Natuna dan Transformasi Eksternal Regional Security Supercomplexes Laut China Selatan

  

Natuna dan Transformasi Eksternal

Regional Security Supercomplexes Laut China Selatan

  3 Mely Noviryani

Abstract

  The South China Sea is territorial waters between East Asia and Southeast Asia

disputed among China, Taiwan, Malaysia, Vietnam and the Philippines related to the

annexation of the Spratly and Paracel islands.Based on Regional Security Complex

Theory introduced by Barry Buzan and Ole Waever, the type of thesecurity complex as

this is the type of Supercomplexes Regional Security where strong interregional

security dynamics arising from great power spill over into adjacent regions. In the

beginning of this article will be explained how Supercomplexes Regional Security in the

South China Sea region. In further development, China is increasingly expanding its

claim to the territory in the South China Sea by further claiming most of Natuna islands

which belong to Indonesian territory by putting nine dash line on their map. Indonesia

has thus far been a non-claimant state in the South China Sea conflict. Indonesia,

instead, as ASEAN Member States takes part initiating mediation in this conflict.

However, claim over Natunaislands istherefore pushing Indonesia becomes one of the

claimant states. By applying Regional Security Complex Theory, it will observe that

the involvement of Indonesia into the conflict is form of an external transformation of

the Supercomplexes Regional Security

  Keywords : external transformation, Regional Security Complex Theory, South China Sea Conflict

  Pendahuluan

  Pada medio Maret 2014, Menteri Luar Negeri Indonesia, Marty Natalegawa memberikan keterangannya mengenai keberatan pihak Indonesia atas peta kepulauan Natuna yang dikeluarkan pemerintah China. Dalam peta tersebut dicantumkan sembilan titik atau nine dash line yang menentukan batas wilayah yang menjadi bagian wilayah China atas sebagian kepulauan Natuna.

  Keberatan pemerintah Indonesia tersebut telah disampaikan melalui PBB pada tahun 2010 untuk meminta kejelasan dari pihak China apa yang menjadi latar belakang hukum penetapan nine dash line tersebut (Panca, 2014). Walaupun Kemenlu berkeras mengatakan bahwa hal tersebut tidak serta merta menunjukkan bahwa Indonesia memiliki sengketa wilayah laut dengan China, namun hal yang berbeda diungkapkan oleh pihak Kementrian Koordinator

  Penulis adalah Staf Pengajar pada Program Studi Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya Politik Hukum dan Keamanan. China dinyatakan telah mengklaim wilayah perairan Natuna sebagai wilayah lautnya (Bilal, 2014). Hal tersebut masih terkait dengan sengketa China dengan Filipina, Malaysia, Vietnam dan Taiwan atas kepualauan Spratly dan Paracel. Bukan hanya sekedar menggambar peta laut Natuna di laut China Selatan dengan nine dash line nya, klaim China atas kepulauan Natuna sebagaimana juga pemetaan wilayah perbatasan laut dengan negara-negara lain terkait kepualaun Spartly dan Paracel, klaim ditunjukkan juga dengan mengeluarkan paspor terbaru warga China yang mencantumkan wilayah tersebut sebagai wilayah China. Kondisi ini bisa membawa perubahan baru dalam konflik di laut China Selatan.

  Bagi Indonesia, klaim China atas wilayah laut kepulauan Natuna memang terkait dengan kedaulatan wilayah laut Indonesia sebagaimana halnya sengketa wilayah laut dengan beberapa negara yang lain. Wilayah laut Indonesia memang merupakan wilayah yang rawan akan konflik karena belum adanya kesepakatan batas laut antara Indonesia dengan beberapa negara tetangga yang lain. Saling klaim wilayah, berikut dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanannya menjadi potensi konflik yang bukan saja dapat mengganggu hubungan Indonesia dengan negara-negara tersebut, namun juga menjadikan Indonesia negara yang lemah dalam mempertahankan kedaulatan wilayah lautnya. Sedikitnya terdapat 9 batas laut wilayah Indonesia yang belum mencapai kesepakatan dengan negara yang lain sehingga rawan terhadap konflik. Batas-batas wilayah laut tersebut adalah dengan Malaysia, Singapura, Thailand, India, Vietnam, Thailand, Filipina, Republik Palau, Timor Leste.

  Bagi kawasan, terutama sebagian kawasan Asia Timur, klaim China atas wilayah laut kepulauan Natuna ini berpotensi mempengaruhi konstelasi konflik Laut China Selatan yang selama ini menjadi konflik dimana aktor utamanya adalah China, Taiwan, Malaysia, Filipina, Vietnam dan Brunei. Sementara Indonesia sendiri selama ini bukan merupakan claimant states (negara yang melakukan klaim atas wilayah yang bersangkutan) dalam konflik Laut China Selatan. Bahkan Indonesia didorong oleh banyak pihak, terutama Amerika Serikat sebagai negara anggota ASEAN yang 3 negara anggotanya merupakan

  , untuk menjadi mediator dan berperan aktif dalam penyelesaian

  claimant states

  Konflik Laut China Selatan. Namun klaim China atas wilayah laut Kepulauan Natuna akan memasukkan Indonesia sebagai pemain baru dalam Konflik Laut China Selatan sebagai claimant states, dan bukan lagi sebagai mediator.

  Konflik Laut China Selatan dan Regional Security Supercomplexes

  Laut China Selatan merupakan wilayah peraian yang memfasilitasi aktifitas ekonomi di Asia. Wilayah perairan ini dikelilingi oleh sepuluh negara pantai yaitu Filipina, Vietnam, Kamboja, Thailand, Malaysia, Indonesia, Brunei Darussalam, China dan Taiwan. Hasil perikanan yang kaya dan dugaan atas melimpahnya sumber daya energi di wilayah peraian ini menjadikan wilayah peraian ini menjadi salah satu wilayah perairan terpenting di dunia. Hal ini menyebabkan Laut China Selatan diperebutkan oleh negara-negara yang berada di sekitar wilayah perairan ini. Klaim wilayah dan maritim yang saling tumpang tindih di wilayah perairan ini mewarnai dinamika konflik Laut China Selatan. Agresifitas China dalam melakukan klaim terus menerus dan semakin meluas di wilayah perairan ini, terlibatnya negara-negara ASEAN sebagai claimant states, aktifnya Amerika Serikat dalam upaya penyelesaian sengketa wilayah peraian di kawasan ini menghasilkan dinamika keamanan kawasan yang sangat kompleks.

  Gambar1. Wilayah Laut China Selatan

Sumber : Laura Schwartz, Competing Claims in the South China Sea Keamanan kawasan adalah salah satu fokus keamanan yang mengedepan paska perang dingin. Berakhirnya bipolaritas dalam politik internasional mengalihkan fokus keamanan global menjadi keamanan-keamanan kawasan. Kompleksitas keamanan di kawasan-kawasan di dunia ini memberikan alternatif pendekatan keamanan tradisional menjadi pendekatan kawasan. Pendekatan keamanan kawasan dengan meninjau kompleksitasnya ditawarkan Barry Buzan dan Ole Waever melalui Regional Security Complex Theory. Dalam Regional Security Complex Theory kawasan didefinisikan sebagai :

  

“a distinct and significant subsystem of security relations exist[ing]

among a set of states whose fate is that they have been locked into

geographical proximity with each other”(2003: 46-47) Regional Security Complex Theory adalah teori yang memadukan

  pendekatan neorealis dan konstruktivis untuk melihat kompleksitas keamanan kawasan. Pendekatan neorealis digunakan untuk melihat peran power

  

distribution dan faktor geografis dalam kawasan yang dimaksud. Sementara

  pendekatan konstruktivis digunakan untuk mengidentifikai pola amity dan yang membentuk kompleksitas keamanan di kawasan. Secara utuh

  enmity

Regional Security Complex memiliki variabel-variabel sebagai berikut :

boundary dalam Regional Security Complex, social construction dan pola

  dan enmity negara-negara di dalam kawasan, anarchic stucture atau

  amity

  struktur anarki dalam sistem kawasan, serta polaritas atau power distribution di dalam kawasan (Buzan, 2003: 53).

  Boundary

  Dalam Regional Security Complex Theory, rasa tidak aman diciptakan oleh ancaman yang datangnya dari negara yang berdekatan, bukan dari negara yang jaraknya jauh. Oleh karenanya dunia dipahami memiliki beberapa kompleksitas keamanan regional, yang menjadi subsistem dari keamanan global. Masing-masing kawasan juga memiliki subkompleksitas- subkompleksitas yang membentuk kompleksitas keamanan kawasan juga. Dalam kasus Laut China Selatan, maka kawasan perairan ini merupakan memiliki subkompleksitas yang membentuk kompleksitas keamanan kawasan baik bagi kawasan Asia Timur dimana China dan Taiwan merupakan bagian di dalamnya maupun bagi kawasan Asia Tenggara yang menjadi letak 3 claimant

  

states lain dalam konflik Laut China Selatan. Maka yang dimaksud boundary

  dalam kasus ini adalah kawasan Laut China Selatan dan negara-negara claimant states. Dalam konteks kasus ini maka peringkat analisis yang digunakan adalah atau antar kawasan yang memberi karakteristik tipe Regional

  inter-region

Security Complex yang Supercomplexes. Buzan (2003: 63) membagi tipe

  kompleksitas keamanan (security complex) sebagai berikut :

  Tabel 1. Tipe Security Complex

Sumber : Barry Buzan, dan Ole Wæver, Regions and Powers: The Structure of International

  Security

  Dilihat dari fitur kuncinya, konflik tipe Supercomplexes memiliki karakter dinamika keamanan yang kuat antar kawasan, yaitu kawasan Asia Tinur dan Asia Tenggara. Asia Timur diwakili oleh China dan Taiwan dan Asia Tenggara yang diwakili oleh Malaysia, Vietnam, dan Filipina, kelimanya adalah

  

claimant states atau negara yang melakukan klaim atas wilayah Laut China

  Selatan. Dinamika keamanan antar kawasan yang terjadi diakibatkan oleh ke dalam kawasan lain yang berdekatan. China pasca

  spilovergreat power perang dingin tumbuh menjadi negara great power. Negara great powers oleh Buzan dikarakteristikan sebagai negara yang tidak harus memiliki kapasitas besar dalam semua sektor dan tidak harus selalu aktif dalam proses sekuritisasi dan desekuritisasi dalam semua area di sistem internasional. Negara seperti ini cenderung melihat dirinya lebih dari sekedar kekuatan regional atau regional

  . Status great power kuncinya terletak pada perbedaan respon yang

  powers

  diberikan oleh pihak lain terhadapnya dibandingkan terhadap negara lain di kawasan berdasarkan kalkulasi level sistem tentang distribusi power pada saat itu dan di masa depan. Negara great powers cenderung melihat dirinya lebih dari sekedar kekuatan regional atau regional powersdan memiliki prospek sebagai

  

super powers serta mampu beroperasi di lebih dari satu kawasan (Buzan, 2003:

37).

  Karakteristik-karakteristik diatas dimiliki oleh China. Secara militer China memang belum menempati posisi sebagai negara dengan kapabilitas militer first-class yang menjadi karakteristik negara super powers. Amerika Serikat masih menempati posisi teratas sebagao negata yang memiliki kekuatan militer terbesar sampai saat ini berdasarkan 40 indikator yang digunakan oleh Global Fire Power, sebuah lembaga penyedia data kekuatan militer dunia (Lingga Pos, 2013). Namun demikian pada tahun 2013, China menaikkan belanja militernya sebesar 10,7 persen sehingga mencapai 710,2 miliar Yuan atau setara sengan US$ 115,7 miliar, angka yang cukup besar dan mengancam bagi negara-negara yang sedang berseteru dengannya (Gerin, 2013). Dengan pengembangan kapabilitas yang selalu meningkat dari tahun ke tahun, China senantiasa dipandang sebagai ancaman oleh Amerika Serikat sebagai negara

  . Kompetisi Sino-US terkait dengan peningkatan kapabilitas

  super power

  miliuternya dan agresifitasnya di wilayah kawasan Asia bahkan dikhawatirkan oleh beberapa ahli akan menuntun pada Perang Dingin baru antara Amerika Serikat dan China (Williams, 2008: 143).

  Struktur Anarkhi

  Kontestasi atau konflik di Laut China Selatan tidak lebih dan tidak kurang diperanguhi oleh perubahan keamanan regional yang muncul paska Perang Dingin. Klaim wilayah yang dilakukan China sebetulnya telah berlangsung bahkan selama Perang Dingin. Namun selama Perang Dingin, upaya klaim China atas wilayah-wilayah di perairan ini terbatasi oleh situasi pada saat itu. China mampu melakukan konsolidasi terkait klaimnya atas kepualaun Paracel dengan Vietnam pada 1974 melalui upaya pemulihan hubungannya dengan Amerika Serikat pada saat itu. Pada tahun 1980an China juga tidak bisa mengacuhkan dampak klaimnya atas sebagian dari kepulauan Spratly yang menjadi bagian wilayah Vietnam karena pespektif strategisnya terhadap Uni Soviet pada saat itu (Leifer, 2012: 3). Paska Perang Dingin misalnya, penarikan basis militer Amerika Serikat di Filipina, China menetapkan jangkauan peraiannya sampai ke salah satu wilayah Spratly yaitu Mischeif Reef yang berjarak 130 mil dari Palawan yang menjadi wilayah Filipina (Leifer, 2012: 3). Hilangnya rivalitas Amerika Serikat dan Uni Soviet paska Perang Dingin menyebabkan struktur kawasan Asia Timur dan Asia Tenggara menjadi anarki bersamaan dengan ketiadaan proyeksi kekuatan kedua negara adidaya itu di kawasan ini yang sebelumnya membatasi agresivitas China dalam mengklaim wilayah di Laut China Selatan.

  Social Construction

  Variabel Social Construction menjelaskan pola amity (kawan) dan enmity (lawan) di kawasan, bagaimana pola ini terbentuk, bagaimana pola ini bertahan, dan apakah bisa pola ini diubah. Melalui variabel ini dilihat bagaimana dinamika

  

balance of power menciptakan security dilemma, mutual distrust dan

  sebagainya yang mendorong pola enmity dan amity (San, 1993: 43). Pola amity dan enmity adalah latar belakang sejarah dan sosial. Pola amity dan enmity bisa berbentuk chaos (dimana hampir semua hubungan jenisnya adalah enmity), formasi konflik regional (didominasi oleh hubungan yang konfliktual namun masih dimungkinkan), security regime (didominasi hubungan kerjasama

  amity

  tapi enmity masih tetap ada), dan secuirty communities (hampir semua hubungan merupakan hubungan amity). Pola hubungan seperti ini sifatnya bertahan lama, dan walaupun dimungkinkan bisa berubah akan sangat perlahan dan tidak mudah (San, 1993: 44).

  Dalam konteks Laut China Selatan pola amity dan enmity yang terjadi bentuknya chaos, hampir semua hubungan jenisnya enmity. China yang agresive untuk memperluas wilayahnya membentuk hubungan enmity yang kuat dengan Taiwan, Malaysia, Vietnam, dan Filipna. Hubungan China dan Taiwan yang memang memiliki sejarah hubungan selat yang panjang melalui sejarah panjang kolonialisme atas Taiwan. China sejak 1949 mengklaim Taiwan sendiri sebagai salah satu propinsinya, namun klaim ini ditolak keras oleh Taiwan. Konflik China dan Taiwan di Laut China Selatan berkembang sampai pada klaim wilayah. Taiwan mengklaim Spratly khususnya Pulau Pratas sebagai bagian dari wilayahnya. Sementara itu Spartly sendiri merupakan gugusan kepulauan yang diklaim pula oleh ketiga negara lainnya. Secara umum konflik Laut China Selatan muncul karena klaim China atas keseluruhan Laut China Selatan yang menurut China berdasarkan sejarahn merupakan bagian wilayahnya. Catatan sejarah, penemuan situs, dan dokumen-dokumen menunjukkan penggunaan gugusan pulau-pulau di Laut China Selatan tersebut menjadi wilayah yang digunakan oleh nnelayan China. Klaim ini mendapatkan penolakan dari negara- negara yang lain. Claimant States yang lain juga memiliki klaim yang sama atas gugusan pulau ini berdasarkan catatan sejarahnya masing-masing. Meskipun wilayah yang diperebutkan di laut China Selatan ada beberapa, namun Spratly dan Paracel adalah yang paling konfliktual dilihat dari intensitas konfliknya. Klaim Vietnam didasarkan pada latar belakang sejarah ketika Vietnam masih menjadi jajahan Perancis pada tahun 1930an, dimana pada saat itu Spratly dan Paracel berada di bawah kontrol nya, Oleh karena itu setelah merdeka, Vietnam mengklaim kedua pulau tersebut dengan menggunakan argumen dasar landasan kontinen (Karmina, 2012: 36). Filipina mengklaim Spratly berdasarkan prinsip landas kontinen dan catatan sejarah eksplorasi Spratly oleh penjelajah Filipina pada tahun 1956. Filipina secara resmi mengklaim 8 pulai di Spratly sebagai bagian dari propinsi Palawan. Klaim Malaysia berdasarkan atas sebagian wilayah di Spratly berdasarkan prinsip landas kontinen atas 3 pulau yang diklaimnya (Karmina, 2012: 37).

  Pola konflik ini berlangsung panjang karena China terus menerus memperluas wilayah yang diklaimnya. Pada perkembangan terakhir masing- masing claimant states mengukuhkan klaim mereka dengan mendirikan pos terdepan baru oleh masing-masing negara, yatiu di : Pulau Karang Barat Daya dan Kepulauan Spratly oleh Vietnam, Terumbu Karang Mariveles dan Bantaran Ardasier oleh Malaysia, Pulau Thitu oleh Filipina, Itu Ada oleh Taiwan dan China sendiri di Terumbu Karang Fiery Cross (Sieff, 2013).

  Power Distribution

  Power Distribution dalam Regional Security Complex berbasis pada ( yang membuat negara-negara harus berhadapan dengan

  logic of anarchy

  security competition) dan dampak dari kedekatan geografis (Sieff, 2013). Power

  

distribution kemudian terletak pada mekanisme penetrasi. Penetrasi terjadi ketika

  kekuatan luar melakukan aliansi keamanan dengan negara-negara dalam Regional Security Complex (Sieff, 2013: 46). Ambisi China di wilayah Laut China Selatan pada perkembangannya mendorong masuknya kembali kekuatan lain di luar kawasan baik sebagai upaya perimbangan kekauatan China di Laut China Selatan, maupun sebagai mediator. Vietnam dan Filipina, dan juga Malaysia dalam level yang lebih kecil terus menerus mencari kekuatan luar untuk membantu, seperti Amerika Serikat dan India. Filipina telah meminta bantuan Amerika Serikat dalam melakukan modernisasi kekuatan angkatan lautnya. Filipina juga menekankan disepakatinya kerjasama pertahanan untuk menginisiasi masuknya kekuatan bersenjata Amerika Serikat ke Filipina dalam rangka mengantisipasi konflik terbuka di Laut China Selatan (Kurlantzik, 2011).

  Demikian juga Vietnam. Negara ini menjalin kerjasama dengan India untuk melakukan joint project eksplorasi energi di Laut China Selatan yang kemudian mendapatkan reaksi keras dari media China (Kurlantzik, 2011).

  Kekuatan lain yang sebetulnya sudah lama masuk adalah ASEAN. Pada 2002, ASEAN dan China telah menandatangani Declaration on Conduct untuk Laut China Selatan (Declaration on the Conduct of Parties in the South China

  ). DOC ini mengatur komitmen negara-negara pihak untuk mendorong

  Sea/DOC

  penyelesaian konflik secara damai, tidak digunakannya kekuatan militer dalam penyelesaian konflik dan mengendalikan perilaku dalam berhadapan dengan negara pihak yang lain (Murphy 2014). Sebelumnya China berkeras untuk menyelesaikan sengketa klaim wilayah ini secara bilateral (Buszynski, 2003: 344). Declaration on Conduct ini ternyata tidak menahan agresivitas China di kawasan, sehingga insiden-insiden di Laut China Selatan masih terus berlangsung karena mekanisme penegakannya untuk menjamin pemenuhan prinsip-prinsip dalam DOC ini tidak ada. Selama pemerintahan Obama, Amerika Serikat secara terus menerus menggunakan forum-forum ASEAN pula untuk mendorong perundingan multilateral antara China dengan claimant states Laut China Selatan yang lainnya (Synmonds, 2013). Upaya Amerika Serikat inilah yang kemudian membuat Filipina dan Vietnam tadi mengambil langkah lebih jauh dan justru memecah belah ASEAN. Untuk pertama kalinya ASEAN tidak dapat mengajukan joint communique pada ASEAN Summit pada 2012, karena friksi yang muncul antara Filipina dan Kamboja, yang belakangan menjadi lebih dekat ke China (Synmonds, 2013).

  Secara khusus Amerika Serikat juga mendorong Indonesia untuk menjadi mediator dalam Konflik laut China Selatan. Sebagai upaya memperbaiki kegagalan DOC, Indonesia telah menginisiasi negosiasi Code of Conduct (COC) yang didalamnya berisi ketentuan-ketentuan yang sama dengan DOC sekaligus memasukkan cara-cara untuk mencegah dan menghindari eskalasi militer di Laut China Selatan (Murphy, 2014). Amerika Serikat menyatakan dukungannya atas upaya Indonesia ini. Dalam kunjungannya ke Indonesia pada Februari 2014, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, John Kerry menyatakan dukungan Amerika Serikat atas kepemimpinan Indonesia di ASEAN dalam negosiasinya dengan China unntuk segera menyelesaikan Code of Conduct di Laut China Selatan (Antaranews, 2014). Sebelumnya hubungan antara China dan Amerika Serikat sempat memanas setelah reaksi keras China atas pernyataan kepala operasi Angkatan Laut Amerika Serikat Jonathan Greeneth tentang kesiapannya memenuhi permintaan Filipina jika negara tersebut diserang China terkait Konflik Laut China Selatan (Antaranews, 2014). Terkait dengan hal inilah maka Amerika Serikat menegaskan pentingnya peran Indonesia dalam membanti penegakan hukumn laut internasional dan kebebasan berlayar di Laut China Selatan

  Natuna, Transformasi Eksternal Merespon Regional Security Supercomplexes Laut China Selatan

  Pada beberapa tahun belakangan, China melakukan serangkaian tindakan yang membuat konflik Laut China Selatan makin memanas. Pada tahun 2009, China mempublikasikan peta nine dash line nya yang memasukkan sebagian wilayah kepulauan Natuna dalam wilayah paling utaranya. Indonesia mengajukan keberatannya melalui PBB khususnya kepada UNCLOS pada tahun 2010 dan meminta kejelasan koordinat pasti dan dasar yang pakai oleh China menentukan koordinat tersebut yang menurut Indonesia tidak konsisten dengan yang ditetapkan UNCLOS. Dari sisi Indonesia ketentuan UNCLOS memang menjadi landasan hukum yang penting. Indonesia adalah negara kepulauan terbesar yang tidak memiliki kapasitas angkatan laut yang memadai untuk melindungi dan mempertahankannya. Dengan panjang wilayah 3000 mil dari timur ke barat dan 17.000 pulau yang dihubungkan dengan perairan, Indonesia membutuhkan jaminan keamanan atas wilayahnya yang memang terdiri dari darat dan laut yang sama-sama luas. Pada saat UNCLOSE diterapkan tahun 1994, ketentuannya memberikan jaminan atas kedaulatan negara kepulauan atas wilayah perairan internalnya (Antaranews, 2014). Oleh karenanya ketentuan dan kekuasaan UNCLOSE ini menjadi kepentingan tersendiri bagi Indonesia. Namun China tidak memberikan merespon positif permintaan Indonesia ini (Murphy, 2014).

  China pada beberapa tahun belakangan juga semakin provokatif dalam mewujudkan klaim atas wilayahnya di Laut China Selatan dengan semakin sering menggunakan kekuatan militer untuk mewujudkannya. China memperluas wilayah laut yang digunakannya unruk pelatihan militer mulai dari klaim paling utara yang paling dengan dengan mainland China sampai dengan wilayah paling selatan sehingga beberapa kali berkonfrontasoi dengan kapal- kapal maritim Indonesia. Pada tahun 2010, kapal patroli Indonesia menangkap tindakan penangkapan ikan ilegal yang dilakukan kapal China, Yuzheng 311 yang dilengkapi dengan peralatan perang yang kemudian digunakan China untuk mengancam kapal Indonesia agar melepaskannya dari perairan tersebut. Insiden yang sama juga terjadi pada bulan Maret 2013 di Kepulauan Natuna, dan China menggunakan ancaman yang sama untuk memaksa kapal patroli Indonesia melepaskan nelayannya (Murphy, 2014). Demi menjaga stabilitas Laut China Selatan, Indonesia tidak mempublikasikan tindakan-tindakan China ini dengan harapan China akan lebih menghargai kepemimpinan Indonesia sebagai mediator dalam proses penyelesaian konflik Laut China Selatan. Namun mulai awal tahun 2014, China memberlakukan Air Defense Identification Zone (ADIZ) di atas Laut China Timur yang akan diberlakukan juga di wilayah Laut China Selatan. Dengan pemberlakukan ADIZ ini, maka ditutuplah wilayah penangkapan ikan di seputar kepulauan Hainan sampai mencapai 57% Laut China Selatan (Murphy, 2014). Pemberlakuan ADIZ ini semakin meningkatkant konstelasi konflik Laut China Selatan , karena bukan saja meningkatkan reaksi keras claimant states awal Laut China Selatan, namun juga mendorong Indonesia untuk mengungkapkan konfliknya dengan China terkait kepulauan Natuna. Walaupun Kemenlu belum secara tegas menyatakannya sebagai konflik terbuka antara Indonesia dengan China, namun terkuaknya berita tentang keberatan Indonesia atas nine dash line yang ditetapkan China dalam peta wilayahnya, mau tidak mau menjadikan Indonesia sebagai claimant state baru dalam konflik Laut China Selatan.

  Dalam Regional Security Complex Theory terdapat 3 evolusi yang mungkin muncul merespon Regional Security Complex atau khususnya dalam kasus ini adalah Regional Security Supercomplexes (Buzan, 20013: 53) :

  • Maintenance of The Status Quo, yang artinya tidak terdapat perubahan signifikan dalam struktur dasar keamanan kawasan
  • Internal Transformation, yang artinya terjadi perubahan dalam struktur dasar keamanan kawasan dalam konteks pada struktur anarkinya (karena adanya integrasi regional), pada polaritasnya (karena adanya disintegrasi, merger, penaklukan, dan lain-lain), atau pada pola dominan amity dan

  (karena pergeseran ideologi, perubahan kepemimpinan dan lain

  enmity

  sebagainya)

  • Eksternal Transformation, yang artinya terjadi perluasan boundary kawasan, sehingga terjadi perubahan keanggotaan dalam Regional

  Security Complex, yang juga memungkinkan perubahan struktur dasar keamanan kawasan.

  Masuknya Indonesia sebagai claimant statesdalam konflik Laut China Selatan menunjukkan terjadinya Eksternal Transformation dalam Regional

  Laut China Selatan. Boundary yang tadinya terbatas

  Securty Supercomplexes

  pada wilayah Laut China Selatan yang berbatasan dengan China, Taiwan, Malaysia, Vietnam, dan Filipina, kini mengalami perluasan sampai ke wilayah kepulauan Natuna yang merupakan wilayah Indonesia. Secara tidak langsung keanggotaan Regional Security Supercomplexes Laut China Selatan pun mengalami penambahan dengan memasukkan Indonesia ke dalamnya.

  Dengan masuknya Indonesia dalam pusaran konflik Laut China Selatan akan mengubah pula perubahan struktur dasar keamanan kawasan yang artinya terjadinya Internal Transformation dalam Regional Security Supercomplexes Laut China Selatan. Dalam kasus ini Internal Transformationcenderung pada konteks polaritas atau Power Distribution. Dengan masuknya Indonesia dalam Konflik Laut China Selatan sebagai claimants states, Indonesia tidak lagi memenuhi syarat yang memadai sebagai mediator dalam konflik wilayah ini. Indonesia tidak lagi berada pada posisi yang netral karena terlibat langsung sebagai negara yang melakukan klaim wilayah kepulauan Natuna yang juga diklaim oleh China sebagai wilayahnya. Secara implisit, China menolak peran Indonesia sebagai mediator dalam upaya negosiasi damai konflik Laut China Selatan. Penolakan secara terbuka atas inisiasi negosiasi damai multilateral akan membuat Chinaharus berhadapan dengan norma internasional. Sejak awal China memang menolak negosiasi damai penyelesaian konflik Laut China Selatan melalui mekanisme multilateral dan digunakannya Hukum Internasional seperti ketentuan UNCLOS dalam menetapkan batas wilayah Laut China Selatan. Di sisi yang lain upaya negosiasi yang dilakukan baik oleh ASEAN, yang didorong oleh Amerika Serikat, dan yang diupayakan Indonesia sendiri selalau menggunakan mekanisme multilateral. Dengan menjadikan Indonesia sebagai

  

claimant states maka Indonesia tidak lagi bisa menjadi mediator dalam

  penyelesaian konflik Laut China Selatan karena salah satu pihak, dalam hal ini China menolak peran Indonesia sebagai mediator. Indonesia juga tidak lagi memiliki syarat impartial sebagai mediator dalam penyelesaian konflik karena Indonesia memiliki kepentingannya sendiri dalam konflik Laut China Selatan sehingga keberpihakannya akan sangat kuat. Syarat lain mediator, yaitu

  

credibility pun tidak dipenuhi. Ketika DOC tidak berjalan efektif dan COC

  belum mampu menjadi mekanisme menjaga keamanan kawasan dari eskalasi konflik Laut China Selatan, Indonesia, dan lebih jauh lagi ASEAN, tidak lagi memiliki kredibilitas sebagai mediator. China dan dalam konteks tertentu negara-negara ASEAN yang kemudian menjadi lebih dekat dengan China seperti Kamboja tidak lagi melihat Indonesia dan ASEAN mampu menjalankan fungsinya sebagai mediator. Bahkan claimant states yang lain, seperti Malaysia, Vietnam, dan Filipina tidak lagi bisa berharap pada peran Indonesia dan ASEAN dalam penyelesaian konfliknya dengan China terkait Laut China Selatan, dan lebih memilih melakukan aliansi dan bekerjasama dengan negara di luar kawasan seperti India dan Amerika Serikat.

  Penetrasi Amerika Serikat ke dalam kawasan Laut China Selatan yang tadinya menentukan power distribution di kawasan ini juga akan mengalami pergeseran. Dengan tidak bisanya Indonesia menjadi mediator dan gagalnya forum-forum ASEAN dalam menyelesaikan konflik Laut China Selatan, Amerika Serikat tidak lagi memiliki kepanjangan tangan penetrasi tidak langsungnya dalam konflik Laut China Selatan. Amerika Serikat harus langsung berhadapan dengan China melalui bantuan militernya terhadap Filipina atau melalu mekanisme aliansinya dengan Jepang. Jenis penetrasi ini lebih mudah untuk mengundang pro dan kontra keterlibatan Amerika Serikat dalam keamanan kawasan yang letaknya jauh secara geografis.

  Kesimpulan

  Laut China Selatan sebagai salah satu perairan terpenting di dunia memiliki kompleksitas keamanan kawasan yang menunjukkan tipe Regional Security Supercomplexes karena melibatkan dinamika keamanan antar kawasan yang kuat yaitu Asia Timur dan Asia Tenggara. Klaim yang saling tumpang tindih dan agresifitas China dalam memperluas kawasannya secara terus menerus mewarnai dinamika konflik Laut China Selatan ini. Klaim terbarunya atas wilayah kepulauan Natuna mengubah distribusi power keamanan kawasan. Perubahan power distribution yang merupakan bentuk Transformasi Internal menurut Regional Security Complex Theory terjadi karena adanya external

  

transformation dalam Regional Security Complex. Transformasi Eksternal

ditandai dengan perubahan keanggotaan dalam Regional Security Complex.

  Masuknya Indonesia yang selama ini adalah mediator menjadi claimant states dalam konflik Laut China Selatan merupakan bentuk transformasi eksternal karena ini bisa dilihat sebagai masuknya anggota baru dalam Regional Security

  Laut China Selatan. Bagi Indonesia sendiri ini mengakhiri

  Supercomplexes

  peran sekaligus kredibilitasnya sebagai mediator karena Indonesia memiliki kepentingan dalam konflik Laut China Selatan yang menjadikannya tidak lagi memiliki netralitas. Bagi China, transformasi eksternal ini memperkecil kemungkinan penyelesaian konflik Laut China Selatan melalui mekanisme multilateral dan penggunaan hukum internasional yang selama ini dihindari China untuk menyelesaikan konflik Laut China Selatan.

  DAFTAR PUSTAKA Buku

Buszynski, Leszek, 2003. ASEAN, The Declaration on Conduct, and the South China

Sea. Contemporary Southeast Asia 25, No. 3. Hal 344 diunduh dari pada 14 April 2014

Buzan, Barry dan Ole Wæver. 2003. Regions and Powers: The Structure of

International Security. Cambridge, U.K : Cambridge University Press Williams, Paul D. (ed).2008. Security Studies, An Introduction. London : Routledge

  Website

Gerin, Roseanne. 15 Maret 2013. China Meningkatkan Belanja Militer Dalam Angaran

2013, Asia Pacific Defense Forum, diakses dari 15 April 2014

  

Indiana ,Agus. 3 Juni 2013. 9 Batas Laut Indonesia Rawan Konflik. Kabar Indiependen

diakses dari pada

  15 April 2014

Kurlantzik, Joshua . 11 Oktober 2011. Growing US Role in South China Sea : Expert

Brief, Council Foreign Relation, diakses dariada 16 April 2014

  

Leifer, Michael.2012. Stalemate in the South China Sea. diunduh dari

a 16 April 2014

Muhammad,GM Nur Lintang. 17 Februari 2014. AS Harapkan Indonesia Soal Sengketa

Laut China Selatan. ANTARANEWS.com, diakses dari ada 16 April 2014

Murphy, Ann Marie. 1 April 2014. The End of Strategic Ambuiguity : Indonesia

Formally Announces Its Disputes With China in the South China Sea. PacNet. Number

  26. Pacific Forum CSIS, diakses dari a 16 April 2014

Pranowo, Panca Hari. 19 Maret 2014 . Indonesia Pernah Sampaikan Keberatan Atas

Peta Natuna. ANTARANEWS.com, , diakses dari pada 14 April 2014

  

Ramadhan, Bilal. 12 Maret 2014. Wah, China Klaim Perairan Natuna. Republika

Online diakses dari

a 14 April 2014

  

San, Khoo How. May 1999 . Approaches To The Regional Security Analysis of

Southeast Asia. Thesis, The Australian National University. diakses dari pada

  16 April 2014

Schwartz, Laura. February 2014. Competing Claims in the South China Sea.A Round

Table Report, diunduh dari pada 15 April 2014

Sieff, Maryin. 5 Desember 2013 . China, Filipna, Vietnam, Malaysia, Taiwan

Mengklaim Kehadiran di Laut China Selatan. Asia Pacific Defence Forum, diakses dari da 16 April 2014

Suharna, Karmin. 2012. Konflik dan Solusi Laut China Selatan dan Dampaknya Bagi

Ketahanan Nasional. Majalah Komunikasi dan Informasi Lemhanas Edisi 94, 2012 diunduh dari

pada 15 April 2014

Symonds, Peter, 11 Oktober 2013. US-China Tension Flare Over South China Sea.

Worlds Socialist Web Site, International Committee of The Fourth Internastional (ICFI). diakses dari pada 16 April 2014