BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - Kontrol diri (self-control) dengan perilaku nyeri pada pasien dengan nyeri kronis di Rumah Sakit Umum Haji Adam Malik Medan.
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
1. Kontrol Diri (self-control)
1.1 Defenisi Kontrol Diri
Calhoun dan Acocella (1990 dalam Ghufron, 2003 ) mendefenisikan kontrol diri sebagai pengaturan proses-proses fisik, psikologis, dan perilaku seseorang dengan kata lain kontrol diri merupakan serangkaian proses yang membentuk dirinya sendiri. Goldfried dan Merbaum dalam (Lazarus, 1976) mendefenisikan kontrol diri sebagai suatu kemampuan untuk menyusun, membimbing, mengatur dan mengarahkan bentuk perilaku yang dapat membawa individu kearah konsekuensi positif. Kontrol diri juga menggambarkan keputusan individu yang melalui pertimbangan kognitif untuk menyatukan perilaku yang telah disusun untuk meningkatkan hasil dan tujuan tertentu seperti yang diinginkan (Lazarus, 1976).
Kontrol diri berkaitan dengan bagaimana individu mengendalikan emosi serta dorongan-dorongan dari dalam dirinya (Hurlock, 1984). Mengontrol emosi berarti mendekati suatu situasi dengan menggunakan sikap yang rasional untuk merespon situasi tersebut dan mencegah munculnya reaksi yang berlebihan (Elfrida, 1995 dalam Ghufron, 2003).
Chaplin (2002) menyatakan bahwa kontrol diri adalah kemampuan untuk membimbing tingkah laku sendiri, kemampuan untuk menekan atau merintangi impuls-impuls dan tingkah laku impulsive.
1.2 Jenis dan Aspek Kontrol Diri
Averill (1977 dalam Ghufron, 2003) menyebut kontrol diri dengan sebutan kontrol personal, yaitu kontrol perilaku (behavior control), kontrol kognitif (cognitive control), dan mengontrol keputusan (decisional control).
1.2.1 Kontrol Perilaku (behavior control ) Kontrol perilaku merupakan kesiapan tersedianya suatu respons yang dapat secara langsung mempengaruhi atau memodifikasi suatu keadaan yang tidak menyenangkan. Kemampuan mengontrol perilaku ini diperinci menjadi dua komponen, yaitu mengatur pelaksanaan (regulated adminisration), dan kemampuan memodifikasi stimulus (stimulus modifiability). Kemampuan mengatur pelaksanaan merupakan kemampuan individu untuk menentukan siapa yang mengendalikan situasi atau keadaan. Apakah dirinya sendiri (aturan perilaku dengan menggunakan kemampuan dirinya) dan bila tidak mampu individu akan menggunakan sumber eksternal. Kemampuan mengatur stimulus merupakan kemampuan untuk mengetahui bagaimana dan kapan suatu stimulus yang tidak dikehendaki dihadapi. Ada beberapa cara yang dapat digunakan, yaitu mencegah atau menjauhi stimulus, menempatkan tenggang waktu di antara rangkaian stimulus yang sedang berlangsung, menghentikan stimulus sebelum waktunya berakhir, dan membatasi intensitasnya (Averill, 1977 dalam Ghufron, 2003).
1.2.2 Kontrol Kognitif (Cognitive Control) Kontrol kognitif merupakan kemampuan individu dalam mengolah informasi yang tidak diinginkan dengan cara menginterpretasi, menilai atau menghubungkan suatu kejadian dalam suatu kerangka yang kognitif sebagai adaptasi psikologis atau mengurangi tekanan. Aspek ini terdiri atas dua komponen, yaitu memperoleh informasi (information gain) dan melalukan penilaian (appraisal). Dengan informasi yang dimiliki individu mengenai suatu keadaan yang tidak menyenangkan, individu dapat mengantisipasi keadaan tersebut dengan berbagai pertimbangan. Melakukan penilaian berarti individu berusaha menilai dan menafsirkan suatu keadaan atau peristiwa dengan cara memperhatikan segi-segi positif secara subjektif (Averill, 1977 dalam Ghufron, 2003).
1.2.3 Mengontrol Keputusan (Decicional Control)
Mengontrol keputusan merupakan kemampuan seseorang untuk memilih hasil atau suatu tindakan berdasarkan pada sesuatu yang diyakini atau disetujuinya. Kontrol diri dalam menentukan pilihan akan berfungsi, baik dengan adanya suatu kesempatan. Kebebasan, atau kemungkinan pada diri individu untuk memilih berbagai kemungkinan tindakan. Menurut Block dan Block (dalam Ghufron, 2010) ada tiga jenis kualitas kontrol diri, yaitu over
control, under control, dan appropriate control. Over control merupakan
kontrol diri yang dilakukan oleh individu secara berlebihan yang menyebabkan individu banyak menahan diri dalam bereaksi terhadap stimulus. Under control merupakan suatu kecenderungan individu untuk melepaskan impulsivitas dengan bebas tanpa perhitungan yang masak.
Sementara Appropriate control merupakan kontrol individu dalam upaya mengendalikan impuls secara tepat (Averill dalam Ghufron, 2003).
1.3 Indikator kontrol diri (self control)
Berdasarkan tinjauan di atas didapati beberapa indicator kontrol diri (dalam Ghufron, 2010) diantaranya sebagai berikut:
1.3.1 Kemampuan mengontrol perilaku Kemampuan untuk memodifikasi suatu keadaan yang tidak menyenangkan dimana terdapat keteraturan untuk menetukan siapa yang mengendalikan situasi atau keadaan, apakah oleh dirinya sendiri atau orang lain. Individu yang mampu menontrol dirinya dengan baik akan mampu mengatur perilakunya sesuai dengan kemampuan dirinya dan bila tidak maka individu akan menggunakan sumber eksternal.
1.3.2 Kemampuan mengontrol stimulus Kemampuan untuk mengetahui bagaimana atau kapan suatu stimulus yang tidak dikehendaki muncul. Ada beberapa cara yang dapat digunakan yaitu mencegah atau menjauhi stimulus, menghentikan stimulus sebelum berakhir, dan melakukan kegiatan yang dapat mengalihkan perhatian dari stimulus.
1.3.3 Keampuan mengantisipasi peristiwa Kemampuan individu dalam mengolah informasi dengan cara menginterpretasi, menilai, atau menggabungkan suatu kejadian dalam suatu kerangka kognitif. Informasi yang dimiliki individu mengenai suatu keadaan yang tidak menyenangkan akan membuat individu mampu mengantisipasi keadaan melalui pertimbangan secara objektif.
1.3.4 Kemampuan menafsirkan peristiwa Penilaian yang dilakukan seorang individu merupakan suatu usaha untuk menilai dan menafsirkan suatu keadaan dengan memperhatikan segi-segi positif secara subjektif.
1.3.5 Kemampuan mengambil keputusan Kemampuan seseorang untuk memilih suatu tindakan berdasarkan sesuatu yang diakini atau disetujuinya. Kemampuan dalam mengontrol keputusan akan berfungsi dengan baik apabila terdapat kesempatan dan kebebasan dalam diri individu untuk memilih berbagai kemungkinan.
1.4 Pengukuran Kontrol diri (Self Control)
Kontrol diri dalam penelitian ini diukur dengan menggunakan Self Control
Scale (SCS) yang di desain oleh Tangney, Baumeister dan Boone pada tahun
2004. Skala ini terdiri atas 34 pernyataan yang mengindikasikan self control rendah (contohnya, “saya berharap diri saya lebih disiplin) dan self-control tinggi (contohnya, “saya tidak pernah membiarkan diri saya kehilangan
kendali ”). Responden mengindikasikan tingkat persetujuan mereka pada setiap
pernyataan dalam kuesioner apakah sesuai atau tidak sesuai dengan diri responden. Penilaian setiap pernyataan dalam kuesioner menggunakan skala 5 poin (1= tidak menggambarkan diri saya sama sekali; 5= sangat menggambarkan diri saya).
2. Konsep Nyeri
2.1 Definisi Nyeri Menurut The International Association of the Study of Pain (1979 dalam
Prasetyo, 2010) nyeri adalah pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan akibat kerusakan jaringan dari kerusakan jaringan yang aktual atau potensial, atau menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan. Nyeri adalah pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan akibat dari kerusakan jaringan yang aktual atau potensial (Brunner & Suddarth, 2002).
Tidak ada dua orang yang mengalami nyeri yang benar-benar sama. Selain itu, perbedaan persepsi dan reaksi nyeri individual, serta banyak penyebab nyeri menimbulkan situasi yang kompleks bagi perawat dalam memberikan asuhan keperawatan untuk meredakan nyeri dan memberikan kenyamanan.
Penatalaksanaan nyeri yang efektif adalah aspek penting dalam asuhan keperawatan (Kozier et al, 2010).
2.2 Penyebab Nyeri Penyebab nyeri dapat diklasifikasikan ke dalam dua golongan yaitu penyebab yang berhubungan dengan fisik dan berhubungan dengan psikis.
Secara fisik misalnya, penyebab nyeri adalah trauma (baik trauma mekanik, termis, kimiawi, maupun elektrik), neoplasma, peradangan, gangguan sirkulasi darah, dan lain-lain. Secara psikis, penyebab nyeri dapat terjadi oleh adanya trauma psikologis. Trauma mekanik menimbulkan nyeri karena ujung-ujung saraf bebas mengalami kerusakan akibat benturan, gesekan, ataupun luka.
Trauma termis menimbulkan nyeri karena ujung saraf reseptor mendapat rangsangan akibat panas, dingin. Trauma kimiawi terjadi karena tersentuh zat asam atau basa yang kuat. Trauma elektrik dapat menimbulkan nyeri karena pengaruh aliran listrik yang kuat mengenai reseptor rasa nyeri (Asmadi, 2008).
Nyeri yang disebabkan faktor fisik berkaitan dengan terganggunya serabut saraf reseptor nyeri. Nyeri yang disebabakan oleh faktor psikologis merupakan nyeri yang dirasakan bukan karena penyebab organik, melainkan akibat trauma psikologis dan pengaruhnya terhadap fisik. Nyeri karena faktor ini disebut juga psychogenic pain (Asmadi, 2008).
2.3 Klasifikasi Nyeri
Nyeri dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa golongan berdasarkan pada durasi (lamanya) nyeri, tingkat keparahan (intensitas), model transmisi, lokasi nyeri dan kausatif (penyebab nyeri).
2.3.1 Nyeri berdasarkan durasi (lamanya nyeri) a.
Nyeri akut Nyeri akut terjadi secara tiba-tiba setelah terjadi cedera atau penyakit akut, dan tetap ada sampai periode penyembuhan terjadi (Lewis et al, 2000). Nyeri akut akan menghilang dengan atau tanpa pengobatan setelah keadaan pulih pada area yang rusak (Potter & Perry, 2006). Umumnya nyeri akut akan berkurang dalam waktu kurang dari 6 bulan (Brunner & Suddarth, 2002).
Nyeri akut biasanya diakibatkan oleh trauma, bedah atau inflamasi, seperti saat sakit kepala, sakit gigi, tertusuk jarum, terbakar, nyeri otot, nyeri saat melahirkan, nyeri sesudah tindakan pembedahan, dan yang lainnya. Nyeri akut terkadang disertai oleh aktivasi system saraf simpatis yang akan memperlihatkan gejala-gejala seperti peningkatan tekanan darah, peningkatan respirasi, peningkatan denyut jantung, diaphoresia dan dilatasi pupil. Klien yang mengalami nyeri akut akan memperlihatkan respon emosi dan perilaku seperti menangis, mengerang kesakitan, mengerutkan wajah atau menyeringai (Prasetyo, 2010).
Nyeri apabila tidak diatasi secara adekuat mempunyai efek yang membahayakan di luar ketidaknyamanan yang disebabkannya. Selain merasakan ketidaknyamanan dan mengganggu, nyeri akut yang tidak reda dapat mempengaruhi sistem pulmonari, kardiovaskular, gastrointestinal, endokrin, dan imunologik (Benedetti et al, 1984;Yeager et al, 1987 dalam Brunner & Suddarth, 2002).
b.
Nyeri kronis Nyeri kronik berlangsung lama, intensitas yang bervariasi, dan biasanya berlangsung lebih dari 6 bulan. (McCaffery (1986 dalam Potter& Perry, 2006);
Brunner & Suddarth, 2000).
Nyeri kronik dapat disebabkan oleh kanker yang tidak terkontrol atau pengobatan kanker tersebut, atau gangguan progresif lain, yang disebut dengan nyeri maligna. Nyeri ini dapat berlangsung terus sampai kematian. (Potter & Perry, 2006). Nyeri kronis bersifat konstan atau intermiten yang bertahan selama periode waktu yang lama. Hal Ini dapat berlangsung jauh dari waktu penyembuhan yang diharapkan dan sering tidak dapat dikaitkan dengan penyebab spesifik atau cedera. Pengobatan nyeri kronis sulit karena penyebab nyeri atau asal nyeri tersebut tidak jelas, Namun jika berlanjut dapat menjadi gangguan utama (Brunner & Suddarth, 2000).
Nyeri kronis non-maligna seperti nyeri punggung bagian bawah , merupakan akibat dari cedera jaringan yang tidak sembuh atau yang tidak- progresif. Akan tetapi nyeri tersebut berlangsung terus dan sering kali tidak berespon terhadap pengobatan yang dilakukan.Sering kali penyebab nyeri non-maligna tidak diketahui. Daerah yang mengalami cedera mungkin telah memulih sejak lama, tetapi nyeri menetap (Meinhart dan McCaffery ( 1983 dalam Potter & Perry, 2006). Nyeri kronik non-maligna disebut juga dengan
chronic benign pain. McCaffery dan Pasero (1997 dalam Prasetyo, 2010),
mengidentifikasikan tiga karakteristik khusus pada nyeri kronis non-maligna yaitu: (1) nyeri ini berhubungan dengan penyebab-penyebab yang tidak mengancam kehidupan klien, (2) Nyeri kronik non-maligna tidak begitu responsif terhadap metode-metode pembebasan nyeri, (3) dapat berlanjut pada sisa kehidupan klien. Penyakit-penyakit yang termasuk dalam nyeri kronik maligna adalah neuralgia, low back pain, rheumatoid arthritis, ankylosing spondilitis, nyeri phantom, myofascial pain syndrome (Prasetyo, 2010). Gejala nyeri kronik meliputi keletihan, insomnia, anoreksia, penurunan berat badan, depresi, putus asa dan kemarahan (Potter & Perry, 2006).
2.3.2 Nyeri berdasarkan tingkat keparahan (intensitas nyeri) a.
Nyeri Ringan Nyeri yang timbul dengan intensitas yang ringan. Individu secara objektif mampu berkomunikasi dengan baik. Skala nyeri pada nyeri ringan adalah
≤4. Pengukuran nyeri dengan menggunakan skala nyeri numerik (Backonja et al, 2010 ).
b.
Nyeri Sedang Nyeri yang timbul dengan intensitas nyeri yang sedang. Pada nyeri sedang secara objektif pasien mendesis, menyeringai, dapat ,menunjukkan lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya, dapat mengikuti perintah dengan baik. Skala nyeri berkisar antara 5-6 dalam skala nyeri numerik (Backonja et al, 2010).
c.
Nyeri Berat / nyeri tak tertahankan.
Nyeri berat adalah nyeri yang timbul dengan intensitas yang berat. Pada nyeri berat secara objektif pasien terkadang tidak dapat mengikuti perintah tapi masih respon terhadap tindakan, dapat menunjukkan lokasi nyeri, tidak dapat mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi dengan alih posisi nafas panjang. Skala nyeri di atas 7, dengan skala nyeri numerik (Backonja et al, 2010).
2.3.3 Nyeri berdasarkan model transmisi a.
Reffered Pain/ nyeri alih Nyeri dalam dapat diakibatkan dari gangguan organ visceral atau lesi pada bagian somatik dalam (misalnya; otot, ligament, vertebral). Keduanya dapat dirasakan menyebar sampai ke bagian permukaan kulit karena serabut saraf visceral bersinapsis di dalam medulla spinalis dengan beberapa neuron urutan kedua yang sama yang menerima serabut nyeri dari kulit. Apabila serabut nyeri visceral tersebut dirangsang dengan kuat, sensasi nyeri dari visceral menyebar ke dalam beberapa neuron yang biasanya menghantarkan sensasi nyeri dari kulit sehingga orang tersebut mempunyai perasaan bahwa sensasi itu benar-benar dari dalam kulit itu sendiri( Kozier et al, 2010).
b.
Radiasi Sensasi nyeri meluas dari tempat awal cedera ke bagian tubuh yang lain.
Nyeri terasa seakan menyebar ke bagian tubuh bawah atau atau sepanjang bagian tubuh. Nyeri dapat menjadi intermitten atau konstan. Penyebab nyeri ini adalah nyeri punggung bagian bawah akibat diskus invertebral yang ruptur disertai nyeri yang meradiasi sepanjang tungkai dari iritasi saraf skiatik (Potter & Perry, 2006).
2.3.4 Nyeri berdasarkan lokasi nyeri a.
Nyeri Superfisial/ Kutaneus Nyeri kutaneus berasal dari kulit atau jaringan subkutan, misalnya: teriris kertas yang menyebabkan nyeri tajam dengan sedikit rasa terbakar. (Kozier et al, 2010). Ada dua tipe nyeri superficial yakni (1) nyeri yang terjadi secara tiba-tiba dan dan dengan kualitas nyeri yang tajam dan perih dan (2) nyeri dengan onset yang lebih lambat dan terdapat nyeri terbakar. Nyeri kutaneus relatif tidak sulit karena hal ini dapat langsung dirasakan dan terlokalisasi sehingga individu dengan tepat dapat mengetahui lokasi nyeri (Luckmann & Sorrensen, 1993).
b.
Nyeri somatik profunda Nyeri ini berasal dari ligament, tendon, tulang, pembuluh darah, dan saraf.
Nyeri somatik profunda cenderung berlangsung lebih lama dibanding nyeri kutaneus (Kozier et al, 2010). Nyeri somatik merupakan fenomena nyeri yang rumit, melibatkan otot dan tulang. Nyeri somatik tidak terlokalisasi, dapat menyebabkan nausea, sering kali berhubungan dengan perubahan tekanan darah. Nyeri somatik berasal dari struktur yang dalam dan sifatnya menyebar ( Luckmann & Sorrensen, 1993).
c.
Nyeri visceral Nyeri visceral berasal dari stimulasi reseptor nyeri di rongga abdomen, cranium dan toraks. Nyeri visceral cenderung menyebar dan sering kali terasa seperti nyeri somatik profunda, yaitu rasa terbakar, nyeri tumpul atau merasa tertekan. Nyeri visceral sering kali disebabkan oleh peregangan jaringan, iskemia atau spasme otot. Misalnya obstruksi usus akan menyebabkan nyeri visceral (Kozier at al, 2010).
d.
Central pain Patologi nyeri akibat cedera pada CNS (Central Nervous Sistem) adalah infarksi, tumor, dan kerusakan lainnya pada spinal cord, brain stem, dan area pada otak. Central pain sangat ekstrem, konstan dan sulit diatasi. Nyeri ini dapat terjadi bersamaan dengan kelainan yang disebabkan oleh kerusakan CNS, termasuk kanker, diabetes, stroke, multiple sclerosis atau trauma (Luckmann & Sorrensen, 1993).
2.3.5 Nyeri berdasarkan penyebab nyeri/ kausatif.
a.
Nyeri Neuropatik Nyeri neuropatik adalah nyeri akibat kerusakan sistem saraf tepi atau sistem saraf pusat di masa kini atau di masa lalu dan mungkin tidak mempunyai stimulus, seperti kerusakan jaringan atau saraf, untuk rasa nyeri. Nyeri neuropatik berlangsung lama, tidak menyenangkan, dan dapat digambarkan sebagai rasa terbakar, nyeri tumpul, dan nyeri tumpul yang berkepanjangan. ; episode nyeri tajam seperti tertembak dapat juga dialami (Hawthorn & Redmond, 1998 dalam Kozier et al, 2010).
b.
Nyeri bayangan Nyeri ini merupakan sensasi rasa nyeri yang dirasakan pada bagian tubuh yang telah hilang (misalnya, kaki yang telah diamputasi), atau yang lumpuh akibat cedera tulang belakang. Insidensi nyeri bayangan dapat dikurangi jika analgesik diberikan melalui kateter epidural sebelum amputasi (Kozier et al, 2010).
2.4 Penatalaksanaan Nyeri
Pengkajian nyeri yang faktual dan akurat dibutuhkan untuk menetapkan data dasar, untuk menegakkan diagnosa keperawatan yang tepat, untuk menyeleksi terapi yang cocok dan untuk mengevalusi respon klien terhadap terapi (Potter & Perry, 2006). Penatalaksanaan nyeri antara lain:
2.4.1 Tindakan penatalaksanaan nyeri nonfarmakologis
Tindakan penatalaksanaan nyeri nonfarmakologis adalah sejumlah terapi nonfarmakologis yang mengurangi resepsi dan persepsi nyeri dan dapat digunakan pada keadaan perawatan akut dan perawatan tersier. Tindakan nonfarmakologis mencakup intervensi perilaku- kognitif dan penggunaan agen-agen fisik. Terapi nyeri nonfarmakologis antara lain: a.
Bimbingan Antisipasi Bimbingan antisipasi dilakukan dengan cara memodifikasi secara langsung cemas yang berhubungan dengan nyeri menghilangkan nyeri dan menambah efek tindakan untuk menghilangkan nyeri yang lain. Salah satu contoh bimbingan antisipasi adalah penyuluhan praoperasi. Pasien harus dijelaskan terlebih dahulu secara rinci tentang prosedur medis dan kondisi pasca operasi yang akan dialami sehingga klien dapat beradaptasi selama prosedur atau peristiwa yang menyakitkan (Potter & Perry, 2006).
b.
Distraksi Distraksi mengalihkan perhatian klien ke hal yang lain dan dengan demikian menurunkan kewaspadaan terhadap nyeri bahkan meningkatkan toleransi terhadap nyeri. Sistem aktivasi reticular menghambat stimulus yang menyakitkan jika seseorang menerima masukan sensori yang cukup ataupun berlebihan. Individu yang diisolasi hanya memikirkan nyeri tersebut dengan lebih akut. Namun, distraksi hanya memberikan pengaruh yang baik pada waktu yang singkat, untuk mengatasi nyeri yang intensif hanya berlangsung beberapa menit, misalnya, selama pelaksanaan prosedur invasif atau saat menunggu kerja analgesik (Potter & Perry, 2006).
Keefektifan distraksi tergantung pada kemampuan pasien menerima dan membangkitkan input sensori selain nyeri. Distraksi dapat menurunkan persepsi nyeri dengan menstimulasi system kontrol desenden, yang mengakibatkan lebih sedikit stimuli nyeri yang ditransmisikan ke otak (Brunner & Suddarth, 2002).
Contoh distraksi yang efektif adalah musik, yang dapat menurunkan nyeri fisiologis, stress, dan kecemasan dengan mengalihkan perhatian seseorang dari nyeri. Pada penelitian oleh Sarah Damayanti Saragih (2011) tentang Efektivitas Terapi Musik Terhadap Intensitas Nyeri Pada Pasien Kanker Nyeri Kronis di RSUP H. Adam Malik Medan, diperoleh hasil penelitian adanya perbedaan intensitas nyeri yang signifikan antara kelompok kontrol dengan kelompok yang diberikan perlakuan terapi musik. Musik terbukti menunjukkan efek yaitu menurunkan frekuensi denyut jantung, mengurangi kecemasan dan depresi, menghilangkan nyeri, menurunkan tekanan darah, dan mengubah persepsi waktu (Guzetta, 1989 dalam Brunner & Suddarth, 2002).
Distraksi dapat juga dilakukan dengan melihat film layar lebar, melalui permainan dan aktivitas yang membutuhkan konsentrasi (misalnya, catur).
Tidak semua pasien mencapai peredaan dengan distraksi, terutama mereka yang mengalami nyeri hebat, pasien mungkin tidak dapat berkonsentrasi cukup baik untuk ikut serta dalam aktivitas mental atau fisik yang kompleks (Brunner & Suddarth, 2002).
c.
Biofeedback Biofeedback merupakan terapi perilaku yang dilakukan dengan memberikan individu informasi tentang respons fisiologi (misalnya tekanan darah atau ketegangan) dan cara untuk melatih kontrol volunteer terhadap respon tersebut (National Institute of Health (NIH), 1986 dalam Potter & Perry, 2006). Biofeedback adalah sebuah teknik terapi yang membantu klienmengembangkan kemampuan untuk mengendalikan proses fisiologistertentu. Sarana untuk melakukan hal ini mencakup pemantauan responfisiologis di klien dan menampilkan sinyal yang dihasilkan oleh teknik pemantauan ke terapis dan klien. Klien menggunakan umpan balik biologis untuk mempelajari dan menguasainya respon. Biofeedback Oleh karena itu, proses pendidikan di mana klien dibantu untuk belajar mengendalikan proses fisiologis tertentu, tetapi itu adalah klien yangmengasumsikan tanggung jawab dan menjadi peserta aktif dalam perbaikan sendiri. (Mike, SHSU dalam Putro & Romli, 2011).
d.
Hipnosis diri Hipnosis dapat membantu mengubah persepsi nyeri melalui pengaruh sugesti positif. Hipnosis diri menggunakan sugesti diri dan kesan tentang perasaan yang rileks dan damai. Individu memasuki keadaan rileks dengan menggunakan berbagai ide pikiran dan kemudian kondisi-kondisi yang menghasilkan respons tertentu bagi mereka (Edelman & Mandel, 1994 dalam Potter & Perry, 2006).
e.
Stimulasi Kutaneus.
Stimulus kutaneus adalah stimulasi kulit yang dilakukan untuk menghilangkan nyeri. Yang termasuk dalam terapi ini adalah masase, mandi air hangat, kompres menggunakan kantong es, dan stimulasi saraf transkutan (TENS). Stimulasi kutaneus menyebabkan pelepasan endofrin, sehingga memblok transmisi stimulus nyeri. Teori gate-control mengatakan bahwa stimulasi kutaneus mengaktifkan transmisi serabut saraf sensori A-beta yang lebih besar dan lebih cepat. Maka, stimulasi kutaneus ini menurunkan transmisi nyeri melalui serabut C dan delta-A berdiameter kecil (Potter & Perry, 2006).
Stimulasi saraf elektris transkutan (TENS) menggunakan unit yang dijalankan oleh baterai dengan elktroda yang dipasang pada kulit untuk menghasilkan sensasi kesemutan, menggetar atau mendengung pada area nyeri. Mekanisme ini sesuai dengan teori gate control. Reseptor nyeri diduga memblok transmisi sinyal nyeri ke otak pada jaras asenden system saraf pusat (Brunner & Suddarth, 2002).
Meek (1993 dalam Potter & Perry 2006) mengatakan bahwa sentuhan dan masase merupakan teknik intergrasi sensori yang mempengaruhi aktifitas sitem otonom. Apabila individu mempersepsikan sentuhan sebagai stimulus untuk rileks, kemudian akan muncul respon relaksasi.
f.
Terapi Es dan Panas Terapi es dapat menurunkan prostaglandin, yang memperkuat sensitivitas reseptor nyeri dan subkutan lain pada tempat cedera dengan menghambat proses inflamasi. Agar efektif, es harus diletakkan pada tempat cedera segera setelah cedera terjadi. Penggunaan panas mempunyai keuntungan meningkatkan aliran darah ke suatu area dan kemungkinan dapat turut menurunkan nyeri dengan mempercepat penyembuhan (Brunner & Suddarth, 2002).
g.
Relaksasi Teknik relaksasi sederhana terdiri atas nafas abdomen dengan frekuensi lambat, berirama. Pasien dapat memejamkan matanya dan bernafas dengan perlahan dan nyaman. Irama yang konstan dapat dipertahankan dengan menghitung dalam hati dan lambat bersama setiap inhalasi dan eksalasi.
Teknik relaksasi, juga tindakan pereda nyeri noninvasive lainnya, mungkin memerlukan latihan sebelum pasien terampil menggunakannya (Brunner & Suddarth, 2002).
Terapi relaksasi ini merupakan metode yang efektif terutama pada pasien yang mengalami nyeri yang kronis (McCaffery, 1989 dalam Brunner & Suddarth, 2000). Efek positif dari terapi relaksasi pada pasien nyeri kronis adalah memperbaiki kualitas tidur, memperbaiki kemampuan pemecahan masala, menurunkan fatigue, meningkatkan kepercayaan diri dan self-control dalam koping terhadap nyeri, meningkatkan efektifitas terhadap tindakan lain untuk meredakan nyeri, dan memperbaiki kemampuan dalam toleransi (Priharjo, 1993 dalam Rabi’al, 2010).
2.4.2 Terapi Nyeri Farmakologis a.
Analgesik Analgesik merupakan metode yang paling umum untuk mengatasi nyeri.
Ada tiga jenis analgesic, yaitu : (1) non-narkotik dan obat anti-inflamasi nonsteroid (NSAID), (2) analgesic narkotik atau opiate, dan (3) obat tambahan (adjuvan) atau koanalgesik. NSAID non-narkotik umumnya menghilangkan nyeri ringan dan nyeri sedang, seperti nyeri yang terjait dengan arthritis rheumatoid, prosedur pengobatan gigi dan prosedur bedah minor, episiotomy, dan masalah pada punggung bagian bawah. Walaupun mekanisme kerja pasti NSAID tidak diketahui, NSAID diyakini bekerja menghambat sintesis prostaglandin (McKenry dan Salerno, 1995 dalam Brunner & Suddarth, 2002) dan menghambat respon selular selama inflamasi. Kebanyakan NSAID bekerja pada reseptor saraf perifer untuk mengurangi transmisi dan resepsi stimulus nyeri. NSAID tidak menyebabkan sedasi atau depresi pernafasan juga tidak menggangu fungsi berkemih atau defekasi (The Agency for Health Care Policy and Research (AHCPR), 1992).
Analgesik opiad atau narkotik diresepkan untuk nyeri yang sedang sampai berat, seperti nyeri pascaoperasi dan nyeri maligna. Efek samping opioid antara lain depresi pernafasan dan sedasi, mual dan muntah, konstipasi. Resiko depresi pernafasan meningkat dengan penambahan usia dan seiring dengan pemberian opioid lain atau depresan system persrafan pusat lain.
Adjuvan, seperti sedatif, anticemas, dan relaksan otot meningkatkan kontrol nyeri atau menghilangkan gejala lain yang terkait dengan nyeri seperti depresi dan mual (Brunner & Suddarth, 2002; Potter & Perry, 2006).
b.
Analgesik Dikontrol Pasien (ADP) ADP merupakan pompa infuse yang dapat dibawa (biasanya diatur komputer), yang berisi ruang untuk tempat spuit. Sistem pemberian obat yang disebut ADP merupakan system pemberian obat yang memungkinkan klien mendapatkan medikasi nyeri ketika mereka menginginkan obat tersebut tanpa resiko overdosis dengan cara mengatur pemberian dosis setiap jam atau 4 jam. ADP diberikan intravena atau dapat melalui subkutan (Potter & Perry, 2006).
Pompa ADP memungkinkan pasien untuk memberikan secara mandiri medikasi melalui infuse kontinu dalam batas aman dan memampukan mereka untuk memberikan medikasi ekstra dengan episode aktivitas yang meningkatkan nyeri atau menimbulkan nyeri. Pasien-pasien yang memakai pompa seperti ini untuk mengontrol nyeri mendapat peredaan nyeri yang lebih baik dan membutuhkan medikasi nyeri yang lebih sedikit, karena pasien dapat mempertahankan kadar medikasi yang mendekati konstan (Brunner & Suddarth, 2002). c.
Anastesi lokal dan regional Anastesi lokal adalah suatu keadaan hilangnya sensasi pada lokalisasi bagian tubuh. Anastesi lokal memblokir fungsi neuron sensori, motorik, dan neuron otonom yang menyuplai area yang dipengaruhi (Potter & Perry, 2006). Anastesi lokal dapat diberikan secara langsung ke tempat yang cedera (Misalnya, anastesi topical dalam bentuk semprot untuk luka bakar akibat sinar matahari) atau secara langsung ke serabut saraf melalui suntikan saat pembedahan.
d.
Analgesia Analgesik dapat diberikan melalui rute parenteral (intravena, intramuscular, atau subkutan), rute oral, rektal dan transdermal (melalui kulit) melalui kateter epidural atau intraspinal (Brunner & Suddarth, 2002).
Pemberian parenteral memberikan efek yang lebih cepat disbanding pemberian oral, tetapi durasi efek lebih pendek. Rute subkutan untuk infus analgetik opioid digunakan untuk pasien dengan nyeri berat seperti nyeri kanker.
Rute oral dipilih jika pasien mampu menggunakan obat melalui mulut, karena cara ini mudah, noninvasive, dan tidak menyakitkan seperti injeksi.
Pasien dengan penyakit terminal dan nyeri berkepanjangan, dosis secara bertahap dapat ditingkatkan sesuai dengan perkembangan penyakit dan menyebabkan pasien lebih nyeri atau pasien toleransi terhadap obat.
Pemberian melalui rute rectal diindikasikan untuk pasien yang tidak mampu menggunakan obat-obat melalui rute lainnya. Rute transdermal digunakan untuk mencapai kadar opioid yang konsisten dalam serum melalui absorpsi obat melalui kulit. Metoda ini telah digunakan untuk menangani nyeri pasca operatif dan nyeri kanker. Analgesia Epidural merupakan suatu bentuk anastesi local dan terapi yang efektif untuk menangani nyeri pasca operasi akut, nyeri persalinan dan melahirkan, dan nyeri kronik, khususnya yang berhubungan dengan kanker (McNair, 1990 dalam Brunner & Suddarth, 2002). Analgesia ini memungkinkan pengontrolan atau pengurangan nyeri yang berat tanpa efek sedative dan narkotik parenteral atao oral yang serius.
Analgesia epidural diberikan ke dalam ruang epidural spinal. Jarum dengan ujung tumpul dimasukkan ke dalam prosessus spinal vertebral lumbar (L3 dan L4). Kemudian larutan diinjeksikan melalui kateter berukuran kecil. Setelah kateter dimasukkan ke dalam ruang epidural, jarum diangkat, kateter yang tersisa ditutup dengan balutan oklusif dan diplester ke atas punggung klien.
Perawat menerima pelatihan khusus untuk pemberian analgesi epidural. Agens narkotik yang umum digunakan untuk analgesia epidural meliputi morfin sulfat, fentanil, sufentanil, dan hidromorfon. Morfin memiliki efek jangka panjang tetapi juga menimbulkan lebih banyak efek samping (Sabbe & Yaksh, 1990 dalam Brunner & Suddarth, 2002).
e.
Tindakan bedah Apabila nyeri yang dialami seorang klien menetap walaupun terapi medis telah dilakukan dan terlihat bahwa nyeri akibat factor fisik, maka terapi pembedahan dapat dilakukan untuk menghilangkan nyeri. Misalnya, rizotomi dorsal dilakukan dengan memotong akar saraf dorsal (posterior) melalui pembedahan karena akar tersebut memasuki medulla spinalis. Tindakan ini efektif untuk menghilangkan nyeri akut yang terlokalisasi di daerah yang disuplai akar saraf dan nyeri visceral dalam. Klien mengalami kehilangan sensasi nyeri, tetapi dapat mempertahankan seluruh fungsi motorik. Tindakan bedah yang lain adalah kordotomi. Tindakan kordotomi lebih ekstensif dan dilakukan melalui reseksi traktur spinotalamus. Prosedur ini untuk menangani nyeri yang tidak dapat dikendalikan atau yang tidak dapat dihilangkan. Apabila dilakukan dengan benar, prosedur ini dapat menghilangkan nyeri yang persisten tanpa menyebabakan deficit neurologi yang serius (Brunner & Suddarth, 2002).
3. Perilaku nyeri
3.1 Defenisi Perilaku Nyeri
Respon terhadap kerusakan ada dua yaitu, pengalaman tidak menyenangkan yang bersifat subjektif dan perilaku-perilaku kompleks yang dapat diobservasi. Pengalaman- pengalaman tidak menyenangkan disebut sebagai nyeri dan perilaku-perilaku yang dapat diobservasi yang biasanya mengindikasikan adanya nyeri yang bersifat subjektif atau menandakan nyeri yang dialami oleh individu disebut perilaku nyeri (Fields, 1987).
Perilaku nyeri dapat diobservasi dengan akurasi yang tinggi. Melalui perilaku nyeri kita mampu memahami setiap hal yang dialami seseorang ketika mengalami nyeri dan perubahan kondisi yang dialaminya (Wall & Jones, 1991). Menurut Fordyce (1976 dalam Harahap, 2007), perilaku nyeri dapat berupa: (1)Respon verbal, meliputi mengeluh, mendesah, merintih, dan mengadukan nyeri yang dialami. (2) Respon non verbal, meliputi wajah tegang, keresahan, sudut mulut dilengkungkan ke bawah, terlihat sedih, terlihat ketakutan, bibir berkerut, dan dagu bergetar. (3)Sikap badan dan isyarat meliputi menggosok-gosok bagian tubuh yang nyeri, immobilisasi dan menyeringai. (4)Perilaku yang berbeda dengan keadaan normal meliputi beristirahat dan berbaring secara berlebihan.
3.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku nyeri.
Terdapat faktor-faktor yang dapat mempengaruhi persepsi dan reaksi seseorang terhadap nyeri. Antara lain, nilai etnik dan budaya individu, tahap perkembangan, lingkungan dan orang pendukung, pengalaman nyeri sebelumnya dan makna nyeri saat ini, serta ansietas dan stress.
3.2.1 Nilai Etnik dan budaya
Latar belakang etnik dan budaya mempegaruhi reaksi dan ekspresi seseorang terhadap nyeri. Individu banyak belajar tentang bagaimana berespon terhadap nyeri dari keluarga dan kelompok budaya sehingga setiap individu dengan latar belakang nilai etnik dan budaya yang berbeda memiliki respon yang berbeda terhadap nyeri. Zborowski (1969 dalam Brunner & Suddarth, 2002) dalam penelitiannya tentang “Pengaruh budaya dan etnik terhadap nyeri” meneliti tentang perbedaan respon nyeri antara Old American (Inggris), Irlandia, Italia, dan Yahudi. Hasil yang didapat adalah Old American cenderung mampu toleran terhadap nyeri dan tabah. Masyarakat Irlandia tidak mengekspresikan nyeri dan menolak (denial) adanya nyeri. Italia sangat ekspresif dan bereaksi berlebihan terhadap nyeri begitu haknya dengan Yahudi. Budaya dan etnik mempunyai pengaruh pada bagaimana seseorang berespon terhadap nyeri. Namun, budaya dan etnik tidak mempengaruhi persepsi nyeri (Zatzick & Dimsdale, 1990 dalam Brunner & Suddarth, 2002).
3.2.2 Tahap Perkembangan Indikator fisiologis dapat berpengaruh pada bayi, sehingga observasi perilaku direkomendasikan untuk pengkajian nyeri (Ball & Blinder, 2003 dalam Kozier et al, 2010). Anak-anak mungkin kurang mampu dibandingkan orang dewasa untuk mengatakan pengalaman atau kebutuhan mereka terkait dengan nyeri, yang dapat menyebabkan nyeri mereka teratasi (Kozier, 2010). Nyeri sering dimaknai oleh lansia sebagai bagian dari proses penuaan. Ada yang menginterpretasikan bahwa hal tesebut alami, sesuatu yang harus dialami sebagai proses normal dan menahan nyeri tersebut (Luckmann & Sorrensen, 1993).
3.2.3 Lingkungan dan Orang Pendukung Lingkungan yang tidak dikenal seperti rumah sakit, dengan kebisingannya, cahaya, dan aktivitasnya, dapat menambah rasa nyeri. Selain itu, orang kesepian yang tidak memiliki jaringan pendukung dapat mempersepsikan nyeri sebagai sesuatu yang berat, sementara orang yang memiliki orang pendukung di sekitarnya dapat mempersepsikan nyeri sebagai sesuatu yang lebih ringan. Beberapa orang memilih untuk menarik diri jika mereka sedang merasa nyeri, sementara orang lain lebih memilih untuk mengalihkan rasa nyerinya kepada orang-orang dan aktivitas di sekitar mereka. Pemberi perawatan keluarga dapat menjadi seorang pendukung yang bermakna bagi seseorang yang sedang mengalami nyeri. Dengan makin banyaknya rawat jalan dan perawatan dirumah, keluarga mengemban tanggung jawab yang lebih besar untuk menatalaksanakan nyeri. Penyuluhan yang terkait dengan pengkajian dan penatalaksanaan nyeri dapat secara positif mempengaruhi persepsi kualitas hidup bagi klien dan pemberi perawatannya (Kozier, et al, 2010).
3.2.4 Ansietas Tingkat kecemasan individu saat mengalami nyeri juga dapat mempengaruhi respon individu terhadap nyeri. Nyeri terdiri atas komponen fisiologi dan komponen psikologi. Ketika ansietas meningkat maka nyeri yang dirasakan individu lebih besar. Ansietas sering sekali dihubungkan dengan makna nyeri. Jika penyebab ansietas tidak diketahui, tingkat kecemasan individu akan meningkat dan tingkatan nyeri memburuk (Luckmann & Sorrensen, 1993).
3.2.5 Pengalaman masa lalu dengan nyeri Cara seseorang berespon dengan nyeri adalah akibat dari banyak kejadian nyeri selama rentang kehidupannya. Individu yang mengalami nyeri hebat dan berkepanjangan di masa lalu dapat menjadi lebih toleran terhadap nyeri tersebut apabila dimasa lalu, individu tersebut menerima terapi nyeri yang adekuat dan toleran terhadap nyeri yang dialaminya. Sebaliknya individu yang memiliki pengalaman nyeri hebat di masa lalu dan tidak mendapat terapi nyeri yang tidak adekuat tidak mampu toleran dengan nyeri yang dihadapinya. Sehingga individu takut terhadap nyeri yang mungkin terjadi dan lebih sedikit mentoleransi nyeri (Brunner & Suddarth, 2002).
3.3 Pengukuran Perilaku Nyeri
Perilaku Nyeri diobservasi dengan menggunakan The Pain Behaviour
Observation Protocol (PBOP) yang didesain oleh Ikhsanuddin I.A. Harahap
(2007). PBOP ini terdiri dari lima item meliputi terjaga, menahan rasa sakit, menggosok bagian yang nyeri, meringis dan mendesah. Perilaku nyeri diobservasi secara langsung pada saat pasien menunjukkan delapan task yang diadaptasi dari standar protocol Keefe dan Block pada tahun 1982, terdiri dari duduk selama satu menit dan kemudian diulangi selama dua menit, berdiri selama satu menit dan kemudian diulangi selama dua menit, berbaring sebanyak dua kali masing-masing selama satu menit, berjalan sebanyak dua kali masing-masing selama satu menit.
Harahap (2007) mengatakan bahwa perilaku nyeri dapat diobservasi. Harahap (2007) mengkategorikan perilaku nyeri menjadi: (1) tidak ada, jika perilaku tidak diobservasi selama 10 menit beraktivitas tetapi tidak pada keseluruhan aktivitas, (2) kadang-kadang jika perilaku terjadi sekali pada saat beraktivitas tetapi tidak pada keseluruhan aktivitas, (3) sering, jika perilaku terjadi sekali pada setiap aktivitas, atau terjadi lebih dari sekali peristiwa.
Parameter Tidak ada Kadang-kadang Sering Terjaga (guarding)
1
2 Menahan nyeri (bracing)
1
2 Menggosok bagian yang nyeri
1
2 (rubbing)
Meringis (grimacing)
1
2 Mendesah (sighing)
1
2 (Harahap, I.A., 2007)