Pengaruh Media Massa terhadap Kebijakan

Pengaruh Media Massa terhadap Kebijakan Luar Negeri Turki sebagai Tanggapan atas
Aneksasi Krimea oleh Federasi Rusia

Maula Hudaya
071511233089
Departemen Hubungan Internasional Universitas Airlangga
ABSTRAK
Aneksasi Rusia terhadap Krimea pada tahun 2014 merupakan sebuah tindakan yang
didasari oleh ketakutan Rusia terhadap ekspansi NATO yang didasari oleh
digulingkannya presiden Ukraina Viktor Yanukovich yang pro Rusia digantikan oleh
Petro Poroshenko yang pro Barat. Jika melihat sejarah yang ada, dalih Rusia tersebut
cukup beralasan. Namun namun hal itu memunculkan berbagai macam reaksi dari
berbagai negara. Di mana banyak negara yang mengecam tindakan Rusia tersebut, di
antaranya Turki. Dalam tulisan ini, penulis berusaha melakukan analisis terhadap
kebijakan luar negeri Turki terkait aneksasi Rusia terhadap Krimea melalui level of
analysis media dan opini publik dengan melihat sejauh mana media massa dapat
mempengaruhi pandangan publik terkait Krimea. LoA tersebut sangan menarik untuk
digunakan mengingat terdapat sebuah grup media besar yang menguasai media massa di
Turki, di mana media tersebut juga cukup bertentangan dengan pemerintah Erdogan.
Kata Kunci: Krimea, Turki, Media Massa, Tatar Krimea.


Pendahuluan
Krimea merupakan sebuah salah satu wilayah di Ukraina yang memiliki komposisi penduduk
yang terdiri dari sebagian besar etnis Rusia. Pada era pemerintahan presiden Viktor
Yanukovych di Ukraina, orientasi Ukraina yang semula lebih condong ke negara-negara
Eropa Barat, bergeser menuju Rusia. Hal itu terjadi karena adanya kerjasama antara Ukraina
dan Rusia dalam bidang energi khususnya gas alam, di mana Ukraina mengandalkan pasokan
gas alam dari Rusia untuk memenuhi kebutuhan energinya. Namun kedekatan yang terjadi
antara kedua negara tersebut tidak berlangsung lama. Hal itu terjadi karena presiden
Yanukovych yang terpilih pada tahun 2010 tersebut pada akhirnya digulingkan pada tahun
2014. Penggulingan Yanukovych tersebut berawal ketika presiden Yanukovych membuat
sebuah kesepakatan yang mengejutkan dengan presiden Rusia, Vladimir Putin. Kesepakatan
tersebut menyatakan bahwa Rusia membeli obligasi Ukraina sebesar 15 miliar Dollar
Amerika dan memangkas harga gas alam yang diekspor ke Ukraina hingga sepertiganya.

Meluasnya berita tersebut seolah menjadi sebuah konfirmasi tegas bahwa presiden
Yanukovcyh tidak memperdulikan protes dari rakyat Ukraina yang menuntut agar Ukraina
tidak lagi menjadi sekutu Rusia, namun lebih berorientasi pada Eropa Barat khususnya Uni
Eropa (Diuk, 2014).
Ketegasan Yanukovych untuk semakin medekatkan Ukraina pada Rusia tersebut
menimbulkan kekhawatiran bagi rakyat Ukraina, mereka trauma akan kenangan buruk ketika

Ukraina masih berada di bawah Uni Soviet. Hal itu dibuktikan dengan rendahnya pandangan
negatif rakyat Ukraina terhadap Rusia di bawah presiden Vladimir Putin, di mana Onuch
(2015) menyatakan bahwa hampir 60% masyarakat Ukraina memiliki pandangan yang sangat
buruk terhadap rezim Vladimir Putin. Oleh karena itu, dapat dipahami apabila masyarakat
Ukraina menganggap bekerjasama dengan Rusia dapat menghambat perkembangan Ukraina.
Oleh karena itu, muncul aksi protes yang jauh lebih besar sebagai respon atas keputusan
Yanukovych tersebut. Protes tersebut diperparah dengan adanya isu bahwa Yanukovych
terlibat dalam sebuah skandal korupsi. Amarah publik juga semakin meningkat ketika
Tetyana Chornovol, seorang jurnalis yang mengungkap skandal tersebut, dianiaya oleh
beberapa orang yang diduga kaki tangan Yanukovych (Diuk, 2014). Berbagai peristiwa
tersebut memicu terjadinya Euromaidan yang

pada akhirnya berhasil menggulingkan

Yanukovych.
Digantikannya Yanukovych oleh Petro Poroshenko, memunculkan kekhawatiran tersendiri
bagi Rusia. Kekhawatiran tersebut dipicu oleh adanya indikasi bahwa Poroshenko merupakan
seorang pemimpin yang pro terhadap barat. Secara garis besar, kekhawatiran Ukraina terbagi
menjadi dua. Pertama kekhawatiran bahwa NATO akan melakukan ekspansi ke Ukraina,
kedua kekhawatiran bahwa warga etnis di Ukraina akan mendapatkan diskriminasi dan

perlakuan buruk dari masyarakat Ukraina maupun rezim yang berkuasa. Sebagai respon
terhadap hal tersebut, penulis melihat bahwa tujuan Rusia melakukan aneksasi terhadap
Krimea ialah untuk mengamankan pelabuhan angkatan laut Rusia di Sevastopol, serta
melindungi warga etnis Rusia di Krimea.
Sebenarnya justifikasi tersebut sangat bisa dimengerti, mengingat Rusia merupakan negara
yang secara geopolitik terletak pada daerah jantung, di mana dalam sejarahnya tidak jarang
mengalami invasi yang dilakukan oleh kekuatan-kekuatan besar di sekelilingnya sehingga
mengkonstruksikan identitas Rusia sebagai bangsa yang ekspansif (Lavrov, 2016). Meski
aneksasi Krimea merupakan hal yang benar bagi Rusia, namun hal itu memunculkan berbagai

macam reaksi dari berbagai negara. Di mana banyak negara yang mengecam tindakan Rusia
tersebut, di antaranya Turki. Dalam tulisan ini, penulis berusaha melakukan analisis terhadap
kebijakan luar negeri Turki terkait aneksasi Rusia terhadap Krimea melalui level of analysis
media dan opini publik.
Level of Analysis Media dan Opini Publik
Studi pengambilan keputusan kebijakan luar negeri konvensional memandang media massa
seperti surat kabar, televisi, radio, pers, serta multi media hanya sebagai saluran untuk
menyampaikan pesan atau berita selama proses perumusan kebijakan luar negeri dilakukan
(Naveh, 2002). Naveh melihat bahwa studi tersebut tidak menyadari bahwa media massa
memiliki peran yang jauh lebih besar dari itu. Oleh karena itu (Naveh, 2002) juga

menyatakan bahwa media massa harusnya dilibatkan dalam analisis untuk merumuskan
kebijakan luar negeri itu sendiri.
Naveh (2002) menyatakan bahwa terdapat tiga model yang menggambarkan peran media
dalam pengambilan keputusan terkait perumusan kebijakan luar negeri. Ketiga model
tersebut berfokus pada pandangan yang melihat bahwa lingkungan publik atau masyarakat
luas merupakan salah satu sumber input yang dapat dijadikan sebagai pertimbangan dalam
merumuskan kebijakan luar negeri. Model pertama dicetuskan oleh Glenn Snyder et al (1969,
dalam Naveh 2002). Snyder menyatakan bahwa dalam proses perumusan kebijakan luar
negeri, terdapat sebuah setting yang terdiri dari dua aspek yaitu internal dan eksternal. Snyder
(1969, dalam Naveh 2002) menyatakan bahwa setting tersebut sangat potensial untuk
memberikan dampak bagi segala keputusan yang dibuat oleh negara. Internal dalam hal ini
dimengerti sebagai faktor-faktor yang berasal dari dalam negeri seperti lingkungan
masyarakat yang terdiri dari budaya, populasi dan opini publik (Naveh, 2002). Dengan kata
lain, media memainkan peran utama dalam membentuk lingkungan tersebut. media dapat
dimaknai sebagai alat untuk mengekspresikan interpretasi serta ekspektasi non pemerintah
dari berbagai golongan dan komponen masyarakat (Naveh, 2002).
Michael Brecher mengembangkan kerangka analisis yang jauh lebih rinci terkait analisis
pengambilan keputusan kebijakan luar negeri, dan ia juga melibatkan peran media secara
eksplisit sebagai "jaringan komunikasi dalam sistem politik" yang memungkinkan terciptanya
arus informasi tentang lingkungan operasional kepada elit pemerintah (Naveh, 2002).

Kerangka kerja yang disusun Brecher merupakan sebuah model yang memiliki desain
lingkungan. Brecher percaya bahwa sistem kebijakan luar negeri terdiri dari sebuah

lingkungan atau setting. Lingkungan operasional mendefinisikan pengaturan di mana
pengambilan keputusan kebijakan luar negeri dilakukan (Naveh, 2002). Konsep setting
mengacu pada serangkaian faktor dan kondisi relevan, yang dapat mempengaruhi perilaku
eksternal negara. Lingkungan operasional menetapkan parameter atau batasan di mana
pengambil keputusan harus bertindak (Naveh, 2002).
Namun, seperti penulis lain, Brecher tidak secara eksplisit melibatkan media massa sebagai
instrumen variabel input terhadap pengambilan keputusan kebijakan luar negeri. Variabel
input yang dimaksud oleh Naveh (2002) ialah faktor eksternal, bagian dari lingkungan
internasional. Melihat media sebagai variable input dalam pengambilan keputusan kebijakan
luar negeri berarti memahami perannya dalam mempengaruhi masyarakat dan politik dalam
agenda setting dan mengkonstruksikan kenyataan.
Model ketiga perumusan kebijakan luar negeri dicetuskan oleh Papadakis dan Starr (1987,
dalam Naveh, 2002) untuk menganalisis proses perumusan kebijakan luar negeri di negara
kecil, namun model ini tetap relevan digunakan pada negara lain. Lingkungan yang
membentuk input bagi proses pengambilan keputusan kebijakan luar negeri dideskripsikan
sebagai struktur kesempatan, resiko, serta harga dan keuntungan, yang membatasi para
pengambil keputusan. Namun, Papadakis dan Starr tidak melibatkan media massa ke dalam

model mereka. Tidak untuk membentuk bagian dari level masyarakat dalam sebuah
lingkungan, juga tidak sebagai bagian dari kesempatan atau hambatan yang mempengaruhi
internal pemerintah dalam mengambil keputusan (Naveh, 2002).
Media massa mulai memiliki pengaruh yang signifikan terhadap perumusan kebijakan luar
negeri sejak adanya siaran televisi dalam skala global dan munculnya sebuah kantor berita
yang hadir dalam skala internasional yaitu CNN (Gilboa, 2005). Menurut Gilboa, pada
dasarnya manusia memang selalu membutuhkan berita untuk mengikuti perkembangan suatu
peristiwa yang sedang atau telah terjadi. Bahkan jika kita melihat sejarah, tepatnya ketika
terjadi perang sipil di Amerika Serikat pada tahun 1861 hingga 1865, permintaan akan berita
meningkat secara drastis. Akibatnya, Surat Kabar Amerika Serikat meningkatkan
publikasinya sebanyak tujuh hari berturut-turut (Gilboa, 2005).
Kondisi yang sama terjadi ketika perang teluk di Irak pada 1991. Gilboa (2005) menyatakan
bahwa dengan telah tersedianya siaran televisi kabel secara global, masyarakat saat itu dapat
menyaksikan laporan perang yang pertama kali ditayangkan secara real time. Oleh karena itu,
animo masyarakat terhadap berita yang dilaporkan khususnya oleh CNN menjadi sangat

tinggi, bahkan banyak masyarakat Amerika Serikat yang duduk di depan televisi selama
berjam-jam untuk menonton berita yang disiarkan langsung dari daerah konflik. Besarnya
animo masyarakat terhadap berita-berita yang disiarkan langsung dari seluruh penjuru dunia,
belum diikuti dengan sikap kritis untuk mempertanyakan kebenaran suatu berita yang

disajikan, sehingga hal ini menjadi kesempatan besar bagi media massa untuk semakin
menancapkan pengaruhnya dalam mempengaruhi opini publik. Penulis melihat bahwa faktor
tersebut lah yang kemudian mendorong munculnya CNN effect. Gilboa (2005) menyatakan
bahwa CNN effect muncul karena adanya perubahan sikap dari masyarakat internasional yang
disebabkan oleh kemudahan dan kecepatan akses terhadap sumber informasi. Sedangkan
seorang pakar keamanan komputer menyatakan bahwa efek CNN tersebut terjadi ketika
sumber informasi yang sangat banyak tersebut dimasuki oleh berita yang dimanipulasi
(Johnston, 1996 dalam Giboa 2005).
Meskipun eksistensi dari teori efek CNN tersebut masih menjadi perdebatan di kalangan
akademisi dan pengambil kebijakan karena kurangnya bukti-bukti yang mengarah pada hal
itu, namun sudah ada beberapa kasus yang diklaim sebagai dampak dari efek CNN itu
sendiri. Gilboa (2005) menyatakan bahwa pada tahun 1999 terjadi protes dari pejabat senior
Amerika Serikat dan Inggris termasuk Tony Blair terkait dengan isu adanya aktivitas militer
Rusia terhadap orang-orang Chechnya. Sebagai respon atas protes tersebut, perwira tinggi
militer Rusia, Jenderal Valery Minilov menyatakan bahwa aksi protes tersebut dilakukan atas
dasar berita yang tersebar secara luas melalui media CNN, tanpa diklarifikasi secara langsung
dan dicari kebenarannya terlebih dahulu sehingga terjadi misinformasi terkait apa yang
sebenarnya terjadi di Chechnya.
Gilboa (2005) juga menjelaskan bahwa media massa telah terbukti menjadi jalur diplomasi
yang terkadang jauh lebih efektif dibandingkan dengan jalur konvensional. Hal itu sejalan

dengan Naveh (2002) yang menjelaskan mengenai beberapa fungsi media massa dalam
mempengaruhi kebijakan luar negeri, dalah satunya agenda setting. Media massa dapat
meningkatkan prestise dan otoritas seseorang atau kelompok dengan cara memberikan
legitimasi terhadap statusnya. Agenda setting merupakan sebuah cara yang dilakukan media
untuk mengkonstruksi opini publik sesuai dengan apa yang diinginkan oleh media tersebut, di
mana biasanya terdapat agenda politik di dalamnya. Naveh (2002) juga menyatakan bahwa
bagi kebanyakan pengamat politik luar negeri, gambaran mengenai peta dunia yang paling
berpengaruh saat ini justru peta yang dipetakan oleh jurnalis maupun editor dibandingkan
dengan peta karya kartograf. Meski peta yang disusun oleh media tidak cukup menyediakan

informasi yang objektif untuk pembaca, namun harus diakui bahwa peta tersebut sangat
sukses dalam mengarahkan pembaca terhadap apa yang harus dipikirkan. Dengan kata lain,
media memberikan pengaruh terhadap bagaimana seseorang memandang suatu kawasan,
misalnya adanya konstruksi yang membuat audience memiliki pandangan negatif bahwa
Timur Tengah tidak lebih dari sarang teroris dan pusat kekacauan.
Kemudian Naveh (2002) juga menyatakan bahwa fungsi lain media massa dalam politik luar
negeri ialah sebagai sarana untuk melakukan framing. Framing diartikan sebagai proses di
mana suatu media menciptkan image dengan cara menyaring fakta yang ada untuk digunakan
dalam perumusan kebijakan luar negeri. Melihat penjelasan bahwa media memainkan peran
penting dalam perumusan kebijakan luar negeri, penulis melihat bahwa pengaruh media

dalam membangun opini publik ini sebenarnya terbagi menjadi dua. Pertama ialah media
mempengaruhi opini publik untuk menentang, mengkritisi, atau menekan pemerintah untuk
mengubah atau merumuskan suatu kebijakan luar negeri. Contohnya ialah dalam kasus
konflik Rohingya, media memainkan opini publik untuk memandang konflik tersebut dari
sentimen agama di mana kaum Muslim menjadi korban pembantaian keji yang dilakukan
oleh kaum non Muslim. Hal itu mempengaruhi opini publik khususnya di Indonesia di mana
sentimen agama masih sangat kuat. Akibatnya, banyak masyarakat yang melakukan
demonstrasi untuk menekan pemerintah Indonesia agar memberikan respon terkait kasus
tersebut. Pada akhirnya pemerintah Indonesia yang sebenarnya tidak memiliki kepentingan
nasional yang signifikan terhadap Rohingya pun memberikan respon, karena kuatnya tekanan
publik yang telah diframing oleh media. Yang kedua ialah bagaimana pemerintah
menggunakan media massa untuk mengkonstruksikan opini publik untuk meningkatkan
legitimasi atas kebijakan yang diambil. Penulis melihat bahwa hanya pemerintah yang kuat
dan memiliki ketegasan dalam perumusan kebijakan luar negeri saja yang dapat melakukan
hal ini, terlebih lagi jika pemerintah memiliki penguasaan terhadap media massa dalam suatu
negara. Penulis melihat bahwa pengaruh media massa terhadap perumusan kebijakan luar
negeri di Turki merupakan suatu hal yang sangat menarik karena di Turki sendiri terdapat
sebuah media besar yaitu Dogan Group yang dalam beberapa hal bertentangan dengan
pemerintah Erdogan.
Media Massa dan Kebijakan Luar Negeri Turki

Aneksasi Rusia terhadap Krimea, seperti yang telah penulis jelaskan sebelumnya,
menimbulkan kontroversi yang memancing berbagai macam respon yang berbeda bagi tiap

negara, tak terkecuali Turki. Seperti yang dimuat dalam ditus berita Hurriyet (2016) bahwa
Turki sekali lagi mengutuk okupansi Rusia terhadap Krimea, dan kembali memberikan
dukungan terhadap warga Tatar di Krimea. Untuk menjelaskan mengapa pemerintah Turki di
bawah presiden Reccep Tayyip Erdogan begitu mengecam tindakan aneksasi Rusia terhadap
Krimea, dan memberi dukungan yang begitu kuat terhadap bangsa Tatar di Krimea, dapat
dilihat melalui bagaimana media massa mempengaruhi opini publik di Turki atau bagaimana
rezim pemerintah memainkan media massa untuk mendapatkan dukungan terhadap kebijakan
yang diambil.
Sebelum melihat seberapa jauh media memainkan peran penting dalam mempengaruhi
kebijakan luar negeri Turki terkait aneksasi Krimea, penulis akan terlebih dahulu melihat
seperti apa peran media massa di Turki sejak era multi partai di Turki. Kaya (2010)
menjelaskan bahwa meskipun telah ada pengendalian yang ketat terhadap media radio pada
tahun 1927, namun hal itu belum memberikan dampak yang luas terhadap perpolitikan yang
ada. Hal itu terjadi karena pada era tersebut, Turki masih menganut sistem partai tunggal
sehingga hanya terdapat satu kubu, dengan hal itu pengendalian terhadap media menjadi
tidak berdampak apapun karena hanya terdapat satu kubu di pemerintahan. Namun hal itu
berubah ketika sistem multi partai mulai diterapkan. Kaya (2010) menjelaskan bahwa setelah

transisi dari sistem partai tunggal menjadi multi partai, jangkauan jaringan penyiaran radio
semakin diperluas dan diarahkan hampir secara eksklusif untuk memberitakan berbagai hal
yang dilihat melalui sudut pandang partai penguasa atau mayoritas, sehingga dapat dikatakan
bahwa hampir tidak ada objektivitas dalam berita yang disiarkan oleh radio Turki. Sehingga
tidak salah untuk menyebut peran media saat itu hanyalah sebagai sarana framing bagi
pemerintah Turki.
Kondisi tersebut kemudian mengalami pergeseran ketika terjadi perkembangan yang begitu
cepat dalam sektor teknologi informasi namun tidak dibarengi dengan pembuatan regulasi
yang tepat (Kaya, 2010). Perubahan tersebut memunculkan berbagai media yang dikuasai
oleh sektor-sektor privat. Hasilnya, media massa kemudian dikuasai oleh para konglomerat
yang mengejar keuntungan dalam menjalankan bisnis media. Kemudian pasca berakhirnya
rezim militer yang kemudian digantikan oleh rezim sipil di bawah Turgut Ozal, di mana ia
berhasil menyatukan Turki ke dalam pasar global, namun gagal menyatukan pendapatpendapat yang saling berseberangan di dalam Turki sendiri, justru menurunkan legitimasi
pemerintah. Ditambah lagi dengan terjadinya dua resesi besar pada dekade 1990an, hal itu

menciptakan peluang besar bagi media massa untuk meningkatkan pengaruhnya dalam
perpolitikan (Kaya, 2010).
Instabilitas politik di Turki pada dekade tersebut dengan adanya enam koalisis pemerintah
dengan pandangan yang berbeda dan pergantian perdana menteri sebanyak lima kali dalam
kurun waktu kurang dari sembilan tahun, sangat jelas menunjukkan bahwa tidak ada aktor
hegemon dalam perpolitikan turki. Oleh karena itu, media memiliki peluang besar untuk
meningkatkan pengaruhnya dalam ranah politik. Bahkan, para pengamat tidak ragu untuk
mengklaim bahwa media tersebut telah muncul sebagai "First Estate" dalam ranah
perpolitikan. Klaim tersebut tidaklah terlalu berlebihan. Salah satu pihak yang paling
diuntungkan oleh hal itu ialah kelompok Dogan yang menjadi konglomerat terbesar ketiga di
Turki (Kaya, 2010).
Dogan Group yang dikuasai oleh Aydin Dogan tersebut memiliki potensi yang sangat besar
dalam mempengaruhi opini publik. Hal itu terjadi karena grup media sangat besar, tak hanya
Hurriyet yang bergerak pada ranah surat kabar, namun masih terdapat surat kabar lain seperti
Radikal, Posta, Fanatik, Millyet, dan Vatan yang juga berada di bawah naungan Dogan group.
Selain media surat kabar, Dogan group juga menguasai media dengan jenis yang berbeda,
yaitu televisi. Dogan memiliki mempunyai sebanyak 13 stasiun televisi, diantaranya Kanal D,
Eko TV, Euro D, CNN Turk, Super Kanal, Euro Star, Kanal D Romania, TNT Turkey,
Cartoon Network, NBA TV, TV 2, dan Boing. Selain itu perusahaan ini juga menguasai lima
stasiun radio, empat diantaranya masih aktif. Dengan begitu banyaknya media massa yang
dikuasai oleh satu pihak, seperti yang terjadi di Turki, akan sangat memungkinkan bagi
Dogan Group untuk membentuk opini publik yang juga terkait dengan proses perumusan
kebijakan luar negeri di Turki.
Aydin Dogan sendiri merupakan sosok yang bertentangan dengan Erdogan. Pernyataan
tersebut dibuktikan dengan adanya berita yang diterbitkan oleh Hurriyet dalam situs
websitenya yang menyatakan bahwa presiden Erdogan berulang kali menjatuhkan kritik dan
menyerang Aydin Dogan secara personal (Hurriyet, 2015). Bahkan, sebagai dampak atas
perselisihan yang terjadi antara Dogan dengan Erdogan tersebut, Dogan Group sempat
mengalami banned oleh pemerintah (Reuters, 2015). Dengan adanya hubungan yang kurang
baik antara pemerintah dan media yang ada, kondisi yang paling mungkin terjadi ialah media
berusaha memainkan opini publik untuk menjatuhkan pemerintah. Meski demikian, dalam

kasus Turki dengan Krimea, hal itu tidak terlalu terlihat jelas. Namun penulis melihat bahwa
media turut berperan dalam mempengaruhi kebijakan luar negeri Turki terkait tersebut.
Seperti yang telah penulis jelaskan sebelumnya, bahwa Turki merespon sikap Rusia terhadap
Krimea dengan melayangkan kecaman dan mengutuk aksi Rusia tersebut. Di sisi lain, Turki
justru mendukung bangsa Tatar Krimea dan Ukraina. Hal itu sedikit menjadi anomali karena
Turki memiliki kepentingan yang cukup besar terhadap Rusia khususnya pada sektor energi,
namun Turki justru turut mengambil tindakan dengan melayangkan kecaman terhadap Rusia.
Penulis melihat bahwa peran media dalam hal ini sangat lah kuat. berdasarkan data yang telah
penulis dapatkan, berita-berita yang muncul ketika peristiwa aneksasi Krimea yang
diterbitkan oleh media-media ternama seperti Hurriyet dan Sabah, banyak yang mengandung
unsur framing di dalamnya.
Media-media tersebut menyaring fakta-fakta yang ada dan memilih fakta yang “laku dijual”
ke publik Turki. Salah satu fakta yang dimainkan ialah fakta bahwa di Krimea terdapat
bangsa Tatar Krimea yang turut menjadi korban aneksasi, dan juga mengalami kekerasan dari
pihak Rusia. Bangsa Tatar Krimea merupakan etnis beragama Islam yang tinggal di wilayah
Krimea sejak berabad-abad silam. Bangsa tersebut pertama kali berdiaspora dan mengungsi
ke Turki Ottoman pada tahun 1783 sebagai dampak aneksasi Krimea yang pertama oleh
kekaisaran Rusia. Kemudian berdiaspora kembali akibat terjadinya perang Krimea pada
1853. Oleh karena itu, hingga saat ini banyak terdapat bangsa Tatar yang merupakan
keturunan dari Tatar Krimea di Turki. Narasi dan kondisi demografis tersrbut lah yang
berulang kali dimanfaatkan oleh media Turki dalam memandang isu Aneksasi Krimea 2014.
Seperti halnya berita yang dimuat dalam Daily Sabah (2014) yang berjudul “Turkey's
Crimean Tatars worried for Crimea”. Berita tersebut menyatakan narasi bahwa bangsa Tatar
merupakan bangsa yang terusir dari tanah Krimea akibat aneksasi Rusia pertama dan
pecahnya perang Krimea pada 1853. Artikel tersebut seolah menggambarkan bahwa Tatar
sebagai korban yang paling dirugikan dalam krisis yang ada, tanpa menjelaskan situasi yang
terjadi di Krimea secara utuh. Berita-berita seperti itu lah yang kemudian mengkonstruksi
pandangan Publik terhadap Krimea, bahwa Rusia adalah satu-satunya sosok penjahat dan
Tatar merupakan korban utama dalam kasus tersebut. Seperti yang dimuat dalam Daily Sabah
(2014) tersebut, telah banyak bangsa Tatar Turki yang melakukan demonstrasi.
Jumlah tersebut akan terus meningkat dengan diterbitkannya berita-berita semacam ini. selain
itu, berita berjudul “Tatars, Turks not to leave Crimea again” yang dimuat oleh Hurriyet

(2014) juga terkesan melakukan Framing dengan menggambarkan narasi yang hampir sama.
Berita tersebut menceritakan tentang kegagahan sosok pimpinan Tatar Krimea Mustapha
Dzemilev yang disebut sebagai Gandhi dari Krimea. Artikel tersebut menggambarkan
bagaimana perjuangan bangsa Tatar, dan bagaimana Turki peduli terhadap perjuangan
mereka. Berita tersebut turut berpengaruh dalam meningkatkan simpati masyarakat Turki
terhadap Tatar Krimea, ditambah lagi dengan adanya sentimen agama di mana masyarakat
Turki terdiri dari mayoritas kaum Muslim yang jumlahnya mencapai lebih dari 70%.
Banyaknya opini publik yang bersimpati terhadap Tatar Krimea tersebut kemudian
disuarakan dalam bentuk aksi tuntutan terhadap rezim Erdogan untuk bersikap tegas terhadap
aneksasi Krimea, dan mengutuk Rusia atas apa yang telah terjadi, khususnya terkait etnis
Tatar di Krimea yang dilihat semakin tertindas. Di sisi lain, opini publik juga mengantarkan
Turki pada hubungan yang lebih dekat dengan Ukraina, karena Ukraina dipandang sebagai
penguasa yang sah atas semenanjung Krimea. Penulis melihat bahwa faktor tersebut memang
benar-benar berpengaruh terhadap bagaimana Erdogan menjalankan kebijakan negerinya
untuk melayangkan kecaman terhadap Rusia, meski Turki memiliki kepentingan nasional
yang cukup besar terhadap Rusia khususnya dalam koridor ekonomi. Penulis berasumsi
demikian karena penulis melihat bahwa meskipun Turki melayangkan kecaman terhadap
Rusia, namun Kecaman tersebut hanya sekedar kecaman. Turki memutuskan untuk tidak
menerapkan sanksi tegas terhadap Rusia seperti yang dilakukan oleh negara-negara Barat.
Sehingga terkesan bahwa kecaman tersebut hanyalah upaya pemerintah untuk menenangkan
publik. Bahkan hubungan antara Rusia dan Turki masih terjalin secara normal yang
dibuktikan dengan adanya beberapa kali pertemuan antara Erdogan dan Putin untuk
membicarakan kasus tersebut. Hubungan tersebut dapat dikatakan baik setidaknya hingga
Turki menembak jatuh pesawat tempur Rusia.
Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa aneksasi krimea yang terjadi pada
2014 didasari oleh adanya kekhawatiran Rusia terhadap rezim baru yang berkuasa di
Ukraina. Kekhawatiran tersebut muncul karena presiden baru Ukraina yaitu oroshenko
merupakan sosok yang pro barat. Anekasi tersebut telah menimbulkan berbagai respon yang
beragam bagi tiap negara, tak terkecuali Turki. Turki sendiri secara terang-terangan
mengecam aksi Rusia Tersebut, namun dibalik kecaman tersebut terdapat peran media-media

Turki yang mengkonstruksikan opini publik agar memberikan dukungan terhadap Tatar
Krimea dan mengecam Rusia.
Referensi:
Diuk, Nadia. 2014. ”EUROMAIDAN: Ukraine's Self-Organizing Revolution”, dalam World
Affairs, Vol. 176, No. 6. Pp. 9-16.
Gilboa, Eytan (2005) “Global Television News and Foreign Policy: Debating the CNN
Effect”, International Studies Perspectives, (6), pp. 325-341.
Hurriyet.

2014.

Tatars,

Turks

not

to

leave

Crimea

again.

http://www.hurriyetdailynews.com/opinion/murat-yetkin/tatars-turks-not-to-leavecrimea-again-65108. diakses pada 14 Desember 2017.
Hurriyet. 2015. Aydın Doğan against continued debate with President Erdoğan in Turkey’s
‘painful

period.

http://www.hurriyetdailynews.com/aydin-dogan-against-continued-

debate-with-president-erdogan-in-turkeys-painful-period-89210.

diakses

pada

14

Desember 2017.
Hurriyet. 2016. Ankara reiterates support for Crimean Tatars, decries Russian ‘occupation.
http://www.hurriyetdailynews.com/ankara-reiterates-support-for-crimean-tatars-decriesrussian-occupation-99315. Diakses pada 14 Desember 2017.
Kaya, Rasit dan Baris Cakmur. 2010. “Politics and the Mass Media in Turkey”, dalam
Turkish Studies, 11:4, 521-537.
Lavrov, Sergey. 2016. Russia’s Foreign Policy in a Historical Perspective. [Online]
http://eng.globalaffairs.ru/number/Russias-Foreign-Policy-in-a-Historical-Perspective18067. Diakses pada 19 April 2017.
Naveh, Chanan (2002) “The Role of the Media in Foreign Policy Decision-Making: A
Theoretical Framework”, Conflict & Communication Online, 1(2), pp. 1-14.
Onuch, Olga. 2015. “Brothers Grimm or Brothers Karamazov: The Myth and the Reality of
How Russians and Ukrainians View the Other”, dalam Ukraine and Russia: People,
Politics, Propaganda and Perspectives. Bristol: E-IR Pubishing.