujuan lebih menguntungkan dirinya sendiri, dengan janji itu jika dibandingkan dengan keadaan seandainya keadaan yang tidak diinginkan terjadi atas barang agunan yang dibebani dengan hipotik dan diasuransikan itu.

  Karena ketentuan mengenai hipotik telah dicabut dengan keluarnya UUHT No. 4 Tahun 1996 maka ketentuan dalam Pasal 297 dan Pasal 298 KUHD tersebut dapatlah diberlakukan terhadap barang agunan yang dibebani dengan hak tanggungan. Karena pada prinsipnya hipotik dan hak tanggungan memiliki kesamaan dari segi objek haknya yaitu barang-barang tidak bergerak.

  Dalam praktek perbankan pihak bank sebagai kreditur yang memberikan fasilitas kredit kepada debitur dengan suatu jaminan hak tanggungan, meminta syarat supaya barang agunan yang dibebani hak tanggungan tersebut diasuransikan kepada suatu perusahaan yang mereka tunjuk atau sejak tidaknya mereka percaya. Setiap barang agunan milik debitur, akan diasuransikan oleh pihak bank atas nama bank c.q. 42 Emmy Pangaribuan Simanjuntak , Hukum Pertanggungan (Pokok-pokok Pertanggungan

  Kerugian, Kebakaran,dan Jiwa, Seksi Hukum Dagang, UGM, Yogyakarta, 2004, hal. 81 nasabah oleh perusahaan asuransi yang ditunjuk. Hal tersebut berlaku bagi barang agunan sebagai jaminan pokok maupun jaminan tambahan yang insurable. Pada hakekatnya yang menjadi risiko bagi penanggung pada umumnya adalah yang merupakan akibat dari rusak/musnahnya barang agunan yang diasuransikan tersebut.

  Dalam perjanjian asuransi penentuan mengenai saat mulai dan berakhirnya bahaya bagi tanggungan penanggung adalah hal yang sangat penting. Ketentuan mengenai hal ini terdapat dalam Pasal 257 ayat (1) yang menyebutkan KUHD, “ Perjanjian pertanggungan ada segera setelah diadakan hak-hak dan kewajiban- kewajiban timbal balik dari penanggung dan tertanggung mulai sejak saat itu, bahkan sebelum pun ditanda tangani. Menurut Purwosucipto saat mulai dan berakhirnya bahaya bagi tanggungan penanggung biasanya ditentukan besamaan dengan mulai berlakunya atau berakhirnya perjanjian asuransi, kecuali kalau ditentukan lain oleh Undang-Undang. Jika Pasal 257 ayat (1) KUHD dan pendapat Purwosucipto tentang jangka waktu berlakunya asuransi maka dapat dideskripsikan bahwa ketentuan mengenai mulai berlakunya asuransi barang agunan dalam perjanjian kredit pada bank adalah sesuai, dimana ditentukan bahwa asuransi barang agunan yang telah dibebani hak tanggungan dalam perjanjian kredit pada bank berlaku terhitung mulai akad kredit ditandatangani dan berakhirnya setelah jangka waktu kredit berakhir dan atau setelah kredit lunas (mana yang terlebih dahulu dicapai). Sejak perjanjian asuransi tersebut ditutup, penting bagi penanggung untuk mengetahui berapa jumlah uang maksimum dengan mana dia harus melaksanakan prestasinya. Jumlah uang maksimum tersebut dikenal dengan nama jumlah pertanggungan yaitu jumlah maksimum uang sebagai batasan tertinggi dari kewajiban penanggung untuk mengganti kerugian kepada tertanggung. Kalau kepentingan tersebut jatuh bersama benda pertanggungan maka nilai penuh kepentingan tertanggu sama dengan nilai

  43 benda pertanggungan.

  Pasal 253 ayat (1) dan ayat (2) KUHD yang mengatur mengenai harga pertanggungan menentukan bahwa, “pertanggungan yang melebihi harga atau kepentingan yang sesungguhnya hanya sah untuk sejumlah harganya. Bilaman tidak dipertanggungkan seluruh harta benda, maka dalam hal terjadi kerugian penanggung hanya terikat seimbang dengan bagian yang dipertanggungkan terhadap bagian yang tidak dapat dipertanggungkan”.

  Menurut Emmy Pangaribuan Simanjuntak, disamping berfungsi sebagai jumlah maksimum dari ganti kerugian, jumlah yang dipertanggungkan tersebut dapat juga berfungsi sebagai dasar perhitungan dalam hal ada kerugian sebagian dalam pertanggungan di bawah nilai benda. Apabila tertanggung hendak mempertanggungkan kepentingan itu secara penuh, maka haruslah jumlah yang dipertanggungan itu sama nilainya dengan benda yang dipertanggungkan sejauh itu dapat dipertanggungkan. Tetapi sering pula bahwa yang dipertanggungkan itu tidaklah nilai penuh, akan tetapi hanya sebagian saja, akan tetapi hanya sebagian saja, sehingga tertanggung memikul resiko untuk bagian yang tidak dipertanggungkan itu, dan tentunya berakibat bahwa jumlah yang dipertanggungkan

  44 itu akan menjadi lebih kecil dari nilai benda sesungguhnya.

  Pada umumnya dalam praktek pelaksanaan perjanjian kredit pada bank, baik pada bank pemerintah maupun bank swasta di kota Medan, perusahaan asuransi 43 Sri Rejeki Hartono, 1992, Hukum Asuransi dan perusahaan Asuransi, Sinar Grafika,

  Jakarta, 2003. hal. 125 44 Emmy Pangaribuan, Op.Cit, hal. 43

  sebagai tempat mengasuransikan barang agunan milik kreditur tersebut ditentukan/ditetapkan oleh bank kreditur. Penentuan nama perusahaan asuransi sebagai tempat mengasuransikan barang agunan milik debitur tersebut oleh bank kreditur pada umumnya didasarkan kepada dua hal yaitu:

  1. Perusahaan asuransi tersebut merupakan anak perusahaan atau group Perusahaan dari Bank kreditur tersebut

  2. Perusahaan asuransi tersebut telah menjalin kerjasama dengan bank kreditur tersebut Pertimbangan bank kreditur dalam menentukan nama perusahaan asuransi sebagai tempat mengasuransikan barang agunan milik debitur tersebut adalah masalah kepercayaan dan keamanan dari barang agunan tersebut. Dengan menentukan sendiri nama perusahaan asuransi sebagai tempat mengasuransikan barang agunan milik debitur tersebut, bank kreditur akan lebih merasa aman dalam menjamin keselamatan barang agunan tersebut. Namun dengan tindakan bank kreditur menentukan secara sepihak nama perusahaan asuransi tempat mengasuransikan barang agunan milik debitur tersebut, maka kebebasan debitur dalam memilih perusahaan asuransi yang dikehendakinya menjadi terabaikan. Di dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 27/162/KEP/Dir/Tanggal 31 Maret 1995 tentang Pedoman Penyusunan Kebijaksanaan Perkreditan Bank (PPKPB), disebutkan tentang kewajiban debitur dalam mengasuransikan barang agunan miliknya dalam perjanjian kredit pada bank. Akan tetapi dalam peraturan tersebut tidak ada mengatur tentang kewajiban bank kreditur dalam menentukan/menetapkan secara sepihak nama perusahaan asuransi sebagai tempat mengasuransikan barang agunan milik debitur tersebut. Disamping itu tidak ada pula kewajiban debitur harus patuh kepada bank kreditur dalam penentuan secara sepihak nama perusahaan asuransi sebagai tempat mengasuransikan barang agunan milik debitur tersebut.

  Dalam praktek pelaksanaan perjanjian kredit pada umumnya, pihak bank kreditur atas nama debitur, bertindak secara langsung dalam mengasuransikan barang agunan milik debitur kepada perusahaan asuransi yang telah ditunjuknya secara sepihak. Bank kreditur yang mengasuransikan barang agunan milik debitur tersebut atas nama debitur. Di dalam polis asuransi tersebut tertulis nama bank yang mengasuransikan barang agunan milik debitur tersebut, QQ nama debitur pemilik barang agunan tersebut. Arti dari kalimat tersebut adalah nama perusahaan yang mengasuransikan barang agunan milik debitur tersebut adalah pihak bank kreditur, akan tetapi segala kewajiban yang berkaitan dengan pembayaran premi asuransi tersebut menjadi tanggung jawab debitur dalam pembayarannya.

  Praktek pelaksanaan kewajiban mengasuransikan barang agunan milik debitur sebagai salah satu syarat dari dikabulkannya suatu pemberian kredit oleh bank kreditur pada hakekatnya telah bertentangan dengan dasar hukum kewajiban mengasuransikan barang agunan milik debitur sebagaimana diatur dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 27/162/KEP/Dir/Tanggal 31 Maret 1995 tentang Pedoman Penyusunan Kebijaksanaan Perkreditan Bank (PPKPB), karena debitur tidak diberikan kebebasan dalam memilih perusahaan asuransi yang dikehendakinya sebagai tempat mengasuransikan barang agunan yang dimilikinya.

  Disamping itu dalam praktek pelaksanaan asuransi barang agunan tersebut, perusahaan asuransi dalam mempromosikan produk-produk asuransinya kepada msyarakat, memiliki program potongan harga premi (discount) untuk menarik minat nasabah asuransi. Apabila terdapat potongan harga premi dalam pelaksanaan asuransi barang agunan tersebut, hal ini tidak diberitahukan kepada debitur. Potongan harga premi yang seharusnya menjadi hak debitur tersebut, pada umumnya diambil atau menjadi hak milik bank kreditur. Karena dalam praktek pelaksanaan asuransi barang agunan tersebut, pihak perusahaan asuransi tidak menggunakan bukti tertulis dalam melaksanakan pemotongan premi. Pihak perusahaan asuransi melakukan pemotongan premi tersebut tanpa adanya bukti kuitansi yang menjadi alat

  45

  bukti telah dilakukan pemotongan premi dari debitur tersebut. Pihak bank kreditur yang seharusnya memberitahukan mengenai pemotongan harga tersebut, juga tidak memberitahukannya, bahkan cendrung untuk menutup-nutupinya agar debitur tidak mengetahuinya. Sehingga pemotongan harga premi yang seharusnya menjadi hak milik debitur, diambil alih oleh pihak bank kreditur. Hal ini jelas telah melanggar hak-hak dari debitur. Debitur hanya diberitahukan mengenai kewajiban- kewajibannya saja dalam membayar premi asuransi, tanpa diberitahukan hak-haknya dalam memperoleh potongan harga premi, atau kemudahan-kemudahan lain yang menjadi hak debitur. Apabila debitur hendak melakukan tuntutan kepada pihak perusahaan asuransi mengenai pemenuhan hak-haknya tersebut, kedudukan debitur secara hukum lemah, karena tidak memiliki bukti-bukti tertulis yang otentik dalam mendukung tuntutannya tersebut. Oleh karena itu debitur dalam perjanjian kredit yang melakukan kewajiban mengasuransikan barang agunan miliknya, hanya bisa mematuhi ketentuan-ketentuan yang disyaratkan oleh pihak bank maupun pihak

45 Wawancara dengan tiga orang nasabah bank Pemerintah yang tidak mau disebutkan

  namanya, pada tanggal 24 Oktober 2013 di Kantor Cabang Bank Pemerintah tersebut di Jl. Iskandar Muda Medan perusahaan asuransi yang pada umumnya adalah kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi oleh debitur tersebut.

  Debitur yang mengasuransikan barang agunan miliknya dalam perjanjian kredit bank yang tidak mematuhi kehendak pihak bank kreditur dalam penentuan perusahaan asuransi sebagai tempat mengasuransikan barang agunan milik debitur tersebut, maka konsekuensinya adalah permohonan kredit yang diajukannya pada bank kredit tersebut pada umumnya akan tidak disetujui/ditolak oleh bank kreditur. Oleh karena itu dalam praktek pelaksanaan perjanjian kredit pada bank dengan kewajiban mengasuransikan barang agunan yang dimiliki oleh debitur, pihak debitur tidak memiliki kebebasan dalam menentukan perusahaan asuransi yang dikehendakinya, karena penentuan/penetapan pemilihan perusahaan asuransi sebagai tempat diasuransikannya barang agunan milik debitur tersebut, sepenuhnya/mutlak

  46 menjadi hak dari bank kreditur.

46 Wawancara dengan tiga orang nasabah bank swasta di Kota Medan yang tidak mau disebutkan namanya pada tanggal 18 November 2013 di Kantor Cabang Bank Swasta tersebut di Jl.

  Mohammad Yamin, Serdang Medan.

Dokumen yang terkait

JANJI MENGASURANSIKAN OBYEK HAK TANGGUNGAN PADA AKTA PEMBERIAN HAK TANGGUNGAN (APHT) DAN AKIBAT HUKUM JIKA TERJADI RISIKO DALAM PERJANJIAN KREDIT BANK

0 20 17

JANJI MENGASURANSIKAN OBYEK HAK TANGGUNGAN PADA AKTA PEMBERIAN HAK TANGGUNGAN (APHT) DAN AKIBAT HUKUM JIKA TERJADI RISIKO DALAM PERJANJIAN KREDIT BANK

0 3 17

JANJI MENGASURANSIKAN OBYEK HAK TANGGUNGAN PADA AKTA PEMBERIAN HAK TANGGUNGAN (APHT) DAN AKIBAT HUKUM JIKA TERJADI RISIKO DALAM PERJANJIAN KREDIT BANK

0 5 17

JANJI MENGASURANSIKAN OBYEK HAK TANGGUNGAN PADA AKTA PEMBERIAN HAK TANGGUNGAN (APHT) DAN AKIBAT HUKUM JIKA TERJADI RISIKO DALAM PERJANJIAN KREDIT BANK

0 3 17

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KREDIT PERBANKAN A. Tinjauan Umum tentang Perjanjian 1. Pengertian Umum Perjanjian - Perlindungan Hukum Kreditur Pemegang Jaminan Berupa Hak Tanggungan Yang Mengalami Force Majeure Dalam Perjanjian Kredit

0 0 25

BAB II KEDUDUKAN BANK SELAKU PEMEGANG HAK TANGGUNGAN ATAS BERAKHIRNYA SERTIPIKAT HAK GUNA BANGUNAN DIATAS HAK PENGELOLAAN (HPL) YANG MENJADI OBJEK JAMINAN A. Tinjauan Umum Hak Tanggungan 1. Pengertian Hak Tanggungan - Kajian Hukum Terhadap Kedudukan Bank

0 0 50

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK TANGGUNGAN A. Pengertian Hak Tanggungan - Perlindungan Hukum Para Pihak Akibat Penjualan Hak Tanggungan Di Bawah Tangan (Studi Pada Bank Mandiri Cabang Medan)

0 0 24

BAB II PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP BANK SEBAGAI KREDITUR A. Alasan-Alasan Diberikannya Perlindungan Hukum Terhadap Bank Atas Kredit Yang Diberikannya Dengan Jaminan Hak Tanggungan - Perlindungan Hukum Terhadap Bank Atas Konflik Alas Hak dari Hak Tanggunga

0 0 44

BAB II PERJANJIAN JAMINAN DALAM HUKUM POSITIF G. Pengertian Perjanjian Jaminan - Hak Atas Tanah Sebagai Jaminan Utang Dalam Perjanjian Kredit Dengan Hak Tanggungan (Studi Kasus Pada PT. Bank Rakyat Indonesia, TBK Cabang Medan)

0 0 27

BAB II PERJANJIAN KREDIT BANK A. Pengertian dan Landasan Hukum 1. Pengertian Kredit - Aspek Hukum yang Harus Dipenuhi dalam Perjanjian Kredit Bank dengan Jaminan Hak Tanggungan Studi pada Bank Danamon Simpan Pinjam Unit Petisah)

0 0 28