Kontrol diri (self-control) dengan perilaku nyeri pada pasien dengan nyeri kronis di Rumah Sakit Umum Haji Adam Malik Medan.

(1)

Kontrol diri (self-control) dan perilaku nyeri pada pasien dengan

nyeri kronis di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik

Medan

SKRIPSI OLEH

NOVIA SP. NAIBAHO 091101061

FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2013


(2)

(3)

Judul : Self-control and pain behavior of patient with chronic pain at Haji Adam Malik Hospital Medan

Nama : Novia SP. Naibaho

Jurusan : Bachelor degree of Nursing

NIM : 091101061

Tahun : 2013

Abstract

Pain is an unpleasant feeling experience and emotion caused by damaged body part actually and potentially. Pain is one of the chronic disease symptoms that effect physical function, mental, quality of life and individual productivity. Biopsycosocial approach is the best medication for pain individually and could increase the quality of life patients with chronic pain. One of the biopsychosocial factors is self-control. The purpose of this study is to identify self-control level and pain level through patients with chronic pain at Haji Adam Malik Hospital Medan This study is descriptive. Populations of data were obtained through 18 respondents based on purposive sampling method. Instruments used in this study were demographic data questionnaire, pain observation form and self-control questionnaire. The result of this study showed that very low level of self-control (38.9%), low level of self control (33.3%), middle level of self-control (22.2%), and high level of self-control (5.6%). The result of pain observation showed that middle level pain (55.6%) and low level pain (44.4%). Generally, this study showed that respondent had low level of self-control so that affected to the quality of life of patients with chronic pain. Based on this study, more study is needed for factors analysis of self-control for patients with chronic pain.


(4)

Judul : Kontrol diri (self-control) dengan perilaku nyeri pada pasien dengan nyeri kronis di Rumah Sakit Umum Haji Adam Malik Medan.

Nama : Novia SP. Naibaho

Jurusan : Sarjana Keperawatan (S.Kep)

NIM : 091101061

Tahun : 2013

Abstrak

Nyeri adalah pengalaman merasakan sesuatu yang tidak menyenangkan, juga dari sudut emosi akibat kerusakan jaringan tubuh yang aktual dan potensial. Nyeri merupakan salah satu gejala penyakit kronis yang mempengaruhi fungsi fisik, mental, kualitas hidup dan produktivitas individu. Pendekatan biopsikososial adalah pengobatan nyeri yang tepat untuk mengurangi perilaku nyeri individu dan meningkatkan kualitas hidup pasien dengan nyeri kronis. Salah satu faktor biopsikososial adalah kontrol diri (self-control). Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi tingkat kontrol diri (self control) dan tingkat perilaku nyeri pada pasien dengan nyeri kronis di RSUP Haji Adam Malik Medan dengan desain deskriptif. Penelitian ini melibatkan 18 orang responden yang sesuai dengan kriteria sampel peneliti dengan metode purposive sampling. Instrumen yang digunakan adalah kuesioner data demografi, lembar observasi perilaku nyeri dan kuesioner kontrol diri (self-control). Hasil penelitian menunjukkan persentasi responden dengan kontrol diri sangat rendah (38.9 %), kontrol diri rendah (33.3%), kontrol diri sedang (22.2%) dan kontrol diri tinggi (5.6%). Perilaku nyeri yang ditunjukkan lebih dari setengah responden adalah perilaku nyeri sedang (55.6%) dan rendah (44.4%). Hasil ini menunjukkan mayoritas responden memiliki kontrol diri rendah sehingga sangat mempengaruhi kualitas hidup pasien dengan nyeri kronis. Berdasarkan hasil penelitian ini, perlu dilakukan penelitian tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kontrol diri (self-control) pasien dengan nyeri kronis.


(5)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas kasih dan anugrah-Nya yang luar biasa, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Kontrol diri (self- control) dan perilaku nyeri pada pasien dengan nyeri kronis di RSUP Haji Adam Malik Medan” . Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat bagi penulis untuk mendapatkan gelar sarjana di Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

Penyusunan skripsi ini telah banyak mendapat bantuan, bimbingan, dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Bapak dr, Dedi Ardinata, M.Kes sebagai Dekan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara, Ibu Erniyati, S.Kp, MNS sebagai Pembantu Dekan I Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara dan Ibu Evi Karota Bukit, S.Kp, MNS sebagai Pembantu Dekan II Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

2. Seluruh pihak Rumah Sakit Umum Pusat Adam Malik Medan yang telah memberikan izin penelitian kepada penulis dan membantu penulis selama proses pengambilan data. Semua responden yang telah bersedia membantu penulis.

3. Bapak Ikhsanuddin A. Harahap, S.Kp. MNS sebagai dosen pembimbing skripsi penulis yang telah memberikan motivasi, arahan, bimbingan, dan ilmu yang bermanfaat dalam penyusunan skripsi ini.


(6)

4. Bapak Iwan Rusdi S.Kp. MNS selaku dosen penasehat akademik saya. Seluruh staf pengajar Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara yang telah membimbing penulis.

5. Bapak Mula Tarigan S.Kp. M.Kes selaku dosen penguji I dan Bapak Setiawan S.Kp. MNS. PhD selaku dosen penguji II yang telah memberikan masukan dan motivasi dalam penyelesaian skripsi ini.

6. Bapak Ikram S.Kep.Ns.M.Kep, Bapak Mula Tarigan S.Kp M.Kes dan Ibu Wardiyah Daulay S.Kep.Ns.M.Kep yang telah bersedia menguji validasi instrumen penelitian penulis.

7. Ayahanda H.Naibaho dan Ibunda terkasih H. Sinaga atas cinta dan pengorbanannya kepada penulis. Hormat dan terimakasih juga kepada Kakak (Sondang, Lince, Heppy) dan abang iparku (B’Kery, B’Cherin dan B’ Febri), abangku (Agus) dan eda serta ponakanku tersayang (Kery, Tian, Cherin, Bona, Febri, Adit dan Tiffany) yang telah menjadi sumber semangat bagi penulis.

8. Teman-teman S-1 Keperawatan stambuk 09 atas kerjasama dan

masukannya, sahabat berbagi setiap hari (Ka Tri, Uli, Mariana, Dian dan Junita), sahabat ku (Friska, Ica, Riska, Imelda, Aggrey, Melva, Siska dan Sari ), Kelompok D (empat) sudah mau berbagi suka dan duka bersama penulis serta Herdawaty Munthe teman seperjuangan.

9. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, maupun dalam menyelesaikan perkuliahan di Fakultas Keperawatan USU.


(7)

Semoga Tuhan senantiasa melimpahkan berkat dan kasih-Nya kepada semua pihak yang telah menolong penulis.

Dengan segala keterbatasan, penulis menyadari penelitian serta penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan sebagaimana yang diharapkan. Oleh sebab itu, dengan segala kerendahan hati penulis berharap masukan yang berharga dari semua pihak untuk kebaikan di masa yang akan datang.

Semoga penelitian ini bermanfaat bagi kita terutama bagi pendidikan keperawatan, pelayanan kesehatan, dan penelitian keperawatan.

Medan, 24 Juli 2013


(8)

DAFTAR ISI Halaman Judul

Lembar Pengesahan Abstrak

Kata Pengantar ... iii

Daftar Isi... vii

Daftar Lampiran ... ix

Daftar Tabel ... x

Daftar Skema ... xi

BAB 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Pertanyaan Penelitian ... 6

1.3. Tujuan Penelitian ... 6

1.4. Manfaat Peneltian ... 6

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 1. Kontrol Diri (Self-control) ... 8

1.1. Defenisi Kontrol diri (Self-control) ... 8

1.2. Jenis dan Aspek Kontrol diri ... 9

1.3. Indikator Kontrol diri ... 11

1.3.1. Kemampuan mengontrol perilaku ... 11

1.3.2. Kemampuan mengontrol stimulus ... 11

1.3.3. Kemampuan mengantisipasi peritiwa ... 11

1.3.4. Kemampuan menafsirkan peristiwa ... 12

1.3.5. Kemampuan mengambil keputusan ... 12

2. Konsep Nyeri ... 13

2.1. Defenisi Nyeri ... 13

2.2. Penyebab Nyeri ... 13

2.3. Klasifikasi Nyeri ... 14

2.4. Penatalaksanaan Nyeri ... 20

3. Perilaku Nyeri ... 29

3.1. Defenisi Perilaku Nyeri ... 29

3.2. Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku nyeri ... 30

3.3. Pengukuran perilaku nyeri ... 32

BAB 3. KERANGKA PENELITIAN 1. Kerangka Konseptual ... 34

2. Defenisi operasional ... 35

BAB 4. METODOLOGI PENELITIAN 1. Desain Penelitian ... 37

2. Populasi, Sampel, dan Teknik Pengambilan ... 37

2.1. Populasi ... 37


(9)

3. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 38

4. Pertimbangan Etik ... 38

5. Instrumen Penelitian ... 39

5.1. Data Demografi ... 39

5.1. Lembar Observasi Perilaku Nyeri ... 40

5.2. Data mengidentifikasi kontrol diri ... 41

6. Uji Validitas dan Reliabilitas ... 42

7. Pengumpulan Data ... 43

8. Analisa Data ... 44

8.1. Statistik univariat ... 44

BAB 5. HASIL & PEMBAHASAN 1 . Hasil ... 46

1.1. Analisis Univariat ... 46

1.1.1.Deskripsi Karakteristik Demografi. ... 46

1.1.2. Kontrol diri ... 48

1.1.3.Perilaku nyeri ... 49

2. Pembahasan ... 50

2.1. Karakteristik Demografi ... 50

2.2. Kontrol diri ... 51

2.3. Perilaku Nyeri ... 53

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan ... 55

6.2. Saran ... 55 DAFTAR PUSTAKA


(10)

DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 Lembar Persetujuan Responden

Lampiran 2 Kuesioner Data Demografi

Lampiran 3 Kuesioner Kontrol diri (self-control) Lampiran 4 Lembar Observasi Perilaku Nyeri Lampiran 5 Kuesioner Bahasa Inggris

Lampiran 6 Izin penggunaan Instrumen Lampiran 7 Lembar Persetujuan Uji Validitas Lampiran 8 Hasil Uji Reliabilitas

Lampiran 9 Hasil

Lampiran 10 Surat Izin Penelitian

Lampiran 11 Surat Keterangan selesai melakukan penelitian Lampiran 12 Jadwal Penelitian

Lampiran 13 Taksasi Dana Lampiran 14 Riwayat Hidup


(11)

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1.1 Distribusi Frekuensi dan Persentasi Karakteristik Demografi Responden (n=18) ... 47 Tabel 1.1.2 Distribusi Frekuensi dan Persentasi Kontrol diri (self-control) pada

pasien yang mengalami nyeri kronis ... 48 Tabel 1.1.3 Distribusi frekuensi dan persentasi perilaku nyeri pasien yang

mengalami nyeri kronis ... 49 Tabel 1.1.4 Nilai Mean, Standar Deviasi, dan tingkat parameter perilaku nyeri


(12)

DAFTAR SKEMA

Skema 1. Kerangka Penelitian Kontrol Diri (Self-control) pada Pasien dengan Nyeri Kronis ... 34 Skema 2. Kerangka Penelitian Perilaku nyeri pada Pasien dengan Nyeri


(13)

Judul : Self-control and pain behavior of patient with chronic pain at Haji Adam Malik Hospital Medan

Nama : Novia SP. Naibaho

Jurusan : Bachelor degree of Nursing

NIM : 091101061

Tahun : 2013

Abstract

Pain is an unpleasant feeling experience and emotion caused by damaged body part actually and potentially. Pain is one of the chronic disease symptoms that effect physical function, mental, quality of life and individual productivity. Biopsycosocial approach is the best medication for pain individually and could increase the quality of life patients with chronic pain. One of the biopsychosocial factors is self-control. The purpose of this study is to identify self-control level and pain level through patients with chronic pain at Haji Adam Malik Hospital Medan This study is descriptive. Populations of data were obtained through 18 respondents based on purposive sampling method. Instruments used in this study were demographic data questionnaire, pain observation form and self-control questionnaire. The result of this study showed that very low level of self-control (38.9%), low level of self control (33.3%), middle level of self-control (22.2%), and high level of self-control (5.6%). The result of pain observation showed that middle level pain (55.6%) and low level pain (44.4%). Generally, this study showed that respondent had low level of self-control so that affected to the quality of life of patients with chronic pain. Based on this study, more study is needed for factors analysis of self-control for patients with chronic pain.


(14)

Judul : Kontrol diri (self-control) dengan perilaku nyeri pada pasien dengan nyeri kronis di Rumah Sakit Umum Haji Adam Malik Medan.

Nama : Novia SP. Naibaho

Jurusan : Sarjana Keperawatan (S.Kep)

NIM : 091101061

Tahun : 2013

Abstrak

Nyeri adalah pengalaman merasakan sesuatu yang tidak menyenangkan, juga dari sudut emosi akibat kerusakan jaringan tubuh yang aktual dan potensial. Nyeri merupakan salah satu gejala penyakit kronis yang mempengaruhi fungsi fisik, mental, kualitas hidup dan produktivitas individu. Pendekatan biopsikososial adalah pengobatan nyeri yang tepat untuk mengurangi perilaku nyeri individu dan meningkatkan kualitas hidup pasien dengan nyeri kronis. Salah satu faktor biopsikososial adalah kontrol diri (self-control). Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi tingkat kontrol diri (self control) dan tingkat perilaku nyeri pada pasien dengan nyeri kronis di RSUP Haji Adam Malik Medan dengan desain deskriptif. Penelitian ini melibatkan 18 orang responden yang sesuai dengan kriteria sampel peneliti dengan metode purposive sampling. Instrumen yang digunakan adalah kuesioner data demografi, lembar observasi perilaku nyeri dan kuesioner kontrol diri (self-control). Hasil penelitian menunjukkan persentasi responden dengan kontrol diri sangat rendah (38.9 %), kontrol diri rendah (33.3%), kontrol diri sedang (22.2%) dan kontrol diri tinggi (5.6%). Perilaku nyeri yang ditunjukkan lebih dari setengah responden adalah perilaku nyeri sedang (55.6%) dan rendah (44.4%). Hasil ini menunjukkan mayoritas responden memiliki kontrol diri rendah sehingga sangat mempengaruhi kualitas hidup pasien dengan nyeri kronis. Berdasarkan hasil penelitian ini, perlu dilakukan penelitian tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kontrol diri (self-control) pasien dengan nyeri kronis.


(15)

BAB 1

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

McCaffery (1980 dalam Prasetyo, 2010) mendefenisikan bahwa nyeri adalah segala sesuatu yang dikatakan seseorang tentang nyeri tersebut, dan terjadi kapan saja seseorang mengalami nyeri tersebut. Menurut Kozier dan Erb (1983), nyeri adalah sensasi ketidaknyamanan yang diakibatkan oleh persepsi jiwa yang nyata, ancaman, dan luka. International Association for Study of Pain (1979 dalam Prasetyo, 2010) mendefenisikan nyeri sebagai suatu sensori subjektif dan pengalaman emosional yang tidak menyenangkan berkaitan dengan kerusakan jaringan yang bersifat aktual atau potensial atau yang dirasakan dalam kejadian-kejadian dimana terjadi kerusakan

Nyeri adalah pengalaman merasakan sesuatu yang tidak menyenangkan, juga dari sudut emosi akibat dari kerusakan jaringan tubuh yang aktual maupun potensial (WHO, 1986). Nyeri diartikan juga sebagai apapun yang menyakitkan tubuh yang dikatakan individu yang mengalaminya, yang ada kapanpun individu tersebut mengatakannya (Brunner & Suddarth, 2000). Nyeri sangat mengganggu dan menyulitkan lebih banyak orang dibanding suatu penyakit manapun sehingga sering sekali perasaan nyeri merupakan alasan utama seseorang untuk mencari bantuan perawatan kesehatan (Luckman & Sorrensen, 1993).


(16)

Relieving Pain in America melaporkan bahwa pada tahun 2011, setidaknya 100 juta orang dewasa di Amerika mengalami nyeri kronis. Center for Disease and Prevention (CDC) dan National Center for Health Statistics (NCHS)

menyebutkan nyeri kronis tersebut umumnya disebabkan oleh: sakit kepala berat atau migraine (16,1 %), low back pain (28,1 %), nyeri leher (15,1%), nyeri lutut (19,5 %), nyeri bahu (9,0%), finger pain (7,6 %) dan nyeri pinggang (7,1 %). Jumlah masyarakat yang menderita nyeri kronis lebih banyak daripada jumlah yang menderita penyakit jantung, diabetes, dan kanker (Relieving Pain in America, 2011)

Nyeri terjadi bersama banyak proses penyakit atau bersamaan dengan beberapa pemeriksaan diagnostik atau pengobatan (Brunner &Suddarth, 2002). Nyeri dapat berasal dari setiap bagian dari tubuh manusia: kulit, otot, ligamen, sendi, tulang (nyeri nociceptive), jaringan terluka (nyeri inflamasi), saraf (nyeri neuropatik), organ internal (nyeri viseral) atau kombinasi dari jenis rasa sakit (nyeri campuran) (The British Pain Society, 2010). Nyeri sangat mengganggu dan menyulitkan lebih banyak orang dibanding suatu penyakit manapun (Brunner &Suddarth, 2000)

Nyeri bersifat subjektif, tidak ada dua individu yang mengalami nyeri yang sama menghasilkan respon atau perasaan yang identik pada individu (Niven, 1994). Respon yang ditunjukkan oleh individu terhadap nyeri yang dirasakannya disebut perilaku nyeri (Brunner & Suddarth, 2000). Individu memperlihatkan reaksi yang berbeda terhadap nyeri akut dan nyeri kronis (Niven, 1994). Respons individu terhadap stimulus nyeri disebut perilaku nyeri (Field, 1986).


(17)

Perilaku nyeri pada pasien nyeri akut berbeda dengan pasien nyeri kronis. Nyeri pada pasien dengan nyeri kronis lebih sulit dikontrol dari pada pasien dengan nyeri akut. Nyeri kronis disebabkan oleh penyakit-penyakit kronis dan sering mengalami pembedahan yang menambah intensitas dan durasi nyeri yang dialami pasien (Chong, 1999 dalam Potter & Perry, 2006). Nyeri kronik yang hebat mempengaruhi fungsi fisik dan mental individu, kualitas hidup, dan produktivitas. Hal ini yang sering menyebabkan depresi dan peningkatan perilaku nyeri individu. Faktor kognitif dan perilaku memiliki peran penting dalam mengontrol emosi dan perilaku individu saat mengalami nyeri.

Flor et al, (1993, dalam Potter & Perry 2006) melaporkan bahwa klien yang memiliki nyeri kronik mengungkapkan lebih banyak pernyataan diri negatif terkait nyeri dan memiliki keyakinan lebih bahwa mereka tidak berdaya daripada klien yang sehat. Nyeri menjadi bagian dari setiap aspek kehidupan. Nyeri kronik merupakan penyebab utama ketidakmampuan fisik dan psikologis sehingga muncul masalah-masalah, seperti kehilangan pekerjaan, ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas sehari-hari yang sederhana, disfungsi seksual, dan isolasi sosial dari keluarga dan teman-teman (Potter & Perry,2006).

Nyeri sering menghasilkan efek psikologis dan kognitif; ansietas, depresi dan anger. Oleh karena itu, pendekatan biopsikososial adalah pengobatan yang tepat untuk mengurangi perilaku nyeri pasien kronis (Relieving Pain in America, 2011). Tujuan dari strategi biopsikososial adalah meningkatkan kemampuan individu untuk mengurangi intensitas nyeri dengan mengubah


(18)

respon emosi, kognitif dan perilaku terhadap nyeri yang disebut dengan self control (Ersek et al, 2004)

Kontrol diri (self-control) merupakan komponen penting untuk menurunkan nyeri. Pada penelitian sebelumnya, telah didapati hasil bahwa

peningkatan self control mempengaruhi kemampuan individu untuk

melakukan hal-hal yang buruk. Individu dengan kemampuan mengontrol diri yang baik (self-control tinggi)menunjukkan perilaku dan ekspresi wajah yang

menggambarkan rasa dapat mengontrol atau berwenang, self-control

merupakan respon bermanfaat yang menunjukkan kekuatan (Kozier et al, 2010).

Dietrich (1987) dalam penelitiannya tentang “pengaruh Self-control dan kemampuan koping terhadap persepsi nyeri lansia” menyatakan bahwa self control dan self-efficacy memiliki peran sentral dalam dunia kedokteran sebagai cara pengendalian nyeri kronis. Hasil penelitian Dietrich yaitu ada hubungan yang signifikan antara kemampuan mengontrol diri (self-control) dan kemampuan koping terhadap persepsi terhadap nyeri pada lansia. Maka peneliti merasa tertarik menyelidiki bagaimana tingkat self control dan perilaku nyeri pada pasien yang mengalami nyeri kronis. Sehingga peneliti mengajukan judul penelitian “ Kontrol diri (self-control) dan perilaku nyeri pasien dengan nyeri kronis di RSUP H. Adam Malik Medan, mengingat rumah sakit ini adalah rumah sakit rujukan sehingga banyak ditemukan kasus nyeri kronis.


(19)

2. Pertanyaan Penelitian

3.1 Bagaimana self- control pasien dengan nyeri kronis?

3.2 Bagaimana perilaku nyeri pasien dengan nyeri kronis?

3. Tujuan Penelitian

2.1 Mengidentifikasi self-control pasien dengan nyeri kronis.

2.2 Mengidentifikasi perilaku nyeri pasien dengan nyeri kronis.

4. Manfaat Penelitian

4.1 Bagi praktek keperawatan

Dalam bidang keperawatan hasil penelitian ini akan memberikan informasi tentang tingkat self-control dan perilaku nyeri individu yang mengalami nyeri kronis. Kontrol diri sangat mempengaruhi efektivitas pengobatan pasien sehingga dalam melakukan manajemen nyeri, self-control individu menjadi salah satu fokus perawat.

4.2 Bagi penelitian keperawatan

Dalam bidang penelitian keperawatan, penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan untuk peneliti selanjutnya untuk meneliti tentang faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat self-control pasien dengan nyeri kronis dan efektifitas berbagai macam terapi nyeri dalam meningkatkan self-control pasien yang mengalami nyeri kronis.


(20)

4.3 Bagi Pendidikan Keperawatan

Dalam bidang pendidikan keperawatan, penelitian ini dapat digunakan sebagai informasi dalam bidang keperawatan medikal bedah tentang self-control dan perilaku nyeri pada pasien dengan nyeri kronis, peningkatan pembelajaran tentang terapi nyeri non-farmakologi yang dapat mempengaruhi self-control individu, dan intervensi mandiri keperawatan terhadap pasien dengan nyeri kronis.


(21)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

1. Kontrol Diri (self-control) 1.1Defenisi Kontrol Diri

Calhoun dan Acocella (1990 dalam Ghufron, 2003 ) mendefenisikan kontrol diri sebagai pengaturan proses-proses fisik, psikologis, dan perilaku seseorang dengan kata lain kontrol diri merupakan serangkaian proses yang membentuk dirinya sendiri. Goldfried dan Merbaum dalam (Lazarus, 1976) mendefenisikan kontrol diri sebagai suatu kemampuan untuk menyusun, membimbing, mengatur dan mengarahkan bentuk perilaku yang dapat membawa individu kearah konsekuensi positif. Kontrol diri juga menggambarkan keputusan individu yang melalui pertimbangan kognitif untuk menyatukan perilaku yang telah disusun untuk meningkatkan hasil dan tujuan tertentu seperti yang diinginkan (Lazarus, 1976).

Kontrol diri berkaitan dengan bagaimana individu mengendalikan emosi serta dorongan-dorongan dari dalam dirinya (Hurlock, 1984). Mengontrol emosi berarti mendekati suatu situasi dengan menggunakan sikap yang rasional untuk merespon situasi tersebut dan mencegah munculnya reaksi yang berlebihan (Elfrida, 1995 dalam Ghufron, 2003).

Chaplin (2002) menyatakan bahwa kontrol diri adalah kemampuan untuk membimbing tingkah laku sendiri, kemampuan untuk menekan atau merintangi impuls-impuls dan tingkah laku impulsive.


(22)

1.2Jenis dan Aspek Kontrol Diri

Averill (1977 dalam Ghufron, 2003) menyebut kontrol diri dengan sebutan kontrol personal, yaitu kontrol perilaku (behavior control), kontrol kognitif (cognitive control), dan mengontrol keputusan (decisional control).

1.2.1 Kontrol Perilaku (behavior control )

Kontrol perilaku merupakan kesiapan tersedianya suatu respons yang dapat secara langsung mempengaruhi atau memodifikasi suatu keadaan yang tidak menyenangkan. Kemampuan mengontrol perilaku ini diperinci menjadi dua komponen, yaitu mengatur pelaksanaan (regulated adminisration), dan kemampuan memodifikasi stimulus (stimulus modifiability). Kemampuan mengatur pelaksanaan merupakan kemampuan individu untuk menentukan siapa yang mengendalikan situasi atau keadaan. Apakah dirinya sendiri (aturan perilaku dengan menggunakan kemampuan dirinya) dan bila tidak mampu individu akan menggunakan sumber eksternal. Kemampuan mengatur stimulus merupakan kemampuan untuk mengetahui bagaimana dan kapan suatu stimulus yang tidak dikehendaki dihadapi. Ada beberapa cara yang dapat digunakan, yaitu mencegah atau menjauhi stimulus, menempatkan tenggang waktu di antara rangkaian stimulus yang sedang berlangsung, menghentikan stimulus sebelum waktunya berakhir, dan membatasi intensitasnya (Averill, 1977 dalam Ghufron, 2003).

1.2.2 Kontrol Kognitif (Cognitive Control)

Kontrol kognitif merupakan kemampuan individu dalam mengolah informasi yang tidak diinginkan dengan cara menginterpretasi, menilai atau menghubungkan suatu kejadian dalam suatu kerangka yang kognitif sebagai


(23)

adaptasi psikologis atau mengurangi tekanan. Aspek ini terdiri atas dua komponen, yaitu memperoleh informasi (information gain) dan melalukan penilaian (appraisal). Dengan informasi yang dimiliki individu mengenai suatu keadaan yang tidak menyenangkan, individu dapat mengantisipasi keadaan tersebut dengan berbagai pertimbangan. Melakukan penilaian berarti individu berusaha menilai dan menafsirkan suatu keadaan atau peristiwa dengan cara memperhatikan segi-segi positif secara subjektif (Averill, 1977 dalam Ghufron, 2003).

1.2.3 Mengontrol Keputusan (Decicional Control)

Mengontrol keputusan merupakan kemampuan seseorang untuk memilih hasil atau suatu tindakan berdasarkan pada sesuatu yang diyakini atau disetujuinya. Kontrol diri dalam menentukan pilihan akan berfungsi, baik dengan adanya suatu kesempatan. Kebebasan, atau kemungkinan pada diri individu untuk memilih berbagai kemungkinan tindakan. Menurut Block dan Block (dalam Ghufron, 2010) ada tiga jenis kualitas kontrol diri, yaitu over control, under control, dan appropriate control. Over control merupakan kontrol diri yang dilakukan oleh individu secara berlebihan yang menyebabkan individu banyak menahan diri dalam bereaksi terhadap stimulus. Under control merupakan suatu kecenderungan individu untuk melepaskan impulsivitas dengan bebas tanpa perhitungan yang masak. Sementara Appropriate control merupakan kontrol individu dalam upaya mengendalikan impuls secara tepat (Averill dalam Ghufron, 2003).


(24)

1.3Indikator kontrol diri (self control)

Berdasarkan tinjauan di atas didapati beberapa indicator kontrol diri (dalam Ghufron, 2010) diantaranya sebagai berikut:

1.3.1 Kemampuan mengontrol perilaku

Kemampuan untuk memodifikasi suatu keadaan yang tidak menyenangkan dimana terdapat keteraturan untuk menetukan siapa yang mengendalikan situasi atau keadaan, apakah oleh dirinya sendiri atau orang lain. Individu yang mampu menontrol dirinya dengan baik akan mampu mengatur perilakunya sesuai dengan kemampuan dirinya dan bila tidak maka individu akan menggunakan sumber eksternal.

1.3.2 Kemampuan mengontrol stimulus

Kemampuan untuk mengetahui bagaimana atau kapan suatu stimulus yang tidak dikehendaki muncul. Ada beberapa cara yang dapat digunakan yaitu mencegah atau menjauhi stimulus, menghentikan stimulus sebelum berakhir, dan melakukan kegiatan yang dapat mengalihkan perhatian dari stimulus. 1.3.3 Keampuan mengantisipasi peristiwa

Kemampuan individu dalam mengolah informasi dengan cara menginterpretasi, menilai, atau menggabungkan suatu kejadian dalam suatu kerangka kognitif. Informasi yang dimiliki individu mengenai suatu keadaan yang tidak menyenangkan akan membuat individu mampu mengantisipasi keadaan melalui pertimbangan secara objektif.


(25)

1.3.4 Kemampuan menafsirkan peristiwa

Penilaian yang dilakukan seorang individu merupakan suatu usaha untuk menilai dan menafsirkan suatu keadaan dengan memperhatikan segi-segi positif secara subjektif.

1.3.5 Kemampuan mengambil keputusan

Kemampuan seseorang untuk memilih suatu tindakan berdasarkan sesuatu yang diakini atau disetujuinya. Kemampuan dalam mengontrol keputusan akan berfungsi dengan baik apabila terdapat kesempatan dan kebebasan dalam diri individu untuk memilih berbagai kemungkinan.

1.4Pengukuran Kontrol diri (Self Control)

Kontrol diridalam penelitian ini diukur dengan menggunakan Self Control Scale (SCS) yang di desain oleh Tangney, Baumeister dan Boone pada tahun 2004. Skala ini terdiri atas 34 pernyataan yang mengindikasikan self control

rendah (contohnya, “saya berharap diri saya lebih disiplin) dan self-control

tinggi (contohnya, “saya tidak pernah membiarkan diri saya kehilangan kendali”). Responden mengindikasikan tingkat persetujuan mereka pada setiap pernyataan dalam kuesioner apakah sesuai atau tidak sesuai dengan diri responden. Penilaian setiap pernyataan dalam kuesioner menggunakan skala 5 poin (1= tidak menggambarkan diri saya sama sekali; 5= sangat menggambarkan diri saya).


(26)

2. Konsep Nyeri

2.1Definisi Nyeri

Menurut The International Association of the Study of Pain (1979 dalam Prasetyo, 2010) nyeri adalah pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan akibat kerusakan jaringan dari kerusakan jaringan yang aktual atau potensial, atau menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan. Nyeri adalah pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan akibat dari kerusakan jaringan yang aktual atau potensial (Brunner & Suddarth, 2002).

Tidak ada dua orang yang mengalami nyeri yang benar-benar sama. Selain itu, perbedaan persepsi dan reaksi nyeri individual, serta banyak penyebab nyeri menimbulkan situasi yang kompleks bagi perawat dalam memberikan asuhan keperawatan untuk meredakan nyeri dan memberikan kenyamanan. Penatalaksanaan nyeri yang efektif adalah aspek penting dalam asuhan keperawatan (Kozier et al, 2010).

2.2Penyebab Nyeri

Penyebab nyeri dapat diklasifikasikan ke dalam dua golongan yaitu penyebab yang berhubungan dengan fisik dan berhubungan dengan psikis. Secara fisik misalnya, penyebab nyeri adalah trauma (baik trauma mekanik, termis, kimiawi, maupun elektrik), neoplasma, peradangan, gangguan sirkulasi darah, dan lain-lain. Secara psikis, penyebab nyeri dapat terjadi oleh adanya trauma psikologis. Trauma mekanik menimbulkan nyeri karena ujung-ujung saraf bebas mengalami kerusakan akibat benturan, gesekan, ataupun luka.


(27)

Trauma termis menimbulkan nyeri karena ujung saraf reseptor mendapat rangsangan akibat panas, dingin. Trauma kimiawi terjadi karena tersentuh zat asam atau basa yang kuat. Trauma elektrik dapat menimbulkan nyeri karena pengaruh aliran listrik yang kuat mengenai reseptor rasa nyeri (Asmadi, 2008).

Nyeri yang disebabkan faktor fisik berkaitan dengan terganggunya serabut saraf reseptor nyeri. Nyeri yang disebabakan oleh faktor psikologis merupakan nyeri yang dirasakan bukan karena penyebab organik, melainkan akibat trauma psikologis dan pengaruhnya terhadap fisik. Nyeri karena faktor ini disebut juga psychogenic pain (Asmadi, 2008).

2.3Klasifikasi Nyeri

Nyeri dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa golongan berdasarkan pada durasi (lamanya) nyeri, tingkat keparahan (intensitas), model transmisi, lokasi nyeri dan kausatif (penyebab nyeri).

2.3.1 Nyeri berdasarkan durasi (lamanya nyeri) a. Nyeri akut

Nyeri akut terjadi secara tiba-tiba setelah terjadi cedera atau penyakit akut, dan tetap ada sampai periode penyembuhan terjadi (Lewis et al, 2000). Nyeri akut akan menghilang dengan atau tanpa pengobatan setelah keadaan pulih pada area yang rusak (Potter & Perry, 2006). Umumnya nyeri akut akan berkurang dalam waktu kurang dari 6 bulan (Brunner & Suddarth, 2002).

Nyeri akut biasanya diakibatkan oleh trauma, bedah atau inflamasi, seperti saat sakit kepala, sakit gigi, tertusuk jarum, terbakar, nyeri otot, nyeri saat melahirkan, nyeri sesudah tindakan pembedahan, dan yang lainnya. Nyeri akut


(28)

terkadang disertai oleh aktivasi system saraf simpatis yang akan memperlihatkan gejala-gejala seperti peningkatan tekanan darah, peningkatan respirasi, peningkatan denyut jantung, diaphoresia dan dilatasi pupil. Klien yang mengalami nyeri akut akan memperlihatkan respon emosi dan perilaku seperti menangis, mengerang kesakitan, mengerutkan wajah atau menyeringai (Prasetyo, 2010).

Nyeri apabila tidak diatasi secara adekuat mempunyai efek yang membahayakan di luar ketidaknyamanan yang disebabkannya. Selain merasakan ketidaknyamanan dan mengganggu, nyeri akut yang tidak reda dapat mempengaruhi sistem pulmonari, kardiovaskular, gastrointestinal, endokrin, dan imunologik (Benedetti et al, 1984;Yeager et al, 1987 dalam Brunner & Suddarth, 2002).

b. Nyeri kronis

Nyeri kronik berlangsung lama, intensitas yang bervariasi, dan biasanya berlangsung lebih dari 6 bulan. (McCaffery (1986 dalam Potter& Perry, 2006); Brunner & Suddarth, 2000).

Nyeri kronik dapat disebabkan oleh kanker yang tidak terkontrol atau pengobatan kanker tersebut, atau gangguan progresif lain, yang disebut dengan nyeri maligna. Nyeri ini dapat berlangsung terus sampai kematian. (Potter & Perry, 2006). Nyeri kronis bersifat konstan atau intermiten yang bertahan selama periode waktu yang lama. Hal Ini dapat berlangsung jauh dari waktu penyembuhan yang diharapkan dan sering tidak dapat dikaitkan dengan penyebab spesifik atau cedera. Pengobatan nyeri kronis sulit karena


(29)

penyebab nyeri atau asal nyeri tersebut tidak jelas, Namun jika berlanjut dapat menjadi gangguan utama (Brunner & Suddarth, 2000).

Nyeri kronis non-maligna seperti nyeri punggung bagian bawah , merupakan akibat dari cedera jaringan yang tidak sembuh atau yang tidak-progresif. Akan tetapi nyeri tersebut berlangsung terus dan sering kali tidak berespon terhadap pengobatan yang dilakukan.Sering kali penyebab nyeri non-maligna tidak diketahui. Daerah yang mengalami cedera mungkin telah memulih sejak lama, tetapi nyeri menetap (Meinhart dan McCaffery ( 1983 dalam Potter & Perry, 2006). Nyeri kronik non-maligna disebut juga dengan

chronic benign pain. McCaffery dan Pasero (1997 dalam Prasetyo, 2010), mengidentifikasikan tiga karakteristik khusus pada nyeri kronis non-maligna yaitu: (1) nyeri ini berhubungan dengan penyebab-penyebab yang tidak mengancam kehidupan klien, (2) Nyeri kronik non-maligna tidak begitu responsif terhadap metode-metode pembebasan nyeri, (3) dapat berlanjut pada sisa kehidupan klien. Penyakit-penyakit yang termasuk dalam nyeri kronik maligna adalah neuralgia, low back pain, rheumatoid arthritis, ankylosing spondilitis, nyeri phantom, myofascial pain syndrome (Prasetyo, 2010). Gejala nyeri kronik meliputi keletihan, insomnia, anoreksia, penurunan berat badan, depresi, putus asa dan kemarahan (Potter & Perry, 2006).

2.3.2 Nyeri berdasarkan tingkat keparahan (intensitas nyeri) a. Nyeri Ringan

Nyeri yang timbul dengan intensitas yang ringan. Individu secara objektif mampu berkomunikasi dengan baik. Skala nyeri pada nyeri ringan adalah ≤4.


(30)

Pengukuran nyeri dengan menggunakan skala nyeri numerik (Backonja et al, 2010 ).

b. Nyeri Sedang

Nyeri yang timbul dengan intensitas nyeri yang sedang. Pada nyeri sedang secara objektif pasien mendesis, menyeringai, dapat ,menunjukkan lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya, dapat mengikuti perintah dengan baik. Skala nyeri berkisar antara 5-6 dalam skala nyeri numerik (Backonja et al, 2010). c. Nyeri Berat / nyeri tak tertahankan.

Nyeri berat adalah nyeri yang timbul dengan intensitas yang berat. Pada nyeri berat secara objektif pasien terkadang tidak dapat mengikuti perintah tapi masih respon terhadap tindakan, dapat menunjukkan lokasi nyeri, tidak dapat mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi dengan alih posisi nafas panjang. Skala nyeri di atas 7, dengan skala nyeri numerik (Backonja et al, 2010).

2.3.3 Nyeri berdasarkan model transmisi a. Reffered Pain/ nyeri alih

Nyeri dalam dapat diakibatkan dari gangguan organ visceral atau lesi pada bagian somatik dalam (misalnya; otot, ligament, vertebral). Keduanya dapat dirasakan menyebar sampai ke bagian permukaan kulit karena serabut saraf visceral bersinapsis di dalam medulla spinalis dengan beberapa neuron urutan kedua yang sama yang menerima serabut nyeri dari kulit. Apabila serabut nyeri visceral tersebut dirangsang dengan kuat, sensasi nyeri dari visceral menyebar ke dalam beberapa neuron yang biasanya menghantarkan sensasi


(31)

nyeri dari kulit sehingga orang tersebut mempunyai perasaan bahwa sensasi itu benar-benar dari dalam kulit itu sendiri( Kozier et al, 2010).

b. Radiasi

Sensasi nyeri meluas dari tempat awal cedera ke bagian tubuh yang lain. Nyeri terasa seakan menyebar ke bagian tubuh bawah atau atau sepanjang bagian tubuh. Nyeri dapat menjadi intermitten atau konstan. Penyebab nyeri ini adalah nyeri punggung bagian bawah akibat diskus invertebral yang ruptur disertai nyeri yang meradiasi sepanjang tungkai dari iritasi saraf skiatik (Potter & Perry, 2006).

2.3.4 Nyeri berdasarkan lokasi nyeri a. Nyeri Superfisial/ Kutaneus

Nyeri kutaneus berasal dari kulit atau jaringan subkutan, misalnya: teriris kertas yang menyebabkan nyeri tajam dengan sedikit rasa terbakar. (Kozier et al, 2010). Ada dua tipe nyeri superficial yakni (1) nyeri yang terjadi secara tiba-tiba dan dan dengan kualitas nyeri yang tajam dan perih dan (2) nyeri dengan onset yang lebih lambat dan terdapat nyeri terbakar. Nyeri kutaneus relatif tidak sulit karena hal ini dapat langsung dirasakan dan terlokalisasi sehingga individu dengan tepat dapat mengetahui lokasi nyeri (Luckmann & Sorrensen, 1993).

b. Nyeri somatik profunda

Nyeri ini berasal dari ligament, tendon, tulang, pembuluh darah, dan saraf. Nyeri somatik profunda cenderung berlangsung lebih lama dibanding nyeri kutaneus (Kozier et al, 2010). Nyeri somatik merupakan fenomena nyeri yang rumit, melibatkan otot dan tulang. Nyeri somatik tidak terlokalisasi, dapat


(32)

menyebabkan nausea, sering kali berhubungan dengan perubahan tekanan darah. Nyeri somatik berasal dari struktur yang dalam dan sifatnya menyebar ( Luckmann & Sorrensen, 1993).

c. Nyeri visceral

Nyeri visceral berasal dari stimulasi reseptor nyeri di rongga abdomen, cranium dan toraks. Nyeri visceral cenderung menyebar dan sering kali terasa seperti nyeri somatik profunda, yaitu rasa terbakar, nyeri tumpul atau merasa tertekan. Nyeri visceral sering kali disebabkan oleh peregangan jaringan, iskemia atau spasme otot. Misalnya obstruksi usus akan menyebabkan nyeri visceral (Kozier at al, 2010).

d. Central pain

Patologi nyeri akibat cedera pada CNS (Central Nervous Sistem) adalah infarksi, tumor, dan kerusakan lainnya pada spinal cord, brain stem, dan area pada otak. Central pain sangat ekstrem, konstan dan sulit diatasi. Nyeri ini dapat terjadi bersamaan dengan kelainan yang disebabkan oleh kerusakan CNS, termasuk kanker, diabetes, stroke, multiple sclerosis atau trauma (Luckmann & Sorrensen, 1993).

2.3.5 Nyeri berdasarkan penyebab nyeri/ kausatif. a. Nyeri Neuropatik

Nyeri neuropatik adalah nyeri akibat kerusakan sistem saraf tepi atau sistem saraf pusat di masa kini atau di masa lalu dan mungkin tidak mempunyai stimulus, seperti kerusakan jaringan atau saraf, untuk rasa nyeri. Nyeri neuropatik berlangsung lama, tidak menyenangkan, dan dapat digambarkan sebagai rasa terbakar, nyeri tumpul, dan nyeri tumpul yang


(33)

berkepanjangan. ; episode nyeri tajam seperti tertembak dapat juga dialami (Hawthorn & Redmond, 1998 dalam Kozier et al, 2010).

b. Nyeri bayangan

Nyeri ini merupakan sensasi rasa nyeri yang dirasakan pada bagian tubuh yang telah hilang (misalnya, kaki yang telah diamputasi), atau yang lumpuh akibat cedera tulang belakang. Insidensi nyeri bayangan dapat dikurangi jika analgesik diberikan melalui kateter epidural sebelum amputasi (Kozier et al, 2010).

2.4Penatalaksanaan Nyeri

Pengkajian nyeri yang faktual dan akurat dibutuhkan untuk menetapkan data dasar, untuk menegakkan diagnosa keperawatan yang tepat, untuk menyeleksi terapi yang cocok dan untuk mengevalusi respon klien terhadap terapi (Potter & Perry, 2006). Penatalaksanaan nyeri antara lain:

2.4.1 Tindakan penatalaksanaan nyeri nonfarmakologis

Tindakan penatalaksanaan nyeri nonfarmakologis adalah sejumlah terapi nonfarmakologis yang mengurangi resepsi dan persepsi nyeri dan dapat digunakan pada keadaan perawatan akut dan perawatan tersier. Tindakan nonfarmakologis mencakup intervensi perilaku- kognitif dan penggunaan agen-agen fisik. Terapi nyeri nonfarmakologis antara lain:

a. Bimbingan Antisipasi

Bimbingan antisipasi dilakukan dengan cara memodifikasi secara langsung cemas yang berhubungan dengan nyeri menghilangkan nyeri dan menambah efek tindakan untuk menghilangkan nyeri yang lain. Salah satu contoh bimbingan antisipasi adalah penyuluhan praoperasi. Pasien harus


(34)

dijelaskan terlebih dahulu secara rinci tentang prosedur medis dan kondisi pasca operasi yang akan dialami sehingga klien dapat beradaptasi selama prosedur atau peristiwa yang menyakitkan (Potter & Perry, 2006).

b. Distraksi

Distraksi mengalihkan perhatian klien ke hal yang lain dan dengan demikian menurunkan kewaspadaan terhadap nyeri bahkan meningkatkan toleransi terhadap nyeri. Sistem aktivasi reticular menghambat stimulus yang menyakitkan jika seseorang menerima masukan sensori yang cukup ataupun berlebihan. Individu yang diisolasi hanya memikirkan nyeri tersebut dengan lebih akut. Namun, distraksi hanya memberikan pengaruh yang baik pada waktu yang singkat, untuk mengatasi nyeri yang intensif hanya berlangsung beberapa menit, misalnya, selama pelaksanaan prosedur invasif atau saat menunggu kerja analgesik (Potter & Perry, 2006).

Keefektifan distraksi tergantung pada kemampuan pasien menerima dan membangkitkan input sensori selain nyeri. Distraksi dapat menurunkan persepsi nyeri dengan menstimulasi system kontrol desenden, yang mengakibatkan lebih sedikit stimuli nyeri yang ditransmisikan ke otak (Brunner & Suddarth, 2002).

Contoh distraksi yang efektif adalah musik, yang dapat menurunkan nyeri fisiologis, stress, dan kecemasan dengan mengalihkan perhatian seseorang dari nyeri. Pada penelitian oleh Sarah Damayanti Saragih (2011) tentang Efektivitas Terapi Musik Terhadap Intensitas Nyeri Pada Pasien Kanker Nyeri Kronis di RSUP H. Adam Malik Medan, diperoleh hasil penelitian adanya perbedaan intensitas nyeri yang signifikan antara kelompok kontrol dengan


(35)

kelompok yang diberikan perlakuan terapi musik. Musik terbukti menunjukkan efek yaitu menurunkan frekuensi denyut jantung, mengurangi kecemasan dan depresi, menghilangkan nyeri, menurunkan tekanan darah, dan mengubah persepsi waktu (Guzetta, 1989 dalam Brunner & Suddarth, 2002). Distraksi dapat juga dilakukan dengan melihat film layar lebar, melalui permainan dan aktivitas yang membutuhkan konsentrasi (misalnya, catur). Tidak semua pasien mencapai peredaan dengan distraksi, terutama mereka yang mengalami nyeri hebat, pasien mungkin tidak dapat berkonsentrasi cukup baik untuk ikut serta dalam aktivitas mental atau fisik yang kompleks (Brunner & Suddarth, 2002).

c. Biofeedback

Biofeedback merupakan terapi perilaku yang dilakukan dengan memberikan individu informasi tentang respons fisiologi (misalnya tekanan darah atau ketegangan) dan cara untuk melatih kontrol volunteer terhadap respon tersebut (National Institute of Health (NIH), 1986 dalam Potter & Perry, 2006). Biofeedback adalah sebuah teknik terapi yang membantu klienmengembangkan kemampuan untuk mengendalikan proses fisiologistertentu. Sarana untuk melakukan hal ini mencakup pemantauan responfisiologis di klien dan menampilkan sinyal yang dihasilkan oleh teknik pemantauan ke terapis dan klien. Klien menggunakan umpan balik biologis untuk mempelajari dan menguasainya respon. Biofeedback Oleh karena itu, proses pendidikan di mana klien dibantu untuk belajar mengendalikan proses fisiologis tertentu, tetapi itu adalah klien yangmengasumsikan tanggung jawab


(36)

dan menjadi peserta aktif dalam perbaikan sendiri. (Mike, SHSU dalam Putro & Romli, 2011).

d. Hipnosis diri

Hipnosis dapat membantu mengubah persepsi nyeri melalui pengaruh sugesti positif. Hipnosis diri menggunakan sugesti diri dan kesan tentang perasaan yang rileks dan damai. Individu memasuki keadaan rileks dengan menggunakan berbagai ide pikiran dan kemudian kondisi-kondisi yang menghasilkan respons tertentu bagi mereka (Edelman & Mandel, 1994 dalam Potter & Perry, 2006).

e. Stimulasi Kutaneus.

Stimulus kutaneus adalah stimulasi kulit yang dilakukan untuk menghilangkan nyeri. Yang termasuk dalam terapi ini adalah masase, mandi air hangat, kompres menggunakan kantong es, dan stimulasi saraf transkutan (TENS). Stimulasi kutaneus menyebabkan pelepasan endofrin, sehingga memblok transmisi stimulus nyeri. Teori gate-control mengatakan bahwa stimulasi kutaneus mengaktifkan transmisi serabut saraf sensori A-beta yang lebih besar dan lebih cepat. Maka, stimulasi kutaneus ini menurunkan transmisi nyeri melalui serabut C dan delta-A berdiameter kecil (Potter & Perry, 2006).

Stimulasi saraf elektris transkutan (TENS) menggunakan unit yang dijalankan oleh baterai dengan elktroda yang dipasang pada kulit untuk menghasilkan sensasi kesemutan, menggetar atau mendengung pada area nyeri. Mekanisme ini sesuai dengan teori gate control. Reseptor nyeri diduga


(37)

memblok transmisi sinyal nyeri ke otak pada jaras asenden system saraf pusat (Brunner & Suddarth, 2002).

Meek (1993 dalam Potter & Perry 2006) mengatakan bahwa sentuhan dan masase merupakan teknik intergrasi sensori yang mempengaruhi aktifitas sitem otonom. Apabila individu mempersepsikan sentuhan sebagai stimulus untuk rileks, kemudian akan muncul respon relaksasi.

f. Terapi Es dan Panas

Terapi es dapat menurunkan prostaglandin, yang memperkuat sensitivitas reseptor nyeri dan subkutan lain pada tempat cedera dengan menghambat proses inflamasi. Agar efektif, es harus diletakkan pada tempat cedera segera setelah cedera terjadi. Penggunaan panas mempunyai keuntungan meningkatkan aliran darah ke suatu area dan kemungkinan dapat turut menurunkan nyeri dengan mempercepat penyembuhan (Brunner & Suddarth, 2002).

g. Relaksasi

Teknik relaksasi sederhana terdiri atas nafas abdomen dengan frekuensi lambat, berirama. Pasien dapat memejamkan matanya dan bernafas dengan perlahan dan nyaman. Irama yang konstan dapat dipertahankan dengan menghitung dalam hati dan lambat bersama setiap inhalasi dan eksalasi. Teknik relaksasi, juga tindakan pereda nyeri noninvasive lainnya, mungkin memerlukan latihan sebelum pasien terampil menggunakannya (Brunner & Suddarth, 2002).

Terapi relaksasi ini merupakan metode yang efektif terutama pada pasien yang mengalami nyeri yang kronis (McCaffery, 1989 dalam Brunner &


(38)

Suddarth, 2000). Efek positif dari terapi relaksasi pada pasien nyeri kronis adalah memperbaiki kualitas tidur, memperbaiki kemampuan pemecahan masala, menurunkan fatigue, meningkatkan kepercayaan diri dan self-control dalam koping terhadap nyeri, meningkatkan efektifitas terhadap tindakan lain untuk meredakan nyeri, dan memperbaiki kemampuan dalam toleransi (Priharjo, 1993 dalam Rabi’al, 2010).

2.4.2 Terapi Nyeri Farmakologis a. Analgesik

Analgesik merupakan metode yang paling umum untuk mengatasi nyeri. Ada tiga jenis analgesic, yaitu : (1) non-narkotik dan obat anti-inflamasi nonsteroid (NSAID), (2) analgesic narkotik atau opiate, dan (3) obat tambahan (adjuvan) atau koanalgesik. NSAID non-narkotik umumnya menghilangkan nyeri ringan dan nyeri sedang, seperti nyeri yang terjait dengan arthritis rheumatoid, prosedur pengobatan gigi dan prosedur bedah minor, episiotomy, dan masalah pada punggung bagian bawah. Walaupun mekanisme kerja pasti NSAID tidak diketahui, NSAID diyakini bekerja menghambat sintesis prostaglandin (McKenry dan Salerno, 1995 dalam Brunner & Suddarth, 2002) dan menghambat respon selular selama inflamasi. Kebanyakan NSAID bekerja pada reseptor saraf perifer untuk mengurangi transmisi dan resepsi stimulus nyeri. NSAID tidak menyebabkan sedasi atau depresi pernafasan juga tidak menggangu fungsi berkemih atau defekasi (The Agency for Health Care Policy and Research (AHCPR), 1992).

Analgesik opiad atau narkotik diresepkan untuk nyeri yang sedang sampai berat, seperti nyeri pascaoperasi dan nyeri maligna. Efek samping opioid


(39)

antara lain depresi pernafasan dan sedasi, mual dan muntah, konstipasi. Resiko depresi pernafasan meningkat dengan penambahan usia dan seiring dengan pemberian opioid lain atau depresan system persrafan pusat lain. Adjuvan, seperti sedatif, anticemas, dan relaksan otot meningkatkan kontrol nyeri atau menghilangkan gejala lain yang terkait dengan nyeri seperti depresi dan mual (Brunner & Suddarth, 2002; Potter & Perry, 2006).

b. Analgesik Dikontrol Pasien (ADP)

ADP merupakan pompa infuse yang dapat dibawa (biasanya diatur komputer), yang berisi ruang untuk tempat spuit. Sistem pemberian obat yang disebut ADP merupakan system pemberian obat yang memungkinkan klien mendapatkan medikasi nyeri ketika mereka menginginkan obat tersebut tanpa resiko overdosis dengan cara mengatur pemberian dosis setiap jam atau 4 jam. ADP diberikan intravena atau dapat melalui subkutan (Potter & Perry, 2006).

Pompa ADP memungkinkan pasien untuk memberikan secara mandiri medikasi melalui infuse kontinu dalam batas aman dan memampukan mereka untuk memberikan medikasi ekstra dengan episode aktivitas yang meningkatkan nyeri atau menimbulkan nyeri. Pasien-pasien yang memakai pompa seperti ini untuk mengontrol nyeri mendapat peredaan nyeri yang lebih baik dan membutuhkan medikasi nyeri yang lebih sedikit, karena pasien dapat mempertahankan kadar medikasi yang mendekati konstan (Brunner & Suddarth, 2002).


(40)

c. Anastesi lokal dan regional

Anastesi lokal adalah suatu keadaan hilangnya sensasi pada lokalisasi bagian tubuh. Anastesi lokal memblokir fungsi neuron sensori, motorik, dan neuron otonom yang menyuplai area yang dipengaruhi (Potter & Perry, 2006). Anastesi lokal dapat diberikan secara langsung ke tempat yang cedera (Misalnya, anastesi topical dalam bentuk semprot untuk luka bakar akibat sinar matahari) atau secara langsung ke serabut saraf melalui suntikan saat pembedahan.

d. Analgesia

Analgesik dapat diberikan melalui rute parenteral (intravena, intramuscular, atau subkutan), rute oral, rektal dan transdermal (melalui kulit) melalui kateter epidural atau intraspinal (Brunner & Suddarth, 2002).

Pemberian parenteral memberikan efek yang lebih cepat disbanding pemberian oral, tetapi durasi efek lebih pendek. Rute subkutan untuk infus analgetik opioid digunakan untuk pasien dengan nyeri berat seperti nyeri kanker.

Rute oral dipilih jika pasien mampu menggunakan obat melalui mulut, karena cara ini mudah, noninvasive, dan tidak menyakitkan seperti injeksi. Pasien dengan penyakit terminal dan nyeri berkepanjangan, dosis secara bertahap dapat ditingkatkan sesuai dengan perkembangan penyakit dan menyebabkan pasien lebih nyeri atau pasien toleransi terhadap obat.

Pemberian melalui rute rectal diindikasikan untuk pasien yang tidak mampu menggunakan obat-obat melalui rute lainnya. Rute transdermal digunakan untuk mencapai kadar opioid yang konsisten dalam serum melalui


(41)

absorpsi obat melalui kulit. Metoda ini telah digunakan untuk menangani nyeri pasca operatif dan nyeri kanker. Analgesia Epidural merupakan suatu bentuk anastesi local dan terapi yang efektif untuk menangani nyeri pasca operasi akut, nyeri persalinan dan melahirkan, dan nyeri kronik, khususnya yang berhubungan dengan kanker (McNair, 1990 dalam Brunner & Suddarth, 2002). Analgesia ini memungkinkan pengontrolan atau pengurangan nyeri yang berat tanpa efek sedative dan narkotik parenteral atao oral yang serius. Analgesia epidural diberikan ke dalam ruang epidural spinal. Jarum dengan ujung tumpul dimasukkan ke dalam prosessus spinal vertebral lumbar (L3 dan L4). Kemudian larutan diinjeksikan melalui kateter berukuran kecil. Setelah kateter dimasukkan ke dalam ruang epidural, jarum diangkat, kateter yang tersisa ditutup dengan balutan oklusif dan diplester ke atas punggung klien.

Perawat menerima pelatihan khusus untuk pemberian analgesi epidural. Agens narkotik yang umum digunakan untuk analgesia epidural meliputi morfin sulfat, fentanil, sufentanil, dan hidromorfon. Morfin memiliki efek jangka panjang tetapi juga menimbulkan lebih banyak efek samping (Sabbe & Yaksh, 1990 dalam Brunner & Suddarth, 2002).

e. Tindakan bedah

Apabila nyeri yang dialami seorang klien menetap walaupun terapi medis telah dilakukan dan terlihat bahwa nyeri akibat factor fisik, maka terapi pembedahan dapat dilakukan untuk menghilangkan nyeri. Misalnya, rizotomi dorsal dilakukan dengan memotong akar saraf dorsal (posterior) melalui pembedahan karena akar tersebut memasuki medulla spinalis. Tindakan ini efektif untuk menghilangkan nyeri akut yang terlokalisasi di daerah yang


(42)

disuplai akar saraf dan nyeri visceral dalam. Klien mengalami kehilangan sensasi nyeri, tetapi dapat mempertahankan seluruh fungsi motorik. Tindakan bedah yang lain adalah kordotomi. Tindakan kordotomi lebih ekstensif dan dilakukan melalui reseksi traktur spinotalamus. Prosedur ini untuk menangani nyeri yang tidak dapat dikendalikan atau yang tidak dapat dihilangkan. Apabila dilakukan dengan benar, prosedur ini dapat menghilangkan nyeri yang persisten tanpa menyebabakan deficit neurologi yang serius (Brunner & Suddarth, 2002).

3. Perilaku nyeri

3.1Defenisi Perilaku Nyeri

Respon terhadap kerusakan ada dua yaitu, pengalaman tidak menyenangkan yang bersifat subjektif dan perilaku-perilaku kompleks yang dapat diobservasi. Pengalaman- pengalaman tidak menyenangkan disebut sebagai nyeri dan perilaku-perilaku yang dapat diobservasi yang biasanya mengindikasikan adanya nyeri yang bersifat subjektif atau menandakan nyeri yang dialami oleh individu disebut perilaku nyeri (Fields, 1987).

Perilaku nyeri dapat diobservasi dengan akurasi yang tinggi. Melalui perilaku nyeri kita mampu memahami setiap hal yang dialami seseorang ketika mengalami nyeri dan perubahan kondisi yang dialaminya (Wall & Jones, 1991). Menurut Fordyce (1976 dalam Harahap, 2007), perilaku nyeri dapat berupa: (1)Respon verbal, meliputi mengeluh, mendesah, merintih, dan mengadukan nyeri yang dialami. (2) Respon non verbal, meliputi wajah tegang, keresahan, sudut mulut dilengkungkan ke bawah, terlihat sedih, terlihat ketakutan, bibir berkerut, dan dagu bergetar. (3)Sikap badan dan


(43)

isyarat meliputi menggosok-gosok bagian tubuh yang nyeri, immobilisasi dan menyeringai. (4)Perilaku yang berbeda dengan keadaan normal meliputi beristirahat dan berbaring secara berlebihan.

3.2Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku nyeri.

Terdapat faktor-faktor yang dapat mempengaruhi persepsi dan reaksi seseorang terhadap nyeri. Antara lain, nilai etnik dan budaya individu, tahap perkembangan, lingkungan dan orang pendukung, pengalaman nyeri sebelumnya dan makna nyeri saat ini, serta ansietas dan stress.

3.2.1 Nilai Etnik dan budaya

Latar belakang etnik dan budaya mempegaruhi reaksi dan ekspresi seseorang terhadap nyeri. Individu banyak belajar tentang bagaimana berespon terhadap nyeri dari keluarga dan kelompok budaya sehingga setiap individu dengan latar belakang nilai etnik dan budaya yang berbeda memiliki respon yang berbeda terhadap nyeri. Zborowski (1969 dalam Brunner & Suddarth, 2002) dalam penelitiannya tentang “Pengaruh budaya dan etnik terhadap nyeri” meneliti tentang perbedaan respon nyeri antara Old American (Inggris), Irlandia, Italia, dan Yahudi. Hasil yang didapat adalah Old American cenderung mampu toleran terhadap nyeri dan tabah. Masyarakat Irlandia tidak mengekspresikan nyeri dan menolak (denial) adanya nyeri. Italia sangat ekspresif dan bereaksi berlebihan terhadap nyeri begitu haknya dengan Yahudi. Budaya dan etnik mempunyai pengaruh pada bagaimana seseorang berespon terhadap nyeri. Namun, budaya dan etnik tidak mempengaruhi persepsi nyeri (Zatzick & Dimsdale, 1990 dalam Brunner & Suddarth, 2002).


(44)

3.2.2 Tahap Perkembangan

Indikator fisiologis dapat berpengaruh pada bayi, sehingga observasi perilaku direkomendasikan untuk pengkajian nyeri (Ball & Blinder, 2003 dalam Kozier et al, 2010). Anak-anak mungkin kurang mampu dibandingkan orang dewasa untuk mengatakan pengalaman atau kebutuhan mereka terkait dengan nyeri, yang dapat menyebabkan nyeri mereka teratasi (Kozier, 2010). Nyeri sering dimaknai oleh lansia sebagai bagian dari proses penuaan. Ada yang menginterpretasikan bahwa hal tesebut alami, sesuatu yang harus dialami sebagai proses normal dan menahan nyeri tersebut (Luckmann & Sorrensen, 1993).

3.2.3 Lingkungan dan Orang Pendukung

Lingkungan yang tidak dikenal seperti rumah sakit, dengan kebisingannya, cahaya, dan aktivitasnya, dapat menambah rasa nyeri. Selain itu, orang kesepian yang tidak memiliki jaringan pendukung dapat mempersepsikan nyeri sebagai sesuatu yang berat, sementara orang yang memiliki orang pendukung di sekitarnya dapat mempersepsikan nyeri sebagai sesuatu yang lebih ringan. Beberapa orang memilih untuk menarik diri jika mereka sedang merasa nyeri, sementara orang lain lebih memilih untuk mengalihkan rasa nyerinya kepada orang-orang dan aktivitas di sekitar mereka. Pemberi perawatan keluarga dapat menjadi seorang pendukung yang bermakna bagi seseorang yang sedang mengalami nyeri. Dengan makin banyaknya rawat jalan dan perawatan dirumah, keluarga mengemban tanggung jawab yang lebih besar untuk menatalaksanakan nyeri. Penyuluhan yang terkait dengan pengkajian dan penatalaksanaan nyeri dapat secara positif mempengaruhi


(45)

persepsi kualitas hidup bagi klien dan pemberi perawatannya (Kozier, et al, 2010).

3.2.4 Ansietas

Tingkat kecemasan individu saat mengalami nyeri juga dapat mempengaruhi respon individu terhadap nyeri. Nyeri terdiri atas komponen fisiologi dan komponen psikologi. Ketika ansietas meningkat maka nyeri yang dirasakan individu lebih besar. Ansietas sering sekali dihubungkan dengan makna nyeri. Jika penyebab ansietas tidak diketahui, tingkat kecemasan individu akan meningkat dan tingkatan nyeri memburuk (Luckmann & Sorrensen, 1993).

3.2.5 Pengalaman masa lalu dengan nyeri

Cara seseorang berespon dengan nyeri adalah akibat dari banyak kejadian nyeri selama rentang kehidupannya. Individu yang mengalami nyeri hebat dan berkepanjangan di masa lalu dapat menjadi lebih toleran terhadap nyeri tersebut apabila dimasa lalu, individu tersebut menerima terapi nyeri yang adekuat dan toleran terhadap nyeri yang dialaminya. Sebaliknya individu yang memiliki pengalaman nyeri hebat di masa lalu dan tidak mendapat terapi nyeri yang tidak adekuat tidak mampu toleran dengan nyeri yang dihadapinya. Sehingga individu takut terhadap nyeri yang mungkin terjadi dan lebih sedikit mentoleransi nyeri (Brunner & Suddarth, 2002).

3.3Pengukuran Perilaku Nyeri

Perilaku Nyeri diobservasi dengan menggunakan The Pain Behaviour Observation Protocol (PBOP) yang didesain oleh Ikhsanuddin I.A. Harahap (2007). PBOP ini terdiri dari lima item meliputi terjaga, menahan rasa sakit,


(46)

menggosok bagian yang nyeri, meringis dan mendesah. Perilaku nyeri diobservasi secara langsung pada saat pasien menunjukkan delapan task yang diadaptasi dari standar protocol Keefe dan Block pada tahun 1982, terdiri dari duduk selama satu menit dan kemudian diulangi selama dua menit, berdiri selama satu menit dan kemudian diulangi selama dua menit, berbaring sebanyak dua kali masing-masing selama satu menit, berjalan sebanyak dua kali masing-masing selama satu menit.

Harahap (2007) mengatakan bahwa perilaku nyeri dapat diobservasi. Harahap (2007) mengkategorikan perilaku nyeri menjadi: (1) tidak ada, jika perilaku tidak diobservasi selama 10 menit beraktivitas tetapi tidak pada keseluruhan aktivitas, (2) kadang-kadang jika perilaku terjadi sekali pada saat beraktivitas tetapi tidak pada keseluruhan aktivitas, (3) sering, jika perilaku terjadi sekali pada setiap aktivitas, atau terjadi lebih dari sekali peristiwa.

(Harahap, I.A., 2007)

Parameter Tidak ada Kadang-kadang Sering

Terjaga (guarding) 0 1 2

Menahan nyeri (bracing) 0 1 2

Menggosok bagian yang nyeri (rubbing)

0 1 2

Meringis (grimacing) 0 1 2


(47)

Rendah

Sangat Rendah

BAB 3

KERANGKA PENELITIAN

1. Kerangka Konseptual

Kontrol diri (self- control) adalah suatu mekanisme yang dapat membantu individu untuk mengatur dan mengarahkan perilaku.

Perilaku nyeri merupakan segala sesuatu yang dilakukan dan setiap perubahan kebiasaan seseorang sebagai respon terhadap nyeri yang dapat diobservasi. Perilaku nyeri ini meliputi terjaga, merubah posisi tubuh, mengusap bagian yang nyeri, menopang bagian tubuh yang nyeri, menahan rasa sakit, meringis, ekspresi verbal menangis, mengerang, mengaduh, menjerit, meraung dan mendesah.

Berdasarkan pemaparan konsep di atas, maka peneliti membuat kerangka penelitian seperti skema dibawah ini:

Sangat tinggi Tinggi Sedang

Skema 1. Kerangka penelitian kontrol diri pada pasien dengan nyeri kronis.

Kontrol diri (Self-control)

1. Kemampuan mengontrol perilaku 2. Kemampuan mengontrol stimulus 3. Kemempuan mengantisipasi

peristiwa

4. Kemempuan menafsirkan peristiwa

5. Kemampuan mengambil keputusan


(48)

Tinggi Sedang

Rendah Rendah

Skema 2. Kerangka penelitian perilaku nyeri pada pasien dengan nyeri kronis

2. Defenisi Operasional

Defenisi Operasional variabel yang digunakan dalam penelitian ini dijelaskan sebagai berikut:

2.1Kontrol diri (Self-control)

Kontrol diri adalah kemampuan pasien yang mengalami nyeri kronis untuk mengatur, mengontrol dan mengarahkan perilaku (behavioral), pikiran (kognitif), emosi dan keputusan (desicion) yang diukur dengan menggunakan Self Control Scale (SCS) yang terdiri dari 34 pernyataan. Kuesioner ini terdiri atas 12 pernyataan positif dan 22 pernyataan negatif.

2.2 Perilaku Nyeri

Perilaku nyeri adalah reaksi klien dengan nyeri kronis yang mengalami nyeri selama lebih dari 6 bulan yang dapat diobservasi yaitu menjaga, menahan nyeri, menggosok bagian yang nyeri, meringis dan mendesah. Perilaku nyeri diobservasi

Perilaku nyeri

1. Menjaga (guarding) 2. Menahan nyeri (bracing) 3. Menggosok bagian yang

nyeri (rubbing) 4. Meringis (grimacing) 5. Mendesah (sighing)


(49)

secara langsung dengan menggunakan Pain Behaviour Observation Protocol

(PBOP) (Harahap, 2007) pada saat pasien menunjukkan delapan task yang diadaptasi dari standar protocol Keefe dan Block pada tahun 1982, terdiri dari duduk selama satu menit dan kemudian diulangi selama dua menit, berdiri selama satu menit dan kemudian diulangi selama dua menit, berbaring sebanyak dua kali masing-masing selama satu menit, berjalan sebanyak dua kali masing-masing selama satu menit.


(50)

BAB 4

METODOLOGI PENELITIAN

1. Desain Penelitian

Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif yang mengidentifikasi tingkat kontrol diri (self-control) dan perilaku nyeri pada pasien dengan nyeri kronis.

2. Populasi dan Sampel 2.1Populasi

Populasi penelitian ini adalah pasien yang mengalami nyeri kronis akibat penyakit seperti kanker(kanker payudara, kanker nasofaring), efusi pleura, diabetes, gastritis kronis yang sedang menjalani rawat inap di ruang rawat inap terpadu A (Penyakit dalam pria dan wanita) dan Ruang rawat inap terpadu B (Bedah Onkologi 2) RSUP Haji Adam Malik Medan.

2.2Sampel Penelitian

Sampel dalam penelitian ini adalah pasien dengan nyeri kronis akibat penyakit seperti kanker( kanker payudara, kanker nasofaring), efusi pleura,

diabetes, gastritis kronis yang menjalani rawat inap. Penentuan jumlah sampel yang dilakukan dengan cara teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan purposive sampling, yaitu menetapkan sampel yang sesuai dengan kriteria inklusi. Adapun yang menjadi kriteria inklusi sampel dalam penelitian ini adalah: pasien nyeri kronis selama lebih dari 6 bulan, mengalami


(51)

nyeri ringan sampai sedang, pria/wanita berusia 18-60 tahun, memiliki kesadaran penuh, mampu melakukan aktivitas yang akan diobservasi oleh peneliti, dapat membaca, menulis dan memahami Bahasa Indonesia dengan baik, dan bersedia menjadi responden penelitian. Peneliti menetapkan 25 orang calon responden yang sesuai dengan kriteria inklusi namun karena keterbatasan waktu peneliti hanya mendapatkan 18 orang sebagai sampel penelitian.

3. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di RSUP Haji Adam Malik Medan, mengingat Rumah Sakit ini adalah rumah sakit pendidikan yang memungkinkan peneliti mendapatkan jumlah sampel yang dibutuhkan dalam penelitian ini. Penelitian ini dilaksanakan selama bulan Juni sampai bulan Juli 2013.

4. Pertimbangan Etik

Penelitian ini dilakukan oleh peneliti setelah mendapatkan persetujuan dari Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara dan dari RSUP Haji Adam Malik Medan. Calon responden pada penelitian ini diidentifikasi sesuai dengan criteria inklusi penelitian. Pasien dengan intensitas nyeri berat (level nyeri >=7) tidak termasuk ke dalam calon responden untuk menghindari munculnya nyeri yang lebih berat pada saat proses penelitian. Sebelum menyerahkan lembar persetujuan, peneliti terlebih dahulu menjelaskan maksud, tujuan dan pelaksanaan penelitian kepada calon responden. Peneliti juga menjelaskan bahwa proses penelitian ini mungkin dapat menimbulkan nyeri, dan apabila pada saat proses penelitian responden mengalami nyeri


(52)

berat maka proses penelitian akan dihentikan tanpa ada akibat apapun bagi responden. Selanjutnya peneliti menginformasikan kepada perawat atau dokter untuk menolong responden mengatasi nyeri.

Jika calon responden mampu dan bersedia menjadi responden penelitian maka responden terlebih dahulu menandatangani lembar persetujuan menjadi responden. Jika calon responden menolak untuk terlibat dalam penelitian maka peneliti akan tetap menghormati haknya. Untuk menjaga kerahasiaan, peneliti tidak akan mencantumkan nama responden pada lembar pengumpulan data yang diisi oleh responden. Lembar tersebut hanya akan diberi kode tertentu. Kerahasiaan informasi yang diberikan responden dijamin oleh peneliti.

5. Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner dan lembar observasi yang didasarkan pada tinjauan pustaka. Kuesioner terdiri dari dua bagian yaitu data demografi dan data untuk mengidentifikasi kontrol diri (self- control) . Sementara untuk mengobservasi perilaku nyeri digunakan lembar observasi.

5.1Data Demografi

Terdiri dari jenis kelamin, usia, status pernikahan, suku bangsa, pendidikan terakhir, pekerjaan, dan diagnosa penyakit. Data demografi ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik responden, deskripsi frekuensi, dan persentasi demografi responden


(53)

5.2Lembar Observasi Perilaku Nyeri

Lembar Observasi Perilaku Nyeri dengan menggunakan The Pain

Behaviour Observation Protocol (PBOP). PBOP ini terdiri dari lima item meliputi menjaga, menahan rasa sakit, menggosok bagian yang nyeri, meringis dan mendesah. Perilaku nyeri diobservasi secara langsung pada saat pasien menunjukkan delapan task oleh Harahap(2007) yang diadaptasi dari standar protocol Keefe dan Block pada tahun 1982, terdiri dari duduk selama satu menit dan kemudian diulangi selama dua menit, berdiri selama satu menit dan kemudian diulangi selama dua menit, berbaring sebanyak dua kali masing-masing selama satu menit, berjalan sebanyak dua kali masing-masing selama satu menit. Uji reliabilitas dan validitas lembar observasi perilaku nyeri tidak dilakukan lagi karena kuesioner ini telah diuji pada penelitian sebelumnya.

Tingkat perilaku nyeri menggunakan skala Likert dengan nilai 0=tidak ada, 1=kadang-kadang, dan 2=selalu. Jumlah skor merupakan penjumlahan dari lima item tersebut. Skor tertinggi mengindikasikan ekspresi perilaku nyeri yang tertinggi. Untuk menginterpretasikan skor PBOP, jumlah skor perilaku nyeri dibagi menjadi tiga tingkatan meliputi rendah (0-3), sedang (4-7), dan tinggi (8-10) (Keefe,et al, 1982 dalam Harahap, 2007).

5.3Data Mengidentifikasi Kontrol diri (self-control)

Untuk mengidentifikasi kontrol diri klien, peneliti menggunakan skala Self Control Scale (SCS) yang di desain oleh Tangney, Baumeister dan Boone (2004) setelah peneliti memperoleh izin tertulis. Kuesioner ini terdiri atas 12


(54)

pernyataan positif dan 22 pernyataan negative. Pada kuesioner ini, pernyataan akan diberi skor 1 sampai 5. Skor 1 mengindikasikan bahwa pernyataan tersebut tidak menggambarkan diri klien sama sekali dan skor 5 mengindikasikan bahwa pernyataan tersebut sangat menggambarkan diri klien. Skor tertinggi dalam instrument ini adalah 170, sedangkan skor terendah 122. Pada kuesioner ini, kontrol diri (self-control)dikategorikan menjadi 5 tingkatan (self-control sangat rendah- self-control sangat tinggi).

Rentang Berdasarkan rumus statistika p=

Banyak Kelas

Dimana p merupakan panjang kelas, rentang yaitu nilai tertinggi dikurang nilai terendah, sebesar 48, dibagi dalam lima kelas yaitu, self control yang sangat rendah, self control yang rendah dan ,self control yang sedang, self control yang tinggi, self control yang sangat tinggi, maka diperoleh panjang kelas sebesar 5. Dengan p= 9, dan nilai terendah 122 sebagai batas bawah kelas interval pertama, maka peneliti mengkategorikan self control menjadi sebagai berikut:

122-131 : Sangat rendah

132-141 : Rendah

142-151 : Sedang

152-161 : Tinggi

162-170 : Sangat tinggi

Kuesioner ini diperoleh oleh peneliti dalam Bahasa Inggris. Oleh karena itu, agar dapat digunakan untuk responden masyarakat Indonesia maka kuisioner ini diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dengan teknik back translation. Penerjemah pertama dari LIA (Lembaga Indonesia Amerika), yang menerjemahkan kuisioner dari Bahasa Inggris ke Bahasa Indonesia.


(55)

Penerjemah yang kedua dari YPPIA (Yayasan Pendidikan Persahabatan Indonesia Amerika) yang menerjemahkan kuisioner Bahasa Indonesia ke Bahasa Inggris. Dan penerjemah yang terakhir adalah Ibu June P. Tangney yang membandingkan kedua kuisioner Bahasa Inggris. Item kuisioner kontrol diri nomor 6, 8, 11, 17, 22, 23, 25 dan 35 yang mengalami perbaikan karena terdapat perbedaan arti sesuai dengan teori kontrol diri. Selanjutnya kuesioner ini akan diuji validitas dan reliabilitas.

6. Uji Validitas dan Reliabilitas

Uji reliabilitas PBOP pada penelitian sebelumnya menunjukkan hasil yang memuaskan, hasil uji reliabilitas berkisar 0,93 (McGuire, 2007 dalam Harahap 2007). Kontrol diri (self-control) dalam penelitian ini diukur dengan menggunakan Self Control Scale (SCS) yang di desain oleh Tangney, Baumeister dan Boone pada tahun 2004. Uji validitas kuesioner self control

dilakukan oleh tiga orang dosen keperawatan. Hasil uji validitas terdapat dua pernyataan yang dihapus yaitu pernyataan ke-7 (“orang-orang bisa mengandalkan saya untuk tetap sesuai jadwal”) dan pernyataan ke-12 (“orang-orang mengatakan bahwa saya (“orang-orang yang impulif”) karena tidak sesuai dengan tinjauan teoritis.

Uji reliabilitas kontrol diri (self-control) menggunakan uji formula

Chronbach Alpha. Uji reliable dilakukan pada 10 responden penelitian karena keterbatasan jumlah responden. Hasil uji reliabel pada kontrol diri adalah 0.723. Uji reliabilitas dengan nilai 0,7-0,95 dikatakan realibel sehingga kuisioner ini layak digunakan (Polit & Hungler, 1995).


(56)

7. Pengumpulan Data

Proses pengumpulan data pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

7.1Permohonan izin pelaksanaan penelitian didapatkan dari institusi pendidikan (Fakultas Keperawatan USU).

7.2Permohonan izin dikirim ke tempat penelitian (RSUP Haji Adam Malik Medan).

7.3Peneliti meminta izin dari Kepala Ruangan untuk melakukan penelitian sesuai dengan kriteria sampel peneliti.

7.4Peneliti meminta perawat ruangan memperkenalkan calon responden sesuai dengan kriteria sampel penelitian.

7.5Peneliti menjelaskan kapada calon responden tentang tujuan, manfaat penelitian dan prosedur pengumpulan data.

7.6Jika calon responden memahami prosedur penelitian dan bersedia dengan sukarela menjadi responden penelitian, selanjutnya peneliti meminta calon responden menandatangani lembar persetujuan sebagai bentuk persetujuan bersedia menjadi responden.

7.7Peneliti menjelaskan cara pengisian kuisioner demografi dan kuisioner kontrol diri (self-control).

7.8Peneliti meminta responden untuk mengisi kuisioner data demografi dan kuisioner kontrol diri (self-control). Waktu yang diperlukan 15-20 menit. 7.9Peneliti menginstruksikan responden untuk melakukan aktivitas sesuai

dengan Pain Behaviour Observation Protocol (PBOP) yang terdiri dari duduk selama satu menit dan kemudian diulangi selama dua menit, berdiri selama satu menit kemudian diulangi selama dua menit, berbaring


(57)

sebanyak dua kali masing-masing selama satu menit, berjalan sebanyak dua kali masing-masing sebanyak satu menit. Selama melakukan delapan task ini, ada beberapa responden yang tidak nyaman melakukan task secara berurutan, sehingga aktivitas ini kemudian dilakukan secara acak untuk menjaga kenyamanan responden namun tetap sesuai dengan jenis kegiatan dan waktu pelaksanaan delapan task.

7.10 Kemudian peneliti mengobservasi perilaku nyeri responden

sepanjang responden melakukan aktivitas selama sepuluh menit dan mengisi lembar observasi.

7.11 Setelah seluruh data dari semua instrumen terkumpul, peneliti mulai mengolah/menganalisa data.

8. Analisa Data

Setelah semua kuesioner terkumpul, maka dilakukan analisa data melalui beberapa tahap. Pertama editing, yaitu mengecek atau mengoreksi data yang telah dikumpulkan. Tujuannya untuk menghilangkan kesalahan-kesalahan yang terdapat pada pencatatan di lapangan. Kedua, coding, yaitu pemberian kode-kode pada tiap-tiap data yang termasuk dalam kategori yang sama. Ketika tabulasi, yaitu membuat table-tabel yang berisikan data yang telah diberi kode, sesuai dengan analisa yang dibutuhkan (Hasan, 2002). Langkah selanjutnya yaitu pengolahan data dengan menggunakan program statistika yang bertujuan untuk menjelaskan atau mendeskripsikan karakteristik setiap variabel penelitian. Analisis ini akan menghasilkan distribusi frekuensi dan persentase dari tiap variable. Pada penelitian ini, analisa data dengan metode


(58)

analisis univariat digunakan untuk menganalisa variabel kontrol diri (self control) dan variabel perilaku nyeri.


(59)

BAB 5

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Hasil Penelitian

Pada bab ini diuraikan hasil penelitian serta pembahasan mengenai hubungan kontrol diri (self-control) dengan perilaku nyeri pada pasien dengan nyeri kronis di RSUP H. Adam Malik Medan. Penelitian ini dilakukan Juni hingga Juli 2013 sebanyak 18 orang responden. Peneliti akan menguraikan hasil penelitian dan pembahasan antara lain deskripsi karakteristik responden, deskripsi kontrol diri (self-control), deskripsi perilaku nyeri, serta analisa hubungan kontrol diri (self-control) dengan perilaku nyeri pada pasien dengan nyeri kronis di Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan.

1.1 Analisa Univariat

1.1.1 Deskripsi Karakteristik Demografi Responden.

Karakteristik demografi responden yang diperoleh dari hasil penelitian adalah sebagai berikut: dari responden sebanyak 18 diketahui bahwa mayoritas responden yang berada pada rentang usia 18 tahun sampai 40 tahun, yaitu dewasa madya (72,2 %). Mayoritas responden laki-laki (55,6%). Mayoritas responden suku Batak (88,9%) dan sudah menikah (94,4%). Tingkat pendidikan terakhir responden adalah SD (11,1%), SMP (27,8%), SMA (33,3%), dan D3/Sarjana (27,8%). Mayoritas pekerjaan responden adalah petani (27,8%) dan pedagang/wiraswasta (27,8%).


(60)

Tabel 1.1.1 Distribusi Frekuensi dan Persentasi Karakteristik Demografi Responden (n=18)

No Karakteristik Responden Frekuensi (f) Persentase ( %)

1 Usia

Dewasa awal (18-40 tahun) Dewasa akhir (41-60 tahun)

5 13

27.8 72.2

2 Jenis Kelamin

Laki-laki Perempuan 10 8 55.6 44.4

3 Status Perkawinan

Menikah Belum Menikah 17 1 94.4 5.6

4 Suku Bangsa

Jawa Batak 2 16 11.1 88.9

5 Pendidikan terakhir

SD SMP SMA D3/Sarjana 2 5 6 5 11.1 27.8 33.3 27.8

6 Pekerjaan

Petani

Pedagang/wiraswasta POLRI/TNI

PNS

Ibu Rumah Tangga Pensiunan PNS Teknikal listrik 5 5 1 2 2 2 1 27.8 27.8 5.6 11.1 11.1 11.1 5.6

7 Diagnosa

Angina Pectoris Ca Mamae Ca Nasofaring Ca Hepar Colitis Unspesifik Diabetes Efusi Pleura Gagal Ginjal Gatritis Kronis 1 4 1 1 1 5 2 1 2 5.6 22.2 5.6 5.6 5.6 27.8 11.1 5.6 11.1


(61)

1.1.2 Kontrol diri pada pasien dengan nyeri kronis.

Kontrol diri pada pasien nyeri kronis di RSUP Haji Adam Malik Medan diidentifikasi dengan menggunakan kuesioner dimana setiap pernyataan ditanyakan langsung kepada responden. Berdasarkan hasil analisa data menunjukkan distribusi frekuensi dan persentasi kontrol diri (self-control) pada pasien yang mengalami nyeri kronis secara keseluruhan didapati bahwa pasien memiliki kontrol diri rendah (33.3%), sangat rendah (38.9%), sedang (22.2 %) dan tinggi (5.6 %). Tidak ada pasien yang memiliki kontrol diri (self-control) sangat tinggi Tabel 2.

Tabel 1.1.2 Distribusi frekuensi dan persentasi kontrol diri (self-control) pasien yang mengalami nyeri kronis.

Tingkatan Frekuensi (f) Persentasi (%)

Kontrol diri sangat rendah (122-131) 7 38.9

Kontrol diri rendah (132-141) 6 33.3

Kontrol diri sedang (142-151) 4 22.2

Kontrol diri tinggi (152-161) 1 5.6

Kontrol diri sangat tinggi (162-170) 0 0

Kuesioner yang digunakan untuk mengukur kontrol diri (self-control) terdiri dari 34 pernyataan umum yang mewakili kemampuan responden untuk dalam kontrol perilaku (behavioral control), kontrol kognitif (cognitive control), kontrol keputusan (desicional control). Dari hasil analisa data diperoleh bahwa pernyataan dengan nilai paling tinggi adalah pernyataan nomor 23 (lebih baik

saya berpikir dulu sebelum bertindak) dengan mean=4,5 dan SD= 1.14.

Sementara pernyataan yang paling rendah adalah pernyataan 18 (saya sering terbawa perasaan) dengan mean= 2.5 dan SD= 1.24 dan pernyataan 31 (saya


(62)

kurang sabar dan mudah marah) dengan mean= 3.4 dan SD= 1.75. Pernyataan dengan nilai tertinggi mewakili kontrol kognitif (cognitive control) pasien terhadap stimulus.

1.1.3. Perilaku nyeri pada pasien dengan nyeri kronis.

Perilaku nyeri pada pasien dengan nyeri kronis di RSUP Haji Adam Malik Medan diidentifikasi dengan menggunakan lembar observasi. Dari hasil analisa data maka diperoleh hasil distribusi frekuensi dan persentasi perilaku nyeri pasien dengan nyeri kronis yaitu, perilaku nyeri rendah (0-3) (44.4 %), dan perilaku nyeri sedang (4-7) (55.6%) Tabel 3.

Tabel 1.1.3. Distribusi frekuensi dan persentasi perilaku nyeri pasien yang mengalami nyeri kronis.

Perilaku nyeri Frekuensi (f) Presentasi (%)

Perilaku nyeri rendah 8 44.4

Perilaku nyeri sedang 10 55.6

Perilaku nyeri tinggi 0 0

Parameter perilaku nyeri meliputi: menjaga (guarding), menahan nyeri (bracing), menggosok bagian yang nyeri (rubbing), meringis (grimace), dan mendesah (sighing). Pada penelitian ini, meringis (grimace) adalah perilaku yang paling sering muncul (mean= 1.111 dan SD= 0.758) dan menggosok bagian yang nyeri (rubbing) adalah perilaku yang paling jarang muncul (mean= 0.555) dan (SD= 0.783).


(63)

Tabel 1.1.4. Nilai mean, Standar Deviasi dan tingkat parameter perilaku nyeri (n=18)

Perilaku Nyeri Actual score Mean SD Level

Menjaga (guarding) 0-2 0.77 0.64 Sedang

Menahan nyeri (bracing) 0-2 0.77 0.73 Sedang

Menggosok bagian yang nyeri (rubbing)

0-2 0.55 0.78 Rendah

Meringis (grimace) 0-2 1.11 0.75 Sedang

Mendesah (sighing) 0-2 0.83 0.78 Sedang

2. Pembahasan

Dari hasil penelitian, peneliti membahas mengenai kontrol diri ( self-control), perilaku nyeri dan hubungan antara kontrol diri (self-control) dengan perilaku nyeri pada pasien yang mengalami nyeri kronis di RSUP Haji Adam Malik Medan.

2.1 Karakteristik demografi

Berdasarkan usia responden, sebagian besar responden berada pada rentang usia dewasa madya (72,2 %). Hal ini menunjukkan bahwa pada rentang usia ini, angka kejadian terkena peyakit kronis cukup tinggi. International Diabetes Federation

(IDF) (2011 dalam Trisnawati & Setyorogo, 2012) menyebutkan bahwa jumlah penderita penyakit kronis Diabetes Melitus banyak terjadi pada rentang usia 40-59 tahun. Hal itu disebabkan karena pada usia tersebut mulai terjadi peningkatan intoleransi glukosa. Supriyono (2008) menyatakan bahwa prevalensi penyakit kronis kardiovaskuler banyak terjadi pada kelompok umur 40-49 tahun, dewasa madya.


(64)

Perbandingan jumlah responden antara laki-laki dan perempuan dalam penelitian ini tidak jauh berbeda yakni laki-laki (55,6%) dan perempuan (44.4 %). Hal ini berkaitan dengan mayoritas diagnosa penyakit responden yaitu: Diabetes (27.8%) lebih sering terjadi pada laki-laki, Ca Mamae (22.2 %) pada perempuan, Gastritis Kronis (11.1%) dan Efusi Pleura (11.1%) pada keduanya. Pusat data dan informasi Perumahsakitan Indonesia (PERSI, 2011) menyebutkan bahwa Indonesia berada pada peringkat empat jumlah penderita Diabetes terbanyak di dunia.

Persentase responden yang sudah menikah 94% berhubungan dengan tugas perkembangan responden pada usia dewasa madya. Mayoritas responden bersuku Batak, dikarenakan lokasi penelitian yang berada di daerah yang mayoritas bersuku Batak. Selain itu, untuk data demografi pendidikan terakhir, pekerjaan dan diagnosa penyakit responden cukup bervariasi.

2.2 Kontrol diri (self-control) pada pasien yang mengalami nyeri kronis.

Hasil penelitian ini menyebutkan sebagian besar responden memiliki kontrol diri sangat rendah (38.9%) dan kontrol diri rendah (33.3%). Hal ini menunjukkan bahwa lebih dari 50% responden memiliki kemampuan yang rendah untuk mengontrol perilaku (behavioral control), mengontrol kognitif (kognitif control) dan mengontrol keputusan (decision control) terkait dengan penyakit. Hal ini dipengaruhi oleh tingkat depresi pasien akibat penyakit, lama rawat/proses pengobatan dan kelemahan fisik. Hal ini juga didapati dari pernyataan responden tentang lamanya proses pengobatan dan kelemahan fisik yang dialami menurunkan semangat responden yang pada umumnya bekerja sebagai petani dan


(65)

pedagang. Terkait dengan status pernikahan, responden juga menyatakan bahwa tidak berada dekat dengan anak dan tidak mampu beraktivitas seperti biasanya membuat responden merasa tidak mampu dan putus asa.

Individu yang mengalami penyakit kronis, akan mengalami nyeri sebagai bagian dari proses penyakit, proses pemeriksaan dan pengobatan (Brunner & Suddarth, 2000). Hal ini yang sering diperburuk dengan kejadian depresi dan peningkatan perilaku nyeri individu sehingga mempengaruhi fungsi fisik, mental dan kualitas hidup responden.

Terkait dengan diagnosa penyakit, sebagian besar responden mengidap penyakit Diabetes (27.8%), dan Ca Mamae (22.2%). Diabetes merupakan salah satu diagnosa penyakit yang dapat mengakibatkan pasien mengalami nyeri kronis non-maligna. Nyeri kronis non-maligna merupakan akibat dari cedera jaringan yang tidak sembuh atau yang tidak progresif akan tetapi nyeri berlangsung terus dan sering kali tidak berespon terhadap pengobatan yang diberikan (Potter & Perry, 2006). Pada penderita Diabetes nyeri terjadi disertai dengan tanda-dan gejala distress psikologi dan ketidakmampuan fisik (Krein et al, 2005).

Nyeri kronis maligna seperti Ca mamae bersifat konstan yang bertahan sampai pada periode waktu yang lama (Potter & Perry, 2006). Kedua diagnosa tersebut menimbulkan intensitas nyeri yang berat dan berlangsung lama sehingga mempengaruhi psikologis individu, menimbulkan depresi dan penurunan kemampuan mengontrol diri (kognitif dan perilaku).

Hal ini juga didukung Nicholas et al (2009) dalam jurnalnya tentang gejala depresif pada pasien nyeri kronis bahwa gejala depresi sangat erat hubungannya


(66)

dengan perilaku negatif (catastrophising), kontrol diri terhadap hidup, keyakinan diri (self-efficacy), ketidakmampuan fisik penerimaan dukungan social dan manajemen diri yang tidak efektif. Kontrol diri mempengaruhi kemampuan individu untuk mengatasi masalah yang dialami pasien dengan nyeri kronis antara lain

VanDellen (2008) menyatakan bahwa tingkat kontrol diri individu bersumber dari tiga hal yakni, pengaruh social/interpersonal, pengaruh personal/individual dan pengaruh lingkungan /situasional. Kemampuan untuk berinteraksi secara positif dengan orang lain secara interpersonal meningkatkan kontrol diri individu yang mengalami kelemahan secara fisik. Interaksi dengan kelompok social memberikan motivasi bagi individu meningkatkan kontrol individu terhadap kognitif, emosi dan perilaku. Hal ini terkait dengan mayoritas responden penelitian sudah menikah (94.4 %) dengan rentang usia dewasa awal dan dewasa madya, dukungan sosial dari anggota keluarga maupun social berkurang sehingga pasien cenderung merasa tidak mampu dan sulit dimotivasi.

Penelitian oleh Hayes & Bissett (1999) tentang Acceptance (penerimaan), kontrol rasional dan roleransi terhadap nyeri menyebutkan bahwa kontrol diri berdasarkan rasional menunjukkan pengaruh yang besar terhadap evaluasi subjektif terhadap sensasi, nyeri dan ketidaknyamanan karena target dari kontrol diri (self-control) adalah perubahan kognitif dan emosi

Peningkatan kontrol diri (self-control) individu terhadap stimulus nyeri akan meningkatkan kemampuan indiviu mengontrol perilaku sehingga individu menunjukkan perilaku nyeri rendah..


(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

TAKSASI DANA

1. Persiapan Proposal

a. Biaya kertas dan tinta printer : Rp. 100.000,- b. Foto kopi sumber-sumber tinjauan pustaka : Rp. 100.000,-

c. Perbanyak proposal : Rp. 100.000,-

d. Biaya internet : Rp. 150.000,-

e. Sidang proposal : Rp. 100.000,-

f. Back Translate kuesioner : Rp. 150.000,-

2. Pengumpulan Data

a. Izin penelitian RSUP H Adam Malik Medan : Rp. 150,000-

b. Transportasi : Rp. 300.000,-

c. Penggandaan Kuisioner : Rp. 30.000,-

d. Souvenir : Rp. 100.000,-

3. Analisa Data dan Penyusunan Laporan Penelitian

a. Biaya kertas dan tinta printer : Rp. 100.000,-

b. Penjilidan : Rp. 100 000,-

c. Penggandaan laporan penelitian : Rp. 50.000,-

Rp. 1.530.000,-


(6)

CURRICULUM VITAE

1. Nama lengkap : Novia SP Naibaho

2. NIM : 091101061

3. Jenis kelamin : Perempuan

4. Tempat/tgl. Lahir : Nagasaribu, 17 September 1991 5. Agama : Kristen Protestan

6. Alamat lengkap : Telp/Fax : -

Hp. : 085358773138/08998615755 E-mail : novia.naibaho@yahoo.com URL/ : facebook novia naibaho 7. Status pendidikan :

Semester : 7

Program Studi : S1 Keperawatan Jurusan : Ilmu Keperawatan Fakultas : Keperawatan

Perguruan Tinggi : Universitas Sumatera Utara 8. Riwayat pendidikan :

a. SD N 174535 Nagasaribu : 1997-2003 b. SMP N 3 Lintongnihuta : 2003- 2006 c. SMA N 1 Siborong-borong : 2006-2009 d. Fakultas Keperawatan USU : 2009-sekarang