MAKALAH ANTROPOLOGI PENDIDIKAN ( 1 )

MAKALAH ANTROPOLOGI PENDIDIKAN
ANTROPOLOGI PENDIDIKAN
Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah
Antropobiologi
Dosen Pengampu:
NURUL HUDA, M.Pd
Disusun oleh:
Sukini NPM B2617110032
Firdah Rothul Elissah NPM B2617120041
Marjono NPM B2617120111
PG PAUD IKIP VETERAN SEMARANG

BAB. I
PENDAHULUAN
Pendidikan suatu proses pembelajaran, pemberian pengetahuan, keterampilan dan
sikap karakter positif. Pendidikan dapat diperoleh melalui lembaga formal dan informal.
Penyampaian kebudayaan melalui lembaga informal tersebut dilakukan melalui enkulturasi
semenjak kecil di dalam lingkungan keluarganya. Dalam masyarakat yang sangat kompleks,
terspesialisasi dan berubah cepat, pendidikan memiliki fungsi yang sangat besar dalam
memahami kebudayaan sebagai satu keseluruhan..
Kebudayaan di masa depan tidak dapat diramalkan secara pasti, sehingga dalam

mempelajari kebudayaan baru diperlukan metode baru untuk mempelajarinya. Dalam hal ini
pendidik dan antropolog harus saling bekerja sama, dimana keduanya sama-sama memiliki
peran yang penting dan saling berhubungan. Pendidikan bersifat konservatif yang bertujuan
mengumpulkan hasil-hasil prestasi kebudayaan, yang dilakukan oleh pemuda-pemudi sehinga
dapat menyesuaikan diri pada kejadian-kejadian yang dapat diantisipasikan di dalam dan
diluar kebudayaan serta merintis jalan untuk melakukan perubahan terhadap kebudayaan.

BAB. II
ANTROLOGI PENDIDIKAN
(Teori Antrologi Pendidikan)
Antrpologipendidikan mulai menampilkan dirinya sebagai disiplin ilmu pada pertengahan abad-20.
Pada waktu itu banyak pertanyaan yang diajukan kepada tokoh pendidikan tentang sejauhmana
pendidikan dapat mengubah suatu masyarakat. Sebagaimana di ketahui pada waktu itu negara maju
tengah mengibarkan program besarnya, yakni menciptakan pembangunan di negara-negara yang
baru merdeka (hadad,1980). Antropologi pendidikan berupaya menemukan pola budaya belajar
masyarakat (pedesaan dan perkotaan) yang dapat menciptakan perubahan sosial. Demikian juga

mengenai perwujudan kebudayaan para pengambil kebijakan pendidikan yang berorientasi pada
perubahan sosial budaya mendapat perhatian.


Pada awalnya Antropologi dipandang sebagai ilmu yang menggambarkan kebudayaan
masyarakat yang ada di luar Eropa. Bahan dasar pembentunkan ilmu itu dikumpulkan sejak
abad ke-18 ketika banyaknya cerita-cerita orang perorangan yang kebetulan bertemu dengan
kelompok suku bangsa yang kehidupannya amat unik dan bersahaja dalam perspektif bangsa
Eropa. Cerita-cerita tersebut diperkuat dengan perjalanan ilmuan yang mengunjungi
masyarakat kelompok tersebut, yang didukung oleh laporan administrasi pegawai colonial
tentang keadaan lingkungan dan adat istiadat bangsa yang berada dikoloninya. Sejumlah
informasi tersebut menjadi sekumpulan data berharga untuk menjadi bahan analisis ilmuan,
termasuk pihak pemerintah colonial untuk mendorong dilakukannya serangkaian penelitian
yang sistematis mengenai kehidupan bangsa diluar benua Eropa.
A. Pengertian
1. Antropologi
Antropologi adalah kajian tentang manusia dan cara-cara hidup mereka. Antropologi
mempunyai dua cabang utama, yaitu antropologi yang mengkaji evolusi fisik manusia dan
adaptasinya terhadap lingkungan yang berbeda-beda, dan antropologi budaya yang mengkaji
baik kebudayaan-kebudayaan yang masih ada maupun kebudayaanyang sudah punah. Secara
umum antropologi budaya mencakup antropologi bahasa yang mengkaji bentuk-bentuk
bahasa, arkeologi yang mengkaji kebudayaan-kebudayaan yang masih punah, etnologi yang
mengkaji kebudayaan yang masih ada atau kebudayaan yang hidup yang masih dapat di
amati secara langsung.[1]

Antropologi merupakan salah satu cabang ilmu sosial yang mempelajari
tentangbudaya masyarakat suatu etnis tertentu. Lahir atau muncul berawal dari ketertarikan
orang-orang Eropa yang melihat ciri-ciri fisik, adat istiadat, budaya yang berbeda dari apa
yang dikenal di Eropa. Antropologi lebih memusatkan pada penduduk yang merupakan
masyarakat tunggal, tunggal dalam arti kesatuan masyarakat yang tinggal di daerah yang
sama, antropologi mirip seperti sosiologi tetapi pada sosiologi lebih menitikberatkan pada
masyarakat dan kehidupan sosialnya.
Antropologi adalah suatu ilmu yang memahami sifat – sifat semua jenis manusia
secara lebih banyak. Antropologi yang dahulu dibutuhkan oleh kaum misionaris untuk
penyebaran agama Nasrani dan bersamaan dengan itu berlangsung system penjajahan atas
Negara – Negara di luar Eropa, dewasa ini dibutuhkan bagi kepentingan kemanusiaan yang
lebih luas. Studi antropologi selain untuk kepentingan pengembangan ilmu itu sendiri, di
Negara – Negara yang telah membangun sangat diperlukan bagi pembuatan – pembuatan
kebijakan dalam rangka pembangunan dan pengembangan masyarakat.
Sebagai suatu disiplin ilmu yang sangat luas cakupannya, maka tidak ada seorang ahli
antropologi yang mampu menelaah dan menguasai antropologi secara sempurna.
Demikianlah maka antropologi dipecah – pecah menjadi beberapa bagian dan para ahli
antropologi masing – masing mengkhususkan diri pada spesialisasi sesuai dengan minat dan
kemampuannya untuk mendalami studi secara mendalam pada bagian – bagian tertentu
dalam antropologi. Dengan demikian, spesialisasi studi antropologi menjadi banyak, sesuai


dengan perkembangan ahli – ahli antropologi dalam mengarahkan studinya untuk lebih
mamahami sifat – sifat dan hajat hidup manusia secara lebih banyak.[2]

2. Sejarah Perkembangan Antropolgi
Tahap pertama, antropologi muncul ketika orang pribumi di Asia, Afrika dan
Amerika didatangi oleh orang Eropa. Orang Eropa tertarik kepada orang pribumi karena
kebudayaan orang Eropa sangat berbeda dengan kebudayaan orang pribumi.
Tahap kedua, antropopologi telah berkembang dengan tujuan utama untuk
mempelajari masyarakat dan kebudayaan primitif dengan maksud untuk mendapat suatu
pengertian tentang tingkat-tingkat kuno dalam sejarah dan evolusi dan sejarah
penyebaran kebudayaan manusia.
Tahap ketiga, pada fase perkembangan ketiga ini, antroplogi menjadi suatu ilmu
yang praktis, dengan tujuannya adalah mempelajari masyarakat dan kebudayaan suku-suku
bangsa di luar Eropa guna kepentingan kolonial dan guna mendapat suatu pengertian
tentang masyarakat masa kini yang kompleks.
Tahap keempat, antropologi mengalami masa perkembangan yang paling luas, baik
mengenai bertambahnya bahan pengetahuan yang jauh lebih teliti maupun mengenai
ketajaman dari metode-metode ilmiahnya. Pada masa perkembangan ini, antropologi
mempunyai dua tujuan, yaitu tujuan akademis dan tujuan praktis.

Tujuan akademis dari ilmu ini adalah mencapai pengertian tentang makhluk
manusia pada umumnya dengan mempelajari aneka warna bentuk fisiknya, masyarakat
serta kebudayaan, sedang tujuan praktis dari ilmu antropologi adalah mempelajari
manusia dalam aneka warna masyarakat suku bangsa guna membangun masyarakat suku
bangsa

itu.

Dari tahap-tahap perkembangan ilmu antropologi tampak bahwa sebagaimana halnya
dengan ilmu-ilmu pengetahuan yang lain ilmu pengetahuan antroplogi pun terus mengalami
perkembangan. [3]
Pada tahap awal sejarah perkembangannya, antropologi hanya bersifat
deskripsi, kemudian

dalam

perkembangannya

bahasan/ulasan


antropologi

disertai

penjelasan atas dasar analisis dari interaksi antara manusia dengan kebudayaannya. Di
samping itu, antropologi mempunyai perhatian utama adanya perbedaan dan persamaan
(keanekawarnaan) berbagai manusia (ras) dan budaya di muka bumi.

3. Konsep Evolusi Manusia dalam Ilmu Biologi
Dalam tahun 1858 ahli biologi C. Darwin (1809-1882) memberikan ceramah yang
disponsori oleh perhimpunan Linnean di London, dan setahun kemudian terbitlah
bukunya The Origin Of Species (1859). Pendirian yang diajukan dalam ceramah dan buku itu
adalah bahwa semua bentuk hidup dan jenis makhluk yang kini ada di dunia itu, dengan
dipengaruhi oleh berbagai macam proses alamiah, berevolusi atau berkembang sangat lambat
dari bentuk-bentuk yang sangat sederhana (yaitu makhluk-makhluk satu sel) menjadi
beberapa jenis baru yang komplek. Makhluk-makhluk jenis baru itu masing-masing
berevolusi juga menjadi jenis-jenis baru yang bertambah kompleks lagi, dan demikian

4.


a.
b.
c.
d.
e.

seterusnya hingga dalam jangka waktu beratus-ratus juta tahun terjadilah jenis-jenis makhluk
yang paling kompleks seperti kera dan manusia.
Orang awam di Eropa Barat mula-mula sangat menentang pendirian tadi, dan
walaupun sudah ada berbagai tulisan mengenai proses sejarah evolusi masyarakat manusia
pada waktu itu, tetapi gagasan mengenai jenis-jenis evolusi belum dapat diterima. Hal itu di
karenakan pada pertengahan abad ke-19 di Eropa ada suatu pembangkitan dan pengetatan
kembali dari kehidupan keagamaan, dan gagasan-gagasan seperti gagasan Darwin itu di
anggap gagasan orang kafir yang bertentangan dengan keyakinan ke agamaan yang
mengatakan bahwa semua jenis mahkluk di dunia (termasuk manusia), merupakan hasil
ciptaan Tuhan yang mutlak. Kecuali itu gagasan bahwa manusia dan kera merupakan
keturunan dari suatu makhluk yang sama, bahkan bahwa manusia adalah keturuna Kera ,
merupakan gagasan yang awam terlampau sulit untuk di terima.
Di samping C. Darwin ada pula ahli biologi lain, yaitu A. Wallace (1823-1913) yang
secara terpisah dari Darwin[4] telah juga mengembangkan gagasan tentang evolusi mahkluk

di dunia yang sama, walaupun Wallace lebih memperluas soal proses seleksi alam dalam
penentuan bentuk fisik dari jenis-jenis yang baru dalam proses evolusi. Darwin hanya
menyebut mengenai seleksi alam itu secara sepintas lalu dalam ceramahnya.[5] Pada
dasarnya memang tidak ada perbedaan antara teori mengenai proses evolusi dari kedua ahli
biologi itu, kedua-duanya berpendirian bahwa di antara individu-individu dalam satu jenis
mahluk selalu ada perbedaan-perbedaan kecil. Beberapa individu yang lemah kurang dapat
bertahan terhadap tekanan-tekanan alam, lalu mati, sedangkan individu-individu yang lebih
kuat dapat bertahan dan hidup langsung. Melahirkan keturunan dan mewariskan sifat-sifatnya
yang kuat tadi kepada sebagian dari keturunannya. Dalam generasi berikutnya proses tadi
berulang lagi, demikian seterusnya. Menurut Wallace, semakin kejam dan keras tekanan
alamnya maka semakin tinggi pula mutu yang menjadi syarat bagi organisme individuindividu dari suatu jenis yang memiliki sifat-sifat yang dapat memenuhi syarat-syarat alamiah
itulah yang dapat bertahan untuk hidup terus. Inilah yang oleh Darwin maupun Wallace
disebut “seleksi alam”[6].
Ilmu-ilmu Bagian dari Antropologi
Di universitas-universitas Amerika, tempat antropologi telah mencapai perkembangan
yang paling luas, ruang lingkup dan batas lapangan perhatian yang luas itu menyebabkan
adanya tidak kurang dari lima masalah penelitian khusus, yaitu[7]:
Masalah sejarah asal dan perkembangan manusia (atau evolusinya) dipandang dari segi
biologi.
Masalah sejarah terjadinya berbagai ragam manusia, dipandang dari ciri-ciri tubuhnya.

Masalah sejarah asal, perkembangan, serta penyebaran berbagai macam bahasa diseluruh
dunia.
Masalah perkembangan, penyebaran, dan terjadinya beragam kebudayaan di dunia.
Masalah mengenai asas-asas kebudayaan manusia dalam kehidupan masyarakat-masyarakat
suku bangsa di dunia.

Lapangan-lapangan penelitian yang bermaksud memecahkan kelima masalah tersebut
di atas sangat luas sehingga untuk setiap masalah (yang merupakan ilmu bagian dari
antropologi) diperlukan ahli-ahli yang khusus pula.
5. Objek Studi dan Pengamatan Antropologi
Objek studi antropologi dapat dipilah menjadi dua, yaitu objek material dan objek
formal. Objek material adalah sasaran yang menjadi perhatian dalam penyelidikan.
Mengingat lingkup pelajaran antropologi manusia dan budaya, maka sasaran penyelidikan
sebagai objek material sangat luas.[8] Sasaran penyelidikan yang banyak tersebut pada
umumnya juga menjadi sasaran penyelidikan ilmu pengetahuan sosial lainnya: maka objek
formallah yang membedakan ciri ilmu pengetahuan antropologi dengan yang lain. Yang
dimaksud objek formal adalah cara pendekatan dalam penyelidikan terhadap objek
yang sedang menjadi pusat perhatiannya.
Ada tiga cara pendekatan dalam ilmu antropologi, yaitu:
Pertama, pengumpulan fakta. Dalam pengumpulan fakta di sini terdiri dari berbagai metode

observasi, mencatat, mengolah dan melukiskan fakta-fakta yang terjadi dalam masyarakat
hidup. Sedangkan metode-metode pengumpulan fakta dalam ilmu ini adalah penelitian di
lapangan (utama), dan penelitian perpustakaan.
Kedua, penentuan ciri-ciri umum dan sistem. Hal ini adalah tingkat dalam cara berpikir
ilmiah yang bertujuan untuk menentukan ciri-ciri umum dan sistem dalam himpunan fakta
yang dikumpulkan dalam suatu penelitian. Adapun ilmu antropologi yang bekerja dengan
bahan berupa fakta-fakta yang berasal dari sebanyak mungkin macam masyarakat dan
kebudayaan dari seluruh dunia, dalam hal mencari ciri-ciri umum di antara aneka warna
fakta masyarakat itu harus mempergunakan berbagai metode membandingkan atau metode
komparatif. Adapun metode komparatif itu biasanya dimulai dengan metode klasifikasi.
Ketiga, verifikasi. Dalam kaitan ini, ilmu antropologi menggunakan metode verifikasi yang
bersifat kualitatif. Dengan mempergunakan metode kualitatif, ilmu ini mencoba memperkuat
pengertiannya dengan menerapkan pengertian itu dalam kenyataan beberapa masyarakat
yang hidup, tetapi dengan cara mengkhusus dan mendalam.

B. Antropologi Pendidikan
G.D. Spindler berpendirian bahwa kontribusi utama yang bisa diberikan antropologi
terhadap pendidikan adalah menghimpun sejumlah pengetahuan empiris yang sudah
diverifikasikan dengan menganalisa aspek-aspek proses pendidikan yang berbeda-beda dalam
lingkungan social budayanya.[9] Teori khusus dan percobaan yang terpisah tidak akan

menghasilkan disiplin antropologi pendidikan. Pada dasarnya, antropologi pendidikan
mestilah merupakan sebuah kajian sistematik, tidak hanya mengenai praktek pendidikan
dalam prespektif budaya, tetapi juga tentang asumsi yang dipakai antropolog terhadap
pendidikan dan asumsi yang dicerminkan oleh praktek-praktek pendidikan. (Imran Manan,
1989)
Dengan mempelajari metode pendidikan kebudayaan maka antropologi bermanfaat bagi
pendidikan. Dimana para pendidik harus melakukan secara hati-hati. Hal ini disebabkan

karena kebudayaan yang ada dan berkembang dalam masyarakat bersifat unik, sukar untuk
dibandingkan sehingga harus ada perbandingan baru yang bersifat tentatif. Setiap
penyelidikan yang dilakukan oleh para ilmuwan akan memberikan sumbangan yang berharga
dan mempengaruhi pendidikan.
Antropologi pendidikan dihasilkan melalui teori khusus dan percobaan yang terpisah
dengan kajian yang sistematis mengenai praktek pendidikan dalam perspektif budaya,
sehingga antropolog menyimpulkan bahwa sekolah merupakan sebuah benda budaya yang
menjadi skema nilai-nilai dalam membimbing masyarakat. Namun ada kalanya sejumlah
metode mengajar kurang efektif dari media pendidikan sehingga sangat berlawanan dengan
data yang didapat di lapangan oleh para antropolog. Tugas para pendidik bukan hanya
mengeksploitasi nilai kebudayaan namun menatanya dan menghubungkannya dengan
pemikiran dan praktek pendidikan sebagai satu keseluruhan.
Antropologi pendidikan mulai menampakkan dirinya sebagai disiplin ilmu pada
pertengahan abab ke-20. Pada waktu itu banyak pertanyaan yang diajukan kepada tokoh
pendidikan tentang sejauhmana pendidikan dapat mengubah suatu masyarakat. Sebagaimana
diketahui pada waktu itu Negara maju tengah mengibarkan program besarnya, yakni
menciptakan pembangunan di Negara-negara yang baru merdeka (Hadad, 1980). Antropologi
pendidikan berupaya menemukan pola budaya belajar masyarakat (pedesaan dan perkotaan)
yang dapat merubah perubahan social.
Demikian juga mengenai perwujudan kebudayaan para ahli mengambil kebijakan
pendidikan yang berorientasi pada perubahan social budaya mendapat perhatian. Konferensi
pendidikan antropologi yang berorientasi pada perubahan social di Negara-negara baru
khususnya melalui pendidikan persekolahan mulai digelar. Hasil-hasil kajian pendidikan
dipersekolahan melalui antropologi diterbitkan pada tahun 1954 dibawah redaksi G.D.
Spindler (1963). [10]
Konferensi memberi rekomendasi untuk melakukan serangkaian penelitian
antropologi pendidikan di persekolahan, mengingat jalur perubahan social budaya salah
satunya dapat dilakukan dengan melalui pendidikan formal. Banyak penelitian menunjukan
bahwa system pendidikan di Negara-negara baru diorientasikan untuk mengokohkan
kelompok social yang tengah bekuasa.
Antropologi Pendidikan sebagai disiplin kini banyak di kembangkan oleh para ahli
yang menyadari pentingnya kajian budaya pada suatu masyarakat. Antropologi di negaranegara maju memandang salah satu persoalan pembangunan di Negara berkembang adalah
karena masalah budaya belajar. Kajian budaya belajar kini menjadi perhatian yang semakin
menarik, khususnya bagi para pemikir pendidikan diperguruan tinggi. Perhatian ini dilakukan
dengan melihat kenyataan lemahnya mutu sumber daya manusia yang berakibat terhadap
rentannya ketahanan social budaya masyarakat dalam menghadapi krisis kehidupan.
Orientasi pengembangan budaya belajar harus dilakukan secara menyeluruh yang
menghubungkan pola budaya belajar yang ada di dalam lingkungan masyarakat dan lembaga
pendidikan formal. Van Kemenade (1969) telah mengingatkan: “persoalan pendidikan
jangan hanya dianggap melulu persoalan pedagogis didaktis metodis dan tidak menjadi

a.
b.

c.
d.

masalah kebikajan social, sehingga pendidikan tidak ada lagi menjadi kebutuhan bersama.
Untuk itu perlu analisa empiric tentang tugas pendidikan dalam konteks kehidupan
masyarakat”[11].
Pendekatan dan teori antropologi pendidikan dapat dilihat dari dua kategori.Pertama,
pendekatan teori antopologi pendidikan yang bersumber dari antropologi budaya yang
ditujukan bagi perubahan social budaya. Kedua, pendekatan teori pendidikan yang bersumber
dari filsafat.
Teori antropologi pendidikan yang diorientasikan pada perubahan social budaya
dikategorikan menjadi empat orientasi[12]:
Orientasi teoritik yang focus perhatiannya kepada keseimbangan secara statis. Teori ini
merupakan bagian dari teori-teori evolusi dan sejarah.
Orientasi teori yang memandang adanya keseimbangan budaya secara dinamis. Teori ini
yang menjadi penyempurna teori sebelumnya, yakni orientasi adaptasi dan tekno-ekonomi
yang menjadi andalanya
Orientasi teori yang melihat adanya pertentangan budaya yang statis, dimana sumber teori
dating dari rumpun teori structural.
Orientasi teori yang bermuatan pertentangan budaya yang bersifat global atas gejala
interdependensi antar Negara, dimana teori multicultural termasuk didalamnya.

C. Konsep Budaya Belajar Pendidikan Antropologi
Budaya atau kebudayaan tidak hanya berupa fenomena yang berwujud material
semata, baik yang berupa benda, tindakan ataupun emosi, melainkan sesuatu yang abstrak
yang terdapat dalam pikiran manusia, yaitu berupa model system pengetahuan manusia yang
digunakan oleh pemiliknya untuk menafsirkan benda, tindakan dan emosi (Geodenough
dalam Spradley, 1972). Tegasnya kebudayaan diartikan sebagai keseluruhan pengetahuan
manusia sebagai makhluk sosio budaya yang digunakan untuk memahami dan
menginterpretasikan pengalaman, lingkungannya yang menjadi kerangka landasan untuk
menciptakan dan mendorong terwujudnya kelakuan (Suparlan: 1980). Berdasarkan konsep
tersebut, maka budaya belajar juga dipandang sebagai model-model pengetahuan manusia
mengenai belajar yang digunakan oleh individu atau kelompok social untuk menafsirkan
benda, tindakan dan emosi dalam lingkungannya.
Cara pandang budaya belajar sebagai system pengetahuan mengisyaratkan bahwa,
budaya
belajar
merupakan
“pola
kelakuan
manusia
yang
berfungsi
sebagai blueprint(pedoman hidup) yang dianut secara bersama” (Keesing & Keesing, 1971).
Sebagai sebuah pedoman, budaya belajar digunakan untuk memahami dan menginterpretasi
lingkungan dan pengalamannya, yang dapat menciptakan dan mendorong individu-individu
bersangkutan melakukan berbagai macam tindakan dan pola tindakan yang sesuai dengan
kerangka aturan yang telah digariskan bersama.
Budaya belajar dapat menjadi piranti proses adaptasi manusia dengan lingkungannya,
baik berupa lingkungan fisik maupun lingkungan social. System pengetahuan belajar
digunakan untuk adaptasi dalam kerangka memenuhi tiga syarat kebutuhan hidup, yakni:

1) Syarat dasar alamiah, yang berupa kebutuhan biologis, seperti pemenuhan kebutuhan
makan, minum, menjaga stamina, menjadikan organ-organ tubuh manusia lebih berfungsi
2) Syarat kejiwaan, yakni pemenuhan kebutuhan akan perasaan tenang, jauh dari perasaan
takut, keterkucilan, kegelisahan dan berbagai kebutuhan kejiwaan lainnya
3) Syarat dasar social, yakni kebutuhan untuk berhubungan dengan orang lain, dapat
melangsungkan hubungan, dapat mempelajari kebudayaan, dapat mempertahankan diri dari
serangan musuh. (Suparlan, 1980, Bennet, 1976: 172)
Lebih lanjut Bunnet (1976) menjelaskan, bahwa adaptasi adalah upaya menyesuaikan
dalam arti ganda, yakni manusia belajar menyesuaikan kehidupan dengan lingkungannya,
atau sebaliknya manusia belajar agar lingkungan yang dihadapi dapat disesuaikan dengan
keinginan dan tujuannya. Pada kenyataannya manusia memang tidak hanya sekedar
menerima lingkungan dengan apa adanya, melainkan belajar untuk menanggapi bergabai
masalah yang ada di lingkungannya. Oleh karena itu, pada suatu lingkungan masyarakat
terdapat ragam bentuk tindakan belajar individu atau kelompok yang pada dasarnya
terdorong oleh sikap adaptif mereka. Upaya manusia melakukan belajar menyesuaikan
dengan lingkungannya senantiasa berhubungan dengan pranata social, psikologis, ekonomi
dan juga fisik nya. (Montagu, 1969, Smith, 1982: 85-89).
Dalam kaitannya itu, maka budaya belajar dapat dipandang juga sebagai strategi
adaptasi yang berupa model-model pengetahuan belajar yang mencakup serangkaian aturan,
petunjuk, resep-resep, rencana, strategi yang dimiliki dan digunakan oleh individu pembelajar
untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya(spradley, 1972). Resep-resep tersebut
berisikan pengetahuan belajar yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi tujuan-tujuan
dan tata cara yang digunakan untuk mencapai tujuan dengan sebaik-baiknya.
Pendidikan sebagai pranata social selalu berbeda dalam tatanan system social
masyarakat pendukungnya, yang memiliki kedudukan penting yang relative sama dengan
pranata keluarga, agama dan pemerintahan dalam menentukan tata kelakuan seseorang dan
kelompok. Oleh karena itu kepribadian seseorang adalah produk dari budaya masyarakat
pendukung kebudayaan itu.
D. Pranata Pendidikan (Ragam dan Fungsi)
Pranata social yang ada dalam masyarakat pada umumnya memilki hubungan antara
satu dengan yang lainnya, bahkan untuk fungsi tertentu sering terjadi tumpang tindih. Kadang
kala pranata tertentu seolah-olah memiliki pengaruh lebih besar dibandingkan dengan
lainnya, serta dalam kenyataannya dikesankan memiliki pengaruh yang kuat pula bagi
lembaga lainnya. Oleh karena itu dibutuhkan tingkat kesempurnaan dan keseimbangan antara
pranata keluarga, pemerintahan, agama, ekonomi dan pendidikan.
Setiap pranata memiliki symbol tersendiri yang satu sama lain memiliki keterkaitan.
Secara substansif pengenal utama setiap pranata dapat dilihat dari adanya symbol budaya,
symbol perilaku dan simbul ideology. Simbul budaya adalah lambang yang dipergunakan
untuk mengenal keberadaan suatu pranata. Symbol bisa dalam bentuk benda maupun bukan.
Bendera, lagu kebangsaan dan logo dipergunakan sebagai penanda suatu pranata. Role of
couduck merupakan aturan perilaku baik yang formal dan tradisi informal untuk menjamin

perilaku agar tidak terjadi penyimpangan. Ideology yaitu pengikat suatu kelompok. Ideology
memberikan aturan dalam bidang social, moral, ekonomi dan politik untuk kelompok tertentu
yang umumnya diterima bersama oleh lembaga yang bersangkutan.
Dalam konteks transmisi kebudayaan, diperlukan piranti tertentu. Piranti ini adalah
berbagai institusi social, baik pada lingkungan keluarga, masyarakat, lembaga pendidikan
sekolah dan juga media masa sebagai penyalur informasi.
1) Lingkungan Pendidikan Keluarga
Lingkungan keluarga adalah unit social terkecil yang memiliki peran penting dalam
internalisasi. Proses identifikasi dalam keluarga menjadikan seorang anak dapat mengenal
keseluruhan anggota keluarganya, baik saudara terdekat maupun saudara jauh. Seorang ayah
yang berperan sebagai kepala keluarga dikenalnya melalui tindakan-tindakannya. Demikian
pun kegiatan ayah dalam pekerjaan sehari-hari memungkinkan terjadinya identifikasi (bentuk
peniruan) oleh anak-anaknya. Upaya peniruan yang pada mulanya dilakukan sambil lalu ini,
secara perlahan akan menjadi bagian dalam transmisi buadaya. Para orang tua berfungsi
sebagai nara sumber utama.
Secara tersirat budaya belajar dari peniruan, baik secara individual maupun kelompok
memungkinkan terjadinya pemahaman utuh antar genersi (orang tua versus anak).
Lingkungan keluarga menjadi salah satu focus kajian antropologi pendidikan. Terutama
mengenai system kebudayaan. Di dalam keluarga itulah suatu generasi dilahirkan dan
dibesarkan. Mereka mendapat pelajaran pertama kali, apalagi bagi masyarakat yang belum
mengenal dan menciptakan lingkungan pendidikan formal. Dalam lingkungan keluarga
terdapat tiga fungsi utama dalam keluarga, yaitu: (1) fungsi seksual; (2) fungsi ekonomi; (3)
fungsi edukasi.
Fungsi eduksi berkaitan dengan pewarisan budaya. Keluarga bukan hanya sebagai
tempat melahirkan anak, tetapi sekaligus sebagai tempat membesarkannya. Anak dalam
lingkungan keluarga belajar berbahasa, mengumpulkan berbagai pengertian serta belajar
menggunakan nilai yang berlaku dalam kebudayaan. Dengan demikian, keluarga berfungsi
meneruskan nilai budaya yang dimilikinya. Suasana edukasi berlangsung penuh kasih sayang,
keakraban dan penuh tanggung jawab. Dengan kata lain kegiatan edukasi dilakukan secara
terus-menerus dengan berbagai cara baik.
Inti dari proses pewarisan budaya dalam keluarga adalah terjadinya interaksi penuh
makna dalam suasana informal. Proses pewarisan budaya di lingkungan keluarga telah
banyak mendapat perhatian antropolog. Seperti yang dilakukan oleh Margaret Mead, yang
meneliti adat istiadat pengasuhan anak-anak di masyarakat Manus (sebelah utara irian).
Bersama F. Cooke Mac Gregor. Med mengadakan penelitian tentang gerak-gerak tubuh anakanak Bali, yang kemudian hasilnya dibukukan dengan judul Growth and Culture (1951).
2) Lingkungan Pendidikan Masyarakat
J.P Gillin (1951) mengartikan masyarakat sebagai sekelompok manusia yang tersebar,
dan yang memiliki kebiasaan, tradisi, sikap dan peranan untuk hidup bersama. Masyarakat
terdiri atas kesatuan-kesatuan yang paling kecil. Pada prinsipnya suatu masyarakat terwujud
apabila diantara kelompok individu tersebut telah lama melakukan kerja sama serta hidup

bersama secara menetap. System perwarisan budaya lewat lingkungan masyarakat
berlangsung dalam berbagai pranata social, diantaranya pemilihan hak milik, perkawinan,
religi, system hokum, system kekerabatan, dan system edukasi. Sebagai suatu komunitas
yang lebih luas, masyarakat memiliki struktur.
Pewarisan budaya menjadi tugasbersama bagi seluruh anggota masyarakat di
lingkungannya. Bila seorang anak melakukan hubungan pertemanan, maka hubungan atau
interaksi social itu menunjukan hubungan yang lebih luas. Mereka akan menerima berbagai
pembelajaran nilai dan norma, memperlakukan orang lain, menghormati orang yang lebih
tua, dan sebagainya. Mereka juga menyerap berbagai pengetahuan dari lingkungan,
mendapatkan bimbingan, dan nilai-nilai lain yang berkembang pada masyarakatnya. Pada
saat anak melakukan kekeliruan, maka anggota masyarakat lainnya akan memberikan nasihat
atau koreksi terhadap perilakunya yang tidak sesuai tersebut. Demikian selanjutnya seorang
anak diberi pelajaran dan bimbingan oleh anggota masyarakat lainnya.
3) Lingkungan Pendidikan sekolah
Sekolah adalah institusi yang diciptakan oleh masyarakat yang berfungsi untuk
melaksanakan pembelajaran. Pembelajaran tidak hanya menyampaikan pengetahuan saja
yang berupa latihan untuk kecerdasan, melainkan untuk menghaluskan moral dan menjadikan
akhlak yang baik. Sekolah dalam masyarakat dikategorikan sebagai pendidikan formal. Pada
dasarnya lembaga sekolah berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat
dibidang pembelajaran. Kebutuhan masyarakat tentang pembelajaran semakin hari semakin
banyak. Oleh karena itu, sekolah pada dasarnya menyiapkan dan membekali peserta didik
untuk kehidupan di masa yang akan datang.
Pendidikan di sekolah dalam kerangka pewarisan budaya jelas sekali arahnya. Para
pendidik yang bertugas sebagai guru melakukan penyampaian pengetahuan dan interaksi
moral itu berdasarkan rancangan atau program yang disesuaikan dengan system pengetahuan
dan nilai-nilai yang dianaut oleh masyarakat. Misalnya dalam mata pelajaran agama yang
senantiasa harus diajarkan di berbagai tingkatan dan jenjang pendidikan di sekolah. Hal itu
merupakan cermin dari masyarakat Indonesia yang menjunjung tinggi nilai-nilai agama.
Proses pewarisan budaya di sekolah dilakukan secara bertahap, terencana dan terus
menerus. Cara pewarisan melalui lembaga sekolah ini hanya berlaku bagi masyarakat yang
kebudayaannya kompleks. Di Indonesia, meskipun suku bangsa masih belum dapat dijangkau
mengingat letak geografisnya yang terpencil, namun pendidikan formal ini diupayakan untuk
dapat dilaksanakan, misalnya dengan pola guru kunjung. Lebih dari itu, pemerintah Indonesia
telah merencanakan adanya program Wajib Belajar Sembilan tahun (Pendidikan Dasar dan
Sekolah Menengah Pertama) yang wajib diikuti oleh semua warga Indonesia yang berumur 7
sampai 15 tahun.
4) Lingkungan Pendidikan Media Massa
Media massa adalah bagian dalam masyarakat yang bertugas menyebarluaskan berita,
opini, pengetahuan dan sebagainya. Sifat media massa adalah mencari dan mengolah bahan
pemberitaan yang actual, menarik perhatian, dan menyangkut kepentingan bersama.
Berdasarkan sifatnya, media massa berfungsi sebagai control social terhadap segala bentuk

E.

1.
2.
3.
4.
5.

a.
b.

penyimpangan dari nilai, norma, dan aturan yang berlaku di masyarakat. Dengan pemberitaan
yang baik dan benar masyarakat menjadi tahu terhadap setiap peristiwa yang terjadi di
lingkungan sekitar.
Salah satu fungsi media massa adalah fungsi pendidikan bagi masyarakat. Banyaknya
informasi yang diberikan, baik berupa pendapat-pendapat, masalah social budaya secara
langsung maupun tidak dapat memperluas wawasan para pembacanya. Melalui media massa
terjalin hubungan atau kontak social secara tidak langsung antar anggota masyarakat.
Keseluruhan itu menunjukan besarnya peran media massa dalam proses transformasi budaya
bagi seluruh anggota masyarakat.
Aplikasi Pendidikan Antropologi bagi Pendidikan Multikulturan
Bagi pendidik persoalan pendidikan multicultural merupakan sesuatu yang sensitive
dalam pengertian isu yang kompleks dan unik yang mesti diantisipasi. Dalam kaitannya
dengan menumbuhkan kesadaran terhadap keberagaman ini, secara dini harus terjadi suasana
saling memahami melalui interaksi yang bermakna anatr satu dengan yang lainnya. Dengan
memperhatikan keragaman sebagai bagian dari lingkungan dan perilaku yang dibentuk oleh
budaya, maka pembelajaran seyogyanya berpusat pada keragaman latar sosiobudaya.
Berdasarkan pandangan ini, beberapa prinsip yang perlu diperhatikan oleh seorang
pendidik antara lain:
Penyelenggaraan pendidikan bertumpu pada kesadaran adanya keberagaman
Memahami dan mengenai pengalaman setiap individu peserta didik berdasarkan pada etnis
dan keturunan, dst.
Orientasi pelayanan bertolak dari kondisi keberagaman menuju keberasamaa.
Kiat mempromosikan perbedaan yang ditujukan untuk membangun kesamaan dan tidak
memperbesar perbedaan.
Memahami peran organisasi termasuk pengusaha dan profesi sebagai sumber belajar
potensial dalam pelaksanaan dan peningkatkan proses pembelajaran, pendidikan dan
pelatihan.
Pendidikan multicultural tidak hanya dimaksudkan memberikan akses kepada
kelompok etnik dan minoritas untuk memperoleh akses pendidikan secara baik. Tetapi
menciptakan interaksi antara individu dari kelompok tersebut agar tercipta harmoni
kehidupan dalam masyarakat plural. Melalui pendekatan pendidikan multicultural akan
tercipta :
Saling memahami perbedaan sosiobudaya.
Menciptakan harmoni kehidupan dalam suasana berbeda budaya, sebab kesadaran bagaimana
mengelola keragaman sosiobudaya untuk harmoni kehidupan dalam masyarakat plural telah
muncul sejak tahun 1900.

BAB. III
SIMPULAN
Antropologi adalah kajian tentang manusia dan cara-cara hidup mereka. Antropologi
mempunyai dua cabang utama, yaitu antropologi yang mengkaji evolusi fisik manusia dan

adaptasinya terhadap lingkungan yang berbeda-beda, dan antropologi budaya yang mengkaji
baik kebudayaan-kebudayaan yang masih ada maupun kebudayaanyang sudah punah.
Antropologi pendidikan mulai menampakkan dirinya sebagai disiplin ilmu pada
pertengahan abab ke-20. Hingga kini antropologi dijadikan sebagai rujukan dalam ilmu
pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan.

DAFTAR PUSTAKA
Ibrahim. Ilmu dan Aplikasi Pendidikan (Bandung: PT. IMTIMA 2007).
http://id.wikipedia.org/wiki/Antropologi.
Koenjaraningrat. Sejarah Teori Antropologi” (Jakarta: Universitas Islam, 1982).
Koentjaraningrat. Pengantar Ilmu Antropologi(Jakarta, PT Rineka Cipta, 2009).
http://id.shvoong.com/social-sciences/1827094-asik-nya-belajar-antropologi/
Manan,Imanan. Antropologi Pendidikan, (Jakarta, P2LPTK, 1989.

BAB I
PENDAHULUAN
1.

LATAR BELAKANG

Yang membuat pernikahan bahagia bukan tingkat kecocokan kita dengan
pasangan, tetapi seberapa besar kemampuan dan kesediaan kita untuk

mengatasi ketidakcocokan. Cinta mungkin terlihat ideal, tetapi sesungguhnya
pernikahanlah yang benar-benar aktual. Ketidakjelasan antara yang ideal (apa
seharusnya) dan yang aktual (apa adanya) memang tak pernah berujung.
Statistik memperlihatkan perlunya menemukan kiat menempuh pernikahan
yang sukses. Mengajukan pertanyaan yang tepat kepada pasangan (sebelum
menikah) bisa menjadi alternatif solusi melanggengkan perkawinan yang
sehat, serasi dan bahagia.
Banyak pasangan enggan mengemukakan pertanyaan-pertanyaan penting
sebelum mulai menikah karena ia takut menemukan ketidakcocokan yang
bisa jadi menggagalkan rencana pernikahannya, keterbatasan pengetahuan
dan rasa canggung yang ada. Tetapi, mengetahui hal-hal tersebut sebelum
menikah jelas lebih baik daripada harus mengalami stres setelah menikah.
Tiap pasangan biasanya mempunyai banyak alasan untuk menikah, tapi
konflik satu hal saja dapat mengarahkan mereka untuk bercerai.
Banyak pasangan yang tidak siap menikah dan mereka tidak diberi
kesempatan belajar mengenai hal-hal yang bisa melanggengkan hubungan
rumah tangga mereka, bahkan mereka juga tidak mengetahui kriteria
pasangan yang tepat untuk mereka. Pernikahan bukan sekedar perencanaan
atau seperti gambaran pengantin ideal di televisi dan di film-film.
Saat seseorang mencari pasangan, ia harus menyadari bahwa tidak ada orang
yang sempruna; setiap orang pasti mempunyai kesalahan dan kelemahan.
indahnya pernikahan justru kala menemukan suami atau istri yang dapat
menjadi teman dalam pencarian spiritual, mitra membangun hidup, dan
pelipur meskipun dia mempunya kelemahan.

1.

TUJUAN PENULISAN

2.

Mendeskripkan pengertian konseling pranikah

3.

Memahami tujuan dari konseling pranikah

4.

Memahami manfaat dari konseling pranikah

5.

Memahami aspek yang perlu diassesmen dalam konseling pranikah

6.

Menjabarkan prosedur konseling pranikah

BAB II
PEMBAHASAN
1.

PENGERTIAN KONSELING PRA-NIKAH

Arti konseling (counseling) dari kata counsel yang diambil dari bahasa latin,
yaitu “consilium” yang berarti “bersama” atau bicara bersama. Kemudian
yang dirangkai dengan “menerima” atau “memahami“. Sedangkan dalam
bahasa Anglo-Saxon, istilah konseling berasal dari “sellan” yang berarti
“menyerahkan” atau “menyampaikan”. Dalam artian hal ini proses pemeberi
bantuan oleh konselor terhadap klien yang sedang mengalami sebauh
permasalahan.
Secara bahasa konseling adalah proses pemberian bantuan yang dilakukan
melalui wawancara secara “face to face” oleh seorang yang ahli dalam
bidang mengkonselingi (disebut konselor) kepada individu pria maupun
wanita yang sedang mengalami sebuah problem dalam hidupnya (disebut
klien) yang bermuara pada teratasinya masalah yang dihadapi oleh klien.
Konseling pranikah (premarital counseling) merupakan upaya untuk
membantu calon suami dan calon istri oleh seorang konselor profesional,
sehingga mereka dapat berkembang dan mampu memecahkan masalah yang
dihadapinya melalui cara-cara yang menghargai, toleransi dan dengan
komunikasi yang penuh pengertian,sehingga tercapai motivasi keluarga,
perkembangan, kemandirian, dan kesejahteraan seluruh anggota keluarga.
Konseling pranikah ini dianggap penting karena banyak orang yang merasa
salah dalam menetapkan pilihannya, atau mengalami banyak kesulitan dalam
penyesuaian diri dalam kehidupan berkeluarga. Banyak orang yang terburuburu membuat keputusan tanpa mempertimbangkan banyak aspek
sehubungan dengan kehidupan berumah tangga. Konseling keluarga ini
diselenggarakan dengan maksud membantu calon pasangan membuat
perencanaan yang matang dengan cara melakukan asesmen terhadap dirinya
yang dikaitkan dengan perkawinan dan kehidupan berumah tangga.
Konseling pranikah merupakan prosedur pelatihan berbasis pengetahuan dan
keterampilan yang menyediakan informasi mengenai pernikahan yang dapat
bermanfaat untuk mempertahankan dan meningkatkan hubungan pasangan
yang akan menikah setelah mereka menikah. Konseling pranikah juga
dikenal dengan nama program persiapan pernikahan, pendidikan pranikah,
konseling edukatif pranikah, dan terapi pranikah. Konseling pranikah
diberikan oleh psikolog atau konselor pernikahan.
Konseling pranikah adalah suatu pola pemberian bantuan yang ditujukan
untuk membantu mahasiswa memahami dan mensikapi konsep pernikahan
dan hidup berkeluarga berdasarkan tugas-tugas perkembangan dan nilai-nilai
keagamaan sebagai rujukan dalam mempersiapkan pernikahan yang mereka

harapkan. Inti pelayanan konseling pranikah adalah wawancara konseling,
melalui wawancara konseling diharapkan mahasiswa dapat memperoleh
pengetahuan, pemahaman, keterampilan, nilai-nilai dan keyakinan yang
kokoh, serta membantu menangani masalah-masalah yang mengganggu
mereka menuju pernikahan yang diharapkan.
Konseling pranikah yang dimaksud, dirancang dalam sebuah sistem dengan
komponen-komponen dari aspek-aspek konseling yang diidentifikasi secara
jelas dan diorganisasikan ke dalam suatu susunan yang dapat meningkatkan
keefektifan dan keefesienan suatu pelayanan. Konseling pra nikah dalam
makalah ini, akan direalisasikan melalui pendekatan kelompok yang akan
dibahas pada bagian berikut.
Konseling pra-nikah memiliki peranan penting di dalam menciptakan
keluarga bahagia. Karena itu dalam konseling pra-nikah haruslah mencapai
tujuan konseling pra-nikah yang hendak dicapai.
Konseling pra nikah sifatnya proses pemberi bantuan yang dilakukan oleh
orang yang ahli dalam bidang mengkonselingi yaitu konselor kepada
pasangan yang membutuhkan bantuan dalam pemecahan masalah yang
sedang dihadapi pada dirinya, pasangannya, dan masalah-masalah yang
sedang diahadapi oleh keduanya. Konseling pranikah biasanya dilaksanakan
pada kedua belah pihak yang sedang mengalami ketidak harmonisan dalam
hubungannya. Dalam artian klien disini belum mampu memecahkan
masalahnya dengan sendiri sehingga membutuhkan bantuan kepada konselor
dalam penyelesaian masalah yang sedang diahadapinya. Dengan bertujuan
dari hsail konseling pranikah ini keduanya mampu menjalankan hidupnya
sebagaiman fitrah manusia sebagai khalifah di muka bumi ini.
Tentunya dalam konseling pranikah ini mempunyai tujuan seperti yang
dikemukakan dalam bukunya (Latipun, 2010:154):
1.

Brammer dan Shostrom (1982) bahwa konseling pranikah adalah
membantu patner pranikah (klien) untuk mencapai pemahaman yang
lebih baik tentang dirinya, masing-masing pasangan, dan tuntutantuntutan perkawinan.

Dari pengertian yang pertama mempunyai pengertian yang sifatnya jangka
pendek, sedangkan yang jangka panjang sebagaimana yang diungkapkan
oleh:

1.

H.A otto (1965), yaiut membantu pasangan pranikah untuk
membangun dasar-dasar yang dibutuhkan untuk kehidupan pernikahan
yang bahagia dan produktif.

Dalam sebuah konseling tentunya mempunyai unsur-unsur atau runtutan
tentang konseling, seperti ada konselor yang ahli dalam bidang
mengkonselingi, klien, problem / masalah, media, metode direktif maupun
non direktif dan yang terakhir materi sebagai initi dari konseling yang akan
diharapkan kedepannya oleh para klien.
Dalam proses konseling pranikah, konselor perlu menanamkan beberapa
faktor penting yang menjadi prasyarat memasuki perkawinan dan berumah
tangga. faktor-faktor tesebut adalah :
1.

Faktor fiologis dalam perkawinan: kesehatan pada umumnya,
kemampuan mengadakan hubungan seksual. Faktor ini menjadi penting
untuk dipahami pasangan suami isteri, karena salah satu tujuan
perkawinan adalah menjalankan fungsi Regenerasi (meneruskan
keturunan keluarga). Pemahaman kondisi masing-masing akan
memudahkan proses adaptasi dalam hal pemenuhan kebutuhan ini.

2.

Faktor psikologis dalam perkawinan: kematangan emosi dan pikiran,
sikap saling dapat menerima dan memberikan cara kasih antara suami
isteri dan saling pengertian antara suami isteri.

3.

Faktor agama dalam perkawinan, Faktor agama merupakan hal yang
penting dalam membangun keluarga. Perkawinan beda agama akan
cenderung lebih tinggi menimbulkan masalah bila dibandingkan dengan
perkawinan seagama.

4.

Faktor komunikasi dalam perkawinan, Komunikasi menjadi hal sentral
yang harus diperhatikan oleh pasangan suami isteri. Membangun
komunikasi yang baik menjadi pintu untuk menghindari kesalahpahaman
yang dapat memicu timbulnya konflik yang lebih besar dalam keluarga.

1.

TUJUAN KONSELING PRA NIKAH

Brammer dan Shostrom (1982) mengemukakan tujuan konseling pranikah
adalah membantu partner pranikah (klien) untuk mencapai pemahaman yang
lebih baim tentang dirinya, masing-masing pasangan dan tuntutan-tuntutan
perkawinan. Tujuan tersebut tampaknya yang bersifat jangka pendek,
sedangkan yang jangka panjang sebagaimana yang dikemukakan H.A. Otto

(1965), yaitu membantu pasangan pranikah untuk membangun dasar-dasar
yang dibutuhkan untuk kehidupan yang bahagia dan produktif.
Tujuan konseling pranikah ialah untuk meningkatkan hubungan sebelum
pernikahan sehingga dapat berkembang menjadi hubungan pernikahan yang
stabil dan memuaskan. Konseling pranikah akan membekali pasangan
dengan kesadaran akan masalah potensial yang dapat terjadi setelah menikah,
dan informasi serta sumber daya untuk secara efektif mencegah atau
mengatasi masalah-masalah tersebut hingga pada akhirnya dapat menurunkan
tingkat ketidakbahagiaan dalam pernikahan dan perceraian. Konseling
pranikah juga bermanfaat untuk menjembatani harapan-harapan yang
dimiliki oleh pasangan terhadap pasangannya dan pernikahan yang mereka
inginkan yang belum sempat atau belum bisa dibicarakan sebelumnya dengan
dibantu oleh tenaga profesional psikolog/konselor pernikahan.

1.

ASPEK YANG PERLU DILAKUKAN ASESMEN

Aspek yang perlu dipahami dan dilakukan asesmen pada saat konselor jika
melakukan konseling pranikah :
1.

Riwayat Perkenalan

Konselor perlu mengetahui riwayat perkenalan pasangan pranikah. Dimana
mulai berkenalan, seberapa perkenalan berlangsung, bagaimana mereka
saling mengetahui satu sama lain. Misalnya pembicaraan tentang nilai, tujuan
dan harapannya terhadap hubungan pernikahan, dan alasan mereka
berkeinginan melanjutkan perkenalannya kearah pernikahan.
2.

Perbandingan Latar Belakang Pasangan

Keberhasilan membangun keluarga seringkali dihubungkan dengan latar
belakang pasangan. Kesetaraan latar belakang lebih baik penyesuaian
pernikahannya dibanding dengan yang berasal dari latar belakang yang
berbeda. Konselor perlu mengungkapkan latar belakang pendidikan, budaya
keluarga setiap partner dan status sosial ekonominya sepenuhnya harus
dieksplorasi, dan perbedaan agama serta adat istiadat keluarganya.

3.

Sikap Keluarga Leduanya

Sikap keluarga terhadap rencana pernikahannya, termasuk bagaimana sikap
mertua terhadap keluarga dan sanak keluarga terhadap keluarga nantinya,
apakah mereka menyetujui terhadap rencana pernikahannya, atau
memberikan dorongan, dan bahkan memaksakan agar menikah dengan orang
yang disenangi. Sikap keluarga keduanya ini sangat penting diketahui
terutama untuk mempersiapkan pasangan dalam menyikapi masing-masing
keluarga calon pasangannya.
4.

Perencanann Terhadap Pernikahan

Perencanaan terhadap pernikahan meliputi rumah yang akan ditempati,
sistem keuangan keluarga yang hendak disusun dan apa yang dipersiapkan
menjelang pernikahan. Kemampuan pasangan untuk memperkirakan
tanggung jawab keluarga ditunjukkan oleh persiapan dan perencanaan
mereka terhadap pernikahan yang hendak dilaksanakan.oleh karena itu, perlu
dipahami apakah mereka memiliki perencanaan yang cukup realistis atau
tidak.
5.

Faktor Psikologis dan Kepribadian

Faktor psikologis dan kepribadian yang perlu diasesmen adalah sikap mereka
terhadap peran seks dan bagaimana peran yang hendak dijalankan
keluarganya nanti, bagaimana perasaan mereka terhadap dirinya (self image,
body image), dan usaha apa yang akan dilakukan untuk keperluan
keluarganya nanti.
6.

Sifat Prokreatif

Sikap prokreatif menyangkut sikap mereka terhadap hubungan seksual dan
sikapnya jika memiliki anak. Bagaimana rencana pengasuhan terhadap
anaknya kelak.
7.

Kesehatan dan Kondisi Fisik

Hal lain yang sangat penting adalah perlunya diketahui tentang kesesuaian
usia untuk mengukur kematangan emosional sevara usia kronologis,
kesehatan secara fisik dan mentalnya, dan faktor-faktor genetik.

1.

PROSEDUR KONSELING PRANIKAH

Konseling pranikah diselenggarakan sebagaimana konseling perkawinan.
Yang menjadi penekanan pada konseling pranikah ini lebih bersifat
antisipatif, yaitu mempersiapkan diri untuk menetapkan pilihah yang tepat
sehubungan dengan rencana pernikahannya. Adapun prosedur tersebut adalah
:

1.

Persiapan, tahap yang dilakukan klien menghubungi konselor.

2.

Tahap keterlibatan (the joining), adalah tahap keterlibatan bersama
klien. Pada tahap ini konselor mulai menerima klien secara isyarat
(nonverbal) maupun secara verbal, merefleksi perasaan, melakukan
klarifikasi dan sebagainya.

3.

Tahap menyatakan masalah, yaitu menetapkan masalah yang dihadapi
oleh pasangan. Oleh karena itu, harus jelas apa masalahnya, siapa yang
bermasalah, apa indikasinya, apa yang telah terjadi, dan sebagainya.

4.

Tahap interaksi, yaitu konselor menetapkan pola interaksi untuk
penyelesaian masalah. Pada tahap ini anggota keluarga mendapatkan
informasi yang diperlukan untuk memahami masalahnya dan konselor
dapat melatih anggota keluarga itu berinteraksi dengan cara –cara yang
dapat diikuti (misalnya pelan, sederhanan, detail, dan jelas) dalam
kehidupan mereka.

5.

Tahap Konferensi, yaitu tahap untuk meramalkan keakuratan hipotesis
dan memformulasikan langkah-langkah pemecahan. Pada tahap ini
konselor mendesain langsung atau memberi pekerjaan rumah untuk
melakukan atau menerapkan pengubahan ketidak berfungsinya
perkawinan.

6.

Tahap penentu tujuan, tahap yang dicapai klien telah mencapai
perilaku yang normal, telah memperbaiki cara berkomunikasi, telah
menaikkan self-esteem dan membuat keluarga lebih kohesif.

7.

Tahap akhir dan penutup, merupakan kegiatan mengakhiri hubungan
konseling setelah tujuannya tercapai.

BAB III

PENUTUP

1.

KESIMPULAN

Konseling pranikah ini dianggap penting karena banyak orang yang merasa
salah dalam menetapkan pilihannya, atau mengalami banyak kesulitan dalam
penyesuaian diri dalam kehidupan berkeluarga. Banyak orang yang terburuburu membuat keputusan tanpa mempertimbangkan banyak aspek
sehubungan dengan kehidupan berumah tangga. Konseling keluarga ini
diselenggarakan dengan maksud membantu calon pasangan membuat
perencanaan yang matang dengan cara melakukan asesmen terhadap dirinya
yang dikaitkan dengan perkawinan dan kehiduoan berumah tangga

DAFTAR PUSTAKA

Http:// Suci-anak pertanian Urgensi Konseling Pra- Nikah.htm
Http://Layanan Konseling Keluarga dan Perkawinan _ himCayoo!.htm
Http://Konseling Pranikah _ Psikologi Kita.htm
Latipun. (2010). Psikologi Konseling. Malang: UPT Penerbitan Universitas
Muhammadiyah Malang.