Penegakan Hukum Pidana Terhadap Pelaku Persetubuhan pada Anak (Analisis Terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor : 1202 K/PID.SUS/2009)

(1)

PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PELAKU PERSETUBUHAN PADA ANAK (ANALISIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG

NOMOR: 1202 K/PID.SUS/2009)

TESIS

Oleh:

PANCA HUTAGALUNG 117005016/ HK

FAKULTAS HUKUM

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2013


(2)

PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PELAKU PERSETUBUHAN PADA ANAK (ANALISIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG

NOMOR: 1202 K/PID.SUS/2009)

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum

Dalam Program Studi Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh:

PANCA HUTAGALUNG 117005016/ HK

FAKULTAS HUKUM

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2013


(3)

Judul Tesis : PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PELAKU PERSETUBUHAN PADA ANAK (ANALISIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR: 1202 K/PID.SUS/2009)

Nama Mahasiswa : PANCA HUTAGALUNG

N I M : 117005016

Program Studi : Magister Ilmu Hukum

Menyetujui Komisi Pembimbing

Dr. M. Hamdan, SH., MH Ketua

Dr. Mahmud Mulyadi, SH.,M.Hum Dr. Utary Maharany Barus, SH., M.Hum

Anggota Anggota

Ketua Program Studi Dekan

(Prof. Dr. Suhaidi, SH., MH) (Prof. Dr. Runtung, SH., M.Hum)


(4)

Telah diuji pada

Hari/Tanggal: Jum’at 12 Juli 2013M/ 03 Ramadhan 1434H

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Dr. M. Hamdan, SH, MH

Anggota : 1. Dr. Mahmud Mulyadi, SH., M.Hum 2. Dr. Utary Maharany Barus, SH., M.Hum 3. Dr. Madiasa Ablisar, SH., MS


(5)

ABSTRAK

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak sejak semula ditujukan sebagai upaya perlindungan serta mewujudkan kesejahteraan anak dengan memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya. Meskipun demikian kejahatan terhadap anak masih kerap terjadi bahkan semakin eskalatif misalnya persetubuhan terhadap anak padahal ancaman hukumannya tergolong tinggi. Dalam penelitian ini misalnya pemicu persetubuhan terjadi akibat hubungan asmara dan suka sama suka antara pelaku dan saksi korban yang tergolong anak. Memperhatikan hal ini maka permasalahan yang timbul adalah bagaimana pengaturan persetubuhan terhadap anak menurut hukum pidana di Indonesia dan bagaimana penegakan hukum pidana yang dilakukan judex facti dalam kasus persetubuhan terhadap anak dalam Putusan Nomor 2417/Pid.B/2008-Mdn juncto Putusan Nomor 38/Pid/2009/PT-Mdn dan bagaimana penegakan hukum pidana oleh judex juris terhadap kasus persetubuhan terhadap anak dalam Putusan Nomor 1202K/Pid.Sus/2009.

Metode penelitian yang digunakan bersifat normatif preskriptif dengan pendekatan analitis serta pendekatan perundang-undangan dengan menganalisa perkara Nomor 1202K/Pid.Sus/2009. Sumber data yang digunakan adalah data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan studi dokumen kemudian menganalisis data yang diperoleh secara kualitatif dengan pemilihan teori-teori, asas-asas, norma-norma, doktrin dan pasal-pasal perundang-undangan yang relevan serta menghubungkan data-data dimaksud dengan permasalahan yang diteliti.

Pengaturan tentang persetubuhan terhadap anak diatur dalam KUHP, Undang-Undang No. 23 Tahun 2003 Tentang Perlindungan Anak serta Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Penegakan hukum pidana yang dilakukan judex facti dalam Putusan Nomor 2417/Pid.B/2008-Mdn juncto Putusan Nomor 38/Pid/2009/PT-Mdn telah sesuai dengan ketentuan hukum acara pidana, yaitu pembacaan dakwaan, pemeriksaan saksi, pemeriksaan surat, dan pemeriksaan terdakwa, tuntutan, pembelaan dan putusan. Penjatuhan hukuman didasarkan atas teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif dan menganut teori kesalahan akan tetapi tidak mempertimbangkan teori kesalahan korban. Penegakan hukum pidana oleh judex juris dalam Putusan Nomor 1202K/Pid.Sus/2009 telah sesuai dengan ketentuan hukum acara pidana dan mencerminkan teori kesalahan korban.


(6)

ABSTRACT

Law No. 23/2003 on Child Protection is initially intended to protect children and to ensure their safety by providing security for their rights. Nevertheless, sexual harassment toward children often occurs and indicates its escalation even though it is regarded as a felony. In this research, for example, it was found that sexual harassment was caused by erotic love and courting between a male adult and a female who was still very young. Therefore, the problems which arose in the research were as follows: how about the regulation on sexual harassment according to the criminal law in Indonesia, how about the enforcement of criminal law in judex facti in the case of sexual harassment toward children under the Verdict No. 2417/Pid.B/2008-Mdn, in conjunction with the Verdict No. 38/Pid/2009/PT-Mdn, and how about the enforcement of criminal law in judex juris on sexual harassment toward children under the Verdict No. 1202K/Pid.Sus/2009.

The research used perspective normative method with analytic and legal provision approaches by analyzing the case No. 1202K/Pid.Sus/2009. The source of data was secondary data which comprised primary, secondary, and tertiary legal materials. They were gathered by conducting documentary study and analyzed qualitatively by selecting relevant theories, principles, norms, doctrines, and articles in legal provisions and correlated them with the problems of the research.

Sexual harassment toward children is regulated in the Criminal Code, in Law No. 23/2003 on Child Protection, and in Law No. 23/2004 on the Abolition of Violence in Household. The enforcement of criminal law in judex facti under the Verdict No. 2417/Pid.B/2008-Mdn, in conjunction with the Verdict No. 38/Pid/2009/PT-Mdn is in line with law of criminal procedure; namely, the reading of accusation, examining witnesses, examining documents, examining defendants, indictment, advocacy, and verdict. Handing down a verdict is based on the authentication theory according to law negatively and follows fault theory although the victim’s fault is not considered. The enforcement of criminal law in judex juris under the Verdict No. 1202K/Pid.Sus/2009 is in line with law of criminal procedure and reflects the theory of the victim’s fault.


(7)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji saya panjatkan kehadirat Allah SWT, karena dengan limpahan rahmat dan kasih sayangnya sehingga penulisan Tesis dengan judul: “Penegakan Hukum Pidana Terhadap Pelaku Persetubuhan Pada Anak (Analisis Terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor: 1202 K/PID.SUS/2009”dapat terselesaikan. Sholawat teriring salam kepada junjungan semesta alam, khotaman nabiyyin, saidul anbiya, rosulillah Muhammad sallallahi ‘alaihi wa alihi wasallam, yang telah mencerahkan kehidupan ummatnya kejalan yang diridhai Allah SWT.

Penulisan ini secara jahirnya dimaksudkan untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Magister Ilmu Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sebagai wujud tanggungjawab akademik, walaupun bagi saya hal ini secara batiniahnya lebih sebagai salah satu upaya ubudiah yang mudah-mudahan berdimensi ukhrawi.

Dalam melaksanakan penelitian tesis ini, saya harus akui demikian banyaknya rintangan dan hambatan yang dihadapi, betapa tidak antara pekerjaan membaca, belajar, menulis, meneliti dan mencari nafkah bagi keluarga adalah kondisi yang harus bergerak serentak dalam satu irama. Begitu sesaknya terkadang, hampir-hampir memilih menyerah dan pasrah, tetapi mengingat besarnya nilai ibadah berbanding lurus dengan tingkat kesulitan yang dihadapi, mendorong saya untuk kembali mencari makna janji Allah yang diulang dua kali secara berurutan (seperti tampak terkesan pemborosan redaksi-jika bukan karena demikian pentingnya) “maka


(8)

sesunguhnya dibalik kesulitan ada kemudahan, sesungguhnya dibalik kesulitan ada kemudahan” (Q.S. Al-Insyirah: 5-6).

Saya beruntung dan bersyukur kepada Allah karena dalam penyelesaian tesis ini saya ditakdirkan diberikan para pembimbing dan penguji yang benar-benar mengulurkan tangan tanpa pamrih sehingga dalam kesempatan ini wajib kiranya saya haturkan terimakasih kepada:

1. Dr. Hamdan, S.H, M.H sebagai Ketua Komisi Pembimbing tesis ini yang telah demikian banyak memberikan masukan yang sangat berharga bahkan lebih dari itu seolah hampir dapat dikatakan “turut mengerjakan” tesis ini.

2. Dr. Mahmud Mulyadi, S.H., M.Hum sebagai Anggota Komisi Pembimbing juga banyak memberikan arahan kepada saya dan mempermudah penyelesaian tesis ini yang bahkan bertindak seolah “sahabat karib” karena demikian mudahnya ditemui dan share.

3. Dr. Utary Maharany Barus, S.H., M.Hum tidak ketinggalan, sebagai Angota Komisi Pembimbing telah bersusah payah mengkoreksi tata tulis yang tidak pada tempatnya disamping tetap memberikan berbagai masukan yang sungguh penting terhadap substansi.

4. Dr. Madiasa Ablisar, S.H., M.S sebagai Penguji bagi saya tidak hanya sekedar penguji bahkan dalam berbagai kesempatan beliau sering memacu semangat saya untuk menyelesaikan tesis ini disamping memberikan berbagai masukan berharga.


(9)

5. Dr. Idha Aprilyana, S.H., M.Hum sebagai Penguji walaupun tidak sering berjumpa dengan saya disela-sela pengerjaan tesis ini tetapi tidak kurang kebaikan hatinya untuk mempermudah tugas saya dan secara jujur saya katakan bahwa kritikannya menjadi umpan balik yang prestisius.

Pada kesempatan ini saya akui secara tulus bahwa tesis ini layak dikatakan selesai lebih kepada kebaikan hati dan kerelaan nama-nama yang mulia tersebut di atas, jazakumullah khoiran katsiro (semoga Allah memberikan kebaikan yang banyak untuk Bapak dan Ibu).

Selain itu penulis juga mengucapkan terimakasih yang hangat kepada:

1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM & H, M.Sc (CTM), Sp.A(K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH, M.H, selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum, selaku Sekretaris Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Seluruh Guru Besar dan Dosen pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara.


(10)

6. Seluruh Pegawai dan staf pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara yang tidak dapat saya tulis satu persatu. Terimakasih karena telah menjadi bagian dari kehidupan saya.

Ucapan terimakasih juga saya persembahkan kepada:

1. Kedua orang tua saya yaitu: K. Hutagalung (bapak) dan Almh. P. Silitonga (ibu) yang sejak kecil selalu mendorong saya untuk terus belajar agar kesulitan kehidupan saya lebih ringan dari beban kehidupan mereka yang mulia itu. “Pegang pulpen lebih ringan daripada pegang cangkul”, ucap mereka.

2. Abang dan kakak saya berserta semua keluarga yang setiap waktu mengkhawatirkan studi saya ini dan selalu memanjatkan doanya demi selesainya studi saya ini.

Secara khusus rasa terimakasih yang tak terlukiskan dan tak terucapkan dengan kata-kata, saya sampaikan kepada:

1. Elli Dayanti Pasaribu, isteri tercinta saya yang selalu sabar memberikan dorongan dan dukungan yang menyentuh hati saya dalam segala bentuknya, yang bahkan menjadi sumber kekuatan bagi saya.

2. Mahatma Muhammad Hutagalung, anak pertama saya berumur 3 tahun yang canda tawanya, kepolosannya dan “gangguan kecilnya” menjadi semangat juang tersendiri bagi saya.

3. Majesty Muhammad Hutagalung, anak kedua saya berumur 3 bulan yang kebisuannya dikeheningan malam menjadi pesan ilahi bagi saya untuk harus


(11)

menyelesaikan studi ini. Kontribusi kalian bagi studi saya ini mungkin lebih besar ketimbang kontribusi saya sendiri. Kalian benar-benar yang terpenting dalam hidup saya setelah Allah dan rasulNya.

Saya menyadari bahwa karya ini masih sangat jauh dari idealnya apalagi sampai mencapai derajat kesempurnaan adalah kemustahilan. Hal ini sangat humanis karena telah merupakan ketentuan Allah SWT sebagaimana firmannya “dan tidaklah manusia itu diberikan ilmu kecuali hanya sedikit”, sehingga pepatah Latin cukup mewakili disini yang berbunyi: nec scire fas est omnia (tidak sepantasnya untuk mengetahui segalanya). Nabi Muhammad SAW juga bersabda: “salah dan lupa adalah dua sifat dasar manusia”, dan orang-orang Latin-pun berkata: “Errare humanun est; salah/ khilaf adalah sifat manusia” dan mengingat keadaan saya yang masih dalam proses belajar, adalah kesalahan potensial sangatlah rasional. “Yang saya sahu, simpul Socrates, ialah bahwa saya tidak tahu apa-apa”!

Mengingat itu semua, bijaksanalah kiranya kalau saya tetap berharap dan terbuka atas saran dan kritik yang educative constructif dari segala pihak yang lebih arif karena dalam konsepsi Islam ada suatu anjuran yang mengatakan: “agama itu adalah nasehat-menasehati”, dan dibidang ilmiah telah disepakati secara luas ungkapan: “la critique est la via de la science; kritik adalah kehidupan ilmu pengetahuan”. Walau demikian meminjan kata Imam Ali karomallohu wajhah, “Ikatlah ilmu dengan menuliskannya”, maka penulisan tesis ini merupakan salah satu upaya untuk itu.


(12)

Akhirnya kepada Allah jualah segalanya saya serahkan, semoga ridha dan karuniaNya selalu menyertai setiap hela nafas dan setiap tapak langkah kita semua,

amin ya robbal ‘alamin.

Medan, 12 Juli 2013 Hormat saya,

Panca Hutagalung


(13)

RIWAYAT HIDUP

Nama : Panca Hutagalung

Tempat/ Tgl Lahir : Napitupulu, 16 Mei 1981 Jenis Kelamin : Laki-Laki

Agama : Islam

Profesi : Advokat sejak tahun 2008

Status : Menikah

Alamat : Jl. Alumunium I Brayan Bengkel, Medan Deli, Kota Medan No. Telp : 081361052230

Email :

Pendidikan : 1. SD Negeri Napitupulu, 1993 2. Madrsah Tsanawiyah Raso, 1996 3. Madrasah Aliyah Raso, 1999.

4. S-1 Fakultas Hukum Universitas Islam Sumatera Utara, 2001-2005

5. S-2 Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, 2011-2013


(14)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTARAK ………. i

ABSTRACT ……… ii

KATA PENGANTAR ………..… iii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ………. ix

DAFTAR ISI ………. x

BAB I : PENDAHULUAN ……….… 1

A. Latar Belakang ………...….. 1

B. Perumusan Masalah ………...….. 17

C. Tujuan Penelitian ………...……….. 17

D. Manfaat Penelitian ………... 18

E. Keaslian Penelitian ………..……. 19

F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional ……….. 20

1. Kerangka Teori ……….. 20

2. Landasan Konsepsional ……… 41

G. Metode Penelitian ……….... 43

1. Spesifikasi dan Sifat Penelitian ……….…. 44

2. Sumber Data ……….. 45

3. Teknik Pengumpulan Data ……… 46


(15)

BAB II PENGATURAN TENTANG TINDAK PIDANA PERSETUBUHAN TERHADAP ANAK MENURUT HUKUM

PIDANA DI INDONESIA………. 47

A. Aturan Tindak Pidana Persetubuhan Terhadap Anak Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ……… 47 1. Definisi Anak Menurut KUHP ……….. 52 2. Persetubuhan Dengan Paksaan Dalam KUHP …………... 55 3. Persetubuhan Tanpa Paksaan Dalam KUHP ………. 61 B. Aturan Tindak Pidana Persetubuhan Terhadap Anak Menurut

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak ……….………. 68 1. Definisi Anak Menurut Undang-Undang Nomor 23

Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak ………. 69 2. Pasal Yang Mengatur Tentang Persetubuhan Terhadap

Anak Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak ……….. 74 C. Aturan Tindak Pidana Persetubuhan Menurut

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga ……..……..………... 79 BAB III PROSES PENEGAKAN HUKUM PIDANA OLEH HAKIM

JUDEX FACTIE TERHADAP KASUS PERSETUBUHAN KEPADA ANAK DALAM PUTUSAN NO. 2417/PID.B/2008

JO PUTUSAN NO. 38/PID/2009/PT-MDN … 82

A. Duduk Perkara ………. 85

1. Pemeriksaan Dalam Pengadilan Negeri Medan Register Nomor 2417/Pid.B/2008/PN-Mdn ………. 86

a) Dakwaan ……….. 87


(16)

c) Tuntutan ………... 97

d) Pembelaan ……… 98

e) Putusan Pengadilan ……….. 100 2. Pemeriksaan Dalam Pengadilan Tinggi Medan Register

Nomor 38/Pid/2009/PT-Mdn ………. 104

B. Analisis Hukum Terhadap Putusan Nomor

2417/Pid.B/2008/PN-Mdn dan Putusan Nomor 38/Pid/2009/PT-Mdn ………... 109 1. Terdakwa Diperiksa Tanpa Penasehat Hukum

………..………….. 109

2. Umur Saksi Korban Tidak Dapat Dibuktikan Melalui Bukti Surat ………....………. 111 3. Pertimbangan Hukum Tidak Cukup Lengkap Terhadap

Unsur Tindak Pidana Yang Dinyatakan Terbukti

……… 112

4. Kerusakan Mental Dan Trauma Korban Sebagai Perihal Yang Memberatkan Hukuman Tidak Terbukti

……… 112

5. Hakim Judex Factie Tidak Mempertimbangkan Kausalitas Perbuatan Pidana ………..………… 113 BAB IV PENEGAKAN HUKUM PIDANA OLEH HAKIM JUDEX

JURIS TERHADAP KASUS PERSETUBUHAN KEPADA ANAK DALAM PUTUSAN NOMOR 1202K/PID.SUS/2009 .. 120 A. Memori Kasasi Terdakwa ……… 123 B. Kontra Memori Kasasi Penuntut Umum ……… 131 C. Putusan Mahkamah Agung Nomor 1202K/Pid.Sus/2009 ... 134


(17)

D. Analisis Yuridis Putusan Mahkamah Agung Nomor

1202K/Pid.Sus/2009 ……… 136

1. Mahkamah Agung Membenarkan Pertimbangan Hukum Judex Factie Perihal Keterbuktian Unsur-Unsur Pasal 81 ayat 2 UU No. 23 Tahun 2002 ………... 136

2. Mahkamah Agung Memperhatikan Keberadaan Umur Korban Yang Sudah 17 Tahun Bukan 15 Tahun ………... 137

3. Mahkamah Agung Mempertimbangkan Fakta-Fakta Seputar Kausalitas Persetubuhan ………... 138

4. Mahkamah Agung Menghargai I’tikad Baik Terdakwa Untuk Bertanggungjawab ……….. 142

5. Mahkamah Agung Mengakui Kehendak Bebas Terdakwa Dan Saksi Korban ………..……… 143

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ……….……… 148

A. Kesimpulan ……….. 148

B. Saran ……… 150


(18)

ABSTRAK

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak sejak semula ditujukan sebagai upaya perlindungan serta mewujudkan kesejahteraan anak dengan memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya. Meskipun demikian kejahatan terhadap anak masih kerap terjadi bahkan semakin eskalatif misalnya persetubuhan terhadap anak padahal ancaman hukumannya tergolong tinggi. Dalam penelitian ini misalnya pemicu persetubuhan terjadi akibat hubungan asmara dan suka sama suka antara pelaku dan saksi korban yang tergolong anak. Memperhatikan hal ini maka permasalahan yang timbul adalah bagaimana pengaturan persetubuhan terhadap anak menurut hukum pidana di Indonesia dan bagaimana penegakan hukum pidana yang dilakukan judex facti dalam kasus persetubuhan terhadap anak dalam Putusan Nomor 2417/Pid.B/2008-Mdn juncto Putusan Nomor 38/Pid/2009/PT-Mdn dan bagaimana penegakan hukum pidana oleh judex juris terhadap kasus persetubuhan terhadap anak dalam Putusan Nomor 1202K/Pid.Sus/2009.

Metode penelitian yang digunakan bersifat normatif preskriptif dengan pendekatan analitis serta pendekatan perundang-undangan dengan menganalisa perkara Nomor 1202K/Pid.Sus/2009. Sumber data yang digunakan adalah data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan studi dokumen kemudian menganalisis data yang diperoleh secara kualitatif dengan pemilihan teori-teori, asas-asas, norma-norma, doktrin dan pasal-pasal perundang-undangan yang relevan serta menghubungkan data-data dimaksud dengan permasalahan yang diteliti.

Pengaturan tentang persetubuhan terhadap anak diatur dalam KUHP, Undang-Undang No. 23 Tahun 2003 Tentang Perlindungan Anak serta Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Penegakan hukum pidana yang dilakukan judex facti dalam Putusan Nomor 2417/Pid.B/2008-Mdn juncto Putusan Nomor 38/Pid/2009/PT-Mdn telah sesuai dengan ketentuan hukum acara pidana, yaitu pembacaan dakwaan, pemeriksaan saksi, pemeriksaan surat, dan pemeriksaan terdakwa, tuntutan, pembelaan dan putusan. Penjatuhan hukuman didasarkan atas teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif dan menganut teori kesalahan akan tetapi tidak mempertimbangkan teori kesalahan korban. Penegakan hukum pidana oleh judex juris dalam Putusan Nomor 1202K/Pid.Sus/2009 telah sesuai dengan ketentuan hukum acara pidana dan mencerminkan teori kesalahan korban.


(19)

ABSTRACT

Law No. 23/2003 on Child Protection is initially intended to protect children and to ensure their safety by providing security for their rights. Nevertheless, sexual harassment toward children often occurs and indicates its escalation even though it is regarded as a felony. In this research, for example, it was found that sexual harassment was caused by erotic love and courting between a male adult and a female who was still very young. Therefore, the problems which arose in the research were as follows: how about the regulation on sexual harassment according to the criminal law in Indonesia, how about the enforcement of criminal law in judex facti in the case of sexual harassment toward children under the Verdict No. 2417/Pid.B/2008-Mdn, in conjunction with the Verdict No. 38/Pid/2009/PT-Mdn, and how about the enforcement of criminal law in judex juris on sexual harassment toward children under the Verdict No. 1202K/Pid.Sus/2009.

The research used perspective normative method with analytic and legal provision approaches by analyzing the case No. 1202K/Pid.Sus/2009. The source of data was secondary data which comprised primary, secondary, and tertiary legal materials. They were gathered by conducting documentary study and analyzed qualitatively by selecting relevant theories, principles, norms, doctrines, and articles in legal provisions and correlated them with the problems of the research.

Sexual harassment toward children is regulated in the Criminal Code, in Law No. 23/2003 on Child Protection, and in Law No. 23/2004 on the Abolition of Violence in Household. The enforcement of criminal law in judex facti under the Verdict No. 2417/Pid.B/2008-Mdn, in conjunction with the Verdict No. 38/Pid/2009/PT-Mdn is in line with law of criminal procedure; namely, the reading of accusation, examining witnesses, examining documents, examining defendants, indictment, advocacy, and verdict. Handing down a verdict is based on the authentication theory according to law negatively and follows fault theory although the victim’s fault is not considered. The enforcement of criminal law in judex juris under the Verdict No. 1202K/Pid.Sus/2009 is in line with law of criminal procedure and reflects the theory of the victim’s fault.


(20)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Anak merupakan amanah dan karunia dari Tuhan Yang Maha Esa yang memiliki harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya1

Anak dan dewasa adalah dua kondisi manusia yang saling membutuhkan. Sebuah siklus kehidupan yang tetap berlangsung dan bergerak, saling menopang dan berkontribusi sesuai kodrati masing-masing. Peran strategis anak dapat menyentuh sisi-sisi kehidupan berbangsa dan bernegara dan lebih jauh dari itu ialah dimensi ukhrawi bagi yang mempercayainya sesuai agamanya yaitu keberlangsungan kita setelah mati.

dengan sedikit perbedaan kondisi khusus yang secara manusiawi mesti ada (condisio sine qua non). Perbedaan itu sesungguhnya hanyalah sebatas beban kewajiban, tetapi prinsip-prinsip kemanusian lainnya tetap sama, anak sama manusiawinya dengan dewasa. All men are created equal, semua orang tercipta secara sama.

2

Secara lebih tegas Hadi Supeno3

1

Lihat bagian menimbang huruf b Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

2

Pemilihan kata “mati” dalam tulisan ini sengaja dibuat untuk menghilangkan persepsi masyarakat luas akan makna yang kasar dari kata “mati” tersebut. Kata “mati” adalah kata yang mengandung makna terhormat terbukti kata “mati” tersebut dipergunakan didalam kalimat-kalimat kitab suci Al-Qur’an dan didalam do’a-do’a yang sering dipanjatkan umat Muslim kepada Allah menandakan bahwa kata “mati” tersebut adalah sebuah kata terhormat kalau tidak tentu kata “mati” tidak pantas tertulis di dalam sebuah kitab suci dan tidak pantas diucapkan kepada Tuhan di dalam berdo’a.

3

Hadi Supeno, Kriminalisasi Anak: Tawaran Gagasan Radikal Peradilan Anak Tanpa Pemidanaan, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2010), hlm. 19-22.

menyebutkan bahwa nilai anak sangat baragam yang dapat dilihat dari sisi anak sebagai nilai sejarah, anak sebagai nilai


(21)

ekonomi dan anak sebagai nilai transenden. Perspektif anak sebagai nilai sejarah berarti anak harus meneruskan sejarah dinasti atau sejarah garis keturunan sedangkan sebagai nilai ekonomi yaitu kerena anak dipandang sebagai pembantu dalam menopang/ menyangga kehidupan ekonomi keluarga.

Teori Charles Darwin4 tentang species manusia merupakan evolusi dari hewan kera purba menjadi manusia hewan (homoerectus) kemudian menjadi manusia ternyata sebatas mitos berdasarkan realitas. Kontinuitas manusia akan terjamin hanya dengan kehadiran anak, tanpanya berarti kepunahan. Pelestarian kontinuitas itu karenanya syarat mutlak yang sangat diperlukan (sine qua non), patutlah kemudian jika Hadi Supeno5

Upaya yang dilakukan oleh negara dalam melindungi anak diantaranya adalah dengan membuat berbagai peraturan perundang-undangan. Anak dengan demikian yang dimaksud disini adalah bukan dalam pengertian anak keturunan berdasarkan hubungan anak dengan orang tuanya (karena jika itu yang dimaksud maka setiap orang dapat disebut sebagai anak berapapun usianya bagi ayahnya) tetapi anak dalam

menyatakan bahwa “berbicara soal perlindungan anak bukan sekedar bicara anak dalam kajian psikologis, pedagogis atau sosiologis, lebih dari itu semua, bicara soal perlindungan anak berarti bicara soal kelangsungan hidup sebuah komunitas, berbicara tentang rancang bangun sosial masa depan”.

4

Teori ini tertuang dalam buku karangan Charles Darwin berjudul The Origin of Species terbit tahun 1859 dan The Origin of Men terbit tahun 1871. Lihat Muhammad Qutub, Evolusi Moral, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1995), hlm. 26.

5


(22)

artian yuridis secara umum yaitu seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun termasuk anak dalam kandungan.6

Sebagai puncak upaya perlindungan anak, secara responsif dan progressif pemerintah menetapkan pula Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak (untuk selanjutnya dalam penelitian ini akan disingkat Undang-Undang Perlindungan Anak) ditetapkan dan diundangkan di Jakarta pada tanggal 22 Oktober 2002 dalam Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2002 Nomor 109 sebagai payung hukum yang secara positif berlaku sejak tahun 2003 yang pada pokoknya juga bertujuan untuk mewujudkan perlindungan dan kesejahteraan anak

Mewujudkan upaya negara dalam melindungi anak sesungguhnya telah dimulai sejak tahun 1979 bertepatan sebagai tahun yang ditetapkan sebagai ”Tahun Anak Internasional” dimana pemerintah telah menetapkan sebuah peraturan untuk meletakkan anak-anak dalam sebuah lembaga proteksi yang cukup aman, yaitu Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak yang pada pokoknya bertujuan menjamin kesejahteraan anak. Langkah pemerintah selanjutnya adalah menetapkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang diharapkan dapat membantu anak yang berada dalam proses hukum tetap terjamin dan terlindungi untuk mendapatkan hak-haknya.

6

Setiap negara memiliki definisi berbeda tentang anak. Batas umur di bawah 18 tahun dianut dalam Convention on the Right of The Child (CRC) atau Konvensi Hak Anak menetapkan definisi anak berarti manusia di bawah umur 18 tahun, UU No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak juga menetapkan batas umur dibawah 18 tahun dan belum pernah kawin, UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menetapkan hal yang sama, kecuali UU No. 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak yang menentukan umur 21 tahun dan belum pernah kawin.


(23)

sebagai penerus generasi bangsa yang harus dijamin hak-haknya dan perlindungannya dari segala bentuk kekerasan dan diskriminasi.

Merujuk kepada kata-kata “perlindungan” berdasarkan adagium titulus est lex

(judul perundang-undanganlah yang menentukan) maka kebijakan aplikasi dan eksekusi undang-undangnya haruslah dibaca, dimaknai dan dipahami sebagai sebuah undang-undang yang berpihak pada semangat perlindungan anak.7

Melindungi anak dalam segala bentuknya pada hakikatnya berarti melindungi diri sendiri, keluarga, masyarakat dan negara bahkan manusia secara universal. Berdasarkan Penjelasan Undang-Undang Perlindungan Anak bagian Umum alinea kedua sampai keenam dinyatakan bahwa pembentukan undang-undang ini didasarkan pada pertimbangan bahwa perlindungan anak dalam segala aspeknya merupakan bagian dari kegiatan pembangunan nasional, khususnya dalam memajukan kehidupan berbangsa dan bernegara. Orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara bertanggung jawab untuk menjaga dan memeliharanya sebagai sebuah rangkaian Instrumen regulasi di atas tidak saja berhenti ditingkat undang-undang tetapi komitmen perlindungan anak yang lebih tegas bahkan diletakkan setingkat konstitusi yaitu tepatnya Amandemen UUD RI 1945 pada Pasal 28B ayat (2) yang berbunyi: ”Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.

7

Asas-asas penting dalam upaya perlindungan anak adalah: a) non diskriminasi; b) kepentingan terbaik bagi anak; c) hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan; d) penghargaan terhadap pendapat anak. Lihat Penjesalan UU Perlindungan Anak alinea keenam.


(24)

kegiatan yang dilaksanakan secara terus menerus yang dimulai sedini mungkin sejak dari janin.

Sejak lahirnya Undang-Undang Perlindungan Anak maka sejak saat itu segala bentuk perlindungan terhadap anak dan pelanggaran terhadapnya telah terformulasikan secara baik dalam undang-undang tersebut dan karenanya menjadi domain8 hukum yang pengaturannya dan penerapannya harus berdasarkan undang-undang tersebut. Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.9 Perlindungan anak yang dimaksud dalam Undang-Undang Perlindungan Anak dapat dikatakan sebagai perlindungan yang diberikan dan dijamin oleh hukum sehingga dapat dikatakan juga sebagai perlindungan hukum terhadap anak. Maidin Gultom10 menyatakan, perlindungan anak adalah segala usaha yang dilakukan untuk mencipakan kondisi agar setiap anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya demi perkembangan dan pertumbuhan anak secara wajar baik fisik, mental dan sosial. Arif Gosita11

8

Yan Pramadya Puspa, Kamus Hukum Edisi Lengkap Bahasa Belanda Indonesia Inggris, (Semarang: Aneka Ilmu, 1977), hlm. 324. Domain bermakna wilayah.

9

Pasal 1 angka 2 UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. 10

Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2010), hlm. 33.

11

Arif Gosita, Masalah Perlindungan Anak, (Jakarta: Akademi Pressindo, 1989), hlm. 53. mengatakan bahwa hukum perlindungan anak adalah hukum (tertulis maupun tidak


(25)

tertulis) yang menjamin anak benar-benar dapat melaksanakan hak dan kewajibannya.

Anak adalah tunas, potensi dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan.12 Perlindungan kearah yang konstruktif semakna dengan perlindungan tunas, potensi dan upaya perwujudan cita-cita generasi muda untuk perjuangan bangsa dan negara tetapi sebaliknya “pemanfaatan” secara menyimpang terhadap anak apapun itu termasuk eksploitasi seksual adalah semakna dengan destruksi terhadap tunas, tindakan impotensi, mematikan cita-cita perjuangan generasi muda dan ancaman kontinuitas eksistensi13

Meskipun perlindungan anak telah diletakkan dalam sebuah tataran yuridis normatif positif (fakta yuridis), tidak dapat dipungkiri bahwa tindakan-tindakan negatif terhadap anak masih saja marak terjadi jika tidak dapat dikatakan makin memanas (fakta empiris). Tindakan-tindakan negatif dimaksud seperti penelantaran, penyiksaan, diskriminasi, pencabulan, persetubuhan hingga pemerkosaan terhadap anak setiap hari menempati arus utama berita disamping tindakan korupsi dan penyalahgunaan psikotropika dan narkotika. Statistik secara realistik menunjukkan masa depan bangsa dan negara.

12

Lihat bagian menimbang huruf c Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

13

Kata eksistensi dapat digunakan dalam arti umum untuk menandakan “apa yang ada”, misalnya dikatakan: eksistensi negara Indonesia. Akan tetapi dalam kalangan sarjana-sarjana filsafat kata eksistensi lazim digunakan untuk menandakan keberadaan manusia saja, yakni cara manusia berada di dunia sebagai subjek yang konkrit. Lihat Theo Huijbers, Filsafat Hukum, (Yogyakarta: Kanisius, 1995), hlm. 51.


(26)

fakta itu. Penjatuhan hukuman bagi pelaku tindakan-tindakan dimaksud bahkan telah menyesakkan lembaga pemasyarakatan namun tindakan-tindakan negatif serupa selalu terulang kembali. Efektifitas hukum kembali dipertanyakan, teori-teori penjatuhan hukuman-pun kembali terkoreksi. Regulasi yang ada dengan berbagai harapannya ibarat panggang jauh dari api, persetubuhan terhadap anak tidak tereliminasi bahkan meminimalisasinya seperti terlalu utopis untuk jadi realis. Intensitasnya semakin tinggi. Anak terkesan barang produksi layak konsumsi.

Eskalasi tindakan persetubuhan terhadap anak disinyalir karena pengaruh jejaring sosial, situs-situs porno lewat internet, pornografi, pornoaksi dan gaya hidup hippis dan serba permisif, tetapi ada satu pendapat yang paling tidak terbantahkan tingkat kebenarannya adalah bahwa korban sendirilah yang merupakan faktor kriminogen (turut menjadi penyebab terjadinya kejahatan berupa persetubuhan) atau dalam perspektif viktimologi14 sering disebut victim precipitation. Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Cianjur, Jakarta Barat, telah merekam kasus kekerasan terhadap anak meningkat bahkan tendensius dari tahun ke tahun dan sepanjang tahun 2012 tercatat kasus pencabulan dan persetubuhan terhadap anak sebanyak 52 kasus.15

14

Viktimologi dari kata victim (korban) dan logi (ilmu pengetahuan), bahasa Latin victim (korban) dan logos (ilmu pengetahuan). secara sederhana viktimologi/ victimology artinya ilmu pengetahuan tentang korban kejahatan. Lihat Bambang Walyuo, Viktimologi: Perlindungan Korban & Saksi, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hlm. 9.

Statistik yang sama juga terjadi di Bali yang bahkan salah

15

diakses tanggal 15-02-2013.


(27)

satu pelakunya anggota Polri,16 di Kutai Kartanegara Kalimantan Timur juga tidak berbeda yang justeru salah satu pelakunya adalah ayah kandung,17 di Samarinda berdasarkan rekapitulasi data Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) Polresta Samarinda, pada periode Januari hingga November 2012 kekerasan terhadap anak tercatat 78 kasus dan terbanyak adalah kasus persetubuhan, yakni 21 kasus yang salah satu kasusnya adalah persetubuhan oleh ayah tiri terhadap anak tirinya 13 tahun dengan repetisi 3 (tiga) kali perminggu selama 5 bulan,18di Kabupaten Tuban ditemukan data bahwa sejak awal tahun 2012 kasus persetubuhan di kalangan remaja jumlahnya terus mengalami peningkatan,19 di Depok menurut data Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polres Depok, rata-rata terdapat 10 kasus persetubuhan remaja di bawah umur setiap bulan bahkan jumlah itu terus meningkat, dimana pihak perempuan masih berusia 12 hingga 17 tahun, sementara pihak pria berumur sama atau bahkan sudah usia dewasa. Uniknya perbuatan itu rata-rata karena pergaulan bebas, usianya SMP bahkan ada yang SD, umumnya suka sama suka tanpa kekerasan hanya bermodus bujuk rayu dan janji rasa sayang.20

Provinsi Sumatera Utara sendiri lewat Ketua Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Yuniyanti Chuzaifah menyatakan bahwa

16

17

18

diakses tanggal 15-02-2013. 19

20


(28)

di Indonesia selama 10 tahun hingga 2010, tercatat ada 295.836 total kasus kekerasan terhadap perempuan dan dari jumlah itu, sebanyak 91.311 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan, dan “Sumatera Utara merupakan daerah 10 besar yang kasus kekerasan terhadap perempuannya tertinggi,” ucapnya.21 Secara umum Provinsi Sumatera Utara sebagai peringkat pertama dalam kasus kekerasan terhadap anak sepanjang 2012 karena tercatat 38 % kekerasan anak di Indonesia terjadi di Sumut menyusul di bawahnya Provinsi Nusa Tenggara Timur yang menyumbang 28 % kemudian provinsi lain termasuk Jabodetabek.22 Indonesia sendiri menurut Komisi Perlindungan Anak Indonesia menemukan banyak aduan kekerasan pada anak pada tahun 2010. Dari 171 kasus pengaduan yang masuk, sebanyak 67,8 persen terkait dengan kasus kekerasan diantaranya adalah kasus kekerasan seksual yaitu sebesar 45,7 persen (53 kasus).23

Gejala tindakan-tindakan negatif di atas tidak saja regional tetapi juga universal. Afrika Selatan misalnya adalah tempat kasus pemerkosaan terbesar di dunia, pelecehan seksual terhadap anak di Amerika Serikat diperkirakan menembus angka 8 % hingga 71 % dan menurut Departemen Pendikan Amerika Serikat hampir 9,6 % dari siswa menjadi target tindak kejahatan seksual oleh pendidik kadang selama masa sekolah mereka, di Inggris pelecehan seksual terhadap anak mencapai

21

22

23 Ibid.


(29)

12 %, Finlandia berdasarkan survey tahun 1992 mengungkap kasus insestual24 yang sangat menyolok, di Taiwan berdasarkan satu survei, 2,5% dari remaja Taiwan melaporkan telah mengalami pelecehan seksual pada masa kanak-kanak, di India pelecehan seksual terhadap anak mencapai 53,22 %.25

Keseluruhan data di atas diasumsikan lebih kecil dari fakta yang sebenarnya yang diduga mancapai 10 kali lipat karena tidak semua kasus dapat diketahui atau dilaporkan sehingga data yang sebenarnya tetap menjadi terra incognita (wilayah gelap yang tidak diketahui pastinya). Artinya angka-angka di atas adalah kalkulasi batas prediksi bukan presisi sehingga masih merupakan posisi dark number crime.26

Persetubuhan merupakan istilah yuridis yang dalam ilmu biologi lebih umum dikenal dengan istilah senggama. Persetubuhan adalah peraduan antara anggota kemaluan laki-laki dan perempuan yang biasa dijalankan untuk mendapatkan anak, jadi anggota (kemaluan) laki-laki harus masuk kedalam anggota (kemaluan) Merujuk angka di atas tidaklah berlebihan jika sementara pemerhati menyatakan bahwa kekerasan terhadap anak dalam segala bentuknya benar-benar berada pada level kode merah (code red) termasuk diantaranya persetubuhan terhadap anak.

24

Insestual berasal dari kata inses yang berarti hubungan seksual atau perkawinan antara dua orang yang bersaudara kandung yang dianggap melanggar adat, hukum atau agama. Lihat Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008), hlm. 539. Kata inses sehari-hari lebih dikenal dengan sebutan sumbang.

25

2013.

26

Dark number crime dimaknai sebagai angka kajahatan yang belum diketahui jumlah pastinya.


(30)

perempuan, sehingga mengeluarkan air mani sesuai dengan Arrest Hooge Raad 5 Pebruari 1912 (W.9292).27

Persetubuhan yang dimaksud dalam penelitian ini umumnya dimaknai sebagai perbuatan suka sama suka dan tanpa paksaan/ kekerasan sebagai lawan dari persetubuhan dengan paksaan/ ancaman dan tanpa kerelaan yang lebih dikenal sebagai pemerkosaan. Adanya unsur suka-sama suka, tanpa paksaan dan kekerasan sebagai dasar persetubuhan, jika merujuk pendapat Haskel dan Yablonsky

28

itu tidak termasuk kategori kejahatan kekerasan, sebab yang menjadi dasar kategori kejahatan kekerasan menurut keduanya adalah pembunuhan (murder), perkosaan dengan penganiayaan (forcible rape), perampokan (robbery) dan penganiayaan berat (aggravated assault). Hal senada juga dianut oleh Clinard dan Quinney29

Salah satu isu paling destruktif diantara isu-isu lainnya yang terkait dengan anak adalah perbuatan persetubuhan terhadap anak yang dilakukan oleh pelaku yang umumnya telah berumur dewasa ataupun dalam kasus-kasus tertentu juga dilakukan oleh sesama anak. Ajaran agama Islam memandang persetubuhan atas dasar suka yang menyatakan bahwa kejahatan kekerasan meliputi perbuatan yang berakibat luka-luka secara fisik seperti pembunuhan (homicide), penganiayaan berat (aggravated assault), perkosaan dengan kekerasan (forcible rape).

27

R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, (Bogor: Politeia, 1994), hlm. 209.

28

Martin R. Haskel & Lewis Yablonsky, dalam Mahmud Mulyadi, Criminal Policy: Pendekatan Integral Penal Policy dan Non-Penal Policy dalam Penanggulangan Kejahatan Kekerasan, (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2008), hlm. 34.

29


(31)

sama suka diluar pernikahan adalah perzinahan terlepas apakah salah satu pelakunya atau keduanya terikat perkawinan atau tidak dengan orang lain.30

Persetubuhan pada dasarnya bukanlah perbuatan yang berkonotasi negatif tetapi perbuatan yang produktif positif bagi manusia bahkan hewan untuk kelangsungan eksistensi hidup. Persetubuhan adalah perbuatan biologis yang dapat bernilai positif dan juga negatif. Positifnya adalah ketika perbuatan itu dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum, budaya ataupun agama tetapi negatifnya adalah ketika perbuatan itu terjadi secara menyimpang dari koridor hukum, budaya dan agama. Persetubuhan dengan demikian menjadi tindakan yang tergolong profan31

Terminologi persetubuhan adalah terminologi yang secara tegas dipakai dalam Undang-Undang Perlindungan Anak pada Pasal 81 sehingga persetubuhan adalah telah menjadi terminologi hukum dalam Undang-Undang dimaksud. Persetubuhan adalah delik (tindak pidana) yang tergolong kedalam delik kesusilaan. Delik kesusilaan adalah delik yang berhubungan dengan (masalah) kesusilaan.

dan ilegal ketika di dalamnya ada motivasi dan deviasi yang kontra dengan hukum, budaya dan agama.

32

30

Neng Djubaedah, Perzinaan dalam Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia Ditinjau dari Hukum Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), hlm. 119.

31

Profan berarti tidak bersangkutan dengan agama atau tujuan keagamaan ; lawan sakral, tidak kudus karena tercemar, kotor atau tidak suci. Lihat Departemen Pendidikan Nasional, Op.Cit, hlm. 1104.

32

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2002), hlm. 265.

Persetubuhan dengan demikian dapat dikatakan sebagai pelanggaran atas nilai-nilai kesusilaan dan karenanya juga dikatakan sebagai pelanggaran hukum, sebab


(32)

dikatakan, tulis Barda Nawasi Arief33 bahwa hukum itu sendiri pada hakikatnya merupakan nilai-nilai kesusilaan yang minimal (das recht ist das ethische minimum) sedangkan hukum pidana beranjak dari suatu “batas etik minimum”.34

Persetubuhan terhadap anak potensial mengancam hak-hak anak secara keseluruhan yang pada akhirnya mengancam kepentingan psycologis, ekonomis, sosial, moralitas, agama dan kultur (budaya) tidak saja anak an sich tetapi dalam skala yang lebih massif yaitu bangsa dan negara bahkan lintas negara (internasional). Mengingat alasan inilah kemudian dalam Undang-Undang Perlindungan Anak persetubuhan terhadap anak diancam dengan sanksi berat yaitu diancam dengan hukuman35 penjara minimal 3 (tiga) tahun, maksimal 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp. 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah). Persetubuhan terhadap anak dengan demikian telah menjadi perbuatan yang dapat dipidana/ tindak pidana. Tindak pidana adalah perilaku yang pada waktu tertentu dalam konteks suatu budaya dianggap tidak dapat ditolelir dan harus diperbaiki dengan mendayagunakan sarana-sarana yang disediakan oleh hukum pidana. Perilaku atau perbuatan tersebut dapat berupa gangguan atau menimbulkan bahaya terhadap kepentingan atau objek hukum tertentu.36

33 Ibid. 34

Jan Remmelink, Hukum Pidana: Komentar atas Pasa-Pasal Terpenting dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Penerapannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003), hlm. 25.

35

Hukuman adalah penamaan umum bagi semua akibat hukum karena melanggar suatu norma hukum. Lihat E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, (Jakarta: Storia Grafika, 2002), hlm. 12.

36


(33)

Putusan Mahkamah Agung Nomor: 1202 K/PID.SUS/2009 tanggal 22 Juni 2009 adalah sebuah perkara yang berkaitan dengan perbuatan persetubuhan yang dilakukan seorang laki-laki bernama BHZ berumur 21 (dua puluh satu) tahun terhadap anak perempuan bernama VP yang telah berusia 17 (tujuh belas) tahun, atas dasar hubungan pacaran, suka-sama suka tanpa paksaan. Pengadilan Negeri Medan menyatakan perbuatan BHZ (terdakwa) terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana dengan sengaja membujuk anak untuk melakukan persetubuhan sehingga menjatuhkan pidana penjara selama 12 (dua belas) tahun dan denda Rp. 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah) subsider 6 (enam bulan) kurungan sebagaimana tertuang dalam Putusan Nomor: 2417/Pid.B/2008/PN-Mdn tanggal 18 Desember 2008, hukuman mana kemudian dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Medan dalam Putusan Nomor: 38/Pid/2009/PT.MDN tanggal 5 Pebruari 2009 dan ditingkat kasasi hukuman itu dikurangi menjadi pidana pejara selama 4 (empat) tahun dan denda Rp. 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah) subsider 6 (enam bulan) kurungan.

Sewaktu pemeriksaan ditingkat Pengadilan Negeri Medan BHZ tidak didampingi penasihat hukum padahal ancaman hukuman atas perbuatan yang didakwakan yaitu Pasal 81 ayat (2) dan Pasal 82 Undang-Undang Perlindungan Anak dengan ancaman penjara minimal 3 (tiga) tahun maksimal 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp. 60.000.000,- (enam puluh juga rupiah) dan paling banyak Rp. 300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah) serta Pasal 293 ayat (1) KUHP ancaman pidana penjara maksimal 5 (lima) tahun.


(34)

Level ancaman hukuman yang didakwakan telah memenuhi ketentuan Pasal 56 ayat (1) KUHAP yang menegaskan :

Dalam hal tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana lima belas tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasihat hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasihat hukum bagi mereka.

Merujuk ketentuan Pasal 56 ayat (1) KUHAP di atas, Pengadilan Negeri Medan yang memeriksa dan mengadili perkara dimaksud tanpa penasihat hukum adalah melanggar ketentuan hukum acara (undue process) yang terklasifikasi sebagai pelanggaran hak asasi terdakwa untuk diperiksa secara adil dan simbang di depan pengadilan disamping pembelaan diri secara maksimal sulit untuk terwujud. Penjatuhan pidana penjara selama 12 tahun dalam penilaian terdakwa tidak mencerminkan keadilan sehingga kemudian menjadi alasan tersendiri bagi keluarganya mendatangi kantor advokat dan meminta agar perkara tersebut dilakukan pembelaan melalui upaya hukum yang tersisa.37

Penasehat hukum terdakwa kemudian melakukan upaya hukum banding dan kasasi.

38

37

Kantor dimaksud adalah Lembaga Bantuan Hukum dan Perlindungan Konsumen (LBH-PK) “PERSADA”, tempat peneliti waktu itu bekerja sebagai advokat yang beralamat di Jalan Mesjid Raya Baru No. 5 Medan.

38

Upaya hukum adalah hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan yang dapat berupa banding atau kasasi atau hak terpidana untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali terhadap putusan pengadilan dalam hal-hal serta menurut cara-cara yang diatur dalam undang-undang. Lihat Redaksi Asa Mandiri, Pedoman Pelaksanaan KUHAP, (Jakarta: Penerbit Asa Mandiri, 2007), hlm. 17. Bandingkan dengan Pasal 1 angka 12 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Keberatan penasehat hukum dalam upaya hukum dimaksud adalah seputar pelanggaran proses hukum acara karena tidak didampingi penasehat hukum dan berat


(35)

ringannya penjatuhan hukuman (strafmaat) yang dianggap kurang mempertimbangkan fakta-fakta yang terungkap di depan persidangan diantaranya fakta seputar kematangan kognitif/ berfikir korban untuk dibujuk melakukan persetubuhan tanpa paksaan, berkali-kali dan atas dasar hubungan asmara serta adanya upaya damai dari pihak keluarga terdakwa. Terdakwa menilai bahwa sesungguhnya korban merupakan faktor kriminogen, berkontribusi dan memprovokasi sehingga turut menimbulkan tindakan persetubuhan yang seharusnya dinilai sama salahnya dengan terdakwa. Keberatan ini pada akhirnya mendapat pertimbangan dari Mahkamah Agung sehingga pada akhirnya terdakwa dijatuhi pidana penjara selama 4 (empat) tahun.

Putusan Mahkamah Agung ini menarik karena terkandung di dalamnya pertimbangan hukum (motivering) yang mengandung ekstra juridis karena mempertimbangkan fakta-fakta sebagai alasan yang kemudian memperingan hukuman terdakwa, yang lazimnya pertimbangan fakta-fakta itu adalah domain judex factie.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, penulis tertarik dan terdorong untuk membahas persoalan ini menjadi sebuah penelitian tesis dengan judul “Penegakan Hukum Pidana Terhadap Pelaku Persetubuhan Pada Anak (Analisis Terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor: 1202 K/PID.SUS/2009”.


(36)

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, perumusan masalah dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimanakah pengaturan tentang tindak pidana persetubuhan terhadap anak menurut hukum pidana di Indonesia?

2. Bagaimanakah penegakan hukum pidana oleh hakim judex factie terhadap kasus persetubuhan kepada anak dalam Putusan Nomor: 2417/Pid.B/2008/PN-Mdn

juncto Putusan Nomor: 38/Pid/2009/PT.MDN ?

3. Bagaimanakah penegakan hukum pidana oleh hakim judex juris terhadap kasus persetubuhan kepada anak dalam Putusan Nomor: 1202 K/Pid.Sus/2009?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan di atas maka penelitian ini bertujuan menelaah hal-hal berikut yaitu untuk :

1. Mengetahui pengaturan tindak pidana persetubuhan terhadap anak menurut hukum pidana di Indonesia.

2. Mengetahui dan menganalisis proses penegakan hukum oleh hakim judex factie

terhadap kasus persetubuhan kepada anak dalam Putusan Nomor: 2417/Pid.B/2008/PN-Mdn juncto Putusan Nomor: 38/Pid/2009/PT.MDN.


(37)

3. Mengetahui dan menganalisis proses penegakan hukum oleh hakim judex juris

terahadap kasus persetubuhan kepada anak dalam Putusan Nomor: 1202 K/Pid.Sus/2009.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sejumlah manfaat kepada semua pihak baik secara teoritis, akademis, terlebih secara praktis, setidaknya manfaat tersebut adalah :

1. Secara Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menyumbang sedikit masukan bagi para pembentuk undang-undang (legislatif), pemerintah (eksekutif), dan bagi akademisi untuk pengembangan teori ilmu hukum khususnya hukum pidana dan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan hal ihwal anak demi mencapai perlindungan dan kesejahteraan masyarakat.

2. Secara Praktis

Penelitian ini sesungguhnya lebih diharapkan memberikan manfaat kepada para penegak hukum yang terdiri dari polisi, jaksa, hakim dan advokat39

39

Berdasarkan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat menyatakan: Advokat berstatus sebagai penegak hukum, bebas dan mandiri yang dijamin oleh hukum dan peraturan perundang-undangan.

sebagai aparat yang secara langsung potensial berhadapan dengan kasus-kasus serupa, tetapi tanpa mengurangi nilai manfaatnya bagi pemerhati/ pemangku kepentingan seperti lembaga atau komisi yang bergerak dibidang anak termasuk terutama sekali keluarga


(38)

sebagai pilar pertama dan utama untuk lebih memberikan atensi, pengawasan dan perlindungan terhadap segala aktifitas anak.

E. Keaslian Penulisan

Guna menghindari terjadinya duplikasi penelitian terhadap masalah yang sama, maka sebelumnya telah dilakukan penelusuran di perpustakaan Universitas Sumatera Utara dan di Perpustakaan Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Hasil penelusuran dimaksud tidak menemukan judul penelitian/ tesis yang memiliki kesamaan atau kemiripan judul dan permasalahan yang sama sebagaimana penelitian ini.

Berdasarkan penelusuran di Perpustakaan Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ditemukan bebarapa Judul Thesis terdahulu yang membahas seputar tindak pidana kesusilaan terhadap anak yaitu :

1. Rosmarlina Sembiring, dengan Judul “Perlindungan Hukum Terhadap Anak Akibat Kejahatan Kesusilaan (Studi Kasus di Wilayah Hukum Kejaksaan Negeri Tarutung di Tapanuli Utara)”.

2. Nanci Yosepin Simbolon, dengan Judul “Penanggulangan dan Perlindungan Hukum Terhadap Anak sebagai Korban Eksploitasi Seks Komersial Anak”.

3. Hanan, dengan Judul “Penanggulangan Kejahatan Eksploitasi Seksual Secara Komersial Terhadap Anak di Kabupaten Asahan”.


(39)

4. Melita Berliana Br Meliala, dengan Judul “Penanggulangan Tindak Pidana Perbuatan Cabul Terhadap Anak Dalam Sudut Kebijakan Hukum Pidana (Studi di Kota Medan)”.

5. Erwin Erizal, dengan Judul “Kebijaksanaan Hakim Dalam Perlindungan Korban Pada Kejahatan Pencabulan Anak di Pengadilan Negeri Medan”.

6. Bob Sadiwijaya, dengan Judul “ Penegakan Hukum Pidana Dalam Tindak Pidana Pencabulan Terhadap Anak (Studi Putusan No. 396/Pid.B/2012/PN-LP di Pengadilan Negeri Lubuk Pakam)”.

Meskipun demikian, substansi permasalahan dan penyajian dari penelitian ini memiliki perbedaan dengan tesis-tesis tersebut di atas. Hal ini sangat logis mengingat objek penelitian tesis ini adalah spesifik Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 1202 K/Pid.Sus/2009. Oleh karena itu, judul dan substansi pembahasan permasalahan penelitian ini, otentikasinya tergaransi dan jauh dari unsur plagiat.

F. Kerangkan Teori Dan Landasan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Kerangka secara etimologis bermakna garis besar atau rancangan.40 Teori secara bahasa adalah pendapat yang didasarkan pada penelitian dan penemuan, didukung oleh data dan argumentasi.41

40

Departemen Pendidikan Nasional, Op.Cit, hlm. 675. 41

Ibid, hlm. 1444.


(40)

ilmiah yang digunakan dalam penelitian sebagai dasar analisis data.42 Kata teori

berasal dari kata theoria yang artinya pandangan atau wawasan.43 Theoria juga dapat bermakna sebagai pengetahuan dan pengertian terbaik.44 Pada umumnya, teori diartikan sebagai pengetahuan yang hanya ada dalam alam pikiran tanpa dihubungkan dengan kegiatan-kegiatan yang bersifat praktis untuk melakukan sesuatu.45 Teori adalah keseluruhan pernyataan (klaim, beweringen) yang saling berkaitan.46 Menurut Solly Lubis, kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, thesis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan perbandingan atau pegangan toritis.47

Tujuan hukum adalah tata tertib masyarakat yang damai dan adil.

48

Hukum dapat terdiri dari hukum tertulis49 dan tidak tertulis50

42

Ibid, hlm. 675. 43

Sudikno Mertokusumo, Teori Hukum, (Yokyakarta: Cahaya Atma Pustaka, 2012), hlm. 4.

44

Bernad L. Tanya, Yoan N. Simanjuntak dan Markus Y. Hage, Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang Dan Generasi, (Yogyakarta: Genta Publishing, 2010), hlm. 41.

45

Sudikno Mertokusumo, Loc.Cit. 46

J.J. H. Bruggink alih bahasa oleh Arief Sidharta, Refleksi Tentang Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1999), hlm. 2.

47

M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung: Mandar Maju, 1994), hlm. 27. 48

L.J. van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 2001), hlm. 16.

49

Umumnya hukum tertulis itu tertuang dalam bentuk Peraturan Perundang-undangan. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan pada pasal 1 angka (2) disebutkan bahwa Peraturan perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Sedangkan pada pasal 7 ayat (1) disebutkan: Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas: a) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; c) Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; d) Peraturan Pemerintah; e) Peraturan Presiden; f) Peraturan Daerah Provinsi; g) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

. Proses untuk mewujudkan

50

Hukum tidak tertulis (unstatutery law/ unwritten law) yaitu hukum yang dalam kenyataan masih hidup dalam keyakinan dan pergaulan masyarakat tetapi tidak tertulis namun berlakunya ditaati (living law). Lihat C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai


(41)

keinginan-keinginan hukum menjadi suatu kenyataan disebut sebagai penegakan hukum.51 Penegakan hukum adalah suatu proses dilakukannya upaya penerapan norma-norma hukum secara nyata agar hukum dapat berfungsi dan ditegakkan sebagai pedoman perilaku dalam hubungan-hubungan hukum dalam hidup bermasyarakat dan bernegara, baik oleh masing-masing warga negara maupun aparat penegak hukum yang mempunyai tugas dan wewenang berdasarkan undang-undang.52

Pustaka, 1986), hlm. 70. Bandingkan dengan Hasim Purba, Suatu Pedoman Memahami Ilmu Hukum, (Medan: CV. Cahaya Ilmu, 2006), hlm. 127.

51

Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum: Suatu Tinjauan Sosiologis, (Yogyakarta: Genta Publishing, 2009), hlm. 24.

52

Frans H. Winarta, Evaluasi Peranan Profesi Advokat Dalam Pemberantasan Korupsi, dimuat dalam Majalah Desain Hukum, Vol. 11 No. 10, Edisi November-Desember, 2011, hlm. 17.

Penelitian ini berkaitan dengan proses penegakan hukum pidana terhadap pelanggaran norma-norma hukum pidana khususnya persetubuhan terhadap anak atas dasar suka sama suka dan tanpa paksaan. Tidak ada hukuman tanpa kesalahan merupakan asas penting dalam hukum pidana untuk sampai kepada penjatuhan hukuman bagi seorang yang didakwa melakukan tindak pidana. Kesalahan tidaklah otomatis selalu harus dianggap ada dalam setiap terjadinya suatu tindak pidana, tetapi haruslah dibuktikan terlebih dahulu, karena itu untuk sampai kepada pemidanaan maka pembuktian terhadap kesalahan itu haruslah terlebih dahulu dilakukan. Mengingat itu maka teori pembuktian beserta teori kesalahan dan teori kesalahan korban memiliki relevansi yang urgen dengan penelitian ini.


(42)

M. Yahya Harahap53 menulis bahwa “pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan dalam proses pemeriksanaan sidang pengadilan. Melalui pembuktian ditentukan nasib terdakwa”. Secara lebih umum, tulis R. Subekti,54

Pembuktian (proof) dapat diartikan sebagai penetapan kesalahan terdakwa berdasarkan alat bukti, baik yang ditentukan oleh undang-undang, maupun diluar undang-undang sedangkan bukti (bewijs: evidence) yaitu hal yang menunjukkan kebenaran, yang diajukan oleh penuntut umum, atau terdakwa, untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan.

fungsi pembuktian memiliki arti penting atau hanya diperlukan jika terjadi persengketaan atau perkara di pengadilan.

55

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia,56

53

M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), (selanjutnya disingkat M. Yahya Harahap I), hlm. 273.

54

R. Subekti, Hukum Pembuktian, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2008), hlm. 7. 55

Andi Hamzah, Terminologi Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), (selanjutnya disingkat Andi Hamzah I), hlm. 27.

56

Departemen Pendidikan Nasional, Op.Cit, hlm. 217-218.

pembuktian diartikan sebagai: 1) proses, cara, perbuatan atau cara membuktikan; 2) usaha menunjukkan benar atau salahnya si terdakwa dalam sidang pengadilan, sedangkan membuktikan diartikan sebagai: 1) memperlihatkan bukti, meyakinkan dengan bukti; 2) mendandakan, menyatakan kebenaran sesuatu dengan bukti; 3) menyaksikan dan bukti adalah sesuatu yang menyatakan kebenaran suatu peristiwa, keterangan nyata. Arti alat bukti

dengan demikian adalah alat yang berguna untuk menyatakan kebenaran suatu peristiwa.


(43)

Pembuktian merupakan titik sentral pemeriksaan perkara dalam sidang pengadilan dan merupakan ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa dan juga ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang yang boleh dipergunakan hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan.57 Pembuktian merupakan perbuatan membuktikan. Membuktikan berarti memberi atau memperlihatkan bukti, melakukan sesuatu sebagai kebenaran, melaksanakan, menandakan, menyaksikan, dan meyakinkan.58

Pengertian pembuktian dalam ilmu hukum59 secara lebih luas sebagaimana yang dinyatakan oleh Munir Fuady60

Merujuk uraian diatas dapat diketahui bahwa ada perbedaan prinsipil antara bukti, membuktikan dan pembuktian yaitu bahwa bukti merujuk pada alat bukti

adalah :

Suatu proses, baik dalam acara perdata, acara pidana, maupun acara-acara lainnya, dimana dengan menggunakan alat-alat bukti yang sah, dilakukan tindakan dengan prosedur khusus, untuk mengetahui apakah suatu fakta atau pernyataan, khususnya fakta atau pernyataan yang dipersengketakan di pengadilan yang dianjukan dan dinyatakan oleh salah satu pihak dalam proses pengadilan itu benar atau tidak seperti yang dinyatakan itu.

57

M. Yahya Harahap I , Loc.Cit. 58

Soedirjo, Jaksa dan Hakim dalam Proses Pidana, (Jakarta: CV. Akademika Pressindo, 1985), hlm. 47.

59

Ilmu hukum atau disebut juga ajaran hukum (rechtsleer) atau disebut juga dogmatic hukum yaitu mempelajari hukum positif (jus constitutum) atau hukum yang berlaku disuatu tempat dan pada waktu sekarang. Ilmu hukum adalah teorinya hukum positif atau teorinya praktik hukum. Ilmu hukum bersifat normatif dan mengandung nilai serta bersifat praktis-konkrit. Sedangkan Teori Hukum adalah teorinya Ilmu Hukum, atau dengan kata lain Ilmu Hukum adalah objek Teori Hukum. Lihat Sudikno Mertokusumo, Op.Cit, hlm. 3.

60

Munir Fuady, Teori Hukum Pembuktian (Pidana dan Perdata), (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2006), hlm. 1-2.


(44)

termasuk barang bukti61 yang menyatakan kebenaran suatu peristiwa sementara pembuktian dan membuktikan merujuk pada suatu proses atau cara untuk mengumpulkan bukti, memperlihatkan bukti sampai pada penyampaian bukti tersebut di sidang pengadilan.62

Hukum yang mengatur perihal alat bukti, pembuktian dan membuktikan disebut sebagai hukum pembuktian. Hukum pembuktian merupakan terminologi universal sehingga merupakan pengertian dan penggunaannya sifatnya umum dalam seluruh lapangan hukum baik hukum pidana, hukum perdata maupun hukum administrasi. Menurut Munir Fuady

63

61

Pengertian barang bukti dalam praktek berbeda dengan pengertian alat bukti. Alat bukti adalah alat yang secara tegas diatur dalam undang-undang sebagai alat yang dapat dipergunakan untuk menyatakan keterbuktian suatu perbuatan yang dituduhkan atau sebagai penyangkalan sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP yang terdiri dari keterangan saksi, keterangan ahli, surat, pentunjuk dan keterangan terdakwa. Sedangkan barang bukti adalah barang-barang apapun jenisnya yang umumnya dijadikan oleh seseorang sebagai alat/ sarana melakukan kejahatan misalnya pisau atau senjata api yang dipergunakan untuk melakukan pembunuhan atau kenderaan untuk mengangkut ganja, atau sesuatu sebagai hasil kejahatan, maka pisau, senjata api, kenderaan dan ganja kesemuanya merupakan barang bukti.

62

Eddy O.S. Hariej, Teori & Hukum Pembuktian, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2012), hlm. 4.

63

Munir Fuady, Op.Cit, hlm. 9.

, hukum pembuktian merupakan salah satu bidang hukum yang cukup tua umurnya, dan karena alasan rasa keadilan serta motivasi mencari kebenaran yang dimiliki manusia betapapun primitifnya kemudian menimbulkan hukum pembuktian guna menghindari putusan yang keliru dan atau tidak adil. Hukum pembuktian sebagaimana hukum pada umumnya tidak kedap terhadap segala dinamisasi (perobahan, pergerakan dan perkembangan) kehidupan manusia, maka itulah sebabnya salah satu karakter hukum pembuktian adalah bahwa hukum pembuktian merupakan suatu cabang ilmu hukum yang sangat technology


(45)

oriented sehingga perkembangan tehnologi memberikan dampak langsung terhadap perkembangan pembuktian di pengadilan.64 Pembuktian saintifik dengan mempergunakan tes DNA, mesin polygraph (lie detector), microscope, sidik jari dan data optic misalnya merupakan bagian tehnologi yang sekarang diterima dalam pembuktian di pengadilan. Munir Fuady,65 menulis bahwa hukum pembuktian adalah seperangkat kaidah hukum yang mengatur tentang pembuktian. Eddy O.S. Hiariej66 mendefinisikan hukum pembuktian sebagai “ketentuan-ketentuan mengenai pembuktian yang meliputi alat bukti, barang bukti, cara mengumpulkan dan memperoleh bukti sampai pada penyampaian bukti di pengadilan serta kekuatan pembuktian dan beban pembuktian”. Bambang Purnomo sebagaimana dikutip oleh Eddy O.S. Hiarej mendefinisikan hukum pembuktian sebagai keseluruhan aturan hukum atau peraturan undang-undang mengenai kegiatan untuk rekonstruksi suatu kenyataan yang benar pada setiap kejadian masa lalu yang relevan dengan persangkaan terhadap orang yang diduga melakukan perbuatan pidana dan pengesahan setiap barang bukti menurut ketentuan hukum yang berlaku untuk kepentingan peradilaan dalam perkara pidana.67

64

Ibid, hlm. 8. 65

Ibid, hlm. 1. 66

Eddy O.S. Hariej, Op.Cit, hlm. 5. 67

Ibid.

R. Wiyono menyatakan bahwa yang dimaksud dengan hukum pembuktian adalah hukum yang mengatur tentang tata cara


(46)

untuk menetapkan terbuktinya fakta yang menjadi dasar dari pertimbangan dalam menjatuhkan suatu putusan.68

Menurut teori hukum pembuktian agar suatu alat bukti dapat dipakai sebagai alat bukti di persidangan harus dipenuhi beberapa syarat yaitu: 69

1. Diperkenankan oleh undang-undang untuk dipakai sebagai alat bukti.

2. Reliability, yakni alat bukti tersebut dapat dipercaya keabsahannya (misalnya tidak palsu).

3. Necessity, yakni alat bukti tersebut memang dipelukan untuk membuktikan suatu fakta.

4. Relevance, yakni alat bukti tersebut mempunyai relevansi dengan fakta yang akan dibuktikan.

Hukum pembuktian bergerak untuk membuktikan kebenaran sesuatu yang dalam bidang hukum pidana berarti untuk membuktikan kebenaran sesuatu atau menyangkal peristiwa yang didakwakan. Ketika kebenaran yang ingin dicari telah ditemukan berdasarkan alat bukti dan pembuktian (misalnya peristiwa pidana yang didakwakan terbukti telah terjadi dan terdakwalah sebagai pelakunya) maka tahapan selanjutnya yang harus dipertimbangkan adalah perihal pertanggungjawaban pidana.

Kesalahan diperlukan sebagai indikator guna menentukan dapat tidaknya seorang pelaku tindak pidana dijatuhi pidana sehingga kesalahan ini akan selalu terkait dengan masalah pertanggungjawaban pidana. Chairul Huda menyatakan bahwa pertanggungjawaban pidana terutama dipandang sebagai bagian dari

68

R. Wiyono, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hlm. 148.

69


(47)

pelaksanaan tugas hakim dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara.70 Pertanggungjawaban pidana dimaksudkan untuk menentukan apakah seseorang dipertanggungjawabkan atas suatu tindak pidana (crime) yang terjadi atau tidak.71 Pertanggungjawaban pidana dipandang ada, kecuali ada alasan-alasan penghapus pidana.72 Menurut M.v.T alasan penghapus pidana dibagai menjadi: a) alasan yang terdapat dalam bathin terdakwa yaitu Pasal 44 KUHP; dan b) alasan-alasan yang diluar yaitu pasal-pasal 48-51 KUHP.73

Setelah suatu tindak pidana terbukti telah terjadi dan terdakwalah pelakunya kemudian ternyata terbukti pula bahwa pelaku dapat dipersalahkan atas perbuatannya maka pemidanaan dapat dijatuhkan. Pemidanaan sebagaimana yang ditulis oleh Roni Wiyanto, adalah pemberian sanksi yang berupa suatu penderitaan yang istimewa kepada seseorang yang nyata-nyata telah melakukan suatu perbuatan yang secara tegas dirumuskan dan diancam pidana oleh undang-undang.74

70

Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan: Tinjauan Kritis Terhadap Teori Pemisahan Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, (Jakarta: Kencana Predana Media Group, 2011), hlm. 7.

71

E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Op.Cit, hlm. 250. 72

Dalam KUHP tidak ada disebutkan istilah-istilah alasan pembenar dan alasan pemaaf. Title ke-3 dari Buku Pertama KUHP hanya menyebutkan alasan-alasan yang menghapuskan pidana yang dibedakan menjadi: 1) alasan pembenar yaitu alasan yang menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan misalnya Pasal 49 ayat (1) KUHP mengenai pembelaan terpaksa/ noodweer, Pasal 50 KUHP mengenai melaksanakan ketentuan undang-undang, Pasal 51 ayat (1) KUHP tentang melaksanakan perintah dari pihak atasan; 2) alasan pemaaf yaitu alasan yang menghapuskan kesalahan terdakwa misalnya Pasal 49 ayat (2) KUHP mengenai pembelaan melampaui batas, Pasal 51 ayat (2) KUHP mengenai melaksanakan perintah jabatan tanpa wenang; dan 3) alasan penghapus penuntutan yaitu karena pemerintah atas dasar utilitas atau kemanfaatan kepada masyarakat, kemudian tidak mengadakan penuntutan. Tentang ketentuan Pasal 48 KUHP mengenai daya paksa/ overmacht tidak ada kesatuan pendapat para ahli apakah termasuk kategori alasan pemaaf atau pembenar. Lihat Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2000), hlm.137-138.

73

Ibid, hlm. 138. 74

Roni Wiyanto, Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Mandar Maju, 2012), hlm. 110.


(48)

Berdasarkan uraian di atas, maka karena penelitian ini adalah berkaitan dengan penegakan hukum pidana atas perbuatan persetubuhan terhadap anak ditingkat pengadilan sebagai benteng terakhir (last bastion) yang bertugas dan berwenang memeriksa, mengadili dan memutus perkara, maka peneliti akan menganalisa penelitian ini berdasarkan teori hukum pembuktian pidana, teori kesalahan dan teori kesalahan korban yang akan digunakan sebagai pisau analisis untuk memandu dalam mengungkap, manganalisis serta memberikan penilaian yuridis terhadap fakta-fakta dan aturan hukum yang ingin dibahas.

a. Teori Pembuktian

Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa pembuktian termasuk salah satu pokok bahasan penting dalam hukum apapun termasuk hukum pidana. Perihal pembuktian dalam bidang hukum pidana Indonesia secara khusus diatur dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana atau lebih dikenal dengan sebutan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Andi Hamzah menyatakan bahwa tujuan hukum acara pidana adalah menemukan kebenaran materil.75 M. Yahya Harahap menyatakan bahwa kebenaran yang hendak dicari dan ditemukan dalam pemeriksaan perkara pidana adalah kebenaran sejati atau materil waarheid atau ultimate truth atau disebut juga absolute truth.76

75

Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985), (selanjutnya disingkat Andi Hamzah II) hlm. 228.

76

M. Yahya Harahap I, Op.Cit, hlm. 275.

Secara lebih tegas dan lengkap formulasi tujuan hukum acara pidana dinyatakan dalam Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor:


(49)

M.01.PW.07.03 Tahun 1982 Tentang Pedoman Pelaksanaan KUHAP ditetapkan di Jakarta pada tanggal 4 Pebruari 1982, pada Bidang Umum Bab I Pendahuluan yang berbunyi:

Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menetapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat, dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menentukan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan.

Beberapa ajaran atau teori penting terkait dengan pembuktian77

1) Conviction in Time

adalah sebagai berikut :

Teori ini mengajarkan bahwa suatu hal dapat dinyatakan terbukti hanya atas dasar keyakinan hakim semata yang timbul dari hati nurani dan sifat bijaksananya tanpa terikat dengan alat-alat bukti. Keyakinan hakim dalam teori ini sangat absolut dan independen sehingga sangat sulit untuk diprediksi dan diawasi.

Sistem pembuktian conviction in time adalah suatu sistem yang untuk menentukan salah tidaknya seorang terdakwa, semata-mata ditentukan oleh penilaian

77

Beberapa literature/ buku saling mempertukarkan istilah teori pembuktian atau sistem pembuktian. Andi Hamzah misalnya dalam bukunya Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia mempergunakan kata-kata “Sistem atau Teori Pembuktian”, M. Yahya Harahap dalam bukunya Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali yang diikuti oleh W. Riawan Tjandra dalam bukunya Teori dan Praktik Peradilan Tata Usaha Negara, mempergunakan kata-kata “Teori Sistem Pembuktian”, dan Eddy O.S. Hiariej dalam bukunya Teori Hukum Pembuktian memakai kata ”Teori Pembuktian”, tetapi kesemuanya tetap memiliki kesamaan substansi pembahasan.


(50)

“keyakinan” hakim.78 Andi Hamzah79 menyebut sistem pembuktian conviction in time ini dengan sebutan teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim melulu, sedangkan Oddy O.S. Hiariej menyebutnya sebagai keyakinan semata.80

2) Conviction Raisonnee

Berbeda dengan sistem conviction in time yang mengandalkan keyakinan hakim semata, absolut dan independen tanpa terikat oleh alat-alat bukti atau alasan-alasan apapun, dalam conviction raisonnee keyakinan hakim dalam memberikan putusan tetap dominan tetapi harus dilandasi oleh alasan-alasan yang logis atau diterima akal kenapa hakim sampai pada pengambilan putusan dimaksud. Jadi tetap memprioritaskan keyakinan tetapi terbatas oleh alasan-alasan logis.

Menurut teori ini, tulis Andi Hamzah, 81

Eddy H.S Hiariej menulis bahwa conviction raisonee berarti dasar pembuktian menurut keyakinan hakim dalam batas-batas tertentu atas alasan yang logis dimana hakim diberi kebebasan untuk memakai alat-alat bukti tapi harus hakim dapat memutuskan seseorang bersalah berdasar keyakinannya yang didasarkan kepada dasar-dasar pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan (conclusi) yang berlandaskan pada peraturan-peraturan pembuktian tertentu, jadi putusan dengan suatu motivasi. Sistem ini juga disebut sebagai pembuktian bebas karena hakim bebas menyebut alasan-alasan keyakinannya (vrije bewijstheorie).

78

M. Yahya Harahap I, Op.Cit, hlm. 277. 79

Andi Hamzah II, Op.Cit, hlm. 230. 80

Eddy O.S. Hariej, Op.Cit, hlm. 16. 81


(51)

disertai dengan alasan yang logis.82 Tegasnya tulis M. Yahya Harahap, keyakinan hakim dalam sistem conviction-raisonee harus dilandasi reasoning atau alasan-alasan, dan reasoning itu harus reasonable yakni berdasar alasan yang dapat diterima.83

Sistem pembuktian ini dapat dipakai dalam hukum acara di Indonesia hanya sebatas dalam persidangan tindak pidana ringan, acara pemeriksaan cepat dan termasuk perkara lalu lintas.84

3) Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Positif (Positief Wettelijke Bewijs Theorie)

Teori ini mengajarkan bahwa membuktikan sesuatu didasarkan semata-mata atas alat-alat pembuktian yang telah ditentukan oleh undang-undang tanpa membuka ruang bagi keyakinan hakim. Alat-alat bukti yang telah ditentukan oleh undang-undang dalam teori ini bersifat mengikat dan menentukan secara absolut serta independen dalam membuktikan kebenaran sesuatu.

Pembuktian jenis ini dikatakan positif karena hanya didasarkan kepada undang-undang melulu. Keyakinan hakim disini tidak diperlukan sama sekali. Sistem pembuktian ini juga disebut sebagai pembuktian formal (formeel bewijstheorie).85

82

Eddy O.S. Hariej, Op.Cit, hlm. 17. 83

M. Yahya Harahap I, Op.Cit, hlm. 277. 84

Eddy O.S. Hariej, Loc.Cit. 85

Andi Hamzah II, Op.Cit, hlm. 229.


(52)

ditentukan undang-undang, untuk membuktikan salah tidaknya terdakwa semata-mata digantungkan kepada alat-alat bukti yang sah.86

Menurut Eddy O.S. Hiariej pembuktian ini hanya dapat digunakan dalam pemeriksaan perkara perdata yang hanya mencari kebenaran formal (formeel waarheid) dalam arti kebenaran yang hanya didasarkan pada alat bukti

87

semata sebagaimana disebutkan dalam undang-undang.88 Sistem pembuktian ini pernah dianut di Eropah sewaktu berlakunya asas inkisitor (inquisitor)89 dalam acara pidana, dan dewasa ini telah ditinggalkan.90

4) Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Negatif (Negatief Wettelijke Bewijstheorie)

Sistem pembuktian undang-undang secara negatif ini adalah sebuah sistem pembuktian yang mengajarkan bahwa pembuktian harus didasarkan atas alat-alat

bukti yang telah ditentukan dalam undang-undang diikuti oleh keyakinan hakim. Jadi

86

M. Yahya Harahap I, Op.Cit, hlm. 278. 87

Alat-alat bukti dalam hukum perdata adalah: bukti tulisan, saksi, persangkaan, pengakuan dan sumpah. Lihat Pasal 1866 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

88

Eddy O.S. Hariej, Op.Cit, hlm. 16. 89

Inkisitor (inquisitor) adalah sebuah sistem pemeriksaan yang menempatkan seorang tersangka atau terdakwa sebagai pihak yang lebih rendah kedudukannya dalam setiap tingkat pemeriksaan perkara pidana. Intinya adalah tersangka atau terdakwa dipandang sebagai objek

pemeriksaan yang dapat diperlakukan secara sewenang-wenang (arbitrary/ willikeur). Prinsip ini dahulu dipergunakan di Indonesia sewaktu berlakunya acara pidana berdasarkan HIR. Setelah berlakunya KUHAP maka sistem inkisitor ini ditinggalkan dan diganti dengan sistem akusator (accusatory procedure/ accusatorial system). Prinsip akusator menempatkan kedudukan tersangka/ terdakwa dalam setiap tingkat pemeriksaan sebagai subjek bukan objek pemeriksaan, karena itu tersangka/ terdakwa harus dipandang dan diperlakukan sebagai manusia yang berharkat martabat dan harga diri. Objek pemeriksaan dalam sistem akusator diarahkan kepada kesalahan/ tindak pidana yang diduga dilakuan tersangka/ terdakwa. Prinsip akusator dilihat dari segi teknis yuridis maupun teknis penyidikan adalah sebagai perwujudan asas praduga tak bersalah (presumption of innoncence). Lihat M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan, Edisi Kedua, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), (selanjutnya disingkat M. Yahya Harahap II), hlm. 40.

90


(1)

Hamdan, M., Alasan Penghapus Pidana: Teori dan Studi Kasus, Bandung, PT. Refika Aditama, 2012.

Hamzah, Andi, Terminologi Hukum Pidana, Jakarta, Sinar Grafika, 2009.

Harahap, M. Yahya, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali, Jakarta, Sinar Grafika, 2006.

_________________, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan, Jakarta, Sinar Grafika, 2006.

_________________, Kekuasaan Mahkamah Agung:Pemeriksaan Kasasi dan Peninjauan Kembali Perkara Perdata, Jakarta, Sinar Grafika, 2008.

Hariej, Eddy O.S., Teori & Hukum Pembuktian, Jakrta, Penerbit Erlangga, 2012. Huda, Chairul, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada

Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan: Tinjauan Kritis Terhadap Teori Pemisahan Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Jakarta, Kencana Predana Media Group, 2011.

Huijbers, Theo, Filsafat Hukum, Yogyakarta, Kanisius, 1995.

HR, Ridwan, Hukum Administrasi Negara, Jakarta, RajaGrafindo Persada, 2007. Hurlock, Elizabeth B., Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang

Rentang Kehidupan, Jakarta, Penerbit Erlangga, 2012.

Ibrahim, Johnny, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang, Bayumedia Publishing, 2011.

Kaligis, O.C., Perlindungan Hukum Atas Hak Asasi Tersangka, Terdakwa dan Terpidana, Bandung, Alumni, 2006.

Kansil, C.S.T., Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 1986.

Kanter, E.Y dan S.R Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Jakarta, Storia Grafika, 2002.


(2)

Kartanegara, Satochid, Hukum Pidana: Kumpulan Kuliah, Balai Lektur Mahasiswa, Bagian Satu, tanpa tahun.

Kelsen, Hans, alih bahasa oleh B. Arief Sidharta, Hukum dan Logika, Bandung, Alumni, 2006.

Lamintang, P.A.F. dan Theo Lamintang, Kejahatan Melanggar Norma Kesusilaan dan Norma Kepatutan, Jakarta, Sinar Grafika, 2009.

Lubis, M. Solly, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Bandung, Mandar Maju, 1994.

Makarao, Muhammad Taufik, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia: Studi tentang Bentuk-Bentuk Pidana Cambuk Sebagai Suatu Bentuk Pemidanaan, Yogyakarta, Kreasi Wacara, 2005.

Mandiri, Redaksi Asa, Pedoman Pelaksanaan KUHAP, Jakarta, Penerbit Asa Mandiri, 2007.

Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2010.

Mertokusumo, Sudikno, Teori Hukum, Edisi Revisi, Yokyakarta, Cahaya Atma Pustaka, 2012.

Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta, PT. Rineka Cipta, 2000.

Moleong, Lexy J., Metode Penlitian Kualitatif, Bandung, PT. Remaja Rosdakarya, 2006.

Muladi dan Dwijda Priyatno, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Edisi Revisi, Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2012.

Mulyadi, Lilik, Kompilasi Hukum Pidana dalam Perspektif Teorisasi dan Praktik Peradilan: Perlindungan Korban Kejahatan, Sistem Peradilan dan Kebijakan Pidana, Filsafat Pemidanaan Serta Upaya Hukum Peninjauan Kembali oleh Korban Kejahatan, Bandung, Mandar Maju, 2010.

Mulyadi, Mahmud, Criminal Policy: Pendekatan Integral Penal Policy dan Non-Penal Policy dalam Penanggulangan Kejahatan Kekerasan, Medan, Pustaka Bangsa Press, 2008.


(3)

Nasional, Departemen Pendidikan, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, Edisi Keempat, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 2008.

Purba, Hasim, Suatu Pedoman Memahami Ilmu Hukum, Medan, CV. Cahaya Ilmu, 2006.

Puspa, Yan Pramadya, Kamus Hukum Edisi Lengkap Bahasa Belanda Indonesia Inggris, Semarang Indonesia, Aneka Ilmu, 1977.

Qutub, Muhammad, Evolusi Moral, Surabaya, Al-Ikhlas, 1995.

Rahardjo, Satjipto, Penegakan Hukum: Suatu Tinjauan Sosiologis, Yogyakarta, Genta Publishing, 2009.

Rambe, Ropaun, Teknik Praktek Advokat, Jakarta, Grasindo, 2001.

Remmelink, Jan, Hukum Pidana: Komentar atas Pasa-Pasal Terpenting dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Penerapannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003.

Salim H., Perkembangan Teori dalam Ilmu Hukum, Jakarta, Rajawali Pers, 2010. Schaffmeister, D., N. Keijzer E. PH. Sutorius, diedit oleh J.E. Sahetapy dan

Agustinus Pohan, Hukum Pidana, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 2011. Soedirjo, Jaksa dan Hakim dalam Proses Pidana, Jakarta, CV. Akademika Pressindo,

1985.

Soekanto, Soejono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, Penerbit Universitas Indonesia (UI Press), 1986.

_______________, Penegakan Hukum, Jakarta, Binacipta, 1983.

Soerodibroto, R. Soenarto, KUHP dan KUHAP: Dilengkapi Yurisprudensi Mahkamah Agung dan Hoge Raad, Jakarta, Rajawali Pers, 2003.

Soesilo, R., Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Bogor, Politeia, 1994.


(4)

Supeno, Hadi, Kriminalisasi Anak: Tawaran Gagasan Radikal Peradilan Anak Tanpa Pemidanaan, Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama, 2010.

Sutioso, Bambang, Metode Penemuan Hukum:Upaya Mewujudkan Hukum yang Pasti dan Berkeadilan, Yogyakarta, UII Press, 2007.

Tanya, Bernard L., Yoan N. Simanjuntak dan Markus Y. Hage, Teori Hukum: Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Yogyakarta, Genta Publishing, 2010.

Walyuo, Bambang, Viktimologi: Perlindungan Korban & Saksi, Jakarta, Sinar Grafika, 2011.

Wiyanto, Roni, Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia, Bandung, Mandar Maju, 2012. Wiyono, R., Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Jakarta, Sinar Grafika,

2007.

Yanti, Kesehatan Reproduksi: Buku Ajar Untuk Mahasiswa Kebidanan, Yogyakarta, Pustaka Rihama, 2011.

Zulpa, Eva Achjani dan Indriyanto Seno Adji, Pergeseran Paradigma Pemidanaan, Bandung, CV. Lubuk Agun, 2011.

B. Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak


(5)

Winarta, Frans H., Evaluasi Peranan Profesi Advokat Dalam Pemberantasan Korupsi, Majalah Desain Hukum, Vol. 11 No. 10 edisi November-Desember 2011.

D. Internet

01-2013.

diakses tanggal 15-02-2013.

diakses tanggal 15-02-2013.


(6)

Soekamto, Kajian Akademik Terhadap Asas Culpa in Causa dalam Dotrin dan Yurisprudensi, dalam 1 Juni 2013.


Dokumen yang terkait

Perlindungan Hukum Terhadap Perjanjian Keagenen (Studi Putusan Mahkamah Agung No. 2363 K/Pdt/2011)

2 82 81

Analisis Yuridis Terhadap Putusan Mahkamah Agung No. 981K/PDT/2009 Tentang Pembatalan Sertipikat Hak Pakai Pemerintah Kota Medan No. 765

4 80 178

Analisis Putusan Mahkamah Agung Mengenai Putusan yang Dijatuhkan Diluar Pasal yang Didakwakan dalam Perkaran Tindak Pidana Narkotika Kajian Terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor 238 K/Pid.Sus/2012 dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 2497 K/Pid.Sus/2011)

18 146 155

Efektivitas Penerapan Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 179/K/SIP/1961 Di Dalam Persamaan Hak Mewaris Anak Laki-Laki Dan Anak Perempuan Pada Masyarakat Suku Batak Toba Perkotaan (Studi Di Kecamatan Medan Baru)

2 68 122

Eksekusi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 609 K/Pdt/2010 Dalam Perkara Perdata Sengketa Tanah Hak Guna Bangunan Dilaksanakan Berdasarkan Penetapan Ketua Pengadilan Negeri

3 78 117

Analisis Hukum Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Tentang Calon Independen Di Dalam Undang-Undang No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah

0 68 130

Sikap Masyarakat Batak-Karo Terhadap Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA-RI) No.179/K/SIP/1961 Dalam Persamaan Kedudukan Anak Laki-Laki Dan Anak Perempuan Mengenai Hukum Waris (Studi Pada Masyarakat Batak Karo Desa Lingga Kecamatan Simpang...

1 34 150

BAB II PENGATURAN TENTANG TINDAK PIDANA PERSETUBUHAN TERHADAP ANAK MENURUT HUKUM PIDANA DI INDONESIA - Penegakan Hukum Pidana Terhadap Pelaku Persetubuhan pada Anak (Analisis Terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor : 1202 K/PID.SUS/2009)

0 0 35

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Penegakan Hukum Pidana Terhadap Pelaku Persetubuhan pada Anak (Analisis Terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor : 1202 K/PID.SUS/2009)

0 0 46

Penegakan Hukum Pidana Terhadap Pelaku Persetubuhan pada Anak (Analisis Terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor : 1202 K/PID.SUS/2009)

0 0 17