Uji Kecernaan Bahan Kering, Bahan Organik, Kadar NH3 dan VFA Pelepah Kelapa Sawit Terolah Fisik, Kimia dan Biologis Pada Sapi Secara In Vitro

TINJAUAN PUSTAKA Potensi Pelepah Kelapa Sawit

  Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (2013), luas areal perkebunan kelapa sawit di Sumatera Utara hingga tahun 2012 mencapai luas 5.456.500 ha dan pada tahun 2013 seluas 5.592.000 ha (data sementara). Luas areal perkebunan kelapa sawit dari tahun ke tahun semakin meningkat.

  Salah satu limbah perkebunan yang dapat dimanfaatkan adalah daun kelapa sawit yang berasal dari pemangkasan pelepah daun kelapa sawit. Dari satu pelepah daun kelapa sawit dapat dihasilkan 3,333 kg daun kelapa sawit segar dengan kandungan bahan kering mencapai 35% (Ishida dan Hassan, 1992).

  Susunan daun tanaman kelapa sawit mirip dengan tanaman kelapa yaitu membentuk susunan daun mejemuk. Daun-daun tersebut akan membentuk suatu pelepah daun yang panjangnya dapat mencapai kurang lebih 7,5 – 9 m. Jumlah anak daun pada tiap pelepah berkisar antara 250 – 400 helai (Hanafi, 2004).

  Tabel 1. Kandungan nutrisi pelepah kelapa sawit Pelepah Kelapa Zat Nutrisi

  Sawit BK Abu PK LK SK GE (K.cal/g) (%) (%) (%) (%) (%)

  Fisik 8,88 4,05 5,56 1,12 49,21 4,4274 Kimia 9,63 6,59 6,25 1,09 43,07 4,4851 Biologis 10,29 12,63 6,19 1,07 36,52 3,9733 Kimia + Biologis 9,82 8,01 6,31 0,89 39,22 3,4623

  

Keterangan: BK (Bahan Kering); PK (Protein Kasar); LK (Lemak Kasar); SK (Serat Kasar);

GE (Gross Energy). Sumber: Laboratorium Loka Penelitian Kambing Potong Sei Putih (2014)

  Menurut Balitnak (2003), tingkat kecernaan bahan kering pelepah daun kelapa sawit pada sapi mencapai 45%. Demikian pelepah kelapa sawit dapat digunakan sebagai sumber atau pengganti pakan hijauan. Namun, adanya lidi pada pelepah kelapa sawit akan menyulitkan ternak dalam mengkonsumsinya. Masalah tersebut dapat diatasi dengan pencacahan yang dilanjutkan dengan pengeringan dan penggilingan. Pemanfaatan pelepah kelapa sawit sebagai bahan pakan ruminansia disarankan tidak melebihi 30%.

  Teknik Pengolahan Pelepah Kelapa Sawit

  Perlakuan dengan amoniasi dan silase sangat dirasakan keuntungannya karena lebih aman dan meningkatkan nilai nutrisi yang lebih baik serta mengawetkan limbah pertanian. Kandungan bahan kering, protein kasar dan kecernaan pelepah kelapa sawit yang telah dibuat amoniasi dan silase dengan penambahan urea menjadi lebih meningkat dibandingkan tanpa pemakaian urea dan kecernaan bahan kering akan meningkat 45% terutama bila diberikan pada sapi (Ishida dan Hassan, 1992). Keuntungan lain dengan perlakuan amoniasi dan fermentasi terutama dengan penggunaan urea, adalah selain pengerjaannya mudah, juga dapat meningkatkan kualitas dari pakan.

  Berikut adalah tabel kandungan kimia senyawa penyusun serat pada pelepah kelapa sawit: Tabel 3. Kandungan senyawa kimia penyusun serat pada pelepah kelapa sawit Unsur kimiawi Pelepah kelapa sawit (%) Selulosa

  31,7 Hemiselulosa

  33,9 Lignin

  17,4 Silika

  0,6 Total

  83,6

  Sumber : Ginting dan Elizabeth (2013)

  Kandungan bahan kering, bahan organik, pH, dan NH daun kelapa sawit

  3 segar, silase, dan amoniasi disajikan pada Tabel 3. Tabel 4. Komposisi kimiawi pelepah kelapa sawit segar, silase, dan amoniasi Peubah Perlakuan

  Segar Silase Amoniasi Bahan kering (%) 27,07 56,26 64,08 Bahan Organik (%) 89,13 91,74 93,20 pH 5,43 5,83 8,31 NH

  3 (mM) 0,45 1,68 Sumber: Hanafi (2004)

  Ada beberapa pengolahan yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kecernaan serat kasar. Peningkatan kuantitas bagian yang dapat dicerna pada pakan yang berkualitas rendah, dapat dilakukan melalui proses fisik (pencacahan), kimia (amoniasi) dan biologis (fermentasi).

  Perlakuan Fisik

  Merupakan proses yang diberikan pada bahan pakan sumber energi alternatif seperti memotong-motong, mencincang, menggiling atau membuat pelet yang kesemuanya dimaksudkan untuk meningkatkan daya cerna bahan pakan tersebut. Proses fisik yang dilakukan disesuaikan dengan spesies hewan ternak yang akan mengkonsumsinya, demikian juga dengan jumlah yang akan diberikan (Piliang, 1997).

  Perlakuan fisik berupa pemotongan, penggilingan, pelleting, penghancuran dan lain-lain. Perlakuan fisik yang dilakukan pada pelepah kelapa sawit adalah pencacahan dengan menggunakan mesin chopper hingga mencapai ukuran 1-2 cm. Pencacahan dilakukan dengan mencacah semua bagian pelepah kelapa sawit.

  Peternak rakyat biasanya memanfaatkan pelepah kelapa sawit sebagai pakan ternak dengan cara memisahkan daun pelepah kelapa sawit dengan lidinya.

  Kemudian kulit pelepah bagian luar yang mengeras digunakan sebagai kerajinan dan daging pelepah bagian dalam dicacah dan diberikan kepada ternak sebagai pakan ternak.

  Perlakuan Kimiawi

  Ada tiga sumber amonia yang dapat dipergunakan dalam proses amoniasi yaitu : NH

  3 dalam bentuk gas cair, NH

  4 OH dalam bentuk larutan, dan urea dalam

  bentuk padat. Penggunaan NH

  3 gas yang dicairkan biasanya relatif mahal. Selain

  harganya mahal juga memerlukan tangki khusus yang tahan tekanan tinggi minimum (minimum 10 bar). Demikian pula halnya dengan larutan amonia NH OH selain harganya relatif mahal juga sukar diperoleh, sehingga pemakaian

  Menurut Piliang (1997), tujuan pemberian bahan kimia adalah untuk meningkatkan daya cerna sebaik mungkin dan dapat pula dimaksudkan untuk memberikan daya pengawet pada bahan tersebut. Pada pemberian beberapa bahan kimia perlu diwaspasai kemungkinan terjadinya interaksi dari bahan kimia yang ditambahkan dengan ketersediaan mikro nutrien lain yang terdapat dalam campuran ransum.

  Satu-satunya sumber NH 3 yang murah dan mudah diperoleh adalah urea. Urea yang banyak beredar untuk pupuk tanaman pangan. Menurut Siregar (1995) urea dengan rumus molekul CO (NH ) banyak digunakan dalam ransum ternak

  2

  2

  ruminansia karena mudah diperoleh, harga murah dan sedikit keracunan yang diakibatkannya. Secara fisik urea berbentuk kristal padat berwarna putih dan higroskopis. Urea mengandung nitrogen sebanyak 42 – 45% atau setara dengan potein kasar antara 262 – 281%.

  Menurut Gohl (1981) penambahan urea pada amoniasi akan meningkatkan kandungan protein kasar sebanyak 12,7%. Menurut Hanafi (2004), kandungan bahan kering pelepah kelapa sawit segar yaitu 27,07% sedangkan kandungan bahan kering pelepah kelapa sawit yang telah diamoniasi meningkat sebesar 64,08%. Kandungan bahan organik pelepah kelapa sawit segar yaitu 89,13% sedangkan kandungan bahan organik pelepah kelapa sawit yang telah diamoniasi meningkat sebesar 93,20%.

  Perlakuan Biologis

  Fermentasi adalah segala macam proses metabolik dengan bantuan enzim dari mikroba (jasad renik) untuk melakukan oksidasi, reduksi, hidrolisa dan reaksi kimia lainnya, sehingga terjadi perubahan kimia pada suatu substrat organik dengan menghasilkan produk tertentu dan menyebabkan terjadinya perubahan sifat bahan tersebut (Winarno et al., 1980).

  Fermentasi terjadi karena terbentuknya asam laktat oleh bakteri yang terdapat pada hijauan segar atau penambahan asam lemak atau zat pengawet seperti Na – metabisulphite. Fermentasi karbohidrat menjadi asam laktat menyebabkan pH tersebut dinilai terawetkan dengan baik dan mengandung 8 – 12% asam laktat (dasar bahan kering), hal ini dicapai bila persediaan karbohidrat cukup dan kondisi anaerob terjamin (Reksohadiprodjo, 1988).

  Fermentasi dilakukan dengan cara menambahkan bahan mengandung mikroba proteolitik, lignolitik, selulolitik, lipolitik, dan bersifat fiksasi nitrogen non simbiotik (contohnya: starbio, starbioplus, EM-4, dan lain-lain) (Yunilas, 2009).

  Lama daya simpan produk fermentasi ditentukan oleh kadar air produk fermentasi, sempurna tidaknya proses fermentasi, jenis kemasan dan suhu ruang penyimpanan produk fermentasi tersebut. Lokasi yang memiliki kelembaban yang tinggi, maka jenis kemasan merupakan faktor yang harus diperhatikan karena dapat mempengaruhi fisik produk, berdampak terhadap performan ternak yang mengkonsumsinya (Pasaribu et al., 2001).

  Keberhasilan suatu produk fermentasi secara nyata dapat ditentukan melalui kecernaan. Prinsip penentuan kecernaan zat-zat makanan adalah menghitung banyaknya zat-zat makanan yang dikonsumsi dikurangi dengan banyaknya zat makanan yang dikeluarkan melalui feses. Upaya fermentasi akan bernilai guna apabila diketahui nilai kecernaannya (Sukaryana et al., 2011).

  Menurut Hanafi (2004), kandungan bahan kering pelepah kelapa sawit segar yaitu 27,07% sedangkan kandungan bahan kering pelepah kelapa sawit yang telah difermentasi meningkat sebesar 56,26%. Sedangkan kandungan bahan organik pelepah kelapa sawit segar yaitu 89,13% sedangkan kandungan bahan organik pelepah kelapa sawit yang telah difermentasi meningkat sebesar 91,74%.

  Probiotik Biomol

  Biomol adalah produk bioteknologi terapan yang merupakan campuran mikroorganisme yang bermanfaat dalam pemecahan serat, protein dan lemak sehingga akan mendorong fermentasi pakan serta meningkatkan sintesis protein mikroba rumen. Seleksi mikroba rumen ke arah pemurnian mikroba yang mempunyai keunggulan tertentu, misalnya dalam hal mencerna serat kasar, pencernaan lignin atau menghilangkan pengaruh anti nutrisi dalam pakan dapat juga membantu upaya peningkatan efisiensi pemanfaatan pakan.

  Berikut merupakan tabel komposisi mikroorganisme yang terkandung dalam Biomol: Tabel 5. Komposisi yang terkandung dalam Biomol

  No. Bakteri Cfu/g

  3

  1 Azotobacter paspalii 3,20 x 10

  6

  2 Bacillus lentus 8,00 x 10

  7

  3 Bacillus licheniformes 2,00 x 10

  9

  4 Bacillus pumilus 4,20 x 10

  9

  5 Bacillus stearothermophyllus 3,20 x 10

  5

  6 Bacillus subtilis 2,00 x 10

  9

  7 Corynrbacterium pseudodiptericicum 8,00 x 10

  7

  8 Micrococcus varians 2,00 x 10

  8

  9 Sarcina lutca 8,00 x 10

  7

  10 Staphylococcus epidermis 2,00 x 10 Khamir

  7

  1 Saccharomyces coreviseae 2,00 x 10

  Sumber : PT. Banyumas Raya, Purwokerto Sistem Pencernaan pada Ruminansia

  Sistem pencernaan pada ternak umumnya terdiri dari mulut, kerongkongan, lambung, usus kecil, usus besar dan anus. Namun kelebihan ternak ruminansia adalah memiliki empat lambung yaitu rumen, retikulum, omasum dan abomasum.

  Bagian terbesar dari lambung ternak ruminansia adalah rumen, yang berfungsi sebagai tempat fermentasi. Rumen mengandung populasi mikrobial yang terdiri dari bakteri, protozoa, jamur dan ragi yang memfermentasikan makanan yang ditelan. Sumber utama energi yang diabsorbsi pada hewan ruminan adalah produksi akhir fermentasi, disebut asam lemak terbang. Fermentasi menghasilkan sejumlah gas, terutama karbondioksida (CO ) dan metana (CH ).

  2

  4 Gas-gas ini dihilangkan melalui proses eruktasi (bleaching). Penghancuran

  makanan, terutama makanan kasar, menjadi partikel-partikel kecil untuk memudahkan proses fermentasi dilakukan melalui proses ruminasi. Bolus ingesta rumen dibentuk oleh otot pada bagian dasar esophagus, dimuntahkan dan dikunyah. Ruminansi atau memamahbiak merupakan karakteristik atau ciri-ciri dari semua hewan ruminan (Wahyuni, 2009).

  Gambar 1. Sistem Pencernaan pada Ruminansia

  Sistem pencernaan ruminansia mempunyai fungsi penggunaan/absorbsi hasil fermentasi mikrobial yang optimal. Keadaan ini memungkinkan ruminansia tidak tergantung sumber luar dari vitamin B-kompleks dan asam-asam amino. Kedudukan ternak ruminansia adalah menyediakan makanan bagi manusia dari sumber serat dan sumber non-protein dan tidak bersaing dengan manusia dalam hal makanannya. Pengetahuan fermentasi dalam rumen mengarah kepengertian yang mendalam mengenai peranan mikroflora dalam saluran pencernaan termasuk dari ternak dan spesies makhluk lain (Reksohadiprodjo, 1988).

  Definisi Kecernaan

  Kecernaan adalah zat-zat makanan dari konsumsi pakan yang tidak diekskresikan ke dalam feses, selisih antara zat makanan yang dikonsumsi dengan yang dieksresikan dalam feses merupakan jumlah zat makanan yang dapat dicerna. Jadi kecernaan merupakan pencerminan dari kemampuan suatu bahan pakan yang dapat dimanfaatkan oleh ternak. Tinggi rendahnya kecernaan bahan pakan memberikan arti seberapa besar bahan pakan itu mengandung zat-zat makanan dalam bentuk yang dapat dicernakan ke dalam saluran pencernaan.

  Tingkat kecernaan (digestibility) adalah bagian zat makanan yang tidak diekskresikan dalam feses. Anggorodi (1990) menyatakan pada dasarnya tingkat kecernaan adalah suatu usaha untuk mengetahui banyaknya zat makanan yang diserap oleh saluran pencernaan. Selanjutnya dijelaskan bahwa bagian yang dapat dicerna adalah selisih antara zat-zat makanan yang dikonsumsi dengan zat-zat makanan yang dibuang bersama feses.

  Tingkat kecernaan suatu pakan menggambarkan besarnya zat - zat makanan yang tersedia yang dapat dimanfaatkan oleh ternak untuk proses hidup pokok (maintenance), pertumbuhan, produksinya maupun reproduksi (Ginting, 1992). Kecernaan nutrisi tinggi bila nilainya 70%, dan rendah bila nilainya lebih kecil dari 50%.

  Daya Cerna Bahan Pakan

  Menurut Anggorodi (1994), meneliti koefisien cerna dari berbagai bahan makanan, maka bahan makanan yang mengandung sedikit serat kasar merupakan bahan yang sangat mudah dicerna. Semakin banyak serat kasar yang terdapat dalam suatu bahan makanan, semakin tebal dan semakin tahan dinding sel dan akibatnya semakin rendah daya cerna bahan makanan.

  Faktor-faktor yang mempengaruhi daya cerna antara lain, 1) suhu, 2) laju perjalanan melalui alat pencernaan, 3) bentuk fisik bahan makanan, 4) komposisi ransum, dan 5) pengaruh terhadap perbandingan dari zat makanan lainnya (Anggorodi, 1994).

  Dilihat dari kandungan protein kasar, maka daun kelapa sawit dapat diharapkan sebanding dengan hijauan. Jafar dan Hassan (1990), menyatakan bahwa kandungan lignin, selulosa dan hemiselulosa mempengaruhi kecernaan makanan dan telah diketahui bahwa antara kandungan liginin dan kecernaan bahan kering berhubungan sangat erat terutama pada rumput-rumputan. Lignin dan selulosa sering membentuk senyawa lignoselulosa dalam dinding sel tanaman, lignoselulosa ini merupakan suatu ikatan yang kuat (Sutardi, 1980). Tabel 6. Tingkat kecernaan bahan kering, protein dan serat bahan pelepah dan daun kelapa sawit Kecernaan (%) Bahan

  Pelepah kelapa sawit Daun sawit Bahan kering

  60

  62 Protein kasar

  78

  80 Serat deterjen netral

  52

  56 Serat deterjen asam

  53

  52 Sumber : Ginting dan Elizabeth ( 2013) Selulosa tidak dapat dicerna dan tidak dapat digunakan sebagai bahan makanan kecuali pada hewan ruminansia yang mempunyai bakteri selulolitik dalam rumennya. Selulosa lebih tahan terhadap pereaksi kimia daripada pati. Asam lemah dan alkali lemah mempunyai pengaruh kecil terhadap selulosa akan tetapi zat tersebut dapat dihidrolisis oleh asam kuat menjadi glukosa. Selulosa dapat dilarutkan dalam larutan tembaga beramonia yang disebut pereaksi

  Sweitzer . Enzim-enzim yang dihasilkan oleh jaringan hewan mamalia tidak dapat melarutkannya, hanya bakterilah yang dapat menguraikannya (Anggorodi, 1979).

  Kecernaan in vitro daun sawit kurang dari 50% (kualitas biologi medium). Disarankan pemberian daun sawit pada ternak jangan melebihi 20% dari ransum. Penggunaan daun sawit dibatasi oleh tingginya kadar lignin, sehingga perlu dilakukan pengolahan untuk meningkatkan daya cerna nya melalui perlakuan fisik, kimia, biologis atau kombinasinya (Sukria dan Krisnan, 2009).

  Produksi Volatil Fatty Acid (VFA) dalam Rumen

  Pada ruminansia, karbohidrat makanan dirubah menjadi asam-asam asetat, propionat dan butirat. Asam propionat diabsorbsi dari rumen ke sirkulasi portal dan dibawa ke hati yang merubahnya menjadi glukosa dan menjadi bagian cadangan glukosa hati. Asam-asam asetat dan butirat diabsorbsi seperti halnya asam propionat hanya dalam hal ini asam butirat dirubah menjadi asam beta-hidroksi-butirat (BHBA) oleh jaringan dinding rumen. Asam asetat dan BHBA dari hati disalurkan ke sistem sirkulasi dan dipakai oleh jaringan sebagai sumber energi untuk sintesa lemak (Tillman, et al., 1991).

  Proses fermentasi karbohidrat dalam rumen menghasilkan energi dalam bentuk VFA sebesar 80% dan 20% sisanya merupakan energi yang terbuang dalam bentuk produk gas CO , CH dan energi dalam bentuk ATP

  2

  4

  (France dan Siddons, 1993). Banyaknya VFA yang dihasilkan di dalam rumen sangatlah bervariasi yaitu antara 200 – 1500 mg/100 ml cairan rumen. Hal ini tergantung pada jenis ransum yang dikonsumsi (McDonald et al, 2002). Kadar

  VFA yang dibutuhkan untuk menunjang pertumbuhan mikroba rumen yang optimal adalah 80 – 160 mM (Sutardi, 1979).

  Tidak dapat disimpulkan bahwa semua asam volatil yang ditemukan dalam rumen timbul secara langsung dari fermentasi karbohidrat. Beberapa mungkin datang dari aksi mikroorganisme pada protein atau senyawa nitrogen lainnya. Ada juga beberapa interkonversi asam setelah produksi. Gas-gas yang terbentuk adalah metana dan karbon dioksida dan hidrogen di bawah beberapa kondisi. Besarnya pencernaan mikroba ditunjukkan oleh studi dengan sapi menunjukkan bahwa 40 sampai 80% dari asupan bahan kering menghilang dalam rumen dan retikulum, sekitar 80 persen dari karbohidrat (Maynard, 1981).

  Asam lemak terbang diabsorpsi dalam rumen melalui proses difusi pada dinding rumen. Sekitar 75% asam lemak terbang diabsorpsi dalam rumen dan 25% sisanya diabsorpsi setelah melewati rumen. Hampir seluruh bahan tidak mengalami perubahan konsentrasi dalam retikulum dan omasum, kecuali air dan elektrolit, khususnya bikarbonat yang di diabsorpsi dalam omasum. Asam lemak terbang dimetabolis dalam sel-sel ephitel dinding rumen dan omasum (Sembiring, 2010).

  Selulosa Hemiselulosa

  Heksosa Pati

  Pektin Pentosa Lintasan

Embden-meyerhoff

  As. Priruvat Lintasan Pentosa

  Lintasan akhir Asetil CoA

  Format Lintasan

  CO2 + H2 Suksinat

  PROPIONAT

  Metan ASETAT BUTIRAT

  Gambar 2 : Skema Lintasan Utama Fermentasi Karbohidrat Menjadi VFA (France dan Siddons, 1993).

  Dari penelitian pada rumen domba dengan menggunakan fistula rumen diperoleh hasil bahwa apabila disakarida dimasukkan ke dalam rumen dan retikulum, maka terbentuk asam laktat dan asam lemak terbang. Pembentukan asam laktat merupakan hasil metabolisme karbohidrat tanpa menggunakan oksigen (Sembiring, 2010).

  Produksi N-Amonia (NH ) dalam Rumen

  menurunkan akivitas protozoa. Fermentasi protein makanan yang rendah kualitasnya dalam rumen dapat menaikkan kualitas protein karena nilai biologis protein mikroorganisme tinggi. Perombakan beberapa protein adalah cepat, sehingga menghasilkan kadar amonia rumen yang tinggi dan sebagian diserap dan diekskresikan sebagai urea (Tillman, et al., 1991).

  Asam-asam amino hasil katabolisme jaringan juga tedapat dalam darah. Asam amino yang berlebihan akan di deaminasi oleh hati menjadi amonia dan asam-asam alfa-keto. Amonia dapat dipergunakan untuk mengaminasi asam-asam keto menjadi asam-asam amino, tetapi kebanyakan dirubah menjadi urea dan dikeluarkan melalui urine atau dikembalikan ke traktus alimentarius melalui air liur. Amonia mungkin juga diabsorbsi dari retikulo rumen ruminansia ke vena porta dan diubah hati menjadi urea, dan seterusnya (Tillman, et al., 1991).

  Konsentrasi amonia di dalam rumen merupakan suatu besaran yang sangat penting untuk dikendalikan karena sangat menentukan optimasi pertumbuhan mikroba rumen. Sekitar 80% mikroba rumen dapat menggunakan amonia sebagai sumber nitrogen untuk pertumbuhannya (Arora, 1995).

  Berikut ini akan digambarkan skema proses degradasi protein dalam rumen yang akan dijelaskan pada gambar 3 di bawah ini:

  DALAM DALAM USUS RUMEN PROTEIN PAKAN OLIGOPEPTIDA ASAM AMINO NH3 PROTEIN ASAM KETO PAKAN PROTEIN TUBUH PROTEIN MIKROBA PROTEIN

  VFA CO2 CH4 MIKROBA Gambar 3 : Proses Degradasi Protein Dalam Rumen (Sutardi, 1977).

  Jika degradasi protein lebih cepat daripada sintesis protein mikroba maka NH

  

3 akan terakumulasi dan melebihi konsentrasi optimumnya. Kisaran optimum

  NH

  

3 dalam rumen berkisar antara 85 – 300 mg/l atau 6 - 21 mM. Konsentrasi NH

  3

  yang tinggi dapat menunjukkan proses degradasi protein pakan lebih cepat daripada proses pembentukan protein mikroba, sehingga amonia yang dihasilkan terakumulasi dalam rumen (McDonald et al., 2002). Sedangkan menurut Satter dan Slyter (1974) menyatakan bahwa kisaran amonia yang cukup untuk pertumbuhan mikroba yang maksimal adalah 3,75mM - 15,00 mM.

  Menurut Sembiring (2010), protein yang larut atau disebut soluble intake

  protein (SIP) adalah protein yang sangat cepat didegradasi menjadi amonia dalam

  rumen, sedangkan undegraded intake protein (UIP) adalah protein yang lolos tidak didegradasi, namun dicerna dalam usus induk semang. Mikroorganisme memerlukan SIP dan DIP untuk pertumbuhan dan perkembangannya. Semua protein yang didegradasi atau degraded intake protein (DIP) dan Soluble intake

  

protein (SIP) adalah protein yang dapat dirombak dan menghasilkan amonia

dalam rumen.

  Menurut penelitian Harahap (2010), dinyatakan bahwa perlakuan amoniasi dengan urea telah terbukti mempunyai pengaruh yang baik terhadap pakan. Proses amoniasi lebih lanjut juga akan memberikan keuntungan yaitu meningkatkan kecernaan pakan. Setelah terurai menjadi NH

  3 dan CO 2 . Dengan molekul air NH

  3

  akan mengalami hidrolisis menjadi NH

  4 dan OH, berarti bahwa dalam suasana

  netral (pH = 7) akan lebih banyak terdapat sebagai NH+. Dengan demikian amoniasi akan serupa dengan perlakuan alkali. Gugus OH dapat merenggut putus ikatan hidrogen yang terdapat pada ikatan selulosa, lignoselulosa dan lignohemiselulosa.

  Peran Mikroba Rumen

  Beberapa fakta pada ruminansia menunjukkan bahwa mikroorganisme dalam rumen dapat mensintesis protein, vitamin B, karbohidrat, dan beberapa bahan organik lain, sehingga membantu induk semang dalam penyediaan kebutuhan vitamin B, asam amino essensial, dan beberapa mineral. Produk akhir fermentasi dalam rumen ialah asam lemak terbang, karbon dioksida, metan, dan ammonia. Asam lemak terbang merupakan sumber energi pada induk semang (Sembiring, 2010).

  Cairan retikulo-rumen mengandung bakteria dan protozoa dan konsentrasi

  9

  bakteria kira-kira 10 tiap cc isi rumen, sedangkan jumlah protozoa bervariasi

  5

  6

  kira-kira 10 sampai 10 setiap cc. Macam makanan sangat berpengaruh terhadap konsentrasi jasad renik dan konsentrasi tertinggi didapat pada makanan yang mengandung banyak konsentrat dan terutama berkadar pati tinggi. Makanan mengandung proporsi tinggi biji-bijian merangsang pertumbuhan bakteri laktobasili dan menyebabkan pH cairan rumen yang rendah (Tillman, et al., 1991).

  Banyak bakteria rumen memerlukan vitamin B, ammonia, CO , as. Asetat,

  2

  as. Valerat, as. Isobutyrat, as. Isovalerat, as. Z – methyl butyrat, juga sebagai zat tambahan (bagi 30% strain bakteria memerlukan mineral Ca, Mg, Na, K, P, CO, S, Fe, Mo, Se, Ni, Mn da Zn (Reksohadiprodjo, 1988).

  Asam laktat, butirat, H 2 adalah produk fermentasi pokok oleh protozoa. Asam laktat juga penting pada fermentasi pati. Propionat merupakan produk minor. Beberapa protozoa memerlukan bakteria sebagai sumber makanannya.

  Pengaruh yang nyata adalah pada Ratio – VFA (Reksohadiprodjo, 1988).

  Teknik In Vitro

  Percobaan pencernaan memakan waktu yang mahal dan memerlukan sampel pakan besar. Oleh karena itu, banyak upaya telah diberikan untuk mengembangkan metode untuk memperkirakan daya cerna secara tidak langsung atau dengan metode in vitro. Dinding sel, lignin, hemiselulosa, silika, dan protein isinya telah digunakan secara individual atau dalam kombinasi untuk menunjukkan bahan kering dicerna. Dalam penentuan in vitro berdasarkan prosedur yang dikembangkan oleh Tilley dan Terry (1963) telah banyak dan berhasil digunakan (Maynard, 1981).

  Oleh karena pencernaan pada non-ruminansia sukar ditiru keseluruhannya, kecuali untuk protein yang menggunakan pepsin dan HCl. Daya cerna bahan makanan untuk ruminansia dapat ditentukan dengan teliti dengan menggunakan metode in vitro 2 tingkat. Koefisien cerna yang ditentukan secara in vivo biasanya 1 – 2% lebih rendah dari harga in vitro, teknik ini dipergunakan secara luas untk menganalisis makanan kasar (Tillman, et al., 1991).

  Di samping manfaat maupun kelebihannya, sistem evaluasi pakan secara

  in vitro juga memiliki kelemahan, terutama dalam proses penyiapan sumber

  inokulum karna harus menggunakan cairan rumen (Tilley dan Terry, 1963; Baan et al., 2004; Sudirman, 2013). Cairan rumen biasanya diambil dari ternak yang berfistula rumen dan/atau menyedotnya melalui mulut (Mauricio et al., 2001; Baan et al., 2004; Sudirman, 2013).

  Umumnya digunakan dalam tahap awal penelitian secara in vitro untuk prediksi nilai kecernaan pakan dalam rumen dan prediksi nilai nutrisi pakan.Produksi gas in vitro merupakan simulasi rumen dalam sistem bacth culture. Sampel pakan yang akan diteliti di inkubasi dalam fermentor (syringe

  glass atau botol serum) pada suhu 39 C dalam medium anaerob yang diinokulasi

  dengan mikroba rumen. Adanya aktifitas fermentasi oleh mikrobia rumen akan menghasilkan gas. Gas yang terbentuk berasal dari hasil fermentasi (CO

  2 dan CH

  4 ) dan secara tidak langsung dari CO 2 yang dilepaskan dari buffer bikarbonat setiap dihasilkan volatile fatty acid (VFA) (Kurniawati, 2007).

  Menurut Sudirman (2013), sistem analisis kecernaan secara in vivo merupakan suatu metode konvensional yang telah lama lazim diterapkan untuk mengevaluasi nilai kecernaan pakan (Lopez, 2005). Walaupun hasilnya valid, evaluasi atau uji nilai pakan dengan metode in vivo masih memiliki keterbatasan apabila diterapkan secara rutin, tingginya biaya operasional (banyak ternak, tenaga kerja, fasilitas, pakan, waktu) dan sulit diaplikasikan ketika ketersediaan pakan yang akan diuji terbatas jumlahnya (Baan, et al., 2004). Maka telah dikembangkan metode in vitro (Tilley dan Terry, 1963) yang pada dasarnya meniru sistem kecernaan pakan di dalam saluran pencernaan ternak ruminansia. Tabel 7. Kebaikan dan Keterbatasan Metode In Vivo dan In Vitro untuk Analisis Kecernaan Pakan.

  Metode Kebaikan Keterbatasan

  In Vivo -

  Hasilnya lebih sahih

  • Membutuhkan banyak ternak atau pakan dan tenaga
  • Aman dari isu animal welfare
  • Tidak praktis menguji banyak jenis pakan secara simultan atau tidak praktis terhadap pakan yang terbatas
  • Diperoleh respon ternak terhadap pakan yang diuji
  • Reproducity bervariasi
  • Hasil yang diperoleh tidak berlaku umum
  • Tidak dapat menentukan degradabilitas pakan

  • Uji langsung di dalam dan pasca rumen

  In Vitro -

  Reproducity tinggi

  • Zat gizi untuk mikrobia terbatas (hanya dari pakan yang diuji dan buffer)
  • Dilakukan di dalam laboratorium
  • Memerlukan sampel pakan relatif sedikit
  • Nilai kecernaan bukan yang sesungguhnya
  • Korelasi positif dengan in vivo
  • Membutuhkan inkubator dan fasilitas pendukungnya
  • Banyak jenis pakan yang dapat diuji dalam setiap pengujian
  • Membutuhkan ternak berfistula untuk koleksi cairan rumen Sumber: Sudirman (2013).

Dokumen yang terkait

Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik Ransum yang Mengandung Pelepah Daun Kelapa Sawit dengan Perlakuan Fisik, Kimia, Biologis dan Kombinasinya Pada Domba

0 44 60

Uji Kecernaan Bahan Kering, Bahan Organik, Kadar NH3 dan VFA Pelepah Kelapa Sawit Terolah Fisik, Kimia dan Biologis Pada Sapi Secara In Vitro

5 93 70

Pemanfaatan Pelepah Daun Kelapa Sawit Amoniasi Terhadap Kecernaan Bahan Kering Dan Bahan Organik Pada Sapi Brahman Cross

0 26 61

Pelepah dan Daun Kelapa Sawit Terfermentasi oleh Aspergillus niger Dalam Konsentrat Terhadap Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik Ransum Pada Sapi iiiBali (Bos sondaicus)

0 38 67

Pemanfaatan Pelepah Sawit Dan Hasil Ikutan Industri Kelapa Sawit Terhadap Kecernaan Bahan Kering Dan Bahan Organik Pada Sapi Peranakan Simental

0 43 52

Uji Kecernaan Bahan Kering, Bahan Organik, Kadar Nh3 Dan Vfa Jerami Jagung, Pelepah Daun Sawit Dan Pucuk Tebu Terolah Pada Sapi Secara In Vitro

2 57 69

Pemanfaatan Pelepah Kelapa Sawit Terolah Secara Amoniasi dan Fermentasi Terhadap Performans Sapi Aceh

3 56 47

Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik Ransum yang Mengandung Pelepah Daun Kelapa Sawit dengan Perlakuan Fisik, Kimia, Biologis dan Kombinasinya Pada Domba

0 1 13

Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik Ransum yang Mengandung Pelepah Daun Kelapa Sawit dengan Perlakuan Fisik, Kimia, Biologis dan Kombinasinya Pada Domba

0 1 12

Penggunaan Pelepah dan Daun Kelapa Sawit Terfermentasi oleh Aspergillus niger Terhadap Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik pada Sapi Bali (Bos sondaicus)

0 0 13